Eksposisi
Wahyu kepada Yohanes
oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.
Kitab wahyu
Introduction / pendahuluan
I) Penulis
Kitab Wahyu.
Penulis Kitab
Wahyu menyebut namanya sendiri sebagai ‘Yohanes’ (Wah 1:1,4 Wah 21:2
Wah 22:8). Tetapi ‘Yohanes’ siapa / yang mana?
1)
Bapa-bapa gereja yang paling awal menganggap bahwa ini adalah rasul Yohanes,
saudara Yakobus, anak Zebedeus.
Leon Morris
(Tyndale) memberikan 3 buah kutipan yang menunjukkan bahwa 3 bapa gereja, yaitu
Justin Martyr, Irreneaus, dan Clement of Alexandria, sama-sama percaya bahwa
penulis Kitab Wahyu adalah rasul Yohanes.
· “Justin
says, with reference to Rev. 20, ‘There was a certain man with us, whose name
was John, one of the apostles of Christ, who prophesied by a revelation
...’” (= Justin berkata, berkenaan
dengan Wah 20, ‘Ada orang tertentu bersama kita, yang namanya adalah
Yohanes, seorang dari rasul-rasul Kristus, yang bernubuat oleh suatu wahyu
...’) - Footnote hal 26.
Catatan:
Kesaksian Justin Martyr ini sangat kuno, ±
tahun 135 M.
· “he
(Irenaeus) says the apocalypse was written by ‘John, the disciple of the
Lord,’ by which most agree that he means the apostle”
[= ia (Ireneaus) berkata bahwa Kitab Wahyu ditulis oleh ‘Yohanes, murid
Tuhan’, dengan mana kebanyakan orang setuju bahwa ia memaksudkan sang rasul]
- Footnote hal 26.
· “He
(Clement of Alexandria) speaks of ‘the Apostle John’ as having been on the
isle of Patmos until ‘the tyrant’s death’ ... an apparent reference to Rev 1:9”
[= Ia (Clement dari Alexandria) berbicara tentang ‘rasul Yohanes’ sebagai
ada di pulau Patmos sampai ‘kematian sang tiran / raja yang lalim’ ... suatu
referensi yang jelas terhadap Wah 1:9]
- Footnote hal 26.
2)
Alasan-alasan lain untuk memilih rasul Yohanes sebagai penulis Kitab Wahyu.
a)
Penulis menyatakan diri hanya sebagai ‘Yohanes’, dan ia tahu bahwa itu cukup
bagi para pembacanya untuk mengetahui siapa dia. Tidak ada orang dalam gereja
abad pertama, selain rasul Yohanes, yang begitu dikenal oleh orang-orang kristen
saat itu, sehingga merasa cukup untuk menyatakan diri sebagai ‘Yohanes’.
b)
Ada banyak konsep dan ungkapan yang sama antara Kitab Wahyu, Injil Yohanes dan
Surat Yohanes. Misalnya:
· istilah
LOGOS untuk menunjuk kepada Yesus, ditemukan hanya dalam Injil Yohanes, Surat
Yohanes dan Kitab Wahyu (Yoh 1:1 1Yoh 1:1 Wah 19:13).
Perlu diingat bahwa tidak ada penulis Kitab Suci lain yang menggunakan
istilah LOGOS untuk menunjuk kepada Yesus!
· istilah
‘domba’ / ‘anak domba’ untuk menunjuk kepada Yesus juga demikian (Yoh 1:29,36
Wah 5:6). Memang dalam hal ini istilah bahasa Yunani yang digunakan
berbeda. Dalam Kitab Wahyu digunakan kata Yunani ARNION, sedangkan dalam Injil
Yohanes digunakan kata Yunani AMNOS. Tetapi menurut saya ini tidak terlalu
menjadi soal.
· baik
dalam Injil Yohanes maupun dalam Kitab Wahyu, Yesus digambarkan sebagai Gembala
(Yoh 10:1-dst Wah 7:17).
· baik
Injil Yohanes maupun Kitab Wahyu menjanjikan air hidup bagi mereka yang haus
(Yoh 4:10-14 Yoh 7:37 Wah 22:17).
3)
Pandangan alternatif: penulis Kitab Wahyu adalah Yohanes yang berbeda dengan
rasul Yohanes.
Mulai
pertengahan abad ke 3 (sekitar tahun 250 M), muncul suatu pandangan
baru / alternatif, yang rupanya dimulai oleh seorang yang bernama Dionysius,
yang menyatakan bahwa penulis Kitab Wahyu ini adalah Yohanes yang berbeda dengan
rasul Yohanes.
Alasan-alasannya
adalah:
a)
Penulis Kitab Wahyu menyebut namanya sebagai ‘Yohanes’, padahal penulis
Injil Yohanes dan Surat Yohanes tidak pernah menyebutkan jati dirinya.
b)
Bahasa Yunani yang jelek dari Kitab Wahyu.
Alasan utama
yang dipakai oleh orang-orang yang menganut pandangan ini adalah bahwa bahasa
Yunani yang dipakai dalam Kitab Wahyu jauh lebih jelek dari yang dipakai dalam
Injil Yohanes dan Surat Yohanes.
William
Barclay:
· “...
from the point of view of grammar it is easily the worst Greek in The New
Testament. He makes mistakes which no schoolboy who knew Greek could make. Greek
is certainly not his native language; and it is often clear that he is writing
in Greek and thinking in Hebrew” (= ...
dari sudut pandang gramatika / tata bahasa, itu adalah bahasa Yunani yang
terjelek dalam Perjanjian Baru. Ia membuat kesalahan-kesalahan yang tidak
mungkin akan dibuat oleh seorang anak sekolah yang mengerti bahasa Yunani.
Yunani jelas bukanlah bahasa aslinya / bahasa ibunya; dan kadang-kadang jelas
bahwa ia menulis dalam bahasa Yunani dan berpikir dalam bahasa Ibrani)
- hal 11-12.
· “The
Greek of the Fourth Gospel is simple but correct; the Greek of the Revelation is
rugged and vivid, but notoriously incorrect”
(= Bahasa Yunani dari Injil yang keempat adalah sederhana tetapi benar; bahasa
Yunani dari Kitab Wahyu adalah kasar dan gamblang / hidup, tetapi terkenal tidak
benar) - hal 11-12.
A. T. Robertson
mengutip Radermacher yang menyebut Kitab Wahyu ini sebagai:
“the
most uncultured literary production that has come down to us from antiquity”
(= hasil sastra / tulisan yang paling tidak beradab / berbudaya yang telah
diturunkan kepada kita dari jaman purbakala)
- hal 273.
J. H.
Moulton: “Its grammar is
perpetually stumbling, its idiom is that of a foreign language, its whole style
that of a writer who neither knows nor cares for literary form” (=
Gramatika / tata bahasanya terus-menerus tersandung, ungkapannya adalah ungkapan
dari bahasa asing, seluruh gayanya adalah gaya dari seorang penulis yang tidak
mengerti ataupun peduli pada bentuk sastra) - ‘A Grammar of New
Testament Greek’, Book II, hal 3.
4)
Jawaban dari yang ‘pro rasul Yohanes’.
a)
Bahwa seorang penulis di salah satu kitabnya atau suratnya tidak menyatakan
namanya, sama sekali tidak bisa diartikan bahwa ia akan selalu melakukan hal
itu.
b)
Rasul Yohanes bukan orang berpendidikan (Kis 4:13), sehingga cocok dengan
bahasa Yunani yang jelek dari kitab Wahyu. Pada waktu menulis Injil Yohanes dan
surat-surat Yohanes, bahasa Yunaninya bisa bagus mungkin karena ada seorang
penulis / sekretaris (amanuensis) yang memoles bahasa Yunaninya (bdk. Ro 16:22
yang menunjukkan bahwa Paulus juga mempunyai penulis pada waktu menulis surat
Roma). Tetapi pada waktu Yohanes menulis kitab Wahyu ia tidak mempunyai seorang
penulis / sekretaris.
Dengan jawaban
ini, memang golongan yang ‘pro rasul Yohanes’ bisa mementahkan serangan
tentang bahasa Yunani yang jelek ini, tetapi saya berpendapat bahwa ini membuka
diri terhadap serangan dari golongan Liberal. Mengapa? Karena kalau demikian,
bagaimana kita mempertahankan bahwa Kitab Suci itu inerrant / sama sekali
tidak ada salahnya? Bukankah itu harus juga mencakup ketidakbersalahan dalam hal
bahasa Yunani? Karena itu perhatikan beberapa kutipan di bawah ini.
Pulpit
Commentary: “The writer gives ample
proof that he was acquainted with the rules and even the subtleties of Greek
grammar; yet he departs from those rules and neglects those subtleties with such
carelessness that he has been accused of the grossest ignorance of the Greek
language” (= Penulis memberikan cukup bukti bahwa ia mengenal hukum-hukum
dan bahkan seluk-beluk dari gramatika / tata bahasa dari bahasa Yunani; tetapi
ia menyimpang dari hukum-hukum itu dan mengabaikan seluk-beluk itu dengan suatu
kecerobohan sedemikian rupa sehingga ia dituduh sebagai ketidaktahuan terbesar /
paling menyolok tentang bahasa Yunani) - hal xxiii.
Dan Pulpit
Commentary dalam hal xxiii-xxv memberikan puluhan contoh ‘kesalahan’ yang
dilakukan oleh penulis Kitab Wahyu ini dalam persoalan bahasa Yunaninya.
Donald
Guthrie: “his opinion on the
inaccuracies of the Apocalypse does not stand up to modern critical judgment,
which generally admits that the grammatical deviations are not due to
ignorance” (= pandangannya tentang ketidak-akuratan dari Kitab Wahyu tidak
bertahan terhadap penilaian kritik modern, yang pada umumnya mengakui bahwa
penyimpangan gramatika / tata bahasa ini bukanlah disebabkan oleh ketidaktahuan)
- ‘New Testament Introduction’, hal 936.
Catatan:
yang dimaksud dengan ‘pandangannya’ adalah pandangan dari Dionysius,
yang mengatakan bahwa bahasa Yunani dari Kitab Wahyu mempunyai banyak kesalahan.
Donald Guthrie
melanjutkan:
“...
the Greek of the Apocalypse is not simply an inaccurate form of Greek such as a
learner writes before he has mastered the laws of the language, but a mixture of
correct and incorrect forms which appear to be due to choice, not to accident,
careless or ignorance. ... there is no doubt that the author had his own very
definite reason for using unusual grammatical constructions”
(= ... bahasa Yunani dari Kitab Wahyu bukanlah bentuk Yunani yang tidak akurat
seperti yang ditulis oleh seorang yang baru belajar yang belum menguasai
hukum-hukum bahasa itu, tetapi suatu campuran bentuk yang benar dan tidak benar
yang kelihatannya disebabkan oleh pemilihan, bukan karena kecelakaan /
kebetulan, kesembronoan atau ketidaktahuan. ... tidak diragukan bahwa
pengarangnya mempunyai alasannya sendiri yang tertentu pada waktu menggunakan
susunan gramatika / tata bahasa yang tidak lazim)
- ‘New Testament Introduction’, hal 941.
Dari semua ini
bisalah disimpulkan bahwa baik Pulpit Commentary maupun Donald Guthrie percaya
bahwa penulis Kitab Wahyu melakukan ‘kesalahan’ dengan sengaja! Jadi jelas
bahwa sebetulnya itu bukan kesalahan, tetapi pasti karena ada maksud / arti
tertentu di dalam ‘kesalahan’ itu!
Mengapa rasul
Yohanes melakukan ‘kesalahan’ dengan sengaja?
1.
Karena ia menuliskan ungkapan Ibrani dalam bahasa Yunani.
Dalam catatan
kaki di hal 941, Donald Guthrie mengatakan:
“Charles
thought that a good number of them were due to reproduction of Hebrew idioms”
(= Charles beranggapan bahwa sebagian besar dari mereka disebabkan karena
peniruan ungkapan Ibrani).
Catatan:
Yang dimaksud dengen ‘Charles’ adalah R. H. Charles, yang menulis buku
berjudul ‘The Grammar of the Apocalypse’.
2.
Karena ia harus menuliskan pemandangan-pemandangan yang tak terlukiskan ke dalam
bahasa manusia.
Merrill C.
Tenney: “Some of the Greek in the
Apocalypse seems awkward and even ungrammatical. One should remember that the
author was attempting to put into human language scenes that could not be
described in ordi-nary terms, and consequently his grammar and vocabulary both
proved inadequate” (= Sebagian dari bahasa Yunani dalam Kitab Wahyu
kelihatan aneh dan bahkan tidak sesuai dengan gramatika / tata bahasa. Kita
harus ingat bahwa pengarang mencoba menuliskan ke dalam bahasa manusia
pemandangan-pemandangan / adegan-adegan yang tidak bisa digambarkan dengan
istilah-istilah biasa, dan sebagai akibatnya baik gramatika / tata bahasa maupun
perbendaharaan katanya, terbukti tidak memadai) - ‘New Testament
Survey’, hal 387.
Dengan
demikian golongan yang ‘pro rasul Yohanes’ bisa menjawab serangan terhadap Inerrancy
(= ketidakbersalahan) dari Alkitab. Tetapi bagaimana dengan golongan yang
‘anti rasul Yohanes’? Kalau mereka berpendapat bahwa bahasa Yunani dari
Kitab Wahyu benar-benar mengandung banyak kesalahan, bagaimana mereka bisa
menganut doktrin Inerrancy dari Alkitab?
II) Saat
penulisan Kitab Wahyu.
1)
Kitab Wahyu ditulis atau pada jaman kaisar Nero atau pada jaman kaisar Domitian.
Mengapa harus
disimpulkan demikian? Karena Kitab Wahyu jelas ditulis kepada orang kristen yang
menderita penganiayaan. Ini terlihat dari:
· pembuangan
terhadap Yohanes di Patmos (1:9).
· pembunuhan
terhadap Antipas, yang adalah orang yang setia kepada Tuhan dan merupakan saksi
Tuhan (2:13).
· pemenjaraan
yang dibicarakan terhadap jemaat Smirna (2:10).
· ada
orang-orang yang dibunuh karena Firman Allah dan kesaksian yang mereka miliki
(6:9).
· perempuan
yang mabuk oleh darah orang-orang kudus dan saksi-saksi Yesus (17:6 bdk.
16:6 18:24 19:2 20:4).
Ada 10 kaisar
Roma yang menganiaya orang kristen, tetapi hanya 2 yang hidup pada jaman rasul
Yohanes, yaitu Nero (tahun 54-68 M) dan Domitian (tahun 81-96 M),
dan karena itu Kitab Wahyu pasti ditulis pada salah satu dari 2 pemerintahan
itu.
Pada umumnya
para penafsir berpendapat bahwa kitab Wahyu ditulis pada jaman kaisar Domitian,
yaitu pada sekitar tahun 95-96 M. Tetapi para ‘preterist’ (=
orang yang percaya bahwa hampir semua nubuat dalam Kitab Wahyu sudah digenapi
pada masa yang dekat dengan penulisan Kitab Wahyu itu), mengambil tahun 69 M,
persis sebelum tahun 70 M yang merupakan tahun kejatuhan Yerusalem, supaya
dengan demikian mereka bisa memasukkan kejatuhan Yerusalem sebagai salah satu
penggenapan kitab Wahyu.
2)
Argumentasi untuk tahun 69 M (jaman Nero):
a)
Bait Allah masih ada (Wah 11:1-2), padahal
Bait Allah dihancurkan pada tahun 70 M.
Keberatan:
ini menafsirkan bagian yang bersifat simbolis (yaitu Bait Allah) sebagai sesuatu
yang bersifat hurufiah.
b)
Wah 17:10 menyebutkan tentang 7 raja, 5
sudah jatuh, yang ke 6 masih ada, yang ke 7 belum datang. Nero memang adalah
kaisar yang ke 6.
c)
Nama Nero (Neron Kesar) cocok dengan bilangan
666 dalam Wah 13:18.
d)
Jika Yohanes menulis Injil Yohanes, Surat
Yohanes, dan Kitab Wahyu, maka perbedaan bahasa Yunani (Yunani yang bagus untuk
Injil Yohanes dan surat Yohanes; Yunani yang jelek untuk Kitab Wahyu),
menunjukkan adanya perbedaan waktu yang cukup lama. Jadi mungkin sekali ia
menulis Kitab Wahyu pada sekitar tahun 69 M, waktu kemampuan Yunaninya
masih rendah, dan lalu menulis Injil Yohanes dan surat Yohanes pada akhir abad
pertama, pada waktu bahasa Yunaninya sudah maju.
Untuk point d)
ini ada keberatan yang cukup serius, karena:
· ini
membuang kemungkinan adanya penulis / sekretaris pada waktu menulis Injil
Yohanes dan Surat Yohanes.
· sekalipun
bahasa Yunani yang digunakan dalam Kitab Wahyu mempunyai banyak ‘kesalahan’,
tetapi di atas telah kita lihat bahwa itu bukan bahasa Yunani dari seorang yang
baru belajar bahasa Yunani, tetapi ‘kesalahan’ yang disengaja karena adanya
maksud tertentu di balik ‘kesalahan-kesalahan’ itu.
· kalau
kesalahan bahasa Yunani itu betul-betul merupakan kesa-lahan, ini menghancurkan
doktrin inerrancy (= ketidakbersalahan) dari Alkitab.
3)
Argumentasi untuk tahun 96 M (jaman Domitian):
a)
Penganiayaan yang dilakukan oleh Nero hanya terjadi di kota Roma dan dalam waktu
relatif singkat, tetapi penganiayaan yang dilakukan oleh Domitian terjadi di
seluruh wilayah kekaisaran Romawi. Dalam Kitab Wahyu Yohanes menulis kepada
gereja-gereja, yang pada jaman ini terletak di Turki, yang cukup jauh dari Roma,
sehingga tidak mungkin terjadi pada jaman Nero.
b)
Binatang yang disembah (Wah 13:4,12,15 14:9,11 15:2 16:2
19:20 20:4) dianggap menunjuk kepada kaisar Romawi. Kaisar-kaisar lain
juga disembah, tetapi penyembahan itu tidak diperintahkan oleh si kaisar, dan
penyembahan itu tidak terlalu banyak. Tetapi pada jaman kaisar Domitian,
penyembahan itu diperintahkan oleh Domitian yang menganggap dirinya sendiri
sebagai allah, dan karena itu penyembahan itu tersebar luas.
c)
Tahun 69 M dianggap terlalu pagi untuk menyebabkan gereja-gereja memburuk
sampai taraf yang digambarkan dalam Kitab Wahyu.
· Gereja
Efesus sudah kehilangan kasih yang semula (Wah 2:4). Padahal pada waktu
Paulus menulis surat Efesus, yaitu pada sekitar tahun 62 M, ia memuji jemaat
Efesus atas kasih mereka (Ef 1:15).
Homer Hailey:
“It is true that this changed condition which developed between the time
of Paul’s letter and Jesus’ letter in Revelation could have evolved within a
decade, but it is not likely. However, by the time lapse of a generation or two
it could easily have happened” (= Adalah benar bahwa kondiri yang berubah
ini yang berkembang di antara saat surat Paulus dan surat Yesus dalam Kitab
Wahyu bisa berkembang dalam waktu 10 tahun, tetapi kemungkinannya kecil.
Tetapi setelah selang waktu satu atau dua generasi itu bisa dengan mudah
terjadi) - hal 33.
· Adanya
pengaruh ajaran Nikolaus di Efesus dan Pergamus (Wah 2:6,15), padahal ajaran ini
berkembang setelah jaman Paulus (Homer Hailey, hal 33).
· Gereja
Laodikia sudah menjadi gereja yang jelek yang suam-suam kuku, yang hanya
mendapatkan celaan, tetapi tidak mendapatkan pujian apapun dari Kristus (Wah 3:14-22).
Padahal pada saat Paulus menulis surat Kolose, kelihatannya gereja Laodikia
masih aktif, dan Paulus tidak memberikan kritikan apa-apa tentang mereka (Kol
4:13-16).
Homer Hailey:
“It would surely have required more than a decade for the church at
Laodicea to depart so completely from its earlier acceptable status that there
was nothing about it to be commended” (= Pasti dibutuhkan lebih dari 10
tahun sehingga gereja Laodikia bisa meninggalkan secara total status semula yang
bisa diterima sehingga di sana tidak ada apapun lagi untuk dipuji) - hal 34.
4)
Kesimpulan.
Sukar dikatakan
dengan pasti kapan penulisan Kitab Wahyu. Kedua kubu mempunyai argumentasinya
sendiri-sendiri. Sekalipun mayoritas penafsir menganggap Kitab Wahyu ditulis
pada tahun 95-96 M, tetapi pandangan yang mengatakan bahwa Kitab Wahyu ditulis
tahun 69 M tetap merupakan pandangan yang memungkinkan. Tetapi kalaupun
Kitab Wahyu ditulis pada tahun 69 M, yang berarti itu bukanlah kitab yang
ditulis paling akhir, Kitab Wahyu tetap merupakan yang terakhir ditinjau dari
sudut pemikiran / isinya.
Merrill C.
Tenney: “Irrespective of whether or
not it was the last in order to be written, it is final in its thought” (=
Terlepas dari apakah Kitab Wahyu adalah kitab yang ditulis paling akhir atau
tidak, Kitab Wahyu adalah yang terakhir dalam pemikiran) - ‘New
Testament Survey’, hal 383.
III) Haruskah
kita mempelajari Kitab Wahyu?
1)
Kitab Wahyu jelas merupakan Kitab yang sangat sukar, bahkan yang paling sukar
dalam seluruh Alkitab. Ini menyebabkan timbulnya bermacam-macam penafsiran
tentang Kitab Wahyu, yang berbeda satu sama lain, dan bahkan bertentangan satu
sama lain.
Dr. Knox
Chamblin mengutip kata-kata seorang yang bernama Childs:
“No
book within the New Testament exhibits such a wide range of disagreement in its
interpretation” (= Tidak ada kitab dalam
Perjanjian Baru yang menunjukkan ketidaksetujuan yang begitu lebar dalam
penafsirannya).
Ini menyebabkan
orang bingung pada waktu mempelajari Kitab Wahyu, dan bahkan dikatakan bahwa
pada waktu belajar Kitab Wahyu tidak seorangpun bisa yakin akan kebenaran
penafsiran yang ia anut / terima.
Herman
Hoeksema: “A satisfactory
exposition of the Book of Revelation is considered impossible by many. The book
is so full of symbols and allegories, and its true meaning is couched in such
mysterious language, that one can never feel sure that he has discovered its
real sense” (= Exposisi yang memuaskan tentang Kitab Wahyu dianggap
mustahil oleh banyak orang. Kitab itu begitu penuh dengan simbol-simbol dan
alegory-alegory, dan artinya yang benar dituliskan dalam bahasa yang begitu
misterius, sehingga seseorang tidak akan pernah bisa merasa yakin bahwa ia telah
menemukan artinya yang benar) - hal 1.
Steve Gregg
memberikan komentar atas sukarnya Kitab Wahyu dengan kata-kata sebagai berikut:
“Its
very name in the Greek New Testament is The Apocalypse, which means the
‘unveiling’ or ‘uncovering,’ though it has proved to be more of an
‘obscuring’ to many modern readers. Was it this difficult to the original
readers? We may never know, but it is likely that the original readers
understood it better and with less difficulty than we do. They shared the
author’s knowledge of the culture and of the kind of literature that
Revelation is. This knowledge is something that we, coming two thousand year
later, must learn through specialized study.”
(= Namanya dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani adalah The Apocalypse, yang
artinya adalah ‘penyingkapan’ atau ‘pembukaan’, sekalipun telah terbukti
bahwa kitab ini lebih merupakan ‘pengaburan’ bagi banyak pembaca modern.
Apakah kitab ini juga begitu sukar bagi pembaca orisinilnya? Kita mungkin tidak
akan pernah tahu, tetapi adalah mungkin bahwa pembaca orisinil mengerti lebih
baik dan dengan kesukaran yang lebih sedikit dari pada kita. Mereka sama-sama
mengetahui pengetahuan pengarang tentang kebudayaan dan tentang jenis literatur
dari Kitab Wahyu. Pengetahuan ini adalah sesuatu yang kita, yang baru muncul
2000 tahun setelahnya, harus mempelajarinya melalui pelajaran khusus)
- ‘Revelation: Four Views: A Parallel Commentary’, hal 4.
2)
Mengingat akan hal di atas (yaitu sukarnya Kitab Wahyu), haruskah / perlukah
orang kristen mempelajari Kitab Wahyu? Apakah mempelajari Kitab Wahyu tidak
identik dengan membuang waktu, tenaga dan pikiran, karena kita toh tidak akan
bisa mengertinya? Jawabannya jelas adalah ‘Kita perlu dan bahkan harus
mempelajari Kitab Wahyu’. Mengapa?
a)
Karena Kitab Wahyu termasuk dalam Kitab Suci, dan karena itu Kitab Wahyu adalah
Firman Allah. Kalau Kitab Wahyu termasuk dalam Kitab Suci / Firman Allah, maka
tentu saja Kitab itu harus dipelajari! Bdk. Kis 20:20,27 dan Mat 5:19
yang mengatakan bahwa Firman Tuhan harus diajarkan semuanya.
b)
Kitab Wahyu ini merupakan satu-satunya Kitab dalam Kitab Suci yang memberikan
janji berkat kepada yang membaca dan mentaatinya. Memang jelas bahwa orang yang
membaca / mempelajari dan mentaati bagian manapun dari Kitab Suci akan
diberkati. Tetapi Kitab Wahyu memberikan janji berkat khusus bagi orang yang
membaca / mempelajari dan mentaati kitab ini.
Janji itu ada
dalam Wah 1:3 yang berbunyi: “Berbahagialah ia yang membacakan dan
mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada
tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat”.
Dan pada akhir
Kitab Wahyu kembali diberi janji semacam itu, yang ada dalam Wah 22:7, yang
berbunyi: “Sesungguhnya Aku datang segera. Berbahagialah orang yang
menuruti perkataan-perkataan nubuat kitab ini!”
Janji ini
memberikan kepastian bahwa sekalipun kita mungkin tidak bisa mengerti
sepenuhnya, tetapi kita pasti bisa mengerti secukupnya untuk bisa mentaatinya
dan mendapatkan berkat yang dijanjikan itu.
Herman
Hoeksema: “It may not be possible
to satisfy the spirit of curiosity in which many approach this last book of Holy
Writ; but one may surely so understand the ‘meaning of the Spirit’ that he
receives the blessing which is here promised” (= Mungkin tidak mungkin
untuk memuaskan roh keingin-tahuan dalam mana banyak orang mendekati kitab yang
terakhir dari Kitab Suci ini; tetapi seseorang pasti bisa mengerti ‘arti dari
Roh’ sedemikian rupa sehingga ia menerima berkat yang dijanjikan di sini)
- hal 2.
Karena itu
dalam mempelajari Kitab Wahyu ini berharaplah bahwa berkat itu akan
saudara terima.
3)
Tetapi tentu saja untuk orang yang masih bayi secara rohani, tidak dianjurkan
untuk langsung mempelajari Kitab Wahyu. Mengapa?
a)
Karena bayi membutuhkan susu bukan makanan
keras (1Kor 3:1-2 Ibr 5:11-14)!
b)
Dalam Hermeneutics (= ilmu penafsiran Kitab
Suci) berlaku suatu prinsip yang didasarkan pada akal sehat, dimana ayat-ayat
mudah / jelas harus dipakai untuk menafsirkan ayat-ayat sukar / tidak jelas.
Jadi, kalau seseorang sudah banyak belajar Kitab Suci, dan sudah mempunyai
pengertian yang baik tentang bagian-bagian yang mudah / jelas dari Kitab Suci,
maka barulah ia boleh mempelajari Kitab Wahyu, sehingga ia bisa menggunakan
pengertiannya terhadap ayat-ayat mudah / jelas itu untuk menjadi pembimbing /
pengarah dalam menafsirkan Kitab Wahyu. Tetapi untuk orang yang belum mengerti
apa-apa tentang Kitab Suci, ia tidak mempunyai bekal apapun untuk mengecheck
penafsiran Kitab Wahyu.
4)
Sukarnya Kitab Wahyu ini juga menyebabkan kita harus mempelajarinya dengan:
a)
Sikap hati-hati.
Dr. Knox
Chamblin mengatakan bahwa Luther berkata: “Christ is not honored in
Revelation” (= Kristus tidak dihormati dalam Kitab Wahyu).
William Barclay
mengatakan bahwa Luther, dan juga Zwingli, menolak Kitab Wahyu.
William
Barclay: “Luther would have denied
the Revelation a place in The New Testament. Along with James, Jude, Second
Peter and Hebrews he relegated it to a separate list at the end of his New
Testament. He declared that in it there are only images and visions such as are
found nowhere else in the Bible. He complained that, notwithstanding the
obscurity of his writing, the writer had the boldness to add threats and
promises for those who kept or disobeyed his words, unintelligible though they
were. In it, said Luther, Christ is neither taught nor acknowledged; and the
inspiration of the Holy Spirit is not perceptible in it. Zwingli is equally
hostile to the Revelation. ‘With the Apocalypse,’ he writes, ‘we have no
concern, for it is not a biblical book. ... The Apocalypse has no savour of the
mouth or the mind of John. I can, if I so will, reject its testimonies’”
(= Luther menolak untuk memberi tempat bagi Kitab Wahyu dalam Perjanjian Baru.
Bersama dengan Yakobus, Yudas, 2Petrus dan Ibrani, ia menurunkan / mengasingkan
Kitab Wahyu kepada suatu daftar yang terpisah pada akhir dari Perjanjian
Barunya. Ia menyatakan bahwa dalam Kitab Wahyu hanya terdapat gambar-gambar dan
penglihatan-penglihatan yang tidak pernah ditemukan dalam bagian lain dari
Alkitab. Ia mengeluh bahwa sekalipun tulisannya begitu kabur / tidak jelas
artinya, tetapi penulisnya mempunyai keberanian untuk menambahkan
ancaman-ancaman dan janji-janji untuk mereka yang memelihara atau tidak mentaati
kata-katanya, padahal kata-katanya itu tidak bisa dimengerti. Dalam Kitab Wahyu,
kata Luther, Kristus tidak diajarkan ataupun diakui; dan pengilhaman Roh Kudus
tidak nampak / tidak jelas dalam Kitab Wahyu. Zwingli sama bermusuhannya dengan
Kitab Wahyu. ‘Dengan Kitab Wahyu’, tulisnya, ‘kami tidak mempunyai
perhatian, karena itu bukan kitab yang alkitabiah. ... Kitab Wahyu tidak
mempunyai rasa / bau dari mulut atau pikiran Yohanes. Saya dapat, jika saya mau,
menolak kesaksiannya’) - hal 1.
Blunder seperti
itu bisa terjadi karena tidak hati-hati! Jadi, sekalipun ada janji berkat dalam
Wah 1:3 dan Wah 22:7, tetapi jangan mem-pelajari secara tergesa-gesa /
gegabah!
Dr. Knox
Chamblin: “sometimes fools rush in
where angels fear to trod” (= kadang-kadang orang-orang tolol buru-buru
masuk dimana malaikat takut untuk menginjak).
b)
Banyak berdoa dan bersandar kepada Roh Kudus.
IV) Thema /
tujuan Kitab Wahyu.
Tujuan utama
Kitab Wahyu adalah menghibur orang kristen / gereja dalam pergumulannya melawan
kekuatan kejahatan. Kitab ini penuh dengan pertolongan dan penghiburan bagi
orang kristen yang dianiaya dan menderita karena Kristus / Injil / kebenaran.
Dr. Knox
Chamblin: “It is written to offer
comfort and hope to beleaguered, oppressed Christians in the latter part of the
first century. One reason there is so much speculation about Revelation in
America is that most elements of our population have never entered existentially
into the condition of its original recipients. Someone in Romania is more likely
to enter into the heart of Revelation than we can. It is designed especially for
the suffering people of God” [= Ini (Kitab Wahyu) ditulis untuk menawarkan
penghiburan dan pengharapan kepada orang-orang Kristen yang terkepung dan
tertindas pada bagian akhir dari abad pertama. Satu alasan yang menyebabkan
begitu banyak spekulasi tentang Kitab Wahyu di Amerika adalah bahwa sebagian
besar dari penduduk kita belum pernah masuk dalam kondisi dari penerima orisinil
Kitab Wahyu. Seseorang di Rumania lebih mungkin masuk dalam hati dari Kitab
Wahyu dari pada kita. Kitab Wahyu direncanakan khusus untuk umat Allah yang
menderita].
Penerapan:
Karena itu,
kalau saudara selama ini tidak serius dalam mengikut Tuhan, baik dalam ketaatan
maupun pelayanan, dan karenanya boleh dikatakan tidak pernah menderita bagi
Tuhan, jangan terlalu heran kalau saudara tidak akan terlalu menerima berkat
dari Kitab Wahyu ini!
Penghiburan
dalam Kitab Wahyu ini diberikan dengan menyatakan beberapa hal:
1)
‘Fakta’ dan ‘kelihatannya’ sering bertentangan.
Leon Morris
(Tyndale): “This peep behind the
scenes brings to John’s readers a glimpse of the realities of power. Real
power rests with Christ, the Lion. The appearances may be against it for the
present. But ultimate reality is not dependent on present appearances” (=
Intipan di belakang pemandangan ini membawa kepada pembaca-pembaca Yohanes
penglihatan sekilas tentang kenyataan tentang kuasa. Kuasa yang sejati ada pada
Kristus, sang Singa. Kelihatannya bisa bertentangan dengan itu untuk saat ini.
Tetapi kenyataan terakhir tidak tergantung pada kelihatannya pada saat ini)
- hal 21.
William
Hendriksen: “The Apocalypse is
meant to show us that things are not what they seem. The beast that comes up out
of the abyss seems to be victorious ... (11:7-10). ... Throughout the prophecies
of this wonderful book Christ is pictured as the Victor, the Conqueror (1:18;
2:8; 5:9ff; 6:2; 11:15; 12:9ff; 14:1,14; 15:2ff; 19:16; 20:4; 22:3). He conquers
death, Hades, the dragon, the beast, the false prophet, and the men who worship
the beast. He is victorious; as a result, so are we, even when we seem to be
hopelessly defeated” [= Kitab Wahyu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
hal-hal tidaklah seperti kelihatannya. Binatang yang keluar dari jurang maut
kelihatannya menang ... (11:7-10). ... Melalui nubuat-nubuat dari kitab yang
indah / luar biasa ini, Kristus digambarkan sebagai Sang Pemenang, Sang Penakluk
(1:18; 2:8; 5:9-dst; 6:2; 11:15; 12:9-dst; 14:1,14; 15:2-dst; 19:16; 20:4;
22:3). Ia mengalahkan kematian, Hades / kerajaan maut, naga, binatang, nabi
palsu, dan orang-orang yang menyembah binatang. Ia menang, dan sebagai
akibatnya, begitu juga dengan kita, bahkan pada waktu kita kelihatannya
dikalahkan tanpa harapan] - hal 8.
2)
Melalui semua hal-hal yang kelihatannya kacau balau, Allah melaksanakan
rencanaNya.
Leon Morris
(Tyndale): “When one has due regard
to all the facts it becomes plain that earthly potentates do nothing but fulfil
the plan mapped out for them by God. They never manage to thwart Him. In vision
after vision the truth is emphasized that God is supreme and that He brings His
purposes to pass in the affairs of men” (= Pada waktu seseorang mempunyai
hormat yang seharusnya terhadap semua fakta-fakta, maka menjadi jelas bahwa
raja-raja duniawi tidak melakukan apapun kecuali menggenapi rencana yang
direncanakan untuk mereka oleh Allah. Mereka tidak pernah berhasil menggagalkan
/ menghalangiNya. Dalam penglihatan demi penglihatan kebenaran ditekankan bahwa
Allah adalah yang tertinggi dan bahwa Ia melaksanakan rencanaNya dalam
urusan-urusan manusia) - hal 21.
Pandangan
Arminian, yang mengatakan bahwa Rencana Allah bisa gagal, sama sekali tidak
cocok dengan seluruh Kitab Wahyu.
3)
Dalam peperangan antara Allah / Kristus / Gereja / kebenaran melawan Setan /
dunia / kejahatan, pada akhirnya Allah / Kristus / Gereja / kebenaran akan
menang, dan bahkan terlihat secara nyata kemenangannya.
a)
Seluruh Kitab Wahyu dipenuhi dengan peperangan rohani ini.
William
Hendriksen membagi seluruh kitab Wahyu dari 2 grup, yaitu Wah 1-11 dan Wah
12-22, dan ia lalu berkata:
“In the
first group (chapters 1-11) we see the struggle among men, that is, between
believers and unbelievers. ... In the second group of visions (chapters 12-22)
we are shown that this struggle on earth has a deeper background. It is the
outward manifestation of the devil’s attack upon the Man-child. ... In the
first of these two major divisions (1-11) we see the surface: the Church
persecuted by the world. In the second we see the underlying conflict between
the Christ and the dragon (Satan)” [=
Dalam grup pertama (pasal 1-11) kita melihat pergumulan di antara manusia, yaitu
antara orang yang percaya dan orang yang tidak percaya. ... Dalam grup kedua
dari penglihatan-penglihatan itu (pasal 12-22) kita ditunjukkan bahwa pergumulan
di bumi ini mempunyai latar belakang yang lebih dalam. Itu adalah manifestasi
lahiriah dari serangan setan terhadap sang Anak laki-laki. ... Dalam bagian
pertama dari 2 pembagian utama / besar itu (1-11) kita melihat permukaannya:
Gereja dianiaya oleh dunia. Dalam bagian yang kedua kita melihat konflik yang
mendasari antara Kristus dan naga (Setan)]
- hal 22.
b)
Pada akhirnya Allah / Kristus / Gereja / kebenaran akan menang, dan bahkan
terlihat secara nyata kemenangannya.
Homer Hailey:
“The grand theme of Revelation is that of war and conflict between good
and evil resulting in victory for the righteous and defeat for the wicked”
(= Thema besar / agung dari Kitab Wahyu adalah tentang perang dan konflik antara
baik dan jahat yang berakhir dengan kemenangan untuk orang benar dan kekalahan
untuk orang jahat) - hal 51.
V)
Metode-metode penafsiran Kitab Wahyu.
1)
The historical method (metode historis / sejarah).
a)
Pandangan / metodenya.
Metode ini
beranggapan bahwa penglihatan-penglihatan dalam kitab ini menunjuk kepada
sejarah dalam Perjanjian Baru, mulai jaman rasul-rasul sampai akhir jaman. Dan
mereka selalu memberikan penggenapan-penggenapan yang specific / tertentu
terhadap nubuat-nubuat atau penglihatan-penglihatan dalam Kitab Wahyu. Jadi
penglihatan / nubuat itu dianggap digenapi oleh suatu peristiwa atau orang
tertentu.
Misalnya:
binatang yang keluar dari dalam bumi (Wah 13:11) dianggap sebagai kepausan
gereja Roma Katolik.
b)
Para penganutnya.
George Eldon
Ladd mengatakan bahwa pandangan ini dianut oleh para tokoh Reformasi.
Orang-orang
yang menganut metode historis: John Wycliffe, John Knox, William Tyndale, Martin
Luther, John Calvin, Ulrich Zwingli, Philip Melanchthon, Sir Isaac Newton, Jan
Huss, John Foxe, John Wesley, Jonathan Edwards, George Whitefield, Charles
Finney, C. H. Spurgeon, Matthew Henry, Adam Clarke, Albert Barnes.
Tetapi jaman
sekarang jarang sekali ada penafsir yang menganut pandangan ini.
c)
Serangan / kritik terhadap pandangan ini.
1.
Kitab Wahyu menjadi tidak / kurang relevan bagi penerima orisinil Kitab Wahyu
ini.
2.
Tidak ada kesesuaian pendapat dalam golongan ini.
Misalnya
seseorang mengartikan nubuat / penglihatan tertentu sebagai A, tetapi yang lain
mengartikan sebagai B.
Steve Gregg:
“One of the weaknesses of the historicist approach is seen in the
inability of its advocates to agree upon the specific fulfillments of the
prophecies. Moses Stuart (preterist) charged that ‘Hitherto, scarcely any two
original and independent (historicist) expositors have been agreed, in respect
to some points very important to their bearing upon the interpretation of the
book.’ ... If the prophecies’ meanings cannot be identified with certainty,
even after their fulfillments, the value of the prophecies to the readers of any
period, whether before or following the fulfillments, is in serious question”
[= Salah satu dari kelemahan dari pendekatan historis terlihat dari
ketidakmampuan dari para pendukungnya untuk bersepakat tentang penggenapan
specific / tertentu dari nubuat-nubuat. Moses Stuart (preterist) menuduh bahwa
‘Sampai saat ini hampir tidak ada 2 penafsir orisinil dan independen yang
sepakat berkenaan dengan beberapa hal yang sangat penting terhadap sikap mereka
dalam menafsirkan kitab ini’. ... Jika arti dari nubuat-nubuat itu tidak bisa
ditentukan dengan pasti, bahkan setelah penggenapannya terjadi, maka nilai dari
nubuat itu bagi para pembacanya dari jaman manapun, baik sebelum atau setelah
penggenapannya, sangat dipertanyakan] - ‘Revelation: Four Views’,
hal 36-37.
James B.
Ramsey, yang kelihatannya menganut spiritual method / metode rohani,
menentang metode historis karena alasan yang sama, dan ia berpendapat bahwa
metode historis yang menafsirkan bahwa setiap bagian nubuat dalam Kitab Wahyu
menunjuk kepada satu event / orang tertentu, menyebabkan adanya banyak pendapat,
karena yang satu mengatakan bahwa simbol itu menunjuk kepada A sedangkan yang
lain mengatakan simbol itu menunjuk kepada B, dsb. Banyak pendapat ini akhirnya
menyebabkan orang malas mempelajari kitab Wahyu ini, karena menganggap toh tidak
akan bisa mendapatkan penafsiran yang benar (hal 28-29).
James B.
Ramsey: “Perhaps nothing so much as
this has tended to increase the apparent obscurity, and to lessen the spiritual
influence of this book, and the blessedness here promised” [= Mungkin
tidak ada yang lebih dari ini (maksudnya metode historis) yang begitu cenderung
mengaburkan, dan mengurangi pengaruh rohani dari kitab ini dan berkat yang
dijanjikan di sini] - hal 29.
3.
Pandangan ini terlalu sempit / picik, karena penggenapan nubuat Kitab Wahyu
selalu hanya diarahkan kepada gereja di Eropah pada jaman Reformasi, dan tidak
memperhitungkan gereja-gereja lain di tempat yang berbeda dan pada jaman yang
berbeda.
Steve Gregg:
“Another criticism of historicism has been that it is too flexible in
the service of its advocates, allowing most of them to identify their own times
as the culmination of history. Walvoord (futurist) criticizes historicism on
these very grounds, saying ‘its adherents have succumbed to the tendency to
interpret the book in some sense climaxing in their generation.’
Historicism is criticized as being too parochial, failing to take the
development of the church throughout the world into consideration. Tenney
(futurist) has made this observation: The Historicist view which attempts to
interpret the Apocalypse by the development of the church in the last nineteen
centuries, seldom if ever takes cognizance of the church outside Europe. It is
concerned mainly with the period of the Middle Ages and the Reformation and has
relatively little to say of developments after A.D. 1500.” (= Kritik yang
lain terhadap metode historis adalah bahwa bahwa metode ini terlalu flexibel
dalam melayani para pendukungnya, mengijinkan kebanyakan dari mereka untuk
mengenali jaman mereka sendiri sebagai puncak dari sejarah. Walvoord (futurist)
mengkritik metode historis berdasarkan hal ini, dengan berkata: ‘para
pengikutnya menyerah pada kecenderungan untuk menafsirkan kitab ini dalam arti
tertentu mencapai klimaxnya dalam generasi mereka’. Metode historis ini
dikritik sebagai terlalu berpandangan sempit / picik, dan tidak mempertimbangkan
perkembangan gereja di seluruh dunia. Tenney (futurist) membuat pengamatan ini:
Pandangan historis yang mencoba untuk menafsirkan kitab Wahyu menurut
perkembangan gereja dalam 19 abad yang terakhir, jarang, dan mungkin tidak
pernah, memperhatikan gereja di luar Eropah. Pandangan ini sebagian besar hanya
memperhatikan jaman Abad Pertengahan dan Reformasi, dan secara relatif hanya
berbicara sedikit tentang perkembangan setelah tahun 1500 M) - ‘Revelation:
Four Views’, hal 37.
2)
The preterist method (metode preteris / lampau).
a)
Pandangan / metodenya.
Kata preterist
berasal dari kata bahasa Latin ‘PRAETER’, yang berarti ‘past /
lampau’.
Penganut metode
Preteris ini sangat memperhatikan kata-kata:
· ‘apa
yang harus segera terjadi’ (Wah 1:1).
· ‘waktunya
sudah dekat’ (Wah 1:3).
· ‘apa
yang harus segera terjadi’ (Wah 22:6).
· ‘Aku
datang segera’ (Wah 22:7).
Ini menyebabkan
mereka lalu berpendapat bahwa seluruh / mayoritas nubuat dalam Kitab Wahyu sudah
digenapi pada masa lalu, tidak lama setelah jaman rasul Yohanes sendiri,
khususnya dalam kejatuhan kekaisaran Romawi. Sebagian preterist mengecualikan
pasal-pasal terakhir dari Kitab Wahyu dan mereka berpendapat bahwa pasal-pasal
terakhir ini melihat ke depan pada kedatangan Kristus yang kedua. Tetapi
sebagian yang lain berpendapat bahwa seluruh Kitab Wahyu (tanpa kecuali) sudah
terjadi.
Steve Gregg:
“Some preterists believe that the book of Revelation looks no further
into the future than the Jewish holocaust in A.D. 70. Others, however, believe
that the first half of Revelation describes the fall of Jerusalem, the second
half predicts the fall of the Roman Empire, and the final chapters describe the
second coming of Christ” (= Sebagian preterist percaya bahwa kitab Wahyu
memandang ke masa depan tidak lebih jauh dari bencana Yahudi pada tahun 70 M.
Tetapi para preterist yang lain percaya bahwa setengah yang pertama dari kitab
Wahyu menggambarkan kejatuhan Yerusalem, sedangkan sisanya meramalkan kejatuhan
kekaisaran Romawi, dan pasal-pasal yang terakhir menggambarkan kedatangan
Kristus yang keduakalinya) - ‘Revelation: Four Views’, hal 39.
b)
Penganut metode ini.
Gereja Roma
Katolik senang dengan pandangan / metode ini, karena metode ini menjadi perisai
bagi mereka terhadap serangan para tokoh Reformasi yang menganut metode
historis.
A. T.
Robertson: “Roman Catholic scholars
have been fond of the preterist view to escape the Protestant interpretation of
the second beast in chapter 13 as papal Rome” (= Para ahli theologia Roma
Katolik senang dengan pandangan preterist untuk menghindari penafsiran Protestan
tentang binatang yang kedua dalam pasal ke 13 sebagai kepausan Roma) - hal
277.
Tetapi tentu
saja bukan hanya Gereja Roma Katolik saja yang menerima metode ini.
c)
Positifnya pandangan ini.
· Metode
ini membuat Kitab Wahyu relevan bagi penerima orisinil Kitab Wahyu ini.
· kata-kata
‘apa yang harus segera terjadi’ (1:1 bdk. 1:3 22:6) bisa
diartikan secara hurufiah dan tidak perlu dicari-carikan arti lain.
d)
Serangan / kritik terhadap pandangan ini.
· Metode
ini membuat Kitab Wahyu tidak terlalu berguna untuk orang kristen yang hidup
setelah jaman penerima orisinil dari Kitab Wahyu.
Leon Morris
(Tyndale): “this view has the merit
of making the book exceedingly meaningful for the people to whom it was written.
And it has the demerit of making it meaningless (except for the information it
gives about that early generation) for all subsequent readers” [=
pandangan ini mempunyai kebaikan dalam membuat kitab ini sangat berarti untuk
orang-orang kepada siapa kitab itu ditulis (pembaca orisinil). Dan pandangan ini
mempunyai kejelekan dalam membuat kitab itu tidak mempunyai arti (kecuali
memberikan informasi tentang generasi yang lebih awal) untuk semua pembaca yang
hidup setelah para pembaca orisinil] - hal 16.
· pandangan
ini sangat bersandar pada penulisan kitab Wahyu sebelum 70 M, padahal ini adalah
suatu hal yang diperdebatkan.
· asal
mula dari Preterist adalah dari kalangan Roma Katolik, seba-gai reaksi terhadap
serangan Protestan / para tokoh Reformasi.
Steve Gregg:
“preterism is said to share similar disreputable origins with futurism
..., with both of them being Roman Catholics responses to Protestantism”
(= metode preteris dikatakan mempunyai asal usul yang sama jeleknya dengan
metode futurist ..., karena keduanya merupakan tanggapan Roma Katolik terhadap
Protestan) - ‘Revelation: Four Views’, hal 39.
Tetapi dalam
hal ini Steve Gregg membela metode Preteris, dan mengatakan bahwa metode /
pandangan ini sudah ada jauh sebelum jaman Reformasi, dan karena itu asal
usulnya bukan dari Roma Katolik.
3)
The futurist method (metode futuris / akan datang).
a)
Pandangan / metodenya.
Seluruh /
mayoritas isi Kitab Wahyu (ada yang mengecualikan pasal-pasal permulaan)
menunjuk pada masa depan yang jauh, sesaat sebelum Kristus datang kembali.
Berbeda dengan
metode historis dan preteris, metode futuris tidak bisa ditest dari sejarah,
karena apa yang mereka nubuatkan melalui Kitab Wahyu semuanya belum terjadi,
misalnya tentang Rapture / Pengangkatan orang suci (Steve Gregg, hal 43).
b)
Penganut metode / pandangan futuris ini.
Sebetulnya
Futuris terbagi 2 golongan, yaitu:
· Futurist
yang moderat.
George Eldon
Ladd termasuk penganut pandangan moderat ini.
· Futurist
yang extrim.
Ini merupakan
pandangan dari Dispensationalisme, yaitu pandangan yang percaya terhadap 2 macam
kedatangan Kristus yang kedua, yaitu kedatangan di awan-awan untuk menjemput /
mengangkat orang-orang suci (Rapture), dan kedatangan bersama dengan
orang-orang suci.
Kata-kata ‘naiklah
ke mari’ dalam Wah 4:1 dijadikan dasar dari Rapture /
pengangkatan orang-orang suci.
Futuris
golongan kedua ini sangat mendominasi dan merupakan pandangan yang paling
populer pada jaman ini, dan merupakan pandangan dari J. N. Darby, C. I.
Scofield, Clarence Larkin, Charles Ryrie, John Walvoord, Hal Lindsey, dsb.
c)
Ciri khas metode / pandangan ini.
· Kitab
Wahyu dianggap bersifat khronologis.
Steve Gregg:
“Futurists, like historicists, often understand Revelation to be
chronologically continuous, though some futurists see two parallel sections of
Revelation (chapters 4-11 and chapters 12-19), both of which describe a future
time of tribulation” [= Futurist, seperti historist, sering mengerti kitab
Wahyu sebagai terus menerus bersifat khronologis, sekalipun sebagian futurist
melihat 2 bagian yang paralel dalam kitab Wahyu (pasal 4-11 dan pasal 12-19),
yang sama-sama menggambarkan masa penganiayaan yang akan datang] - ‘Revelation:
Four Views’, hal 40.
· penafsiran
yang hurufiah dari Kitab Wahyu.
Steve Gregg:
“Belief in the futurist approach frees the reader to take a more literal
view of the visions, reducing the difficulties of interpreting the symbols. Of
the various approaches to Revelation, the futurist is most likely to take a
literal interpretation, since it alone has the luxury of doing so. For example,
there has never been a time in the past when a third of the sea turned to blood,
killing a third of the fish and sinking a third of the ships (Revelation 16). If
this is to have a literal fulfillment, it must still be in the future. Other
approaches must take the passage nonliterally. The same is true of other events
anticipated in the chapters of Revelation, such as hailstone of a hundred pounds
weight, locusts that sting like scorpions, two prophets who die in Jerusalem and
rise again in three and a half days only to be publicly translated into the
heavens for all to see, a mandatory mark applied to the forehead or right hand
of every noncompliant citizen, etc. Henry Morris makes this point: It is
inevitable that literalistic expositors of Revelation will be primarily
futurists since practically none of the events of Revelation 4-22 have yet taken
place in any literal sense.” [= Kepercayaan terhadap pendekatan futuris
memberikan pembaca kebebasan untuk mengambil pandangan yang lebih hurufiah
tentang penglihatan-penglihatan itu, mengurangi kesukaran dari penafsiran
simbol-simbol itu. Dari bermacam-macam pendekatan kepada kitab Wahyu, futuris
adalah yang paling mungkin mengambil penafsiran hurufiah, karena hanya metode
itu saja yang bisa melakukannya (?). Sebagai contoh, tidak pernah ada saat dalam
masa lampau dimana 1/3 dari laut menjadi darah, pembunuhan 1/3 dari ikan-ikan
dan penenggelaman 1/3 dari kapal-kapal (Wah 16). Jika ini harus mempunyai
penggenapan hurufiah, maka penggenapannya pasti ada di masa yang akan datang.
Pendekatan-pendekatan yang lain harus menganggap bagian itu sebagai tidak
bersifat hurufiah. Hal ini juga berlaku untuk peristiwa / kejadian lain yang
diantisipasi oleh kitab Wahyu, seperti hujan es dengan berat 100 pounds,
belalang yang menyengat seperti kalajengking, 2 nabi yang mati di Yerusalem dan
bangkit kembali dalam 3 1/2 hari hanya untuk diangkat ke surga untuk dilihat
semua orang, pemberian tanda pada dahi atau tangan kepada setiap orang yang
tidak tunduk, dsb. Henry Morris menyatakan hal ini: Tidak bisa dihindarkan bahwa
penafsir-penafsir hurufiah dari kitab Wahyu pada umumnya adalah futurist karena
secara praktis tidak ada dalam peristiwa-peristiwa dari Wah 4-22 yang telah
terjadi dalam arti hurufiah] - ‘Revelation: Four Views’, hal
40-41.
Catatan:
Mungkin ‘Wah 16’ dalam kutipan di atas lebih baik diganti dengan ‘Wah
8:8-9’, kecuali kalau kedua bagian itu dianggap paralel.
d)
Serangan / kritik terhadap futurist.
· Kata-kata
‘apa yang harus segera terjadi’ (Wah 1:1), ‘waktunya sudah
dekat’ (Wah 1:3), ‘apa yang harus segera terjadi’ (Wah 22:6)
sukar disesuaikan dengan metode futuris.
· Ini
menyebabkan Kitab ini menjadi tidak mempunyai arti / tidak relevan untuk
penerima surat orisinil, bahkan juga tidak mempunyai arti / tidak relevan juga
untuk generasi-generasi selanjutnya, dan hanya berguna untuk generasi orang
kristen sesaat sebelum kedatangan Kristus keduakalinya. Bagi generasi-generasi
selain generasi terakhir ini, Kitab Wahyu sangat sedikit artinya, mungkin hanya
menunjukkan bahwa Allah mempunyai rencana.
Steve Gregg:
“If we go along with the dispensational interpreters in finding the
Rapture of the church at Revelation 4:1, then the book becomes largely
irrelevant, not only to the original readers, but also to all Christians of any
age. This is because the church will be in heaven before the majority of the
prophecies begin to unfold, neither experiencing nor witnessing their
fulfillment. This leaves it far from obvious why Christians should take an
interest in such events, or why God wished to reveal them” (= Jika kita
setuju dengan para penafsir dispensationalis dengan menganggap bahwa
Pengangkatan / Rapture dari gereja terjadi pada Wah 4:1, maka sebagian
besar kitab ini menjadi tidak relevan, bukan hanya bagi pembaca orisinil, tetapi
juga bagi semua orang kristen dalam jaman manapun. Ini disebabkan karena gereja
akan ada di surga sebelum mayoritas dari nubuat-nubuat itu mulai dibukakan, dan
tidak mengalami maupun menyaksikan penggenapan nubuat-nubuat itu. Ini membuat
sangat tidak jelas mengapa orang kristen harus memperhatikan peristiwa-peristiwa
seperti itu, atau mengapa Allah ingin menyatakannya) - ‘Revelation:
Four Views’, hal 42.
· Sifat
khronologis dari Kitab Wahyu sukar dipertahankan.
Steve Gregg:
“There is no reason to insist on a strictly chronological sequence to
the unfolding of events predicted in Revelation, though some approaches have a
tendency to assume such a sequence. ... A certain amount of parallelism is to be
observed in Revelation, regardless of which of the four approaches one takes.
That is, some portion double back to cover the same ground as was covered in
previous sections. Scholars do not agree as to how many parallel sections are
present” (= Tidak ada alasan untuk berkeras pada urut-urutan kronologis
yang ketat terhadap dibukanya peristiwa-peristiwa yang diramalkan dalam Kitab
Wahyu, sekalipun beberapa pendekatan mempunyai kecenderungan untuk beranggapan
adanya urut-urutan seperti itu. ... Sejumlah bagian paralel tertentu harus
diperhatikan dalam Kitab Wahyu, tak peduli yang mana dari 4 pendekatan yang ia
ambil. Yaitu, beberapa bagian mengulangi hal yang sama yang telah diliput dalam
bagian sebelum-nya. Para penafsir tidak sependapat berkenaan dengan berapa
jumlah bagian paralel yang ada) - ‘Revelation: Four Views: A Parallel
Commentary’, hal 18-19.
· Penafsiran
hurufiah mereka sering tidak dilakukan dengan konsisten, dimana mereka sering
‘membaca terlalu dalam ke dalam text’, dan bahkan kadang-kadang terpaksa
mengakui bahwa penafsiran harus dilakukan secara simbolis.
Steve Gregg:
“The futurist believes that Revelation 20 describes a period of
world peace and justice with Christ reigning on earth from Jerusalem, though no
part of this description can be found in the chapter itself, taken literally.
This observation does not mean that this futurist scenario cannot be true. But
it must be derived by reading into the passages in Revelation features that are
not plainly stated. Dispensationalists themselves often must admit to the
necessity of recognizing some symbolism in Revelation, all the while clinging as
much as possible to the literal hermeneutic that is their boast in contrast to
most other theological systems” (= Futurist percaya bahwa Wah 20
menggambarkan masa dunia yang damai dan adil dengan Kristus memerintah di dunia
dari Yerusalem, sekalipun tidak ada bagian dari penggambaran ini bisa ditemukan
dalam pasal itu sendiri, diartikan secara hurufiah. Pengamatan ini tidak berarti
bahwa skenario futurist ini tidak mungkin benar. Tetapi itu harus didapatkan
dengan membaca ke dalam bagian kitab Wahyu itu hal-hal yang tidak ditulis /
dinyatakan secara jelas / nyata. Para penganut Dispensationalis sering harus
mengakui keharusan untuk mengenali beberapa simbol dalam Kitab Wahyu, sementara
tetap berpegang seerat mungkin pada hermeneutic hurufiah yang merupakan
kebanggaan mereka, bertentangan dengan kebanyakan sistim theologia yang lain)
- ‘Revelation: Four Views’, hal 41.
· Sama
seperti Preteris, Futuris juga diserang dalam persoalan asal usul, karena
Futuris juga dianggap berasal usul dari kalangan gereja Roma Katolik, sebagai
reaksi atas serangan Protestan / para tokoh Reformasi terhadap Roma Katolik.
Steve Gregg:
“Francisco Ribeira, a Spanish Jesuit, is known to have originated this
approach to Revelation in 1585 for the purpose of refuting the historicist view,
and the Reformers’ insistence that the ‘beast’ was the papacy. Ribeira
taught that the ‘Antichrist’ had not yet come and would be an individual
arising ‘in the last days.’ Protestants rejected this view for over 200
years, but it was finally introduced in Protestant circles by Samuel Maitland in
1827 and popularized in the works of J. N. Darby, the founder of
dispensationalism, beginning in 1830” (= Francisco Ribeira, seorang Jesuit
Spanyol, diketahui memulai pendekatan Kitab Wahyu ini dalam tahun 1585 dengan
tujuan untuk menentang pandangan historis, dan desakan para tokoh Reformasi
bahwa sang ‘binatang’ itu adalah kepausan. Ribeira mengajar bahwa sang
Anti-Kristus belum datang dan akan merupakan seorang individu yang muncul
‘pada hari-hari terakhir’. Protestan menolak pandangan ini selama lebih dari
200 tahun, tetapi pandangan itu akhirnya dimasukkan / diajukan dalam lingkungan
Protestan oleh Samuel Maitland dalam tahun 1827 dan dipopulerkan dalam pekerjaan
J. N. Darby, pendiri dari Dispensationalisme, dimulai pada tahun 1830) - ‘Revelation:
Four Views’, hal 42.
4)
The spiritual method (metode spiritual / rohani).
a)
Nama lain untuk metode ini.
Metode ini juga
disebut dengan istilah ‘idealist method’ (= metode idealis) atau ‘symbolical
method’ (= metode simbolis).
b)
Metode / pandangannya.
Nubuat-nubuat
dalam kitab Wahyu tidak hanya mempunyai satu penggenapan specific /
tertentu. Penggenapan nubuat-nubuat itu terjadi secara rohani, dan bisa terjadi
berulang-ulang. Karena itu nubuat-nubuat itu bisa diterapkan pada orang-orang
kristen dalam sepanjang jaman.
Steve Gregg:
“I am using the label ‘spiritual approach’ to include all approaches
that do not look for individual or specific fulfillments of the prophecies of
Revelation in the natural sense, but which believe only that spiritual lessons
and principles (which may find recurrent expression in history) are depicted
symbolically in the visions” [= Saya menggunakan label ‘pendekatan
spiritual / rohani’ untuk mencakup semua pendekatan yang tidak mencari
penggenapan-penggenapan individu atau specific / tertentu dari nubuat-nubuat
Kitab Wahyu dalam arti alamiah, tetapi yang percaya bahwa yang digambarkan
secara simbolis dalam penglihatan-penglihatan itu hanyalah prinsip-prinsip dan
pelajaran-pelajaran rohani (yang bisa mendapatkan expresi berulang-ulang dalam
sejarah)] - ‘Revelation: Four Views’, hal 43.
c)
Keuntungan dan positifnya pandangan ini.
Keuntungan dari
pandangan ini adalah bahwa pandangan ini terhindar dari problem untuk
mengharmoniskan bagian tertentu dari Kitab Wahyu dengan penggenapan tertentu,
yang merupakan kesukaran yang besar pandangan-pandangan yang lain.
Sedangkan
positifnya pandangan ini adalah bahwa pandangan ini membuat setiap bagian Kitab
Wahyu relevan bagi semua orang Kristen di segala jaman.
William
Hendriksen: “A sound interpretation
of the Apocalypse must take as its starting-point the position that the book
intended for believers living in John’s day and age. ... we should give equal
prominence to the fact that this book was intended not only for those who first
read it, but for all believers throughout this entire dispensation” (=
Penafsiran yang sehat dari Kitab Wahyu harus mulai dari posisi bahwa Kitab ini
dimaksudkan untuk orang-orang percaya pada jaman Yohanes. ... kita harus memberi
penekanan yang sama pada fakta bahwa Kitab ini dimaksudkan bukan hanya untuk
mereka yang pertama membacanya, tetapi untuk semua orang percaya dalam seluruh
jaman ini) - hal 10.
d)
Problem bagi pandangan ini.
Problem bagi
pandangan ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa hal-hal itu akan segera
terjadi, seperti Wah 1:1,3 dan Wah 22:6. Karena itu penafsir-penafsir
modern menggabungkan pandangan ini dengan metode Preteris atau metode Historis.
Catatan:
Steve Gregg
memasukkan William Hendriksen, yang menamakan pandangannya sebagai progressive
parallelism, ke dalam spiritual method ini. Tetapi karena metode
William Hendriksen agak unik, maka saya membahasnya secara terpisah sebagai
metode / pendekatan ke 5 di bawah ini.
5)
The progressive parallelism method (metode paralelisme yang progresif).
a)
Penganut pandangan / metode ini.
Ini adalah
pandangan William Hendriksen, dan juga Geoffrey B. Wilson (hal 11).
b)
Pandangan / metodenya.
· Bagian-bagian
yang paralel.
Kitab Wahyu
dibagi menjadi 7 bagian yang paralel, dan setiap bagian menjangkau seluruh
sejarah gereja. Ketujuh bagian Kitab Wahyu itu adalah:
* Wah
1-3.
Wah 1:12-13
menunjukkan Kristus di tengah-tengah 7 kaki dian emas. 7 kaki dian emas itu
melambangkan 7 jemaat / gereja (Wah 1:20). Bilangan 7 melambangkan
kesempurnaan / kelengkapan (completeness), dan karena itu ini menunjuk
kepada seluruh gereja sampai pada akhir jaman. Karena itu bagian I ini (Wah 1-3)
menjangkau mulai kedatangan Kristus yang pertama (Wah 1:5) sampai
kedatangan Kristus yang keduakalinya (Wah 1:7).
* Wah
4-7.
Bagian ke II
ini juga menjangkau mulai kedatangan Kristus yang pertama sampai kedatangan
Kristus yang keduakalinya, karena Wah 5:5-6 menunjukkan Kristus yang telah
disembelih itu sekarang bertahta di surga; sedangkan Wah 6:16-17 dan Wah 7:16-17
jelas menunjuk pada akhir jaman.
* Wah
8-11.
Ini adalah 7
sangkakala yang mempengaruhi dunia. Apa yang terjadi dengan gereja digambarkan
dalam Wah 10-11. Dan akhir dari bagian ke 3 ini (Wah 11:15,18), jelas
menunjuk pada penghakiman akhir jaman.
* Wah
12-14.
Kelahiran Anak
(Wah 12:5) menunjuk pada kelahiran Kristus. Dan bagian IV ini diakhiri
dengan kedatangan Kristus yang keduakalinya (Wah 14:14,16).
* Wah
15-16.
7 cawan murka
Allah menunjuk pada penghakiman terakhir dan peristiwa-peristiwa yang akan
terjadi yang berhubungan dengan penghakiman itu.
* Wah
17-19.
Ini
menggambarkan jatuhnya Babil, dan penghukuman terhadap binatang dan nabi palsu.
Wah 19:11-16 menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya.
* Wah
20-22.
Ini dimulai
dengan pengikatan Iblis selama 1000 tahun (Wah 20:1-3). Nanti Iblis akan
dilepaskan untuk sedikit waktu (Wah 20:7). Ini lalu diikuti oleh kedatangan
Kristus yang keduakalinya dengan penghakimanNya (Wah 20:9-15) disusul
dengan langit dan bumi yang baru (Wah 21-22).
Catatan:
jelas bahwa Hendriksen dalam persoalan Kerajaan 1000 tahun menganut
Amillenialisme.
· Sifat
progresif (= maju / berkembang) dari bagian-bagian yang paralel tersebut.
Hendriksen
mengatakan bahwa dalam 7 bagian yang paralel itu ada ‘progress’ (=
kemajuan / perkembangan), yaitu dalam:
* intensitas
dari peperangan rohani. Misalnya dalam Wah 12-22 intensitasnya jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan Wah 1-11.
* revelation
/ wahyu tentang kejahatan manusia, kebenaran ilahi, dan pemerintahan ilahi.
* penekanan
eschatology / akhir jaman. Setiap bagian bergerak sedikit lebih jauh ke masa
depan.
William
Hendriksen: “... although all the
sections of the Apocalypse run parallel and span the period between the first
and second coming of Christ and are rooted in the soil of the old dispensation,
yet there is also a degree of progress. The closer we approach the end of the
book the more our attention is directed to the final judgment and that which
lies beyond it. The seven sections are arranged, as it were, in an ascending,
climactic order. The book reveals a gradual progress in eschatological
emphasis” (= ... sekalipun semua bagian dari kitab Wahyu berjalan paralel
dan menjangkau masa di antara kedatangan pertama dan kedatangan kedua dari
Kristus dan berakar dalam tanah Perjanjian Lama, tetapi di sana juga ada tingkat
kemajuan / perkembangan. Makin kita mendekati akhir kitab itu, makin perhatian
kita diarahkan kepada penghakiman terakhir dan hal-hal yang terletak di
baliknya. Ketujuh bagian itu diatur dalam suatu urut-urutan yang menanjak dan
membentuk suatu klimax) - hal 35.
Beberapa hal
penting yang harus diketahui tentang macam-macam metode / pendekatan ini:
1.
Ada banyak penafsir yang menggabungkan lebih dari satu pandangan / metode.
Leon Morris
(Tyndale): “It seems that elements
from more than one of these views are required for a satisfactory understanding
of Revelation” (= Kelihatannya dibutuhkan elemen-elemen dari lebih dari
salah satu dari pandangan-pandangan ini untuk mendapatkan suatu pengertian yang
memuaskan tentang kitab Wahyu) - hal 18.
2.
Perbedaan penafsiran antara metode yang satu dengan yang lain baru terlihat
secara menyolok mulai Wah 4, dan menjadi makin menyolok dalam Wah 6-19.
Steve Gregg:
“It is not until the beginning of Revelation 4 that the four views
really part company (and the radical differences apply only to chapters 6-19).
Thus the first three and the last three chapters of Revelation are not debated
on the same basis as are the chapters in the middle of the book. There is by no
means unanimity as to the meaning of these opening and closing sections,
however” [= Baru pada permulaan Wah 4 ke 4 pandangan ini betul-betul
berpisah (dan perbedaan yang radikal hanya berlaku pada pasal 6-19). Jadi 3
pasal yang pertama dan 3 pasal yang terakhir dari kitab Wahyu tidak
diperdebatkan pada dasar yang sama seperti pasal-pasal pada pertengahan kitab
ini. Tetapi itu sama sekali tidak berarti bahwa ada kesatuan pandangan tentang
arti dari bagian-bagian awal dan akhir ini] - ‘Revelation: Four Views:
A Parallel Commentary’, hal 5.
-AMIN-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali