Pada tanggal 1 Juni 2012 yang lalu Pdt. Dr. Suhento Liauw
mengadakan acara seminar "ESKATOLOGI" di Surabaya di
mana seminar ini juga dihadiri oleh Pdt. Budi Asali, M. Div.
Berikut
ini adalah catatan dan tanggapan Pdt. Budi Asali terhadap hal-hal yang
dibicarakan
Suhento
Liauw dalam seminarnya :
Berikut ini adalah tanggapan dari saya, Dr. Steven Liauw:
Pada awalnya, saya tidak
terlalu mengacuhkan tulisan Budi Asali ini. Toh namanya seminar, wajar saja jika
ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Semua orang diminta untuk memeriksa
segala sesuatu berdasarkan Firman Tuhan. Lagipula, beberapa poin yang diangkat
oleh Budi Asali di sini, dijelaskan oleh Dr. Suhento Liauw dalam seminarnya,
jadi untuk menjawabnya seperti mengulang seminar lagi. Saya merasa seperti
Nehemia, yang menjawab “Aku tengah melakukan suatu pekerjaan yang besar. Aku
tidak bisa datang! Untuk apa pekerjaan ini terhenti oleh sebab aku
meninggalkannya dan pergi kepada kamu!” (Neh. 6:3). Saya memang sedang sibuk
dengan banyak proyek pelayanan, dan perbantahan seperti ini biasanya tidak
berujung.
Tetapi, Nehemia sekalipun,
ketika dituduh sedang mau melakukan pemberontakan, akhirnya mengirim pesan,
“Hal seperti yang kausebut itu tidak pernah ada. Itu isapan jempolmu
belaka!” (Neh. 6:8). Demikianlah beberapa tuduhan (terutama tuduhan fitnah)
Budi Asali, adalah hal yang tidak benar. Ini merupakan jawaban singkat saja.
Saya tidak mau panjang lebar, walaupun pembahasan tentang baptisan memang mau
tidak mau memakan lebih banyak tempat. Tujuan saya bukanlah untuk memulai suatu
ronde debat lagi. Toh, saya memang akan berdebat dengan Budi Asali tanggal 24
Agustus masalah Kalvinisme. Ini hanyalah klarifikasi beberapa hal, terutama
mengenai tuduhan fitnah.
Tanggapan balik Budi Asali:
Steven, anda pandai menggunakan text alkitab secara sangat tak
sesuai dengan tujuan dan arti text yang sebenarnya. Untuk menunjukkan itu, saya
kutip seluruh kontext dari Neh 6 itu.
Neh
6:1 Ketika Sanbalat dan Tobia dan Gesyem, orang Arab itu dan
musuh-musuh kami yang lain mendengar, bahwa aku telah selesai membangun kembali
tembok, sehingga tidak ada lagi lobang, walaupun sampai waktu itu di pintu-pintu
gerbang belum kupasang pintunya,
Neh 6:2 maka Sanbalat dan
Gesyem mengutus orang kepadaku dengan pesan: ‘Mari, kita mengadakan pertemuan bersama di Kefirim, di lembah Ono!’ Tetapi mereka berniat
mencelakakan aku.
Neh 6:3 Lalu aku mengirim
utusan kepada mereka dengan balasan: ‘Aku tengah melakukan suatu pekerjaan
yang besar. Aku tidak bisa datang! Untuk apa pekerjaan ini terhenti oleh sebab
aku meninggalkannya dan pergi kepada kamu!’
Neh 6:4 Sampai empat kali
mereka mengirim pesan semacam itu kepadaku dan setiap kali aku berikan jawaban
yang sama kepada mereka.
Neh 6:5 Lalu dengan cara
yang sama untuk kelima kalinya Sanbalat mengirim seorang anak buahnya kepadaku
yang membawa surat yang terbuka.
Neh 6:6 Dalam surat itu
tertulis: ‘Ada desas-desus di antara bangsa-bangsa dan Gasymu membenarkannya,
bahwa engkau dan orang-orang Yahudi berniat untuk memberontak, dan oleh sebab
itu membangun kembali tembok. Lagipula, menurut kabar itu, engkau mau menjadi
raja mereka.
Neh 6:7 Bahkan engkau telah
menunjuk nabi-nabi yang harus memberitakan tentang dirimu di Yerusalem,
demikian: Ada seorang raja di Yehuda! Sekarang, berita seperti itu akan didengar
raja. Oleh sebab itu, mari, kita sama-sama berunding!’
Neh 6:8 Tetapi aku mengirim orang
kepadanya dengan balasan: ‘Hal seperti yang kausebut itu tidak pernah ada. Itu
isapan jempolmu belaka!’
Neh 6:9 Karena mereka semua mau
menakut-nakutkan kami, pikirnya: ‘Mereka akan membiarkan pekerjaan itu,
sehingga tak dapat diselesaikan.’ Tetapi
aku justru berusaha sekuat tenaga.
Apa tidak cocoknya? Nehemia bukan menghadapi serangan terhadap
ajarannya, tetapi mendapatkan ajakan untuk bertemu, yang ia tahu bahwa maksudnya
adalah untuk mencelakakan dia! Itu sebabnya ia tidak mau. Lalu pada bagian
akhir, apakah ia berubah dari tidak mau menjadi mau? Tidak, ia mengatakan itu
isapan jempolmu, dan ia tetap tidak mau
datang!
Apakah ini cocok untuk digunakan dalam kasus anda? Saya tidak
mengajak anda melakukan pertemuan, tetapi saya menyerang ajaran ayah anda
(Suhento Liauw). Anda berubah dari tidak mau menjadi mau; ini justru
bertentangan dengan sikap Nehemia yang tetap tidak mau!
Dalam kasus suatu serangan terhadap ajaran, selama serangan itu
serius, maka ayat yang cocok adalah 1Pet 3:15b - “Dan siap
sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap
orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada
padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat”.
Dan karena dalam hal ini yang saya serang adalah Suhento Liauw, maka
dialah yang seharusnya menjawab, bukan anda! Kalau anda menambahkan, tak
masalah. Tetapi dia sendiri harus menjawab juga! Dimana pengecut itu sembunyi?
Dalam seminar itu, Suhento
Liauw mengajarkan hal-hal ini:
1) Seminar berhubungan
dengan pengetahuan / pikiran, kalau KKR hanya dengan perasaan. Karena
itu dia buat seminar, bukan
KKR.
Tanggapan Budi Asali:
Omong kosong, semua
tergantung siapa yang berkhotbah dalam seminar atau KKR itu. Kalau yang
berkhotbah memang adalah orang-orang yang senang mengobarkan emosi, baik KKR
ataupun seminar akan berhubungan dengan perasaan saja. Sebaliknya kalau yang
berkhotbah adalah orangorang yang memang menekankan pendidikan dan pengajaran,
maka baik KKR maupun seminar akan berhubungan dengan pikiran dan memberikan
pengetahuan.
Pernyataan Dr. Suhento
Liauw bahwa seminar lebih akademis dibandingkan KKR, dan KKR lebih emosional
dibandingkan seminar, adalah suatu pernyataan kebenaran umum. Saya sendiri
setuju dengan pernyataan tersebut. Ini bukan berarti tidak ada pengecualian.
Kalau Budi Asali merasa KKR yang dia pimpin bersifat akademis, dari pihak kami
sama sekali tidak akan memprotes. Ini seperti pernyataan: “laki-laki lebih
kuat fisiknya daripada wanita.” Ini adalah pernyataan umum yang benar. Apakah
berarti tidak ada wanita yang lebih kuat fisiknya dari laki-laki tertentu? Tentu
ada. Memang pernyataan seperti ini adalah generalisasi, tetapi dapat diterima
umum, dan memang tidak dimaksudkan sebagai pernyataan absolut. “Udara desa
lebih segar daripada udara kota” juga merupakan suatu pernyataan generalisasi
umum yang dapat kita aminkan. Bukan berarti ini absolut benar, karena bisa saja
di desa sedang kebakaran hutan. Dari formatnya saja, seminar lebih mendukung ke
arah penyampaian informasi dan argumentasi secara akademis. Seminar juga
biasanya lebih panjang waktunya. KKR biasanya berformat kebaktian dengan
khotbah. Saya rasa tidak ada yang salah dengan generalisasi bahwa “seminar
lebih akademis daripada KKR” atau “seminar lebih ke pikiran, KKR ke perasaan
(pengobaran semangat).” Masingmasing ada tempatnya. Tetapi kalau Budi Asali
bersikukuh bahwa generalisasi ini salah, sebenarnya juga tidak akan saya
ributkan. Ini toh bukan kebenaran Alkitab. Pengalaman Dr. Suhento, saya, dan
juga saya yakin kebanyakan para pendengar seminar itu, adalah bahwa generalisasi
itu benar adanya.
Tanggapan balik Budi Asali:
Saya tetap beranggapan semua acara rohani, apakah menyampaikan
pengetahuan, atau hanya ‘main perasaan’, tergantung pada siapa yang
memberitakan Firman Tuhan. Anda mau percaya yang lain terserah. Saya kira anda
perlu mendengar saya membuat KKR. Jangankan KKR, khotbah untuk kematian,
pernikahan dsb, ataupun dalam renungan dalam persekutuan rumah tangga, saya
tetap menyampaikan pengetahuan!
2) Kalau ada free will -
harus ada pilihan, berbuat dosa atau berbuat baik.
Tanggapan Budi Asali:
Jawaban tentang kebodohan
ini tidak saya berikan di sini karena ini berhubungan dengan debat tanggal 24
Agustus 2012 antara Esra + saya vs Steven Liauw + partnernya. Saya tak mau
tunjukkan ‘senjata’ saya sebelum debat tanggal 24 Agustus itu terlaksana.
Saya aminkan pernyataan
Dr. Suhento Liauw. Tidak perlu komentar lain.
Tanggapan balik Budi Asali:
Coba keluarkan kata-kata ini dalam debat tanggal 24 Agustus. Hehe,
saya yakin bisa saya habisi!
3) Ia percaya komandan setan
namanya Lucifer.
Tanggapan Budi Asali:
Ini memang kesalahan yang
umum, tetapi salah. Kata / nama ‘Lucifer’ muncul dalam terjemahan KJV dalam
Yes 14:12 (dalam Kitab Suci Indonesia diterjemahkan ‘Bintang Timur’), dan
kalau saudara membaca kontextnya jelas bahwa istilah ini menunjuk kepada raja
Babel, bukan kepada komandan setan.
Yes 14:4,12,22,23 - “(4)
maka engkau akan memperdengarkan ejekan ini tentang raja Babel, dan berkata:
‘Wah, sudah berakhir si penindas sudah berakhir orang lalim! ... (12) ‘Wah,
engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah
dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! ... (22)
‘Aku akan bangkit melawan mereka,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam,
‘Aku akan melenyapkan nama Babel dan sisanya, anak cucu dan anak cicitnya,’
demikianlah firman TUHAN. (23) ‘Aku akan membuat Babel menjadi milik landak
dan menjadi air rawa-rawa, dan kota itu akan Kusapu bersih dan Kupunahkan,’
demikianlah firman TUHAN semesta alam”.
Yes 14:12 (KJV): ‘How
art thou fallen from heaven, O Lucifer, son of the morning! how art thou cut
down to the ground, which didst weaken the nations!’.
Calvin (tentang Yes 14:12): “The exposition of this passage, which
some have given, as if it referred to Satan, has arisen from ignorance; for the
context plainly shows that these statements must be understood in reference to
the king of the Babylonians. But when passages of Scripture are taken at random,
and no attention is paid to the context, we need not wonder that mistake of this
kind frequently arise. Yet it was an instance of very gross ignorance, to
imagine that Lucifer was the king of devils, and that the Prophet gave him this
name. But as these inventions have no probability whatever, let us pass by them
as useless fables” (= Exposisi yang
diberikan oleh beberapa orang tentang text ini, seakan-akan text ini menunjuk
kepada setan / berkenaan dengan setan, muncul / timbul dari ketidaktahuan;
karena kontex secara jelas menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan ini harus
dimengerti dalam hubungannya dengan raja Babel. Tetapi pada waktu bagian-bagian
Kitab Suci diambil secara sembarangan, dan kontex tidak diperhatikan, kita tidak
perlu heran bahwa kesalahan seperti ini muncul / timbul. Tetapi itu merupakan
contoh dari ketidaktahuan yang sangat hebat, untuk membayangkan bahwa Lucifer
adalah raja dari setan-setan, dan bahwa sang nabi memberikan dia nama ini.
Tetapi karena penemuan-penemuan ini tidak mempunyai kemungkinan apapun, marilah
kita mengabaikan mereka sebagai dongeng / cerita bohong yang tidak ada gunanya) - hal 442.
Adam Clarke (tantang Yes
14:12) : “And although the context speaks
explicitly concerning Nebuchadnezzar, yet this has been, I know not why, applied
to the chief of the fallen angels, who is most incongruously denominated
Lucifer, (the bringer of light!) an epithet as common to him as those of Satan
and Devil. That the Holy Spirit by his prophets should call this arch-enemy of
God and man the light-bringer, would be strange indeed. But the truth is, the
text speaks nothing at all concerning Satan nor his fall, nor the occasion of
that fall, which many divines have with great confidence deduced from this text.
O how necessary it is to understand the literal meaning of Scripture, that
preposterous comments may be prevented!” [= Dan sekalipun kontexnya berbicara secara explicit tentang
Nebukadnezar, tetapi entah mengapa kontex ini telah diterapkan kepada kepala
dari malaikat-malaikat yang jatuh, yang secara sangat tidak pantas disebut /
dinamakan Lucifer (pembawa terang!), suatu julukan yang sama umumnya bagi dia,
seperti Iblis dan Setan. Bahwa Roh Kudus oleh nabiNya menyebut musuh utama dari
Allah dan manusia sebagai pembawa terang, betul-betul merupakan hal yang sangat
aneh. Tetapi kebenarannya adalah, text ini tidak berbicara sama sekali tentang
Setan maupun kejatuhannya, ataupun saat / alasan kejatuhan itu, yang dengan
keyakinan yang besar telah disimpulkan dari text ini oleh banyak ahli theologia.
O alangkah pentingnya untuk mengerti arti hurufiah dari Kitab Suci, supaya
komentar-komentar yang gila-gilaan / tidak masuk akal bisa dicegah!] - hal 82.
Apakah kita perlu mengadu
banyak komentator? Saya rasa tidak. Di komputer saya kebetulan ada komentari
elektronik dari Guzik, jadi saya copy paste saja ulasan dia tentang Yesaya
14:12.
“The prophetic habit of speaking to both a near and a distant
fulfillment, the prophet will sometimes speak more to the near or more to the distant.
Here is a good example of Isaiah speaking more to the distant, ultimate
fulfillment. It is true that the king of literal Babylon shined brightly among
the men of his day, and fell as hard and as completely as if a man were to fall
from heaven. But there was a far more brightly shining being who inhabited
heaven, and fell even more dramatically - the king of spiritual Babylon,
Satan.” (Saya tidak terjemahkan, saya percaya para pembaca mengerti).
Tanggapan balik Budi Asali:
Katanya tak mau mengadu komentator? Kok memberikan kata-kata
penafsir?
Saya tanggapi kata-kata penafsir anda itu: Saya sendiri juga percaya
bahwa nubuat-nubuat bisa mempunyai penggenapan sebagian, lalu mempunyai
penggenapan lagi (kadang-kadang sampai beberapa kali) dan akhirnya ada
penggenapan akhir. Contoh Mat 24, yang sebagian digenapi dalam kehancuran
Yerusalem tahun 70 M tetapi penggenapan akhir dan total adalah pada saat
kedatangan Kristus yang keduakalinya.
Tetapi itu sangat tidak masuk akal untuk diterapkan pada
‘Lucifer’ ini. Kalau itu menunjuk kepada rasa Babel, lalu penggenapan akhir
menunjuk kepada komandan setan, itu sangat tidak cocok, karena kejatuhan
komandan setan sudah terjadi jauh lebih dulu! Hmmm, penafsir anda tak
punya logika! Dan dengan percaya kepadanya, anda sama dengan dia! Orang buta
memimpin orang buta?
Banyak sekali theolog lain
yang bisa saya kutip yang berpendapat bahwa Lucifer adalah Satan, tetapi tidak
perlu, karena komentator bukan standar kebenaran. Memang banyak komentator di
abadabad pertengahan percaya ini bukan Satan, tetapi banyak komentar-komentar
yang lebih baru melihat bahwa ini adalah Satan. Ini trend yang saya lihat. Posisi
Dr. Suhento tidaklah unik di poin ini. Yesaya 14:4 memang menyebut raja
Babel. Dan dari ayat 4-11 diakui umum mengacu kepada raja Babel. Tetapi ayat
12-15 tidak cocok kepada raja Babel jasmani. Di ayat 13 dan 14 dikatakan bahwa
pribadi “raja Babel” ini mau menyamai Allah, mendirikan takhta di atas
bintang-bintang Allah. Ini tidak cocok sama sekali untuk raja Babel jasmani,
tetapi cocok untuk Satan. Adalah lazim dalam literatur genre prophetic, untuk
beralih cepat dari nubuat jangka pendek, ke nubuat jangka panjang, atau
sebaliknya. Contohnya adalah Yesaya 7:14-17. Jelas Yesaya 7:14 mengacu kepada
Yesus Kristus, yang masih 700an tahun setelah Yesaya. Tetapi ayat 17 mengacu
kepada situasi politik lokal saat itu. Memang ada perbedaan pendapat (yang saya
tidak akan bahas di sini) mengenai apakah ayat 15 mengacu kepada Yesus atau
situasi lokal. Tetapi intinya, adanya double prophecy, itu adalah sesuatu yang
lazim. Masih banyak contoh lain.
Tanggapan balik Budi Asali:
Saya sudah katakan itu penafsiran umum, tetapi salah! Dalam
jawaban saya kepada Dji Ji Liong saya sudah jelaskan bahwa itu bahasa puisi,
jadi tak boleh dihurufiahkan, dan kalau tak dihurufiahkan, tentu saja cocok
dengan raja Babel.
Hmm, tentang Yes 7:14 saya tak yakin saya setuju dengan anda. Memang
saya tahu ada dua macam penafsiran tentang hal ini. Tetapi saya lebih setuju
pada single reference theory, yang mengatakan bahwa ini hanya
menunjuk kepada Yesus Kristus. Tetapi ini di luar kontext pembahasan kita. Saya
tak mau memperpanjang hal ini.
Yehezkiel 28:12-16 juga
dimengerti mengacu kepada Satan, walaupun ada konteks tentang Raja Tirus.
Mengapa? Karena raja Tirus tidak mungkin berada di Eden (Yeh. 28:13), atau
berjalan-jalan dekat kerub (ay. 14). Kalau Yesaya 14 dan Yehezkiel tidak mengacu
kepada Satan, artinya kita tidak diberitahu oleh Alkitab sama sekali tentang
alasan kejatuhan Satan. Menurut saya ini agak aneh. Satan
adalah salah satu pribadi
yang banyak berperan dalam Alkitab. Saya percaya Yesaya 14 dan Yehezkiel
28 adalah cara Tuhan
memberitahu kita tentang mengapa ia jatuh.
Tanggapan balik Budi Asali:
Saya tahu text ini juga dipakai untuk menunjuk kepada komandan
setan. Tetapi sama seperti dalam kasus Yes 14, saya juga tak setuju dengan hal
ini. Yang ini menunjuk kepada raja Tirus. Ay 13,14 lagi-lagi bahasa puisi, bukan
hurufiah.
Yeh 28:1 Maka datanglah
firman TUHAN kepadaku:
Yeh 28:2 ‘Hai anak
manusia, katakanlah kepada raja
Tirus:
Beginilah firman Tuhan ALLAH: Karena engkau menjadi tinggi hati, dan berkata:
Aku adalah Allah! Aku duduk di takhta Allah di tengah-tengah lautan. Padahal
engkau adalah manusia,
bukanlah Allah, walau hatimu menempatkan diri sama dengan Allah.
Yeh 28:3 Memang hikmatmu
melebihi hikmat Daniel; tiada rahasia yang terlindung bagimu.
Yeh 28:4 Dengan hikmatmu dan
pengertianmu engkau memperoleh kekayaan. Emas dan perak kaukumpulkan dalam
perbendaharaanmu.
Yeh 28:5 Karena engkau sangat pandai berdagang engkau memperbanyak
kekayaanmu, dan karena itu engkau jadi sombong.
Yeh 28:6 Oleh sebab itu
beginilah firman Tuhan ALLAH: Karena hatimu menempatkan diri sama dengan Allah
Yeh 28:7 maka, sungguh,
Aku membawa orang asing melawan engkau, yaitu bangsa yang paling ganas, yang
akan menghunus pedang mereka, melawan hikmatmu yang terpuja; dan semarakmu
dinajiskan.
Yeh 28:8 Engkau
diturunkannya ke lobang kubur, engkau mati seperti orang yang mati terbunuh di
tengah lautan.
Yeh 28:9 Apakah engkau masih
akan mengatakan di hadapan pembunuhmu: Aku adalah Allah!? Padahal terhadap kuasa
penikammu engkau
adalah manusia, bukanlah Allah.
Yeh 28:10 Engkau akan mati
seperti orang tak bersunat oleh tangan orang asing. Sebab Aku yang
mengatakannya, demikianlah firman Tuhan ALLAH.’
Yeh 28:11 Lalu datanglah
firman TUHAN kepadaku:
Yeh 28:12 ‘Hai anak
manusia, ucapkanlah suatu ratapan mengenai raja Tirus
dan katakanlah kepadanya: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Gambar dari kesempurnaan
engkau, penuh hikmat dan maha indah.
Yeh
28:13 Engkau di taman Eden, yaitu taman Allah penuh segala batu
permata yang berharga: yaspis merah, krisolit dan yaspis hijau, permata pirus,
krisopras dan nefrit, lazurit, batu darah dan malakit. Tempat tatahannya
diperbuat dari emas dan disediakan pada hari penciptaanmu.
Yeh 28:14 Kuberikan tempatmu
dekat kerub yang berjaga, di gunung kudus Allah engkau berada dan berjalan-jalan
di tengah batu-batu yang bercahaya-cahaya.
Yeh 28:15 Engkau tak bercela
di dalam tingkah lakumu sejak hari penciptaanmu sampai terdapat kecurangan
padamu.
Yeh 28:16 Dengan dagangmu
yang besar engkau penuh dengan kekerasan dan engkau berbuat dosa. Maka
Kubuangkan engkau dari gunung Allah dan kerub yang berjaga membinasakan engkau
dari tengah batu-batu yang bercahaya.
Yeh 28:17 Engkau sombong
karena kecantikanmu, hikmatmu kaumusnahkan demi semarakmu. Ke bumi kau Kulempar,
kepada raja-raja engkau Kuserahkan menjadi tontonan bagi matanya.
Yeh 28:18 Dengan banyaknya
kesalahanmu dan kecurangan dalam dagangmu engkau melanggar kekudusan tempat
kudusmu. Maka Aku menyalakan api dari tengahmu yang akan memakan habis engkau.
Dan Kubiarkan engkau menjadi abu di atas bumi di hadapan semua yang melihatmu.
Yeh 28:19 Semua di antara
bangsa-bangsa yang mengenal engkau kaget melihat keadaanmu. Akhir hidupmu
mendahsyatkan dan lenyap selamanya engkau.’
Perhatikan bagian-bagian yang saya garis-bawahi, apakah cocok untuk
komandan setan!
Dan sama seperti Yes 14, tak mungkin nubuat ini punya penggenapan akhir
dalam bentuk kejatuhan komandan setan, yang terjadi jauh sebelumnya!
Apakah Tuhan harus memberitahu segala sesuatu kepada kita? Tujuan Alkitab
yang terutama adalah memperkenalkan Allah kepada kita dan supaya kita mengenal
jalan keselamatan. Untuk apa tahu kejatuhan setan? Ini memang diceritakan,
tetapi hanya secara samar-samar dalam alkitab! Secara sama saya tanya: mengapa
Yesus antara usia 12 - 30 tahun tidak ada ceritanya dalam Alkitab? Kehidupan
Yesus sebagai remaja / pemuda, bukankah penting sebagai teladan dari pemuda
remaja jaman sekarang? Mengapa tidak ada? Bdk. Yoh 20:30-31.
Yoh 20:30 Memang masih
banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak
tercatat dalam kitab ini,
Yoh 20:31 tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya,
bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup
dalam namaNya.
Menurut saya ini ayat-ayat yang sungguh-sungguh berbicara tentang
kejatuhan setan.
a)
2Pet 2:4 - “Sebab jikalau
Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan
mereka ke dalam neraka dan dengan demikian menyerahkannya ke dalam gua-gua yang
gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman”.
Untuk
menafsirkan ayat ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
·
Kata
‘neraka’ di sini diterjemahkan dari kata bahasa Yunani TARTARUS yang hanya
dipergunakan satu kali ini saja dalam Kitab Suci. Karena itu sukar diketahui
artinya secara pasti.
·
Bagian
ini tidak boleh ditafsirkan seakan-akan setan sudah masuk neraka, karena ini
akan bertentangan dengan Mat 8:29 Mat 25:41
Wah 20:10 yang menunjukkan secara jelas bahwa saat ini setan belum
waktunya masuk neraka. Hal itu baru akan terjadi pada kedatangan Yesus yang
keduakalinya.
·
Disamping
itu, kalau ditafsirkan bahwa setan sudah masuk ke neraka, maka itu akan
bertentangan dengan 2Pet 2:4 itu sendiri, yang pada bagian akhirnya
berbunyi: ‘dan dengan demikian
menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari
penghakiman’.
Jadi,
mungkin bagian ini hanya menunjukkan kepastian bahwa setan akan masuk
neraka.
b)
1Tim 3:6 - “Janganlah ia
seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman
Iblis”.
c)
Yudas 6 - “Dan bahwa Ia
menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka,
tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam
dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar”.
Jadi, mungkin sekali ia yang
diciptakan sebagai malaikat, merasa sombong dan tidak puas dengan kedudukannya,
lalu ingin menjadi lebih tinggi dan ingin menjadi Allah. Karena itu tidak heran
ia meminta Yesus menyembahnya (Mat 4:9) dan ia menggoda Hawa dengan
keinginan untuk menjadi seperti Allah (Kej 3:5).
4) Waktu Nuh keluar dari
bahtera, lalu beri persembahan kepada Allah, dan Allah mencium baunya
dan lalu ‘menjadi
bahagia’!
Tanggapan Budi Asali:
a) Dari mana gerangan omong
kosong itu? Dalam Kitab Suci saya tak ada!
Kej 8:20-22 - “(20)
Lalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang tidak haram dan
dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah beberapa ekor, lalu ia
mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu. (21) Ketika TUHAN mencium
persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hatiNya: ‘Aku takkan
mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah
jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup
seperti yang telah Kulakukan. (22) Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti
musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan
malam.’”.
b) Kalau Allah ‘menjadi
bahagia’, berarti tadinya tidak bahagia?
Mazmur 147:11 berbunyi
“TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, kepada orangorang yang
berharap akan kasih setia-Nya.”
Apakah sebelum adanya
orang-orang yang takut kepada Dia itu, Tuhan tidak senang? Dalam KJV, istilahnya
adalah “taketh pleasure.” Apakah sebelumnya Tuhan tidak punya
“pleasure”? Tentu penafsirannya bukan demikian. Maksudnya adalah Tuhan
berkenan kepada orang-orang yang takut akan Dia. Bukan Tuhan itu “murung”
sebelumnya, lalu menjadi senang setelah ada yang takut akan Dia.
Prinsip yang sama inilah
yang Dr. Suhento sampaikan. Tuhan “menjadi bahagia” atas tindakan Nuh. Tuhan
berkenan atas tindakan itu. Alkitab memakai istilah “persembahan yang
harum,” untuk menyatakan perkenanan Tuhan. Bukan berarti sebelumnya tidak
bahagia secara absolut. Memang sebelum ada tindakan Nuh itu, Tuhan tidak bisa
berbahagia atas tindakan itu. (Apalagi dosa manusia sebelum air bah, pastinya
menyedihkan Tuhan). Setelah ada tindakan itu, Tuhan “menjadi bahagia” atas
tindakan itu. Penggunaan
kata-kata haruslah dilihat dalam konteksnya, termasuk frase “menjadi
bahagia.”
Tanggapan balik Budi Asali:
Saya mengkritik penggunaan kata ‘menjadi’ yang tidak tepat! Anda
sama tak mengertinya dengan Dji Ji Liong tentang maksud saya, atau sama
pura-pura tak mengertinya dengan dia tentang maksud saya! Kalau Suhento Liauw
sekedar mengatakan ‘Allah berkenan’, itu OK. Tetapi ‘menjadi
bahagia’???
5) Darah di ambang pintu
(tulah ke 10) diberikan di atas, kiri dan kanan, membentuk salib! Juga ular
tembaga ditaruh di atas tiang, supaya tidak melorot diberi kayu horizontal, dan
lagi-lagi membentuk salib!
Tanggapan Budi Asali:
Tafsiran kampungan dan
menambahi Alkitab (bertentangan dengan Sola Scriptura)!
Kel 12:7 - “Kemudian
dari darahnya haruslah diambil sedikit dan dibubuhkan pada kedua tiang pintu dan
pada ambang atas, pada rumah-rumah di mana orang memakannya.”.
Memang ada kata-kata
‘kedua tiang pintu’, berarti di kiri dan kanan, lalu ada ‘ambang atas’,
berarti di atas, tetapi kalau tidak ada ‘di bawah’, bagaimana bisa membentuk
salib???
Lalu tentang peristiwa ular
tembaga, mari kita lihat ceritanya dalam Alkitab.
Bil 21:4-9 - “(4)
Setelah mereka berangkat dari gunung Hor, berjalan ke arah Laut Teberau untuk
mengelilingi tanah Edom, maka bangsa itu tidak dapat lagi menahan hati di tengah
jalan. (5) Lalu mereka berkata-kata melawan Allah dan Musa: ‘Mengapa kamu
memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di
sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah
muak.’ (6) Lalu TUHAN menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa itu, yang
memagut mereka, sehingga banyak dari orang Israel yang mati. (7) Kemudian
datanglah bangsa itu mendapatkan Musa dan berkata: ‘Kami telah berdosa, sebab
kami berkata-kata melawan TUHAN dan engkau; berdoalah kepada TUHAN, supaya
dijauhkanNya ular-ular ini dari pada kami.’ Lalu Musa berdoa untuk bangsa itu.
(8) Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Buatlah ular tedung dan taruhlah itu
pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan
tetap hidup.’ (9) Lalu Musa membuat ular tembaga dan menaruhnya pada sebuah
tiang; maka jika seseorang dipagut ular, dan ia memandang kepada ular tembaga
itu, tetaplah ia hidup”.
Dimana gerangan ada
kata-kata ‘supaya tidak melorot lalu diberi kayu horizontal’? Lagi mengigau,
Pak Suhento? Hal lain yang harus diketahui adalah: sebetulnya kita tidak tahu
bagaimana bentuk salib Kristus. Kata ‘salib’ dalam bahasa Yunani adalah STAUROS,
dan sebetulnya berarti ‘an upright pole’ (=
tiang tegak). Dan salib yang paling awal memang hanya berbentuk satu tiang
tegak. Karena itu tak perlu merasa heran kalau Saksi Yehuwa menggunakan tiang
tegak sebagai salib Kristus. Tetapi memang belakangan muncul variasi-variasi
bentuk salib, sehingga ada yang berbentuk X, Y, T, dan juga seperti salib yang
kita kenal. Lalu yang mana yang merupakan salib yang digunakan untuk Yesus?
Satu-satunya alasan untuk memilih salib yang paling umum adalah karena dikatakan
bahwa di atas kepala Yesus dituliskan kata-kata ‘Yesus dari Nazaret, raja
orang Yahudi’. Kalau salib berbentuk X, Y, atau T, dimana tulisan itu mau
diletakkan? Jadi, dipilih salib yang kita kenal itu.
Tetapi ini argumentasi yang
sangat lemah, karena untuk salib yang manapun, bisa diberi tulisan, menggunakan
papan yang diikat dengan tali. Apalagi salib yang berbentuk tiang tegak, tentu
tak ada masalah dengan pemberian tulisan itu. Kesimpulan: bahwa salib Yesus
dikatakan berbentuk seperti yang sekarang kita kenal, merupakan sesuatu yang
sangat tidak pasti!
Wah, wah, wah...heran
juga, saya yang sudah berpuluh-puluh kali mendengarkan seminar Dr. Suhento
Liauw, ketika mendengarkan bagian ini tidak pernah mendapatkan kesan bahwa
Dr. Suhento Liauw menambahi Alkitab. Tidak pernah terkesan bagi saya
bahwa Dr. Suhento Liauw mengatakan masalah bentuk salib (baik di darah Paskah
ataupun di ular tembaga) adalah sesuatu yang tercantum dalam Alkitab. Kalau
saya mendengarkan penjelasan Dr. Suhento Liauw, yang saya tangkap
itu adalah inferensi dia, dan penjelasan
dia atas teks Alkitab. Beberapa saudara yang ikut dalam seminar
di Surabaya lalu juga merasa demikian. Mereka tidak merasa bahwa Dr. Suhento
mencoba menambahkan kata-kata ke dalam Alkitab. Saya heran kenapa Budi Asali
mendapat kesan demikian. Barangkali telah terjadi pencampuradukan dalam pikiran
Budi Asali antara penafsiran-inferensi dengan
isi Alkitab itu sendiri. Mungkin Budi Asali tidak
membedakan antara Dr. Liauw menjelaskan Alkitab dengan mengutip Alkitab.
Benarkah Budi Asali
mendengar Dr. Suhento Liauw berkata bahwa “Alkitab mencatat ada bentuk
salib?” Ataukah itu hanya suatu simbolisme yang Dr. Suhento Liauw tafsir dan
inferensikan dari ayat-ayat yang ada? Melakukan inferensi atas sesuatu yang
tidak eksplisit tertulis dalam Alkitab adalah hal yang wajar dan lazim
dilakukan. Memang, itu bukan kebenaran absolut, karenanya hanya inferensi,
tetapi Dr. Liauw tidak menjabarkan masalah ini sebagai kebenaran absolut.
Tanggapan balik Budi Asali:
Kalau itu sekedar suatu cerita sejarah, dan penjelasannyapun hanya
cerita, apakah penjelasan itu perlu? Dan apakah boleh memberikan penjelasan
dalam bentuk cerita terhadap cerita yang ada dalam Alkitab? Menurut saya itu
hanya boleh kalau kontext menuntut hal itu. Jadi misalnya ceritanya tak jelas,
seakan-akan meloncat, atau bertentangan dengan text lain, maka perlu diberi
penjelasan. Tetapi dalam kasus ular tembaga dan darah domba Paskah kasusnya
tidak demikian!
Apa yang Suhento Liauw lakukan sangat berbeda dengan orang yang
betul-betul melakukan penafsiran! Anda tak bisa membedakan antara orang yang
melebih-lebihkan suatu cerita sehingga tak cocok dengan aslinya, dengan orang
yang menafsir!
Yang ikut seminar (dari kalangan gereja anda) maupun anda tak merasa
bahwa Suhento Liauw menambahi Alkitab? Saya tak heran. Coba tanya orang-orang
dalam kalangan Saksi Yehuwa, apakah mereka merasa bahwa penatua mereka atau
buku-buku mereka mengajarkan ajaran sesat? Coba tanya orang-orang dari gereja
yang Liberal / Katolik / Kharismatik , apakah mereka merasa bahwa
pendeta-pendeta mereka mengajarkan ajaran salah / sesat?
Kalau Budi Asali tidak
setuju dengan penafsiran Dr. Suhento Liauw, saya sama sekali tidak ada masalah.
Itu kehendak bebas dia! Tetapi untuk mengatakan bahwa Dr. Suhento Liauw
menambahi Alkitab, itu sudah merupakan suatu pernyataan yang salah. Saya sempat
cek di internet, karena penasaran, apakah ada orang lain yang melihat simbolisme
yang sama yang Dr. Suhento lihat dalam pemolesan darah domba Paskah.
Tanggapan balik Budi Asali:
Kalau di cerita dalam Alkitab tak ada, dan dia adakan, itu jelas
menambahi Alkitab dan bertentangan dengan SOLA SCRIPTURA!
Saya dapatkan kutipan
berikut (saya sama sekali tidak kenal kelompok pembuat website ini): “What is
truly remarkable, is the manner in which the blood at the Passover was applied
to the door posts. First, the blood was applied to the cross beam in the center,
then the blood would drip down from there, hitting the ground. Secondly, the
left and the right sides of the door frame were likewise marked. This act was in
the perfect shape of a cross.” (http://www.yhwh.com/Cross/cross8.htm) Terjemahan: “Yang
sangat luar biasa, adalah cara darah Paskah diaplikasikan ke tiang pintu.
Pertama, darah diaplikasikan ke kusen atas di tengah, lalu darah akan menetes
dari sana, mengenai tanah. Kedua, sisi kiri dan kanan bingkai pintu, juga
ditandai dengan cara yang sama. Tindakan ini adalah dalam bentuk sempurna sebuah
salib.” Saya tidak kenal siapa yang membuat artikel itu, tetapi ini
menunjukkan bahwa apa yang Dr. Suhento lihat, ternyata dilihat juga oleh orang
lain. Ini bukan masalah menambahi Alkitab. Memang Alkitab tidak bilang secara
eksplisit. Tetapi kita diberi otak oleh Tuhan untuk bisa melihat banyak hal
yang tidak tertulis langsung dalam Alkitab.
Tanggapan balik Budi Asali:
Hmmm, makanan rohani anda seperti itu, tak heran anda jadi Arminian,
dan terutama tak heran kalian mengajar yang aneh-aneh seperti ‘Rabu Agung’,
‘pendeta tak boleh beri berkat dalam kebaktian’ dan sebagainya. Saya tahu
dalam dunia penafsir, banyak yang gila dan bodoh. Saya tak heran kalau anda bisa
mendapatkan kutipan seperti itu. Tetapi persoalannya: haruskah kita
mempercayai ajaran yang jelas tak cocok dengan Alkitab?
Jadi, kalau Suhento Liauw tidak unik dalam hal ini, itu tak
membuktikan dia benar.
Steven, jujur saja, apakah kalimat terakhir anda di atas, yang saya
garis-bawahi itu, tidak berbahaya, bahkan
sangat berbahaya?? Kalau otak kita boleh menambahi apa yang tidak
tertulis dalam Alkitab, tanpa dasar apapun, ayat manapun dengan mudah menjadi
ajaran sesat!
Kalau Budi Asali bilang
ini penafsiran kampungan, itu hak dia. Tiap orang kan bisa
menilai sendiri. Saya pribadi melihatnya sebagai sesuatu yang sangat indah, dan
Tuhan secara subtle mengisyarakatkan sesuatu. Hanya, kalau dikatakan
“menambahi Alkitab,” nah ini justru yang aneh, dan tidak bisa membedakan apa
itu penafsiran dan apa itu pengutipan Alkitab. Hal yang sama berlaku untuk
masalah ular tembaga. Teks berkata “tiang.” Teks memang tidak berkata
bahwa ada kayu horizontal, tetapi teks juga tidak mengatakan tidak ada.
Jadi, ini adalah penafsiran yang TIDAK BERTENTANGAN dengan data Alkitab. Ini
bukan menambahi Alkitab, tetapi penafsiran. Semoga Budi Asali bisa membedakan
kedua hal ini sekarang.
Tanggapan balik Budi Asali:
Hmmm, jadi kalau text tak bilang, boleh ditambahi apapun? Selama
tambahannya tak menabrak text? Lagi-lagi, Steven, ini sangat, sangat berbahaya!
Saya pernah mendengar Dr. Paul Yonggi Cho khotbah untuk mendukung
teori ‘dimensi keempat’nya. Dia mengatakan dalam Kej 15 waktu Abraham
melihat bintang-bintang di langit, tahu-tahu bintang-bintang itu berubah
menjadi kepala-kepala bayi. Ini dia anggap sebagai dasar, untuk mengatakan
bahwa kalau kita berdoa kita harus membayangkan bahwa apa yang didoakan sudah
terjadi / terkabul. Anda setuju ‘tafsiran’ itu. Ingat, sesuai kata-kata
anda, text Alkitabnya tak punya ‘tambahan’ itu, tetapi juga tak bilang kalau
tambahan itu salah! Jadi, menurut teori anda, itu boleh dan sah-sah saja?????
Kalau mau lain lagi, Hawa sendiri waktu digoda Iblis mengatakan
bahwa Allah melarang dia menyentuh buah itu, padahal larangannya adalah memakan
buah itu. Ia menambahi / mengubah Firman Tuhan, ya atau tidak? Ingat, textnya
juga tidak mengatakan kalau Allah tidak melarang untuk menyentuh! Jadi, karena
kata-kata Hawa tak secara explicit bertentangan dengan Firman Tuhan, maka itu
benar??
Kalau yang seperti dilakukan oleh Suhento Liauw ini boleh, saya
tanya: bolehkah saya menceritakan cerita Israel yang menyeberangi Laut Teberau,
dengan dinding air di kiri dan kanan mereka, lalu ada air memercik yang
menyimbolkan baptisan percik? (Ini bukan tafsiran saya, saya hanya memberi
contoh!) Silahkan menilai sendiri!
Contoh-contoh lain:
·
waktu Yesus digoda setan
dalam Mat 4, bolehkah (seperti dalam film tertentu) kita menggambarkan bahwa ada
ular (yang menyimbolkan setan) yang bicara dengan Yesus?
·
waktu Yerikho dihancurkan
temboknya, bolehkah saya menceritakan bahwa pada saat itu Tuhan membuat suatu
gempa bumi, yang menghancurkan tembok kota itu? Ini tak ada dalam textnya,
tetapi textnya juga tak mengatakan kalau gempa itu tak ada!
·
waktu Bileam pergi, dia naik
keledai. Bolehkah saya ceritakan bahwa ia juga membawa seekor gajah? Itu tak ada
dalam textnya, tetapi textnya juga tak mengatakan bahwa ia tidak membawa gajah!
·
waktu Tuhan menciptakan
langit dan bumi dalam Kej 1, bolehkah kita percaya bahwa Ia melakukan itu
melalui ‘big bang’, sehingga menjadi dasar dari kepercayaan terhadap teori
‘big bang’? Ingat, textnya tidak mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan
langit dan bumi menggunakan ‘big bang’. Jadi boleh???
·
waktu Tuhan menciptakan
manusia, bolehkan kita menafsirkan bahwa sebetulnya dia cipta monyet dulu, yang
lalu berevolusi dan menjadi anda? Textnya tidak mengatakan kalau tidak ada
evolusi!
Setelah melihat ajaran anda dalam hal ini, saya tak heran Dji Ji
Liong mengatakan bahwa pada hari Pentakosta bukan hanya 12 rasul yang membaptis
3000 orang yang bertobat, tetapi 120 orang jemaat (Kis 1:15) ikut membaptis!
Memang text tidak bilang mereka ikut membaptis, tetapi textnya juga tidak bilang
mereka tidak ikut membaptis. Jadi boleh menafsir seperti itu? Hehehe,
betul-betul gila! Mengapa tak sekalian saja katakan bahwa perempuan-perempuan
dalam Kis 1:14 juga ikut membaptis???? Sama saja, bukan?
Nah, kalau Budi Asali mau
mempersoalkan logis tidak logisnya (baik tidak baiknya) penafsiran ini, ya
silakan. Itu sih saya tidak masalah. Tetapi kalau mengatakan bahwa hal seperti
ini menyangkali Sola Scriptura, wow....ini sangat tidak mengena. Ini
terasa seperti serangan yang dipaksakan dan dibuat-buat.
Tanggapan balik Budi Asali:
Saya sangat serius dengan hal ini, sama sekali tidak mengada-ada!
Anda dan Dance Suat sama-sama mengatakan bahwa saya mengada-ada. Yang
mengada-ada itu adalah Suhento Liauw! Dengan mengajar yang aneh-aneh (seperti
yang tentang tiang dari ular tembaga, atau darah pada ambang pintu) ini, atau
bahwa istilah ‘Perjamuan Kudus’ salah, pendeta tak boleh memberi berkat pada
akhir kebaktian, dan sebagainya. Itu yang
mengada-ada. Menurut saya itu bahkan adalah ajaran yang sengaja mencari
sensasi! Dan saya justru mengcounter apa yang saya anggap mengada-ada / cari
sensasi itu!
‘Sangat tidak mengena’? Lalu yang bagaimana Sola Scriptura itu,
dan yang bagaimana yang bertentangan dengan SOLA SCRIPTURA itu??? Pada waktu
Martin Luther mengajak untuk ‘back to the Bible’, dan menghendaki SOLA
SCRIPTURA diterapkan, saya yakin Gereja Roma Katolik juga menganggapnya ‘tidak
mengena’ dan ‘mengada-ada’!
Saya sendiri merasa bahwa
penafsiran Dr. Suhento Liauw sangat masuk akal. Supaya ular tidak melorot,
sangat logis sekali untuk menambahi kayu horizontal. Sekali lagi saya coba cek
di internet, dan beberapa detik searching sudah memberikan hasil gambar berikut:
Ini berarti bahwa ada juga orang lain yang melihat hal yang sama yang dilihat
Dr. Suhento.
Tanggapan balik Budi Asali:
Ya, kalian sekelompok, apalagi bapak dengan anak. Buah jatuh tak
jauh dari pohonnya. Tidak aneh kalau anda anggap tafsiran Suhento Liauw sangat
masuk akal / sangat logis dan sebagainya.
Lagi-lagi, dalam dunia banyak orang gila, dan itu tak seharusnya
diikuti. Kalau mau ajaran sesat, orang-orang yang tak percaya keilahian Yesus,
tak percaya Yesus sebagai satu-satunya jalan, tak percaya Alkitab sebagai Firman
Allah, dsb, pasti ada lebih banyak lagi! Jadi, karena banyak, tidak unik, maka
mereka yang mengajar seperti itu tidak salah???? Steven, banyak tak berarti
benar, bukan? ‘Tidak unik’ tak berarti ‘benar’, ataupun ‘bisa
diterima’!
Anda mengatakan ‘masuk akal’! Mana yang lebih benar? ‘Masuk
akal’, atau ‘Alkitabiah’? Mestinya nama gereja anda diganti saja menjadi
GBIMA (Gereja Baptis Independen Masuk Akal)!!!
Masalah bentuk salib saya
tidak mau banyak komentar. Lebih banyak bukti-bukti Alkitab yang mendukung
bentuk salib tradisional, yaitu “t.” Antara lain: tulisan di atas kepala
Yesus. “Ada juga tulisan di atas kepala-Nya: "Inilah raja orang
Yahudi".” (Luk. 23:38) Ini menjurus ke bentuk “t.” Kalau bentuknya
satu tiang saja, ala Saksi Yehovah, maka tangan Yesus ada di atas kepalaNya.
Sehingga tulisan itu pantasnya disebut berada “di atas tanganNya.” Lebih
lanjut lagi, dalam model satu tiang, kedua tangan Yesus dipakukan di atas
kepalaNya, dengan satu paku saja. Jadi, satu paku untuk dua tangan. Ini model
yang saya pernah lihat dalam ilustrasi Saksi Yehovah. Tetapi Tomas berkata,
“Sebelum aku melihat
bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan
jariku ke dalam bekas paku itu
. . . .” (Yoh. 20:25). Kata “paku” dalam ayat ini, dua kali muncul, dan
dalam bentuk jamak. Dalam KJV: “nails,” atau “paku-paku.” Artinya, ada lebih dari satu paku yang
dipakai untuk tangan Yesus. Ini lebih mendukung ke bentuk salib tradisional
dibandingkan salib satu tiang. Nah, saya tidak mau berpanjang-panjang masalah
bukti-bukti sejarah bentuk Salib Romawi, atau tradisi bagi orang hukuman untuk
membawa “salib” (patibulum) yang berupa kayu horizontal. Itu semua pembaca
bisa riset sendiri.
Tanggapan balik Budi Asali:
Saya tak bilang bahwa saya setuju teori Saksi Yehuwa. Kalau bekas
paku pada tangan dalam bentuk jamak, itu masih memungkinkan. Kedua kaki yang
sama-sama dipaku di bawah juga bisa dipaku dengan dua paku, mengapa kedua tangan
di atas tidak bisa?
Dan kalaupun bukan tiang tegak, bisa bentuk T, atau Y, atau X.
Tulisan bisa diberi tali.
Penekanan saya, kita tak tahu dengan pasti bentuk salib untuk Yesus.
Jadi, mengapa gerangan tiang ular harus diberi kayu horizontal, dan darah pada
ambang pintu membentuk salib (yang kita kenal)???
6) Baptisan harus selam,
kalau tidak seperti Kain yang beri persembahan hasil bumi dan bukan binatang.
Kata Yunani BAPTIZO artinya dicelup / direndam. Jadi, orang yang dibaptis percik
sama saja dengan belum dibaptis!
Tanggapan Budi Asali:
Dalam seminar itu mula-mula
ia mengatakan baptisan itu bukan merupakan sesuatu yang hakiki untuk
keselamatan, tetapi anehnya pada waktu menekankan keharusan baptisan selam, ia
mengatakan bahwa orang yang menggunakan baptisan percik adalah seperti Kain,
yang bukannya mempersembahkan binatang tetapi mempersembahkan tanaman. Bukankah
ia menjadikannya sebagai sesuatu yang bersifat hakiki / mutlak untuk
keselamatan? Ia secara bodoh mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan
ajarannya di bagian depan.
Ajaran Baptis dari dulu
adalah bahwa baptisan tidak menyelamatkan. Tetapi kaum Baptis serius menanggapi
perintah Tuhan untuk membaptiskan! Bukan memercikkan atau menuangkan, atau
mengibarkan bendera atas, atau mengelap badannya, atau yang lainnya! Dr. Suhento
Liauw telah membuat jelas di awal bahwa baptisan tidak menyelamatkan. Lalu dia
membandingkan baptisan percik dengan Kain yang mengubah binatang menjadi
tanaman. Oleh Budi Asali ini dilihat sebagai pertentangan, karena Kain tidak
selamat.
Catatan: bagian tentang baptisan ini panjang sekali, dan akan saya letakkan
dalam file tersendiri, dengan judul ‘Baptisan selam atau non selam? Steven
Liauw VS Budi Asali’.
7) Nama / sebutan Perjamuan
Kudus salah, seharusnya Perjamuan Tuhan. Istilah Perjamuan Kudus kita dapat dari
Katolik. Perjamuan itu tidak bisa menguduskan, jadi nama itu salah.
Tanggapan Budi Asali:
Saya setuju saja kalau
digunakan istilah ‘Perjamuan Tuhan’, karena istilah itu memang ada dalam
Alkitab (1Kor 10:21 1Kor 11:20). Tetapi istilah ‘Perjamuan Kudus’ juga tak
masalah, karena itu hanya soal istilah. Bahwa itu didapatkan dari Katolik
merupakan omong kosong, yang tak akan bisa ia buktikan. Dan siapa gerangan orang
bodoh yang mempercayai bahwa Perjamuan Kudus itu menguduskan? Itu merupakan
fitnahan terhadap orang-orang yang menggunakan istilah ‘Perjamuan Kudus’.
Perjamuan Tuhan adalah
istilah yang Alkitabiah. Perjamuan Kudus tidak Alkitabiah. Pemakaian istilah
yang tidak alkitabiah akan membawa dampak yang tidak boleh diremehkan. Banyak
orang yang memang beranggapan bahwa “Perjamuan Kudus” itu menguduskan. Saya
saja pernah ketemu. Apakah
penggunaan istilah
penting? Menurut saya penting. Menurut Budi Asali tidak penting. Ok, kita catat
itu. Itu juga sebabnya kami tidak mau pakai “pendeta.” Itu istilah yang
tidak alkitabiah dan juga sarat dengan konotasi yang tidak alkitabiah.
Tanggapan balik Budi Asali:
Anda mengatakan “Perjamuan Tuhan adalah istilah yang Alkitabiah.
Perjamuan Kudus tidak Alkitabiah. Pemakaian istilah yang tidak alkitabiah akan
membawa dampak yang tidak boleh diremehkan. Banyak orang yang memang beranggapan
bahwa “Perjamuan Kudus” itu menguduskan. Saya saja pernah ketemu.”.
Saya tanya: kalau ada orang yang menganggap Perjamuan Kudus
menguduskan, apakah pemikiran / kepercayaan salah itu berasal dari istilahnya?
Atau dari hal-hal lain? Sudah adakan research / penyelidikan yang mendalam? Atau
hanya menebak-nebak saja?
Kalau ada orang-orang seperti itu, itu salah mereka sendiri, bukan
salah istilahnya. Ada banyak istilah yang dipakai oleh semua gereja dan orang
Kristen tetapi tidak ada dalam Alkitab. Misalnya: Natal, Paskah (Easter),
Tritunggal, hakekat dan prbadi (dalam Kristologi atau doktrin Allah Tritunggal),
sakramen, dan banyak lagi. Saya tahu sedikitnya sebagian dari istilah-istilah
ini gereja anda sendiri juga menggunakan! Itu menjadikan gereja anda tidak
Alkitabiah? Ganti saja namanya Menjadi GBITA (Gereja Baptis Independen Tidak
Alkitabiah)!
Istilah ‘independen’ muncul di Alkitab sebelah mana? Dan anda
menjadikannya nama gereja anda!
Wah, wah, sekarang ketambahan satu lagi ajaran nyeleneh. Tidak bolah
pakai istilah ‘pendeta’. Lalu kalian bapak dan anak disebut apa? Disebut
‘penatua’ seperti dalam Saksi Yehuwa?
Kamus Inggris - Indonesia mengatakan bahwa kata ‘pendeta’
merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris ‘pastor’, dan kamus
Webster mengatakan bahwa kata ‘pastor’ sebenarnya berarti ‘shepherd’ (=
gembala), dan istilah ini jelas ada dalam Ef 4:11 - “Dan Ialah yang memberikan
baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala
dan pengajar-pengajar”.
Dan anda mengatakan istilah ini juga tidak Alkitabiah? Dan sarat
dengan konotasi yang tidak Alkitabiah? Konotasi apa? Omong kosong! Ini cuma
ajaran yang cari sensasi! Cari kepopuleran? Ingat bahwa ‘terkenal’ dalam
bahasa Inggris bisa dua macam, yaitu ‘famous’ (terkenal dalam arti yang
baik) dan ‘notorious’ (= terkenal dalam arti yang buruk). Dengan ajaran
kalian yang nyeleneh itu kalian memang bisa jadi populer / terkenal, tetapi
dalam arti ‘notorious’!
Ingat bahwa istilah ini beda dengan kata bahasa Indonesia
‘pastor’ yang digunakan dalam Gereja Roma Katolik. Kalau ini terjemahan
bahasa Inggrisnya adalah ‘priest’ (= imam), dan memang pastor Katolik
berfungsi sebagai imam / pengantara. Kalau itu, memang tidak Alkitabiah, karena
pada jaman Perjanjian Baru, imam / pengantara kita hanya Kristus (1Tim 2:5).
Kalau orang Kristen disebut imam (1Pet 2:9), itu hanya menunjukkan bahwa orang
Kristen bisa berhubungan langsung dengan Allah, hanya melalui Yesus, dan bukan
pengantara manusia biasa.
8) Ia tahu cara penggunaan
Urim dan Tumim, dan menjelaskannya.
Tanggapan
Budi Asali:
Tak
ada penafsir yang tahu dengan pasti tentang hal itu. Jangankan cara
menggunakannya, bahkan bagaimana bentuk dari Urim dan Tumimpun tidak ada yang
tahu. Entah Suhento Liauw belajar dari mimpi atau bagaimana?
Kel
28:30 - “Dan di dalam tutup dada pernyataan keputusan itu haruslah kautaruh
Urim dan Tumim; haruslah itu di atas jantung Harun, apabila ia masuk menghadap
TUHAN, dan Harun harus tetap membawa keputusan bagi orang Israel di atas
jantungnya, di hadapan TUHAN”.
Adam
Clarke (tentang Kel 28:30): “‘Thou shalt put in the breastplate of
judgment the Urim and the Thummim.’ What these were has, I believe, never yet
been discovered. 1. They are nowhere described. 2. There is no direction given
to Moses or any other how to make them. ... 6. That God was often consulted by
Urim and Thummim, is sufficiently evident from several Scriptures; but how or in
what manner he was thus consulted appears in none”.
Apa
yang dikatakan oleh Bil 27:21 tidaklah menunjukkan cara penggunaan Urim dan
Tumim.
Bil
27:21 - “Ia harus berdiri di depan imam Eleazar, supaya Eleazar menanyakan
keputusan Urim bagi dia di hadapan TUHAN; atas titahnya mereka akan keluar dan
atas titahnya mereka akan masuk, ia beserta semua orang Israel, segenap umat
itu.’”.
“Lalu berkatalah Saul:
"Ya, TUHAN, Allah Israel, mengapa Engkau tidak menjawab hamba-Minyak urapan
pada hari ini? Jika kesalahan itu ada padaku atau pada anakku Yonatan, ya TUHAN,
Allah Israel, tunjukkanlah kiranya Urim; tetapi jika kesalahan itu ada pada
umat-Mu Israel, tunjukkanlah Tumim." Lalu didapati Yonatan dan Saul, tetapi
rakyat itu terluput.” (1 Sam. 14:41). Catatan: Dalam Masoretic Text, ayat ini
lebih pendek dan tidak menyinggung Urim & Tumim, LAI menerjemahkan dari
Septuaginta. Ini juga menjelaskan mengapa Clarke tidak membahas 1 Sam. 14:41.
Tidak perlu pakai mimpi, dalam Septuaginta ada indikasinya kok. Jadi,
berdasarkan teks ini, Urim dan Tumim itu dipakai seperti semacam undian. Setelah
berdoa kepada Tuhan, imam akan meminta jawaban Tuhan,
dan akan meng-assign jawaban tertentu kepada Urim, dan jawaban yang
lain kepada Tumim. Jadi, cara kerjanya rupanya adalah dengan menanyakan dua alternatif. Ini
cocok dengan Bilangan 27:21. Kita juga tahu bahwa Urim Tumim ditaruh di tutup
dada imam besar (Kel. 28:30), jadi implikasinya adalah: setelah berdoa, imam
mengambil salah satu objek di dalam tutup dadanya. Jika yang keluar adalah Urim,
maka dia mendapat jawaban dari Tuhan sesuai doanya tadi, apa yang dia minta
untuk Urim. Sama dengan Tumim. Kalaupun ada yang memprotes bahwa Septuaginta di
sini salah (dan ini protes yang sah), tetap saja bukan berarti pengajaran Dr.
Suhento Liauw berasal dari “mimpi,” melainkan ada landasan yang bisa
diperiksa.
Tanggapan balik Budi Asali:
Saya tanya: bentuknya Urim dan Tumim bagaimana? Saya juga tahu kalau
bisa jawab Urim atau Tumim, tetapi caranya bagaimana? Bentuknya seperti mata
uang, lalu dilemparkan ke atas? Atau seperti dadu, yang lalu dilemparkan? Atau
seperti kartu, lalu dipilih salah satu? Tak ada yang tahu, bukan? Ini yang saya
maksudkan tak ada yang tahu cara penggunaannya!
9) Ia percaya bahasa Roh,
nubuat, mimpi dari Tuhan, malaikat datang beri petunjuk firman, karunia lakukan
mujijat / kesembuhan; semua ini tak ada lagi. 1Kor 13:8 ditafsirkan menunjuk
pada selesainya penulisan Kitab Suci. Ia membahas kata Yunani TON TELEION dalam
ayat itu dan ia mengartikannya sebagai ‘the perfect thing’.
Bukan “ton teleion,”
tetapi “to teleion”. Ini adalah perbedaan gender maskulin atau netral dalam
Yunani, dan menjadi salah satu inti argumen justru.
Tanggapan
Budi Asali:
Sepanjang
saya tahu, tak ada satupun Kitab Suci bahasa Inggris yang menterjemahkan ‘the
perfect thing’.
KJV:
‘But
when that which is perfect is come, then that which is in part shall be done
away’.
RSV:
‘but
when the perfect comes, the imperfect will pass away’.
NIV:
‘but
when perfection comes, the imperfect disappears’.
NASB:
‘but when the perfect comes, the partial will be done away’.
ASV:
‘but
when that which is perfect is come, that which is in part shall be done away’.
NKJV:
‘But when that which is perfect has come, then that which is in part
will be done away’.
Memang Dr. Suhento Liauw
tidak mengatakan ada Alkitab yang menerjemahkannya demikian. Tetapi
dia menunjukkan sebuah
interlinear yang menerjemahkan “the perfect thing.”
Dan sekalipun memang ada
penafsir-penafsir yang menafsirkan bahwa ini menunjuk pada selesainya penulisan
Alkitab, tetapi hanya sangat sedikit penafsir yang menafsir seperti itu. Pada
umumnya para penafsir mengatakan bahwa ini menunjuk pada saat kita masuk surga /
pada kedatangan Kristus yang keduakalinya.
Saya tidak mau panjang
lebar menjawab ini, karena ini adalah materi seminarnya. Kebenaran memang bukan
berdasarkan banyaknya penafsir.
Tanggapan balik Budi Asali:
Memang, tetapi pada saat banyak penafsir itu menggunakan
argumentasi-argumentasi yang meyakinkan, maka kalau anda tetap tak mau peduli,
anda tak Alkitabiah! Text itu, khususnya ay 10,12, tidak memungkinkan itu
kita menafsirkan TO TELEION sebagai menunjuk pada lengkapnya Alkitab.
1Kor 13:8-10 - “(8)
Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti;
pengetahuan akan lenyap. (9) Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat
kita tidak sempurna. (10) Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak
sempurna itu akan lenyap”.
Kalau kata-kata ‘jika
yang sempurna tiba’ (ay 10) dianggap menunjuk pada saat Alkitab lengkap, bagaimana
mungkin pada saat itu pengetahuan akan lenyap? Bukankah dengan lengkapnya
Alkitab, pengetahuan bukan saja tidak lenyap, tetapi makin bertambah?
Wah, berarti Budi Asali
tidak mendengarkan seminar dengan baik. Poin ini selalu dibahas oleh Dr. Suhento
Liauw. Saya yang sudah ikut seminarnya berkali-kali tahu bahwa ini salah satu
poin yang selalu beliau bahas. Pengetahuan itu bukan mengacu kepada pengetahuan
umum, seperti matematika, atau fisika, atau pengetahuan alam. Konteks sedang
bicara mengenai karunia rohani (lihat dua item lainnya adalah karunia bahasa
lidah, dan karunia bernubuat). Jadi pengetahuan ini juga mengacu kepada suatu
karunia rohani, yaitu yang disebut Paulus dalam 1 Kor. 12:8, yaitu “karunia
berkata-kata dengan pengetahuan,” yang disingkat saja “pengetahuan” di
pasal 13. Ini adalah synecdoche.
Tanggapan balik Budi Asali:
Yang bicara tentang pengetahuan umum siapa? Anda tak mengerti
kata-kata saya? Saat itu sudah ada Perjanjian Lama, dan juga mungkin kitab-kitab
Injil. Jadi orang sudah punya pengetahuan rohani, tetapi hanya sebagian, karena
Perjanjian Baru belum lengkap. Pada saat Perjanjian Baru lengkap, kan
pengetahuan rohani itu bertambah? Kok bisa dikatakan bahwa pada saat itu
pengetahuan ‘akan lenyap’? Jadi jelas, itu tidak mungkin menunjuk pada
lengkapnya Alkitab, tetapi pasti menunjuk pada kedatangan Kristus yang
keduakalinya.
Kalau ‘pengetahuan’ dianggap sebagai karunia, lalu ‘iman’
dan ‘kasih’ tidak? Lucu sekali! Anda tak pernah perhatikan ikatan kalimat /
kata-katanya dalam menafsir! Dalam menafsir, anda yang punya gelar ‘doktor’,
menafsir seperti anak Sekolah Minggu!
Synecdoche tidak menyingkat seperti itu! Jangan omong kosong!
Synecdoche adalah gaya bahasa dimana kadang-kadang disebutkan hanya sebagian,
tetapi yang dimaksud adalah seluruhnya, dan kadang-kadang terbalik. Yang
dibicarakan seluruhnya, tetapi yang dimaksudkan adalah sebagian. Misalnya kalau
dikatakan mata Tuhan ada di segala tempat. Ini memang digabungkan dengan
Anthropomorphism, tetapi jelas juga merupakan synecdoche, karena yang
dibicarakan sebagian, yaitu ‘mata’, tetapi jelas yang ada di segala tempat
adalah seluruh diri Allah.
Tetapi synecdoche tidak menyingkat ‘karunia berkata-kata dengan
pengetahuan’, menjadi ‘pengetahuan’! Jangan ngawur saja kalau pakai
istilah!
Kata ‘pengetahuan’ tak bisa diartikan seperti itu karena
dihubungkan dengan karunia bernubuat dan karunia bahasa Roh. Kata
‘pengetahuan’ harus ditafsir sesuai kontext. Perhatikan 1Kor 13:2 - “Sekalipun
aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan
memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna
untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali
tidak berguna”.
Juga perhatikan 1Kor 13:12b - “Sekarang aku hanya mengenal
dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna,
seperti aku sendiri dikenal”.
Mengapa sekarang mengenal dengan tidak sempurna? Karena pengetahuan
juga tidak sempurna. Mengapa nanti ‘mengenal dengan sempurna’? Karena
pengetahuan nanti menjadi sempurna!
Jadi jelas kata ‘pengetahuan’ tak berhubungan dengan ‘karunia
berkata-kata dengan pengetahuan’, tetapi memang merupakan ‘pengetahuan itu
sendiri’ (rohani)!
Tetapi kalau diartikan
menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya, maka itu memang
memungkinkan, karena pengetahuan pada saat itu pastilah sangat berbeda dengan
pengetahuan kita di dunia ini. Jadi pengetahuan yang sekarang ini, yang tidak
lengkap / tidak sempurna, akan lenyap, digantikan oleh pengetahuan yang sempurna
/ lengkap, yang sama sekali baru.
Pertama, “to teleion”
tidak mungkin mengacu kepada Kristus, karena gendernya netral.
Tanggapan balik Budi Asali:
Kalau saya mengatakan bahwa TO TELEION menunjuk pada kedatangan
Kristus yang keduakalinya, itu tak berarti menunjuk kepada Kristusnya! Tetapi
bisa pada keadaan sempurna / kesempurnaan, pada saat Ia datang kedua-kalinya!
Jadi tak masalah dengan gender yang netral!
By the way, mengapa anda tak bicara tentang case / kasus dari kata
To TELEION itu? Suhento Liauw mengatakan itu case-nya akusatif, saya mengatakan
itu pasti nominatif. Yang mana yang benar? Dia ngawur bukan? Dan anda pura-pura
melupakan hal itu?
Kedua, kalau mau
menafsirkan ini mengacu kepada “kedatangan Kristus,” tidak membantu
menyelesaikan masalah “pengetahuan” tadi. Karena setelah Kristus datang,
pengetahuan kita (dalam artian pengetahuan pada umumnya) tidak hilang. Bertambah
sudah pasti! Menjadi lebih baik sudah pasti! Tetapi yang lama tidak lenyap.
Apakah pengetahuan kita bahwa 2 + 2 = 4 akan lenyap saat Kristus datang? Ingat
ayat berkata “lenyap,” bukan berubah, bukan ditambah, bukan dimodifikasi,
tetapi lenyap!
Tanggapan balik Budi Asali:
Hehehe, alangkah bodohnya. Anda sendiri mengatakan bahwa yang
dimaksudkan adalah pengetahuan rohani. Kok bisa tahu-tahu bicara tentang 2 + 2 =
4? Itu pengetahuan rohani?
Anda tak pintar membaca tulisan, Steven? saya kutip ulang kata-kata
saya sendiri.
“Tetapi kalau diartikan menunjuk pada kedatangan Kristus yang
keduakalinya, maka itu memang memungkinkan, karena pengetahuan pada saat itu
pastilah sangat berbeda dengan pengetahuan kita di dunia ini. Jadi
pengetahuan yang sekarang ini, yang tidak lengkap / tidak sempurna, akan lenyap,
digantikan oleh pengetahuan yang sempurna / lengkap, yang sama sekali baru.”.
Menurut saya ini sama dengan istilah ‘langit dan bumi yang
sekarang akan lenyap’ dan diganti dengan ‘langit dan bumi yang baru’. Bdk.
2Pet 3:10-13 Wah 21:1.
Jadi, memang tidak ada
cara selain melihat bahwa “pengetahuan” ini mengacu kepada “karunia
berkata-kata dengan pengetahuan.” Ini sekaligus cocok dengan konteks. 1
Korintus 13 membandingkan karunia rohani dengan kasih. 13:1-3 mengajarkan bahwa
kasih lebih penting dari karunia rohani. 13:4-7 menjelaskan superioritas kasih.
13:8-13 mengajarkan bahwa kasih lebih bertahan lama daripada karunia rohani. Ini
dalam konteks bahwa jemaat Korintus menyalahgunakah karunia rohani mereka.
Tanggapan balik Budi Asali:
Omong kosong. Sudah saya buktikan di atas bahwa ay 2 dan ay 12
menunjukkan bahwa ‘pengetahuan’ memang adalah ‘pengetahuan’ (rohani),
bukan ‘karunia berkata-kata dengan pengetahuan’.
Sekarang kita lihat ay 1-3.
1Kor 13:1-3 - “(1) Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan
semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai
kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. (2)
Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui
segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman
yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai
kasih, aku sama sekali tidak berguna. (3) Dan sekalipun aku membagi-bagikan
segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi
jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku”.
Omong kosong lagi kalau 1Kor 13:1-3 hanya bicara tentang
‘karunia-karunia’. Ay 1 memang bicara tentang ‘karunia bahasa Roh’,
tetapi ay 2 berbicara tentang ‘karunia bernubuat’ dan ‘pengetahuan’ dan
‘iman’. Sedangkan ay 3 bicara tentang apa? ‘sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang
ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar’ (ay 3a). Ini karunia apa?
Saya ingin memberikan penafsiran beberapa penafsir tentang kata
‘pengetahuan’ dalam ay 2, dan ‘kerelaan memberikan sesuatu dan bahkan
menyerahkan tubuh untuk dibakar’ dalam ay 3.
Matthew
Henry:
“Prophecy,
and the understanding of mysteries, and all knowledge. This without charity is
as nothing, v. 2. Had a man ever so clear an understanding of the prophecies and
types under the old dispensation, ever so accurate a knowledge of the doctrines
of Christianity, nay, and this by inspiration, from the infallible dictates and
illumination of the Spirit of God, without charity he would be nothing; all this
would stand him in no stead. Note, A clear and deep head is of no signification,
without a benevolent and charitable heart. It is not great knowledge that God
sets a value upon, but true and hearty devotion and love”.
Adam Clarke:
“[And
understand all mysteries] The meaning of all the types and figures in the Old
Testament, and all the unexplored secrets of nature; and all knowledge-every
human art and science; and thought I have all faith-such miraculous faith as
would enable me even to remove mountains; or had such powerful discernment in
sacred things that I could solve the greatest difficulties, see the note at Matt
21:21, and have not charity-this love to God and man, as the principle and
motive of all my conduct, the characteristics of which are given in the
following verses; I am nothing-nothing in myself, nothing in the sight of God,
nothing in the church, and good for nothing to mankind. Balsam, and several
others not under the influence of this love of God, prophesied; and we daily see
many men, who are profound scholars, and well skilled in arts and sciences, and
yet not only careless about religion but downright infidels! It does not require
the tongue of the inspired to say that these men, in the sight of God, are
nothing; nor can their literary or scientific acquisitions give them a passport
to glory”.
Saya
tak terjemahkan, tetapi intinya jelas bahwa Matthew Henry maupun Adam Clarke
menganggap ‘pengetahuan’ sebagai ‘pengetahuan’, bukan ‘karunia untuk
berkata-kata dengan pengetahuan’!
Matthew
Henry:
“4. The outward acts of
charity: Bestowing his goods to feed the poor, v. 3. Should all a man has
be laid out in this manner, if he had no charity, it would profit him nothing.
There may be an open and lavish hand, where there is no liberal and charitable
heart. The external act of giving alms may proceed from a very ill principle.
Vain-glorious ostentation, or a proud conceit of merit, may put a man to large
expense this way who has no true love to God nor men. Our doing good to others
will do none to us, if it be not well done, namely, from a principle of devotion
and charity, love to God, and good-will to men. Note, If we leave charity out of
religion, the most costly services will be of no avail to us. If we give away
all we have, while we withhold the heart from God, it will not profit. 5. Even
sufferings, and even those of the most grievous kind: If we give our bodies to
be burnt, without charity, it profiteth nothing, v. 3. Should we sacrifice our
lives for the faith of the gospel, and be burnt to death in maintenance of its
truth, this will stand us in no stead without charity, unless we be animated to
these sufferings by a principle of true devotion to God, and sincere love to his
church and people, and good-will to mankind. The outward carriage may be
plausible, when the invisible principle is very bad. Some men have thrown
themselves into the fire to procure a name and reputation among men. It is
possible that the very same principle may have worked up some to resolution
enough to die for their religion who never heartily believed and embraced it.
But vindicating religion at the cost of our lives will profit nothing if we feel
not the power of it; and true charity is the very heart and spirit of religion.
If we feel none of its sacred heat in our hearts, it will profit nothing, though
we be burnt to ashes for the truth. Note, The most grievous sufferings, the most
costly sacrifices, will not recommend us to God, if we do not love the brethren;
should we give our own bodies to be burnt, it would not profit us. How strange a
way of recommending themselves to God are those got into who hope to do it by
burning others, by murdering, and massacring, and tormenting their
fellow-christians, or by any injurious usage of them! My soul, enter not thou
into their secrets. If I cannot hope to recommend myself to God by giving my own
body to be burnt while I have no charity, I will never hope to do it by burning
or maltreating others, in open defiance to all charity”.
Barnes’
Notes:
“[And though I bestow] The Greek
word used here psoomisoo,
from psaoo,
to break off) meant properly to break off, and distribute in small portions; to
feed by morsels; and may be applicable here to distributing one's property in
small portions. Charity or alms to the poor, was usually distributed at one's
gate (Luke 16:20,) or in some public place. Of course, if property was
distributed in this manner, many more would be benefitted than if all were given
to one person. There would be many more to be thankful, and to celebrate one's
praises. This was regarded as a great virtue; and was often performed in a most
ostentatious manner. It was a gratification to wealthy men who desired the
praise of being benevolent, that many of the poor flocked daily to their houses
to be fed; and against this desire of distinction, the Saviour directed some of
his severcst reproofs; see Matt 6:1-4. To make the case as strong as possible,
Paul says that if ALL that a man had were dealt out in this way, in small
portions, so as to benefit as many as possible, and yet were not attended
"with true love toward God and toward man," it would be all false,
hollow, hypocritical, and really of no value in regard to his own salvation. It
would profit nothing. It would not be such an act as God would approve; it would
be no evidence that the soul would be saved. Though good might be done to
others, yet where the "motive" was wrong, it could not meet with the
divine approbation, or be connected with his favor. [And though I give my body
to be burned] Evidently as a martyr, or a witness to the truth of religion.
Though I should be willing to lay down my life in the most painful manner, and
have not charity, it would profit me nothing”.
Intinya
tentang ay 3 dimana orang membagi-bagikan segala sesuatu dan bahkan menyerahkan
diri untuk dibakar, kalau tak ada kasih (motivasinya salah), itu ia anggap
sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk pameran saja, dan tak ada harganya /
nilainya sama sekali. Jelas Matthew Henry maupun Albert Barnes tidak
menganggap hal-hal ini sebagai karunia-karunia rohani.
Jadi kesimpulan saya: sekalipun mungkin penekanan utama adalah
kesuperioran kasih terhadap karunia-karunia rohani, tetapi jelas bukan HANYA terhadap karunia-karunia
rohani!
1Kor 13:4-7 tidak menunjukkan kesuperioran kasih, tetapi menunjukkan
apa itu kasih.
1Kor 13:4-7 - “(4) Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia
tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. (5) Ia tidak
melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak
pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. (6) Ia tidak bersukacita
karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. (7) Ia menutupi segala sesuatu,
percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala
sesuatu.”.
Yang menunjukkan kesuperioran kasih adalah ay 1-3! Tetapi bukan
hanya atas karunia-karunia rohani, tetapi juga atas tindakan-tindakan ketaatan
(ay 3), pengetahuan (ay 2), dan iman (ay 2).
1Kor 13:8-13 - “(8) Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan
berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. (9) Sebab
pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. (10) Tetapi jika
yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap. (11) Ketika aku
kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti
kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi
dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. (12) Karena sekarang kita
melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan
melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna,
tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri
dikenal. (13) Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan
kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih”.
Anda mengatakan “13:8-13 mengajarkan bahwa kasih lebih bertahan
lama daripada karunia rohani. Ini dalam konteks bahwa jemaat Korintus
menyalahgunakah karunia rohani mereka”.
Tetap bicara karunia rohani? Lalu bagaimana menafsirkan ‘iman’
dan ‘pengharapan’ dalam ay 13? Itu juga karunia-karunia rohani?
Adam
Clarke (tentang 1Kor 13:10): “‘But when that which is perfect.’ The
state of eternal blessedness; then that which is in part - that which is
imperfect, shall be done away; the imperfect as well as the probationary state
shall cease for ever”.
Konteks di 1 Korintus
13:13 tidak cocok dengan penafsiran bahwa yang dimaksud adalah kondisi
kekekalan. Dalam ayat 13 tersebut, setelah hilangnya nubuat, bahasa roh, dan
karunia pengetahuan, akan tinggal iman, pengharapan dan kasih. Ini jelas belum
kekekalan. Dalam kekekalan, tidak diperlukan lagi iman, karena iman sudah
menjadi kenyataan, “faith turn into sight” (Ibr. 11:1). Juga tidak perlu
lagi pengharapan, karena sudah terjadi (Roma 8:24).
Tanggapan balik Budi Asali:
Kelihatannya tidak cocok, karena terjemahan Indonesia salah.
Seharusnya dalam ay 13 ada kata ‘sekarang’. RSV sama salahnya dengan Kitab
Suci Indonesia, dan tidak mempunyai kata tersebut.
1Kor 13:13 - “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman,
pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih”.
KJV: And now abideth faith, hope, charity, these three; but the
greatest of these is charity.
NIV: And now these three remain: faith, hope and love. But the
greatest of these is love.
NASB: But now faith, hope, love, abide these three; but the greatest of
these is love.
ASV: But now abideth faith, hope, love, these three; and the greatest
of these is love.
NKJV: And now abide faith, hope, love, these three; but the greatest of
these is love.
Jadi setelah bicara tentang kedatangan Kristus yang
keduakalinya dalam ay 10-12, maka dalam ay 13, Paulus kembali bicara masa
sekarang.
Adam
Clarke (tentang 1Kor 13:13):
“‘And now (in this present life) abideth faith, hope,
charity’” [=
‘Dan sekarang (dalam hidup
sekarang ini) tinggal iman,
pengharapan, kasih’].
10) Mulai saat Yesus mati
sampai Kitab Suci selesai ditulis rasul-rasul jadi Standard kebenaran.
Konteksnya adalah mereka
menjadi Standar Kebenaran terutama dalam fungsi mereka sebagai saksi kebangkitan
Yesus dan semua pengajaran Yesus, dan dalam menuliskan Firman Tuhan. Lihat juga
Efesus 2:20. Bukan berarti secara pribadi mereka tidak bisa salah, jadi semua
kutipan Firman Tuhan di bawah, saya aminkan.
Apakah Dr. Suhento Liauw
ada mengatakan bahwa para Rasul tidak bisa berbuat salah dalam seminar itu? Saya
yakin tidak. Mahasiswa GITS pasti tertawa mendengar tuduhan ini, karena mereka
sering mendengar Dr. Suhento Liauw menjabarkan beberapa kesalahan rasul
tertentu. Jadi, saya curiga beberapa poin yang muncul di sini ini adalah karena
over-zealous-nya Budi Asali mencari kesalahan.
Tanggapan Budi Asali:
Kok Petrus bisa salah, dalam
Kis 10 dan Gal 2?
Kis 10:13-15,34-35 - “(13)
Kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata: ‘Bangunlah, hai Petrus,
sembelihlah dan makanlah!’ (14) Tetapi Petrus menjawab: ‘Tidak, Tuhan,
tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir.’
(15) Kedengaran pula untuk kedua kalinya suara yang berkata kepadanya: ‘Apa
yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.’ ... (34)
Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: ‘Sesungguhnya aku telah mengerti,
bahwa Allah tidak membedakan orang. (35) Setiap orang dari bangsa manapun yang
takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya”.
Gal 2:11-14 - “(11)
Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab
ia salah. (12) Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia
makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah
mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan
saudarasaudara yang bersunat. (13) Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut
berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh
kemunafikan mereka. (14) Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak
sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua:
‘Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi,
bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk
hidup secara Yahudi?’”.
Dan Yohanes bisa salah
dengan menyembah malaikat?
Wah 19:10 - “Maka
tersungkurlah aku di depan kakinya untuk menyembah dia, tetapi ia berkata
kepadaku: ‘Janganlah berbuat demikian! Aku adalah hamba, sama dengan engkau
dan saudara-saudaramu, yang memiliki kesaksian Yesus. Sembahlah Allah! Karena
kesaksian Yesus adalah roh nubuat.’”.
Wah 22:8-9 - “(8)
Dan aku, Yohanes, akulah yang telah mendengar dan melihat semuanya itu. Dan
setelah aku mendengar dan melihatnya, aku tersungkur di depan kaki malaikat,
yang telah menunjukkan semuanya itu kepadaku, untuk menyembahnya. (9) Tetapi ia
berkata kepadaku: ‘Jangan berbuat demikian! Aku adalah hamba, sama seperti
engkau dan saudarasaudaramu, para nabi dan semua mereka yang menuruti segala
perkataan kitab ini. Sembahlah Allah!’”.
Tanggapan balik Budi Asali:
Saya hanya menilai Suhento Liauw dalam seminar. Dia
mengatakan seperti itu, dan bukan salah saya kalau membantah seperti itu.
Mestinya kalau mau mengatakan rasul jadi standard kebenaran, dia harus
menjelaskan dalam arti apa ia memaksudkan hal itu. Dia tidak mengatakan apa yang
anda katakan, dan itu salahnya dia.
11) Mat 11:13-14 - “(13)
Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga tampilnya Yohanes (14) dan -
jika kamu mau menerimanya - ialah Elia yang akan datang itu.”.
Ini ditafsirkan, jika kamu
mau menerima, ia adalah Elia, jika tidak mau terima ia adalah Yohanes Pembaptis!
M
Tanggapan Budi Asali :
Ini ajaran sinting, dan
merupakan penafsiran ‘liar’, yang tidak membutuhkan tanggapan.
Karena Budi Asali tidak
menanggapi dan merasa tidak perlu menanggapi, berarti juga tidak ada apa-apa
yang bisa saya tanggapi lagi. Kalau ada waktu lebih mestinya saya akan senang
menjabarkan pengajaran ayat ini secara lebih mendetil, jadi pembaca bisa melihat
keseluruhan penjelasan, bukan sepenggal kalimat. Tetapi waktu saya sungguh
terbatas. Hanya satu poin saja: yang jelas ayat ini mengajarkan
Allah berurusan dengan suatu event yang contingent
(tidak harus/pasti, bisa A atau bisa B). Nah, saya paham bahwa
event yang contingent sejati itu tidak ada dalam kamus Kalvinis
seperti Budi Asali. Mungkin inilah mengapa ia bilang ini “ajaran sinting.”
Tanggapan balik Budi Asali:
Saya anggap orang mengerti kalau itu tafsiran sinting, tetapi karena
anda tak mengerti, saya jelaskan. Yohanes Pembaptis memang adalah ‘Elia’
yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama (bukan berarti Elia reinkarnasi, tetapi
ia datang dalam, roh dan kuasa Elia).
Luk 1:17 - “dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh
dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan
hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian
menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagiNya.’”.
Jadi, itu kebenarannya; Yohanes Pembaptis adalah Elia. Kata-kata
‘Jika engkau mau menerimanya’ tidak bisa diartikan seperti Suhento Liauw
katakan. Mau menerima atau tidak mau menerima tetap saja Yohanes Pembaptis
adalah Elia! Kok bisa kalau tidak mau menerima maka Yohanes Pembaptis adalah
Yohanes Pembaptis??? Lucu, dan gila!
12) Karena mau gerejanya
steril, Suhento Liauw selalu khotbah sendiri.
Tanggapan Budi Asali:
Lucu sekali. Kalau dia yang
khotbah pasti steril? Jadi ajarannya Suhento Liauw itu inerrant / infallible?
Dan bagaimana kalau dia mati? Anaknya sendiri steril atau tidak? Apa mungkin dua
orang punya theologia yang persis sama?
Khotbah sendiri? Mungkin
Budi Asali salah dengar? Atau mengabaikan konteks? Posisi Dr. Suhento adalah
bahwa yang khotbah di gerejanya hanyalah yang sedoktrin dengan dia. Ini untuk
menjaga agar kesesatan tidak masuk (steril). Di awal-awal memang kebanyakan Dr.
Suhento Liauw yang khotbah. Tetapi setelah ada banyak lulusan GITS, pengkhotbah
di gereja kami cukup bervariasi. Juga, kalau ada tamu yang sedoktrin, kami
sering memintanya khotbah. Dua orang bisa saja punya theologi yang berbeda
sedikit-sedikit dalam hal-hal yang tidak major,
tetapi tetap bisa dikatakan sedoktrin dalam hal-hal yang major.
Tanggapan balik Budi Asali:
Saya yakin tak salah dengar. Ia berkata ‘saya khotbah sendiri’
dan lalu tak ada penjelasan apa-apa.
13) Kata ‘Katolik’ dalam
12 Pengakuan Iman Rasuli (Indonesia diterjemahkan ‘AM’), disamakan dengan
gereja Katolik!
Tanggapan
Budi Asali:
Kata
yang sama belum tentu artinya sama, dan kalau artinya sama belum tentu menunjuk
pada hal yang sama. Kata ‘Katolik’ memang artinya ‘am’ atau
‘universal’. Jadi kata-kata dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli versi bahasa
Inggris, ‘the Holy Catholic Church’ (Gereja Katolik yang kudus / Gereja yang
kudus dan am), tidak salah. Ini menunjuk pada Gereja yang tak kelihatan, atau
gereja universal, yaitu semua orang percaya di seluruh dunia dan sepanjang
jaman.
Encyclopedia
Britannica 2010 dengan entry ‘Catholic’: “(from Greek katholikos, ‘universal’), the characteristic that,
according to ecclesiastical writers since the 2nd century, distinguished the
Christian Church at large from local communities or from heretical and
schismatic sects. A notable exposition of the term as it had developed during
the first three centuries of Christianity was given by St. Cyril of Jerusalem in
his Catecheses (348): the church is called catholic on the ground of its
worldwide extension, its doctrinal completeness, its adaptation to the needs of
men of every kind, and its moral and spiritual perfection. The theory that what
has been universally taught or practiced is true was first fully developed by
St. Augustine in his controversy with the Donatists (a North African heretical
Christian sect) concerning the nature of the church and its ministry. It
received classic expression in a paragraph by St. Vincent of Lérins in his
Commonitoria (434), from which is derived the formula: ‘What all men have at
all times and everywhere believed must be regarded as true.’ St. Vincent
maintained that the true faith was that which the church professed throughout
the world in agreement with antiquity and the consensus of distinguished
theological opinion in former generations. Thus, the term catholic tended to
acquire the sense of orthodox. Some confusion in the use of the term has been
inevitable, because various groups that have been condemned by the Roman
Catholic Church as heretical or schismatic never retreated from their own claim
to catholicity. Not only the Roman Catholic Church but also the Eastern Orthodox
Church, the Anglican Church, and a variety of national and other churches claim
to be members of the holy catholic church, as do most of the major Protestant
churches”.
Tetapi
istilah ‘Katolik’ juga digunakan oleh Gereja Roma Katolik, mungkin karena
mereka menganggap mereka adalah satu-satunya gereja universal. Itu sebetulnya
merupakan suatu penggunaan yang kontradiksi, karena ‘Roma’ merupakan sebutan
yang bersifat lokal, sedangkan ‘Katolik’ sebutan yang bersifat universal.
Bahwa
mereka menggunakan kata itu secara salah, itu urusan mereka. Tetapi kalau
Suhento Liauw melarang / menyalahkan orang Kristen menggunakan kata itu,
merupakan suatu kebodohan! Mengapa? Karena gereja-gereja yang dikecam oleh
Gereja Roma Katolik sebagai gereja sesat, termasuk gereja Protestan, juga mengclaim
istilah itu bagi gereja mereka, karena mereka menganggap gereja
merekalah yang benar.
Dr. Suhento Liauw bukan
tidak tahu bahwa gereja Roma menggunakan “katolik” dalam pengertian yang
berbeda dari gereja-gereja Protestan. Namun tetap pada intinya sama, dan salah.
Roma mengatakan dirinya adalah gereja yang “katolik” yaitu “universal.”
Mereka percaya kepada gereja yang
universal dan kelihatan
(Universal Visible Church). Jadi, “kelihatan” bahwa gereja Roma ada di
manamana, di setiap negara. Para Reformator yang keluar dari Roma, bukannya
bergabung dengan gerejagereja sejati saat itu (misal gereja-gereja Anabaptis,
sebaliknya malah menganiaya mereka, terutama Zwingli). Calvin, Luther, Zwingli,
semuanya “dipercik” waktu bayi sebagai seorang Katolik. Jadi, mereka adalah
anggota gereja Katolik Roma. Mereka terbiasa dengan konsep gereja yang
“universal.” Dan sampai matinya mereka, mereka tidak pernah menyangkali
“percikan bayi” mereka yang menjadikan mereka anggota gereja Roma. Mereka
tidak pernah mencari baptisan yang alkitabiah.
Kaum
Baptis memiliki konsep bahwa gereja adalah lokal, bukan universal. Bahkan ekklesia
yang universal adalah suatu kontradiksi istilah, karena ekklesia
berarti assembly, atau perkumpulan, yang per definisi haruslah
lokal. Kami percaya kepada gereja yang Visible
dan
Local.
Para reformator, setelah keluar dari Katolik, harus mencari definisi gereja yang
baru, sebab jelas gereja mereka tidaklah Visible
dan
Universal.
Jadi, mereka menciptakan suatu konsep, yaitu gereja yang Universal
dan Invisible.
Intinya, mereka setuju dengan Katolik, bahwa gereja itu universal,
tetapi menjadikannya invisible,
sedangkan Katolik menjadikannya visible.
Kami tidak setuju bahwa gereja itu universal.
Ini adalah kata-kata yang sangat singkat untuk suatu topik yang sangat mendalam,
yang berakar kepada apa itu hakekat ekklesia. Tempat
dan waktu saya tidak memungkinkan penjelasan panjang lebar. Pembaca yang ingin
tahu lebih lanjut, saya rujuk kepada http://bbccromwell.
org/Seminary_Articles/Ye-are-Body-of-Christ.pdf
Tanggapan balik Budi Asali:
Anda menyebut Anabaptis sebagai gereja yang sejati. Hehehe. Dasarnya
apa? Menurut saya itu gereja sesat, sekalipun saya tak tahu seluruh ajarannya.
Teapi jelas ada beberapa yang sesat, dan saya tahu karena Calvin sering
membahasnya.
Mengapa gerangan para Reformator harus menggabungkan diri dengan
gereja yang ajarannya jelas berbeda dengan mereka? Kalau di atas Suhento Liauw
mau khotbah sendiri (atau anda katakan hanya orang-orang yang sealiran yang
boleh khotbah), mengapa sekarang anda salahkan para Reformator yang tak mau
gabung dengan Anabaptis, yang jelas-jelas beda aliran dengan mereka? Sangat
tidak konsisten bukan? Anda sendiri, atau Suhento Liauw, mengapa mendirikan
GBIA, dan tidak gabung dengan gereja-gereja yang sudah ada sebelum anda? Kalian
boleh dirikan gereja sendiri, dan para Reformator tak boleh? Dengan otoritas apa
anda melarang?
Saya pernah baca Anabaptis dianiaya, tetapi siapa yang melakukan?
Zwingli? Dia sendiri? Saya kok tidak yakin, karena pada hari Reformasi tahun
lalu (tahun 2011) saya membahas tentang Zwingli dan saya tak menjumpai hal itu.
Dan kalau ada kesalahan dari siapapun, itu kesalahan oknum, tak bisa dipukul
rata semua seperti itu! Kalau kalian memfitnah, seperti yang sudah saya
buktikan, saya tak akan mengatakan semua gereja Baptis pemfitnah. Bahkan saya
tak berani mengatakan seluruh jemaat kalian dan mahasiswa theologia kalian
adalah pemfitnah!
Luther, Zwingli, Calvin keluar (atau dikeluarkan) dari Gereja Roma
Katolik, jelas karena adanya pertentangan Theologia antara mereka dengan ajaran
Gereja Roma Katolik. Tetapi kalau ada pertentangan theologia, bukan berarti
bertentangan dalam segala hal. Misalnya doktrin Allah Tritunggal ataupun
Kristologi, jelas sama. Gereja Roma Katolik tidak salah dalam hal itu. Demikian
juga dalam hal baptisan. Mereka salah dalam hal-hal lain, seperti doktrin
Alkitab, juga keselamatan karena iman dan perbuatan baik, dan adanya Paus,
doktrin-doktrin tentang Maria dan sebagainya. Sekalipun banyak, tak bisa
dikatakan bahwa mereka salah dalam segala hal! Jadi, para tokoh Reformasi, tentu
harus memilah-milah, bukan membuang semua ajaran Gereja Roma Katolik, tetapi
membuang hanya yang salah, dan mempertahankan yang benar. Mereka tidak secara
membuta mengikuti baptisan percik, hanya karena pada saat bayi mereka dipercik.
Buktinya mereka punya argumentasi-argumentasi yang mendukung baptisan percik,
dan yang sudah saya gunakan untuk menghancurkan keharusan baptisan selam anda!
Itu menunjukkan mereka menyeleksi, membahas matang-matang yang mana
yang harus diterima dan yang mana yang harus ditolak. Memang masih ada hal-hal
dimana sukar membuang ajaran yang sudah begitu mendarah daging dalam diri
mereka. Misalnya kalau dilihat dari 95 thesis Luther, kelihatannya ia masih
percaya api penyucian. Jelas bahwa ajaran mereka tidak sempurna, termasuk
Calvin. Tetapi bagi saya, Calvin / Calvinist / Calvinisme sudah merupakan yang
terbaik dari semua yang tidak sempurna. Saya punya problem dengan ajaran Luther,
tetapi kalau Luther (bukan Lutheran) dibandingkan kalian, saya pilih Luther!
Sekarang saya ingin bahas kata-kata anda ini: “Kaum
Baptis memiliki konsep bahwa gereja adalah lokal, bukan universal. Bahkan ekklesia
yang universal adalah suatu kontradiksi istilah, karena ekklesia
berarti assembly, atau perkumpulan, yang per definisi haruslah
lokal. Kami percaya kepada gereja yang Visible
dan
Local.
Para reformator, setelah keluar dari Katolik, harus mencari definisi gereja yang
baru, sebab jelas gereja mereka tidaklah Visible
dan
Universal.
Jadi, mereka menciptakan suatu konsep, yaitu gereja yang Universal
dan Invisible.
Intinya, mereka setuju dengan Katolik, bahwa gereja itu universal,
tetapi menjadikannya invisible,
sedangkan Katolik menjadikannya visible.
Kami tidak setuju bahwa gereja itu universal.
Ini adalah kata-kata yang sangat singkat untuk suatu topik yang sangat mendalam,
yang berakar kepada apa itu hakekat ekklesia.”.
Lucu sekali kalau anda pakai nama ‘Alkitabiah’ dalam gereja
anda, tetapi dalam berargumentasi (membenarkan diri sendiri dan menyalahkan
orang lain) anda tak pakai ayat Alkitab sama sekali. Semua ini sampah, karena
tidak ada dasar Alkitabnya sama sekali!
Anda mengatakan bahwa “Bahkan
ekklesia
yang universal adalah suatu kontradiksi istilah, karena ekklesia
berarti assembly, atau perkumpulan, yang per definisi haruslah
lokal.”. Omong kosong. Dalam
dunia apa hanya ada satu EKKLESIA? Pada waktu dikatakan dalam Alkitab bahwa
‘Kristus adalah kepala jemaat / gereja’ (Ef 5:23
Kol 1:18 dsb), saya tanya anda: ini gereja apa yang dimaksudkan? Gereja
lokal? Mustahil bukan? Jadi pasti gereja Universal, yang mencakup juga
orang-orang percaya di tiap gereja lokal (yang tidak percaya tidak termasuk)!
Juga dalam Ro 12:5-dst, dan 1Kor 12:12-dst, orang-orang Kristen
disebut sebagai ‘tubuh Kristus’. Ini orang-orang Kristen dari satu gereja
lokal? Mustahil, karena kalau demikian akan ada satu kepala dengan banyak tubuh,
dan itu menjadi monster! Jadi, ini pasti orang-orang Kristen dari gereja
universal! Istilah ‘gereja universal’ memang tak ada dalam Alkitab, tetapi
ajaran tentang ‘gereja universal’ jelas ada.
By the way, anda kok mau
pakai istilah ‘gereja kelihatan’, ‘gereja lokal’, dsb? Di mana dalam
Alkitab anda ada istilah-istilah itu? Bukankah anda katakan kalau pakai
istilah yang tak ada dalam Alkitab, menjadi tidak Alkitabiah? Hmmm, serangan
tolol anda menjadi boomerang yang menghantam kepala anda sendiri, bukan????
Dalam kalangan kami juga ada gereja lokal dan kelihatan. Saya dengan
Stephen Tong saja sekarang beda gereja. Dia GRII (Gereja Reformed Injili
Indonesia), saya GKRI (Gereja Kristus Rahmani Indonesia). Tetapi istilah gereja
Universal / tak kelihatan, semua harus percaya. Itu menunjuk bukan pada gedung
atau merk gerejanya, tetapi menunjuk kepada semua orang-orang percaya di seluruh
dunia dan dalam sepanjang jaman. Ini pasti ada bukan? Ayat-ayat sudah saya
berikan di atas.
Penjahat yang bertobat dan mati di sisi Yesus, apakah ia anggota
gereja yang kelihatan / lokal? Tidak. Tetapi anggota gereja yang universal / tak
kelihatan, ya! Karena ia beriman pada saat itu dan Yesus menjamin ia masuk
surga!
Kalau tadi anda sama-samakan para tokoh Reformasi dengan Gereja Roma
Katolik, maka sekarang saya minta anda baca kata-kata A. W. Pink di bawah ini!
Arthur
W. Pink: “Among the ‘decrees’ of the
Council of Trent (1563), which is the avowed standard of Popery, we find the following: -
‘If any one shall affirm, that man’s
free-will, moved and excited by
God, does not, by consenting, co-operate with God, the mover and exciter, so
as to prepare and dispose itself for the attainment
of justification; if moreover, anyone shall say, that the human will
cannot refuse complying, if it
pleases, but that it is inactive, and merely passive; let such an one be
accursed’! ‘If anyone shall affirm, that since the fall of Adam,
man’s free-will is lost and extinguished; or, that it is a thing titular, yea a
name, without a thing, and a fiction introduced by Satan into the Church; let
such an one be accursed’! Thus,
those who today insist on the free-will of the natural man believe precisely
what Rome teaches on the subject! That Roman Catholics and Arminians walk hand
in hand may be seen from others of the decrees issued by the Council of Trent:
- ‘If any one shall affirm that a regenerate and justified man is bound to
believe that he is certainly in the number of the elect (which, 1
Thessalonians 1:4, 5 plainly teaches. A.W.P.) let such an one be accursed’!
‘If any one shall affirm with positive and absolute certainty, that he shall
surely have the gift of perseverance to the end (which John 10:28-30 assuredly
guarantees, A.W.P.); let him be accursed’!”
(= ) - ‘The Sovereignty
of God’ (AGES), hal 128-129.
Saya berikan intinya saja bagi
pembaca yang tak mengerti bahasa Inggris. A. W. Pink mengatakan bahwa doktrin
tentang free will dari Gereja Roma Katolik sama dengan doktrin tentang free
will dalam Arminianisme. Demikian juga kalau seseorang yakin bahwa ia akan
bertekun sampai akhir, itu dikutuk oleh Gereja Roma Katolik (sidang gereja
Trent). Jadi, Arminianisme tak percaya point ke 5 dari 5 points Calvinisme,
itu sama dengan kepercayaan Gereja Roma Katolik!
Jadi, siapa yang mirip dengan
Gereja Roma Katolik? Hehehe. Anda tak pernah bercermin???
14)Serang predestinasi dan
katakan neraka bukan dicipta untuk manusia tetapi untuk setan.hai
kamu
malaikat-malaikatnya.”.
Tanggapan Budi Asali:
Jawaban tentang kebodohan
ini tidak saya berikan di sini karena ini berhubungan dengan debat tanggal 24
Agustus 2012 antara Esra + saya vs Steven Liauw + partnernya. Saya tak mau
tunjukkan ‘senjata’ saya sebelum debat tanggal 24 Agustus itu terlaksana.
Tidak perlu komentar dari
saya. Matius 25:41.
Tanggapan balik Budi Asali:
Hehehe, ayatnya tak salah, tetapi tafsirannya yang lucu. Kalau mau
hancur, saya tantang anda, coba gunakan ayat itu dalam debat tanggal 24 Agustus
nanti. Saya akan habisi argumentasi anda berdasarkan ayat itu, semudah
membalikkan tangan saya!
15) Dalam kebaktian tak
boleh ada pemberkatan pada akhir kebaktian. Pemberkatan ada pada jaman keimaman
Harun, jaman sekarang semua orang Kristen adalah imam, jadi tak boleh ada satu
memberkati yang lain. Pemberkatan nikah itu salah, seharusnya peneguhan nikah.
Tanggapan Budi Asali:
Ajaran ini betul-betul gila,
dan tak sulit untuk membantahnya / menghancurkannya.
a) Dalam jaman Perjanjian
Lama, yang memberkati adalah imam besar, tetapi berkat itu sebetulnya jelas
bukan datang dari imam besar itu sendiri, tetapi dari Tuhan. Jadi, imam besar
itu hanyalah alat Tuhan.
Bil 6:22-27 - “(22)
TUHAN berfirman kepada Musa: (23) ‘Berbicaralah kepada Harun dan anak-anaknya:
Beginilah harus kamu memberkati orang Israel, katakanlah kepada mereka: (24)
TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; (25) TUHAN menyinari engkau
dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia; (26) TUHAN menghadapkan
wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. (27) Demikianlah harus
mereka meletakkan namaKu atas orang Israel, maka Aku akan memberkati
mereka.’”.
Lalu mengapa dalam
Perjanjian Baru, pendeta tak boleh jadi alat Tuhan untuk memberikan berkat dalam
kebaktian?
Dalam PL, Tuhan memberkati
melalui imam. Memang Tuhan yang memberkati, itu tidak diragukan siapapun.
Tetapi, dalam PL, imam menjadi media resmi atau saluran resmi berkat Tuhan.
Melalui imam-lah Tuhan secara khusus memberkati umatnya pada waktu itu. Selain
ayat Bilangan 6:22-27 yang sudah dikutip oleh Budi Asali, lihat juga ayat
berikut: “Imam-imam bani Lewi haruslah tampil ke depan, sebab merekalah yang
dipilih TUHAN, Allahmu, untuk melayani Dia dan untuk MEMBERI BERKAT demi nama
TUHAN; menurut putusan merekalah setiap perkara dan setiap hal luka-melukai
harus diselesaikan” (Ul. 21:5). Jadi, Tuhan mengatur bahwa imam-lah yang
memberkati rakyat. Dan Tuhan secara spesial mendengarkan berkat dari imam ini,
sebagaimana Tuhan janjikan di Bil. 6:22-27. Orang-orang non-imam di PL bisa juga
“memberkati,” dalam pengertian memintakan berkat Tuhan atas orang lain.
Tetapi imam, sebagai jabatan yang spesial, memberkati secara spesial, yaitu
sebagai “saluran berkat resmi yang ditunjuk Tuhan.” Praktek mengangkat
tangan memberkati juga adalah praktek imam. “Harun mengangkat kedua tangannya
atas bangsa itu, lalu memberkati mereka, kemudian turunlah ia, setelah
mempersembahkan korban penghapus dosa, korban bakaran dan korban keselamatan”
(Im. 9:22). Budi Asali bertanya, “Lalu mengapa dalam Perjanjian Baru, pendeta
tak boleh jadi alat Tuhan untuk memberikan berkat dalam kebaktian?” Siapapun
bisa menjadi alat Tuhan menjadi berkat bagi orang lain. Tetapi, yang harus
ditanamkan adalah: PENDETA BUKAN IMAM! Jadi, Pendeta bukanlah jabatan yang Tuhan
berikan kuasa khusus untuk memberkati “umat,” seperti imam di PL. (Bahkan
tidak ada jabatan Pendeta dalam Alkitab, saya mengasumsikan yang dimaksud oleh
Budi Asali adalah gembala sidang/penilik/penatua). Pada prakteknya, banyak
“pendeta” yang mencoba membangun suatu atmosfir, seolah-olah dia-lah
“imam” atas jemaatnya. Lalu di akhir kebaktian, dia angkat tangan, lalu
“memberkati” jemaat. Praktek ini sangat bermasalah. Ini mengajarkan kepada
jemaat yang tidak begitu mengerti theologi, bahwa “saya pendeta adalah jalur
Tuhan memberkati kamu,” dan memberi kesan “saya ini imam atas kamu.”
Kalaupun di gereja itu diajarkan keimamatan semua orang percaya, praktek seperti
ini menggerogoti konsep itu. Saya bertanya kepada gereja-gereja yang
“pendeta”nya angkat tangan pada akhir khotbah “memberkati” jemaat.
Apakah mereka akan memperbolehkan seorang jemaat biasa untuk menggantikan
dirinya melakukan itu? Saya yakin hampir semua (kalau bukan semua) akan menjawab
tidak boleh. Kenapa tidak? Bukankah semua orang percaya adalah imam? Nah di
sinilah letak perbedaan teori “imamat semua orang percaya” dengan praktek
lapangan.
Tanggapan balik Budi Asali:
Dalam Perjanjian Lama imam mengajar dan memberkati. Kalau karena
sekarang jaman Perjanjian Baru tak ada imam, dan pendeta bukan imam, dan karena
itu pendeta tak boleh memberkati, maka konsekwensinya, pendeta juga tak boleh
mengajar!
Omong kosong, saya juga memberikan berkat dalam kebaktian, tetapi
tak pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa saya adalah imam! Itu tuduhan tak
berdasar alias FITNAH! Dan kalau urusan memfitnah, kalian berdua, bapak dan
anak, memang jagonya!
Dalam Ibr 7:7 dikatakan bahwa yang lebih tinggi memberkati yang
lebih rendah. Kalau pendeta tak ada, lalu penatua memberkati, boleh saja. Tetapi
kalau jemaat biasa memberkati, dan yang diberkati ada penatua, maka itu
bertentangan dengan Ibr 7:7 tersebut. Jadi, yang melarang adalah ayat ini,
bukannya apakah dia imam atau bukan.
Alkitab memang mengatakan bahwa imam memberkati, tetapi Alkitab
tidak mengatakan bahwa HANYA imam yang boleh memberkati.
Kej 12:3 - “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati
engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di
muka bumi akan mendapat berkat.’”.
Kalau orang tak boleh memberkati, dan hanya imam yang boleh
memberkati, maka siapa yang bisa memberkati keturunan Abraham? Dan karena hanya
imam yang bisa memberkati, maka hanya mereka yang diberkati oleh Tuhan. Ini tak
masuk akal.
Dalam Kej 27-28 Ishak memberkati Yakub dan Esau (sekalipun yang
untuk Esau ini lebih tepat disebut ‘kutuk’). Padahal Ishak bukan imam.
Laban memberkati anak-anak dan cucu-cucunya (Kej 31:55) dan Laban
juga bukan imam.
Lalu Yakub memberkati anak-anak Yusuf (Kej 48:13dst) dan memberkati
anak-anaknya (Kej 49) padahal Yakub juga bukan imam.
Musa juga memberkati orang Israel (Kel 39:43), padahal ia bukan
imam, sekalipun ia dari suku Lewi.
Lalu, bahkan orang seperti Bileam dipakai Allah, bahkan diperintah
Allah, untuk memberkati orang Israel, padahal ia sendiri maunya mengutuk mereka
(Bil 23-24).
Bil 23:11 - Lalu berkatalah Balak kepada Bileam: ‘Apakah yang
kaulakukan kepadaku ini? Untuk menyerapah musuhkulah aku menjemput engkau,
tetapi sebaliknya engkau memberkati mereka.’
Bil 23:20 - Ketahuilah, aku
mendapat perintah untuk memberkati, dan apabila Dia memberkati, maka aku tidak dapat
membalikkannya.
Bil 24:1 - Ketika dilihat Bileam, bahwa baik di mata TUHAN untuk memberkati Israel, ia tidak mencarikan
pertanda lagi seperti yang sudah-sudah, tetapi ia menghadapkan mukanya ke arah
padang gurun.
Bil 24:9 - Ia meniarap dan merebahkan diri sebagai singa jantan, dan
sebagai singa betina; siapakah yang berani membangunkannya? Diberkatilah orang yang
memberkati engkau,
dan terkutuklah orang yang mengutuk engkau!"
Bil 24:10 - Lalu bangkitlah amarah Balak terhadap Bileam dan dengan
meremas-remas jarinya berkatalah ia kepada Bileam: ‘Untuk menyerapah musuhku
aku memanggil engkau, tetapi sebaliknya sampai tiga kali engkau memberkati mereka.
Yos 14:13 - “Lalu Yosua memberkati Kaleb bin
Yefune, dan diberikannyalah Hebron kepadanya menjadi milik pusakanya”.
Yer 4:2 - “Dan jika engkau bersumpah dalam kesetiaan,
dalam keadilan dan dalam kebenaran: Demi TUHAN yang hidup!, maka bangsa-bangsa
akan saling memberkati di dalam Dia dan akan bermegah di dalam
Dia.’”.
Mungkin anda mengatakan, itu semua pemberkatan yang dilakukan bukan
bukan kebaktian. Saya menjawab:
1) Apa dasar Alkitabnya untuk membedakan pemberkatan dalam
kebaktian dan yang bukan dalam kebaktian? Saya tak pernah tahu ada dasar Alkitab
apapun untuk membuat pembedaan seperti itu.
2) Kalau anda tetap berkeras, di sini saya beri ayat-ayat
yang menunjukkan pemberkatan dalam kebaktian, tetapi tidak dilakukan oleh imam.
2Sam 6:17-18 - “(17)
Tabut TUHAN itu dibawa masuk, lalu diletakkan di tempatnya, di dalam kemah yang
dibentangkan Daud untuk itu, kemudian Daud mempersembahkan korban bakaran dan
korban keselamatan di hadapan TUHAN. (18) Setelah Daud selesai mempersembahkan
korban bakaran dan korban keselamatan, diberkatinyalah bangsa itu
demi nama TUHAN semesta alam”.
1Raja 8:14 - “Kemudian
berpalinglah raja (Salomo)
lalu memberkati seluruh
jemaah Israel, sedang segenap jemaah Israel berdiri”.
1Raja 8:55 - “Maka
berdirilah ia (Salomo) dan memberkati segenap jemaah Israel dengan
suara nyaring, katanya”.
Daud dan
Salomo bukan imam, mereka bahkan bukan dari suku Lewi, tetapi suku Yehuda,
tetapi mereka memberkati, dan ini jelas dalam kebaktian, dalam kasus Daud ada
korban persembahan, dan dalam kasus Salomo itu adalah pentahbisan Bait Allah.
Dalam Perjanjian Baru, Paulus juga selalu menutup suratnya dengan
suatu berkat. Dan perhatikan bahwa berkat Paulus kepada gereja Korintus dalam
2Kor 13:13, justru dipakai oleh kebanyakan pendeta dalam memberikan berkat dalam
kebaktian! Apakah Paulus imam?
b) Kalau karena dalam jaman
Perjanjian Baru semua orang Kristen adalah imam, dan karena itu tak boleh orang
Kristen yang satu memberkati orang Kristen yang lain, maka ingat bahwa dalam
jaman Perjanjian Lama imam punya tugas mengajar Firman Tuhan.
Orang Kristen PB tidak
“memberkati” seperti imam memberkati di PL, yaitu seolah-olah dirinya
memiliki jabatan khusus untuk memberikan berkat khusus. Bolehkah orang Kristen
PB bilang kepada saudaranya: “Kiranya Tuhan memberkati!” atau “God bless
you.” Jelas boleh! Kami tidak pernah menentang itu! Bahkan jangan hanya di
mulut, kalau ada yang perlu bantuan, kita bantu. Itu menjadi berkat bagi dia!
Tetapi, “pendeta” angkat tangan di akhir khotbah untuk “memberkati”
umat, ini sudah menjadi semacam ritual yang dianggap memang mendatangkan berkat
oleh kebanyakan jemaat. Bahkan ada pendeta yang mengharuskan umatnya membuka
tangan mereka saat ia “memberkati” supaya berkat dari tangan pendeta
“jatuh” ke tangan umat. Wow!
Seorang gembala sidang
tidak memberkati umat karena dia angkat tangan di akhir kebaktian dan
mengucapkan “kata-kata berkat.” Gembala sidang memberkati jemaat melalui
penjelasan Firman Tuhan, antara lain. Juga melalui pelayanan dia kepada umat.
Tanggapan balik Budi Asali:
Pendeta memang merupakan jabatan khusus, butuh panggilan khusus!
Pendeta angkat tangan untuk memberkati, memang merupakan sesuatu yang ritual,
tetapi apa dasarnya untuk melarang? Tanpa dasar Alkitab, tetapi tetap melarang?
Dan anda mengaku gereja anda sebagai Alkitabiah?
Kalau mengharuskan umat buka tangan, itu urusan mereka yang
melakukannya, saya tidak seperti itu. Jadi jangan pukul rata! Hanya karena ada
satu atau dua orang Kristen yang salah, lalu anda pukul rata semua orang Kristen
salah???
Omong kosong. Memberi penjelasan tentang Firman Tuhan sangat beda
dengan memberkati! Melayani juga berbeda dengan memberkati!
Mal 2:1-7 - “(1)
Maka sekarang, kepada kamulah tertuju perintah ini, hai para imam! (2) Jika kamu
tidak mendengarkan, dan jika kamu tidak memberi perhatian untuk menghormati
namaKu, firman TUHAN semesta alam, maka Aku akan mengirimkan kutuk ke antaramu
dan akan membuat berkat-berkatmu menjadi kutuk, dan Aku telah membuatnya menjadi
kutuk, sebab kamu ini tidak memperhatikan. (3) Sesungguhnya, Aku akan mematahkan
lenganmu dan akan melemparkan kotoran ke mukamu, yakni kotoran korban dari
hari-hari rayamu, dan orang akan menyeret kamu ke kotoran itu. (4) Maka kamu
akan sadar, bahwa Kukirimkan perintah ini kepadamu, supaya perjanjianKu dengan
Lewi tetap dipegang, firman TUHAN semesta alam. (5) PerjanjianKu dengan dia pada
satu pihak ialah kehidupan dan sejahtera dan itu Kuberikan kepadanya - pada
pihak lain ketakutan - dan ia takut kepadaKu dan gentar terhadap namaKu. (6)
Pengajaran yang benar ada dalam mulutnya dan kecurangan tidak terdapat pada
bibirnya. Dalam damai sejahtera dan kejujuran ia mengikuti Aku dan banyak orang
dibuatnya berbalik dari pada kesalahan. (7) Sebab bibir seorang imam memelihara
pengetahuan dan orang mencari pengajaran dari mulutnya, sebab dialah utusan
TUHAN semesta alam”.
Kalau karena dalam jaman
Perjanjian Baru semua orang Kristen adalah imam, dan karena itu tak boleh orang
Kristen yang satu memberkati orang Kristen yang lain, maka konsekwensinya
adalah: orang Kristen yang satu juga tak boleh mengajar Firman Tuhan kepada
orang Kristen yang lain! Semua orang Kristen harus menjadi pengajar Firman
Tuhan, dan lalu siapa pendengarnya?
Ada perbedaan yang
mendasar antara tugas imam “memberkati” dan tugas imam “mengajar.” Pertama, yang mengajar
bukan hanya imam, tetapi juga adalah bani Lewi secara keseluruhan. “Berkatalah
ia kepada orang-orang Lewi yang adalah pengajar seluruh Israel . . .” (2 Taw.
35:3). Bandingkan juga Neh. 8:7-9. Kedua, tidak ada dalam PB dikatakan bahwa
“memberkati” adalah salah satu tugas gembala sidang. Semua orang percaya PB
bisa meminta berkat kepada Tuhan secara langsung, tidak perlu lagi lewat imam,
karena semua adalah imam. Jadi, tidak perlu jabatan khusus untuk memberkati.
Sebaliknya, dalam PB, jelas dikatakan bahwa gembala sidang perlu mengajar. Salah
satu syarat seorang gembala (penilik) adalah cakap mengajar (1 Tim. 3:2). Dan
selain itu memang benar, semua orang harus “mengajar.” Lalu siapa jadi
pendengarnya? Ya semua juga. Artinya, semua orang mengajar sesuai kemampuannya,
dan diajar oleh yang lebih tahu Firman Tuhan.
Tanggapan balik Budi Asali:
Lho, baru saja anda mengatakan “Gembala sidang memberkati
jemaat melalui penjelasan Firman Tuhan, antara lain.”.
Sekarang anda mengatakan “Gembala sidang memberkati jemaat melalui penjelasan Firman Tuhan,
antara lain.”. Hehehe, anda pikun atau
tolol?
Siapa yang bicara tentang orang-orang Lewi? Suhento Liauw bicara
tentang imam, dan saya juga bicara tentang imam, dan anda mau belokkan ke orang
Lewi. Saya juga tahu orang Lewi memang mengajar, dan demikian juga nabi-nabi.
Tetapi sekarang pembicaraan tentang imam.
c) Bandingkan juga dengan
ayat-ayat ini:
·
Ro 12:14 - “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan
mengutuk!”.
·
1Kor 4:12 - “kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami
memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar;”.
·
Ibr 7:7 - “Memang tidak dapat disangkal, bahwa yang lebih rendah diberkati
oleh yang lebih tinggi”.
Roma 12:14 dan 1 Korintus
4:12 sama sekali kami aminkan! Ini bukanlah mengatakan ada jabatan khusus untuk
memberkati. Ini justru mengajarkan bahwa semua orang Kristen bisa memberkati,
tetapi bukan dalam konsep seperti imam PL. Ini seperti berkata: “God Bless
You,” atau “kiranya Tuhan memberkati.” Kami sama sekali tidak menentang
“berkat” yang seperti ini. Ibrani 7:7 beda lagi. Ini justru mengacu kepada
“berkat” khusus seperti yang dilakukan oleh imam PL (konteksnya Melkisedek,
seorang imam, memberkati Abraham). Nah, justru ini tidak dilakukan oleh orang
Kristen PB, karena kita tidak ada yang lebih tinggi lebih rendah. Semuanya
“imam.” “Pendeta” bukan imam. Pendeta perlu ditanya dulu: dari Shaolin
atau Butong pai.
Tanggapan balik Budi Asali:
Omong kosong kalau tidak ada tinggi atau rendah dalam Perjanjian
Baru. Semua disebut imam, tak membuktikan bahwa semua setingkat. Mengapa?
1) Sebutan imam tak berarti mereka betul-betul diberi
jabatan imam seperti dalam Perjanjian Lama. Itu hanya menunjukkan bahwa mereka
bebas untuk datang kepada Tuhan, dengan hanya melalui Yesus Kristus sebagai
pengantara / imam, dan tak dibutuhkan lagi imam manusia biasa.
William Barclay (tentang 1Pet 2:9):
“this means that every Christian has the
right of access to God” (= ini berarti bahwa setiap orang Kristen
mempunyai hak masuk kepada Allah) - hal 199.
2) Tuhan menetapkan jabatan-jabatan dalam gereja, seperti
yang dinyatakan dalam Ef 4:11, 1Tim 3:1dst. Jadi, bagaimana mungkin tak ada yang
lebih tinggi atau lebih rendah?
Kontext Ibr 7 memang tentang
Melkisedek, tetapi dalam penceritaan fakta pada saat dia memberkati Abraham,
diberi suatu pernyataan yang
sifatnya umum, yaitu yang lebih
tinggi memberkati yang lebih rendah! Karena sifatnya umum, maka dalam Perjanjian
Barupun boleh yang lebih tinggi memberkati yang lebih rendah (dengan catatan
berkat tetap datang dari Tuhan, orang yang memberkati hanya sebagai alat Tuhan).
Adam Clarke:
“That the superior blesses the inferior
is a general
proposition; but Abraham was blessed of Melchizedek, therefore Melchizedek was
greater than Abraham” (=
Bahwa yang lebih tinggi memberkati yang lebih rendah adalah suatu dalil yang
umum; tetapi Abraham diberkati
oleh Melkisedek, krn itu Melkisedek lebih besar / tinggi dari Abraham).
Juga dimana dalam Alkitab dikatakan ada jabatan khusus untuk
memberkati? Dimana dikatakan bahwa itu hanya
untuk imam?
Kata-kata anda “Pendeta perlu ditanya dulu: dari Shaolin atau
Butong pai.”, merupakan kata-kata
tolol, karena menganggap bahwa istilah ‘pendeta’ adalah istilah agama
Buddha. Justru istilah ‘pendeta’ tak ada dalam Buddha! Anda terlalu banyak
baca buku silat dan tak pernah baca Alkitab, makanya ajarannya lebih mirip buku
silat. Ganti saja nama GBIA jadi GBIBS (Gereja Baptis Independen Buku Silat)!
Sekarang saya ambil rumus yang anda sendiri ‘ciptakan’ dalam
point ke 5 di atas. Untuk mudahnya saya kutip ulang kata-kata anda sendiri “Teks memang tidak berkata
bahwa ada kayu horizontal, tetapi teks juga tidak mengatakan tidak ada. Jadi,
ini adalah penafsiran yang TIDAK BERTENTANGAN dengan data Alkitab.”. Sekarang berdasarkan rumus anda sendiri (sekalipun saya
bukannya setuju dengan rumus tolol itu), saya tanya: mengapa / bagaimana
gerangan dengan memiliki / menciptakan rumus seperti itu, anda bisa melarang
adanya jabatan pendeta, dan juga bisa melarang pendeta untuk memberikan berkat
dalam kebaktian, dsb? Bukankah Alkitab di bagian manapun tak melarang hal itu?
Dan kalau tak dilarang berarti menurut anda boleh / tidak salah? Hehehe,
lagi-lagi rumus tolol ciptaan anda sendiri menjadi boomerang yang menghantam
kepala anda sendiri!
16)Nama Allah yang benar
bukan YAHWEH tetapi YEHOVAH. Alasan: karena dalam manuscript
tertua yang gunakan huruf
hidup (MT) namanya disebutkan YEHOVAH.
Tanggapan Budi Asali:
Ini lucu karena MT bukan
manuscript! Dalam manuscript tak ada huruf hidup! Memang YAHWEHpun belum tentu
benar, tetapi YEHOVAH pasti salah, karena huruf hidupnya dipinjam dari ADONAY
(dan mungkin juga dari ELOHIM).
Wah...wah...kalau dalam
manuscript tidak ada huruf hidup, lalu huruf hidup yang ada hari ini dapat dari
mana? Sepertinya ada yang salah mendefinisikan “manuscript.” Memang ada
manuscript tanpa huruf hidup, seperti yang ditemukan di Gulungan Laut Mati.
Tetapi Alkitab bahasa Ibrani yang kita miliki hari ini (yang ada huruf hidup)
tentunya berasal dari manuscript yang punya huruf hidup.
Misalnya: Aleppo Codex
(abad 10), Leningrad Codex (juga abad 10), Codex Cairensis (abad 9), dan masih
banyak lagi yang lain. Silakan meriset dulu hal ini baik-baik sebelum membuat
pernyataan yang sangat salah. Masoretic Text sendiri diambil dari beberapa
manuscript utama. Selama 400 tahun, diambil dari text Ben Chayyim (abad 16),
lalu belakangan di ambil dari Leningrad Codex. Jadi, manuscript-manuscript yang
menyumbang kepada Masoretic Text ini sering disebut manuscript MT.
Tanggapan balik Budi Asali:
Hehehe, anda memang tak mengerti bahasa Ibrani sama sekali, atau
pura-pura tak mengerti? Huruf-huruf bahasa Ibrani hanya 22 dan semuanya huruf
mati. Jadi, jelas bahwa Perjanjian Lama ditulis hanya dengan huruf mati.
Tanda-tanda yang menunjukkan bunyi huruf hidup baru diciptakan sekitar abad 9-10
M.!
Saya akan kutip dari buku pelajaran bahasa Ibrani saya sendiri waktu
saya sekolah theologia. Buku ini dipakai dalam semester pertama waktu sekolah
theologia! Anehnya doktor theologia bisa tidak tahu!
Menahem
Mansoor: “8. The Hebrew Bible was originally written without
vowels. The Hebrew of the Dead Sea Scrolls, dated between the second century
b.c. and the first century a.d.,
has no vowels. When Hebrew had ceased to be a spoken language, several
systems of vowel signs were invented by Jewish grammarians to help the public
read Hebrew accurately. Our present system was probably adopted during
the ninth or tenth century a.d.
and is known as the Tiberian - developed by Jewish scholars of Tiberias in
Palestine. Since the Hebrew text of the Bible was regarded as sacred, the Rabbis
did not effect any changes in the consonantal text of the Bible but added the
vowel signs above, below, and inside the consonants. 9. Modern Hebrew books
and newspapers are usually printed without vowels. In fact, all writing in
Hebrew is usually printed without vowels, with the exception of grammars, Hebrew
texts for beginners, dictionaries, and printed Bibles (where the vowel signs are
convenient and desirable)” (= ) - ‘The
Biblical Hebrew: Step by Step’, hal 31.
Kutipan ini
mengatakan bahwa Alkitab Ibrani yang mula-mula, ditulis tanpa huruf hidup.
Manuscript-manuscript ‘Dead Sea Scrolls’, manuscript-manuscript tertua yang
masih ada pada saat ini, yang berasal dari abad ke 2 atau abad ke 1 S.M. juga
tidak punya huruf hidup. Ini bisa dilihat di Google, dan banyak buku-buku lain,
dimana ditunjukkan foto-foto dari manuscript-manuscript dari Dead Sea, yang
memang menunjukkan tidak adanya tanda-tanda yang menyatakan bunyi huruf hidup.
Tanda-tanda
yang menyatakan bunyi huruf hidup diciptakan sekitar abad 9-10 M. Bahkan
buku-buku Ibrani modern dan surat kabar modern, ditulis tanpa huruf hidup. Hanya
buku gramatika, buku-buku untuk pemula, kamus, Alkitab yang dicetak, baru diberi
tanda-tanda yang menunjukkan bunyi huruf hidupnya.
Bahkan
sampai jaman sekarang, kalau anda non TV dan menunjukkan keadaan di Israel,
tetap mereka menulis tanpa tanda-tanda yang menunjukkan huruf hidup!
Anda mau
sebutkan manuscript apapun namanya, saya tak peduli. Kalau manuscript sudah
diberi tanda-tanda yang menyatakan bunyi huruf hidup, menurut saya itu bukan
lagi manuscript!
Bagaimana
membacanya? Karena mereka terus menggunakan maka pada umumnya mereka tahu bunyi
huruf hidupnya. Contoh: saya menulis sms kepada anda. “Stvn, km bdh skl”.
Bisa mengerti? Kalau anda memang menguasai bahasa Indonesia, maka anda pasti
mengerti, sekalipun sms itu saya hapus semua huruf hidupnya! Kalau tidak
mengerti, maka kata-kata dalam sms itu memang benar!
Tetapi
memang, ada kasus-kasus dimana huruf hidupnya diperdebatkan, karena bisa
berbeda-beda.
Contoh: Mal
2:3 - “Sesungguhnya, Aku akan mematahkan lenganmu dan akan
melemparkan kotoran ke mukamu, yakni kotoran korban dari hari-hari rayamu, dan
orang akan menyeret kamu ke kotoran itu”.
Kata Ibrani
yang diterjemahkan ‘lengan’ bisa diberi tanda untuk untuk hidup yang
berbeda, sehingga bisa dibaca HAZERA (= the seed), atau HAZROA (the arm /
shoulder). Alkitab Indonesia menterjemahkan ‘lengan’, jadi memilih HAZROA.
Tetapi KJV/RSV/NIV/NASB menterjemahkan ‘seed / offspring / descendant’, jadi
memilih HAZERA.
Jadi, kalau
suatu manuscript diberi tanda-tanda yang menunjukkan bunyi huruf hidupnya, itu
berarti penafsiran sudah masuk ke dalamnya!
Sekarang,
bagaimana dengan nama Allah? Dalam Alkitab Ibrani sebetulnya hanya 4 huruf mati
yaitu YHWH. Dari kata Halelu-yah (pujilah Yah), yang masuk ke dalam bahasa
Yunani, seperti dalam Wah 19:1,3,4,6, dan juga dari sebutan ‘Yah’ untuk
Tuhan, seperti misalnya dalam Yes 12:2, maka kita bisa tahu bahwa suku kata
pertama adalah ‘Yah’. Tetapi selanjutnya bagaimana, tidak terlalu pasti.
Jadi, Yahweh juga tidak pasti, tetapi hanya merupakan kemungkinan.
Saya
akan memberi kutipan dari buku saya sendiri tentang Yahweh-isme, yang berbunyi
sebagai berikut: Bagaimana dengan pengucapan ‘Jehovah’ / ‘Yehovah’?
Di atas sudah saya jelaskan bahwa setiap kali bertemu dengan nama
YHWH, mereka membacanya ADONAY (= Tuhan). Lalu pada suatu saat, ada orang-orang
yang memasukkan bunyi huruf-huruf hidup dari kata ADONAY, yaitu A - O - A ke
sela-sela dari YHWH itu, sehingga didapatkan YAHOWAH, dan seorang dosen saya
mengatakan bahwa dalam aksen Jerman (entah dari mana kok tahu-tahu ada aksen
Jerman), ini lalu berubah menjadi YEHOWAH atau YEHOVAH. Pulpit Commentary dalam
tafsirannya tentang Im 24:11 mengatakan bahwa perubahan YAHOWAH menjadi YEHOWAH
itu disebabkan karena: “the
laws of the Hebrew language required the first a to be changed into e, and hence
the name Jehovah” (= hukumhukum
dari bahasa Ibrani mengharuskan huruf a yang pertama untuk diubah menjadi huruf
e, dan karena itu menjadi Jehovah) - hal 383.
Catatan: perlu diketahui bahwa dalam bahasa Ibrani, huruf V dan W
adalah sama.
The New Bible Dictionary (dengan topik ‘God, names of’): “YHWH was considered too sacred to pronounce; so ADONAY (my Lord)
was substituted in reading, and the vowels of this word were combined with the
consonants YHWH to give ‘Jehovah’, a form first attested at the beginning of
the 12th century AD” [= YHWH dianggap terlalu keramat untuk diucapkan; maka ADONAY
(Tuhanku) dijadikan pengganti dalam pembacaan, dan huruf-huruf hidup dari kata
ini dikombinasikan dengan huruf-huruf mati YHWH untuk memberikan ‘Jehovah’,
suatu bentuk yang pertama-tama ditegaskan pada permulaan abad ke 12 M.] - hal 478.
Nelson’s Bible Dictionary (dengan topik ‘God, Names of’): “The divine name Yahweh is usually translated Lord in English
versions of the Bible, because it became a practice in late Old Testament
Judaism not to pronounce the sacred name YHWH, but to say instead ‘my Lord’
(Adonai) - a practice still used today in the synagogue. When the vowels of
Adonai were attached to the consonants YHWH in the medieval period, the word
Jehovah resulted” [= Nama ilahi
‘Yahweh’ biasanya diterjemahkan ‘Lord’ (= Tuhan) dalam
versi-versi Alkitab bahasa Inggris, karena menjadi suatu praktek dalam Yudaisme
Perjanjian Lama belakangan, untuk tidak mengucapkan nama keramat / kudus YHWH,
tetapi mengatakan ‘Tuhanku’ (ADONAY) sebagai gantinya - suatu praktek yang
masih digunakan jaman ini dalam sinagog. Pada waktu huruf-huruf hidup dari
ADONAY diberikan pada huruf-huruf mati YHWH pada jaman abad pertengahan, kata
Yehovah dihasilkan].
a D o N a
Y
¯ ¯ ¯
Y H W H ® YaHoWaH ® YeHoWaH /
YeHoVaH
Encyclopedia Britannica memberikan penjelasan yang agak berbeda.
Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa bunyi huruf-huruf hidup yang dimasukkan
di sela-sela YHWH itu diambil bukan hanya dari kata ADONAY (= Tuhan), tetapi
juga dari kata ELOHIM (= Allah). Dari kata yang pertama didapatkan A - O - A dan
dari kata yang kedua didapatkan E - O - I. Penggabungannya dimasukkan ke
sela-sela YHWH. Untuk bunyi huruf hidup pertama, yang diambil adalah E, untuk
yang kedua diambil O, dan untuk yang ketiga diambil A. Jadi, muncul YEHOWAH /
YEHOVAH.
Encyclopedia Britannica 2007: “The Masoretes, who from about the 6th to the 10th century worked
to reproduce the original text of the Hebrew Bible, replaced the vowels of the
name YHWH with the vowel signs of the Hebrew words Adonai or Elohim. Thus, the
artificial name Jehovah (YeHoWaH) came into being” [= Para ahli Taurat Yahudi, yang dari kira-kira abad ke 6 sampai
abad ke 10 bekerja untuk mereproduksi text orisinil dari Alkitab Ibrani,
menggantikan huruf-huruf hidup dari nama YHWH dengan tanda-tanda huruf-huruf
hidup dari kata-kata Ibrani Adonai atau Elohim. Maka, nama buatan YEHOVAH
(YeHoWaH) tercipta].
a D o N a
Y
¯ ¯ ¯
Y H W H ® YeHoWaH /
YeHoVaH
e L o H i
M
Louis Berkhof rupanya juga sependapat, karena ia berkata: “And therefore in reading the Scriptures they substituted for it
either ’Adonai or ’Elohim; and the Masoretes, while leaving the consonants
intact, attached to them the vowels of one of these names, usually those of
’Adonai” [= Dan
karena itu dalam membaca Kitab Suci mereka (orang-orang Yahudi) menggantikannya
atau dengan ADONAY atau ELOHIM; dan ahli-ahli Taurat Yahudi, sementara mereka
membiarkan huruf-huruf mati itu utuh, melekatkan kepada huruf-huruf mati itu
huruf-huruf hidup dari salah satu dari nama-nama ini,
biasanya huruf-huruf hidup dari ADONAY] - ‘Systematic Theology’, hal 49.
Dari penjelasan ini bisa dinyatakan bahwa penyebutan YEHOVAH (atau
dalam bahasa Inggris ‘Jehovah’), sebenarnya pasti salah, karena bunyi huruf hidupnya diambil dari
kata ADONAY, atau dari ADONAY dan ELOHIM.
Saya tidak
akan menyalahkan Budi Asali untuk penjelasan di atas, karena jelas itu adalah
penjelasan mainstream. Dia pastinya diajarkan seperti itu. Saya dulu
juga percayanya seperti itu. Antara lain: bahwa teks awal Alkitab Ibrani awalnya
tidak ada huruf hidup, huruf hidup baru ditambahkan belakangan oleh para
Masoretes, lalu bahwa YHWH sudah tidak diketahui cara sebutnya, dan bahwa lafal
“Yehovah” adalah dari Adonai, sekali lagi dilakukan oleh para Masoretes.
Tetapi setelah saya
selidiki lebih lanjut, posisi ini adalah posisi yang (walaupun dipegang
kebanyakan “theolog”), sangat sulit dipertahankan jika ditilik dari sudut
pandang iman. Jika benar bahwa teks asli PL tidak punya huruf hidup, dan
bahwa huruf hidup ditambahkan belakangan, maka PL sama sekali kehilangan
otoritasnya. Hal ini sudah terjadi di kalangan liberal. Kalau mereka tidak
suka dengan suatu teks tertentu, mereka berkata bahwa huruf hidupnya salah, dan
mereka merancang kombinasi huruf hidup baru untuk menyesuaikan maunya mereka!
Ditarik kepada konsekuensi akhirnya, posisi ini posisi yang meruntuhkan otoritas
PL.
Bahwa huruf hidup Yehovah
berasal dari Adonai, adalah spekulasi belaka. Tidak ada bukti sama sekali. Ada
yang bilang Adonai, ada yang bilang Elohim. Ini semua tanpa bukti tentunya. Ini
spekulasi. Hanya karena huruf hidup suatu kata sama dengan huruf hidup kata
lain, bukan berarti yang satu mengambil huruf hidup yang lainnya.
Karena ini hanya jawaban
singkat, saya tidak punya waktu untuk menjelaskan panjang lebar topik yang
sangat menarik ini. Saya refer saja pembaca yang ingin tahu lebih lanjut, ke
beberapa artikel:
http://bbc-cromwell.org/Seminary_Articles/Who-is-this-Deity-named-Yahweh.pdf
http://bbc-cromwell.org/Seminary_Articles/Tittle.doc.pdf
Tanggapan balik Budi Asali:
Kalau tidak tahu, bilang saja tidak tahu. Tak usah banyak omong
kosong! Terus terang saja, Doktor yang bisa ngomong seperti yang anda lakukan,
saya ragukan ke-doktor-annya!
Kalian memang senang mengajar yang nyeleneh, untuk cari sensasi.
Apa urusannya Perjanjian Lama tanpa huruf hidup dengan
otoritasnya??? Jelas anda memang tolol bukan main! Anda sendiri mengakui bahwa
Dead Sea Scrolls tak mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan bunyi huruf hidup,
dan itu pasti jauh lebih tua dari ‘manuscript-manuscript’ yang digunakan
untuk menciptakan MT. Yang mana yang lebih kuat otoritasnya? Kalau anda katakan
MT, anda pasti gila!
Bahwa huruf hidup YEHOVAH diambil dari ADONAY merupakan sesuatu yang
sangat masuk akal. Mengapa? Karena suatu waktu (sekitar abad 6 SM), mereka
menjadi sangat takut mengucapkan YHWH itu, dan setiap kali bertemu dengan kata
itu dalam Alkitab / Perjanjian Lama, mereka membacanya ADONAY. Ini tetap
dilakukan dalam gerejanya Bambang Noorsena.
Lama kelamaan orang yang tahu bagaimana membaca YHWH mati semua, dan
tak seorangpun tahu bagaimana membacanya dengan pasti. Jadi, kalau belakangan
mau dipulihkan, lalu menggunakan bunyi huruf hidup dari ADONAY, itu penjelasan
yang masuk akal. Penjelasan ini diberikan oleh boleh dikatakan semua dictionary
/ encyclopedia. Suhento Liauw sendiri mengecam orang-orang dari kelompok
Yahweh-isme yang menolak penjelasan dia yang dia ambil dari dictionary dan
encyclopedia, tetapi ternyata sekarang anaknya seperti itu! Lucu sekali!
17) Ia percaya semua bayi
yang mati masuk surga. Dasar Alkitab yang ia berikan adalah
1Raja 14:13i
pada keluarga Yerobeam yang akan mendapat kubur, sebab di antara keluarga
Yerobeam hanya padanyalah terdapat sesuatu yang baik di mata TUHAN, Allah
Israel.”.
Ia berkata anak Yerobeam ini
belum akil balik / dewasa dan karena itu Tuhan menemukan adanya sesuatu yang
baik dalam dirinya (ia belum punya dosa dari dirinya sendiri).
Tanggapan
Budi Asali:
Sangat
lucu, jadi dosa asal tak membuat Allah murka kepada seseorang. Kalau begitu
mengapa bayi bisa mati? Juga anak Yerobeam itu bukan bayi / anak kecil. Kata
Ibrani yang digunakan adalah NAAR, yang bisa berarti ‘boy’
(= anak laki-laki) ataupun ‘youth’
(=
pemuda). Karena itu anak itu sudah pasti punya dosa dari dirinya sendiri. Kalau
dikatakan Allah mendapati sesuatu yang baik dalam dirinya maka itu pasti
menunjukkan anak itu sudah beriman, karena tanpa iman tidak mungkin seseorang
bisa memperkenan Tuhan.
Ibr
11:6a - “Tetapi tanpa
iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.”.
Mungkin
karena ia beriman maka ia tidak setuju dengan penyembahan berhala yang dilakukan
oleh ayahnya (Yerobeam), dan itulah hal yang baik yang ada pada anak itu. Adanya
hal yang baik ini pasti juga merupakan hasil pekerjaan Tuhan dan kasih
karuniaNya dalam diri anak itu, sehingga sekalipun ia dilahirkan dalam keluarga
yang brengsek, ia sendiri bisa beriman dan mempunyai kesalehan, sehingga bisa
memperkenan Tuhan.
Aneh sekali bahwa Budi
Asali justru tidak menangkap alasan utama yang diberikan oleh Dr. Suhento Liauw,
bahwa semua bayi pasti masuk Surga: yaitu bahwa dosa asal sudah diselesaikan
oleh Yesus Kristus di atas kayu salib. Ingat bahwa Yesus menanggung dosa seisi
dunia. Tentunya Budi Asali yang tidak percaya kata-kata Alkitab ini, melainkan
memasukkan konsep Limited Atonement-nya untuk menafsir ulang “dunia,”
memiliki kesulitan dengan konsep ini. Tidak mengapa. Ini toh salah satu poin
yang bisa muncul dalam debat nanti, jadi tidak perlu panjang lebar.
Tanggapan balik Budi Asali:
Hmmm, omong kosong. Dia mengatakan semua bayi masuk surga, dosanya
ditebus Yesus. Lalu dia mau membuktikan, dengan menggunakan ayat ini. Tetapi
saya mau tunjukkan ayat ini sama sekali tidak cocok!
Kalau anda mengatakan bayi pasti masuk surga karena dosa asalnya
sudah ditebus oleh Yesus, saya tanya: bagaimana kalau bayi itu hidup terus
sampai dewasa, lalu mati tanpa percaya Yesus? Dia masuk mana? Kalau masuk
neraka, kok bisa sudah ditebus tetapi masuk neraka? Apakah yang ditebus hanya
dosa asalnya. Jadi Yesus menebus sebagian dosa?
Saya memang percaya ‘Limited
Atonement’ (= Penebusan Terbatas) dan tidak ‘Universal Atonement’ (= Penebusan Universal). Mau debat tentang
itu? Boleh saja. Kalau percaya ‘Universal
Atonement’ (= Penebusan Universal), anda harus jelaskan bagaimana dari
semua orang yang hutang dosanya sudah dibayar lunas oleh Yesus itu, akhirnya
banyak yang tak percaya dan lalu masuk neraka? Itu akan berarti hutang dosa
mereka dibayar 2 x. Pertama Kristus yang bayar, lalu orangnya sendiri disuruh
bayar lagi. Itu tidak adil dan kurang ajar. Tidak mungkin Allah menagih hutang
2x!
18) Dalam pengajaran,
Suhento Liauw ini sering memfitnah orang:
a) Ia menunjukkan foto di
koran, ada 4 orang, themanya kira-kira penyatuan / penyamaan Kristen dengan
Katolik. Lalu berkata: yang ini James Ryadi (memang benar), yang ini Stephen
Tong (ngawur, itu pasti bukan Stephen Tong). Lalu di koran itu ditulis nama
Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia.
Tanggapan Budi Asali:
Ini saya protes dalam acara
tanya jawab dan saya jelaskan: yang satu memang James Ryadi, yang satu lagi
Yakub Susabda, tetapi tak ada Stephen Tong, itu FITNAH! Dia agak malu, lalu bilang
kalau fotonya kabur jadi mirip Stephen Tong. Padahal fotonya nggak mirip sama
sekali dengan Stephen Tong! Dan kalau memang tidak tahu, lebih baik jangan omong
tentang kejelekan orang lain, atau itu harus dianggap sebagai FITNAH!
Tuduhan yang cukup berat,
tetapi ada beberapa “barang bukti” yang tidak disampaikan:
1. Apakah Dr. Suhento
Liauw, setelah mendapat klarifikasi dari Budi Asali, bahwa itu bukan Stephen
Tong, tetap mengatakan itu Stephen Tong? Ini saya rasa adalah kuncinya. Kalau
Dr. Suhento Liauw tetap ngotot mengatakan itu Stephen Tong, dan terbukti bukan
Stephen Tong, maka bisa saja dikatakan fitnah. Tetapi, kalau sesudah
diklarifikasi, Dr. Liauw menerima baik klarifikasi itu, maka apanya yang
fitnah??
Baik, untuk menjernihkan,
saya akan pampangkan foto yang dimaksud: Foto ini diambil dari koran Suara
Pembaruan, 27 Agustus 2008. Inti yang dibahas oleh Dr. Liauw adalah bahwa ada
gerakan penyatuan Protestan-Katolik, dengan contoh kasus artikel ini, yang
menyatakan bahwa Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Indonesia membuka dialog
agar tidak terjadi perpecahan dengan Katolik.
2. Dr. Suhento Liauw mulai
dengan bertanya kepada audiens: Nah, orang-orang ini siapa? Lalu beliau mulai
dengan tokoh paling kanan, dan berkata, “Nah, kalau yang ini James Riady.”
Audiens mengiyakan. Lalu, beralih ke tokoh kedua dari kanan, “Nah, kalau yang
ini, apakah ini Stephen Tong?” Audiens sebagian mengiyakan, “Ya itu Stephen
Tong.”
Jadi, Dr. Suhento
sebenarnya mulai dengan pertanyaan, bukan pernyataan. Ada audiens yang ikut
mengiyakan. Nah, memang, Dr. Suhento mengakui bahwa dirinya juga awalnya mengira
ini adalah Stephen Tong. Saya ada buka-buka web untuk membandingkan dengan foto
Stephen Tong (di wikipedia, dan situs-situs lain), dan saya dapatkan bahwa
memang bisa saja orang terkecoh, terutama yang tidak kenal pribadi dengan pak
Tong. Tentunya Budi Asali yang sesama Reformed (walaupun beda organisasi dan
saya tahu ada beda doktrin juga) lebih kenal. Tetapi rupanya bukan hanya Dr.
Liauw yang terkecoh, tetapi audiens juga lumayan banyak yang terkecoh. Mungkin
karena konteks artikel mengenai “Reformed,” itu membuat semacam sugesti.
Tetapi memang Dr. Liauw memulai dengan pertanyaan, bukan suatu deklarasi tegas,
audiens mengiyakan. Dr. Liauw memang secara pribadi juga mengira itu benar
Stephen Tong. Untuk kesalahan ini, Ev. Dance, salah satu panitia seminar, lewat
status FB-nya sudah minta maaf.
3. Pada saat tanya jawab,
Budi Asali membuat klarifikasi, bahwa itu bukanlah Stephen Tong, melainkan Yakub
Susabda. (Padahal sebenarnya yang mirip Yakub Susabda adalah yang nomor tiga
dari kanan, bukan nomor dua dari kanan). Dia bilang tidak ada Stephen Tong di
situ, tetapi Yakub Susabda, dan ini dia tegaskan dengan yakin. Dr. Liauw,
mengatakan, “benarkah?” Lalu setelah menayangkan kembali foto, dan setelah
ditegaskan lagi oleh Budi Asali, Dr. Liauw berkata kira-kira “Ok, kalau
begitu, tidak masalah [ini bukan Stephen Tong], yang jelas ini adalah
Reformed” (Dan Budi Asali juga menjelaskan beda antara satu Reformed dengan
kelompok Reformed lainnya). Intinya adalah: Dr. Suhento Liauw menerima
klarifikasi Budi Asali, dan mengatakan bahwa poin seminar tidak tergantung
kepada siapa individu di dalam foto. Semua orang yang hadir di seminar itu
mendengarkan
klarifikasi Budi Asali.
Dengan kronologi seperti
itu, saya jadi bingung mengapa hal ini diangkat lagi oleh Budi Asali? Apakah dia
merasa bahwa Dr. Liauw tidak menerima klarifikasi-nya? Saya rasa tidak mungkin.
Lalu kalau memang klarifikasi sudah dibuat, sudah didengar semua yang hadir,
mengapa Dr. Liauw masih dikatakan memfitnah? Saya khawatir ini hanyalah suatu
serangan demi untuk menyerang. Suatu serangan untuk membuat sensasi. Ironisnya,
karena penasaran, saya memperbesar foto itu secara elektronik, dan saya dapatkan
bahwa caption di bawah foto masih bisa terbaca:
Jadi, rupanya, Suara
Pembaruan membuat caption nama-nama yang difoto: Wim Tangkilisan, Samuel
Budiprasetya, Yohanes Indrakusuma, dan James Riady. (Catatan: pada waktu
seminar, bagian ini tidak terbaca karena buram/kecil).
Malah tidak ada Yakub
Susabda! Nah, kalau memang Dr. Liauw memfitnah Stephen Tong, bukankah dapat
dikatakan bahwa Budi Asali memfitnah Yakub Susabda? Kalau saya pribadi
berkesimpulan tidak demikian. KBBI online memberi definisi berikut untuk
“fitnah”: “perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yg disebarkan
dng maksud menjelekkan orang.” Saya melihat bahwa salah satu elemen krusial
dalam fitnah adalah: sudah tahu itu salah, tetapi masih menyebarkannya dengan
tujuan menjelekkan yang bersangkutan. (Referensi:
http://kamusbahasaindonesia.org/fitnah#ixzz1ynWbP8uV) Saya rasa baik Dr. Liauw
maupun Budi Asali memang membuat kesalahan yang jujur, bukan bermaksud
memfitnah. Semoga pembaca juga sampai pada kesimpulan yang sama.
Tanggapan balik Budi Asali:
Ini akan saya bahas dalam file terpisah berjudul ‘Fitnah Suhento
Liauw ttg Stephen Tong 2’.
b) Calvin / Calvinist ada
jejak darah, dalam persoalan kematian Servetus. Lucu, yang menghukum mati
Servetus bukan Calvin, tetapi pengadilan! Orang gila ini senang memfitnah!
Tanggapan Budi Asali:
Ini fitnahan yang lazim
dalam kalangan Arminian! Entah mereka tidak tahu sejarahnya atau pura-pura tidak
tahu, itu bukan urusan saya. Tetapi siapapun mau bicara tentang kejelakan orang,
ia harus tahu bahwa apa yang ia bicarakan itu pasti benar. Kalau tidak, itu
merupakan FITNAH!
Ah, masalah Calvin dan
Servetus. Baiklah. Apakah fitnah bahwa Calvin ada jejak darah? Apakah Calvin
seorang penonton saja saat pengadilan menjatuhkan hukuman mati pada Servetus,
sehingga ia bisa lepas tanggung jawab? Kalaupun bukan tanggung jawab hukum,
bagaimana dengan tanggung jawab moral di hadapan Tuhan? Baik, saya tidak mau
panjang lebar. Silakan pembaca pikir sendiri:
Tanggapan balik Budi Asali:
Pertama-tama pikirkan kata-kata ‘jejak darah’! Itu, oleh semua
orang yang waras, harus diartikan bahwa Calvin adalah pembunuh Servetus, atau
setidaknya ikut tercakup dalam pembunuhan terhadap Servetus. Jadi, ini sudah
merupakan penggunaan kata-kata yang kurang ajar dari seorang yang tak berarti
seperti Suhento Liauw, terhadap seorang tokoh Reformasi seperti Calvin!
Servetus dihukum mati oleh pengadilan. Dan karena itu, itu jelas
tidak bisa dianggap sebagai pembunuhan. Kalau ada orang bunuh orang, lalu
pembunuh tertangkap, dan dihukum mati, apakah hakim dsb adalah pembunuh? Dan
kalau saya menjadi saksi, dan menyatakan bahwa pembunuh itu memang membunuh,
lalu ia dihukum mati, apakah saya jadi pembunuh hanya karena memberi kesaksian?
Kalau kesaksian saya itu dusta, dan orang itu dihukum mati karena kesaksian
dusta saya, maka memang saya termasuk dalam komplotan pembunuhan. Tetapi kalau
kesaksian saya benar? Kalau anda tetap katakan ya, anda tolol dan sama sekali
tak mengerti hukum, baik hukum negara maupun Hukum Tuhan!
Philip Schaff, seorang ahli sejarah top, yang bukan Calvinist,
menyatakan bahwa Calvin memang hanya melaporkan kehadiran Servetus di Jenewa,
dan menjadi saksi ahli dalam pengadilan. Tetapi setelah itu, pengadilan yang
menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar. Bahkan Calvin ingin meringankan hukuman
itu menjadi hukuman penggal, tetapi itu ditolak oleh pengadilan. Itu menunjukkan
bahwa Calvin tak punya otoritas apapun terhadap pengadilan! Jadi, mengapa
Suhento Liauw secara kurang ajar mengatakan ‘jejak darah’? Orang brengsek
ini, tanpa punya pengertian tentang Calvin, mencela tokoh Reformasi itu dengan
kata-kata yang kurang ajar! Dan itu adalah FITNAH! Saya tak heran, karena dalam
tulisan-tulisan tololnya dia sudah sangat banyak memfitnah Calvinisme. Juga
memfitnah Stephen Tong dalam seminarnya!
Dan kembali pada Calvin dan Servetus, tindakan Calvin didukung
sepenuhnya oleh orang-orang saleh / beriman pada jamannya. Mereka salah semua?
Calvin punya banyak musuh-musuh, dan musuh-musuh ini memberikan
segala macam fitnahan khususnya dalam persoalan Servetus. Suhento Liauw
termasuk di dalamnya!
Mau bukti tentang Calvin dan Servetus? Saya berikan kutipan-kutipan
dari Schaff di bawah ini (sebagai catatan: Schaff adalah ahli sejarah yang
tergolong top; ia menulis buku sejarah dalam 8 volume! Jelas ia bukan orang
kacangan seperti Suhento Liauw dan Steven Liauw).
1)
Servetus adalah seorang bidat, dan bahkan, lebih dari itu, ia adalah
seorang penghujat yang betul-betul luar biasa kurang ajar dengan kata-katanya.
Ini terlihat dari kata-kata Philip Schaff sebagai berikut:
Philip
Schaff: “Servetus - theologian, philosopher, geographer, physician, scientist,
and astrologer - was one of the most remarkable men in the history of heresy”
(= Servetus - ahli theolgia, ahli filsafat, ahli ilmu bumi, dokter, ilmuwan, dan
ahli nujum - adalah salah seorang yang paling hebat dalam sejarah bidat)
- ‘History of the Christian Church’,
vol VIII, hal 786.
Philip Schaff: “Let
us remember also that it
was not simply a case of fundamental heresy, but of horrid blasphemy,
with which he had to deal. If he was mistaken, if he misunderstood the real
opinions of Servetus, that was an error of judgment, and an error which all the
Catholics and Protestants of that age shared” - ‘History of the
Christian Church’, vol VIII, hal 691.
Philip Schaff: “It
is not surprising that this book gave great offence to Catholics and Protestants
alike, and appeared to them blasphemous.
Servetus calls the
Trinitarians tritheists and atheists. He frivolously asked such questions as whether God had a spiritual wife or
was without sex. He calls the three gods of the Trinitarians a deception of the devil, yea
(in his later writings), a three-headed monster” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 718-719.
Philip Schaff: “Servetus
charges the Reformed Christians of Geneva that they had a gospel without a God,
without true faith, without good works; and that instead of the true God they
worshipped a three-headed Cerberus” - ‘History of the
Christian Church’, vol VIII, hal 731.
Catatan: Cerberus = anjing berkepala tiga yang menjaga Hades dalam mitologi
Romawi dan Yunani (Webster’s New World Dictionary, College Edition).
Philip Schaff: “He
calls all Trinitarians ‘tritheists’
and ‘atheists.’ They
have not one absolute God, but a three-parted, collective, composite God - that
is, an unthinkable, impossible God, which is no God at all. They worship three idols of the demons,
- a three-headed
monster, like the Cerberus of the Greek mythology. One of their gods is unbegotten, the second is
begotten, the third proceeding. One died, the other two did not die. Why is not
the Spirit begotten, and the Son proceeding? By distinguishing the Trinity in
the abstract from the three persons separately considered, they have even four
gods. The Talmud and the Koran, he thinks, are right in opposing such nonsense
and blasphemy” - ‘History of the
Christian Church’, vol VIII, hal 741-742.
Philip
Schaff: “Servetus continued to trouble
Calvin, and published in his Restitutio no less than thirty letters to him, but
without dates and without replies from Calvin. They are conceived in a haughty
and self-sufficient spirit. He writes to the greatest divine of the age, not as
a learner, or even an equal, but as a superior. In the first of these printed
letters he charges Calvin with holding absurd, confused, and contradictory
opinions on the sonship of Christ, on the Logos, and on the Trinity. In the
second letter he tells him: ‘You make three Sons of God: the human nature
is a son to you, the divine nature is a son, and the whole Christ is a son....
All such tritheistic notions are a three-headed illusion of the Dragon, which
easily crept in among the sophists in the present reign of Antichrist. Or have
you not read of the spirit of the dragon, the spirit of the beast, the spirit of
the false prophets, three spirits? Those who acknowledge the trinity of the
beast are possessed by three spirits of demons. These three spirits incite war
against the immaculate Lamb, Jesus Christ (Rev 16). False are all the invisible
gods of the Trinitarians, as false as the gods of the Babylonians.
Farewell.’ He begins the third letter with the oft-repeated warning (saepius
te monui) not to admit that impossible - monster of three things in God.
In another letter he calls him a reprobate and blasphemer (improbus et
blasphemus) for calumniating good works. He charges him with ignorance of the
true nature of faith, justification, regeneration, baptism, and the kingdom of
heaven” -
‘History of the Christian Church’,
vol VIII, hal 730-731.
Philip
Schaff: “Servetus, with the Bible as his
guide, aimed at a more radical revolution than the Reformers. He started with a
new doctrine of God and of Christ, and undermined the very foundations of the
Catholic creed. The three most prominent negative features of his system are
three denials: the denial of the orthodox dogma of the Trinity, as, set forth in
the Nicene Creed; the denial of the orthodox Christology, as determined by the
Oecumenical Council of Chalcedon; and the denial of infant baptism, as practised
everywhere except by the Anabaptists. From these three sources he derived all
the evils and corruptions of the Church. The first two denials were the basis of
the theoretical revolution, the third was the basis of the practical revolution
which he felt himself providentially called to effect by his anonymous book.
Those three negations in connection with what appeared to be shocking blasphemy,
though not intended as such, made him an object of horror to all orthodox
Christians of his age, Protestants as well as Roman Catholic, and led to his
double condemnation, first at Vienne, and then at Geneva”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 738.
Philip
Schaff: “The severest charge against him
is blasphemy. Bullinger remarked to a Pole that if Satan himself should come out
of hell, he could use no more blasphemous language against the Trinity than this
Spaniard; and Peter Martyr, who was present, assented and said that such a
living son of the devil ought not to be tolerated anywhere. We cannot even now
read some of his sentences against the doctrine of the Trinity without a
shudder. Servetus lacked reverence and a decent regard for the most sacred
feelings and convictions of those who differed from him. But there was a
misunderstanding on both sides. He did not mean to blaspheme the true God in
whom he believed himself, but only the three false and imaginary gods, as he
wrongly conceived them to be, while to all orthodox Christians they were the
Father, the Son, and the Holy Spirit of the one true, eternal, blessed Godhead”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 788.
2)
Calvin hanya melaporkan kehadiran Servetus, dan menjadi saksi dalam
pengadilan bahwa Servetus memang sesat dan melakukan penghujatan. Tetapi Calvin
sama sekali tidak berurusan dengan hukuman mati yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Philip Schaff: “Shortly
after the publication of the ‘Restitution,’ the fact was made known to the
Roman Catholic authorities at Lyons through Guillaume Trie, a native of Lyons
and a convert from Romanism, residing at that time in Geneva. He corresponded
with a cousin at Lyons, by the name of Arneys, a zealous Romanist, who tried to
reconvert him to his religion, and reproached the Church of Geneva with the want
of discipline. On the 26th of February, 1553, he wrote to Arneys that in Geneva
vice and blasphemy were punished, while in France a dangerous heretic was
tolerated, who deserved to be burned by Roman Catholics as well as Protestants,
who blasphemed the holy Trinity, called Jesus Christ an idol, and the baptism of
infants a diabolic invention. He gave his name as Michael Servetus, who called
himself at present Villeneuve, a practising physician at Vienne. In confirmation
he sent the first leaf of the ‘Restitution,’ and named the printer Balthasar
Arnoullet at Vienne. This letter, and two others of Trie which followed, look
very much as if they had been dictated or inspired by Calvin. Servetus held him
responsible. But Calvin denied the imputation as a calumny. At the same time he
speaks rather lightly of it, and thinks that it would not have been dishonorable
to denounce so dangerous a heretic to the proper authorities. He
also frankly acknowledges that he caused his arrest at Geneva. He could see no material difference in principle
between doing the same thing, indirectly, at Vienne and, directly, at Geneva. He
simply denies that he was the originator of the papal trial and of the letter of
Trie; but he does not deny that he furnished material for evidence, which was quite well known and publicly made use of
in the trial where Servetus’s letters to Calvin are mentioned as pieces
justificatives. There can be no doubt that Trie, who describes himself as a
comparatively unlettered man, got his information about Servetus and his book
from Calvin, or his colleagues, either directly from conversation, or from
pulpit denunciations. We must acquit Calvin of direct agency, but we cannot free
him of indirect agency in this denunciation. Calvin’s indirect agency, in the
first, and his direct agency in the second arrest of Servetus admit of no proper
justification, and are due to an excess of zeal for orthodoxy” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 757-759.
Philip Schaff: “The
final responsibility of the condemnation, therefore, rests with the Council of
Geneva, which would probably have acted otherwise, if it had not been strongly
influenced by the judgment of the Swiss Churches and the government of Bern. Calvin
conducted the theological part of the examination of the trial, but had no
direct influence upon the result. His theory was that the Church may convict and denounce the heretic
theologically, but thathis condemnation and punishment is the exclusive function of the State,
and that it is one of its most sacred duties to punish attacks made on the
Divine majesty. ‘From
the time Servetus was convicted of his heresy,’ says Calvin, ‘I have not
uttered a word about his punishment, as all honest men will bear witness; and I
challenge even the malignant to deny it if they can.’One thing only he did: he
expressed the wish for a mitigation of his punishment. And this humane sentiment is almost the only good thing that can be
recorded to his honor in this painful trial” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 767-768.
Philip
Schaff: “On the 18th of October the
messenger of the State returned with the answers from the four foreign churches.
They were forthwith translated into French, and examined by the magistrates. We
already know the contents. The churches were unanimous in condemning the
theological doctrines of Servetus, and in the testimony of respect and affection
for Calvin and his colleagues. Even Bern, which was not on good terms with
Calvin, and had two years earlier counselled toleration in the case of Bolsec,
regarded Servetus a much more dangerous heretic and advised to remove this
‘pest.’ Yet none of the Churches consulted expressly suggested the death
penalty. They left the mode of punishment with the discretion of a sovereign
State” -
‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 780.
3)
Orang-orang saleh pada jaman itu semua membela / membenarkan tindakan
Calvin.
Philip
Schaff: “Beza
gives a brief account in his Calvini Vita, ad a. 1553 and 1554, where he says
that ‘Servetus was justly punished at Geneva, not as a sectary, but as a
monster made up of nothing but impiety and horrid blasphemies, with which,
by his speeches and writings, for the space of thirty years, he had infected
both heaven and earth.’ He thinks that Servetus uttered a satanic prediction
on the title-page of his book: ‘Great war took place in heaven, Michael and
his angels fighting with [not against] the dragon.’ He also wrote an
elaborate defence of the death-penalty for heresy in his tract De haereticis
a civili magistratu puniendis, adversus Martini Bellii [pseudonym] farraginem et
novorum academicorum sectam. Geneva (Oliva Rob. Stephani), 1554; second ed.
1592; French translation, 1560. See Heppe's Beza, p. 38 sq”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 684.
Philip
Schaff: “Melanchthon’s
record on this painful subject is unfortunately worse than Luther’s. This is
all the more significant because he was the mildest and gentlest among the
Reformers. But we should remember that his utterances on the subject are of a
later date, several years after Luther's death. He thought that the Mosaic law
against idolatry and blasphemy was as binding upon Christian states as the
Decalogue, and was applicable to heresies as well. He therefore fully and
repeatedly justified the course of Calvin and the Council of Geneva, and even
held them up as models for imitation! In a letter to Calvin, dated Oct. 14,
1554, nearly one year after the burning of Servetus, he wrote: - ‘Reverend and
dear Brother: I have read your book, in which you have clearly refuted the
horrid blasphemies of Servetus; and I give thanks to the Son of God, who was the
brabeuth/$ (the awarder of your crown of
victory) in this your combat. To you also the Church owes gratitude at the
present moment, and will owe it to the latest posterity. I perfectly assent
to your opinion. I affirm also that your magistrates did right in punishing,
after a regular trial, this blasphemous man.’ A year later, Melanchthon
wrote to Bullinger, Aug. 20, 1555: - ‘Reverend
and dear Brother: I have read your answer to the blasphemies of Servetus, and I
approve of your piety and opinions. I judge also that the Genevese Senate did
perfectly right, to put an end to this obstinate man, who could never cease
blaspheming. And I wonder at those who disapprove of this severity.’ Three
years later, April 10, 1557, Melanchthon incidentally (in the admonition in the
case of Theobald Thamer, who had returned to the Roman Church) adverted again to
the execution of Servetus, and called it, ‘a pious and memorable example to
all posterity.’ It is an example, indeed, but certainly not for imitation”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 706-708.
Philip
Schaff: “Bucer,
who stands third in rank among the Reformers of Germany, was of a gentle and
conciliatory disposition, and abstained from persecuting the Anabaptists in
Strassburg. He knew Servetus personally, and treated him at first with kindness,
but after the publication of his work on the Trinity, be refuted it in his
lectures as a ‘most pestilential book.’ He even declared in the pulpit or
in the lecture-room that Servetus deserved to be disembowelled and torn to
pieces. From this we may infer how fully he would have approved his execution,
had he lived till 1553” -
‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 708.
Philip
Schaff: “The Reformers of French
Switzerland went further than those of German Switzerland. Farel
defended death by fire, and feared that Calvin in advising a milder
punishment was guided by the feelings of a friend against his bitterest foe. Beza
wrote a special work in defence of the execution of Servetus, whom he
characterized as ‘a monstrous compound of mere impiety and horrid
blasphemy.’ Peter
Martyr called him ‘a genuine son of
the devil,’ whose ‘pestiferous and detestable doctrines’ and
‘intolerable blasphemies’ justified the severe sentence of the magistracy”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 710.
Philip
Schaff: “Rilliet
justifies the arrest as a necessary measure of self-defence. ‘Under
pain of abdication,’ he says, ‘Calvin must do everything rather than suffer
by his side in Geneva a man whom he considered the greatest enemy of the
Reformation; and the critical position in which he saw it in the bosom of the
Republic, was one motive more to remove, if it was possible, the new element of
dissolution which the free sojourn of Servetus would have created.... To
tolerate Servetus with impunity at Geneva would have been for Calvin to exile
himself...He had no alternative. The man whom a Calvinist accusation had caused
to be arrested, tried, and condemned to the flames in France, could not find an
asylum in the city from which that accusation had issued.’”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 765-766.
Philip
Schaff: “Haller,
the pastor of Bern, however, wrote to Bullinger of Zürich that, if Servetus
had fallen into the hands of Bernese justice, he would undoubtedly have been
condemned to the flames” -
‘History of the Christian Church’,
vol VIII, hal 780-781.
4)
Pembelaan Calvin sendiri.
Philip Schaff: “Calvin
never changed his views or regretted his conduct towards Servetus. Nine years after his execution he justified it in
self-defence against the reproaches of Baudouin (1562), saying: ‘Servetus
suffered the penalty due to his heresies, but was it by my will?
Certainly his arrogance destroyed him not less than his impiety. And what crime was it of mine if our Council, at my
exhortation, indeed, but in conformity with the opinion of several Churches,
took vengeance on his execrable blasphemies?
Let Baudouin abuse me as long as he will, provided that, by the judgment of
Melanchthon, posterity owes me a debt of gratitude for having purged the Church
of so pernicious a monster.’” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 690-691.
5)
Calvin meminta pengadilan meringankan hukuman Servetus dari dibakar
menjadi pemenggalan, tetapi ditolak oleh pengadilan.
Philip
Schaff: “In one respect he was in
advance of his times, by recommending to the Council of Geneva, though in vain,
a mitigation of punishment and the substitution of the sword for the stake”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 691.
Philip
Schaff: “...
the wish of Calvin to substitute the sword for the fire was overruled” (=
... keinginan Calvin untuk menggantikan api dengan pedang ditolak) - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 781-782.
6)
Pandangan / komentar Philip Schaff sendiri tentang persoalan Calvin dan
Servetus.
Philip
Schaff: “It is objected that there was
no law in Geneva to justify the punishment of Servetus, since the canon law had
been abolished by the Reformation in 1535; but the Mosaic law was not abolished,
it was even more strictly enforced; and it is from the Mosaic law against
blasphemy that Calvin drew his chief argument”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 691-692.
Philip
Schaff: “He must be judged by the standard of his own, and not of our, age.
The most cruel of those laws - against witchcraft, heresy, and blasphemy - were
inherited from the Catholic Middle Ages, and continued in force in all countries
of Europe, Protestant as well as Roman Catholic, down to the end of the
seventeenth century. Tolerance is a modern virtue” (= Ia harus dinilai
oleh standard jamannya sendiri, bukan standard jaman kita. Hukum-hukum yang
paling kejam, yang menentang sihir, ajaran sesat dan penghujatan, diwarisi dari
Katolik abad pertengahan, dan tetap berlaku di semua negara-negara Eropa, baik
yang Protestan maupun yang Katolik, terus sampai akhir abad ke 17. Toleransi
adalah kebajikan / sifat baik modern) - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 493-494.
Philip
Schaff: “The judgment of historians on these remarkable men has undergone a
great change. Calvin’s course in the tragedy of Servetus was fully approved by
the best men in the sixteenth and seventeenth centuries. It is as fully
condemned in the nineteenth century” (= Penghakiman dari ahli-ahli sejarah
terhadap orang-orang hebat ini
mengalami perubahan yang besar. Jalan Calvin dalam tragedi Servetus disetujui
sepenuhnya oleh orang-orang yang terbaik dalam abad ke 16 dan ke 17. Tetapi hal
itu dikecam sepenuhnya dalam abad ke 19) - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 689.
Philip
Schaff: “... if we consider Calvin’s course in the light of the sixteenth
century, we must come to the conclusion that he acted his part from a strict
sense of duty and in harmony with the public law and dominant sentiment of his
age, which justified the death penalty for heresy and blasphemy, and abhorred
toleration as involving indifference to truth. Even Servetus admitted the
principle under which he suffered; for he said, that incorrigible obstinacy and
malice deserved death before God and men” (= ... jika kita merenungkan
jalan Calvin dalam terang dari abad ke 16, kita pasti sampai pada kesimpulan
bahwa ia bertindak dari rasa kewajiban / tanggung jawab yang ketat dan sesuai
dengan hukum rakyat / umum dan perasaan yang dominan pada jamannya, yang
membenarkan hukuman mati untuk orang sesat dan penghujat, dan tidak menyukai
toleransi dan menganggapnya sebagai ketidakpedulian pada kebenaran. Bahkan
Servetus sendiri mengakui prinsip dibawah mana ia menderita; karena ia berkata
bahwa sikap keras kepala dan kejahatan yang tidak dapat diperbaiki, layak
mendapatkan kematian di hadapan Allah dan manusia) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 690.
1. Calvin mengaku bahwa
dia mendorong (exhort) pengadilan untuk menjatuhkan hukuman mati. Lalu apakah
Kalvinis hari ini bisa berkata: “Calvin tidak ada hubungannya dengan itu, itu
adalah pengadilan?” Kami tidak membenarkan pengadilan itu, mereka sama (atau
mungkin lebih) bersalah dengan Kalvin. Tetapi kami berkata bahwa Kalvin jelas
juga bersalah di sini! Dan karena kesalahannya adalah mematikan orang yang tidak
seharusnya dimatikan, maka ini adalah jejak darah!
Tanggapan balik Budi Asali:
Kata-kata anda ngawur dan fitnah. Memang bapak dan anak sama saja.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya! Calvin melaporkan, dan menjadi saksi ahli
dalam pengadilan untuk membuktikan bahwa Servetus memang sesat dan menghujat.
Tetapi selebihnya Calvin tak melakukan apa-apa; itu sepenuhnya merupakan
keputusan pengadilan. Lihat kutipan-kutipan dari Schaff dalam point ke 2) di
atas.
Dan siapa bilang ia tidak harus dimatikan? Hukum di sana pada saat
itu memang memberikan hukuman mati kepada orang seperti itu! Jangan dinilai
menurut hukum saat ini!
2. Tujuh tahun sebelum
Servertus dihukum mati, Calvin menulis kepada temannya, Farel, tanggal 13
Februari 1546: “If he [Servetus] comes [to Geneva], I shall never let him go out alive if my authority has weight” (Schaff-Herzog
Encyclopedia of Religious Knowledge (Baker Book House, 1950),
hal. 371, dikutip dari http://www.evangelicaloutreach.org/michaelservetus.
htm#2). Jadi
Kalvin menyombong kepada Farel bahwa kuasa dia di Jenewa akan memastikan
Servetus mati! Hmm...entah mengapa Budi Asali tidak mengutip yang satu ini?
Tanggapan balik Budi Asali:
Anda memang orang bodoh yang tak bisa menilai kata-kata. Anda
katakan ‘menyombong’? Dari mana? Saya melihat kata-kata Calvin ini, sebagai
perwujudan dari kemarahan. Salahkah marah terhadap orang sesat dan penghujat?
Orang yang cinta kebenaran harus benci kesesatan! Apaklah Yesus tidak marah
terhadap kesesatan dan kemunafikan dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
pada saat itu?
Philip Schaff:
·
“Calvin
was, as he himself confessed, not free from impatience, passion, and anger,
which were increased by his physical infirmities; but he was influenced by an
honest zeal for the purity of the Church, and not by personal malice”
(= Calvin, seperti yang diakuinya sendiri, tidaklah bebas dari ketidaksabaran,
nafsu dan kemarahan, yang diperhebat oleh kelemahan fisiknya; tetapi ia
dipengaruhi oleh semangat yang jujur untuk kemurnian Gereja, dan bukan oleh
kebencian / kedengkian pribadi) - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 493.
·
“His
intolerance sprang from the intensity of his convictions and his zeal for the
truth” (= Ketidak-adaan
toleransinya timbul dari intensitas keyakinannya dan semangatnya untuk
kebenaran) - ‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 839.
Memang,
kemarahan Calvin, kalau sampai ia menginginkan kematian seseorang harus dianggap
kelewat batas. Tetapi menurut saya, ini lebih baik dari pada orang yang sabar
saja pada waktu melihat kesesatan!
Dan
kalau Calvin kelewat batas, sampai mengucapkan kata-kata itu, toh itu tidak ia
lakukan! Jadi kemarahannya diwujudkan hanya dengan kata-kata yang kelewat keras,
tetapi tidak dengan tindakan sungguh-sungguh membunuh Servetus. Lalu dimana
jejak darahnya???
3. Pada saat sidang Servetus,
Calvin ingin Servetus dihukum mati. “I hope that the verdict will call for the death penalty.” (Walter Nigg,
The
Heretics (Alfred A. Knopf, Inc., 1962), p. 328, dikutip dari http://www.evangelicaloutreach.org/michael-servetus.htm#2).
Tanggapan balik Budi Asali:
Jawaban saya sama dengan pada point 3. di atas. Itu kemarahan
terhadap dosa, sebetulnya bisa disebut sebagai holy anger / righteous
indignation (kemarahan yang kudus / benar), tetapi bagaimanapun ia adalah
manusia biasa yang berdosa, sehingga kemarahannya kelewatan. Tetapi ia, seperti
dalam kutipan yang sudah saya berikan di atas, tidak melakukan apapun untuk
mewujudkan keinginannya itu. Ia hanya melaporkan sehingga Servetus ditangkap,
lalu memberikan kesaksian bahwa orang itu memang sesat dan menghujat. Titik!
Saya tanya kalian, bapak dan anak, kalau kalian mendengar terorist
membom gereja, menabrakkan pesawat ke WTC, apa reaksi kalian? Kalian tak ingin
mereka dihukum mati? Kalau tidak, kalian tolol dan tidak cinta kebenaran! Para
teroris hanya pembunuh tubuh, tetapi orang sesat ini adalah pembunuh jiwa! Jadi,
salahkah mengharapkan kematian orang sesat seperti itu?
Siapapun membela Servetus, ia segolongan dengan dia!
4. Bahwa ini adalah
“kesalahan zaman itu,” dan bahwa ini adalah hal yang lumrah terjadi di abad
itu, bukanlah alasan. Kesalahan zaman itu tetaplah kesalahan. Di manakah Sola
Scriptura, bahwa kita menaati Alkitab, bukan kebiasaan sekeliling kita?
Lagipula, ada kelompok yang tidak menganiaya siapa-siapa, yaitu kaum Anabaptis.
Mereka menjadi yang teraniaya terus. Kaum Baptis dari dulu mengedepankan
“liberty of conscience,” bahkan sejak abad-abad pertengahan. Jadi, tidak
benar bahwa semua orang pada waktu itu punya pandangan bahwa penyesat harus
dihukum mati.
Tanggapan balik Budi Asali:
Bukan sekedar kesalahan jaman itu! Tetapi pengadilan yang memutuskan
menurut hukum yang berlaku saat itu. Salahnya Calvin dimana, tolol?
Anabaptis juga sesat, biarpun tidak segila Servetus. Penganiayaan
merupakan kesalahan oknum, bukan ajarannya. Dan Calvin, sepanjang pengetahuan
saya, tidak ikut campur dalam hal itu. Jadi jangan membelokkan ke urusan lain.
Baptis beda dengan Anabaptis. Kalian bela mereka, berarti kalian
sebetulnya Anabaptis? Kalau ya tak heran kalian sesat!
5. Bahwa Servetus sangat
sesat juga bukan alasan. Apakah Budi Asali ingin mengatakan bahwa orang Kristen
boleh membunuh penyesat?
Tanggapan balik Budi Asali:
Tidak boleh, dan Calvin juga tidak membunuh Servetus. Pengadilan
yang melakukan, dan itu sesuai dengan hukum pada saat itu. Jadi, dalam hal ini,
menurut saya tak ada yang salah dalam penjatuhan hukuman mati itu. Seperti
kata-kata Calvin, Servetus mati karena kesalahannya sendiri.
Perlu
diketahui beberapa hal dalam persoalan penghukuman mati terhadap Servetus dengan
dibakar pada jaman Calvin:
1.
Servetus dihukum mati bukan karena dia anti Calvinisme, tetapi karena ia bukan
saja tak percaya pada doktrin Allah Tritunggal, tetapi lebih dari itu, ia
menghujatnya mati-matian dengan mengatakan hal itu sebagai ‘monster berkepala
tiga’ dsb sehingga menimbulkan kemarahan dari semua orang Kristen dan bahkan
Katolik di seluruh dunia.
2.
Calvin memang yang melaporkan dia kepada pemerintah / polisi pada waktu ia
secara berani mati muncul di Geneva. Tetapi yang menangkap, mengadili,
menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar, dan melaksanakan hukuman mati itu
adalah pemerintah / pengadilan.
3.
Calvin justru memintakan keringanan supaya hukuman itu diubah dari dibakar
menjadi pemenggalan, tetapi permintaan Calvin ditolak oleh pengadilan.
Semua
cerita ini ada dalam buku sejarah dari Philip Schaff (orang ini ahli sejarah,
dan ia bukan Calvinist), dan itu bisa saya buktikan.
Philip
Schaff: “if we consider Calvin’s course in the light of the sixteenth
century, we must come to the conclusion that he acted his part from a strict
sense of duty and in harmony with the public law and dominant sentiment of his
age, which justified the death penalty for
heresy and blasphemy, and abhorred toleration as involving
indifference to truth Even Servetus admitted the principle under which he
suffered; for he said, that incorrigible obstinacy and malice deserved death
before God and men” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 690.
Philip
Schaff: “Calvin never changed his views or regretted his conduct towards
Servetus. Nine years after his execution he justified it in self-defence against
the reproaches of Baudouin (1562), saying: ‘Servetus suffered the penalty due
to his heresies, but was it by my will? Certainly his arrogance destroyed him
not less than his impiety. And what crime was it of mine if our Council, at my
exhortation, indeed, but in conformity with the opinion of several Churches,
took vengeance on his execrable blasphemies? Let Baudouin abuse me as long as he
will, provided that, by the judgment of Melanchthon, posterity owes me a debt of
gratitude for having purged the Church of so pernicious a monster.’” - ‘History of the Christian Church’,
vol VIII, hal 690-691.
Philip
Schaff: “Let us remember also that it was not simply a case of fundamental
heresy, but of horrid blasphemy, with which he had to deal. If he was mistaken,
if he misunderstood the real opinions of Servetus, that was an error of
judgment, and an error which all the Catholics and Protestants of that age
shared” - ‘History of the Christian Church’,
vol VIII, hal 691.
Philip
Schaff: “It is not surprising that this book gave great offence to Catholics
and Protestants alike, and appeared to them blasphemous. Servetus calls the
Trinitarians tritheists and atheists. He frivolously asked such questions as
whether God had a spiritual wife or was without sex. He calls the three gods of
the Trinitarians a deception of the devil, yea (in his later writings), a
three-headed monster”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 718-719.
Philip
Schaff: “Servetus charges the Reformed Christians of Geneva that they had a
gospel without a God, without true faith, without good works; and that instead
of the true God they worshipped a three-headed Cerberus”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 731.
Catatan:
Cerberus = anjing berkepala tiga yang menjaga Hades dalam mitologi Romawi dan
Yunani (Webster’s New World Dictionary, College Edition).
Philip
Schaff: “He calls all Trinitarians ‘tritheists’ and ‘atheists.’ They
have not one absolute God, but a three-parted, collective, composite God - that
is, an unthinkable, impossible God, which is no God at all. They worship three
idols of the demons, - a three-headed monster, like the Cerberus of the Greek
mythology. One of their gods is unbegotten, the second is begotten, the third
proceeding. One died, the other two did not die. Why is not the Spirit begotten,
and the Son proceeding? By distinguishing the Trinity in the abstract from the
three persons separately considered, they have even four gods. The Talmud and
the Koran, he thinks, are right in opposing such nonsense and blasphemy” - ‘History of the Christian Church’,
vol VIII, hal 741-742.
Philip
Schaff: “Shortly after the publication of the ‘Restitution,’ the fact
was made known to the Roman Catholic authorities at Lyons through Guillaume
Trie, a native of Lyons and a convert from Romanism, residing at that time in
Geneva. He corresponded with a cousin at Lyons, by the name of Arneys, a zealous
Romanist, who tried to reconvert him to his religion, and reproached the Church
of Geneva with the want of discipline. On the 26th of February, 1553, he wrote
to Arneys that in Geneva vice and blasphemy were punished, while in France a
dangerous heretic was tolerated, who deserved to be burned by Roman Catholics as
well as Protestants, who blasphemed the holy Trinity, called Jesus Christ an
idol, and the baptism of infants a diabolic invention. He gave his name as
Michael Servetus, who called himself at
present Villeneuve, a practising physician at Vienne. In
confirmation he sent the first leaf of the ‘Restitution,’ and named the
printer Balthasar Arnoullet at Vienne. This letter, and two others of Trie which
followed, look very much as if they had been dictated or inspired by
Calvin. Servetus held him responsible. But Calvin denied the
imputation as a calumny. At the same time he speaks rather lightly of it, and
thinks that it would not have been dishonorable to denounce so dangerous a
heretic to the proper authorities. He also frankly acknowledges
that he caused his arrest at Geneva. He could see no material
difference in principle between doing the same thing, indirectly, at Vienne and,
directly, at Geneva. He simply denies that he was the originator of the papal
trial and of the letter of Trie; but he does not deny that he
furnished material for evidence, which was quite well known and
publicly made use of in the trial where Servetus’s letters to Calvin are
mentioned as pieces justificatives. There can be no doubt that Trie, who
describes himself as a comparatively unlettered man, got his information about
Servetus and his book from Calvin, or his colleagues, either directly from
conversation, or from pulpit denunciations. We must acquit Calvin of direct
agency, but we cannot free him of indirect agency in this denunciation.
Calvin’s indirect agency, in the first, and his direct agency in the second
arrest of Servetus admit of no proper justification, and are due to an excess of
zeal for orthodoxy”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 757-759.
Philip
Schaff: “The final responsibility of the condemnation, therefore, rests with
the Council of Geneva, which would probably have acted otherwise, if it had not
been strongly influenced by the judgment of the Swiss Churches and the
government of Bern. Calvin conducted the theological part of the examination of
the trial, but had no direct influence upon the result. His theory was that the
Church may convict and denounce the heretic theologically, but that his
condemnation and punishment is the exclusive function of the State, and that it
is one of its most sacred duties to punish attacks made on the Divine majesty.
‘From the time Servetus was convicted of his heresy,’ says Calvin, ‘I have
not uttered a word about his punishment, as all honest men will bear witness;
and I challenge even the malignant to deny it if they can.’ One thing only he
did: he expressed the wish for a mitigation of his punishment. And this humane
sentiment is almost the only good thing that can be recorded to his honor in
this painful trial”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 767-768.
Philip
Schaff: “... the wish of Calvin to substitute the sword for the fire was
overruled” (= ... keinginan Calvin untuk menggantikan
api dengan pedang ditolak) - ‘History of the Christian Church’,
vol VIII, hal 781-782.
Philip
Schaff: “The severest charge against him is blasphemy. Bullinger remarked to
a Pole that if Satan himself should come out of hell, he could use no more
blasphemous language against the Trinity than this Spaniard; and Peter Martyr,
who was present, assented and said
that such a living son of the devil ought not to be tolerated
anywhere. We cannot even now read some of his sentences against the doctrine of
the Trinity without a shudder. Servetus lacked reverence and a decent regard for
the most sacred feelings and convictions of those
who differed from him”
- ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 781-788.
Tanggapan balik Budi Asali:
Mengapa kutipan saya yang banyak ini tak ditanggapi? Ayo tanggapi,
dan buktikan kalau Calvin salah dan ada ‘jejak darah’? Kalau tidak bisa,
kalian memang pemfitnah!
Saya ingin menambahkan beberapa kutipan berkenaan dengan Calvin dan
Servetus dari seorang penulis yang lain.
Thomas Smyth:
“If,
however, there ever was a case in which the execution of the penalty of death
could have been properly inflicted, it was in that of Servetus. Never had man so
blasphemed his Maker, so outraged Christian feeling and all propriety, so
insulted the laws in force for his destruction, and so provoked the slumbering
arm of vengeance to fall upon him”
(= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 30.
Thomas Smyth:
“Servetus
had been driven from every attempted residence on account of his unbearable
conduct. He had been tried and condemned to be burned to death by the Romanists
at Vienna, from whose hands he had just escaped when he came to Geneva. He was
well aware of the intolerant character of the laws of the city of Geneva,
enacted against heretics by the Emperor Frederick I, when under imperial and
Romish jurisdiction which had been often exercised before that time - and which
were still in force. Calvin, regarding his sentiments and conduct with just
abhorrence, and believing it to be his duty, for the reasons stated, to oppose
them, gave him previous notice, that if he came to the city of Geneva, he should
be under the necessity of prosecuting him. There was therefore no previous
malice in Calvin towards him. When Servetus had come, and Calvin had brought his
character and opinions to the view of the authorities, his interference in the
matter there ceased. He never visited the court, except when required to do so.
The Senate, instead of being influenced by him in the course they pursued, were,
the greater part of them, at that very time opposed to him. The whole matter
also, before sentence had been
passed, was, at Servetus’ request, submitted to the judgment of the other
cities, who unanimously approved of his condemnation”
(= ) - ‘Calvin and His Enemies’,
hal 31.
Thomas Smyth:
“It
was the sentiment of the age, that those who obstinately persisted in heresy and
blasphemy were worthy of death. Even the gentle Melanchthon affirms, in a letter
to Calvin, that the magistrates so acted rightly in putting this blasphemer to
death;’ and in a letter to Bullinger, the same mild and cautious and truly
Christian man declares, ‘I have been
surprised that there are men who blame this severity.’ Servetus
himself maintained this principle in his ‘Restitution of
Christianity,’ the very work which led to his trim and condemnation. The
justice of such a punishment towards himself, Servetus repeatedly avowed, if
guilty of the charges against him. And this punishment Servetus continually
demanded to be inflicted on Calvin, on the ground that by the laws of the state
it was required that the person who lodged an accusation against any one should
sustain it and make it good, or failing to do this, should suffer the punishment
which would have been due to the accused. This punishment, Servetus was led to
believe he would be able to inflict on Calvin, since in the council of two
hundred, before whom the case was first argued, the opponents and determined
enemies of Calvin - the Libertines - predominated”
(= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 31-32.
Thomas Smyth:
“There
is, however, no probability that Servertus, under the circumstances, would have
been visited with the punishment he suffered, merely
for his opinions. For what then, it has been asked, was he condemned? Not
for heretical opinions of any sort merely, or chiefly, we reply, his opinions
and doctrines were doubtless heretical enough, according to the standards of
judgment at the time; heretical they would in any age be pronounced by the great
body of the Christian Church. But it was not so much his opinions in themselves,
as the manner in which he stated and defended them, which gave offense. The
elder Socinus was teaching substantially the same doctrines at Zurich without
molestation. But not content with simply maintaining and defending calmly but
earnestly what he thought to be truth, Servetus it seems had from the first set
himself to assail with terms of bitterest obloquy and reproach, nay with
ribaldry and unmeasured abuse, the opinions of those who differed from him. He
made use of language which could not fail to shock the minds of all sober and
pious men who held the doctrines of either the Catholic or the Protestant Church.
He calls persons of the Godhead delusions of the devil, and the triune God a
monster, a three-headed Cerberus. It was this bitterness and intolerance of
spirit, this entire want of reverence for the most sacred things, this
deliberate insult and outrage of the religious feelings of the entire Christian
world, that armed the entire Christian world against him, and made him a marked
and outlawed man long before he ever saw Calvin or Geneva. Some thirteen years
before his trial he sent back to Calvin, with whom he was then corresponding, a
copy of his Institutes, with the most severe and bitter reflections and taunts
upon the margin, and sent him several letters of the most abusive and insulting
character. The same spirit was exhibited on his trial. He manifested neither
respect for his judges, nor a decent regard for the religious sentiment of the
age. In the most insulting manner he heaped upon Calvin the most undeserved
reproaches and the most abusive epithets, dealing so much in personalities and
invectives as to shame even his judges, and wear out the patience of men, many
of whom were inclined to look favorably upon his cause. So far was this abuse
carried, that unable to bear it longer, the entire body of the clergy, with
Calvin at their head, arose on one occasion and left the tribunal, thus closing
the examination” (= ) - ‘Calvin and His
Enemies’, hal 32-33.
Thomas Smyth:
“It
was not, then, so much his opinions and dogmas, as the manner in which he
maintained them, that occasioned the final decision of the judges, and the
almost unanimous verdict of the Christian world against Servetus. ‘If Servetus
had only attacked the doctrine of the Trinity by arguments,’ says an able
writer, the would have been answered by arguments, and without danger of
persecution by the Protestants he might have gone on defending it, until called
to answer for his belief by Him whose character he had impugned. Argument was
not that which Calvin and his contemporaries opposed, by the civil tribunal. It
was insult and ribaldry, and that too against the Most High, whose character
they would defend in the midst of a perverse and rebellious generation.’
‘If ever a poor fanatic thrust himself into the fire,’ says J. T. Coleridge,
‘it was Michael Servetus.’”
(= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 33.
Thomas Smyth:
“We
do not defend, in all this, the condemnation and death of Servetus. It was a
great mistake; call it if you will a crime. But let the blame rest where
it belongs; not on John Calvin, but on the men who decreed that death,
and on the age which sanctioned and demanded it” (= ) - ‘Calvin and His
Enemies’, hal 34.
Thomas Smyth:
“And
when it is remembered that at this very time the flames were consuming the
victims of Romish persecution, and also of those condemned by Cranmer, who is
called a pattern of humility - that Davides fell a victim to the intolerance of
Socinus - that the English Reformers applauded the execution of Servetus - that
his punishment was regarded as the common cause of all the churches in
christendom - and that for fifty years thereafter no writer criminated Calvin
for his agency in this matter - may we not say to those who now try Calvin by an
ex post facto law, by a public opinion, which is the result of
the very doctrines he promulgated - let him that is guiltless among you cast the
first stone? In thus singling out Calvin as the object of your fierce
resentment, you manifest the very spirit you condemn - a spirit partial,
unchristian, and unrighteous. So much for the charge of intolerance”
(= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 35.
19) Kesan yang didapat
adalah: ia anggap dan nyatakan gerejanya sebagai ‘the only true church’, dan
anjurkan orang pindah ke gerejanya! Katolik, Kharismatik, Calvinist, tokoh-tokoh
reformasi (Martin Luther, Calvin, dsb), semua digempur.
Tanggapan Budi Asali:
Saya menganggap semua orang
yang menganggap gerejanya sebagai ‘the only true church’, sebagai
orang-orang sesat. Saksi Yehuwa mempunyai pandangan seperti itu, dan Gereja
Masehi Advent Hari Ketujuh juga mempunyai kepercayaan seperti itu, dan itu saya
anggap sebagai salah satu bukti kesesatan mereka. Saya sering mengecam banyak
pendeta dan gereja sebagai sesat, tetapi saya tidak pernah punya anggapan /
pemikiran / kepercayaan bahwa gereja saya adalah ‘the only true church’!
Kami percaya saat ini ada
ribuan gereja Baptis Independen (Fundamental) di seluruh dunia. Yang semuanya
tidak di bawah satu kendali atau sinode, tetapi dengan doktrin yang sangat mirip
satu sama lain. Bahwa Dr. Liauw percaya seminar yang dia bawakan adalah
kebenaran itu tidak heran. Bahwa Dr. Liauw ingin kaum Katolik, Kharismatik,
Kalvinis, untuk bertobat, itu saya aminkan! Bertobatlah!
Tanggapan balik Budi Asali:
Menganggap kepercayaan sendiri sebagai paling benar, bukan merupakan
sesuatu yang salah, tetapi bahkan logis. Kalau bukan yang paling benar, lalu
mengapa dianut? Jadi ini memang tak salah. Tetapi serangan saya terhadap Suhento
Liauw adalah: ia menganggap diri sebagai satu-satunya yang benar, dan gerejanya
sebagai ‘the only true church’. Ini sangat berbeda, seperti langit di atas
bumi! Orang yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya yang benar, dan
gerejanya sebagai ‘the only true church’, justru dia yang saya anggap sesat!
Contohnya banyak: Saksi Yehuwa, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh juga punya
anggapan seperti itu. Saya kira Katolik juga! Dan sekarang ditambah dengan
Suhento Liauw dan Steven Liauw dan GBIA Graphe! Kalianlah yang harus bertobat!
Disamping, apa maksud Suhento Liauw dalam menyerang SEMUA gereja
dalam seminarnya? Motivasi itu menentukan apakah tindakan itu bisa dibenarkan
atau tidak. Saya juga menyerang banyak gereja, sekalipun tidak semua gereja,
tetapi motivasi saya adalah menegakkan kebenaran dan menghancurkan kesesatan.
Tetapi Suhento Liauw, setelah menyerang semua gereja, menganjurkan orang pindah
ke gerejanya. Hmmm, betul-betul motivasi busuk dan tak tahu malu!
Bdk. Ro 15:20 - “Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap
sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, di mana
nama Kristus telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar,
yang telah diletakkan orang lain”.
-o0o-