kebaktian online

G. K. R. I. ‘GOLGOTA’

 

(Rungkut Megah Raya, blok D no 16)

 

Minggu, tgl 4 Juli 2021, pk 09.00

 

Pdt. Budi Asali, M. Div.

 

yohanes 2:1-11(1)

 

Yesus dan pesta pernikahan

 

Yoh 2:1-11 - “(1) Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ; (2) Yesus dan murid-muridNya diundang juga ke perkawinan itu. (3) Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepadaNya: ‘Mereka kehabisan anggur.’ (4) Kata Yesus kepadanya: ‘Mau apakah engkau dari padaKu, ibu? SaatKu belum tiba.’ (5) Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: ‘Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!’ (6) Di situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung. (7) Yesus berkata kepada pelayan-pelayan itu: ‘Isilah tempayan-tempayan itu penuh dengan air.’ Dan merekapun mengisinya sampai penuh. (8) Lalu kata Yesus kepada mereka: ‘Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta.’ Lalu merekapun membawanya. (9) Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu - dan ia tidak tahu dari mana datangnya, tetapi pelayan-pelayan, yang mencedok air itu, mengetahuinya - ia memanggil mempelai laki-laki, (10) dan berkata kepadanya: ‘Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum, barulah yang kurang baik; akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang.’ (11) Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tandaNya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaanNya, dan murid-muridNya percaya kepadaNya.”.

 

I) Pernikahan di Kana (ay 1-2).

 

Ay 1-2: “(1) Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ; (2) Yesus dan murid-muridNya diundang juga ke perkawinan itu.”.

 

1) Itu terjadi pada hari ketiga.

 

William Hendriksen: “‘And on the third day there was a wedding at Cana in Galilee.’ It was the third day after Jesus had gained two more disciples: Philip and Nathaniel. We may probably assume that on the two preceding days (and perhaps even on part of the third day) the Lord and his first six disciples (Andrew, John, Peter, James, Philip, and Nathaniel) had been traveling afoot toward the place where the event recorded in John 2 occurred. Hence, on the third day we find the little company present at Cana in Galilee.” [= ‘Dan pada hari ketiga di sana ada suatu pernikahan di Kana yang di Galilea’. Itu adalah hari yang ketiga setelah Yesus mendapatkan dua murid lagi: Filipus dan Natanael. Kita mungkin boleh menganggap bahwa pada dua hari sebelumnya (dan mungkin bahkan pada sebagian dari hari ketiga) Tuhan dan enam murid pertamaNya (Andreas, Yohanes, Petrus, Yakobus, Filipus, dan Natanael) telah berjalan kaki menuju tempat dimana peristiwa yang dicatat dalam Yoh 2 itu terjadi. Jadi, pada hari ketiga kita mendapati kelompok kecil itu hadir di Kana di Galilea.].

 

Pulpit Commentary: “It took place on ‘the third day;’ that is, the third day from the place - fifty miles away - where Nathanael had met Jesus. The Lord had then displayed his omniscience, and he now displays his omnipotence.” [= Itu terjadi pada ‘hari ketiga’; yaitu hari ketiga dari tempat - 50 mil jauhnya - dimana Natanael telah bertemu Yesus. Pada saat itu Tuhan telah menunjukkan kemahatahuanNya, dan sekarang Ia menunjukkan kemahakuasaanNya.].

Catatan: saya kira penafsir yang berbicara tentang Kana yang berbeda, karena ini jaraknya terlalu jauh.

 

Bdk. Yoh 1:47-50 - “(47) Kata Filipus kepadanya: ‘Mari dan lihatlah!’ Yesus melihat Natanael datang kepadaNya, lalu berkata tentang dia: ‘Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!’ (48) Kata Natanael kepadaNya: ‘Bagaimana Engkau mengenal aku?’ Jawab Yesus kepadanya: ‘Sebelum Filipus memanggil engkau, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara.’ (49) Kata Natanael kepadaNya: ‘Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!’ (50) Yesus menjawab, kataNya: ‘Karena Aku berkata kepadamu: Aku melihat engkau di bawah pohon ara, maka engkau percaya? Engkau akan melihat hal-hal yang lebih besar dari pada itu.’”.

 

2) Kana.

 

William Hendriksen: “The statement that the mother of Jesus, who lived at Nazareth, was also present, may indicate that Cana and Nazareth were not very far apart. There seem to have been several Cana’s, however, even in the province of Galilee. The exact location of the one where the wedding was held no one knows. Present-day commentators and geographers favor a spot situated about 8 or 9 miles north of Nazareth.” [= Pernyataan bahwa ibu Yesus, yang tinggal di Nazaret, juga hadir, mungkin menunjukkan bahwa Kana dan Nazaret tidak jauh jaraknya. Tetapi, kelihatannya di sana ada beberapa Kana, bahkan di propinsi Galilea. Lokasi yang tepat dari Kana dimana pernikahan itu dilakukan tak seorangpun yang tahu. Penafsir-penafsir dan ahli-ahli ilmu bumi saat ini lebih memilih suatu tempat yang terletak sekitar 8 atau 9 mil di Utara Nazaret.].

 

J. C. Ryle: ‘A marriage in Cana.’ Let it be remembered, that we are told elsewhere that Nathanael was an inhabitant of Cana. (John 21:2.) This makes it far from improbable, that Nathanael, after he became a disciple, invited our Lord to visit the place where he lived. Cana is a place not mentioned in the Old Testament. Robinson, in his Biblical Researches, says it was a village about three hours’ journey from Nazareth. [= ‘Suatu pernikahan di Kana’. Hendaklah diingat bahwa kita diberitahu di tempat lain bahwa Natanael adalah seorang penduduk dari Kana (Yoh 21:2). Ini membuat mungkin bahwa Natanael, setelah ia menjadi seorang murid, mengundang Tuhan kita untuk mengunjungi tempat dimana ia tinggal. Kana adalah suatu tempat yang tidak disebutkan dalam Perjanjian Lama. Robinson, dan ‘Biblical Researches’nya, mengatakan bahwa itu adalah sebuah desa kira-kira tiga jam perjalanan dari Nazaret.] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

 

Yoh 21:2 - “Di pantai itu berkumpul Simon Petrus, Tomas yang disebut Didimus, Natanael dari Kana yang di Galilea, anak-anak Zebedeus dan dua orang muridNya yang lain.”.

 

3) Tradisi pernikahan pada saat itu.

 

William Barclay: It was the Jewish law that the wedding of a virgin should take place on a Wednesday. [= Merupakan hukum Yahudi bahwa pernikahan dari seorang perawan harus terjadi pada hari Rabu.].

 

The Bible Exposition Commentary: “Jewish tradition required that virgins be married on a Wednesday, while widows were married on a Thursday.” [= Tradisi Yahudi mengharuskan bahwa perawan-perawan dinikahkan pada hari Rabu, sedangkan janda-janda dinikahkan pada hari Kamis.].

Catatan: Leon Morris mengatakan hal yang sama.

 

Sekalipun tradisi seperti ini tidak harus kita ikuti, tetapi ada satu yang penting. Mereka tidak menikah pada hari Sabat, yang pada saat itu adalah Sabtu! Hari Sabat adalah hari untuk berbakti, bukan hari untuk menikah! Sekarang hari Sabat bagi kita adalah Minggu. Hari Minggu adalah hari untuk berbakti, bukan hari untuk menikah!

 

Menikah pada hari Minggu menyebabkan banyak orang tidak berbakti (khususnya kemanten perempuan), karena mereka menganggap bahwa pada waktu mereka datang pada ‘kebaktian’ pernikahan mereka sudah berbakti kepada Tuhan. Ini hanyalah upacara pemberkatan nikah, bukan kebaktian!

 

William Barclay: The wedding festivities lasted for far more than one day. The wedding ceremony itself took place late in the evening, after a feast. After the ceremony, the young couple were conducted to their new home. By that time it was dark and they were conducted through the village streets by the light of flaming torches and with a canopy over their heads. They were taken by as long a route as possible so that as many people as possible would have the opportunity to wish them well. But a newly married couple did not go away for their honeymoon; they stayed at home; and for a week they kept open house. They wore crowns and dressed in their bridal robes. They were treated like a king and queen, were actually addressed as king and queen, and their word was law. In a life where there was much poverty and constant hard work, this week of festivity and joy was one of the supreme occasions. [= Perayaan / pesta pernikahan berlangsung jauh lebih lama dari satu hari. Upacara pernikahan itu sendiri terjadi pada malam hari, setelah suatu pesta. Setelah upacara, pasangan muda itu dibimbing ke rumah mereka yang baru. Pada saat itu sudah gelap dan mereka dibimbing melalui jalan-jalan desa itu oleh cahaya dari obor-obor yang menyala dan dengan suatu penutup / tudung di atas kepala mereka. Mereka dibawa melalui suatu rute yang sepanjang mungkin sehingga sebanyak mungkin orang mendapatkan kesempatan untuk memberi selamat / mengharapkan kebaikan mereka. Tetapi suatu pasangan yang baru menikah tidak pergi untuk bulan madu mereka; mereka tinggal di rumah; dan untuk satu minggu mereka membiarkan rumah terbuka. Mereka memakai mahkota dan dipakaiani dengan jubah pernikahan mereka. Mereka diperlakukan seperti seorang raja dan ratu, betul-betul disebut sebagai raja dan ratu, dan kata-kata mereka adalah hukum. Dalam suatu kehidupan dimana di sana ada banyak kemiskinan dan pekerjaan berat terus menerus, minggu perayaan / pesta dan sukacita ini merupakan salah satu dari peristiwa-peristiwa terbesar / terpenting.].

 

4) Ibu Yesus (Maria) ada di pesta pernikahan itu.

 

Adam Clarke: “The mother of Christ, the most pure of all virgins, the most holy of all wives, and the first Christian mother, was also at it.” [= Ibu dari Kristus, yang paling murni dari semua perawan, yang paling suci dari semua istri, dan ibu Kristen pertama, juga hadir di sana.].

 

Merupakan sesuatu yang memuakkan bagi saya kalau melihat seorang Protestan berbicara secara terlalu meninggikan tentang Maria! Mengapa tidak menjadi Katolik saja sekalian??? Seharusnya dalam bicara tentang Maria, kita berbicara sedemikian rupa, sehingga menetralisir pandangan Katolik yang terlalu meninggikan Maria, dan bukan malah mendukung pandangan itu, seperti yang dilakukan oleh Adam Clarke di sini!

 

Bandingkan Paulus dengan Yakobus dalam urusan iman, keselamatan dan perbuatan baik. Paulus berhubungan dengan orang-orang dari Yudaisme yang menekankan perbuatan baik untuk selamat, dan karena itu ia menekankan keselamatan oleh iman saja tanpa andil apapun dari perbuatan baik. Sedangkan Yakobus berhubungan dengan orang-orang yang mengaku Kristen, tetapi hidupnya sama sekali tidak mirip Kristen. Karena itu ia justru menekankan perbuatan baik sebagai bukti dari iman (Yak 2:14-26).

 

Penyeimbangan seperti ini harus dilakukan baik dalam urusan rohani / doktrinal, maupun dalam urusan jasmani / sekuler.

 

Misalnya dalam urusan Covid. Karena begitu banyaknya orang-orang di negara kita yang meremehkan, dan bahkan tidak percaya, akan adanya Covid, merupakan sesuatu yang sangat tidak bijaksana (kasarnya ‘bodoh’), dan bahkan membahayakan, untuk membuat dan menyebarkan berita yang ‘menghibur’ bahwa mayoritas orang yang kena Covid bisa disembuhkan dan sebagainya. Kalaupun ini dilakukan untuk menghindarkan kepanikan, menurut saya itu tetap salah besar. Jauh lebih baik orang-orang takut dan panik, dan menjadi sangat berhati-hati, dari pada orang-orang tenang dan menjadi gegabah!

 

William Barclay: There is no mention of Joseph. The explanation most probably is that by this time Joseph was dead. It would seem that Joseph died quite soon, and that the reason why Jesus spent eighteen long years in Nazareth was that he had to take upon himself the support of his mother and his family. It was only when his younger brothers and sisters were able to look after themselves that he left home. [= Yusuf tidak disebutkan. Penjelasan yang paling memungkinkan adalah bahwa pada saat itu Yusuf sudah mati. Kelihatannya Yusuf mati cukup cepat, dan bahwa alasan mengapa Yesus menghabiskan 18 tahun yang lama di Nazaret adalah bahwa Ia harus menopang ibuNya dan keluargaNya. Pada waktu saudara-saudara dan saudari-saudariNya yang lebih muda bisa memelihara / menjaga diri mereka sendiri barulah Ia meninggalkan rumah.].

 

J. C. Ryle: The absence of Joseph’s name, both here and in other places where the mother of our Lord is mentioned in the Gospels and Acts, has induced most commentators to think that Joseph was dead when our Lord began His public ministry. The point is one of which we know nothing except by conjecture. It deserves notice, however, that the Jews of Capernaum speak of Jesus as ‘the son of Joseph, whose father and mother we know.’ (John 6:42) If it had been profitable to us to know more about Joseph, we should have been told more. The Roman Catholic Church has already given him a superstitious reverence, upon the authority of tradition, and without the slightest warrant of Scripture. What would have not (?) been said about Joseph by the Romish Church, if he had been more prominently mentioned in God’s Word? [= Absennya nama Yusuf, baik di sini, maupun di tempat-tempat lain dimana ibu dari Tuhan kita disebutkan dalam kitab-kitab Injil dan Kisah Para Rasul, telah mendorong para penafsir untuk berpikir bahwa Yusuf sudah mati pada waktu Tuhan kita memulai pelayanan umumNya. Pokok ini adalah pokok tentang mana kita tidak tahu apapun kecuali oleh dugaan. Tetapi layak diperhatikan, bahwa orang-orang Yahudi dari Kapernaum berbicara tentang Yesus sebagai ‘anak laki-laki dari Yusuf, yang bapa dan ibuNya kita tahu / kenal (present tense)’ (Yoh 6:42). Seandainya merupakan sesuatu yang berguna bagi kita untuk tahu lebih banyak tentang Yusuf, kita sudah akan diberitahu lebih banyak. Gereja Roma Katolik telah memberinya rasa hormat yang bersifat takhyul, berdasarkan otoritas dari tradisi, dan tanpa otoritas yang terkecil dari Kitab Suci. Apa yang tidak (?) akan dikatakan tentang Yusuf oleh Gereja Roma, seandainya ia telah disebutkan secara lebih menonjol dalam Firman Allah?] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

Catatan: memang semua Kitab Suci bahasa Inggris menterjemahkan ‘know’ (present tense), tetapi dalam bahasa Yunani kata yang digunakan adalah OIDAMEN, yang merupakan bentuk perfect.

 

William Hendriksen: “It is probable that Mary was not an invited guest but rather an assistant at the wedding. This might explain how it was that she knew about the wine giving out.” [= Adalah mungkin bahwa Maria bukanlah seorang tamu yang diundang tetapi lebih merupakan seorang penolong / asisten pada pernikahan. Ini bisa menjelaskan bagaimana ia tahu tentang anggur yang habis.].

 

5) Yesus dan murid-muridNya juga hadir dalam pesta itu.

 

a)      Mengapa Yesus diundang dalam pernikahan itu?

 

The Bible Exposition Commentary: Were Jesus and His disciples invited because of Mary, or because of Nathanael? (John 21:2) Our Lord was not yet well known; He had performed no miracles as yet. It was not likely that He was invited because the people knew who He was. It was probably His relationship with Mary that brought about the invitation.[= Apakah Yesus dan murid-muridNya diundang karena Maria atau karena Natanael? (Yoh 21:2). Tuhan kita belum dikenal; Ia belum melakukan mujizat-mujizat. Rasanya tidak mungkin bahwa Ia diundang karena orang-orang tahu siapa Dia. Mungkin hubunganNya dengan Maria yang menyebabkan undangan itu.].

 

b)      Mengundang Kristus dalam pernikahan kita.

 

Pulpit Commentary: “1. If married couples wish a happy life, let them commence it by inviting Jesus to their marriage-feast. ... 2. Many invite Jesus to their scenes of sorrow, but not to their scenes of joy. ... He is invited to the sick and death-bed, but not to the marriage-feast. This is neither kind nor wise. Let us remember that he can enjoy as well as suffer and pity. He can rejoice with those that rejoice, as well as weep with those that weep. And if we invite him to the sunshine of marriage, we have claim on his presence in the gloom of dissolution.” [= 1. Jika pasangan yang menikah itu menginginkan suatu kehidupan yang bahagia, hendaklah mereka memulainya dengan mengundang Yesus pada pesta pernikahan mereka. ... 2. Banyak orang mengundang Yesus pada peristiwa / situasi sedih mereka, tetapi tidak pada peristiwa / situasi sukacita mereka. ... Ia diundang pada ranjang penyakit dan kematian, tetapi tidak pada pesta pernikahan. Ini bukanlah baik ataupun bijaksana. Hendaklah kita ingat bahwa Ia bisa menikmati maupun menderita dan berbelas kasihan. Ia bisa bersukacita dengan mereka yang bersukacita, maupun menangis bersama dengan mereka yang menangis. Dan jika kita mengundang Dia pada sinar matahari dari pernikahan, kita mempunyai hak atas kehadiranNya pada kesuraman / kegelapan dari kematian / perceraian.].

 

J. C. Ryle: Christ’s blessing and presence are essential to a happy wedding. The marriage at which there is no place for Christ and His disciples, is not one that can justly be expected to prosper. [= Berkat dan kehadiran Kristus merupakan sesuatu yang hakiki bagi suatu pernikahan yang bahagia. Pernikahan dimana di sana tidak ada tempat bagi Kristus dan murid-muridNya, bukanlah pernikahan yang secara benar bisa diharapkan untuk sukses.] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

 

c)  Pandangan Katolik tentang pernikahan, dan kehadiran Yesus dalam pernikahan.

 

Pulpit Commentary: “Jesus and the marriage-state. Of the services which our Lord Christ has rendered to human society, none is more conspicuous and undeniable than the honour which he has put upon marriage. Of all institutions and relations existing among men, there is none which has met with so much slander, hate, and scorn, as matrimony. The sinful and the selfish, not content with avoiding marriage themselves, overwhelm those who honour and enter upon wedded life with ridicule and contempt. This is not to be wondered at, inasmuch as true and honourable marriage involves abstinence from unlawful pleasures, and also a fidelity and constancy of affection amidst the changes, responsibilities, and troubles incident to this estate.” [= Yesus dan keadaan menikah. Dari pelayanan-pelayanan yang Tuhan Kristus telah berikan kepada masyarakat, tak ada yang lebih nyata / menarik perhatian dan tak bisa disangkal dari pada kehormatan yang telah Ia berikan pada pernikahan. Dari semua tradisi / praktek dan hubungan yang ada di antara manusia, di sana tidak ada yang telah mengalami begitu banyak fitnah, kebencian, dan hinaan / kejijikan, seperti pernikahan. Orang-orang berdosa dan egois, tidak puas dengan menghindari pernikahan untuk diri mereka sendiri, membebani mereka yang menghormati dan memasuki kehidupan pernikahan dengan ejekan dan hinaan. Kita tidak perlu heran akan hal ini, karena pernikahan yang benar dan terhormat menyangkut / melibatkan pengekangan terhadap kesenangan-kesenangan yang tidak sah, dan juga suatu kesetiaan dan kekonstanan dari kasih di tengah-tengah perubahan-perubahan, tanggung jawab - tanggung jawab, dan kesukaran-kesukaran yang menyertai keadaan ini.] - hal 98.

 

J. C. Ryle: Let it be noted, that the presence of Jesus, and His disciples, and the Virgin Mary at a marriage, is a significant fact, which stands out in strong contrast to the Patristic and Roman Catholic doctrine, of the imperfection of the state of marriage compared to that of celibacy. ‘Forbidding to marry’ is a doctrine of Antichrist, not of Christ. (1 Tim. 4:3.) [= Hendaklah diperhatikan, bahwa kehadiran Yesus, dan murid-muridNya, dan sang Perawan Maria di suatu pernikahan, adalah suatu fakta yang penting / berarti, yang bertentangan dalam kontras yang kuat dengan doktrin dari bapa-bapa gereja awal dan Roma Katolik, tentang ketidak-sempurnaan dari keadaan pernikahan dibandingkan dengan keadaan celibat / tidak menikah. ‘Melarang untuk menikah’ adalah suatu doktrin dari Anti Kristus, bukan dari Kristus. (1Tim 4:3).] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

 

1Tim 4:1-3 - “(1) Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan (2) oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka. (3) Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran.”.

 

Pulpit Commentary: “His presence does not, as Roman Catholics say, turn marriage into a sacrament. That requires a word of institution, of which there is no trace in this (?) history.” [= KehadiranNya tidaklah, seperti orang-orang Roma Katolik katakan, mengubah pernikahan menjadi suatu sakramen. Itu membutuhkan suatu firman yang menetapkan, tentang mana di sana tidak ada jejak dalam sejarah.] - hal 94.

 

J. C. Ryle: The Roman Catholic argument, that Christ, by His presence, made marriage a sacrament, is utterly worthless. Dyke remarks that we might as well call feasts and burials sacraments, because Christ was present at them. He says, ‘There is required a word of institution to make a sacrament. Let the Papists show any such word here used. And if Christ did make marriage a sacrament, why do they call it a work of the flesh? Are sacraments works of the flesh?’ [= Argumentasi Roma Katolik, bahwa Kristus, oleh kehadiranNya, membuat pernikahan suatu sakramen, adalah sama sekali tak bernilai / tak berharga. Dyke mengatakan bahwa kita juga bisa menyebut pesta dan penguburan sebagai sakramen, karena Kristus hadir di sana. Ia berkata, ‘Di sana dibutuhkan suatu firman yang menetapkan untuk membuat suatu sakramen. Hendaklah para pengikut Paus menunjukkan firman yang manapun yang digunakan di sini. Dan jika Kristus memang membuat pernikahan suatu sakramen, mengapa mereka menyebutnya suatu pekerjaan / perbuatan dari daging? Apakah sakramen adalah perbuatan daging?’] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

 

Memang merupakan sesuatu yang aneh dan bersifat kontradiksi kalau Gereja Roma Katolik di satu sisi menganggap keadaan tidak menikah (celibat) lebih baik dari pada keadaan menikah, dan bahkan melarang pastor, suster dsb untuk menikah, tetapi di lain pihak mereka menganggap pernikahan sebagai suatu sakramen!

Sisi pertama merendahkan pernikahan, sisi kedua meninggikan pernikahan!

 

d)      Kehadiran Yesus dalam pesta pernikahan, dan artinya yang benar.

 

1.  Yesus tidak anti pernikahan ataupun pestanya.

 

Pulpit Commentary: “It is allowable to rejoice on such occasions. Our Lord sanctions by his presence both the marriage and the feast.” [= Merupakan sesuatu yang diizinkan untuk bersukacita pada peristiwa-peristiwa seperti itu. Tuhan kita menyetujui / mendukung dengan kehadiranNya, baik pernikahannya maupun pestanya.].

 

J. C. Ryle: We learn, firstly, from these verses, how honourable in the sight of Christ is the estate of matrimony. To be present at a ‘marriage’ was almost the first public act of our Lord’s earthly ministry. [= Kita mempelajari, pertama-tama, dari ayat-ayat ini, betapa terhormat dalam pandangan Kristus keadaan pernikahan. Hadir dalam suatu pernikahan hampir merupakan tindakan umum pertama dari pelayanan duniawi Tuhan kita.] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

 

J. C. Ryle: We learn, secondly, from these verses, that there are times when it is lawful to be merry and rejoice. Our Lord Himself sanctioned a wedding-feast by His own presence. He did not refuse to be a guest at ‘a marriage in Cana of Galilee.’ ‘A feast,’ it is written, ‘is made for laughter, and wine maketh merry.’ (Eccles. 10:19.) Our Lord, in the passage before us, countenances both the feast and the use of wine. [= Kita mempelajari, yang kedua, dari ayat-ayat ini, bahwa di sana ada saat-saat dimana diizinkan oleh hukum untuk bersenang-senang dan bersukacita. Tuhan kita sendiri menyetujui / mendukung suatu pesta pernikahan dengan kehadiranNya sendiri. Ia tidak menolak untuk menjadi seorang tamu pada suatu pernikahan di Kana di Galilea’. ‘Suatu pesta’, ada tertulis, ‘dibuat untuk menyebabkan tertawa, dan anggur membuat gembira’. (Pkh 10:19). Tuhan kita, dalam text di depan kita, menyetujui / mendukung baik pestanya maupun penggunaan anggur.] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

 

Pkh 10:19 - Untuk tertawa orang menghidangkan makanan; anggur meriangkan hidup dan uang memungkinkan semuanya itu.”.

KJV: A feast is made for laughter, and wine maketh merry:” [= Suatu pesta dibuat untuk menyebabkan tertawa, dan anggur membuat gembira:].

 

Lain lagi dengan apa yang dilakukan oleh orang kaya ini.

Luk 16:19 - “‘Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.”.

 

Bdk. Luk 21:34 - “‘Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat.”.

KJV/ASV: “be overcharged” [= dipenuhi sampai meluap].

RSV/NIV: “weighed down” [= dibebani]

 

J. C. Ryle: The subject no doubt is a difficult and delicate one. On no point of Christian practice is it so hard to hit the mean between that which is lawful and that which is unlawful, between that which is right and that which is wrong. It is very hard indeed to be both merry and wise. High spirits soon degenerate into levity. Acceptance of many invitations to feasts soon leads to waste of time, and begets leanness of soul. Frequent eating and drinking at other men’s tables, soon lowers a Christian’s tone of religion. Going often into company is a heavy strain on spirituality of heart. Here, if anywhere, God’s children have need to be on their guard. Each must know his own strength and natural temperament, and act accordingly. One believer can go without risk where another cannot. Happy is he who can use his Christian liberty without abusing it! It is possible to be sorely wounded in soul at marriage feasts and the tables of friends. [= Pokok ini tak diragukan merupakan suatu pokok yang sukar dan harus ditangani dengan hati-hati. Tak ada pokok dari praktek Kristen dimana begitu sukar untuk mencapai bagian di tengah-tengah di antara apa yang sah dan apa yang tidak sah, antara apa yang benar dan apa yang salah. Memang merupakan sesuatu yang sangat sukar untuk bersenang-senang dan bijaksana. Hati yang senang segera / dengan cepat memburuk menjadi ketidak-seriusan / kebodohan. Penerimaan terhadap banyak undangan pada pesta-pesta segera / dengan cepat membimbing pada pemborosan waktu, dan menyebabkan jiwa yang kurus. Sering makan dan minum di meja orang lain, segera / dengan cepat merendahkan nada agama dari seorang Kristen. Sering pergi ke dalam suatu kumpulan orang merupakan suatu ketegangan yang berat pada kerohanian dari hati. Di sinilah anak-anak Allah mempunyai kebutuhan untuk berjaga-jaga. Setiap orang harus tahu kekuatannya dan temperamen alamiahnya sendiri, dan bertindak sesuai dengannya. Seorang percaya bisa pergi tanpa resiko dimana seorang yang lain tidak bisa. Berbahagialah ia yang bisa menggunakan kebebasan Kristennya tanpa menyalah-gunakannya! Adalah mungkin untuk mengalami jiwa yang sangat terluka pada pesta-pesta pernikahan dan meja-meja dari sahabat-sahabat.] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

 

Bdk. Amsal 10:19 - “Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi.”.

 

J. C. Ryle: One golden rule on the subject may be laid down, the use of which will save us much trouble. Let us take care that we always go to feasts in the spirit of our divine Master, and that we never go where He would not have gone. Like Him, let us endeavour to be always ‘about our Father’s business.’ (Luke 2:49.) Like Him, let us willingly promote joy and gladness, but let us strive that it may be sinless joy, if not joy in the Lord. Let us endeavour to bring the salt of grace into every company, and to drop the word in season in every ear we address. Much good may be done in society by giving a healthy tone to conversation. Let us never be ashamed to show our colours, and to make men see whose we are and whom we serve. ... if Christ went to a marriage feast in Cana there is surely something that Christians can do on similar occasions. Let them only remember that if they go where their Master went, they must go in their Master’s spirit. [= Satu hukum / peraturan emas tentang pokok ini bisa dinyatakan, yang penggunaannya bisa menyelamatkan / mencegah kita dari banyak problem / kesukaran. Hendaklah kita berhati-hati bahwa kita selalu pergi ke pesta-pesta dalam roh / kecondongan dari Tuan / Guru Ilahi kita, dan bahwa kita tidak pernah pergi dimana Ia tidak akan pernah pergi. Seperti Dia, marilah kita berusaha untuk selalu ‘di sekitar / di dekat urusan BapaKu?’ (Luk 2:49). Seperti Dia, marilah kita dengan sukarela memajukan sukacita dan kesenangan, tetapi marilah kita berusaha supaya itu bisa merupakan sukacita yang tidak berdosa, jika bukannya sukacita di dalam Tuhan. Hendaklah kita berusaha untuk membawa garam dari kasih karunia ke dalam setiap kumpulan orang, dan meneteskan firman pada waktu yang tepat di setiap telinga kepada siapa kita berbicara. Banyak kebaikan bisa dilakukan dalam masyarakat dengan memberikan suatu nada yang sehat pada percakapan. Hendaklah kita tidak pernah malu untuk menunjukkan warna kita, dan membuat orang-orang melihat siapa yang memiliki kita dan siapa yang kita layani. ... jika Kristus pergi ke suatu pesta pernikahan di Kana pastilah di sana ada yang orang-orang Kristen bisa lakukan pada peristiwa-peristiwa yang serupa. Hanya hendaklah mereka ingat bahwa jika mereka pergi kemana Tuan / Guru mereka pergi, mereka harus pergi dalam roh / kecondongan dari Tuan / Guru mereka.] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

 

Luk 2:49 - “JawabNya kepada mereka: ‘Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?’”.

RSV/NIV/NASB: my Father’s house [= rumah BapaKu].

Dalam bahasa Yunaninya kata ‘house’ / ‘rumah’ itu sebetulnya tidak ada. Jadi terjemahan hurufiahnya hanyalah: ‘I must be in my Father’s’ [= Aku harus ada dalam milik BapaKu].

KJV: ‘my Father’s business’ [= kesibukan / urusan BapaKu].

 

3.  Yesus kontras dengan Yohanes Pembaptis.

 

William Hendriksen: “Jesus accepted the invitation for the entire group. He was not an ascetic. He came eating and drinking (Matt. 11:19).” [= Yesus menerima undangan untuk seluruh kelompok. Ia bukanlah seorang pertapa. Ia datang makan dan minum (Mat 11:19).].

 

The Bible Exposition Commentary: “Our Lord was not a recluse, as was John the Baptist (Matt 11:16-19). He accepted invitations to social events, even though His enemies used this practice to accuse Him (Luke 15:1-2). [= Tuhan kita bukanlah orang yang hidup menyendiri, seperti Yohanes Pembaptis (Mat 11:16-19). Ia menerima undangan-undangan pada aktivitas-aktivitas sosial, sekalipun musuh-musuhNya menggunakan praktek ini untuk menuduhNya (Luk 15:1-2).].

 

Kita harus tiru ini; tidak usah takut untuk melakukan apapun yang benar, tak peduli akan diserang orang.

 

Mat 11:16-19 - “(16) Dengan apakah akan Kuumpamakan angkatan ini? Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan berseru kepada teman-temannya: (17) Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung. (18) Karena Yohanes datang, ia tidak makan, dan tidak minum, dan mereka berkata: Ia kerasukan setan. (19) Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan mereka berkata: Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. Tetapi hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya.’”.

 

Luk 15:1-2 - “(1) Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. (2) Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: ‘Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.’”.

 

Pulpit Commentary: “His disciples had been disciples of John the Baptist, and John was an ascetic, a Nazarite, a man of the wilderness; and now that these disciples of John had become disciples of Jesus, they cannot learn too soon that their new Teacher proceeds by different methods from those of John. Not that blame of John is thereby implied. John and his own work to do in his own way, and Jesus had his work to do in his way. Jesus will become all things to all men, that he may save some. He cannot truly weep with the weeping unless he can also rejoice with the rejoicing.” [= Murid-muridNya dulunya adalah murid Yohanes Pembaptis, dan Yohanes adalah seorang pertapa, seorang Nazir, orang dari padang gurun; dan sekarang pada waktu murid-murid Yohanes ini telah menjadi murid-murid Yesus, mereka tidak bisa belajar terlalu cepat bahwa Guru mereka yang baru maju / berjalan dengan metode-metode yang berbeda dari metode-metode Yohanes. Ini tidaklah secara implicit menyalahkan Yohanes. Yohanes dan pekerjaannya melakukannya dengan caranya sendiri, dan Yesus mempunyai pekerjaanNya untuk dilakukan dengan caraNya sendiri. Yesus akan menjadi segala sesuatu bagi semua orang, supaya Ia bisa menyelamatkan beberapa / sebagian dari mereka. Ia tidak bisa dengan sungguh-sungguh menangis dengan orang-orang yang menangis kecuali ia juga bisa bersukacita dengan orang-orang yang bersukacita.].

 

J. C. Ryle: True religion was never meant to make men melancholy. On the contrary, it was intended to increase real joy and happiness among men. ... The Christian who withdraws entirely from the society of his fellow-men, and walks the earth with a face as melancholy as if he was always attending a funeral, does injury to the cause of the Gospel. A cheerful, kindly spirit is a great recommendation to a believer. It is a positive misfortune to Christianity when a Christian cannot smile. A merry heart, and a readiness to take part in all innocent mirth, are gifts of inestimable value. They go far to soften prejudices, to take up stumbling-blocks out of the way, and to make way for Christ and the Gospel. [= Agama yang benar tidak pernah dimaksudkan untuk membuat orang-orang sedih / suram. Sebaliknya, itu dimaksudkan untuk meningkatkan sukacita dan kebahagiaan yang sejati di antara manusia. ... Orang Kristen yang menarik diri sepenuhnya dari kumpulan sesama manusianya, dan berjalan di bumi dengan suatu wajah yang sedih / suram seakan-akan ia sedang selalu menghadiri suatu penguburan, melukai / merugikan perkara dari Injil. Suatu roh / kecondongan yang gembira dan baik merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan bagi seorang percaya. Merupakan suatu bencana positif bagi kekristenan pada waktu seorang Kristen tidak bisa tersenyum. Suatu hati yang gembira, dan suatu kesediaan untuk ambil bagian dalam semua kegembiraan yang tak bersalah / berdosa, merupakan karunia-karunia yang tak ternilai. Mereka pergi jauh untuk melembutkan prasangka-prasangka, menyingkirkan batu-batu sandungan dari jalan, dan membuka jalan bagi Kristus dan Injil.] - ‘Expository Thoughts on the Gospels: John vol I’ (Libronix).

 

 

-bersambung-

 

 

Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

[email protected]

http://golgothaministry.org

Email : [email protected]

CHANNEL LIVE STREAMING YOUTUBE :  bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ