KIsah
rasul 10:1-48
Kis 10:1-48 - “(1) Di Kaisarea ada
seorang yang bernama Kornelius, seorang perwira pasukan yang disebut pasukan
Italia. (2) Ia saleh, ia serta seisi rumahnya takut akan Allah dan ia memberi
banyak sedekah kepada umat Yahudi dan senantiasa berdoa kepada Allah. (3)
Dalam suatu penglihatan, kira-kira jam tiga petang, jelas tampak kepadanya
seorang malaikat Allah masuk ke rumahnya dan berkata kepadanya:
‘Kornelius!’ (4) Ia menatap malaikat itu dan dengan takut ia berkata:
‘Ada apa, Tuhan?’ Jawab malaikat itu: ‘Semua doamu dan sedekahmu telah
naik ke hadirat Allah dan Allah mengingat engkau. (5) Dan sekarang, suruhlah
beberapa orang ke Yope untuk menjemput seorang yang bernama Simon dan yang
disebut Petrus. (6) Ia menumpang di rumah seorang penyamak kulit yang bernama
Simon, yang tinggal di tepi laut.’ (7) Setelah malaikat yang berbicara
kepadanya itu meninggalkan dia, dipanggilnya dua orang hambanya beserta
seorang prajurit yang saleh dari orang-orang yang selalu bersama-sama dengan
dia. (8) Dan sesudah ia menjelaskan segala sesuatu kepada mereka, ia menyuruh
mereka ke Yope. (9) Keesokan harinya ketika ketiga orang itu berada dalam
perjalanan dan sudah dekat kota Yope, kira-kira pukul dua belas tengah hari,
naiklah Petrus ke atas rumah untuk berdoa. (10) Ia merasa lapar dan ingin
makan, tetapi sementara makanan disediakan, tiba-tiba rohnya diliputi kuasa
ilahi. (11) Tampak olehnya langit terbuka dan turunlah suatu benda berbentuk
kain lebar yang bergantung pada keempat sudutnya, yang diturunkan ke tanah.
(12) Di dalamnya terdapat pelbagai jenis binatang berkaki empat, binatang
menjalar dan burung. (13) Kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata:
‘Bangunlah, hai Petrus, sembelihlah dan makanlah!’ (14) Tetapi Petrus
menjawab: ‘Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang
haram dan yang tidak tahir.’ (15) Kedengaran pula untuk kedua kalinya suara
yang berkata kepadanya: ‘Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh
engkau nyatakan haram.’ (16) Hal ini terjadi sampai tiga kali dan segera
sesudah itu terangkatlah benda itu ke langit. (17) Petrus bertanya-tanya di
dalam hatinya, apa kiranya arti penglihatan yang telah dilihatnya itu.
Sementara itu telah sampai di muka pintu orang-orang yang disuruh oleh
Kornelius dan yang berusaha mengetahui di mana rumah Petrus. (18) Mereka
memanggil seorang dan bertanya, apakah Simon yang disebut Petrus ada menumpang
di rumah itu. (19) Dan ketika Petrus sedang berpikir tentang penglihatan itu,
berkatalah Roh: ‘Ada tiga orang mencari engkau. (20) Bangunlah, turunlah ke
bawah dan berangkatlah bersama-sama dengan mereka, jangan bimbang, sebab Aku
yang menyuruh mereka ke mari.’ (21) Lalu turunlah Petrus ke bawah dan
berkata kepada orang-orang itu: ‘Akulah yang kamu cari; apakah maksud
kedatangan kamu?’ (22) Jawab mereka: ‘Kornelius, seorang perwira yang
tulus hati dan takut akan Allah, dan yang terkenal baik di antara seluruh
bangsa Yahudi, telah menerima penyataan Allah dengan perantaraan seorang
malaikat kudus, supaya ia mengundang engkau ke rumahnya dan mendengar apa yang
akan kaukatakan.’ (23) Ia mempersilakan mereka untuk bermalam di situ.
Keesokan harinya ia bangun dan berangkat bersama-sama dengan mereka, dan
beberapa saudara dari Yope menyertai dia. (24) Dan pada hari berikutnya
sampailah mereka di Kaisarea. Kornelius sedang menantikan mereka dan ia telah
memanggil sanak saudaranya dan sahabat-sahabatnya berkumpul. (25) Ketika
Petrus masuk, datanglah Kornelius menyambutnya, dan sambil tersungkur di depan
kakinya, ia menyembah Petrus. (26) Tetapi Petrus menegakkan dia, katanya:
‘Bangunlah, aku hanya manusia saja.’ (27) Dan sambil bercakap-cakap dengan
dia, ia masuk dan mendapati banyak orang sedang berkumpul. (28) Ia berkata
kepada mereka: ‘Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi
untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka.
Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang
najis atau tidak tahir. (29) Itulah sebabnya aku tidak berkeberatan ketika aku
dipanggil, lalu datang ke mari. Sekarang aku ingin tahu, apa sebabnya kamu
memanggil aku.’ (30) Jawab Kornelius: ‘Empat hari yang lalu kira-kira pada
waktu yang sama seperti sekarang, yaitu jam tiga petang, aku sedang berdoa di
rumah. Tiba-tiba ada seorang berdiri di depanku, pakaiannya berkilau-kilauan
(31) dan ia berkata: Kornelius, doamu telah didengarkan Allah dan sedekahmu
telah diingatkan di hadapanNya. (32) Suruhlah orang ke Yope untuk menjemput
Simon yang disebut Petrus; ia sedang menumpang di rumah Simon, seorang
penyamak kulit, yang tinggal di tepi laut. (33) Karena itu segera kusuruh
orang kepadamu, dan dengan senang hati engkau telah datang. Sekarang kami
semua sudah hadir di sini di hadapan Allah untuk mendengarkan apa yang
ditugaskan Allah kepadamu.’ (34) Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya:
‘Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. (35)
Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan
kebenaran berkenan kepadaNya. (36) Itulah firman yang Ia suruh sampaikan
kepada orang-orang Israel, yaitu firman yang memberitakan damai sejahtera oleh
Yesus Kristus, yang adalah Tuhan dari semua orang. (37) Kamu tahu tentang
segala sesuatu yang terjadi di seluruh tanah Yudea, mulai dari Galilea,
sesudah baptisan yang diberitakan oleh Yohanes, (38) yaitu tentang Yesus dari
Nazaret: bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia,
yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang
yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia. (39) Dan kami adalah saksi
dari segala sesuatu yang diperbuatNya di tanah Yudea maupun di Yerusalem; dan
mereka telah membunuh Dia dan menggantung Dia pada kayu salib. (40) Yesus itu
telah dibangkitkan Allah pada hari yang ketiga, dan Allah berkenan, bahwa Ia
menampakkan diri, (41) bukan kepada seluruh bangsa, tetapi kepada saksi-saksi,
yang sebelumnya telah ditunjuk oleh Allah, yaitu kepada kami yang telah makan
dan minum bersama-sama dengan Dia, setelah Ia bangkit dari antara orang mati.
(42) Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan
bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang
hidup dan orang-orang mati. (43) Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa
barangsiapa percaya kepadaNya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena
namaNya.’ (44) Ketika Petrus sedang berkata demikian, turunlah Roh Kudus ke
atas semua orang yang mendengarkan pemberitaan itu. (45) Dan semua orang
percaya dari golongan bersunat yang menyertai Petrus, tercengang-cengang,
karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain
juga, (46) sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa
roh dan memuliakan Allah. Lalu kata Petrus: (47) ‘Bolehkah orang mencegah
untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima
Roh Kudus sama seperti kita?’ (48) Lalu ia menyuruh mereka dibaptis dalam
nama Yesus Kristus. Kemudian mereka meminta Petrus, supaya ia tinggal beberapa
hari lagi bersama-sama dengan mereka”.
Pdt. Stephen Tong mengatakan bahwa ada orang yang
menggunakan Kis 10 untuk menunjukkan bahwa orang seperti filosof Cina itu
bisa diselamatkan.
Ia lalu mengutip ayat dari Kis 10, tanpa
menyebutkan ayatnya, sebagai berikut: “ternyata semua orang yang baik di
dunia diterima oleh Tuhan”.
Kelihatannya ia mengutip Kis 10:35, tetapi
secara sangat ceroboh. Bandingkan dengan ayat aslinya di bawah ini.
Ay 35: “Setiap orang dari bangsa manapun
yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya”.
Pdt. Stephen Tong sendiri tak setuju dengan
kata-kata orang tersebut, dan alasannya adalah: Kornelius pada saat itu belum
diselamatkan, dan Petrus masih harus memberitakan Injil kepadanya, dan barulah
ia diselamatkan. Tetapi Pdt. Stephen Tong mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan
bahwa sebelum itu ‘kebajikan
mereka diterima’!
Apakah tindakan orang yang belum beriman bisa
disebut kebajikan, dan bisa diterima oleh Allah?
I) Kornelius dan agama Yahudi / Yudaisme.
A)
Pertama-tama perlu diketahui adanya kelompok Yahudi, non Yahudi, dan
kelompok-kelompok lain yang ada di antaranya.
1) Kelompok Yahudi.
Tentang
kelompok ini, tak ada yang perlu dibahas, karena sudah jelas.
2) Kelompok non Yahudi
(Inggris: Gentiles; Literal: ‘nations’
/ ‘bangsa-bangsa’).
Yang
perlu diketahui adalah bahwa kelompok Yahudi sangat memandang rendah kelompok
non Yahudi ini. Jadi, kalau bagi kita istilah ‘orang non Yahudi’ /
‘bangsa-bangsa non Yahudi’ merupakan suatu istilah biasa, maka tidak
demikian bagi orang Yahudi. Istilah itu mempunyai arti sangat negatif, menghina
/ merendahkan!
Easton’s
Bible Dictionary: “Gentiles
- (Heb., usually in plural, goyim),
meaning in general all nations except the Jews. In course of time, as the Jews
began more and more to pride themselves on their peculiar privileges, it
acquired unpleasant associations, and was used as a term of contempt. In the New
Testament the Greek word Hellenes,
meaning literally Greek (as in Acts 16:1,3; 18:17; Rom 1:14), generally denotes
any non-Jewish nation” [= ‘Orang-orang / bangsa-bangsa non Yahudi’ -
(Ibrani, biasanya dalam bentuk jamak, GOYIM), secara umum berarti semua bangsa
kecuali bangsa Yahudi. Dengan berlalunya waktu, karena orang-orang Yahudi mulai
makin lama makin membanggakan diri mereka sendiri karena hak-hak khusus mereka,
istilah ini mendapatkan gagasan yang tidak menyenangkan, dan digunakan sebagai
istilah penghinaan. Dalam Perjanjian Baru kata Yunani HELLENES, secara hurufiah
berarti ‘Yunani’ (seperti dalam Kis 16:1,3; 18:17; Ro 1:14), secara umum
menunjuk pada bangsa non Yahudi manapun] - PC Study Bible version 5.
3)
Di antara kedua kelompok di atas, ada kelompok lain yang disebut ‘proselyte’
(= proselit), yaitu orang-orang non Yahudi yang diyahudikan / masuk agama
Yahudi.
Ada
2 jenis proselit, yaitu:
a) Proselit yang sepenuhnya.
Ada
yang menyebutnya dengan istilah ‘proselyte
of righteousness’ (= proselit kebenaran) atau ‘proselyte
of justice’ (= proselit keadilan). Lenski dan International Standard Bible
Encyclopedia menggunakan juga istilah ‘proselyte
of the Sanctuary’ (= proselit dari Ruang Suci).
Yang
ini betul-betul dianggap sebagai Yahudi, sekalipun tetap ada yang mengatakan
bahwa mereka tetap dipandang rendah oleh sebagian orang-orang Yahudi.
International
Standard Bible Encyclopedia (Revised Edition) - dengan topik ‘proselyte’:
“PROSELYTE.
... The rabbis had mixed feelings toward proselytes. Some, like Hillel, were
disposed to welcome proselytes and were even inclined to relax the requirements
a bit at the outset so that the newcomer could perceive the true spirit of
Judaism (Mish. Aboth i.12; T.B. Shabbath 31 a). On the other hand, Shammai
viewed proselytes with some suspicion and demanded that they be thoroughly
examined before admittance. In addition, some Jews feared that proselytes would
return to the idolatry whence they came (T.B. Abodah Zarah 24 a) and that they
did not observe the ceremonial law properly (Mish. Niddah vii.3). Indeed, some
rabbis argued that proselytes were like a scab that adhered to the Jewish people
(T.B. Yebamoth 47 b, 109 b; Kiddushin 70 b). Some scholars suggest, however,
that the above description was meant only as a joke and should not be
interpreted as a negative attitude toward proselytes” [= PROSELIT.
... Rabi-rabi mempunyai perasaan-perasaan yang bermacam-macam tentang proselit.
Sebagian, seperti Hillel, condong untuk menerima proselit dan bahkan condong
untuk mengurangi sedikit tuntutan-tuntutan pada permulaan sehingga orang yang
baru datang itu bisa mengerti roh yang benar dari agama Yahudi (Mish. Aboth
i.12; T.B. Shabbath 31 a). Di sisi lain, Shammai memandang proselit dengan
kecurigaan dan menuntut supaya mereka diperiksa secara menyeluruh sebelum
diterima. Sebagai tambahan, sebagian orang Yahudi takut bahwa para proselit akan
kembali pada penyembahan berhala dari mana mereka datang (T.B. Abodah Zarah 24
a) dan bahwa mereka tidak mentaati hukum-hukum yang berhubungan dengan upacara
keagamaan dengan benar / tepat (Mish. Niddah vii.3). Bahkan, beberapa rabi
mengatakan bahwa para proselit adalah seperti penyakit kulit yang melekat pada
bangsa Yahudi (T.B. Yebamoth 47 b, 109 b; Kiddushin 70 b). Tetapi sebagian
ahli-ahli Alkitab mengatakan bahwa penggambaran di atas hanya dimaksudkan
sebagai suatu lelucon, dan tidak boleh ditafsirkan sebagai suatu sikap negatif
terhadap proselit].
Catatan:
bagi saya kalimat terakhir itu tidak masuk akal. Itu tidak mungkin merupakan
lelucon, tetapi pasti merupakan sesuatu yang serius.
Lenski
(tentang ay 28): “Only
proselytes of righteousness (of the Sanctuary) were considered the equals of the
Jews, and the rabbis often spoke very slightingly even of these, as when they
were called sicut scabies Israeli”
[= Hanya proselit kebenaran (dari Ruang Suci) dianggap
sebagai setara dengan orang-orang Yahudi, dan rabi-rabi sering berbicara secara
meremehkan / menghina bahkan tentang mereka, seperti pada saat mereka disebut sicut
scabies Israeli] - hal 414.
Catatan:
saya tak mengerti kata-kata terakhir itu, yang bukan merupakan kata-kata bahasa
Inggris. Tetapi mungkin artinya sama seperti dalam kutipan di atas tadi, yaitu
‘penyakit kulit yang melekat pada bangsa Israel’.
b) Proselit sebagian.
Biasanya
ini disebut dengan istilah ‘proselyte of
the gate’ (= proselit pintu gerbang). Mereka disebut demikian karena
sekalipun mereka punya kecondongan pada agama Yahudi, tetapi mereka tidak mau
betul-betul masuk agama Yahudi, dan hanya berdiri di pintu gerbang agama Yahudi.
Ada juga yang menyebutnya ‘semi
proselyte’ (= semi proselit) atau ‘half
proselyte’ (= setengah proselit).
Orang-orang
ini tidak disunat, dan hanya mentaati 7 perintah / hukum Nuh.
Lenski
(tentang Kis 2:10): “The Jews
had two kinds of proselytes: ‘proselytes of the gate’ who were not bound to
submit to circumcision, who observed only the seven Noachian commandments
against idolatry, blasphemy, disobedience to magistrates, murder, fornication or
incest, robbery or theft, eating of blood (Gen. 9:4), and were restricted in
taking part in the worship; and ‘proselytes of righteousness,’ Gentiles who
became complete Jews. The latter seem to be referred here” [=
Orang-orang Yahudi mempunyai 2 jenis proselit: ‘proselit pintu gerbang’ yang
tidak terikat untuk tunduk pada sunat, yang mentaati hanya 7 hukum Nuh terhadap
penyembahan berhala, penghujatan, ketidak-taatan terhadap hakim / pemerintah,
pembunuhan, percabulan atau incest / perzinahan dalam keluarga, perampokan atau
pencurian, makan darah (Kej 9:4), dan dibatasi / dilarang ambil bagian dalam
ibadah / kebaktian; dan ‘proselit kebenaran’, yaitu orang-orang non Yahudi
yang menjadi Yahudi sepenuhnya. Yang terakhir yang kelihatannya dimaksudkan di
sini (dalam Kis 2:10)] - hal 67.
Catatan:
sebagian dari 7 hukum Nuh itu ada dalam Kej 9, tetapi sebagian tidak ada dan
saya tidak tahu dari mana itu didapatkan.
Wycliffe
(tentang Kis 2:10): “A
few Gentiles became converts to Judaism and accepted all Jewish practices,
including circumcision. A larger number stopped short of circumcision but
accepted the Jewish belief in God, synagogue worship, the ethical teachings of
the OT, and some of the Jewish religious practices. These people, who were
called God-fearers, were familiar with the OT in the Greek version as it was
read in the synagogues. Devout God-fearers provided the most fertile soil in
which the Gospel took root. Cornelius was such a ‘semi-proselyte.’ His
devout character was manifested by his liberal alms to the people and his
regular prayers to God.” (= Sedikit orang-orang
non Yahudi masuk agama Yahudi dan menerima semua praktek-praktek Yahudi,
termasuk sunat, tetapi menerima kepercayaan Yahudi kepada Allah, ibadah sinagog,
pengajaran etika Perjanjian Lama, dan beberapa dari praktek-praktek agamawi
Yahudi. Orang-orang ini, yang disebut ‘orang-orang yang takut akan Allah’,
akrab dengan Perjanjian Lama dalam versi bahasa Yunani karena itu dibacakan
dalam sinagog-sinagog. Orang-orang saleh yang takut akan Allah ini menyediakan
tanah yang paling subur dimana Injil berakar. Kornelius adalah ‘semi
proselit’ seperti itu. Karakter salehnya dinyatakan oleh sedekahnya yang murah
hati kepada bangsa itu dan doanya yang rutin kepada Allah).
Easton’s
Bible Dictionary: “The
distinction between ‘proselytes of the gate’ (Exodus 20:10) and
‘proselytes of righteousness’ originated only with the rabbis. According to
them, the ‘proselytes of the gate’ (half proselytes) were not required to be
circumcised nor to comply with the Mosaic ceremonial law. They were bound only
to conform to the so-called seven precepts of Noah, viz., to abstain from
idolatry, blasphemy, bloodshed, uncleaness, the eating of blood, theft, and to
yield obedience to the authorities. Besides these laws, however, they were
required to abstain from work on the Sabbath, and to refrain from the use of
leavened bread during the time of the Passover. The ‘proselytes of
righteousness’, religious or devout proselytes (Acts 13:43), were bound to all
the doctrines and precepts of the Jewish economy, and were members of the
synagogue in full communion. The name ‘proselyte’ occurs in the New
Testament only in Matthew 23:15; Acts 2:10; 6:5; 13:43. The name by which they
are commonly designated is that of ‘devout men,’ or men ‘fearing God’ or
‘worshipping God.’” [= Pembedaan antara
‘proselit pintu gerbang’ (Kel 20:10) dan ‘proselit kebenaran’ berasal
usul hanya dari rabi-rabi. Menurut mereka ‘proselit pintu gerbang’ (setengah
proselit) tidak diwajibkan untuk disunat atau untuk tunduk pada hukum upacara
Musa. Mereka hanya diharuskan untuk memenuhi apa yang disebut 7 peraturan /
ajaran Nuh, yaitu, tidak melakukan penyembahan berhala, penghujatan, penumpahan
darah, kenajisan, makan darah, pencurian, dan harus tunduk pada otoritas. Tetapi
disamping hukum-hukum ini, mereka diwajibkan untuk tidak bekerja pada hari
Sabat, dan menahan diri dari penggunaan roti beragi pada masa Paskah.
‘Proselit kebenaran’, proselit yang religius atau saleh (Kis 13:43), terikat
pada semua ajaran dan peraturan dari sistim Yahudi, dan merupakan
anggota-anggota dari sinagog dalam persekutuan sepenuhnya. Sebutan
‘proselit’ muncul dalam Perjanjian Baru hanya dalam Mat 23:15; Kis 2:11;
6:5; 13:43). Sebutan dengan mana mereka biasanya ditunjuk adalah ‘orang-orang
saleh’ atau orang-orang yang ‘takut akan Allah’ atau ‘menyembah Allah’]
- PC Study Bible version 5.
Kel
20:10 - “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan
melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu
perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang
asing yang di tempat kediamanmu”.
KJV:
‘thy stranger that is within thy gates’ (= orang-orang asingmu yang
ada dalam pintu gerbangmu).
Catatan:
saya berpendapat ayat ini tidak cocok kalau dianggap menunjuk kepada ‘proselyte
of the gate’ (= proselit pintu gerbang), karena kata-kata ‘pintu gerbang’ dalam Kel 20:10 ini menunjuk pada perbatasan
tempat tinggal mereka, bukan pada perbatasan agama Yahudi.
1.
Mat 23:15 - “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu mengarungi
lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja menjadi
penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka,
yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri”.
KJV:
‘to make one proselyte’ (= untuk membuat seseorang menjadi proselit).
2.
Kis 2:11 - “baik orang Yahudi maupun penganut
agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berkata-kata
dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan
Allah.’”.
KJV:
‘proselytes’ (= proselit-proselit).
3.
Kis 6:5 - “Usul itu diterima baik oleh seluruh
jemaat, lalu mereka memilih Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan
Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus, seorang penganut
agama Yahudi dari Antiokhia”.
KJV:
‘a proselyte of Antioch’ (= seorang proselit dari Antiokhia).
4.
Kis 13:43 - “Setelah selesai ibadah, banyak orang
Yahudi dan penganut-penganut agama Yahudi yang takut akan Allah,
mengikuti Paulus dan Barnabas; kedua rasul itu mengajar mereka dan menasihati
supaya mereka tetap hidup di dalam kasih karunia Allah”.
KJV:
‘religious proselytes’ (= proselit-proselit yang religius).
International
Standard Bible Encyclopedia (Revised Edition) - dengan topik ‘proselyte’:
“VI.
Proselytes and God-Fearers. - Many scholars see a parallel between the
‘God-fearers’ in rabbinic literature and the ‘God-fearers’ in the NT.
In rabbinic literature the GER TOSAB was a Gentile who observed the Noachian
commandments but was not considered a convert to Judaism because he did not
agree to circumcision. As Moore pointed out, some scholars have made the
mistake of calling the GER TOSAB a ‘proselyte’ or ‘semiproselyte.’ But
the GER TOSAB was really a resident alien in Israel. He was not considered a
convert to Judaism, for he was permitted to eat the meat of animals who were
slaughtered incorrectly, and an Israelite could take usury from him. Such
practices were forbidden in dealings with fellow Jews. Some scholars have
claimed that the term ‘those who fear God’ (yire
elohIm / samayim) was used in rabbinic literature to denote Gentiles
who were on the fringe of the synagogue. They were not converts to Judaism,
although they were attracted to the Jewish religion and observed part of the
law. But M. Wilcox argued that the terms ‘fearers of heaven’ and
‘fearers of God’ did not designate a Gentile fringe in the synagogues in
rabbinic literature. If this is true one cannot depend on the rabbinic usage
in positing a difference between ‘God fearers’ and ‘proselytes’ in
Acts. In any case in the OT and other Jewish literature the phrase ‘those
who fear Yahweh’ (YIRE YHWH) was a common designation for pious Israelites
(Psalms 15:4; 22:23 [MT 24]; 25:12; 115:11,13; 118:4; 135:20; Malachi 3:16;
4:2 [MT 3:20]; Ecclesiasticus 2:7-17; 6; 16; 34:13-15; Psalms Of Solomon 2:37;
3:16; 4:26; 1 QSb 1:1; CD 10:2; 20:19 f), and thus the phrase was not a
technical term to designate Gentiles who were adherents of the synagogue in
the OT and the intertestamental period, although the status of the term in the
rabbinic period is still open to question. The precise status of
‘God-fearers’ in the book of Acts is also disputed. It is generally agreed
that Luke used phoboumenos / sebomenos ton theon to express the same idea.
But two different interpretations have been pro-posed to explain what that
idea was. (Interestingly, the word phobeomai
is used in the first part of Acts [10:2,22; 13:16,26,43], and sebomai
is used in the second part of the book [13:43,50; 16:14; 17:4,17;
18:7].) The term ‘God-fearers’ in Acts has traditionally been described as
a technical term to designate Gentiles who attended the synagogue and were
attracted by Jewish monotheism. They were not converts, however, because they
did not submit to circumcision. Thus when Paul visited Jewish synagogues he
found three groups of people: Jews, proselytes, and God-fearers. Paul was
especially successful among God-fearers because the latter were reluctant to
undergo the painful operation of circumcision, and they enthusiastically
embraced Christianity because Paul contended that the rite was unnecessary.
Peter’s encounter with Cornelius is used to defend the traditional view.
Cornelius is described as one who fears God (Acts 10:2,22), and he seems
devoted to the Jewish religion (10:2). But it is clear that Cornelius was not
a proselyte because he was considered unclean both by Peter (10:28) and by the
Jews in Jerusalem (11:2). Thus Cornelius seems to belong in the category of
Gentiles who were devoted adherents of the synagogue, although he was not a
member of the Jewish religion (cf. Luke 7:1-10). The above distinction is also
found in other places in Acts. At the beginning of his speech in the synagogue
at Pisidian Antioch Paul says: ‘Men of Israel, and you that fear God,
listen’ (Acts 13:16). A clear distinction between Jews and God-fearers seems
to be implied here, and since proselytes are considered part of Israel the
term ‘Godfearers’ in the speech must refer to Gentiles who were attracted
to the Jewish religion but had not yet been converted. Paul’s words later on
in the speech are interpreted in the much same way. ‘Brethren, sons of the
family of Abraham, and those among you that fear God’ (13:26). Again native
Israelites and God-fearers seem to be clearly distinguished. Acts 13:43, which
describes the aftermath of Paul’s speech at Pisidian Antioch, poses a
problem for this interpretation. Luke says that when the meeting ended ‘many
Jews and devout converts [sebomenn
proselyten] to Judaism followed Paul and Barnabas.’ The word
‘devout’ (sebomenon) describes God-fearers elsewhere, but here that word
precedes the word ‘proselytes,’ and yet God-fearers and proselytes are
supposed to refer to two distinct groups. This problem is solved by those who
hold the traditional view in two ways: either the verse is textually corrupt,
or Luke is using ‘proselyte’ inaccurately. The rest of the passages in
Acts could also fit with the traditional explanation. In Thessalonica Paul’s
preaching was particularly effective among the God-fearers in the synagogue
(Acts 17:4), and in Athens Paul argued in the synagogue with both Jews and
God-fearers (v. 17). Paul departed from the synagogue in Corinth and began to
teach in the house of Titius Justus, who was ‘a worshiper of God’ (Acts
18:7). So too, Lydia, who was converted in Philippi, is described as ‘a
worshiper of God’ (16:14). In Pisidian Antioch the Jews aroused ‘the
devout women of high standing,’ and Paul and Barnabas were ejected from the
city (13:50). This traditional interpretation has been the object of trenchant
criticism, especially from K. Lake and M. Wilcox. They both claimed that
‘God-fearers’ was not a technical term for Gentiles who attended the
synagogue but never took the final step of becoming Jews. Such an
interpretation does not necessarily imply that all Gentiles in the synagogues
were full converts. It simply means that the terms ‘God-fearers’ and
‘worshipers of God’ were not technical terms. These terms were used to
denote the piety of the people being described, whether they were Jews,
proselytes, or Gentiles who were attracted to Judaism. When one looks at the
use of the terms in Acts it seems unlikely that phoboumenos / sebomenos ton theon are technical terms. As we
have already seen, those who maintain a traditional interpretation of Acts
13:43 claim that ‘proselytes’ in this verse is either a gloss or a Lukan
inaccuracy. But it seems clear that such solutions are adopted because the
combination ‘devout proselytes’ (sebomenon
proselyten) confounds the theory that Godfearers are distinct from
proselytes. It is better to admit that ‘God-fearer’ is not used
technically in Acts. After all, there is no evidence that ‘proselytes’ is
a gloss in v. 43. Furthermore, Luke uses ‘proselyte’ accurately elsewhere
(Acts 2:10; 6:5). When Luke speaks of ‘devout proselytes’ in Acts 13:43 he
is merely saying that these proselytes were pious. In addition, if Paul
distinguished between Jews and proselytes in Acts 13:43, then it is possible
that the distinction he draws between ‘Jews’ and ‘God-fearers’ in
13:16,26 was a distinction between Jews and proselytes rather than between
Jews and uncircumcised Gentiles in the synagogue. This interpretation would be
consistent with v. 43, and vv. 16 and 26 refer to the same event in Pisidian
Antioch. The references to ‘devout women’ (13:50) and Lydia ‘a worshiper
of God’ (16:14) may also suggest that the term sebomai
is not used as a technical term for Gentile adherents to the synagogue. After
all, women did not need to be circumcised to be initiated into Judaism. Thus
most women who were attracted to Judaism probably became converts. If it is
true that ‘God-fearers’ was not always a technical term, then one has to
determine from context whether the term refers to a proselyte or a Gentile who
attended the synagogue. Both Acts 17:17 and 18:7 do not give enough
information to decide conclusively. The example of Cornelius shows clearly
that some pious Gentiles were attracted to Judaism but had not consented to
circumcision (cf. Juvenal Satires xiv.96-100). It is possible that the
Gentiles described in Acts 17:17 and 18:7 fall into the same category as
Cornelius. Nevertheless, the notion that ‘God-fearer’ was used as a
technical term cannot be adequately supported by the evidence. The word simply
relates that one is a pious person. Thus Jews, proselytes, and Gentiles who
were attracted to Judaism were all described as ‘pious.’ The meaning of
‘God-fearer’ in any particular passage must be determined from the
context. In conclusion, Paul may have won the greatest number of converts from
the Gentile fringe in the synagogue, but there is simply not enough evidence
in Acts to prove this traditional opinion. It cannot be doubted, however, that
many of Paul’s converts were uncircumcised Gentiles. Otherwise, the need for
the Apostolic Council in Acts 15 would be inexplicable. But this still does
not prove that a significant number of uncircumcised converts were on the
fringes of the synagogues, although it is possible that this was the case”
[= ].
Catatan:
ini sekedar tambahan referensi, dan tidak saya terjemahkan.
B) Sekarang mari kita perhatikan Kornelius termasuk kelompok yang
mana.
Ay 1-4,7,22,24,30-31:
“(1) Di Kaisarea ada seorang yang bernama Kornelius, seorang perwira
pasukan yang disebut pasukan Italia. (2) Ia saleh, ia serta seisi rumahnya takut
akan Allah dan ia memberi banyak sedekah kepada umat Yahudi dan senantiasa
berdoa kepada Allah. (3) Dalam suatu penglihatan, kira-kira jam tiga petang,
jelas tampak kepadanya seorang malaikat Allah masuk ke rumahnya dan berkata
kepadanya: ‘Kornelius!’ (4) Ia menatap malaikat itu dan dengan takut ia
berkata: ‘Ada apa, Tuhan?’ Jawab malaikat itu: ‘Semua doamu dan sedekahmu
telah naik ke hadirat Allah dan Allah mengingat engkau. ... (7) Setelah malaikat
yang berbicara kepadanya itu meninggalkan dia, dipanggilnya dua orang hambanya
beserta seorang prajurit yang saleh dari orang-orang yang selalu bersama-sama
dengan dia. ... (22) Jawab mereka: ‘Kornelius, seorang perwira yang tulus hati
dan takut akan Allah, dan yang terkenal baik di antara seluruh bangsa Yahudi,
telah menerima penyataan Allah dengan perantaraan seorang malaikat kudus, supaya
ia mengundang engkau ke rumahnya dan mendengar apa yang akan kaukatakan.’ ...
(24) Dan pada hari berikutnya sampailah mereka di Kaisarea. Kornelius sedang
menantikan mereka dan ia telah memanggil sanak saudaranya dan sahabat-sahabatnya
berkumpul. ... (30) Jawab Kornelius: ‘Empat hari yang lalu kira-kira pada
waktu yang sama seperti sekarang, yaitu jam tiga petang, aku sedang berdoa di
rumah. Tiba-tiba ada seorang berdiri di depanku, pakaiannya berkilau-kilauan
(31) dan ia berkata: Kornelius, doamu telah didengarkan Allah dan sedekahmu
telah diingatkan di hadapanNya”.
Ada
macam-macam pandangan tentang diri Kornelius pada saat ini (sebelum ia diinjili
oleh Petrus) dalam hubungannya dengan agama Yahudi / Yudaisme.
1)
Hampir semua penafsir menganggap Kornelius sebagai seorang ‘proselyte
of the gate’ (= proselit pintu gerbang) / ‘semi
proselyte’ (= semi proselit) / ‘half
proselyte’ (= setengah proselit).
Lenski:
“he and his whole family were proselyte of the gate. On the two kinds of
proselytes see 2:10 and 8:27. ... Cornelius and his household were still
Gentiles and were regarded as such by all Jews, were considered as standing only
at the gate of the pale of the Jewish Church and were debarred from passing
beyond the court of the Gentiles in the Temple. None such had as yet come into
the Christian Church save the eunuch; those called ‘proselytes’ in 2:10 were
such in the full sense of the word and hence were regarded as Jews” (= ia
dan seluruh keluarganya adalah proselit pintu gerbang. Tentang 2 jenis proselit
lihat Kis 2:11 dan 8:27. ... Kornelius dan rumah tangganya tetap adalah
orang-orang non Yahudi dan dianggap seperti itu oleh semua orang-orang Yahudi,
dianggap sebagai hanya berdiri di pintu gerbang dari batas dari Gereja Yahudi
dan dihalangi untuk melewati batasan halaman orang-orang non Yahudi dalam Bait
Allah. Tidak ada dari orang-orang seperti itu yang masuk ke dalam Gereja Kristen
kecuali sida-sida; mereka yang disebut ‘proselit’ dalam 2:11 adalah proselit
dalam arti penuh dari kata itu dan karena itu dianggap sebagai orang-orang
Yahudi) - hal 394-395.
Kis 2:10-11
- “(10) Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan
dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, (11) baik orang Yahudi maupun penganut
agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berkata-kata
dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan
Allah.’”.
KJV:
‘proselytes’ (= proselit-proselit).
Catatan:
dalam Kitab Suci Indonesia kata-kata ‘penganut
agama Yahudi’ masuk dalam ay 11, tetapi dalam KJV bagian itu masuk dalam
ay 10.
Kis 8:26-40
- “(26) Kemudian berkatalah seorang malaikat Tuhan kepada Filipus, katanya:
‘Bangunlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut jalan yang turun dari
Yerusalem ke Gaza.’ Jalan itu jalan yang sunyi. (27) Lalu berangkatlah
Filipus. Adalah seorang Etiopia, seorang sida-sida, pembesar dan kepala
perbendaharaan Sri Kandake, ratu negeri Etiopia, yang pergi ke Yerusalem untuk
beribadah. (28) Sekarang orang itu sedang dalam perjalanan pulang dan duduk
dalam keretanya sambil membaca kitab nabi Yesaya. (29) Lalu kata Roh kepada
Filipus: ‘Pergilah ke situ dan dekatilah kereta itu!’ (30) Filipus segera ke
situ dan mendengar sida-sida itu sedang membaca kitab nabi Yesaya. Kata Filipus:
‘Mengertikah tuan apa yang tuan baca itu?’ (31) Jawabnya: ‘Bagaimanakah
aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?’ Lalu ia meminta
Filipus naik dan duduk di sampingnya. (32) Nas yang dibacanya itu berbunyi
seperti berikut: Seperti seekor domba Ia dibawa ke pembantaian; dan seperti anak
domba yang kelu di depan orang yang menggunting bulunya, demikianlah Ia tidak
membuka mulutNya. (33) Dalam kehinaanNya berlangsunglah hukumanNya; siapakah
yang akan menceriterakan asal-usulNya? Sebab nyawaNya diambil dari bumi. (34)
Maka kata sida-sida itu kepada Filipus: ‘Aku bertanya kepadamu, tentang
siapakah nabi berkata demikian? Tentang dirinya sendiri atau tentang orang
lain?’ (35) Maka mulailah Filipus berbicara dan bertolak dari nas itu ia
memberitakan Injil Yesus kepadanya. (36) Mereka melanjutkan perjalanan mereka,
dan tiba di suatu tempat yang ada air. Lalu kata sida-sida itu: ‘Lihat, di
situ ada air; apakah halangannya, jika aku dibaptis?’ (37) [Sahut
Filipus: ‘Jika tuan percaya dengan segenap hati, boleh.’ Jawabnya: ‘Aku
percaya, bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah.’] (38) Lalu orang Etiopia
itu menyuruh menghentikan kereta itu, dan keduanya turun ke dalam air, baik
Filipus maupun sida-sida itu, dan Filipus membaptis dia. (39) Dan setelah mereka
keluar dari air, Roh Tuhan tiba-tiba melarikan Filipus dan sida-sida itu tidak
melihatnya lagi. Ia meneruskan perjalanannya dengan sukacita. (40) Tetapi
ternyata Filipus ada di Asdod. Ia berjalan melalui daerah itu dan memberitakan
Injil di semua kota sampai ia tiba di Kaisarea”.
Lenski
(tentang Kis 8:26-dst): “The
unnamed Ethiopian eunuch is the first Gentile converted to the Christian faith.
He was, indeed, not a pagan but a proselyte of the gate and thus, however, still
regarded as a Gentile by all Jews” (= Sida-sida
Etiopia yang tidak diberi nama ini adalah orang non Yahudi pertama yang bertobat
/ pindah agama kepada iman Kristen. Ia memang bukanlah seorang kafir, tetapi
seorang proselit pintu gerbang, dan dengan demikian, bagaimanapun, tetap
dianggap sebagai orang non Yahudi oleh semua orang-orang Yahudi) -
hal 335.
Catatan:
jelas ada suatu kemiripan yang luar biasa antara sida-sida Etiopia ini dengan
Kornelius. Mereka sama-sama adalah proselit pintu gerbang, yang lalu diinjili,
dan lalu percaya kepada Kristus.
Adam
Clarke: “What
an excellent character is this! And yet the man was a Gentile! He was what a Jew
would repute common and unclean: see Acts 10:28. He was, therefore, not
circumcised; but, as he worshipped the true God, without any idolatrous
mixtures, and was in good report among all the nation of the Jews, he was
undoubtedly what was called a proselyte of the gate, though not a proselyte of
justice, because he had not entered into the bond of the covenant by
circumcision. This was a proper person,
being so much of a Jew and so much of a Gentile, to form the connecting link
between both people; and God chose him that the salvation of the Jews might with
as little observation as possible be transmitted to the Gentiles. The choice of
such a person, through whom the door of faith was opened to the heathen world,
was a proof of the wisdom and goodness of God”
(= Alangkah bagusnya karakter orang ini! Tetapi orang
ini adalah seorang non Yahudi! Ia adalah apa yang seorang Yahudi anggap sebagai
najis atau tidak tahir: lihat Kis 10:28. Karena itu, ia tidak disunat; tetapi
karena ia menyembah Allah yang benar, tanpa campuran penyembahan berhala apapun,
dan terkenal baik di antara seluruh bangsa Yahudi, tak diragukan bahwa ia
adalah apa yang disebut proselit pintu gerbang, sekalipun bukan proselit
keadilan / kebenaran, karena ia belum memasuki ikatan perjanjian oleh sunat.
Ini merupakan orang yang tepat, sebagian Yahudi
dan sebagian non Yahudi, untuk membentuk mata rantai penghubung di antara kedua
bangsa / kelompok; dan Allah memilihnya supaya keselamatan orang-orang Yahudi
diteruskan kepada orang-orang non Yahudi dengan perhatian sesedikit mungkin.
Pemilihan orang seperti itu, melalui siapa pintu iman terbuka kepada dunia
kafir, merupakan bukti dari hikmat dan kebaikan Allah).
Wycliffe
Bible Commentary: “A few
Gentiles became converts to Judaism and accepted all Jewish practices, including
circumcision. A larger number stopped short of circumcision but accepted the
Jewish belief in God, synagogue worship, the ethical teachings of the OT, and
some of the Jewish religious practices. These people, who were called
‘God-fearers,’ were familiar with the OT in the Greek version as it was read
in the synagogues. Devout God-fearers provided the most fertile soil in which
the Gospel took root. Cornelius was such a ‘semi-proselyte.’”
(= Sedikit orang-orang non Yahudi pindah agama ke agama
Yahudi dan menerima semua praktek-praktek Yahudi termasuk sunat. Sejumlah besar
berhenti sebelum sunat tetapi menerima kepercayaan Yahudi kepada Allah, ibadah
sinagog, ajaran etika dari Perjanjian Lama, dan sebagian praktek-praktek agama
Yahudi. Orang-orang ini, yang disebut ‘orang-orang yang takut akan Allah’,
akrab dengan Perjanjian Lama dalam versi Yunani karena itu dibacakan di
sinagog-sinagog. Orang-orang saleh yang takut akan Allah ini menyediakan tanah
yang paling subur dalam mana Injil berakar. Kornelius adalah
‘semi-proselit’ seperti itu).
2)
Ada juga kelompok penafsir yang tidak menggunakan istilah ‘proselit’,
tetapi jelas menganggap bahwa Kornelius sangat berhubungan dengan agama Yahudi.
Barclay:
“Cornelius was a God-fearer. In New Testament times this had become
almost a technical term for Gentiles who, weary of the gods and the immoralities
and the frustration of their ancestral faiths, had attached themselves to the
Jewish religion. They did not accept circumcision and the Law; but they attended
the synagogue and they believed in one God and in the pure ethic of Jewish
religion” (= Kornelius adalah seorang yang takut
akan Allah. Dalam jaman Perjanjian Baru ini hampir menjadi istilah tehnis untuk
orang-orang non Yahudi, yang karena jemu dengan dewa-dewa dan ketidak-bermoralan
dan rasa frustrasi tentang iman keturunan, telah melekatkan diri mereka sendiri
pada agama Yahudi. Mereka tidak menerima sunat dan hukum Taurat; tetapi mereka
menghadiri sinagog dan mereka percaya kepada satu Allah dan kepada etika murni
dari agama Yahudi) - hal
79.
Calvin (tentang ay
22): “‘Cornelius,
a just man.’ Cornelius’ servants
commend their master not ambitiously, or to the end they may flatter him, but
that Peter may the less abhor his company. And for this cause they say that
he was approved of the Jews, that Peter may know that he was not estranged
from true and sincere godliness. For even those which were superstitious, though
they served idols, did boast that they were worshippers of God. But Cornelius
could not have the Jews, who retained the worship of the true God alone, to be
witnesses of his godliness, unless he had professed that he worshipped the God
of Abraham with them”
(= ‘Kornelius, orang benar’. Pelayan-pelayan
Kornelius memuji tuan mereka bukan secara ambisius, atau dengan tujuan untuk
menjilatnya, tetapi supaya Petrus bisa berkurang dalam kejijikannya terhadap
kumpulannya. Dan untuk alasan ini mereka berkata bahwa ia direstui oleh
orang-orang Yahudi, supaya Petrus tahu bahwa ia bukanlah orang yang asing /
jauh dari kesalehan yang benar dan tulus. Karena bahkan mereka yang mempercayai
takhyul, sekalipun mereka menyembah berhala, membanggakan diri bahwa mereka
adalah penyembah-penyembah Allah. Tetapi Kornelius tidak bisa mempunyai
orang-orang Yahudi, yang mempertahankan penyembahan terhadap Allah yang benar
saja, menjadi saksi-saksi dari kesalehannya, kecuali ia telah mengaku bahwa ia
menyembah Allah dari Abraham bersama mereka).
Catatan:
sekalipun Calvin tidak menggunakan istilah ‘proselit pintu gerbang’, tetapi
kalimat terakhir dari kata-katanya di atas ini kelihatannya menunjukkan hal itu.
3)
Ada yang menganggap Kornelius sepenuhnya sebagai orang non Yahudi
(Gentile), atau boleh dikatakan tak berhubungan dengan Yudaisme / agama Yahudi,
atau boleh dikatakan bukan seorang proselyte sama sekali.
Mungkin
dari kelompok ini yang mempunyai pandangan paling extrim adalah Albert Barnes.
Barnes’
Notes: “‘Cornelius’
This is a Latin name, and shows that the man was doubtless a Roman. It has
been supposed by many interpreters that he was ‘a proselyte of the gate’;
that is, one who had renounced idolatry, and who observed some of the Jewish
rites, though not circumcised, and not called a Jew. But there is no sufficient
evidence of this. The reception of the narrative of Peter (Acts 11:1-3)
shows that the other apostles regarded him as a Gentile. In Acts 10:28, Peter
evidently regards him as a foreigner-one who did not in any sense esteem himself
to be a Jew. In Acts 11:1, it is expressly said that ‘the Gentiles’ had
received the Word of God, evidently alluding to Cornelius and to those who were
with him”
[= ‘Kornelius’. Ini merupakan nama Latin, dan menunjukkan bahwa orang ini
tak diragukan adalah seorang Romawi. Telah diduga oleh banyak penafsir bahwa
ia adalah ‘seorang proselit pintu gerbang’; yaitu seseorang yang telah
meninggalkan penyembahan berhala, yang mentaati sebagian dari upacara-upacara
Yahudi, sekalipun tidak disunat, dan tidak disebut sebagai orang Yahudi. Tetapi
tidak ada bukti yang cukup tentang hal ini. Penerimaan / penangkapan cerita
Petrus (Kis 11:1-3) menunjukkan bahwa rasul-rasul yang lain menganggapnya
sebagai orang non Yahudi. Dalam Kis 10:28, Petrus dengan jelas menganggap dia
sebagai seorang asing yang dalam arti apapun tidak menganggap dirinya sendiri
sebagai orang Yahudi. Dalam Kis 11:1, dikatakan secara explicit bahwa
‘orang-orang non Yahudi’ telah menerima Firman Allah, yang dengan jelas
menunjuk kepada Kornelius dan mereka yang bersama dengan dia].
Kis 11:1-3
- “(1) Rasul-rasul dan saudara-saudara di Yudea mendengar, bahwa bangsa-bangsa
lain juga menerima firman Allah. (2) Ketika Petrus tiba di Yerusalem,
orang-orang dari golongan yang bersunat berselisih pendapat dengan dia. (3) Kata
mereka: ‘Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat
dan makan bersama-sama dengan mereka.’”.
Kis 10:28
- “Ia
berkata kepada mereka: ‘Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang
Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke
rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh
menyebut orang najis atau tidak tahir”.
Bisa
juga ditambahkan:
a)
Kata-kata Petrus dalam Kis 15:7 - “Sesudah beberapa waktu
lamanya berlangsung pertukaran pikiran mengenai soal itu, berdirilah Petrus dan
berkata kepada mereka: ‘Hai saudara-saudara, kamu tahu, bahwa telah sejak
semula Allah memilih aku dari antara kamu, supaya dengan perantaraan mulutku bangsa-bangsa
lain mendengar berita Injil dan menjadi percaya”.
KJV:
‘the Gentiles’ (= orang-orang non Yahudi).
b)
Kata-kata Yakobus dalam Kis 15:14 - “Simon telah
menceriterakan, bahwa sejak semula Allah menunjukkan rahmatNya kepada bangsa-bangsa
lain, yaitu dengan memilih suatu umat dari antara mereka bagi namaNya”.
KJV:
‘the Gentiles’ (= orang-orang non Yahudi).
Catatan:
pasti yang dimaksudkan oleh Petrus dan Yakobus di sini adalah peristiwa
Kornelius. Dan mereka menyebut Kornelius dengan istilah ‘Gentile’
(= orang non Yahudi).
Saya
menganggap argumentasi ini tak mempunyai kekuatan, karena seorang ‘proselit
pintu gerbang’ memang dianggap sebagai orang non Yahudi (Gentile), dan memang
tak disunat!
Barnes’
Notes: “‘And
one that feared God’ This is often a designation of piety. See notes on Acts
9:31. It has been supposed by many that the expressions here used denote that
Cornelius was a Jew, or was instructed in the Jewish religion, and was a
proselyte. But this by no means follows. It is probable that there might have
been among the Gentiles a few at least who were fearers of God, and who
maintained his worship according to the light which they had. So there may
be now persons found in pagan lands who in some unknown way have been taught the
evils of idolatry and the necessity of a purer religion, and who may be prepared
to receive the gospel. The Sandwich Islands were very much in this state when
the American missionaries first visited them. They had thrown away their idols,
and seemed to be waiting for the message of mercy and the Word of eternal life,
as Cornelius was. A few other instances have been found by missionaries in pagan
lands of those who have thus been prepared by a train of providential events, or
by the teaching of the Spirit, for the gospel of Christ” (= ‘Dan seseorang yang
takut akan Allah’. Ini sering merupakan sesuatu yang menunjukkan kesalehan.
Lihat catatan tentang Kis 9:31. Telah diduga oleh banyak orang bahwa ungkapan
yang digunakan di sini menunjukkan bahwa Kornelius adalah seorang Yahudi, atau
diajar dalam agama Yahudi, dan adalah seorang proselit. Tetapi ini sama sekali
tidak berarti demikian. Adalah mungkin bahwa di antara orang-orang non Yahudi
ada beberapa / sedikit yang setidaknya adalah orang-orang yang takut akan Allah,
dan yang melakukan ibadahnya sesuai dengan terang yang mereka miliki.
Demikianlah sekarang ada orang-orang yang ditemukan di negara-negara kafir yang
dengan suatu cara yang tak diketahui telah diajar tentang jahatnya penyembahan
berhala, dan perlunya suatu agama yang lebih murni, dan yang bisa disiapkan
untuk menerima injil. Pulau-pulau Sandwich ada dalam keadaan ini pada saat
misionaris Amerika pertama-tama mengunjungi mereka. Mereka telah membuang
berhala-berhala mereka, dan kelihatannya menunggu berita tentang belas kasihan
dan Firman tentang hidup kekal, seperti Kornelius. Beberapa contoh lain telah
ditemukan oleh misionaris-misionaris di negara-negara kafir, tentang mereka yang
telah dipersiapkan seperti itu oleh rangkaian peristiwa-peristiwa yang diatur
oleh Providensia Allah, atau oleh pengajaran dari Roh Kudus, untuk injil
Kristus).
Saya
menganggap kasus yang diceritakan Barnes ini sangat berbeda dengan kasus
Kornelius, yang melakukan banyak hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh seorang
proselit. Bukti-bukti lihat di bawah.
International
Standard Bible Encyclopedia (Revised Edition) dengan topik ‘Cornelius’:
“The
exact importance of the incident depends upon the position of Cornelius before
it occurred. Certainly he was not a proselyte of the sanctuary, circumcised,
under the law, a member of the Jewish communion. This is abundantly evident from
Acts 10:28,34,45; 11:3,18; 15:7,14. But was he not an inferior form of
proselyte, later called ‘proselytes of the gate’? This question has been
much debated and is still under discussion. Ramsay (SPT, p. 43) says that the
expression ‘God-fearing’ is always used in Acts with reference to this kind
of proselyte. Such were bound to observe certain regulations of purity, probably
those, this author thinks, mentioned in Acts 15:29, and which stand in close
relation to the principles laid down in Lev 17 for the conduct of strangers
dwelling among Israel. Renan, on the other hand, says that Cornelius was not
a proselyte at all, but simply a devout Gentile who adopted some of the Jewish
ideas and religious customs which did not involve a special profession. The
importance of the whole transaction to the development of the Church seems to
depend on the circumstance that Cornelius was probably not a proselyte at all.
Thus we regard Cornelius as literally the firstfruits of the Gentiles”
[= Kepentingan yang tepat / persis dari peristiwa ini
tergantung pada posisi dari Kornelius sebelum peristiwa itu terjadi. Pasti ia
bukanlah proselit dari Ruang Suci, disunat, di bawah hukum Taurat, anggota dari
komunitas Yahudi. Ini sangat jelas dari Kis 10:28,34,45;
11:3,18; 15:7,14. Tetapi apakah ia bukan seseorang dari bentuk proselit yang lebih rendah,
yang belakangan disebut ‘proselit pintu gerbang’? Pertanyaan ini telah
banyak diperdebatkan dan tetap didiskusikan. Ramsay (SPT, p. 43)
mengatakan bahwa istilah ‘takut akan Allah’ selalu digunakan dalam Kisah
Rasul berhubungan dengan jenis proselit ini. Orang-orang seperti itu harus
mentaati peraturan-peraturan kemurnian tertentu, mungkin, pengarang ini
menganggap, yang disebutkan dalam Kis 15:29, dan yang berdiri dalam hubungan
yang dekat dengan prinsip-prinsip yang diberikan dalam Im 17 bagi tingkah laku
orang-orang asing yang tinggal di antara orang-orang Israel. Di sisi lain,
Renan mengatakan bahwa Kornelius bukanlah seorang proselit sama sekali, tetapi
hanya merupakan seorang non Yahudi yang saleh yang menerima sebagian dari
gagasan-gagasan dan kebiasaan-kebiasaan agamawi Yahudi yang tidak melibatkan
suatu pengakuan yang khusus. Kepentingan
dari seluruh transaksi bagi perkembangan dari Gereja kelihatannya tergantung
pada keadaan bahwa Kornelius bukanlah seorang proselit sama sekali. Demikianlah
kami menganggap Kornelius secara hurufiah sebagai buah pertama dari orang-orang
non Yahudi] - PC
Study Bible version 5.
Catatan:
bagian yang saya beri garis bawah ganda sangat kontras dengan alasan Adam Clarke
di atas berkenaan dengan pemilihan Kornelius yang adalah seorang proselit pintu
gerbang. Menurut saya, alasan yang diberikan oleh International Standard Bible
Encyclopedia ini tak beralasan.
McClintock
and Strong Encyclopedia: “The
religious position of Cornelius before his interview with Peter has been the
subject of much debate. On the one side it is contended that he was what is
called a proselyte of the gate, or a Gentile, who, having renounced idolatry and
worshipping the true God, submitted to the seven (supposed) precepts of Noah,
frequented the synagogue, and offered sacrifices by the hands of the priests,
but not having received circumcision, was not reckoned among the Jews. In
support of this opinion it is pleaded that Cornelius is fobou/meno$ to\n Qeo/n
(a man fearing God), ver. 2, the usual appellation, it is alleged, for a
proselyte of the gate, as in chap. Acts 13:16,26, and elsewhere; that he prayed
at the usual Jewish hours of prayer (Acts 10:30); that he read the Old
Testament, because Peter refers him to the prophets (x. 43); and that he gave
much alms to the Jewish people (Acts 10:2,22). On the other side it is answered
that the phrases fobou/menoi to\n Qeo/n,
and the similar phrases eu)labei=$ and
eu)sebei=$,
are used respecting any persons imbued with reverence towards God (Acts 10:35;
Luke 1:50; 2:25; Col 3:22; Rev 11:18); that he is styled by Peter a)llo/fulo$ (a
man of another race or nation), with whom it was unlawful for a Jew to
associate, whereas the law allowed to foreigners a perpetual residence among the
Jews, provided they would renounce idolatry and abstain from blood (Lev
17:10,11,13), and even commanded the Jews to love them (Lev 19:33,34); that they
mingled with the Jews in the synagogue (Acts 14:1) and in private life (Luke
7:3); that, had Cornelius been a proselyte of the gate, his conversion to
Christianity would not have occasioned so much surprise to the Jewish Christians
(Acts 10:45), nor would ‘they that were of the circumcision’ have contended
with Peter so much on his account (Acts 11:2); that he is expressly classed
among the Gentiles by James (Acts 15:14), and by Peter himself, when claiming
the honor of having first preached to the Gentiles (Acts 15:7); that the remark
of the opposing party at Jerusalem, when convinced, ‘then hath God also to the
Gentiles granted repentance unto life,’ would have been inapplicable upon the
very principles of those who assert that Cornelius was a proselyte, since they
argue from the traditions of modern Jews, the most eminent of whom, Maimonides,
admits a sincere proselyte to be in a state of salvation. The other arguments,
derived from the observance of the Jewish hours of prayer by Cornelius, and his
acquaintance with the Old Testament, are all resolvable into a view of his
religious position, which will shortly be stated. The strongest objection
against the supposition that Cornelius was a proselyte of the gate arises from
the very reasonable doubt whether any such distinction existed in the time of
the apostles (see Tomline, Elements of Theology, 1:266 sq.). Dr. Lardner has
remarked that the notion of two sorts of proselytes is not to be found in any
Christian writer before the fourteenth century (Works, 6:522). See also
Jennings’s Jewish Antiquities (bk. 1, ch. 3). The arguments on the other side
are ably stated by Townsend (Chrolnolog. N. Test. note in loc.). See
Proselyte. On the whole, the position of Cornelius with regard to religion
appears to have been in that class of persons described by bishop Tomline,
consisting of Gentiles who had so far benefited by their contact with the Jewish
people as to have become convinced that theirs was the true religion, who
consequently worshipped the true God, were acquainted with the Scriptures of the
Old Testament, most probably in the Greek translation, and observed several
Jewish customs, as, for instance, their hours of prayer, or anything else that
did not involve an act of special profession. This class of persons seems
referred to in Acts 13:16, where they are plainly distinguished from the Jews,
though certainly mingled with them. To the same class is to be referred
Candace’s treasurer (Acts 8:27, etc.); and in earlier times the midwives of
Egypt (Ex 1:17), Rahab (Josh 6:25), Ruth, Araunah the Jebusite (2 Sam 24:18,
etc.), the persons mentioned 1 Kings 8:41,42,43, Naaman (2 Kings 5:16,17). See
also Josephus, Antiq. 14:7, 2, and his account of Alexander the Great going into
the Temple, and offering sacrifice to God according to the direction of the
high-priest (ibid. 11:8, 5); of Antiochus the Great (ibid. 12:3, 3, 4), and of
Ptolemy Philadelphus (ibid. 12:2, 1, etc.). Under the influence of these facts
and arguments, we regard Cornelius as having been selected of God to become the
first-fruit of the Gentiles. His character appears suited, as much as possible,
to abate the prejudices of the Jewish converts against what appeared to them so
great an innovation. It is well observed by Theophylact that Cornelius, though
neither a Jew nor a Christian, lived the life of a good Christian. He was
eu)sebh/$, influenced by spontaneous
reverence to God. He practically obeyed the restraints of religion, for he
feared God, and this latter part of the description is extended to all his
family or household (ver. 2). He was liberal in alms to the Jewish people, which
showed his respect for them; and he ‘prayed to God always,’ at all the hours
of prayer observed by the Jewish nation. Such piety, obedience, faith, and
charity prepared him for superior attainments and benefits, and secured to him
their bestowment (Ps 25:9; 1; 23; Matt 13:12; Luke 8:15; John 7:17). His
position in command at Caesarea doubtless brought him into contact with
intelligent Jews, from whom he learned the truths respecting the Messiah, and he
seems to have been prepared by a personal knowledge of the external facts of
Christianity to welcome the message of Peter as of divine authority”
[= ... Keberatan terkuat terhadap
anggapan bahwa Kornelius adalah seorang proselit pintu gerbang muncul dari
keraguan yang sangat masuk akal apakah pembedaan seperti itu sudah ada pada
jaman rasul-rasul (lihat Tomline, Elements of Theology, 1:266 sq.). Dr. Lardner
mengatakan bahwa gagasan tentang 2 jenis proselit tidak ditemukan dalam penulis
Kristen manapun sebelum abad ke 14 (Works, 6:522). Lihat juga Jennings’s
Jewish Antiquities (bk. 1, ch. 3). Argumentasi-argumentasi pada sisi yang lain
dengan cakap dinyatakan oleh Townsend
(Chrolnolog. N. Test. note in loc.). ...]
- PC Study Bible version 5.
Catatan:
Encyclopedia di atas ini memberikan argumentasi pro dan kontra yang sangat
panjang tentang apakah Kornelius adalah seorang proselit pintu gerbang atau
bukan. Yang saya tekankan dan terjemahkan hanyalah bagian yang saya
garis-bawahi.
Pulpit
Commentary (tentang ay 2): “It
is an interesting question as to what was the precise religions status of
Cornelius, whether he was a proselyte in any technical sense. But the whole
narrative, in which he is spoken of simply as a Gentile and uncircumcised, seems
to indicate that, though he had learnt from the Jews to worship the true God,
and from the Jewish Scriptures read or heard in the synagogue to practice those
virtues which went up for a memorial before God, yet he was in no sense a
proselyte”
(= Merupakan suatu pertanyaan yang menarik berkenaan
dengan status dari Kornelius, apakah ia adalah seorang proselit dalam arti
tekhnis apapun. Tetapi seluruh cerita, dalam mana ia dibicarakan hanya sebagai
seorang non Yahudi dan tidak disunat, kelihatannya menunjukkan bahwa, sekalipun
ia telah mempelajari dari orang-orang Yahudi untuk menyembah Allah yang benar,
dan dari Kitab Suci Yahudi membaca atau mendengar di sinagog untuk mempraktekkan
hal-hal baik yang naik ke atas sebagai suatu peringatan di hadapan Allah, tetapi
ia sama sekali bukan seorang proselit)
- PC Study Bible version 5.
J.
A. Alexander:
“‘Devout,’ pious, reverent,
not merely in the heathen sense, but as the fruit of divine grace. ...
‘Which gave much alms,’ or rather practising many charities, not merely to
the poor in general, but to the people, i.e. the chosen people, the children
of Israel, among whom he lived and from whom he had learned the true religion.
‘Praying to God,’ or asking of God, i.e. looking to Jehovah, or the God of
Israel, and not to idols, ... This is not the description of a proselyte, in
any technical or formal sense, but of a Gentile whom divine grace had prepared
for the immediate reception of the Gospel, without passing through the
intermediate state of Judaism, although long familiar with it, and indebted to
it for such knowledge of the word of God as he possessed” (= ‘Saleh’,
saleh, takut / hormat, bukan semata-mata dalam arti kafir, tetapi sebagai
buah dari kasih karunia ilahi. ... ‘yang memberi banyak sedekah’, atau
mempraktekkan kasih / kemurahan hati, tidak semata-mata kepada orang-orang
miskin secara umum, tetapi kepada bangsa itu, yaitu kepada bangsa pilihan, anak-anak
Israel, di antara siapa ia tinggal dan dari siapa ia telah mempelajari agama
yang benar. ‘Berdoa kepada Allah’ atau meminta dari Allah, yaitu
memandang kepada Yehovah, atau Allah Israel, dan bukan kepada berhala-berhala,
... Ini bukan penggambaran dari seorang proselit, dalam arti tehnis atau
formal apapun, tetapi dari seorang non Yahudi yang telah dipersiapkan oleh kasih
karunia ilahi untuk penerimaan langsung / segera terhadap Injil, tanpa melewati
keadaan perantara dari agama Yahudi, sekalipun ia akrab cukup lama dengannya,
dan berhutang kepadanya untuk pengetahuan tentang firman Allah seperti itu
seperti yang ia miliki) - hal 389.
Menurut
saya, pandangan di atas ini, yang menganggap Kornelius sama sekali bukan
proselit merupakan suatu pandangan yang sangat tidak masuk akal, mengingat
bahwa:
a)
Ia dikatakan sebagai ‘saleh’
(ay 2).
b)
Ia dan seisi rumahnya dikatakan ‘takut
akan Allah’ (ay 2,22).
Perhatikan
bahwa tidak dikatakan bahwa ia takut akan dewanya, tetapi akan Allah! Juga
perhatikan bahwa Kornelius mempengaruhi seisi rumahnya, sehingga mereka semua
juga takut akan Allah!
c)
Ia ‘memberi banyak sedekah kepada
umat Yahudi’ (ay 2).
Perhatikan
bahwa di sini dikatakan bahwa ia memberi banyak sedekah secara khusus kepada
umat Yahudi. Ia bisa melakukan hal itu, tidak bisa tidak, karena ia setuju
dengan ajaran agama mereka, dan merasa berhutang budi pada ajaran agama mereka
yang telah ia terima sebagai kebenaran!
d)
Ia ‘senantiasa berdoa kepada
Allah’ (ay 2).
Tentang
doa Kornelius ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1.
Ia berdoa kepada Allah, bukan kepada berhala / dewa.
2.
Ia berdoa pada pk. 3 petang (ay 3,30), yang merupakan jam doa Yahudi!
Ay 30
mengatakan bahwa Kornelius mendapat penglihatan tentang malaikat itu pada saat
ia sedang berdoa, dan itu terjadi pada pk. 3 petang. Ini merupakan saat doa
orang-orang Yahudi, dan ini merupakan suatu argumentasi bahwa Kornelius memeluk
agama Yahudi, karena ia berdoa pada saat yang merupakan jam doa Yahudi.
Adam
Clarke: “It
was about the ninth hour of the day, answering to our three o’clock in the
afternoon (see note at Acts 3:1), the time of public prayer, according to the
custom of the Jews” [= Itu kira-kira jam yang ke 9 dari hari
itu, sesuai dengan pk. 3 petang (lihat catatan pada Kis 3:1), saat doa umum,
menurut kebiasaan orang-orang Yahudi].
Bahwa
Kornelius berdoa sesuai dengan jam doa Yahudi, juga menunjukkan bahwa Kornelius
berdoa secara rutin, bukan hanya pada saat tertentu pada saat ia mendapat
masalah atau dalam bahaya.
Pulpit
Commentary: “Not
merely to prayer as a sudden act, forced on by calamity or distress, but to
prayer as the daily expression of the cherished spirit of dependence on God”
(= Bukan semata-mata pada doa sebagai suatu tindakan mendadak, didesak oleh
bencana atau kesukaran, tetapi pada doa sebagai ungkapan harian dari roh yang
menghargai ketergantungan pada Allah) - hal 351.
3.
Doanya mencapai Allah (ay 4,31), yaitu didengar dan dikabulkan oleh
Allah!
4.
Isi doa Kornelius.
Ini
memang tidak disebutkan secara explicit, tetapi bisa diperkirakan, karena
malaikat itu datang kepadanya dalam penglihatan untuk menjawab doanya (ay 4,31).
Lenski:
“Cornelius did more than merely to use the office of Jewish prayer; he
begged God to enlighten his heart, to fulfill the great Messianic promises, to
grant him a share in those promises. These were the petitions that were now to
receive a notable answer” (= Kornelius melakukan
lebih dari sekedar menggunakan jasa doa Yahudi; ia memohon Allah untuk menerangi
hatinya, untuk menggenapi janji-janji agung yang berkenaan dengan Mesias, untuk
memberikan kepadanya bagian dalam janji-janji itu. Ini adalah
permohonan-permohonan yang sekarang menerima jawaban yang menyolok) -
hal 397-398.
Kalau
doanya berhubungan dengan Mesias, tidak mungkin ia tak mempunyai sangkut paut
dengan agama Yahudi.
Lenski:
“Cornelius cultivated the two outstanding virtues of the Jewish
religion: he gave abundant alms and he was diligent in prayer. The
beneficiaries of his charity were ‘the people,’ lao~ so often
signifying the Jewish people. He had found so much through them that he made
generous and grateful return” [= Kornelius mengusahakan 2 hal baik yang
menonjol / terkemuka dalam agama Yahudi: ia memberi banyak sedekah dan ia
rajin / tekun dalam doa. Penerima dari kemurahan hatinya adalah ‘bangsa
itu’, lao~
(LAOS) begitu sering menunjuk kepada bangsa Yahudi. Ia telah
mendapatkan begitu banyak melalui mereka sehingga ia melakukan balasan yang
murah hati dan penuh terima kasih] -
hal 395.
e)
Ia ‘terkenal baik di antara
seluruh bangsa Yahudi’ (ay 22).
Calvin,
dalam kata-katanya yang telah saya kutip di atas, secara benar menjadikan ini
sebagai bukti bahwa Kornelius pasti setuju dengan agama Yahudi, karena kalau
tidak, tidak mungkin ia akan terkenal baik dalam kalangan bangsa Yahudi.
Ingat
bahwa orang-orang Yahudi adalah bangsa yang sangat fanatik dalam hal agama, dan
karena itu tidak mungkin sekedar karena sedekah dari Kornelius kepada
orang-orang Yahudi menyebabkan ia bisa terkenal baik dalam kalangan orang-orang
Yahudi, kalau ia tidak setuju dengan agama Yahudi.
f)
Ia dikatakan sebagai ‘seorang
benar’ (ay 22).
Ay
22: “Jawab
mereka: ‘Kornelius, seorang perwira yang tulus hati dan takut akan
Allah, dan yang terkenal baik di antara seluruh bangsa Yahudi, telah menerima
penyataan Allah dengan perantaraan seorang malaikat kudus, supaya ia mengundang
engkau ke rumahnya dan mendengar apa yang akan kaukatakan.’”.
Ini
salah terjemahan!
KJV:
‘a just man’ (= seorang yang adil / benar).
RSV:
‘an upright ... man’ (= seorang ... yang lurus / jujur).
NIV/NASB:
‘a righteous ... man’ (= seorang ... yang benar).
Kata
Yunani yang dipakai adalah DIKAIOS, dan menurut saya terjemahan ‘orang
benar’ adalah yang terbaik.
Bdk.
Ro 3:10 - “seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar, seorangpun
tidak”.
Ia
hanya bisa dikatakan sebagai ‘orang benar’ kalau ia mempunyai iman, dan tidak mungkin ia
mempunyai iman kalau ia tak ada sangkut pautnya dengan agama Yahudi.
g)
Ia mempunyai bawahan seorang prajurit yang saleh (ay 7).
Bisa
dipastikan bahwa prajurit ini bisa seperti itu karena pengaruh dari Kornelius!
Jadi, Kornelius bukan hanya mempengaruhi keluarganya, tetapi juga
tentara-tentara bawahannya!
h)
Ia mengumpulkan sahabat-sahabat dan keluarganya untuk mendengarkan ajaran
/ pemberitaan Injil dari Petrus (ay 24).
Menurut
saya, tidak ada kemungkinan bahwa seseorang yang kafir total bisa hidup seperti
ini! Semua ini bukan hanya menunjukkan bahwa ia mempunyai sangkut paut dengan
agama Yahudi, tetapi juga bahwa ia mempunyai iman dalam arti tertentu.
Menurut
saya, pembahasan bagian ini sangat penting, karena kalau Kornelius sama sekali
tidak mempunyai sangkut paut dengan agama Yahudi (seperti pandangan Albert
Barnes), maka ia tidak mungkin bisa mempunyai iman dalam arti apapun. Mengapa?
Karena pada saat itu firman tertulis hanya ada dalam kalangan bangsa Yahudi, dan
tanpa firman tidak mungkin bisa ada iman.
II) Kornelius dan iman.
Sekarang
kita akan mempersoalkan pertanyaan ini: sebelum Kornelius diinjili oleh Petrus,
apakah ia sudah beriman atau belum? Boleh dikatakan semua penafsir yang injili /
Alkitabiah menganggap bahwa Kornelius sudah beriman pada saat itu. Ini yang
menyebabkan muncul kehidupan yang begitu saleh. Dan iman itu juga yang
menyebabkan kehidupannya diterima oleh Allah.
Pada
saat yang sama, semua penafsir juga menentang pandangan yang menganggap
bahwa Kornelius diterima oleh Allah karena perbuatan baiknya dan bukan karena
imannya.
Apa
dasarnya untuk mengatakan bahwa Kornelius sudah beriman?
1)
Karena Kitab Suci menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang / tindakan
seseorang berkenan kepada Allah, kalau orang itu tak beriman.
Ibr 11:4-6
- “(4) Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang
lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian
kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu dan
karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati. (5) Karena iman Henokh
terangkat, supaya ia tidak mengalami kematian, dan ia tidak ditemukan, karena
Allah telah mengangkatnya. Sebab sebelum ia terangkat, ia memperoleh kesaksian,
bahwa ia berkenan kepada Allah. (6) Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang
berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus
percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang
sungguh-sungguh mencari Dia”.
a)
Ibr 11:4 - “Karena iman Habel
telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain.
Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah
berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah
ia mati”.
Bdk. Kej 4:1-5a - “(1)
Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya, dan mengandunglah
perempuan itu, lalu melahirkan Kain; maka kata perempuan itu: ‘Aku telah
mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN.’ (2) Selanjutnya
dilahirkannyalah Habel, adik Kain; dan Habel menjadi gembala kambing domba, Kain
menjadi petani. (3) Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan
sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; (4) Habel
juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni
lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu,
(5a) tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkanNya”.
Calvin (tentang Ibr
11:4): “‘By
faith Abel offered,’ etc. The
Apostle’s object in this chapter is to show, that however excellent were the
works of the saints, it was from faith they derived their value, their
worthiness, and all their excellences; and hence follows what he has already
intimated, that the fathers pleased God by faith alone” (= ‘Karena
iman Habel telah mempersembahkan’, dst. Tujuan sang rasul dalam pasal ini
adalah untuk menunjukkan bahwa, bagaimanapun bagus / hebatnya pekerjaan /
perbuatan baik dari orang-orang kudus, adalah dari iman pekerjaan / perbuatan
baik itu mendapatkan nilai mereka, kelayakan mereka, dan semua kebagusan mereka;
dan karena itu maka mengikutilah apa yang telah ia isyaratkan, bahwa bapa-bapa
memperkenan Allah hanya oleh iman).
Kalau ini diterapkan pada ajaran
Pdt. Stephen Tong tentang filosof Cina itu, maka jelas bahwa karena filosof Cina
itu tidak beriman, maka perbuatan baiknya, yang begitu ditonjolkan oleh Pdt.
Stephen Tong itu, sehebat apapun itu adanya, tidak punya nilai apapun di hadapan
Allah.
Calvin (tentang Ibr
11:4): “He
says, first, that Abel’s sacrifice was
for no other reason preferable to that of his brother, except that it was
sanctified by faith: for surely the fat of brute animals did not smell so
sweetly, that it could, by its odor, pacify God. The Scripture indeed shows
plainly, why God accepted his sacrifice, for Moses’s words are these, ‘God
had respect to Abel, and to his gifts.’ It is hence obvious to conclude, that his
sacrifice was accepted, because he himself was graciously accepted. But how did
he obtain this favor, except that his heart was purified by faith”
(= Ia berkata, pertama, bahwa persembahan Habel bukan
karena alasan apapun lebih diterima dari persembahan saudaranya, kecuali bahwa
itu dikuduskan oleh iman: karena pastilah lemak dari binatang tidak berbau
begitu harum, sehingga oleh baunya itu bisa menenangkan Allah. Kitab Suci
menunjukkan dengan jelas mengapa Allah menerima persembahannya, karena kata-kata
Musa adalah ini: ‘Allah / TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya
itu’ (Kej 4:4b). Jadi jelas bahwa kesimpulannya
adalah, bahwa persembahannya diterima karena ia sendiri diterima dengan kasih
karunia. Tetapi bagaimana ia mendapatkan kebaikan ini, kecuali bahwa hatinya
dimurnikan oleh iman).
Calvin (tentang Ibr
11:4): “‘God
testifying,’ etc. He confirms what I
have already stated, that no works, coming from us can please God, until we
ourselves are received into favor, or to speak more briefly, that no works are
deemed just before God, but those of a just man: for he reasons thus, - God bore
a testimony to Abel’s gifts; then he had obtained the praise of being just
before God. This doctrine is useful, and ought especially to be noticed, as we
are not easily convinced of its truth; for when in any work, anything
splendid appears, we are immediately rapt in admiration, and we think that it
cannot possibly be disapproved of by God: but God, who regards only the inward
purity of the heart, heeds not the outward masks of works. Let us then
learn, that no right or good work can proceed from us, until we are justified
before God”
[= ‘Allah bersaksi’ dst / ‘ia memperoleh
kesaksian’. Ia menegaskan apa yang telah saya nyatakan, bahwa tak ada
pekerjaan / perbuatan baik, yang datang dari kita yang dianggap benar di hadapan
Allah, kecuali pekerjaan / perbuatan baik dari orang yang benar: karena ia
berargumentasi sebagai berikut, - Allah memberi suatu kesaksian pada persembahan
Habel; pada saat itu ia telah mendapatkan pujian bahwa ia benar di hadapan
Allah. Doktrin ini berguna, dan harus diperhatikan secara khusus, karena kita
tidak mudah diyakinkan tentang kebenarannya: karena pada waktu dalam
pekerjaan / perbuatan baik apapun, terlihat adanya apapun yang baik, kita segera
dipenuhi dengan kekaguman (bandingkan
dengan perbuatan baik filosof Cina itu di mata Pdt. Stephen Tong), dan kita
berpikir bahwa itu tidak mungkin bisa tidak direstui oleh Allah: tetapi Allah,
yang hanya memandang / melihat pada kemurnian batin dari hati, tidak
memperhatikan topeng lahiriah dari pekerjaan / perbuatan baik. Maka, hendaklah
kita belajar, bahwa tidak ada pekerjaan / perbuatan baik atau benar bisa keluar
dari kita, sampai kita dibenarkan di hadapan Allah].
Matthew
Henry (tentang Ibr 11:4):
“Here
were two persons, brethren, both of whom went in to worship God, and yet there
was a vast difference. Cain was the elder brother, but Abel has the preference. It
is not seniority of birth, but grace, that makes men truly honourable. The
difference is observable in their persons: Abel was an upright person, a
righteous man, a true believer; Cain was a formalist, had not a principle of
special grace. It is observable in their principles: Abel acted under the
power of faith; Cain only from the force of education, or natural conscience.
There was also a very observable difference in their offerings: Abel brought
a sacrifice of atonement, brought of the firstlings of the flock, acknowledging
himself to be a sinner who deserved to die, and only hoping for mercy through
‘the great sacrifice;’ Cain brought only a sacrifice of acknowledgment, a
mere thank-offering, the fruit of the ground, which might, and perhaps must,
have been offered in innocency; here was no confession of sin, no regard to the
ransom; this was an essential defect in Cain’s offering. There will always
be a difference between those who worship the true God; ... some, like the
Pharisee, will lean to their own righteousness; others, like the publican, will
confess their sin, and cast themselves upon the mercy of God in Christ” [= Di sini ada dua orang, bersaudara, yang
keduanya pergi untuk berbakti / menyembah Allah, tetapi di sana ada suatu
perbedaan yang besar. Kain adalah saudara yang lebih tua, tetapi Habel lebih
disukai. Bukan kesenioran dari kelahiran, tetapi kasih karunia, yang membuat
manusia betul-betul terhormat. Perbedaan itu tampak dalam diri mereka: Habel
adalah orang jujur / lurus, orang benar, orang percaya yang sungguh-sungguh;
Kain adalah orang yang menekankan praktek lahiriah, tidak mempunyai prinsip /
elemen hakiki dari kasih karunia khusus. Itu tampak dari prinsip mereka: Habel
bertindak di bawah kuasa dari iman; Kain bertindak hanya dari kekuatan dari
pendidikan, atau hati nurani alamiah (bukankah
tindakan Kain ini sama seperti perbuatan baik filosof Cina itu?). Juga sangat tampak adanya perbedaan dalam persembahan
mereka: Habel membawa suatu korban penebusan, membawa anak sulung dari
kawanan dombanya, mengakui dirinya sebagai orang berdosa yang layak untuk mati,
dan hanya berharap untuk belas kasihan melalui ‘korban yang agung’; Kain
membawa hanya korban pengakuan, semata-mata suatu persembahan syukur, hasil dari
tanah, yang bisa, dan mungkin harus, dipersembahkan dalam ketidak-berdosaan; di
sini tidak ada pengakuan dosa, tidak ada hormat / penghargaan pada penebusan;
ini merupakan cacat utama dari persembahan Kain. Selalu ada perbedaan di
antara mereka yang menyembah Allah yang benar; ... sebagian, seperti orang
Farisi, akan bersandar pada kebenaran mereka sendiri; yang lain, seperti
pemungut cukai, akan mengakui dosa mereka, dan melemparkan diri mereka sendiri
pada belas kasihan Allah dalam Kristus].
Matthew
Henry: “When
the fire, ... consumed the offering, it was a sign that the mercy of God
accepted the offerer for the sake of the great sacrifice. ... if our
persons and offerings be accepted, it must be through faith in the Messiah”
(= Pada saat api, ... membakar habis persembahan, itu
adalah suatu tanda bahwa belas kasihan Allah menerima si pemberi persembahan
demi ‘korban yang agung’. ... jika diri atau persembahan kita
diterima, itu harus melalui iman kepada sang Mesias).
Adam
Clarke: “Cain
and Abel both brought offerings to the altar of God, probably the altar erected
for the family worship. As Cain was a husbandman, he brought a minchah,
or eucharistic offering, of the fruits of the ground, by which he acknowledged
the being and providence of God. Abel, being a shepherd or a feeder of cattle,
brought, not only the eucharistic offering, but also of the produce of his
flock as a sin-offering to God, by which he acknowledged his own sinfulness,
God’s justice and mercy, as well as his being and providence. Cain, not at
all apprehensive of the demerit of sin, or God’s holiness, contented himself
with the mincha, or thank-offering: this God could not, consistently with
his holiness and justice, receive with complacency; the other, as referring
to him who was the Lamb slain from the foundation of the world, God could
receive, and did particularly testify his approbation. Though the mincha, or
eucharistic offering, was a very proper offering in its place, yet this was
not received, because there was no sin-offering”
(= Kain dan Habel membawa persembahan ke mezbah Allah,
mungkin mezbah yang didirikan untuk ibadah keluarga. Karena Kain adalah seorang
petani, ia membawa MINCHAH, atau persembahan syukur, dari hasil tanah, dengan
mana ia mengakui keberadaan Allah dan ProvidensiaNya. Habel, yang adalah seorang
gembala atau pemberi makan ternak, membawa bukan hanya persembahan syukur, tetapi
juga hasil dari kawanan dombanya sebagai persembahan / korban penghapus dosa
kepada Allah, dengan mana ia mengakui keberdosaannya, keadilan dan belas
kasihan Allah, maupun keberadaan dan ProvidensiaNya. Kain, sama sekali tidak
prihatin / kuatir tentang cela dari dosa, atau kekudusan Allah, puas dengan
mincha, atau persembahan syukur: ini Allah tak bisa, secara konsisten dengan
kekudusan dan keadilanNya, menerima dengan kepuasan; yang lain, karena
menunjuk pada Dia yang adalah Anak Domba yang disembelih sebelum dunia
dijadikan, Allah bisa menerima, dan secara khusus menyaksikan penerimaanNya.
Sekalipun mincha, atau persembahan syukur, merupakan suatu persembahan yang
benar di tempatnya, tetapi ini tidak diterima, karena tidak ada persembahan /
korban penghapus dosa).
Jamieson,
Fausset & Brown (tentang Ibr 11:4): “‘More excellent sacrifice’ - because
in faith. Now faith must have some revelation of God on which it fastens.
The revelation was doubtless God’s command to sacrifice animals (‘the
firstlings of the flock’) in token of the forfeiture men’s life by sin, and as
a type of the promised bruiser of the serpent’s head (Gen 3:15), Himself
to be bruised as the one sacrifice: ... Cain, in unbelieving self-righteousness,
presented merely a thank-offering, not like Abel, feeling his need of the
propitiatory sacrifice appointed for sin. God ‘had respect (first) unto Abel
and (then) to his offering’ (Gen 4:4). Faith causes the person to be
accepted, then his offering. Even an animal sacrifice, though of God’s
appointment, would not have been accepted had it not been in faith”
[= ‘Korban yang lebih baik’ - karena dalam /
dengan iman. Dan iman harus mempunyai wahyu dari Allah pada mana itu
diikat / dilekatkan. Wahyu itu tak diragukan adalah perintah Allah untuk
mengorbankan binatang (‘anak sulung dari kawanan domba’) sebagai tanda dari
hilangnya hidup manusia oleh dosa, dan sebagai suatu type dari penghancur
kepala ular yang dijanjikan (Kej 3:15), DiriNya sendiri memar / disakiti
sebagai satu korban: ... Kain, dalam sikap merasa diri sendiri benar, dan
ketidak-percayaan, semata-mata memberikan persembahan syukur, tidak seperti
Habel, merasakan kebutuhannya tentang suatu korban pendamaian / penebusan yang
ditetapkan untuk dosa. Allah ‘telah menghormati (pertama / mula-mula) Habel
dan (lalu) persembahannya’ (Kej 4:4). Iman menyebabkan orangnya diterima,
lalu persembahannya. Bahkan korban binatang, sekalipun merupakan penetapan
Allah, tidak akan diterima seandainya itu tidak dipersembahkan dengan iman].
Barnes’
Notes: “It
has been commonly asserted, that it was faith in Christ - looking forward to his
coming, and depending on his sacrifice when offering what was to be a type of
him.
... Sacrifice, as a type of the Redeemer’s great offering, was instituted
early in the history of the world. There can be no reason assigned for the
offering of ‘blood’ as an atonement for sin, except that it had originally a
reference to the great atonement which was to be made by blood; and as the
salvation of man depended on this entirely, it is probable that that would
be one of the truths which would be first communicated to man after the fall”
(= Pada umumnya ditegaskan bahwa adalah iman kepada
Kristus - memandang ke depan pada kedatanganNya, dan bergantung pada korbanNya
pada waktu mempersembahkan apa yang merupakan suatu type dari Dia. ... Korban,
sebagai suatu type dari korban agung sang Penebus, telah ditegakkan sangat awal
dari sejarah dunia. Tidak ada alasan yang
diberikan untuk mempersembahkan ‘darah’ sebagai suatu penebusan dosa,
kecuali hal itu secara orisinil mempunyai suatu petunjuk pada penebusan agung
yang akan dilakukan dengan darah; dan karena keselamatan manusia
tergantung pada hal ini sepenuhnya, adalah mungkin bahwa hal itu adalah
salah satu dari kebenaran-kebenaran yang disampaikan kepada manusia setelah
kejatuhan ke dalam dosa).
Pulpit
Commentary (tentang Ibr 11:4): “The
acceptableness of the offering is here simply attributed, as of necessity, to
the faith of the offerer, without any intimation of how that faith had been
evinced. And with this view of the matter agrees the record itself, where it is
said that ‘unto Abel and his offering the LORD had respect;’ i.e. to Abel
first, and then to his offering - the offering was accepted because Abel was,
not Abel on account of his kind of offering”
(= Bisa diterimanya persembahan itu di sini hanya
dihubungkan, sebagai keharusan, pada iman dari orang yang memberi persembahan,
tanpa petunjuk apapun bagaimana iman itu ditunjukkan. Dan dengan pandangan ini
persoalannya sesuai dengan catatan itu sendiri, dimana dikatakan bahwa ‘kepada
Habel dan persembahannya Tuhan
mempunyai rasa hormat’; yaitu pertama-tama kepada Habel, dan lalu pada
persembahannya - persembahannya diterima karena Habel diterima, bukan Habel
diterima karena jenis persembahannya).
b)
Ibr 11:5 - “Karena iman Henokh terangkat, supaya ia tidak
mengalami kematian, dan ia tidak ditemukan, karena Allah telah mengangkatnya.
Sebab sebelum ia terangkat, ia memperoleh kesaksian, bahwa ia berkenan kepada
Allah”
Calvin (tentang Ibr
11:5): “Moses
indeed tells us, that he was a righteous man, and that he walked with God; but as
righteousness begins with faith, it is justly ascribed to his faith, that he
pleased God”
(= Musa memang memberitahu kita, bahwa ia adalah orang
benar, dan bahwa ia berjalan dengan Allah; tetapi karena kebenaran dimulai
dengan iman, maka dengan benar hal itu dianggap berasal dari imannya, sehingga
ia memperkenan Allah).
Jamieson,
Fausset & Brown (tentang Ibr 11:5): “Faith was the ground of his pleasing
God” (= Iman adalah dasar dari
keadaannya yang memperkenan Allah).
Catatan:
saya tak bisa menterjemahkan kata-kata ini dengan tepat.
c)
Ibr 11:6 - “Tetapi tanpa
iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling
kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah
kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia”.
Calvin (tentang Ibr
11:6): “The
reason he assigns why no one can please God without faith, is this, - because no
one will ever come to God, except he believes that God is, and is also convinced
that he is a remunerator to all who seek him. If access then to God is not
opened, but by faith, it follows, that all who are without it, are the
objects of God’s displeasure” (= Alasan yang ia berikan mengapa tak seorangpun
bisa memperkenan Allah tanpa iman, adalah ini, - karena tak seorangpun akan
pernah datang kepada Allah, kecuali ia percaya bahwa Allah ada, dan juga
diyakinkan bahwa Ia adalah seorang yang memberi pahala kepada semua orang yang
mencariNya. Jika jalan masuk kepada Allah tidak terbuka kecuali oleh iman,
maka akibatnya adalah bahwa semua orang yang tanpa iman merupakan obyek dari
ketidak-senangan Allah).
Calvin (tentang Ibr
11:6): “It
is hence evident, that men in vain weary themselves in serving God, except they
observe the right way, and that all religions are not only vain, but also
pernicious, with which the true and certain knowledge of God is not connected;
for all are prohibited from having any access to God, who do not distinguish and
separate him from all idols; in short, there is no religion except where this
truth reigns dominant” [= Karena
itu jelaslah bahwa orang-orang dengan sia-sia melelahkan diri mereka sendiri
dalam melayani Allah / berbakti kepada Allah, kecuali mereka mentaati jalan yang
benar, dan bahwa semua agama-agama bukan hanya sia-sia, tetapi juga jahat /
merusak, dengan mana pengetahuan / pengenalan yang benar dan pasti tentang Allah
tidak dihubungkan (lagi-lagi
bandingkan dengan ajaran filosof Cina itu, yang menurut Pdt. Stephen Tong
sendiri, sama sekali tak berhubungan dengan Allah); karena semua orang yang
tidak membedakan dan memisahkan dirinya dari semua berhala, dihalangi dari
mempunyai jalan masuk kepada Allah; singkatnya, tidak ada agama kecuali dimana
kebenaran memerintah / berkuasa].
Supaya saudara tidak
menganggap bahwa yang dimaksud dengan ‘iman’ dalam Ibr 11:6 ini sekedar
‘suatu kepercayaan bahwa Allah itu ada’, tetapi juga berhubungan dengan
keselamatan, perhatikan komentar-komentar di bawah ini!
Calvin (tentang Ibr
11:6): “The
second clause is that we ought to be fully persuaded that God is not sought in
vain; and this persuasion includes the hope of salvation and eternal life, for
no one will be in a suitable state of heart to seek God except a sense of the
divine goodness be deeply felt, so as to look for salvation from him. We indeed
flee from God, or wholly disregard him, when there is no hope of salvation”
(= Anak kalimat yang kedua adalah bahwa kita harus
diyakinkan sepenuhnya bahwa Allah tidak dicari dengan sia-sia; dan keyakinan
ini mencakup pengharapan keselamatan dan hidup kekal, karena tak seorangpun
akan berada dalam keadaan hati yang cocok untuk mencari Allah kecuali suatu
perasaan tentang kebaikan ilahi dirasakan secara mendalam, sehingga orang itu
mencari keselamatan dari Dia. Kita akan lari dari Allah, atau sepenuhnya
mengabaikanNya, pada saat tidak ada pengharapan keselamatan).
Calvin (tentang Ibr
11:6): “But
many shamefully pervert this clause; for they hence elicit the merits of works,
and the conceit about deserving. And they reason thus: ‘We please God by
faith, because we believe him to be a rewarder; then faith has respect to the
merits of works.’ This error cannot be better exposed, than by considering how
God is to be sought; while any one is wandering from the right way of seeking
him, he cannot be said to be engaged in the work. Now Scripture assigns this
as the right way, - that a man, prostrate in himself, and smitten with the
conviction that he deserves eternal death, and in self-despair, is to flee to
Christ as the only asylum for salvation. Nowhere certainly can we find that
we are to bring to God any merits of works to put us in a state of favor with
him. Then he who understands that this is the only right way of seeking God,
will be freed from every difficulty on the subject; for reward refers not to the
worthiness or value of works but to faith” (= Tetapi banyak orang secara memalukan
membengkokkan anak kalimat ini; karena mereka mendapatkan jasa dari pekerjaan /
perbuatan baik, dan kesombongan tentang kelayakan. Dan mereka beralasan sebagai
berikut: ‘Kita memperkenan Allah oleh iman, karena kita mempercayaiNya sebagai
seorang yang memberi upah; maka iman mempunyai rasa hormat pada jasa dari
pekerjaan / perbuatan baik’. Kesalahan ini tidak bisa dinyatakan dengan lebih
jelas, dari pada dengan mempertimbangkan bagaimana Allah harus dicari; sementara
seseorang sedang mengembara / menyimpang dari jalan yang benar untuk mencari
Dia, ia tidak bisa dikatakan terlibat dalam pekerjaan / perbuatan baik.
Kitab Suci memberikan ini sebagai jalan yang benar, - bahwa seseorang, yang
merendahkan dirinya sendiri, dan dipukul oleh suatu keyakinan bahwa ia layak
mendapatkan kematian kekal, dan dalam keputus-asaan tentang diri sendiri, harus
lari kepada Kristus sebagai satu-satunya perlindungan untuk keselamatan. Pasti
kita tidak bisa menemukan dimanapun bahwa kita harus membawa kepada Allah jasa
pekerjaan / perbuatan baik apapun untuk meletakkan kita dalam suatu keadaan
disukai / disenangi oleh Dia. Maka ia yang mengerti bahwa ini adalah
satu-satunya jalan yang benar untuk mencari Allah, akan dibebaskan dari setiap
kesukaran tentang pokok ini; karena upah tidak menunjuk pada kelayakan atau
nilai dari pekerjaan / perbuatan baik tetapi pada iman).
Catatan: kata-kata di atas ini pasti
bertentangan frontal dengan kata-kata Pdt. Stephen Tong yang mengatakan bahwa
sebelum Kornelius percaya, ‘kebajikannya sudah diterima oleh Tuhan’!
Calvin (tentang Ibr
11:6): “From
these two clauses, we may learn how, and why it is impossible for man to please
God without faith; God justly regards us all as objects of his displeasure,
as we are all by nature under his curse; and we have no remedy in our own power.
It is hence necessary that God should anticipate us by his grace; and
hence it comes, that we are brought to know that God is, and in such a way that
no corrupt superstition can seduce us, and also that we become assured of a
certain salvation from him” (= Dari
dua anak kalimat ini, kita bisa belajar bagaimana dan mengapa merupakan sesuatu
yang mustahil bagi manusia untuk memperkenan Allah tanpa iman; Allah dengan
benar / adil menganggap kita semua sebagai obyek dari ketidak-senanganNya,
karena kita semua secara alamiah ada di bawah kutukNya; dan kita tidak mempunyai
obat dalam kuasa kita sendiri. Karena itu merupakan sesuatu yang perlu
bahwa Allah mendahului kita dengan kasih karuniaNya; dan lalu terjadilah,
bahwa kita dibawa untuk mengetahui bahwa Allah ada, dan dengan cara
sedemikian rupa sehingga tak ada takhyul jahat apapun bisa membujuk kita, dan
juga sehingga kita yakin tentang suatu keselamatan tertentu dari Dia).
Calvin (tentang Ibr
11:6): “Were
any one to desire a fuller view of this subject, he should make his commencement
here, - that we in vain attempt to try anything, except we look to God; for the
only true end of life is to promote his glory; but this can never be done,
unless there be first the true knowledge of him. Yet this is still but the half
of faith, and will profit us but little, except confidence be added. Hence faith
will only then be complete and secure us God’s favor, when we shall feel a
confidence that we shall not seek him in vain, and thus entertain the certainty
of obtaining salvation from him. But no one, except he be blinded by
presumption, and fascinated by self-love, can feel assured that God will be a
rewarder of his merits. Hence this confidence of which we speak recumbs not on
works, nor on man’s own worthiness, but on the grace of God alone; and as
grace is nowhere found but in Christ, it is on him alone that faith ought to be
fixed”
(= Seandainya siapapun menginginkan suatu pandangan
yang lebih penuh tentang pokok ini, ia harus membuat kemajuan di sini, - bahwa
kita secara sia-sia berusaha untuk mencoba apapun, kecuali kita memandang kepada
Allah; karena satu-satunya tujuan yang benar dari kehidupan adalah memajukan
kemuliaanNya; tetapi ini tidak pernah bisa dilakukan, kecuali di sana
pertama-tama ada pengenalan yang benar tentang Dia. Tetapi ini tetap merupakan
setengah dari iman, dan akan bermanfaat sedikit bagi kita, kecuali keyakinan
ditambahkan. Karena itu iman hanya akan lengkap dan menjamin kebaikan /
kesenangan Allah bagi kita, pada saat kita merasakan suatu keyakinan bahwa kita
tidak akan mencariNya dengan sia-sia, dan dengan demikian mempunyai kepastian
tentang mendapatkan keselamatan dari Dia. Tetapi tak seorangpun, kecuali ia
dibutakan oleh kesombongan, dan dipesonakan oleh kasih kepada diri sendiri, bisa
merasa yakin bahwa Allah akan menjadi seseorang yang memberi pahala dari
kebaikan-kebaikannya. Karena itu keyakinan tentang mana kita berbicara,
bersandar, bukan pada pekerjaan / perbuatan baik, ataupun pada kelayakan manusia
itu sendiri, tetapi pada kasih karunia Allah saja; dan karena kasih karunia
tidak ditemukan kecuali dalam Kristus, kepada Dialah iman harus dipancangkan).
Adam
Clarke (tentang Ibr 11:6):
“‘He
that cometh to God.’ The man who professes that it is his duty to worship God,
must, if he act rationally, do it on the conviction that there is such a Being
infinite, eternal, unoriginated, and self-existent; the cause of all other
being; on whom all being depends; and by whose energy, bounty, and providence,
all other beings exist, live, and are supplied with the means of continued
existence and life. He must believe, also, that he rewards them that diligently
seek him; that he is not indifferent about his own worship; that he requires
adoration and religious service from men; and that he blesses, and especially
protects and saves, those who in simplicity and uprightness of heart seek and
serve him. This requires faith, such a faith as is mentioned above; a faith
by which we can please God; and now that we have an abundant revelation, a faith
according to that revelation; a faith in God through Christ the great
sin-offering, without which a man can no more please him, or be accepted of him,
than Cain was” (= ‘Ia
yang datang kepada Allah’. Orang yang mengakui bahwa adalah kewajibannya untuk
menyembah Allah, kalau ia bertindak secara rasionil, harus melakukannya
berdasarkan keyakinan bahwa di sana ada suatu Makhluk yang tak terbatas, kekal,
tak punya asal usul, dan ada dengan sendirinya / dari dirinya sendiri; penyebab
dari semua keberadaan / makhluk yang lain; kepada siapa semua keberadaan /
makhluk tergantung; dan oleh energi, karunia dan Providensia siapa semua makhluk
keberadaan yang lain ada, hidup, dan disuplai dengan cara-cara untuk melanjutkan
keberadaan dan kehidupan. Ia juga harus percaya bahwa Ia memberi upah kepada
mereka yang dengan rajin mencariNya: bahwa Ia tidaklah acuh tak acuh tentang
penyembahan / ibadahNya sendiri; bahwa Ia menuntut pemujaan dan ibadah agamawi
dari manusia; dan bahwa Ia memberkati, dan khususnya melindungi dan
menyelamatkan, mereka yang dalam kesederhanaan dan kelurusan hati mencari dan
melayani / berbakti kepadaNya. Ini membutuhkan iman, iman seperti yang
disebutkan di atas; suatu iman dengan mana kita bisa memperkenan Allah; dan
sekarang dimana kita mempunyai wahyu yang berlimpah-limpah, suatu iman sesuai
dengan wahyu itu; suatu iman kepada Allah melalui Kristus, ‘korban penghapus
dosa yang agung’, tanpa mana seorang manusia tidak bisa lebih memperkenanNya,
atau diterimaNya, dari pada Kain).
Jamieson,
Fausset & Brown (tentang Ibr 11:6): “‘Without,’ (chooris) - ‘apart from faith:’ if one be destitute of
faith (cf. Rom 14:23). ‘To please.’ Translate, as Alford (euaresteesai, the aorist), ‘It is impossible to
please God at all’ (Rom 8:8). ‘Works done before the grace of Christ are
not pleasant to God, forasmuch as they spring not of faith in Jesus Christ;
yea, rather, for that they are not done as God hath willed them to be done, we
doubt not but they have the nature of sin’ (Article XIII., ‘Book of
Common Prayer’). Works not rooted in God are splendid sins
(Augustine)” [=
‘Tanpa’, (CHORIS) - ‘terpisah dari iman’: jika seseorang miskin / tak
mempunyai iman (bdk. Ro 14:23). ‘Memperkenan’. Terjemahkan, seperti Alford
(euaresteesai,
aorist / bentuk lampau), ‘Adalah mustahil untuk memperkenan Allah sama
sekali’ (Ro 8:8). ‘Pekerjaan-pekerjaan / perbuatan-perbuatan baik yang
dilakukan sebelum kasih karunia dari Kristus tidak menyenangkan Allah, karena
mereka muncul / timbul bukan dari iman kepada Kristus Yesus; ya, bahkan,
karena mereka tidak dilakukan seperti Allah kehendaki mereka dilakukan, kita
tidak meragukan bahwa mereka mempunyai sifat dari dosa’ (Artikel XIII,
‘Book of Common Prayer’). ‘Pekerjaan / perbuatan baik yang tidak
berakar dalam Allah merupakan dosa-dosa yang bagus / tampan’ (Agustinus)].
Ro
14:23 - “Tetapi barangsiapa yang bimbang, kalau ia makan, ia telah dihukum,
karena ia tidak melakukannya berdasarkan iman. Dan segala sesuatu yang tidak
berdasarkan iman, adalah dosa”.
Ro
8:8 - “Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada
Allah”.
Lenski:
“what makes any man well-pleasing to God is faith; without it there is
no possibility of pleasing God” (= apa yang
membuat manusia manapun berkenan kepada Allah adalah iman; tanpa itu tidak ada
kemungkinan untuk memperkenan Allah) -
hal 386.
John
Owen: “faith
is the only way and means whereby any one may please God” (= iman
adalah satu-satunya jalan dan cara dengan mana seseorang bisa memperkenan Allah)
- ‘Hebrews’, vol 7, hal 37.
John
Owen: “‘All
pleasing of God is, and must be, by faith, it being impossible it should be
otherwise.’” (= Semua yang memperkenan Allah
adalah, dan haruslah, oleh iman, dan tidak mungkin lainnya) - ‘Hebrews’,
vol 7, hal 37.
John
Owen: “‘It
is impossible to please God any other way but by faith.’ Let men desire,
design, and aim at it whilst they please, they shall never attain unto it. ...
Hereunto Scripture bears testimony from first to last, namely, that none can,
that none shall, ever please God but by faith” (= ‘Adalah
tidak mungkin untuk memperkenan Allah dengan jalan lain kecuali oleh iman’.
Hendaklah manusia menginginkan, merencanakan dan mengarahkan padanya semau
mereka, mereka tidak akan pernah mencapainya. ... Dengan ini Kitab Suci memberi
kesaksian dari awal sampai akhir, yaitu, bahwa tak seorangpun bisa, bahwa tak
seorangpun akan, pernah memperkenan Allah kecuali oleh iman) - ‘Hebrews’,
vol 7, hal 38.
2)
Karena kehidupan yang saleh dari Kornelius, yang sudah kita bahas di
atas, tidak bisa tidak, merupakan buah dari iman.
J.
A. Alexander:
“‘Devout,’ pious, reverent,
not merely in the heathen sense, but as the fruit of divine grace. ...
‘Which gave much alms,’ or rather practising many charities, not merely to
the poor in general, but to the people, i.e. the chosen people, the children of
Israel, among whom he lived and from whom he had learned the true religion.
‘Praying to God,’ or asking of God, i.e. looking to Jehovah, or the God of
Israel, and not to idols, ... This is not the description of a proselyte, in any
technical or formal sense, but of a Gentile whom divine grace had prepared
for the immediate reception of the Gospel, without passing through the
intermediate state of Judaism, although long familiar with it, and indebted to
it for such knowledge of the word of God as he possessed” (=
‘Saleh’, saleh, takut / hormat, bukan semata-mata dalam arti kafir, tetapi sebagai
buah dari kasih karunia ilahi. ... ‘yang memberi banyak sedekah’, atau
mempraktekkan kasih / kemurahan hati, tidak semata-mata kepada orang-orang
miskin secara umum, tetapi kepada bangsa itu, yaitu kepada bangsa pilihan,
anak-anak Israel, di antara siapa ia tinggal dan dari siapa ia telah mempelajari
agama yang benar. ‘Berdoa kepada Allah’ atau meminta dari Allah, yaitu
memandang kepada Yehovah, atau Allah Israel, dan bukan kepada berhala-berhala,
... Ini bukan penggambaran dari seorang proselit, dalam arti tehnis atau formal
apapun, tetapi dari seorang non Yahudi yang telah dipersiapkan oleh kasih
karunia ilahi untuk penerimaan langsung / segera terhadap Injil, tanpa
melewati keadaan perantara dari agama Yahudi, sekalipun ia akrab cukup lama
dengannya, dan berhutang kepadanya untuk pengetahuan tentang firman Allah
seperti itu seperti yang ia miliki) - hal
389.
Catatan:
dari kata-kata ini kelihatannya J. A. Alexander menganggap bahwa kesalehan
Kornelius sedikitnya merupakan buah dari kelahiran baru.
J.
A. Alexander:
“It was not as a reward of what
Cornelius had thus done, that the Lord now favoured and distinguished him; but
this distinguishing favour was itself the cause of those devotional and
charitable habits, which had been recognized in heaven as being what they were,
not meritorious claims to the divine blessing, but experimental proofs that it
had been bestowed” (= Bukanlah sebagai suatu
pahala dari apa yang Kornelius telah lakukan, sehingga sekarang Tuhan baik dan
membedakannya; tetapi kebaikan yang membedakan ini sendiri yang merupakan
sebab dari kebiasaan yang bersifat membaktikan diri dan murah hati itu, yang
telah dikenali dari surga apa adanya, bukan sebagai claim jasa terhadap
berkat ilahi, tetapi bukti yang bersifat pengalaman bahwa itu telah diberikan)
- hal 390.
Barnes’
Notes: “‘Are
come up for a memorial’ Are remembered before God. ... They were an evidence
of piety toward God, and were accepted as such. Though he had not offered
sacrifice according to the Jewish laws; though he had not been circumcised; yet,
having acted according to the light which he had, his prayers were heard, and
his alms were accepted. ... His heart was in the work of religion. ... His
offering was that of the heart, and not merely an external offering. ... His was
a work of religion. ... Cornelius was disposed to do the will of God as far as
it was made known to him. Where this exists there is religion” [= ‘Telah naik ke hadirat Allah dan Allah
mengingat engkau’. Diingat di hadapan Allah. ... Hal-hal itu (perbuatan-perbuatan baik Kornelius) merupakan suatu bukti dari
kesalehan kepada Allah, dan diterima seperti itu. Sekalipun ia
tidak mempersembahkan korban sesuai dengan hukum Taurat Yahudi; sekalipun ia
belum disunat; tetapi setelah bertindak sesuai dengan terang yang ia miliki,
doanya didengar, dan sedekahnya diterima. ... Hatinya ada dalam pekerjaan
dari agama. ... Persembahannya adalah persembahan dari hati, dan
bukan semata-mata persembahan lahiriah. ... Kehidupan moralnya merupakan
suatu pekerjaan dari agama. ... Kornelius cenderung / ingin melakukan
kehendak Allah sejauh itu dinyatakan kepadanya. Dimana ini ada, di situ ada
agama].
John Calvin:
“Indeed,
Cornelius must have been already illumined by the Spirit of wisdom, for
he was endowed with true wisdom, that is, the fear of God; and he was
sanctified by the same Spirit, for he was a keeper of righteousness, which
the apostle taught to be the Spirit’s surest fruit (Galatians 5:5). All
those things in him which are said to have pleased God he received from
God’s grace - so far is he from preparing himself to receive grace by
means of them through his own effort”
[= Memang Kornelius pasti telah diterangi oleh Roh
hikmat, karena ia diberi hikmat yang benar, yaitu rasa takut akan Allah; dan
ia dikuduskan oleh Roh yang sama, karena ia adalah pemelihara kebenaran,
yang diajarkan oleh sang rasul sebagai buah yang pasti dari Roh (Gal 5:5).
Semua hal di dalam dia itu, yang dikatakan telah memperkenan Allah, ia terima
dari kasih karunia Allah - begitu jauh ia dari mempersiapkan dirinya sendiri
untuk menerima kasih karunia oleh usahanya sendiri] - ‘Institutes
of the Christian Religion’, Book III, Chapter XVII, no 4.
Catatan: ‘Gal 5:5’ itu mungkin salah
cetak; mungkin yang ia maksud Gal 5:22.
Calvin:
“But
whereas he bestowed so liberally upon the Jews, he declared how he agreed with
them in religion; in which respect Luke saith, shortly after, that he was
allowed of all the
Jews. And if so be it he was such an excellent mirror of godliness and holiness,
even when he had but a small smattering of faith, ... ought not we to be
ashamed who will be accounted most Christian doctors, and are yet so cold in the
exercises of godliness? If a small sparkle of faith prevailed so much in him,
what ought the full brightness of knowledge to work in us?” (= Tetapi karena ia memberikan dengan begitu
royal kepada orang-orang Yahudi, ia menyatakan bagaimana ia setuju dengan mereka
dalam agama; dalam hal mana sesaat lagi Lukas berkata bahwa ia ‘terkenal baik
di antara seluruh bangsa Yahudi’. Dan jika demikian ia adalah cermin dari
kesalehan dan kekudusan yang begitu hebat, bahkan pada waktu ia hanya
mempunyai sedikit pengetahuan yang dangkal dari iman, ... tidakkah kita
harus malu, yang dianggap sebagai doktor-doktor Kristen, tetapi begitu dingin
dalam pelaksanaan kesalehan? Jika suatu cahaya kecil dari iman
mempengaruhi dia begitu banyak, apa yang seharusnya dilakukan oleh terang
sepenuhnya dari pengetahuan dalam diri kita?).
Matthew
Henry: “he
is assured that God accepts him in walking according to the light he had (v. 4):
Thy prayers and thine alms are come up for a memorial before God. ... Cornelius
prayed, and gave alms, not as the Pharisees, to be seen of men, but in
sincerity, as unto God; ... The sacrifices under the law are said to be for a
memorial. See Lev. 2:9,16; 5:12; 6:15. ... The divine revelation communicated to
the Jews, as far as the Gentiles were concerned in it, not only as it directed
and improved the light and law of nature, but as it promised a Messiah to
come, Cornelius believed and submitted to. What he did he did in that faith, and
was accepted of God in it” [= ia diyakinkan
bahwa Allah menerima dia dalam jalannya sesuai dengan terang yang ia miliki (ay
4): Doamu dan sedekahmu naik sebagai suatu peringatan di hadapan Allah. ...
Kornelius berdoa, dan memberi sedekah, bukan seperti orang-orang Farisi, supaya
dilihat oleh manusia, tetapi dalam ketulusan, seperti kepada Allah; ...
Korban-korban di bawah hukum Taurat dikatakan sebagai suatu peringatan. Lihat Im
2:9,16; 5:12; 6:15. ... Wahyu ilahi yang diberikan kepada orang-orang Yahudi,
sejauh orang-orang non Yahudi tersangkut di dalamnya, bukan hanya ketika hukum
Taurat itu mengarahkan dan meningkatkan terang dan hukum dari alam, tetapi juga ketika
hukum Taurat itu menjanjikan seorang Mesias yang akan datang, Kornelius percaya
dan tunduk kepadanya. Apa yang ia lakukan, ia lakukan dalam iman itu, dan
diterima oleh Allah di dalam iman itu].
Lenski:
“When the angel tells Cornelius that his prayers and his alms have come
up ‘for a memorial’ before God, the phrase conveys the truth that God
intends to take account of them in his grace towards Cornelius. It should not be
necessary to say that no work-righteousness is implied but something vastly
far greater than any claims of human merit. The prayers and the alms revealed
the condition of the heart of Cornelius. They were, indeed, good works but
are here regarded like good works of the righteous at the time of the
final judgment when Jesus will use them as the evidence of faith and the
absence of such good works as the evidence for the absence of saving faith
(Matt. 25:34-46)” [= Pada waktu malaikat memberi
tahu Kornelius bahwa doa-doanya dan sedekahnya telah naik ke hadapan Allah
seperti suatu peringatan, ungkapan itu menyampaikan kebenaran bahwa Allah
bermaksud untuk memperhitungkan hal-hal itu dalam kasih karuniaNya kepada
Kornelius. Tak perlu dikatakan bahwa tidak ada kebenaran karena pekerjaan /
perbuatan baik yang dimaksudkan tetapi sesuatu yang jauh lebih besar dari claim
apapun tentang jasa manusia. Doa-doa dan sedekah itu menyatakan kondisi
dari hati Kornelius. Hal-hal itu memang merupakan pekerjaan / perbuatan
baik, tetapi di sini dianggap seperti pekerjaan / perbuatan baik dari
orang-orang benar pada saat penghakiman terakhir, pada waktu Yesus akan
menggunakan mereka sebagai bukti dari iman, dan tidak adanya pekerjaan /
perbuatan baik seperti itu merupakan bukti dari tidak adanya iman yang
menyelamatkan (Mat 25:34-46)] - hal 397.
John Calvin:
“When,
for example, Naaman the Syrian inquired of the prophet as to the proper way of
worshiping God, it is not likely that he was instructed concerning the Mediator.
Still, his piety is praised (2Kings 5:1-14; Luke 4:27). Cornelius, a Gentile and
a Roman, could scarcely grasp what was known only obscurely to the Jews, and not
to all of them. Yet his alms and his prayers were acceptable to God (Acts
10:31). And Naaman’s sacrifice was approved by the prophet’s response
(2Kings 5:17-19). Neither could have occurred except by faith. The same
reasoning applies to the eunuch to whom Philip was brought: unless he had
been endowed with some faith, he would not have undertaken the labor and
expense of a difficult journey in order to worship (Acts 8:17). Yet we see that
when asked by Philip, he showed his ignorance of the Mediator (Acts 8:31). ...
Therefore, although the knowledge of Christ was obscure among them, it is
inconceivable to suppose that there was none at all”
[= Ketika, sebagai contoh, Naaman orang Syria / Aram
bertanya kepada sang nabi berkenaan dengan cara yang benar untuk menyembah
Allah, kecil kemungkinannya bahwa ia diajar berkenaan dengan sang Pengantara.
Tetap, kesalehannya dipuji (1Raja 5:1-14; Luk 4:27). Kornelius, seorang non
Yahudi dan seorang Romawi, hampir tidak bisa mengerti apa yang diketahui hanya
secara samar-samar oleh orang-orang Yahudi, dan tidak oleh semua dari mereka.
Dan korban Naaman direstui oleh tanggapan dari sang nabi (2Raja 5:17-19). Tidak
ada dari hal-hal itu bisa terjadi kecuali oleh iman. Argumentasi yang sama
berlaku untuk sida-sida kepada siapa Filipus dibawa: kecuali ia telah diberi
iman (‘some faith’),
ia tidak akan melakukan jerih payah dan ongkos dari suatu
perjalanan yang sukar supaya bisa beribadah (Kis 8:17). Tetapi kita melihat
bahwa waktu ditanya oleh Filipus, ia menunjukkan ketidak-mengertiannya tentang
sang Pengantara (Kis 8:31). ... Karena itu, sekalipun pengetahuan /
pengenalan tentang Kristus sangat samar-samar di antara mereka, tak terbayangkan
untuk menganggap bahwa di sana pengetahuan itu tidak ada sama sekali]
- ‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter II, no
32.
Calvin:
“Augustine
... affirmeth plainly, that Cornelius could not pray unless he had faith” (= Agustinus ... menegaskan dengan jelas, bahwa
Kornelius tidak bisa berdoa kecuali ia mempunyai iman).
III) Kornelius dan Injil.
Dalam
ay 36-43 jelas bahwa Petrus memberitakan Injil kepada Kornelius dan semua orang
yang bersama-sama dengan dia.
1)
Apakah pekerjaan / perbuatan baik dari Kornelius, yang dinyatakan dalam
ay 2,4,22,31, yang menyebabkan ia dianggap layak, sehingga lalu diberi
injil?
Calvin:
“‘Thy prayers and
alms.’ ... the angel assigneth this
as the cause why God vouchsafeth to show to Cornelius the light of his gospel;
because he hath heard his prayers and accepted his alms. Whence we gather that
virtues and good works do not only please God, but that they are also adorned
with this excellent reward, that he heapeth upon us and enricheth us with
greater gifts for their sakes; according to that, ‘To him that hath shall be
given,’ (Matthew 13:12.) ... For God doth after this sort extol his by a
continual course of his gifts, as it were by certain steps, until he bring them
to the top”
[= ‘Doa-doa dan sedekah-sedekahmu’. ... sang
malaikat memberikan ini sebagai alasan mengapa Allah bersedia untuk menunjukkan
kepada Kornelius terang dari injil; karena Ia telah mendengar doa-doanya dan
menerima sedekah-sedekahnya. Darimana kita mendapatkan bahwa kebaikan dan
perbuatan baik bukan hanya memperkenan Allah, tetapi bahwa mereka juga dihiasi
dengan pahala yang sangat bagus ini, bahwa Ia menumpuk pada kita dan memperkaya
kita dengan karunia-karunia yang lebih besar karena mereka; sesuai dengan
‘Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi’ (Mat 13:12). ...
Karena Allah dengan cara ini meninggikan milikNya dengan serangkaian
karunia-karuniaNya, seakan-akan dengan langkah-langkah yang pasti, sampai Ia
membawa mereka ke puncak].
Kelihatannya
Calvin beranggapan bahwa kebaikan Kornelius menyebabkan ia lalu diberi Injil dan
menjadi percaya. Tetapi benarkah demikian? Perhatikan kata-kata Calvin
selanjutnya di bawah ini.
Calvin (tentang ay
4): “But
the Papists abuse this place two ways; for because God respected the prayers and
alms of Cornelius, so that he endued him with the faith of the gospel, they
wrest that unto the preparations which they have invented, as if a man did get
faith by his own industry and power, and did prevent the grace of God by the
merits of works. Secondly, they gather, generally, that good works are
meritorious in such sort, that the graces of God are increased in every man as
he hath deserved. In the former they are too childishly deceived, whilst that
they feign that the works of Cornelius were acceptable to God before he was
illuminate by faith. And we need not to fet (seek) a proof far to refute
their ignorance; for he could obtain nothing by prayer unless faith went
before, which only openeth the gate for us to pray; ... Furthermore, the
fear of God and godliness do plainly prove that he was regenerate by the Spirit.
For Ezekiel giveth this praise to God alone, that he frameth the hearts of men
to fear him, (Ezekiel 32:40.) And Isaiah saith, that the Spirit of the fear of
God resteth in Christ, (Isaiah 11:2,) that we may know that he can be found no
where save only in his members. Therefore it is too great folly to feign a
man in the person of Cornelius, who, having nature for his guide, can attain
unto eternal life, or endeavor to come thither. Therefore they reason
blockishly, that we are able to prevent the grace of God with the merits of
works. Furthermore, if good works be esteemed (estimated) by faith, it is of
mercy, and not of merit, that God doth allow (approve) them. For because faith
findeth no worthy thing in us whereby we can please God, it borroweth that of
Christ which we want. ... Yet here may a question be asked, Whether faith
require the knowledge of Christ, or it be content with the simple persuasion of
the mercy of God? for Cornelius seemeth to have known nothing at all concerning
Christ. But it may be proved by sound proofs that faith cannot be separated from
Christ; for if we lay hold upon the bare majesty of God, we are rather
confounded with his glory, than that we feel any taste of his goodness.
Therefore, Christ must come between, that the mind of man may conceive that God
is merciful. ... Moreover, seeing that he is the way, the truth, and the life,
(John 14:6;) whithersoever thou goest without him, thou shalt be enwrapped on
every side in errors, and death shall meet you (thee) on every side. We may
easily answer concerning Cornelius. All spiritual gifts are offered unto us in
Christ; and especially whence cometh regeneration, save only because we are
ingrafted into the death of Christ, our old man is crucified? (Romans, 6:5, 6.)
And if Cornelius were made partaker of the Spirit of Christ, there is no
cause why we should think that he was altogether void of his faith; neither had
he so embraced the worship of the true God, (whom the Jews alone did worship,)
but that he had also heard somewhat of the promised Mediator; though the
knowledge of him were obscure and entangled, yet was it some. Whosoever came
at that time into Judea he was enforced to hear somewhat of the Messiah, yea,
there was some fame of him spread through countries which were far off. Wherefore,
Cornelius must be put in the catalogue of the old fathers, who hoped for
salvation of the Redeemer before he was revealed” [= Tetapi para pengikut Paus (orang
Katolik) menyalah-gunakan tempat ini
dengan dua cara; karena Allah menghormati doa-doa dan sedekah-sedekah dari
Kornelius, sehingga Ia memberinya iman dari injil, mereka membengkokkan itu pada
persiapan-persiapan yang mereka temukan, seakan-akan seorang manusia mendapatkan
iman oleh kerajinan dan kekuatannya sendiri, dan mengantisipasi / mendahului
kasih karunia Allah oleh jasa pekerjaan / perbuatan baik. Yang kedua, mereka
mendapatkan, secara umum, bahwa pekerjaan / perbuatan baik berjasa sedemikian
rupa sehingga kasih karunia Allah ditingkatkan dalam diri setiap manusia seperti
yang layak ia dapatkan. Dalam yang pertama mereka ditipu secara terlalu
kekanak-kanakan, pada waktu mereka membayangkan / menganggap bahwa pekerjaan /
perbuatan baik dari Kornelius diterima oleh Allah sebelum ia diterangi oleh iman.
Dan kita tidak perlu jauh-jauh mencari suatu bukti untuk membantah
ketidak-tahuan / kebodohan mereka; karena ia tidak bisa mendapatkan apa-apa
oleh doa kecuali iman berjalan dulu, yang merupakan satu-satunya hal yang
membuka pintu gerbang bagi kita untuk berdoa; ... Selanjutnya, rasa takut
akan Allah dan kesalehan dengan jelas membuktikan bahwa ia (Kornelius) telah dilahir-barukan oleh Roh. Karena Yehezkiel memberikan pujian ini kepada Allah saja, bahwa Ia
membentuk hati manusia untuk takut kepadaNya, (Yeh 32:40). Dan Yesaya berkata,
bahwa Roh dari rasa takut akan Allah tinggal dalam Kristus, (Yes 11:2), supaya
kita tahu bahwa Ia tidak bisa ditemukan dimanapun kecuali dalam
anggota-anggotaNya. Karena itu merupakan suatu kebodohan yang sangat besar
untuk membayangkan / menganggap bahwa seseorang dalam diri Kornelius, yang,
mempunyai alam sebagai pembimbingnya, bisa mendapatkan hidup kekal, atau
berusaha untuk datang ke sana. Karena itu mereka berargumentasi dengan
tolol, bahwa kita bisa mengantisipasi / mendahului kasih karunia Allah dengan
jasa pekerjaan / perbuatan baik. Selanjutnya, jika pekerjaan / perbuatan baik
dipandang dengan / oleh iman, itu adalah dari belas kasihan, dan bukan dari
jasa, bahwa Allah menyetujui / mengakui mereka. Karena iman tidak menemukan hal
apapun yang layak di dalam diri kita dengan mana kita bisa memperkenan Allah,
itu meminjam dari Kristus apa yang tidak kita miliki. ... Tetapi di sini
bisa ditanyakan suatu pertanyaan, Apakah iman membutuhkan pengetahuan tentang
Kristus, atau iman cukup puas hanya dengan keyakinan akan belas kasihan Allah?
karena Kornelius kelihatannya sama sekali tidak tahu apapun mengenai Kristus.
Tetapi bisa dibuktikan dengan bukti-bukti yang sehat bahwa iman tidak bisa
dipisahkan dari Kristus; karena jika kita hanya berpegang pada keagungan /
kekuasaan Allah, kita lebih dibingungkan oleh kemuliaanNya dari pada merasakan
kebaikanNya. Karena itu, Kristus harus datang di antaranya, supaya pikiran
manusia bisa mengerti bahwa Allah itu penuh belas kasihan. ... Lebih lagi,
melihat bahwa Ia adalah jalan, kebenaran, dan hidup, (Yoh 14:6); kemanapun
engkau pergi tanpa Dia, engkau akan dilingkupi pada setiap sisi dalam kesalahan,
dan kematian akan menemui engkau pada setiap sisi. Kita bisa dengan mudah
menjawab berkenaan dengan Kornelius. Semua karunia-karunia rohani ditawarkan
kepada kita dalam Kristus; dan khususnya dari mana datangnya kelahiran baru,
kecuali karena kita dicangkokkan ke dalam kematian Kristus, dan manusia lama
kita disalibkan? (Roma 6:5,6). Dan jika Kornelius dibuat menjadi pengambil
bagian dalam Roh Kristus, tidak ada alasan mengapa kita harus berpikir bahwa ia
sama sekali tidak mempunyai iman; juga ia tidak akan begitu memeluk /
mempercayai penyembahan dari Allah yang benar, (yang disembah hanya oleh
orang-orang Yahudi saja), tetapi bahwa ia juga telah mendengar sesuatu tentang
Pengantara yang dijanjikan; sekalipun pengetahuan tentang Dia kabur dan kusut,
tetapi tetap ada sedikit pengetahuan tentang Dia. Siapapun pada saat itu
datang ke Yudea, akan terpaksa untuk mendengar sedikit tentang Mesias, ya, di
sana ada popularitas tentang Dia tersebar melalui negara-negara yang jauh. Karena
itu, Kornelius harus dimasukkan dalam daftar dari bapa-bapa kuno, yang
mengharapkan keselamatan dari Penebus sebelum ia dinyatakan].
Catatan:
a)
Yang dimaksud oleh Calvin dengan ‘bapa-bapa
kuno’ pada bagian akhir dari kutipan di atas pasti adalah
‘orang-orang
percaya jaman Perjanjian Lama’.
b)
Kata ‘Yehezkiel’
dan ‘Yeh 32:40’
pasti salah, karena Yeh 32 hanya sampai ay 32. Mungkin yang
dimaksudkan bukan ‘Yehezkiel’
tetapi ‘Yeremia’. Dan ‘Yeh 32:40’
seharusnya adalah ‘Yer 32:40’.
Yer
32:40 - “Aku akan mengikat perjanjian kekal dengan mereka, bahwa Aku tidak
akan membelakangi mereka, melainkan akan berbuat baik kepada mereka; Aku akan
menaruh takut kepadaKu ke dalam hati mereka, supaya mereka jangan menjauh
dari padaKu”.
Yes 11:2
- “Roh TUHAN akan ada padanya, roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan
keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan TUHAN”.
Bandingkan
juga dengan ayat-ayat ini:
1.
Maz 36:1 - “(1)
Untuk pemimpin biduan. Dari hamba TUHAN, dari Daud. (2) Dosa bertutur di
lubuk hati orang fasik; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu”.
2.
Ro 3:18 - “rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.’”.
Memang
kalau kita melihat konkordansi, maka kata-kata ‘takut
akan Allah’, yang dalam ay 2 ditujukan kepada Kornelius, selalu
ditujukan hanya kepada orang-orang percaya, dan sebaliknya orang-orang yang
tidak percaya selalu tidak mempunyai ‘takut
akan Allah’.
Calvin:
“Augustine
... affirmeth plainly, that Cornelius could not pray unless he had faith” (= Agustinus ... menegaskan dengan jelas, bahwa Kornelius tidak bisa
berdoa kecuali ia mempunyai iman).
Kesimpulan:
Kornelius sudah percaya, dan itu menyebabkan munculnya pekerjaan / perbuatan
baik yang memperkenan Allah, dan karena semua ini, maka Allah menambahkan injil
kepadanya.
2)
Kalau memang Kornelius sudah percaya / beriman sebelum ia diinjili oleh
Petrus, lalu untuk apa Petrus memberitakan Injil kepadanya?
a) Injil merupakan
terang yang jauh lebih besar dari hukum Taurat.
1.
Itu sebabnya dikatakan oleh Yesus bahwa nabi-nabi ingin mendengar apa
yang didengar oleh murid-murid Yesus.
Mat 13:16-17
- “(16) Tetapi berbahagialah matamu karena melihat dan telingamu karena
mendengar. (17) Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya banyak nabi dan orang
benar ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin
mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya”. Bdk. Luk 10:23-24.
2.
Hukum Taurat bukannya berbeda / bertentangan dengan Injil. Sebetulnya
keduanya sama, hanya saja Injil lebih jelas / terang dari pada hukum Taurat.
a.
Bahkan Abraham juga tahu dan percaya tentang Kristus.
Yoh
8:56 - “Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hariKu dan
ia telah melihatnya dan ia bersukacita.’”.
KJV:
‘Your father Abraham rejoiced to see my day: and he saw [it], and
was glad’ (= Bapamu Abraham bersukacita untuk
melihat hariKu: dan ia melihatnya, dan bersukacita).
John Calvin:
“Even
if the sight of something far off was rather indistinct, Abraham nevertheless
had assurance of good hope. From this came that joyousness which accompanied the
holy patriarch even to his death”
(= Bahkan jika pemandangan tentang sesuatu yang jauh
agak tidak jelas, Abraham bagaimanapun mempunyai keyakinan tentang pengharapan
yang baik. Dari ini datang sukacita itu yang menyertainya bahkan sampai pada
kematiannya) - ‘Institutes of the Christian Religion’,
Book II, Chapter IX, no 1.
b.
Musa juga menulis / mengajar tentang Kristus.
Yoh 5:46
- “Sebab jikalau kamu percaya kepada Musa, tentu kamu akan percaya juga
kepadaKu, sebab ia telah menulis tentang Aku”.
Jadi,
biarpun Musa / Perjanjian Lama menulis tentang Kristus, jelas bahwa Injil /
Perjanjian Baru menulis lebih jelas tentang Kristus.
c.
Yohanes Pembaptis memberi terang lebih banyak dari hukum Taurat, tetapi
Injil memberi terang lebih banyak dari ajaran Yohanes Pembaptis.
John Calvin:
“John
stood between the law and the gospel, holding an intermediate office related to
both. He called Christ the ‘Lamb of God’ and the sacrifice for the cleansing
of sins (John 1:29), thus setting forth the sum of the gospel. Yet he did not
express that incomparable power and glory which at length shone forth in the
resurrection. Hence, Christ said that he was not equal to the apostles; this is
the meaning of his words: ‘John excels among the sons of women, yet he who is
least in the Kingdom of Heaven is greater than he’ (Matthew 11:11 p.). He does
not commend here the persons of men, but after setting John ahead of all the
prophets, he raises the preaching of the gospel to the highest rank”
[= Yohanes berdiri di antara hukum Taurat dan injil,
memegang jabatan pengantara yang berhubungan dengan keduanya. Ia menyebut
Kristus ‘Anak Domba Allah’ dan korban untuk menghapus dosa (Yoh 1:29),
dengan demikian mengajukan inti sari dari injil. Tetapi ia tidak menyatakan
kuasa dan kemuliaan yang tak ada bandingannya yang akhirnya bersinar dalam
kebangkitan. Karena itu, Kristus mengatakan bahwa ia tidak setara dengan
rasul-rasul; inilah arti dari kata-kataNya: ‘di antara mereka yang dilahirkan
oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes
Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya’
(Mat 11:11). Di sini Ia tidak memuji pribadi-pribadi manusia, tetapi setelah
meletakkan Yohanes di depan semua nabi-nabi, Ia meninggikan pemberitaan injil
pada tingkat yang tertinggi] - ‘Institutes of the
Christian Religion’, Book II, Chapter IX, no 5.
John Calvin:
“And
John the Baptist’s statement - ‘No one has ever seen God; the only-begotten
Son, who is in the bosom of the Father, has made him known’ (John 1:18) - does
not exclude the pious who died before Christ from the fellowship of the
understanding and light that shine in the person of Christ. But, by comparing
their lot with ours, he teaches that those mysteries which they but glimpsed in
shadowed outline are manifest to us”
[= Dan pernyataan Yohanes Pembaptis - ‘Tidak
seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di
pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakanNya’ (Yoh 1:18) - tidak mengeluarkan
orang-orang saleh yang mati sebelum Kristus dari persekutuan tentang pengertian
dan terang yang bersinar dalam pribadi Kristus. Tetapi, dengan membandingkan
nasib / bagian mereka dengan nasib / bagian kita, ia mengajar bahwa
misteri-misteri, yang hanya mereka lihat sekilas dalam garis besar / sketsa yang
dinaungi bayang-bayang, dinyatakan kepada kita] - ‘Institutes
of the Christian Religion’, Book II, Chapter IX, no 1.
John Calvin:
“the
gospel points out with the finger what the law foreshadowed under types”
(= injil menunjuk dengan jari apa yang hukum Taurat
bayangkan di bawah type-type) - ‘Institutes of the
Christian Religion’, Book II, Chapter IX, no 3.
John Calvin:
“the
gospel did not so supplant the entire law as to bring forward a different way of
salvation. Rather, it confirmed and satisfied whatever the law had promised,
and gave substance to the shadows. ... where the whole law is concerned, the
gospel differs from it only in clarity of manifestation” [=
injil tidak begitu menggantikan seluruh hukum Taurat sehingga mengemukakan
suatu jalan keselamatan yang berbeda. Tetapi, injil meneguhkan dan memuaskan
apapun yang dijanjikan oleh hukum Taurat, dan memberi zat / bahan pada
bayangannya. ... dimana seluruh hukum Taurat dipersoalkan, injil berbeda
darinya hanya dalam kejelasan pernyataan]
- ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter IX,
no 4.
b)
Kornelius mempunyai pengertian tentang hukum Taurat, dan sekarang ia
diberi terang dari Injil, yang jauh lebih terang dari terang yang diberikan oleh
hukum Taurat.
Perlu
diingat bahwa Kornelius hidup pada masa dimana baru saja terjadi peralihan dari
hukum Taurat kepada Injil. Seandainya ia hidup dalam jaman Perjanjian Lama, maka
pengetahuan / pengertiannya tentang hukum Taurat, dan juga imannya pada hukum
Taurat, sudah dianggap memadai / cukup. Tetapi karena saat itu sudah terjadi
peralihan ke dalam jaman Perjanjian Baru, maka ia harus mempunyai pengertian
tentang injil dan iman kepada injil / Yesus Kristus.
Calvin
mengutip Mal 4:2 yang berbunyi: “akan terbit surya kebenaran”,
dan lalu berkata sebagai berikut:
John Calvin:
“By
these words he teaches that while the law serves to hold the godly in
expectation of Christ’s coming, at his advent they should hope for far more
light. For this reason, Peter says: ‘The prophets … searched and
diligently inquired about this salvation,’ which has now been made manifest by
the gospel (1Peter 1:10). And ‘it was revealed to them that they were serving
not themselves,’ or their age, ‘but us, in the things which have … been
announced’ through the gospel (1Peter 1:12 p.). ... today the grace of which
they bore witness is put before our very eyes. They had but a slight taste of
it; we can more richly enjoy it”
[= Dengan kata-kata ini ia mengajar bahwa
sementara hukum Taurat melayani untuk memegang orang-orang saleh dalam
pengharapan tentang kedatangan Kristus, pada kedatanganNya mereka harus
berharap untuk terang yang lebih besar. Untuk alasan ini, Petrus berkata:
‘Nabi-nabi ... meneliti dan menyelidiki dengan rajin tentang keselamatan
ini’, yang sekarang telah dinyatakan oleh injil (1Pet 1:10). Dan
‘kepada mereka telah dinyatakan, bahwa mereka bukan melayani diri mereka
sendiri’, atau jaman mereka, ‘tetapi kami, dalam hal-hal yang telah ...
diumumkan’ melalui injil (1Pet 1:12). ... hari ini kasih karunia tentang mana
mereka memberikan kesaksian diletakkan di depan mata kita. Mereka hanya
mendapatkan sedikit cicipan tentangnya; kita bisa menikmatinya dengan lebih
kaya] - ‘Institutes of the Christian Religion’,
Book II, Chapter IX, no 1.
Catatan:
1Pet 1:10,12 dalam kutipan di atas ini tidak saya ambil dari Kitab Suci
Indonesia tetapi saya terjemahkan dari bahasa Inggris.
c)
Kornelius memang juga sudah mempunyai pengetahuan tentang Kristus, tetapi
masih kabur.
Barnes’
Notes (ay 36):
“The
whole passage may be thus expressed: Peter had been asked to teach Cornelius and
his assembled friends. It was expected, of course, that he would instruct him in
regard to the true doctrines of religion - the doctrine which had been
communicated to the Jews”
(= Seluruh text bisa dinyatakan seperti ini: Petrus
telah diminta untuk mengajar Kornelius dan teman-temannya yang berkumpul. Tentu
saja diharapkan bahwa ia akan mengajarnya berkenaan dengan ajaran yang benar
dari agama - ajaran yang telah diberikan kepada orang-orang Yahudi).
Barnes
lalu mengutip ay 36-38: “(36) Itulah firman yang Ia suruh sampaikan kepada
orang-orang Israel, yaitu firman yang memberitakan damai sejahtera oleh Yesus
Kristus, yang adalah Tuhan dari semua orang. (37) Kamu tahu tentang
segala sesuatu yang terjadi di seluruh tanah Yudea, mulai dari Galilea, sesudah
baptisan yang diberitakan oleh Yohanes, (38) yaitu tentang Yesus dari Nazaret:
bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia, yang
berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang
dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia.”.
Dan
ia lalu melanjutkan dengan kata-kata sebagai berikut:
Barnes’
Notes (ay 36):
“Peter
here assumes that Cornelius had some knowledge of the principal events of the
life of the Saviour, though it was obscure and imperfect; and his discourse
professes only to state this more fully and clearly” (= Di sini Petrus menganggap bahwa Kornelius
telah mempunyai sebagian pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa utama dari
kehidupan dari sang Juruselamat, sekalipun itu kabur dan tidak sempurna; dan
percakapan / pelajarannya hanya untuk menyatakan hal ini dengan lebih penuh dan
lebih jelas).
Catatan:
perhatikan kata-kata ‘kamu tahu’
pada awal ay 37! Ini jelas menunjukkan bahwa Kornelius pasti tahu-tahu hal-hal
tertentu tentang Kristus, tetapi masih kabur, sehingga Petrus memberi penjelasan
yang lebih jelas.
d)
Kornelius sudah percaya pada apa yang diajarkan oleh hukum Taurat, dan
sekarang ia harus percaya pada Injil / Yesus Kristus.
Matthew
Henry: “He
must send forthwith to Joppa, and enquire for one Simon Peter; ... Now here are
two things very surprising, and worthy our consideration: - [1.] Cornelius prays
and gives alms in the fear of God, is religious himself and keeps up religion in
his family, and all this so as to be accepted of God in it, and yet there is
something further that he ought to do - he ought to embrace the Christian
religion, now that God has established it among men. Not, He may do
it if he pleases; it will be an improvement and entertainment to him. But, He must
do it; it is indispensably necessary to his acceptance with God for the
future, though he has been accepted in his services hitherto. He that
believed the promise of the Messiah must now believe the performance of that
promise. Now that God has given a further record concerning his Son than
what had been given in the Old-Testament prophecies he requires that we receive
this when it is brought to us; and now neither our prayers nor our alms can come
up for a memorial before God unless we believe in Jesus Christ, for it is that
further which we ought to do (= Ia harus mengutus
orang ke Yope, dan meminta Simon Petrus untuk datang; ... Sekarang di sini ada
dua hal yang sangat mencengangkan, dan layak untuk direnungkan: - (1.) Kornelius
berdoa dan memberi sedekah dalam takut akan Allah, dan ia sendiri sangat
religius dan ia meneruskan / memelihara agama dalam keluarganya, dan semua ini
dengan cara sedemikian rupa sehingga diterima oleh Allah di dalamnya, tetapi
di sana ada sesuatu yang lebih jauh yang harus ia lakukan - ia harus memeluk /
mempercayai agama Kristen, karena sekarang Allah telah menegakkannya di antara
manusia. Bukan bahwa ia boleh melakukan hal itu kalau ia
menyenanginya; itu akan merupakan suatu peningkatan dan hiburan baginya. Tetapi
ia harus melakukannya; itu merupakan sesuatu yang mutlak sangat
diperlukan bagi penerimaan Allah terhadapnya di masa yang akan datang,
sekalipun ia telah diterima dalam pelayanan / penyembahannya sampai saat itu. Ia
yang percaya pada janji tentang Mesias sekarang harus mempercayai pelaksanaan
dari janji itu. Sekarang karena Allah telah memberikan catatan lebih jauh
tentang AnakNya dari pada apa yang telah diberikan dalam nubuat-nubuat
Perjanjian Lama, Ia menghendaki / mengharuskan bahwa kita menerima ini pada
waktu ini dibawa kepada kita; dan sekarang baik doa-doa kita maupun sedekah kita
tidak bisa datang kepada Allah sebagai peringatan kecuali kita percaya kepada
Yesus Kristus, karena itu adalah hal lebih jauh yang harus kita lakukan).
Mungkin
sekali kasus Kornelius sama / mirip dengan kasus yang diceritakan dalam Kis 19.
Setidaknya, itu merupakan pandangan dari Calvin dan Jamieson, Fausset &
Brown.
Kis 19:1-7
- “(1) Ketika Apolos masih di Korintus, Paulus sudah menjelajah
daerah-daerah pedalaman dan tiba di Efesus. Di situ didapatinya beberapa orang
murid. (2) Katanya kepada mereka: ‘Sudahkah kamu menerima Roh Kudus, ketika
kamu menjadi percaya?’ Akan tetapi mereka menjawab dia: ‘Belum, bahkan kami
belum pernah mendengar, bahwa ada Roh Kudus.’ (3) Lalu kata Paulus kepada
mereka: ‘Kalau begitu dengan baptisan manakah kamu telah dibaptis?’ Jawab
mereka: ‘Dengan baptisan Yohanes.’ (4) Kata Paulus: ‘Baptisan Yohanes
adalah pembaptisan orang yang telah bertobat, dan ia berkata kepada orang
banyak, bahwa mereka harus percaya kepada Dia yang datang kemudian dari padanya,
yaitu Yesus.’ (5) Ketika mereka mendengar hal itu, mereka memberi diri
mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. (6) Dan ketika Paulus menumpangkan
tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan mulailah mereka
berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat. (7) Jumlah mereka adalah kira-kira
dua belas orang”.
Calvin (tentang Kis
19:4): “So
that he doth plainly show that the faith of the godly who had been taught by
John ought to have looked unto Christ who was to come, lest these men should
stand still being newly entered, without going any farther”
(= Sehingga ia dengan jelas menunjukkan bahwa iman
dari orang-orang saleh yang telah diajar oleh Yohanes harus memandang kepada
Kristus yang akan datang, supaya orang-orang ini, setelah baru masuk tidak
hanya berdiri diam, tanpa berjalan lebih jauh).
Jamieson,
Fausset & Brown:
“The
point of contrast is between two stages in the development of the same Gospel
truth - a rudimental and a ripe Gospel; the former represented by John’s
baptism, in which Christ and His salvation was rather expected than actually
come” (= Titik
kontras di antara kedua tahap dalam perkembangan dari kebenaran Injil yang sama
- suatu Injil yang bersifat dasar / permulaan dan Injil yang matang; yang
pertama diwakili oleh baptisan Yohanes, dalam mana Kristus dan keselamatanNya
lebih diharapkan dari pada betul-betul datang).
John Calvin:
“Cornelius,
with alms and prayers, was acceptable to God (Acts 10:2), ... it appears that he
was then already enlightened and regenerated, so that he lacked nothing but a
clear revelation of the gospel” [= Kornelius,
dengan sedekah-sedekah dan doa-doanya, diterima oleh Allah (Kis 10:2), ...
kelihatannya bahwa pada saat itu ia sudah diterangi dan dilahir-barukan, sehingga
ia tidak kekurangan apapun kecuali wahyu / penyataan yang jelas dari Injil]
- ‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter XXIV, no
10.
3)
Bagaimana seandainya Kornelius yang sudah percaya pada hukum Taurat itu,
lalu menolak Injil, pada saat Petrus memberitakan Injil kepadanya?
Itu
tidak mungkin terjadi! Perlu diingat bahwa kalau Kornelius sudah percaya pada
hukum Taurat, itu berarti bahwa Allah / Roh Kudus pasti sudah melahir-barukan
dia. Bahkan iman pada hukum Taurat itu juga merupakan pemberian / anugerah Allah
kepadanya. Dan Allah tidak mungkin bekerja setengah-setengah. Ia pasti akan
melanjutkan dengan memberi Kornelius iman kepada Yesus Kristus / Injil.
Juga
bandingkan dengan ayat ini.
Yoh 5:46
- “Sebab jikalau kamu percaya kepada Musa, tentu kamu akan percaya
juga kepadaKu, sebab ia telah menulis tentang Aku”.
IV) Kornelius dan keselamatan
1) Orang-orang jaman Perjanjian Lama di luar Israel semuanya
binasa.
a)
Calvin percaya bahwa orang-orang jaman Perjanjian Lama yang ada di luar
Israel binasa.
John Calvin:
“until
the advent of Christ, the Lord set apart one nation within which to confine the
covenant of his grace. ‘When the Most High gave to the nations their
inheritance, when he separated the sons of Adam,’ says Moses, ‘his people
became his possession; Jacob was the cord of his inheritance.’ (Deuteronomy
32:8-9 p.) Elsewhere he addresses the people as follows: ‘Behold, to the Lord
your God belong heaven and... earth with all that is in it. Yet he cleaved only
to your fathers, loved them so that he chose their descendants after them,
namely, you out of all peoples’ (Deuteronomy 10:14,15 p., cf. Vg.). He,
therefore, bestowed the knowledge of his name solely upon that people as if they
alone of all men belonged to him. He lodged his covenant, so to speak, in their
bosom; he manifested the presence of his majesty to them; he showered every
privilege upon them. ... In the meantime, ‘he allowed all other nations to
walk’ in vanity (Acts 14:16), as if they had nothing whatsoever to do with
him. Nor did he give them the sole remedy for their deadly disease - the
preaching of his Word. Israel was then the Lord’s darling son; the others were
strangers. Israel was recognized and received into confidence and safekeeping;
the others were left to their own darkness. Israel was hallowed by God; the
others were profaned. Israel was honored with God’s presence; the others were
excluded from all approach to him”
[= sampai kedatangan Kristus, Tuhan memisahkan
satu bangsa dalam mana Ia membatasi perjanjian kasih karuniaNya. ‘Ketika
Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia
memisah-misah anak-anak manusia’, kata Musa, ‘bagian TUHAN ialah umatNya,
Yakub ialah milik yang ditetapkan bagiNya’. (Ul 32:8-9). Di tempat lain
Ia berbicara kepada umat / bangsaNya sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, ... dan bumi dengan
segala isinya; tetapi hanya oleh nenek moyangmulah hati TUHAN terpikat sehingga
Ia mengasihi mereka, dan keturunan merekalah, yakni kamu, yang dipilihNya dari
segala bangsa’ (Ul 10:14,15, bdk. Vulgate). Karena itu, Ia memberikan
pengetahuan tentang namaNya hanya kepada bangsa itu seakan-akan mereka sendiri
dari semua manusia yang adalah miliknya. Ia mengajukan perjanjianNya, boleh
dikatakan, dalam dada mereka; Ia menyatakan kehadiran dari keagunganNya kepada
mereka; Ia menghujani / mencurahkan setiap hak kepada mereka. ... Sementara itu,
‘Ia mengijinkan semua bangsa-bangsa lain untuk berjalan’ dalam kesia-siaan
(Kis 14:16), seakan-akan mereka tidak mempunyai urusan apapun denganNya. Juga Ia
tidak memberikan mereka satu-satunya obat untuk penyakit mematikan mereka -
pemberitaan FirmanNya. Pada saat itu
Israel adalah anak kesayangan Tuhan; bangsa-bangsa lain adalah orang-orang
asing. Israel dikenali dan diterima ke dalam hubungan yang dekat seperti dengan
seorang sahabat dan penyimpanan yang aman; bangsa-bangsa lain dibiarkan pada
kegelapan mereka sendiri. Israel dikuduskan oleh Allah; bangsa-bangsa yang lain
dicemarkan. Israel dihormati oleh kehadiran Allah; bangsa-bangsa lain
dikeluarkan dari semua pendekatan kepadaNya]
- ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter XI, no 11.
Ul 32:8-9
- “(8) Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada
bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misah anak-anak manusia, maka Ia menetapkan
wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel. (9) Tetapi bagian TUHAN
ialah umatNya, Yakub ialah milik yang ditetapkan bagiNya”.
Ul 10:14-15
- “(14) Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, bahkan langit
yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya; (15) tetapi hanya
oleh nenek moyangmulah hati TUHAN terpikat sehingga Ia mengasihi mereka, dan
keturunan merekalah, yakni kamu, yang dipilihNya dari segala bangsa, seperti
sekarang ini”.
Kis 14:16
- “Dalam zaman yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya
masing-masing”.
KJV:
‘Who in times past suffered all nations to walk in their own ways’ (=
Yang pada waktu lampau membiarkan semua bangsa untuk berjalan dalam jalan mereka
sendiri).
RSV:
‘In past generations he allowed all the nations to walk in their own
ways’ (= Dalam generasi-generasi yang lalu Ia mengijinkan semua
bangsa-bangsa untuk berjalan di jalan mereka sendiri).
Kornelius
sudah masuk jaman Perjanjian Baru, dan ia bukan orang non Yahudi yang secara
total ada di luar Israel, karena seperti telah kita pelajari di depan, ia adalah
seorang semi proselit. Jadi, ia tidak termasuk dalam apa yang Calvin katakan
tentang bangsa-bangsa lain di atas.
Tetapi
filosof Cina itu sangat berbeda dengan Kornelius. Ia pasti termasuk dalam apa
yang Calvin katakan tentang bangsa-bangsa lain di atas.
Jadi,
menggunakan cerita tentang Kornelius sebagai dasar keselamatan filosof Cina
itu, ataupun penerimaan Allah terhadap kebaikan yang dilakukan filosof Cina
itu, jelas merupakan sesuatu yang sangat salah / sesat.
b)
Bagaimana orang-orang Israel jaman Perjanjian Lama bisa diselamatkan,
padahal Kristus belum mati menebus dosa?
1. Penebusan Kristus berlaku untuk mereka (berlaku surut).
John Calvin:
“At
the moment of his resurrection, he deemed many of the saints worthy of sharing
in his resurrection and let them be seen in the city of Jerusalem (Matthew
27:52-53). In this he has given a sure pledge that whatever he did or suffered
in acquiring eternal salvation pertains to the believers of the Old Testament as
much as to ourselves” [= Pada saat kebangkitanNya, Ia menganggap
banyak orang-orang kudus layak untuk ambil bagian dalam kebangkitanNya dan
membiarkan mereka terlihat dalam kota Yerusalem (Mat 27:52-53). Dalam hal ini Ia
telah memberikan suatu janji yang pasti bahwa apapun yang Ia lakukan atau derita
dalam mendapatkan keselamatan kekal berhubungan dengan orang-orang percaya dari
Perjanjian Lama sama seperti dengan diri kita sendiri (orang-orang
percaya dari Perjanjian Baru)] - ‘Institutes of the Christian
Religion’, Book II, Chapter X, no 23.
Mat 27:52-53
- “(52) kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus yang telah meninggal
bangkit. (53) Dan sesudah kebangkitan Yesus, merekapun keluar dari kubur, lalu
masuk ke kota kudus dan menampakkan diri kepada banyak orang”.
Catatan:
Calvin beranggapan bahwa bangkitnya orang-orang kudus ini bukan terjadi pada
saat Yesus mati, tetapi pada saat Yesus bangkit.
2.
Mereka (orang-orang Perjanjian Lama) tetap diselamatkan karena iman
saja, iman kepada Kristus, kepada Kristus yang akan datang.
Ini
sudah saya bicarakan dalam pelajaran yang lalu, tetapi di sini saya ingin
menambahkan kata-kata dari Calvin dan Louis Berkhof.
John Calvin:
“When,
for example, Naaman the Syrian inquired of the prophet as to the proper way of
worshiping God, it is not likely that he was instructed concerning the Mediator.
Still, his piety is praised (2Kings 5:1-14; Luke 4:27). Cornelius, a Gentile and
a Roman, could scarcely grasp what was known only obscurely to the Jews, and not
to all of them. Yet his alms and his prayers were acceptable to God (Acts
10:31). And Naaman’s sacrifice was approved by the prophet’s response
(2Kings 5:17-19). Neither could have occurred except by faith. The same
reasoning applies to the eunuch to whom Philip was brought: unless he had been
endowed with some faith, he would not have undertaken the labor and expense of a
difficult journey in order to worship (Acts 8:17). Yet we see that when asked by
Philip, he showed his ignorance of the Mediator (Acts 8:31). And I even confess
that their faith was in some part
implicit, not only with respect to the person of Christ, but also
with respect to the power and office enjoined upon him by the Father. In the
meantime, it is certain that they were instructed in principles such as might
give them some taste, however small, of Christ. This ought not to seem strange,
for the eunuch would not have hastened to Jerusalem from a far-off region to
worship an unknown God; and certainly Cornelius, having once embraced the Jewish
religion, did not spend much time without becoming acquainted with the rudiments
of true doctrine. As far as Naaman was concerned, it would have been too absurd,
when Elisha instructed him concerning small things, to have been silent on the
principal point. Therefore, although the knowledge of Christ was obscure
among them, it is inconceivable to suppose that there was none at all;
because they practiced the sacrifices of the law, which by their very end - that
is, Christ - should be distinguished from the false sacrifices of the Gentiles”
[= Sebagai contoh, pada saat Naaman orang Aram
bertanya kepada sang nabi berkenaan dengan cara yang benar untuk menyembah
Allah, rasanya kecil kemungkinannya bahwa ia diajar berkenaan dengan sang
Pengantara. Tetapi tetap saja kesalehannya dipuji (2Raja 5:1-14; Luk 4:27).
Kornelius, seorang non Yahudi dan seorang Romawi, hampir tidak bisa mengerti apa
yang diketahui hanya secara kabur oleh orang-orang Yahudi, dan bahkan tidak
kepada semua dari mereka. Tetapi sedekah-sedekah dan doa-doanya diterima oleh
Allah (Kis 10:31). Dan persembahan / korban Naaman direstui / disetujui oleh
jawaban sang nabi (2Raja 5:17-19). Yang manapun dari kedua hal ini tidak bisa
terjadi kecuali oleh iman. Pemikiran / pertimbangan yang sama berlaku untuk
sida-sida kepada siapa Filipus dibawa: kecuali ia telah diberi dengan sedikit
iman, ia tidak akan melakukan jerih payah dan pengeluaran dari suatu perjalanan
yang sukar untuk beribadah / menyembah (Kis 8:17). Tetapi kita melihat bahwa
pada waktu ditanya oleh Filipus, ia menunjukkan ketidak-tahuannya tentang sang
Pengantara (Kis 8:31). Dan saya bahkan mengakui bahwa sebagian
iman mereka bersifat implicit, bukan hanya berkenaan dengan pribadi
Kristus, tetapi juga berkenaan dengan kuasa dan tugas / jabatan yang ditentukan
kepadaNya oleh sang Bapa. Sementara itu, adalah pasti bahwa mereka diajar
prinsip-prinsip yang bisa memberi mereka sedikit kecapan, betapapun kecilnya,
tentang Kristus. Ini bukan hal yang aneh, karena sida-sida itu tidak akan
tergesa-gesa pergi ke Yerusalem dari daerah yang sangat jauh untuk beribadah /
menyembah Allah yang tak dikenal; dan pasti Kornelius, setelah sekali memeluk
agama Yahudi, tidak membuang banyak waktu tanpa berusaha mengenal dasar-dasar
dari ajaran yang benar. Sejauh Naaman
dipersoalkan, adalah menggelikan, pada waktu Elisa mengajar dia berkenaan
hal-hal yang kecil, tetapi diam / bungkam tentang pokok-pokok yang prinsip. Karena
itu, sekalipun pengetahuan tentang Kristus kabur di antara mereka, adalah tidak
mungkin untuk dianggap bahwa mereka tidak mempunyainya sama sekali; karena
mereka mempraktekkan korban-korban dari hukum Taurat, yang oleh tujuan
korban-korban itu - yaitu Kristus - harus dibedakan dari korban-korban palsu
dari orang-orang non Yahudi] -
‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter II, no 32.
Di
bagian lain dari bukunya (‘Institutes of the Christian Religion’,
Book III, Chapter II, no 5), Calvin mengatakan bahwa ‘implicit faith’ itu adalah ‘the preparation of
faith’ (= persiapan iman) atau ‘the beginning of faith’ (= permulaan
iman). Dan ia memberi contoh:
a.
Yoh 4:50,53 - “(50) Kata Yesus kepadanya: ‘Pergilah, anakmu
hidup!’ Orang itu percaya akan perkataan yang dikatakan Yesus
kepadanya, lalu pergi. ... (53) Maka teringatlah ayah itu, bahwa pada saat
itulah Yesus berkata kepadanya: ‘Anakmu hidup.’ Lalu iapun percaya,
ia dan seluruh keluarganya”.
b.
Yoh 4:42 - “dan mereka berkata kepada perempuan itu: ‘Kami
percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah
mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.’”.
Dari
kedua text ini terlihat dengan jelas bahwa seseorang bisa ‘percaya’, lalu
setelah itu ‘percaya lagi’. Yang dianggap sebagai ‘implicit faith’ oleh
Calvin adalah iman yang pertama, yang ia katakan sebetulnya merupakan persiapan
/ permulaan iman.
Louis
Berkhof: “D. The Idea of Faith in
Scripture. 1. In the Old Testament.
... Faith is never treated as a novelty of the new covenant, nor is any
distinction drawn between the faith of the two covenants.
There is a sense of continuity, and the proclamation of faith is regarded as
the same in both dispensations, John 5:46; 12:38,39; Hab 2:4; Rom 1:17;
10:16; Gal 3:11; Heb 10:38. In both Testament faith is the same radical
self-commitment to God; not merely as the highest good of the soul, but as the
gracious Saviour of the sinner. The only difference that is apparent, is due
to the progressive work of redemption, and this is more or less evident even
within the confines of the Old Testament itself. ... In the earlier portions of
the Old Testament ... The promise of God is in the foreground, and the case of
Abraham is designed to set forth the idea that the proper response to it is of
faith. The whole life of Noah was determined by trust in God and in His
promises, but it is especially Abraham that is set before us as the typical
believer, who commits himself to God with unwavering trust in His promises and
is justified by faith. b. In the period of the law. ... The law was not substituted for the
promise; neither was faith supplanted by works. Many of the Israelites,
indeed, looked upon the law in a purely legalistic spirit and sought to base
their claim to salvation on a scrupulous fulfilment of it as a body of external
precepts. But in the case of those who understood its real nature, who felt
the inwardness and spirituality of the law, it served to deepen the sense of sin
and to sharpen the conviction that salvation could be expected only from the
grace of God. The essence of real piety was ever-increasingly seen to
consist in a confident trust in the God of salvation. While the Old Testament
clearly stresses the fear of the Lord, a large number of expressions, such as
hoping, trusting, seeking refuge in God, looking to Him, relying on Him, fixing
the heart on Him, and cleaving to Him - make it abundantly evident that this
fear is not a craven but a child-like, reverent fear, and emphasize the
necessity of that loving self-commitment to God which is the essence of saving
faith. Even in the period of the law faith is distinctly soteriological, looking
to the Messianic salvation. It is a trusting in the God of salvation, and a firm
reliance on His promises for the future. 2. In the New Testament. When the Messiah came in fulfilment
of the prophecies, bringing the hoped-for salvation, it became necessary for the
vehicles of God’s revelation to direct God’s people to the person of their
Redeemer. This was all the more necessary in view of the fact that the
fulfilment came in a form which many did not expect, and which apparently did
not correspond with the promise. a. In the Gospels. The demand for faith in
Jesus as the Redeemer, promised and hoped for, appeared as something
characteristic of the new age. ‘To believe’ meant to become a Christian.
This demand seemed to create a gulf between the old dispensation and the new.
The beginning of the latter is even called ‘the coming of faith,’ Gal.
3:23,25. It is the characteristic thing of the Gospels that in them Jesus is
constantly offering Himself as the object of faith, and that in connection with
the highest concerns of the soul. ... b. In the Acts. In the Acts of the
Apostles faith is required in the same general sense. By the preaching of the
apostles men are brought to the obedience of faith in Christ; and this faith
becomes the formative principle of the new community” (= D. Gagasan tentang iman dalam Kitab
Suci. 1. Dalam Perjanjian Lama.
... Iman tidak pernah diperlakukan sebagai sesuatu yang baru dari Perjanjian
Baru, juga tidak ada perbedaan apapun yang digambarkan antara iman dari kedua
perjanjian itu. Ada suatu pengertian / arti yang berkelanjutan, dan pemberitaan
iman dianggap sama dalam kedua jaman, Yoh 5:46; 12:38,39; Hab 2:4; Ro 1:17;
10:16; Gal 3:11; Ibr 10:38. Dalam kedua Perjanjian, iman adalah penyerahan
diri sendiri secara radikal kepada Allah; bukan semata-mata sebagai hal yang
terbaik dari jiwa, tetapi sebagai Juruselamat yang penuh kasih karunia dari
orang berdosa. Satu-satunya
perbedaan yang terlihat, disebabkan oleh pekerjaan penebusan yang bersifat
progresif, dan ini lebih atau kurang jelas bahkan dalam batasan dari Perjanjian
Lama sendiri. ... Dalam bagian yang paling awal dari Perjanjian Lama ...
Janji-janji Allah ada di latar depan, dan kasus Abraham direncanakan / ditujukan
untuk mengemukakan gagasan bahwa tanggapan yang benar terhadapnya adalah iman.
Seluruh hidup Nuh diarahkan oleh kepercayaan kepada Allah dan janji-janjiNya,
tetapi adalah Abraham yang secara khusus diletakkan di depan kita sebagai orang
percaya yang khas, yang menyerahkan dirinya sendiri kepada Allah dengan
kepercayaan yang teguh pada janji-janjiNya dan dibenarkan oleh iman. b. Dalam
jaman hukum Taurat. ... Hukum Taurat tidak menggantikan janji; juga iman
tidak digantikan oleh pekerjaan / perbuatan baik. Memang banyak orang Israel
memandang pada hukum Taurat dengan roh legalistik yang murni dan berusaha untuk
mendasarkan tuntutan keselamatan mereka pada penggenapan / ketaatan sampai hal
yang sekecil-kecilnya pada hukum Taurat sebagai suatu kumpulan dari
ajaran-ajaran lahiriah. Tetapi dalam kasus dari mereka yang mengerti sifat
hukum Taurat yang sesungguhnya, yang merasakan sifat batin dan rohani dari hukum
Taurat, hukum Taurat itu berfungsi untuk memperdalam perasaan / pengertian
tentang dosa, dan mempertajam keyakinan bahwa keselamatan hanya bisa diharapkan
dari kasih karunia Allah. Hakekat dari kesalehan yang sesungguhnya makin
lama makin terlihat dalam suatu kepercayaan yang penuh keyakinan kepada Allah
dari keselamatan. Sementara Perjanjian Lama dengan jelas menekankan rasa takut
akan Tuhan, tetapi sejumlah besar ungkapan, seperti ‘berharap’,
‘mempercayai’, ‘mencari perlindungan dalam / kepada Allah’, ‘memandang
kepadaNya’, ‘bersandar kepadaNya’, ‘mengarahkan / menancapkan hati
kepadaNya’, dan ‘melekat kepadaNya’ - membuat jelas dengan
berlimpah-limpah bahwa rasa takut ini bukanlah betul-betul takut, tetapi rasa
takut dari seorang anak yang penuh dengan rasa hormat, dan menekankan perlunya
penyerahan diri yang penuh kasih kepada Allah, yang merupakan hakekat dari iman
yang menyelamatkan. Bahkan dalam jaman hukum Taurat, iman dengan jelas
berhubungan dengan keselamatan, memandang pada keselamatan dari Mesias. Iman itu
adalah suatu tindakan percaya kepada Allah dari keselamatan, dan suatu
kebersandaran yang teguh pada janji-janjinya untuk masa yang akan datang. 2. Dalam
Perjanjian Baru. Pada saat Mesias datang dalam penggenapan dari
nubuat-nubuat, membawa keselamatan yang diharapkan, maka menjadi perlu untuk
sarana / cara dari wahyu Allah untuk mengarahkan umat Allah kepada pribadi dari
Penebus mereka. Ini makin perlu mengingat fakta bahwa penggenapan itu datang
dalam bentuk yang tidak diharapkan oleh banyak orang, dan yang kelihatannya
tidak sesuai dengan janjinya. a. Dalam Injil-injil. Tuntutan untuk iman
kepada Yesus sebagai Penebus yang dijanjikan dan diharapkan, terlihat sebagai
sesuatu yang merupakan sifat dari jaman yang baru. ‘Percaya’ berarti
‘menjadi seorang Kristen’. Tuntutan ini kelihatannya menciptakan suatu
jurang pemisah antara jaman Perjanjian Lama dan jaman Perjanjian Baru. Permulaan
dari jaman Perjanjian Baru bahkan disebut ‘datangnya iman’, Gal 3:23,25. Itu
merupakan sesuatu yang khas dari Injil-injil bahwa dalam Injil-injil itu Yesus
secara tetap menawarkan dirinya sendiri sebagai obyek dari iman, dan itu dalam
hubungan dengan kepedulian tertinggi tentang jiwa. ... b. Dalam Kisah Rasul.
Dalam Kisah Rasul, iman dituntut dalam arti umum yang sama. Oleh pemberitaan
dari rasul-rasul, orang-orang dibawa pada ketaatan dari iman kepada Kristus; dan
iman ini menjadi prinsip yang berhubungan dengan pertumbuhan dari masyarakat
yang baru) - ‘Systematic
Theology’, hal 498-499.
Gal
3:23-25 - “(23) Sebelum iman itu datang kita berada di bawah
pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan. (24)
Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita
dibenarkan karena iman. (25) Sekarang iman itu telah datang, karena itu
kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun”.
2) Sekarang, bagaimana dengan keselamatan Kornelius?
Dalam
pembahasan-pembahasan yang lalu kita sudah melihat bahwa Kornelius adalah
seorang semi proselit, dan ia sudah beriman (dengan iman Perjanjian Lama). Jadi
kelihatannya, kita harus menyimpulkan bahwa ia sudah selamat. Tetapi ada problem
dengan pandangan ini.
a)
Ia belum menerima Roh Kudus, dan baru menerimanya setelah Petrus
memberitakan Injil kepadanya (ay 36-44).
Jawaban
terhadap problem ini:
Lenski:
“All those who spoke with tongues at the time of Pentecost were already
saved, ... All those who heard Peter in the house of Cornelius had faith and
were saved before the Spirit came and gave them the ability to speak with
tongues. The same is true with regard to the Samaritans, 8:15-17. This
falling of the Spirit upon people, this charismatic gift of the Spirit, is
entirely separate from the Spirit reception by faith for salvation
and by baptism for regeneration and renewing (Tit. 3:5)” [=
Semua mereka yang berbicara dengan bahasa Roh pada hari Pentakosta sudah
diselamatkan, ... Semua orang yang mendengar Petrus di rumah Kornelius telah
mempunyai iman dan telah diselamatkan sebelum Roh datang dan memberi mereka
kemampuan berbicara dengan bahasa Roh. Hal yang sama juga benar berkenaan
dengan orang-orang Samaria, Kis 8:15-17. Turunnya Roh kepada orang-orang,
karunia kharismatik dari Roh ini, sama sekali terpisah dari penerimaan Roh oleh
iman untuk keselamatan dan oleh baptisan kelahiran baru dan pembaharuan
(Tit 3:5)] - hal 431.
Lenski:
“We have these three in a direct line: 2:2-13; 8:15-17; and now
10:44-46. The miracle is the same, a sudden speaking in languages the speakers
had never learned, first by Jewish, secondly by Samaritan, and now thirdly by
Gentile Christians, the plain intention being to show that God made no
difference between them, in particular by placing the Samaritan and the Gentile
believers on a par with the Jewish believers” (= Kita
mempunyai ketiga hal / text ini dalam suatu garis lurus: 2:2-13;
8:15-17; dan sekarang 10:44-46. Mujijatnya sama, mendadak berbicara dalam bahasa
Roh yang tak pernah dipelajari oleh para pembicaranya, pertama-tama oleh
orang-orang Yahudi, yang kedua oleh orang-orang Samaria, dan sekarang yang
ketiga oleh orang-orang Kristen non Yahudi, maksud yang jelas adalah untuk
menunjukkan bahwa Allah tidak membuat perbedaan di antara mereka, khususnya
dengan menempatkan orang-orang Samaria dan orang-orang non Yahudi pada suatu
persamaan dengan orang-orang percaya Yahudi) - hal 432.
b) Ayat problem.
Kis 11:14
- “Ia akan menyampaikan suatu berita
kepada kamu, yang akan mendatangkan keselamatan bagimu dan bagi seluruh
isi rumahmu”.
KJV:
‘Who shall tell thee words, whereby thou and all thy house shall be saved’
(= Yang akan memberitahu kamu kata-kata, dengan mana
engkau dan seluruh rumahmu akan diselamatkan).
RSV:
‘he will declare to you a message by which you will be saved, you and
all your household’ (= ia
akan menyatakan kepadamu suatu berita dengan mana engkau akan diselamatkan,
engkau dan seluruh rumah tanggamu).
NIV:
‘He will bring you a message through which you and all your household will
be saved’
(= Ia akan membawa kepadamu suatu berita melalui mana
engkau dan seluruh rumah tanggamu akan diselamatkan).
NASB:
‘and he shall speak words to you by which you will be saved, you and
all your household’ (= dan
ia akan mengatakan kata-kata kepadamu dengan mana engkau akan diselamatkan,
engkau dan seluruh rumah tanggamu).
Bagaimana
menafsirkan ayat ini?
1.
Banyak penafsir mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Kornelius
memang belum selamat pada saat itu.
Jamieson,
Fausset & Brown (tentang Kis 11:14): “Let the reader observe here, that
‘salvation’ is made to hang upon ‘words’ - that is, the Gospel message
concerning Christ. The ‘house’ or ‘household’ of Cornelius is here
associated with himself in the promised salvation, because he feared God ‘with
all his house’ (v 2)” [= Hendaklah
para pembaca memperhatikan di sini, bahwa ‘keselamatan’ dibuat tergantung
pada ‘firman’ - yaitu berita Injil berkenaan dengan Kristus. ‘Rumah’
atau ‘rumah tangga’ Kornelius di sini dihubungkan dengan dirinya sendiri
dalam janji keselamatan, karena ia takut akan Allah ‘dengan seisi rumahnya’
(ay 2)].
Catatan:
Ini kelihatannya menunjukkan Kornelius belum selamat. Karena kalau keselamatan
tergantung pada berita Injil, dan ia belum menerima berita Injil itu sampai
Petrus memberitakannya kepadanya, maka jelas bahwa pada saat itu ia belum
selamat.
J.
A. Alexander (tentang Kis 11:14): “‘By which,’ literally, ‘in which,’ i.e. in the hearing, or
rather in the doing of which. The words which Peter was to speak were not merely
doctrinal or theoretical, but practical, preceptive, and imperative. They were
to tell him what to do, and in the doing of it he was to be saved, in the
highest and most comprehensive sense, that of deliverance from all the evils of
his previous condition. ‘And all thy house’ or ‘household,’ who had been
before described as sharers in his fear of God (see above, on ch. 10,2), and no
doubt in his prayers and alms and longing for salvation. To them, as well as to
himself, it pleased God that the words of Peter should be savingly effectual”
[= ‘Dengan mana’, secara hurufiah, ‘dalam
mana’, yaitu dalam mendengar, atau lebih tepat, dalam melakukan hal mana.
Kata-kata yang akan diucapkan oleh Petrus bukanlah semata-mata bersifat
doktrinal atau teoretis, tetapi praktis, bersifat ajaran, dan merupakan
perintah. Kata-kata itu akan memberi tahu dia apa yang harus dilakukan, dan
dalam melakukannya ia akan diselamatkan, dalam arti yang tertinggi dan paling
luas, tentang pembebasan dari semua kejahatan dari kondisinya sebelumnya.
‘Dan seluruh rumahmu’ atau ‘rumah tangga / keluarga’, yang sebelumnya
telah digambarkan sebagai orang-orang yang ikut ambil bagian dalam rasa takutnya
akan Allah (lihat di atas, tentang pasal 10:2), dan tak diragukan dalam doa-doa
dan sedekah-sedekah dan kerinduannya untuk keselamatan. Bagi mereka,
maupun bagi dirinya sendiri, merupakan sesuatu yang memperkenan Allah bahwa kata-kata
dari Petrus harus menyelamatkan secara efektif] - hal 424.
Lenski
(tentang Kis 11:14): “‘Shall
be saved’ is passive and implies the Savior as the agent. Despite his
connection with the synagogue, Cornelius had not yet found salvation as is clear
from 4:12. What Peter says brings out the very things all these Jewish
Christians must realize, namely that they were not saved by circumcision or
legal ordinances of Moses but solely and also completely by the utterances which
contain the gospel and are connected with the Savior. And these utterances were
sufficient to save any man, be he Jew or Gentile” (= ‘Akan
diselamatkan’ adalah pasif dan secara implicit menunjukkan sang Juruselamat
sebagai agen yang menyelamatkan. Sekalipun mempunyai hubungan dengan sinagog,
Kornelius belum menemukan keselamatan, seperti jelas dari 4:12. Apa yang
Petrus katakan membawa / mengeluarkan hal-hal yang harus disadari oleh semua
orang-orang Kristen Yahudi ini, yaitu bahwa mereka tidak diselamatkan oleh sunat
atau peraturan hukum Musa tetapi semata-mata dan juga secara lengkap / sempurna
oleh ucapan-ucapan yang berisikan injil dan berhubungan dengan sang Juruselamat.
Dan ucapan-ucapan ini cukup untuk menyelamatkan siapapun, apakah ia Yahudi atau
non Yahudi) - hal 444.
Catatan:
Lenski memberikan pandangan yang menentang pandangannya sendiri. Bandingkan
dengan kata-katanya yang saya kutip di atas yang menyatakan pandangannya bahwa
Kornelius sudah selamat pada saat itu.
Kis 4:12
- “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia,
sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada
manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.’”.
Thomas
Walker (tentang Kis 11:14): “This
shews that, though Cornelius was sincerely pious and an earnest seeker after
truth, a personal knowledge of Christ was necessary in order to actual
salvation. It also suggests that his prayers and desires took the form of a
deep spiritual longing for the salvation of God” (= Ini
menunjukkan bahwa sekalipun Kornelius saleh secara tulus dan merupakan seorang
pencari kebenaran yang sungguh-sungguh, suatu pengenalan pribadi tentang
Kristus perlu supaya betul-betul selamat. Itu juga menunjukkan bahwa doa-doa
dan keinginan-keinginannya ada dalam bentuk kerinduan rohani yang dalam untuk
keselamatan dari Allah) - hal 252.
Thomas
Walker (tentang Kis 10:35): “Though
the centurion was not yet actually in a state of salvation (11:14), he was an
earnest seeker after it. And those who seek shall find (Matt. 7:7,8)” [= Sekalipun
sang perwira belum betul-betul ada dalam keadaan keselamatan (11:14), ia adalah
seorang pencari keselamatan yang sungguh-sungguh. Dan mereka yang mencari akan
mendapatkan / menemukan (Mat 7:7-8)] - hal 241.
A.
T. Robertson (tentang Kis 11:14):
“Clearly
Cornelius was unsaved in spite of his interest in Jewish worship. Clearly also
the household of Cornelius would likewise be won to Christ by the words of Simon
Peter” (= Jelas bahwa Kornelius ada dalam keadaan tidak
selamat sekalipun ia mempunyai kesenangan dalam ibadah Yahudi. Jelas juga bahwa
rumah tangga / keluarga Kornelius juga dimenangkan kepada Kristus oleh firman
dari Simon Petrus).
The
Biblical Illustrator (New Testament) tentang Kis 11:14: “Cornelius
was no common publican or sinner, but possessed all the qualifications of a
saint, if a saint can grow in the sell of this earth, without a seed from
heaven. If any man could be just with God apart from Christ, surely this is the
man. Yet the Word of God treats him as a sinner, and tells him what he must do
to be saved. There is no escape from the force of this case. It effectually
shuts out all hope of merit” [= Kornelius bukanlah
pemungut cukai atau orang berdosa yang hina, tetapi memiliki semua persyaratan
dari seorang kudus, jika seorang kudus bisa bertumbuh dalam sell (?) dari bumi ini, tanpa suatu benih dari surga. Seandainya seorang
manusia bisa benar dengan Allah terpisah dari Kristus, pasti inilah orang itu.
Tetapi Firman Allah memperlakukan dia sebagai orang berdosa, dan memberitahu dia
apa yang harus ia lakukan untuk diselamatkan. Tidak ada jalan lolos dari
kekuatan dari kasus ini. Itu secara efektif menutup semua pengharapan dari jasa (perbuatan
baik)].
F.
F. Bruce (NICNT) tentang Kis 11:14:
“salvation did not enter Cornelius’s house until Peter came there with
the gospel” (= keselamatan tidak memasuki rumah
Kornelius sampai Petrus datang di sana dengan injil ) - hal 235.
Kalau
pada saat itu Kornelius memang belum selamat, maka ada 2 kemungkinan pandangan
menurut saya:
a.
Pada saat itu Kornelius sudah dilahir-barukan, tetapi belum
sungguh-sungguh beriman kepada Kristus.
Perlu
diingat bahwa dalam theologia Reformed, kelahiran baru harus mendahului iman,
seperti yang dikatakan oleh Louis Berkhof di bawah ini.
Louis
Berkhof: “True
saving faith. ... The seed of faith is implanted in man in regeneration. ... It
is only after God has implanted the seed of faith in the heart that man can
exercise faith” (= Iman yang menyelamatkan yang
benar. ... Benih iman ditanamkan dalam diri manusia dalam kelahiran baru. ...
Hanya setelah Allah telah menanamkan benih iman dalam hati orang berdosalah
manusia bisa beriman) - ‘Systematic
Theology’, hal
503.
b.
Pada saat itu Kornelius sudah beriman, tetapi dengan iman orang-orang
Perjanjian Lama, yaitu iman kepada Kristus yang akan datang. Sedangkan
saat itu sudah masuk jaman Perjanjian Baru, sehingga iman seperti itu belum
memadai untuk keselamatan. Ia harus percaya kepada Kristus yang sudah datang.
Tetapi bagaimanapun, orang yang mempunyai iman Perjanjian Lama seperti ini pasti
akan mendengar Injil dan mempercayainya.
2.
Tetapi ada beberapa penafsir / ahli theologia yang kelihatannya mempunyai
pandangan yang berbeda tentang Kis 11:14 itu
a.
Kata-kata dalam Kis 11:14 itu hanya menunjuk pada doktrin keselamatan /
ajaran tentang keselamatan.
Adam
Clarke: “he
shall tell thee words whereby thou and thy house shall be saved. He shall
announce to you all the doctrine of salvation”
(= ia akan memberitahu engkau kata-kata / firman dengan
mana engkau dan rumahmu akan diselamatkan. Ia akan mengumumkan kepadamu
seluruh doktrin keselamatan).
Kalau
ini benar, maka Kis 11:14 artinya hanyalah bahwa Petrus harus menyampaikan
doktrin keselamatan secara menyeluruh kepada Kornelius, dan tidak berarti bahwa
Kornelius belum selamat.
Keberatan:
kata-kata ‘bagimu
dan bagi seisi rumahmu’ rasanya tak cocok dengan penafsiran ini.
Kis 11:14
- “Ia akan menyampaikan suatu berita
kepada kamu, yang akan mendatangkan keselamatan bagimu dan bagi seluruh isi
rumahmu”.
b.
Kornelius sudah selamat, tetapi ia tidak mempunyai keyakinan keselamatan.
H.
A. Ironside: “Though Cornelius
was a man whose prayers and alms-giving had been accepted by God, therefore of
the very necessity he must have been on the ground of an Old Testament believer.
He was already quickened, but was not what the New Testament calls ‘saved.’
When we speak of being saved we mean far more than being safe. All down the
centuries those who turned to God in repentance were quickened by the Spirit of
God, and in that sense were children of God and went home to heaven at death,
but they did not know positively that they were justified before God. They could
not know for certain that their souls were saved. All these precious truths
awaited revelation in the new dispensation” (= Sekalipun
Kornelius adalah seseorang yang doa-doa dan pemberian sedekah-sedekahnya telah
diterima oleh Allah, dan karena itu pastilah ia berada pada daerah dari orang
percaya Perjanjian Lama. Ia telah dihidupkan, tetapi bukanlah apa yang
Perjanjian Baru sebut ‘diselamatkan’. Pada waktu kita berbicara tentang
‘diselamatkan’ kita memaksudkan lebih jauh dari pada ‘ada dalam keadaan
aman’. Semua yang dalam sepanjang abad-abad yang lalu berbalik kepada Allah
dalam pertobatan dihidupkan oleh Roh Allah, dan dalam arti itu adalah anak-anak
Allah dan pergi ke surga pada saat mati, tetapi mereka tidak mengetahui secara
positif bahwa mereka dibenarkan di hadapan Allah. Mereka tidak bisa tahu dengan
pasti bahwa jiwa-jiwa mereka diselamatkan. Semua kebenaran-kebenaran yang
berharga ini menunggu wahyu dalam jaman Perjanjian Baru) - hal
268-269.
A.
H. Strong: “In Acts 10:35 - ‘in every nation he that feareth him, and worketh
righteousness, is acceptable to him’ - Peter declares, not that Cornelius was
not a sinner, but that God had accepted him through Christ; Cornelius was
already justified, but he needed to know (1) that he was saved, and (2) how he
was saved; and Peter was sent to tell him of the fact, and of the method, of his
salvation in Christ” [= Dalam Kis 10:35 -
‘Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan
kebenaran berkenan kepadaNya’ - Petrus menyatakan, bukan bahwa Kornelius
bukanlah seorang yang berdosa, tetapi bahwa Allah telah menerima dia melalui
Kristus; Kornelius sudah dibenarkan, tetapi ia perlu tahu (1) bahwa ia telah
selamat / diselamatkan, dan (2) bagaimana ia diselamatkan; dan Petrus diutus
untuk memberi tahu dia tentang fakta itu, dan tentang cara / metode, dari
keselamatan dalam Kristus] - ‘Systematic
Theology’, hal 574.
Keberatan:
Kis 11:14 tidak membicarakan ‘keyakinan
keselamatan’
tetapi ‘keselamatan’.
Kis 11:14
- “Ia akan menyampaikan suatu berita
kepada kamu, yang akan mendatangkan keselamatan bagimu dan bagi seluruh
isi rumahmu”.
Catatan:
sekalipun dua pandangan di atas ini (point a dan b) mempunyai keberatan, tetapi
menurut saya keberatan itu tidak mutlak. Alasan saya: dalam banyak kasus ayat
Kitab Suci memang tidak bisa ditafsirkan apa adanya / sesuai kata-katanya secara
hurufiah.
Sukar
untuk mengambil kesimpulan yang pasti tentang keselamatan Kornelius pada saat
itu. Menurut saya, kesukarannya disebabkan karena kita tidak tahu kapan
Kornelius mulai memiliki iman Perjanjian Lama itu.
Kalau
ia sudah memiliki iman Perjanjian Lama itu sebelum kematian Kristus, yang
berarti masih termasuk jaman Perjanjian Lama, maka ia sudah selamat (dan saya
tak percaya ia bisa kehilangan keselamatan).
Tetapi
kalau ia mulai memiliki iman Perjanjian Lama itu setelah masuk jaman Perjanjian
Baru, maka iman Perjanjian Lama itu tidak memadai, dan ia belum selamat. Kalau
kasus kedua ini yang benar, maka mungkin ia sama dengan kasus orang-orang dalam
Kis 19:1-7.
1
2
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perjanjian Lama
Perjanjian Baru
Berdasarkan
kesalehan hidupnya (yang sudah kita bahas di depan), dan juga bahwa ia /
perbuatannya sudah diterima oleh Allah dan memperkenan Allah, saya lebih condong
pada kasus yang pertama. Jadi, ia sudah mempunyai iman Perjanjian Lama sebelum
Kristus mati disalib, dan karena itu ia sudah selamat. Sekalipun waktu berlalu,
dan memasuki jaman Perjanjian Baru setelah kematian Kristus, dan Kornelius belum
mengetahui Injil dengan jelas, tidak mungkin kita menganggap bahwa ia kehilangan
keselamatannya, sekalipun hanya untuk sementara!
Kalau
memang demikian, maka tentang Kis 11:14 tadi, kita harus memilih pandangan ke 2,
yang mengatakan bahwa ayat itu tidak menunjukkan bahwa Kornelius belum selamat.
Memang ada 2 penafsiran di sana (point a. dan b.); yang mana yang benar, tak
terlalu jadi soal.
V) Penjelasan tentang Kis 10:34,35.
Ay
34-35: “(34) Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: ‘Sesungguhnya aku
telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. (35) Setiap orang dari
bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan
kepadaNya”.
1)
Pdt. Stephen Tong mengatakan bahwa ayat ini digunakan oleh beberapa
orang (bukan oleh Pdt. Stephen Tong sendiri) untuk mengatakan bahwa
orang-orang seperti filosof Cina itu bisa diselamatkan. Dan kata-kata Pdt.
Stephen Tong dalam hal ini memang benar, karena memang ada orang-orang seperti
itu, yang terlihat dari kutipan-kutipan di bawah ini.
A.
H. Strong: “The patriarchs, though they had no knowledge of a personal Christ,
were saved by believing in God so far as God had revealed himself to them; and
whosoever among the heathen are saved, must in like manner be saved by casting
themselves as helpless sinners upon God’s plan of mercy, dimly shadowed forth
in nature and providence. But such faith, even among the patriarchs and heathen,
is implicitly a faith in Christ, and would become explicit and conscious
trust and submission, whenever Christ were made known to them (Matt 8:11,12;
John 10:16; Acts 4:12; 10:31,34,35,44; 16:31)” [= Para
kepala keluarga, sekalipun mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang Kristus
yang bersifat pribadi, diselamatkan oleh kepercayaan kepada Allah sejauh Allah
telah menyatakan diriNya sendiri kepada mereka; dan siapapun di antara
orang-orang kafir yang diselamatkan, harus dengan cara yang serupa diselamatkan
dengan melemparkan diri mereka sendiri sebagai orang-orang berdosa yang tak
berdaya kepada rencana Allah tentang belas kasihan, yang digambarkan /
dibayangkan secara samar-samar dalam alam dan providensia. Tetapi iman seperti
itu, bahkan di antara para kepala keluarga dan orang kafir, secara implicit
merupakan iman kepada Kristus, dan akan menjadi kepercayaan dan ketundukan
yang explicit dan sadar, pada waktu Kristus dinyatakan kepada mereka (Mat
8:11,12; Yoh 10:16; Kis 4:12; 10:31,34,35,44; 16:31)] - ‘Systematic
Theology’, hal 842.
Catatan:
istilah ‘patriarch’ tak ada sama katanya dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus
artinya adalah ‘kepala keluarga’, tetapi dalam buku theologia dan tafsiran
digunakan untuk menunjuk kepada Abraham, Ishak dan Yakub, dan juga ke 12 anak
laki-laki Yakub.
Webster’s
New World Dictionary (tentang kata ‘patriarch’):
“the father and ruler of a family or tribe, as one of
the founders of the ancient Hebrew families: in the Bible, Abraham, Isaac, Jacob
and Jacob’s twelve sons were patriarchs” (= bapa dan pemimpin dari suatu keluarga atau
suku, sebagai salah satu pendiri dari keluarga-keluarga Ibrani kuno: dalam
Alkitab, Abraham, Ishak, Yakub, dan 12 anak laki-laki dari Yakub adalah
‘patriarchs’).
A.
H. Strong: “Since Christ is the Word of God and the Truth of God, he may be
received even by those who have not heard of his manifestation in the flesh.
A proud and self-righteous morality is inconsistent with saving faith; but a
humble and penitent reliance upon God, as a Saviour from sin and a guide of
conduct, is an implicit faith in Christ; for such reliance casts itself
upon God, so far as God has revealed himself, - and the only Revealer of God is
Christ. We have, therefore, the hope that even among the heathen there may be
some, like Socrates, who, under the guidance of the Holy Spirit working through
the truth of nature and conscience, have found the way of life and salvation”
(= Karena Kristus adalah Firman Allah dan Kebenaran
Allah, Ia bisa diterima bahkan oleh mereka yang tidak / belum pernah mendengar
tentang manifestasiNya dalam daging. Suatu kehidupan moral yang sombong dan
merasa diri sendiri benar tidak konsisten dengan iman yang menyelamatkan; tetapi
suatu kebersandaran yang rendah hati dan bersifat menyesal kepada Allah, sebagai
seorang Juruselamat dari dosa dan seorang Pembimbing tingkah laku, adalah
suatu iman yang implicit kepada Kristus; karena kebersandaran seperti itu
melemparkan diri sendiri kepada Allah, sejauh Allah telah menyatakan diriNya
sendiri, - dan satu-satunya Yang menyatakan Allah adalah Kristus. Karena itu,
kita mempunyai pengharapan bahwa bahkan di antara orang kafir bisa ada beberapa
/ sebagian, seperti Socrates, yang di bawah bimbingan Roh Kudus yang bekerja
melalui kebenaran dari alam dan hati nurani, telah menemukan jalan kehidupan dan
keselamatan) - ‘Systematic
Theology’, hal 843.
J.
A. Alexander:
“This verse has sometimes been
abused, to prove that the knowledge of the Gospel is not necessary to the
salvation of the heathen” (= Ayat ini
kadang-kadang telah disalah-gunakan, untuk membuktikan bahwa pengetahuan tentang
Injil tidaklah perlu untuk keselamatan orang kafir) - hal 409.
Calvin:
“But
it seemeth that this place doth attribute the cause of salvation unto the
merits of works. For if works purchase favor for us with God, they do also
win life for us which is placed in the love of God towards us. Some do also
catch at the word ‘righteousness,’ that
they may prove that we are not justified freely by faith, but by works”
(= Tetapi kelihatannya bahwa tempat / ayat
ini memang menghubungkan penyebab keselamatan dengan jasa dari perbuatan baik.
Karena jika perbuatan baik membeli kemurahan / perkenan Allah bagi kita, maka
perbuatan baik juga memenangkan hidup bagi kita yang ditempatkan dalam kasih
Allah terhadap kita. Sebagian orang juga memegang kata ‘kebenaran’,
supaya mereka bisa membuktikan bahwa kita tidak dibenarkan dengan cuma-cuma oleh
iman, tetapi oleh perbuatan baik).
Barnes’
Notes (tentang Kis 10:4):
“‘Are
come up for a memorial’. Are remembered before God. ... They were an evidence
of piety toward God, and were accepted as such. Though he had not offered
sacrifice according to the Jewish laws; though he had not been circumcised; yet,
having acted according to the light which he had, his prayers were heard, and
his alms were accepted. This was done in accordance with the general principle
of the divine administration, that God prefers the offering of the heart to
external forms; the expressions of love to sacrifice without it. This he had
often declared, Isa 1:11-15; Amos 5:21-22; 1 Sam 15:22, ‘To obey is better
than sacrifice, and to hearken than the fat of rams,’ Hos 6:6; Eccl 5:1. It
should be remembered, however, that Cornelius was not depending on external
morality. His heart was in the work of religion. It should be remembered,
further, that he was ready to receive the gospel when it was offered to him, and
to become a Christian. In this there was an important difference between him
and those who are depending for salvation on their morality in Christian lands.
Such people are inclined to defend themselves by the example of Cornelius, and
to suppose that as he was accepted BEFORE he embraced the gospel, so they may be
without embracing it. But there is an important difference in the two cases.
For: (1) There is no evidence that Cornelius was depending on external
morality for salvation. His offering was that of the heart, and not merely
an external offering. (2) Cornelius did not rely on his morality at all. His was
a work of religion. He feared God; he prayed to him; he exerted his influence to
bring his family to the same state. Moral people do neither. ‘All their works
they do to be seen of men’; and in their heart there is ‘no good thing
toward the Lord God of Israel.’ Compare 1 Kings 14:13; 2 Chron 19:3. Who ever
hears of a man that ‘fears God,’ and that prays, and that instructs his
household in religion, that depends on morality for salvation? (3) Cornelius was
disposed to do the will of God as far as it was made known to him. Where this
exists there is religion. The moral man is not. (4) Cornelius was willing to
embrace a Saviour when he was made known to him. The moral man is not. He hears
of a Saviour with unconcern; he listens to the message of God’s mercy from
year to year without embracing it” (= ‘Telah
naik sebagai suatu peringatan’. Diingat di hadapan Allah. ... Mereka adalah
suatu bukti kesalehan kepada Allah, dan diterima sebagai hal seperti itu.
Sekalipun ia tidak mempersembahkan korban sesuai dengan hukum-hukum Yahudi;
sekalipun ia tidak / belum disunat; tetapi, setelah bertindak sesuai dengan
terang yang ia miliki, doa-doanya didengarkan, dan sedekah-sedekahnya diterima.
Ini dilakukan sesuai dengan prinsip umum dari pemerintahan ilahi, bahwa Allah
lebih memilih persembahan dari hati dari upacara-upacara lahiriah;
ungkapan-ungkapan kasih dari korban tanpa kasih. Ini telah sering Ia nyatakan,
Yes 1:11-15; Amos 5:21-22; 1 Sam 15:22, ‘mendengarkan lebih baik dari pada
korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba
jantan’, Hos 6:6; Pkh 4:17. Tetapi harus diingat bahwa Kornelius tidak
bersandar pada kehidupan moral lahiriah. Hatinya merupakan pekerjaan dari
agama. Selanjutnya harus diingat bahwa ia siap untuk menerima injil pada waktu
itu ditawarkan kepadanya, dan menjadi orang Kristen. Dalam hal ini ada suatu
perbedaan di antara dia dan mereka yang mempercayai / menggantungkan keselamatan
pada kehidupan moral mereka di negara-negara Kristen. Orang-orang seperti itu
cenderung untuk membela diri mereka sendiri dengan teladan dari Kornelius, dan
menduga / menganggap bahwa karena ia diterima SEBELUM ia memeluk / percaya
kepada injil, maka mereka juga bisa diterima sebelum memeluk / mempercayainya.
Tetapi di sana ada suatu perbedaan penting dalam dua kasus. Karena, (1) Di sana tidak
ada bukti bahwa Kornelius bergantung pada kehidupan moral lahiriah untuk
keselamatan. Persembahannya adalah persembahan dari hati, dan bukan
semata-mata persembahan lahiriah. (2) Kornelius tidak bergantung pada kehidupan
moralnya sama sekali. PekerjaanNya adalah pekerjaan dari agama. Ia takut akan
Allah; ia berdoa kepadaNya; ia menggunakan pengaruhnya untuk membawa keluarganya
ke keadaan yang sama. Orang-orang yang bersandar pada kehidupan moral tidak
melakukan yang manapun dari hal-hal ini. ‘Semua perbuatan baik mereka lakukan
supaya dilihat manusia’; dan dalam hati mereka ‘tidak ada hal yang baik
terhadap Tuhan, Allah Israel’. Bandingkan 1Raja 14:13; 2Taw 19:3. Siapa yang
pernah mendengar tentang seseorang yang ‘takut akan Allah’ dan yang berdoa,
dan yang mengajar rumah tangganya dalam agama, yang bergantung pada kehidupan
moral untuk keselamatan? (3) Kornelius ingin melakukan kehendak Allah sejauh itu
dinyatakan kepadanya. Dimana hal ini ada di situ ada agama. Manusia moral tidak
seperti itu. (4) Kornelius mau memeluk / mempercayai Juruselamat pada waktu Ia
dinyatakan kepadanya. Manusia moral tidak. Ia mendengar tentang seorang Juruselamat
tanpa perhatian; ia mendengar berita tentang belas kasihan Allah dari tahun ke
tahun tanpa memeluk / mempercayainya).
2)
Untuk melihat bahwa apakah memang memungkinkan untuk menyimpulkan dari
text ini bahwa ada kemungkinan selamat untuk orang-orang yang tidak pernah
mendengar Injil, mari kita pelajari Kis 10:34-35 ini.
Ay 34-35:
“(34) Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: ‘Sesungguhnya aku telah
mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. (35) Setiap orang dari bangsa
manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya”.
Mari
kita bandingkan ayat aslinya ini dengan kutipan serampangan dari ayat ini yang
dilakukan oleh Pdt. Stephen Tong.
Kis 10:35
(versi Pdt. Stephen Tong): “ternyata
semua orang yang baik di dunia diterima oleh Tuhan”.
Kis 10:35
yang asli: “Setiap orang dari
bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran
berkenan kepadaNya.”.
Ada
beberapa hal yang perlu dipersoalkan tentang hal ini:
a)
Penekanan dari ayat ini, kalau dilihat dari seluruh kontext (Kis 10),
adalah bahwa Tuhan tidak membedakan antara orang dari bangsa Yahudi dan orang
dari bangsa non Yahudi.
Tetapi
justru kata-kata ‘dari bangsa manapun’ dalam Kis 10:35 ini dihapuskan oleh
Pdt. Stephen Tong pada waktu ia mengutip ayat ini secara serampangan!
J.
A. Alexander:
“The essential meaning is that
whatever is acceptable to God in one race is acceptable in any other” (= Arti
yang hakiki dari ayat ini adalah bahwa apapun yang bisa diterima oleh Allah
dalam satu bangsa bisa diterima dalam bangsa yang lain) - hal 409.
Adam
Clarke (tentang ay 34):
“‘God
is no respecter of persons’ He does not esteem a Jew, because he is a Jew; nor
does he detest a Gentile because he is a Gentile. It was a long and deeply
rooted opinion among the Jews, that God never would extend his favour to the
Gentiles; and that the descendants of Jacob only should enjoy his peculiar
favour and benediction. Of this opinion was Peter, previously to the heavenly
vision mentioned in this chapter. He was now convinced that God was no respecter
of persons; that as all must stand before his judgment seat, to be judged
according to the deeds done in the body, so no one nation, or people, or
individual, could expect to find a more favourable decision than another who was
precisely in the same moral state; for the phrase, respect of persons, is used
in reference to unjust decisions in a court of justice, where, through favour,
or interest, or bribe, a culprit is acquitted, and a righteous or innocent
person condemned. See Lev 19:15; Deut 1:16-17, and 16:19. And as there is no
iniquity (decisions contrary to equity) with God, so he could not shut out the
pious prayers, sincere fasting, and benevolont alms-giving of Cornelius; because
the very spring whence they proceeded was his own grace and mercy.
Therefore he could not receive even a Jew into his favour (in preference to such
a person) who had either abused his grace, or made a less godly use of it than
this Gentile had done” [= ‘Allah
tidak membedakan orang’. Ia tidak menghargai seorang Yahudi karena ia adalah
orang Yahudi; juga Ia tidak membenci seorang non Yahudi karena ia adalah orang
non Yahudi. Merupakan suatu pandangan yang lama dan berakar dalam di antara
orang-orang Yahudi, bahwa Allah tidak pernah akan memperluas kebaikanNya kepada
orang-orang non Yahudi; dan bahwa hanya keturunan Yakub yang menikmati kebaikan
dan berkat khususNya. Petrus mempunyai pandangan ini, sebelum penglihatan
surgawi yang disebutkan sebelumnya dalam pasal ini. Sekarang ia yakin bahwa
Allah tidak membedakan orang; bahwa semua harus berdiri di hadapan takhta
penghakimanNya, untuk dihakimi sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan
dalam tubuh, sehingga tak ada bangsa, atau orang-orang, atau individu, bisa
mengharapkan untuk mendapatkan suatu keputusan yang lebih baik dari pada yang
lain, yang berada dalam keadaan moral yang betul-betul sama; karena ungkapan
‘membedakan orang’ digunakan berkenaan dengan keputusan yang tidak adil
dalam suatu sidang pengadilan, dimana, melalui kebaikan, atau kepentingan, atau
suap, orang yang telah melakukan kejahatan dibebaskan, dan orang yang benar atau
tidak bersalah dihukum. Lihat Im 19:15; Ul 1:16-17, dan 16:19. Dan karena di
sana tidak ada ketidak-adilan (keputusan yang bertentangan dengan keadilan)
dengan Allah, maka Ia tidak bisa mencegah masuknya doa-doa yang saleh, puasa
yang tulus, dan sedekah yang penuh kebaikan dari Kornelius; karena
sumber dari mana hal-hal ini keluar adalah kasih karunia dan belas kasihanNya
sendiri. Karena itu Ia tidak bisa menerima bahwa satu orang Yahudi ke
dalam kebaikanNya (dalam kebaikanNya kepada orang seperti itu) yang atau telah
menyalah-gunakan kasih karuniaNya, atau melakukan penggunaan yang kurang saleh
tentangnya dari pada yang telah dilakukan oleh orang non Yahudi ini].
b)
Pdt. Stephen Tong mengatakan ‘orang
yang baik’, tetapi ay 35 sebetulnya mengatakan ‘takut akan Dia dan mengamalkan kebenaran’. Ini
merupakan dua hal yang sangat berbeda.
Banyak
penafsir yang menganggap bahwa kata-kata ‘takut
akan Allah’ menunjuk pada kesalehan terhadap Allah,
sedangkan kata-kata ‘mengamalkan
kebenaran’
menunjuk pada kesalehan terhadap sesama manusia. Jadi, kata-kata ‘takut
akan Allah dan mengamalkan kebenaran’
tentu tidak bisa secara serampangan diganti dengan kata-kata ‘orang yang baik’!
Bahwa
memang banyak penafsir beranggapan demikian, akan saya buktikan dengan
menunjukkan beberapa kutipan dari para penafsir di bawah ini, termasuk dari
Calvin.
Adam
Clarke: “‘fears
God,’ worships him alone (for this is the true meaning of the word), and
‘worketh righteousness,’ abstains from all evil, gives to all their due,
injures neither the body, soul, nor reputation of his neighbour”
(= ‘takut akan Allah’, menyembah Dia saja
(karena ini adalah arti yang benar dari kata ini), dan ‘mengamalkan
kebenaran’, menjauhkan diri dari semua kejahatan, memberikan kepada semua
orang hak mereka, tidak menyakiti / melukai tubuh, jiwa ataupun reputasi /
nama baik dari sesamanya).
Barnes’
Notes: “‘He
that feareth him.’ This is put for piety toward God in general. ...
‘And worketh righteousness.’ Does what is right and just. This refers to his
conduct toward man. ... These two things comprehend the whole of
religion, the sum of all the requirements of God - piety toward God, and justice
toward people; and as Cornelius had showed these, he showed that, though a
Gentile, he was actuated by true religion”
(= ‘Ia yang takut akan Dia’. Ini dikemukakan untuk kesalehan terhadap
Allah secara umum. ... ‘Dan mengamalkan kebenaran’. Melakukan apa yang
benar dan adil. Ini menunjuk kepada tingkah lakunya terhadap manusia. ...
Kedua hal ini mencakup seluruh agama, total dari semua tuntutan Allah -
kesalehan terhadap Allah, dan keadilan terhadap orang-orang; dan karena
Kornelius telah menunjukkan hal-hal ini, ia menunjukkan bahwa, sekalipun ia
seorang non Yahudi, ia digerakkan oleh agama yang benar).
Matthew
Henry: “Observe,
Fearing God, and working righteousness, must go together; for, as righteousness
towards men is a branch of true religion, so religion towards God is a branch of
universal righteousness. Godliness and honesty must go together, and neither
will excuse for the want of the other” (= Perhatikan,
Takut akan Allah, dan mengamalkan kebenaran, harus berjalan bersama-sama; karena
sebagaimana kebenaran terhadap sesama manusia merupakan suatu cabang dari
agama yang benar, demikian juga agama terhadap Allah merupakan suatu
cabang dari kebenaran universal. Kesalehan dan kejujuran harus berjalan
bersama-sama, dan tidak ada satu yang memberi alasan absennya yang lain).
Sekarang
mari kita melihat pandangan Calvin tentang ayat ini.
Calvin:
“‘He which feareth
God, and doth righteousness.’ In
these two members is comprehended the integrity of all the whole life. For the
fear of God is nothing else but godliness and religion; and ‘righteousness’ is that equity which men use among themselves,
taking heed lest they hurt any man, and studying to do good to all men. As the
law of God consisteth upon (of) these two parts, (which is the rule of good
life) so no man shall prove himself to God but he which shall refer and direct
all his actions to this end, neither shall there be any sound thing in all
offices, (duties,) unless the whole life be grounded in the fear of God”
[= ‘Ia yang takut akan Allah, dan mengerjakan
kebenaran’. Dalam kedua anggota / bagian ini tercakup integritas / kelurusan
dari seluruh kehidupan. Karena rasa takut akan Allah bukan lain dari
kesalehan dan agama; dan ‘kebenaran’ adalah keadilan yang digunakan manusia di
antara diri mereka sendiri, dengan memperhatikan supaya mereka tidak
menyakiti manusia manapun, dan belajar untuk melakukan apa yang baik kepada
semua manusia. Seperti hukum Taurat Allah terdiri dari kedua bagian ini,
(yang adalah peraturan dari kehidupan yang baik) demikianlah tidak ada
seorangpun yang akan membuktikan dirinya kepada Allah kecuali ia yang
menyerahkan dan mengarahkan semua tindakan-tindakannya pada tujuan ini, dan
tidak ada hal yang sehat apapun dalam semua kewajiban, kecuali seluruh kehidupan
didasarkan pada rasa takut akan Allah].
Sekarang
mari kita perhatikan komentar Calvin tentang ay 2 yang berbunyi sebagai berikut:
“Ia saleh, ia serta seisi rumahnya takut akan Allah dan ia memberi banyak
sedekah kepada umat Yahudi dan senantiasa berdoa kepada Allah”.
Calvin (tentang ay
2): “He
saith that he was a godly man, and one that feared God; secondly, that like a
good householder he had a care to instruct his families; he praiseth him
afterward for the offices of love, because he was beneficial (beneficent) toward
all the people; and, lastly, that he prayed (to) God continually. The sum is
this, that Cornelius was a man of singular virtues, wherein the integrity of the
godly consisteth, so that his life was framed, in all points, according to the
rule which God prescribeth unto us. And because the law is contained in two
tables, Luke commendeth, in the former place, Cornelius’ godliness; secondly,
he descendeth unto the second part, that he exercised the offices of love toward
men. This is very profitable to be marked, because we have a way to live
well described in his person. Wherefore, in ordering the life well, let faith
and religion be the foundation, which being taken away, all other virtues are
nothing else but smokes. Luke reckoneth up the fear of God and prayer as
fruits and testimonies of godliness and of the worship of God, and that for good
causes. For religion cannot be separated from the fear of God and the
reverence of him, neither can any man be counted godly, save he who
acknowledging God to be his Father and Lord, doth addict himself wholly to him” (= Ia
berkata bahwa ia adalah orang yang saleh, dan orang yang takut akan Allah;
kedua, bahwa seperti seorang pengatur rumah tangga yang baik ia mempunyai
kepedulian untuk mengajar keluarganya; ia memujinya belakangan untuk jasa kasih,
karena ia bersikap dermawan kepada seluruh bangsa itu; dan terakhir, bahwa ia
senantiasa berdoa kepada Allah. Intisarinya adalah ini, bahwa Kornelius adalah
seorang manusia dengan kebaikan / sifat baik yang luar biasa, dimana ketulusan /
kejujuran dari orang saleh ada, sehingga kehidupannya dibentuk, dalam semua hal,
sesuai dengan peraturan yang Allah tentukan bagi kita. Dan karena hukum
Taurat ada dalam 2 loh batu, Lukas memuji, di tempat pertama kesalehan
Kornelius; dan yang kedua, ia turun pada bagian yang kedua, bahwa ia melakukan
jasa kasih kepada manusia. Ini sangat berguna untuk diperhatikan, karena
kita mempunyai suatu jalan untuk hidup baik yang digambarkan dalam dirinya.
Karena itu, dalam mengatur kehidupan dengan baik, hendaklah iman dan agama
merupakan dasar / fondasi, yang kalau diambil, menyebabkan semua kebaikan yang
lain tidak lain dari pada asap. Lukas memperhitungkan rasa takut akan Allah
dan doa sebagai buah-buah dan kesaksian-kesaksian dari kesalehan dan dari ibadah
kepada Allah, dan itu dengan alasan yang baik. Karena agama tidak bisa
dipisahkan dari rasa takut akan Allah dan rasa hormat kepada Dia, juga siapapun
tidak bisa dianggap saleh, kecuali ia yang mengakui Allah sebagai Bapa dan
Tuhannya, sehingga membaktikan dirinya sepenuhnya kepadaNya).
Dengan
demikian, ay 35 ini tidak mungkin diterapkan kepada filosof Cina itu,
karena menurut Pdt. Stephen Tong sendiri (dalam VCD tentang filsafat Asia),
ajaran filosof Cina itu hanya berurusan dengan sesama manusia dan tidak ada yang
berurusan dengan Allah. Kalau dihubungkan dengan 10 hukum Tuhan, maka Pdt.
Stephen Tong berkata bahwa hukum 5-10 ada dalam ajaran filosof Cina itu, tetapi
hukum 1-4 tidak ada.
Tetapi
Calvin menganggap, bahwa kehidupan yang benar harus bersifat vertikal (kepada
Allah) maupun horizontal (kepada sesama manusia). Bahkan kelihatan jelas
bahwa Calvin menganggap bahwa kehidupan vertikal yang benar itu merupakan dasar
dari kehidupan horizontal yang benar. Tanpa kehidupan vertikal yang benar, maka
kehidupan horizontal yang kelihatannya baik hanyalah asap! Ini harus
diterapkan dalam ‘kehidupan baik dari filosof Cina itu’ yang begitu
disanjung oleh Pdt. Stephen Tong!
c)
Apakah ay 35 ini mengajarkan bahwa seseorang bisa diterima oleh
Allah / berkenan kepada Allah karena perbuatan baik?
1.
Pertama-tama, mari kita meneliti kata-kata Pdt. Stephen Tong yang
mengatakan bahwa pada saat itu Kornelius memang belum diselamatkan, karena
Kornelius masih harus diinjili oleh Petrus, dan baru sesudah itu ia
diselamatkan. Tetapi pada saat itu, menurut Pdt. Stephen Tong, kebajikan
Kornelius, sudah diterima oleh Tuhan. Jadi, Pdt. Stephen Tong menganggap bahwa
adalah mungkin kebajikan seseorang sudah diterima oleh Tuhan, tetapi orangnya
belum diterima / belum diselamatkan.
Ini
sama sekali mustahil, karena kebajikannya tak bisa diterima, kalau orangnya
tidak diterima. Dan kalau orangnya diterima, maka pasti ia diselamatkan.
Calvin:
“if
works purchase favor for us with God, they do also win life for us which is
placed in the love of God towards us”
(= jika perbuatan baik membeli kemurahan /
perkenan Allah bagi kita, maka perbuatan baik juga memenangkan hidup bagi kita
yang ditempatkan dalam kasih Allah terhadap kita).
Dari
kata-kata Calvin di atas ini terlihat bahwa ia tidak membedakan antara
‘orangnya diterima’ dan ‘orangnya diselamatkan / mendapatkan hidup’. Ini
yang Alkitabiah, karena:
a.
Ibr 11:6 mengatakan bahwa tanpa iman tidak mungkin orang berkenan /
diterima oleh Allah (ini sudah saya bahas di depan dan tidak saya ulang di
sini).
b.
Ada banyak sekali ayat yang menunjukkan bahwa sebelum seseorang beriman,
seluruh hidupnya adalah dosa / bejat [ingat doktrin Total
Depravity (= Kebejatan Total)] dalam ajaran Reformed!
2.
Sekarang mari kita lihat apakah ay 35 ini memang mengajarkan bahwa
dengan perbuatan baik seseorang bisa diterima oleh Allah / berkenan kepada
Allah?
Kelihatannya
memang demikian, karena Kis 10:35 itu mengatakan: “Setiap orang dari
bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan
kepadaNya”.
Ini
hanya bisa diarahkan pada doktrin keselamatan karena perbuatan baik kalau kita
melepas ayat ini dari seluruh Alkitab! Mengapa? Karena seluruh Alkitab
mengajarkan keselamatan karena iman, dan menentang ajaran keselamatan karena
perbuatan baik! Jadi, mustahil kalau dari ayat ini kita mendapatkan ajaran sesat
itu. Karena itu, ayat ini harus ditafsirkan secara berbeda. Perhatikan komentar
dari para penafsir yang saya kutip di bawah ini.
J.
A. Alexander:
“‘Feareth God and worketh
righteousness’ are not meritorious conditions or prerequisites to the
experience of divine grace, but its fruits and evidences” (=
‘Takut akan Allah dan mengamalkan /
mengerjakan kebenaran’ bukanlah merupakan kondisi atau persyaratan yang
berjasa bagi pengalaman tentang kasih karunia ilahi, tetapi merupakan buah dan
bukti dari kasih karunia ilahi) - hal 409.
Jadi,
J. A. Alexander berpendapat bahwa kedua hal baik dalam ay 35 itu bukan
merupakan penyebab, tetapi hasil / bukti / buah dari kasih karunia ilahi!
Jamieson,
Fausset & Brown:
“‘He
that feareth him, and worketh righteousness, is accepted with him.’ As the
two-fold description here given of the divinely-accepted man is just the
well-known Old Testament description of him who, within the pale of Revealed
Religion, was regarded as truly godly, it
cannot be alleged that Peter meant it to denote a merely virtuous character in
the pagan sense; and as the apostle had learnt enough from the
messengers of Cornelius, and from his own lips, to convince him that the
whole religious character of this Roman officer had been cast in the mould of
the Jewish Faith, there can be no doubt that the apostle meant to
describe exactly such saint-ship, in its internal spirituality and external
fruitfulness, as God had already pronounced to be genuine and approved; and
since to such ‘He giveth more grace,’ according to the law of His kingdom
(James 4:6; Matt 25:29), He now sends Peter, not to be the instrument of his
conversion - as is very frequently said - but simply to show him the way of God
more fully, as before to the Ethiopian eunuch”
[= ‘Ia yang takut akan Dia, dan mengamalkan kebenaran diterima olehNya /
berkenan kepadaNya’. Karena penggambaran rangkap dua yang diberikan di sini
tentang orang yang diterima secara ilahi, merupakan penggambaran Perjanjian Lama
yang terkenal tentang dia yang, dalam batasan Agama yang diwahyukan, dianggap
sebagai betul-betul saleh, maka tidak bisa dikatakan bahwa Petrus memaksudkan itu untuk menunjukkan
semata-mata karakter yang baik dalam arti kafir; dan karena sang
rasul telah belajar cukup dari utusan-utusan Kornelius, dan dari bibir Kornelius
sendiri, untuk meyakinkan dia bahwa seluruh karakter religius dari perwira
Romawi ini telah dilemparkan dalam cetakan dari Iman Yahudi, maka tidak ada
keraguan di sana bahwa sang rasul bermaksud untuk menggambarkan dengan tepat
orang kudus seperti itu, dalam kerohanian batin dan ke-berbuah-an lahiriah,
seperti yang telah Allah umumkan sebagai asli dan disetujui; dan karena kepada
orang seperti itu ‘Ia memberikan lebih banyak kasih karunia’, sesuai dengan
hukum dari KerajaanNya (Yak 4:6; Mat 25:29), sekarang Ia mengutus Petrus,
bukan sebagai alat dari pertobatannya - seperti yang sering dikatakan - tetapi
hanya untuk menunjukkan kepadanya jalan / cara Allah secara lebih penuh,
seperti sebelumnya kepada sida-sida Etiopia].
Saya
beranggapan bahwa kata-kata Jamieson, Fausset & Brown ini penting dan bagus
sekali. Pertama-tama perhatikan bahwa kesalehan rangkap dua (kepada Allah dan
sesama manusia) itu ia anggap sebagai kesalehan yang sejati, dan ini ia bedakan
dengan ‘kesalehan dari orang kafir’, yaitu orang-orang yang sama sekali tak
pernah mendengar Firman Tuhan, dan di sini tercakup orang-orang seperti
Socrates, filosof Cina itu, dan sebagainya. Kedua, ia mengatakan bahwa Petrus
bukan diutus sebagai alat pertobatan Kornelius, tetapi hanya untuk menunjukkan
kepadanya jalan Allah itu secara lebih penuh. Jadi, Kornelius dianggapnya
sebagai sudah bertobat, dan yang diberikan oleh Petrus hanyalah pengertian yang
lebih lengkap tentang Injil.
Calvin:
“But
it seemeth that this place doth attribute the cause of salvation unto the
merits of works. For if works purchase favor for us with God, they do also
win life for us which is placed in the love of God towards us. Some do also
catch at the word ‘righteousness,’ that
they may prove that we are not justified freely by faith, but by works. But
this latter thing is too frivolous. For I have already showed that it is not
taken for the perfect and whole observing of the law, but is restrained unto the
second table and the offices of love. Therefore it is not the universal
righteousness whereby a man is judged just before God, but that honesty and
innocency which respecteth men, when as that is given to every man which is his.
Therefore the question remaineth as yet, whether works win the favor of God
for us? which that we may answer, we must first note that there is a
double respect of God in loving men. For seeing we be born the children of
wrath, (Ephesians 2:3,) God shall be so far from finding any thing in us which
is worthy of his love, that all our whole nature causeth him rather to hate us;
in which respect, Paul saith that all men are enemies to him until they be
reconciled by Christ, (Romans 5:10.) Therefore the first accepting of
God, whereby he receiveth us into favor, is altogether free; for there can
as yet no respect of works be had, seeing all things are corrupt and wicked, and
taste of (bespeak) their beginning. Now, whom God hath adopted to be his
children, them doth he also regenerate by his Spirit, and reform in them his
image: whence riseth that second respect. For God doth not find man bare
and naked then, and void of all grace, but he knoweth his own work in him, yea,
himself. Therefore, God accepteth the faithful, because they live godly and
justly. And we do not deny that God accepteth the good works of the saints;
but this is another question, whether man prevent the grace of God with his
merits or no, and insinuate himself into his love, or whether he be beloved at
the beginning, freely and without respect of works, forasmuch as he is worthy of
nothing else but of hatred. Furthermore, forasmuch as man, left to his own
nature, can bring nothing but matter of hatred, he must needs confess that
he is truly beloved; whereupon, it followeth that God is to himself the cause
that he loveth us, and that he is provoked (actuated) with his own mercy,
and not with our merits. Secondly, we must note, that although the
faithful please God after regeneration with good works, and their respects of
works, yet that is not done with the merit of works. For the cleanliness of
works is never so exact that they can please God without pardon; yea, forasmuch
as they have always some corruption mixed with them, they are worthy to be
refused. Therefore, the worthiness of the works doth not cause them to be
had in estimation, but faith, which borroweth that of Christ which is wanting in
works” (= Tetapi
kelihatannya bahwa tempat / ayat ini memang menghubungkan penyebab
keselamatan dengan jasa dari perbuatan baik. Karena jika perbuatan baik
membeli kemurahan / perkenan Allah bagi kita, maka perbuatan baik juga
memenangkan hidup bagi kita yang ditempatkan dalam kasih Allah terhadap kita. Sebagian
orang juga memegang kata ‘kebenaran’, supaya mereka bisa membuktikan bahwa
kita tidak dibenarkan dengan cuma-cuma oleh iman, tetapi oleh perbuatan baik.
Tetapi hal yang terakhir ini adalah terlalu sembrono. Karena saya telah
menunjukkan bahwa kata itu tidak diartikan untuk ketaatan yang sempurna dan
menyeluruh dari hukum Taurat, tetapi dibatasi pada loh batu kedua dan kewajiban
untuk mengasihi. Karena itu, kata itu bukanlah kebenaran universal / menyeluruh
dengan mana seseorang dihakimi di hadapan Allah, tetapi kejujuran dan
ketidak-berdosaan yang berkenaan dengan sesama manusia, sedangkan hal itu
diberikan kepada setiap orang yang adalah milikNya. Karena itu pertanyaan tetap
ada, apakah pekerjaan / perbuatan baik memenangkan kemurahan / perkenan Allah
bagi kita? yang supaya bisa kami jawab, kami harus pertama-tama memperhatikan
bahwa ada 2 hal dari Allah dalam mengasihi manusia. Karena melihat bahwa
kita dilahirkan sebagai anak-anak kemurkaan, (Ef 2:3), Allah akan sangat jauh
dari menemukan apapun dalam diri kita yang layak untuk mendapat kasihNya, dan
bahwa seluruh sifat dasar kita menyebabkan Ia bahkan membenci kita; dalam hal
mana, Paulus mengatakan bahwa semua manusia adalah musuh-musuh bagi Dia sampai
mereka diperdamaikan oleh Kristus, (Ro 5:10). Karena itu penerimaan
pertama dari Allah, dengan mana Ia menerima kita ke dalam kemurahan /
perkenanNya, adalah sepenuhnya cuma-cuma; karena di sana tidak bisa ada
perbuatan baik yang dimiliki, melihat bahwa segala sesuatu rusak dan jahat, dan
memperlihatkan asal usul mereka. Sekarang, siapa yang telah Allah adopsi menjadi
anak-anakNya, mereka juga Ia lahir-barukan oleh RohNya, dan Ia membentuk kembali
gambarNya dalam diri mereka: dari mana muncul hal / penerimaan
yang kedua. Karena pada saat itu Allah tidak mendapati manusia kosong
dan telanjang, dan kosong dalam semua kasih karunia, tetapi Ia mengetahui
pekerjaanNya sendiri di dalam orang itu, ya, orang itu sendiri. Karena itu, Allah
menerima orang-orang yang beriman, karena mereka hidup secara saleh dan benar.
Dan kami tidak menyangkal bahwa Allah menerima perbuatan-perbuatan baik dari
orang-orang kudus; tetapi ini merupakan pertanyaan yang berbeda, apakah
manusia mendahului / mengantisipasi kasih karunia Allah dengan jasa perbuatan
baiknya atau tidak, dan memasukkan dirinya sendiri ke dalam kasihNya, atau
apakah ia dikasihi sejak semula, dengan cuma-cuma dan tanpa memandang perbuatan
baik, karena ia tidak layak mendapatkan apapun kecuali kebencian. Selanjutnya,
karena manusia, jika dibiarkan dalam dirinya sendiri, tidak bisa membawa
apapun kecuali bahan kebencian, ia terpaksa mengakui bahwa ia benar-benar
dikasihi; dan kemudian menyusul bahwa Allah adalah penyebab bagi diriNya
sendiri sehingga Ia mengasihi kita, dan bahwa Ia digerakkan oleh belas
kasihanNya sendiri, dan bukan oleh jasa perbuatan baik kita. Kedua,
kita harus memperhatikan, bahwa sekalipun orang beriman setelah kelahiran baru
memperkenan Allah dengan perbuatan-perbuatan baik dan rasa hormat mereka
terhadap perbuatan baik, tetapi itu tidak dilakukan dengan jasa dari perbuatan
baik. Karena kebersihan dari perbuatan baik tidak pernah begitu tepat sehingga
mereka bisa memperkenan Allah tanpa pengampunan; ya, karena mereka selalu
mempunyai sebagian kerusakan dicampur dengan perbuatan-perbuatan baik itu,
mereka layak untuk ditolak. Karena itu, kelayakan dari perbuatan baik tidak
menyebabkan mereka dihargai, tetapi iman, yang meminjam dari Kristus apa yang
kurang dalam perbuatan baik).
John Calvin:
“They
cite Peter’s statement, which Luke quotes in the Acts: ‘In truth I find that
God accepts no one person over another’ (Acts 10:34-35, Comm.). But in every
nation he who does righteousness is acceptable to him. And from this passage,
which seems quite clear, they infer that if by right efforts a man may
gain God’s favor for himself, it is not the gift of God alone that gains him
salvation; nay, rather that God of his own mercy so helps the sinner that by
works He is inclined to mercy. But you can in no way make the Scriptural
passages agree unless you recognize a double acceptance of man before God. For God
finds nothing in man’s nature but his miserable condition to dispose Him to
mercy. If, therefore, when he is first received by God, it is certain
that man is naked and bereft of all good, and on the other hand, stuffed and
laden with all kinds of evils - on the basis of what endowment, I ask, shall
we say he is worthy of a heavenly calling (cf. Hebrews 3:1)? Away, then, with
this empty dreaming about merits, where God so clearly sets off his free
mercy! For they most wickedly twist what the angel’s voice said to Cornelius -
that his prayers and alms mounted up unto God’s presence (Acts 10:31) - to
mean that by zeal for good works man is prepared to receive God’s grace.
Indeed, Cornelius must have been already illumined by the Spirit of wisdom,
for he was endowed with true wisdom, that is, the fear of God; and he was
sanctified by the same Spirit, for he was a keeper of righteousness, which the
apostle taught to be the Spirit’s surest fruit (Galatians 5:5). All those
things in him which are said to have pleased God he received from God’s grace
- so far is he from preparing himself to receive grace by means of them through
his own effort. Truly, not one syllable of Scripture can be cited contrary to
this doctrine: God’s sole reason to receive man unto himself is that he
sees him utterly lost if left to himself, but because he does not will him to be
lost, he exercises his mercy in freeing him. Now we see how it is that this
acceptance has nothing to do with man’s righteousness but is pure proof of
divine goodness toward miserable sinners, utterly unworthy of so great a benefit” [= Mereka mengutip pernyataan Petrus,
yang dikutip oleh Lukas dalam Kisah Rasul: ‘Sesungguhnya
aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang’ (Kis 10:34-35, Comm.).
Tetapi dalam setiap bangsa ia yang melakukan kebenaran diterima olehNya. Dan
dari text ini, yang kelihatannya jelas, mereka menyimpulkan bahwa jika
oleh usaha-usaha yang benar seseorang bisa mendapatkan perkenan Allah bagi
dirinya sendiri, maka bukan karunia / anugerah Allah saja yang memberinya
keselamatan; tidak, tetapi bahwa Allah dengan belas kasihanNya sendiri membantu
orang berdosa sedemikian rupa sehingga oleh perbuatan baik Ia dicondongkan pada
belas kasihan. Tetapi
engkau tidak bisa mengharmoniskan text-text Kitab Suci ini kecuali engkau
menyadari suatu penerimaan ganda tentang manusia di hadapan Allah.
Karena Allah tidak mendapati apapun dalam diri manusia kecuali kondisinya
yang menyedihkan untuk mencondongkan Dia pada belas kasihan. Karena itu, jika
ia pertama-tama diterima oleh
Allah, adalah pasti bahwa manusia itu telanjang dan tidak mempunyai kebaikan
apapun, dan pada sisi yang lain, diisi dan dimuati / dipenuhi dengan
kejahatan-kejahatan - berdasarkan pemberian / anugerah apa, saya bertanya,
akan kita katakan bahwa ia layak mendapatkan panggilan surgawi (bdk. Ibr 3:1)?
Maka, singkirkanlah mimpi kosong tentang jasa (dari perbuatan baik) ini, dimana
Allah dengan begitu jelas mendengungkan belas kasihanNya yang cuma-cuma!
Karena mereka dengan jahat membengkokkan suara malaikat yang dikatakan kepada
Kornelius - bahwa doa-doa dan sedekah-sedekahnya telah naik ke hadapan Allah
(Kis 10:31) - sehingga berarti bahwa oleh semangat untuk perbuatan baik manusia
dipersiapkan untuk menerima kasih karunia Allah. Memang Kornelius pasti telah diterangi oleh Roh hikmat, karena ia
diberi hikmat yang benar, yaitu rasa takut akan Allah; dan ia dikuduskan oleh
Roh yang sama, karena ia adalah pemelihara kebenaran, yang diajarkan oleh sang
rasul sebagai buah yang pasti dari Roh (Gal 5:5). Semua hal-hal itu di dalam dia yang dikatakan telah memperkenan Allah
ia terima dari kasih karunia Allah - begitu jauh ia dari
mempersiapkan dirinya sendiri untuk menerima kasih karunia oleh usahanya
sendiri. Sesungguhnya, tidak satu suku katapun dari Kitab Suci bisa dikutip
bertentangan dengan doktrin ini: satu-satunya alasan Allah untuk menerima
manusia kepada diriNya sendiri adalah bahwa Ia melihatnya sama sekali terhilang
jika dibiarkan pada dirinya sendiri, tetapi karena Ia tidak menghendakinya untuk
terhilang, Ia menjalankan / menggunakan belas kasihanNya dalam membebaskannya.
Sekarang kita melihat bagaimana halnya bahwa penerimaan ini tidak mempunyai
hubungan apapun dengan kebenaran manusia, tetapi merupakan bukti murni dari
kebaikan ilahi terhadap orang-orang berdosa yang menyedihkan, yang sama sekali
tidak layak tentang suatu kebaikan yang begitu besar]
- ‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter XVII, no
4.
John Calvin:
“For
those who imagine that some sort of seed of election was sown in them from birth
itself, and that by its power they have always been inclined to piety and the
fear of God, are not supported by Scriptural authority and are refuted by
experience itself. They put forward a few examples by which to prove that the
elect even before illumination were not strangers to religion: Paul lived a
blameless life as a Pharisee (Philippians 3:5-6); Cornelius, with alms and
prayers, was acceptable to God (Acts 10:2), and the like, if any. As for Paul,
we grant them their point; in Cornelius, we say they are deceived. For it
appears that he was then already enlightened and regenerated, so that he lacked
nothing but a clear revelation of the gospel. But what will they wring out of
these few examples? That all the elect are always endowed with the spirit of
piety? No more than if someone - by showing the uprightness of Aristides,
Socrates, Xenocrates, Scipio, Curius, Camillus, and others - infers from it that
all who are forsaken in the darkness of idolatry were earnest seekers of
holiness and purity. Indeed, Scripture openly disclaims them in more than one
place. This state before regeneration described by Paul in his letter to the
Ephesians shows no grain of this seed. ‘You were dead,’ he says, ‘through
the trespasses and sins in which you... walked according to the course of this
world, according to the prince of the air, who is now at work in his disobedient
sons. Among these we all once lived in the passions of our flesh, following the
desires of the flesh and of the mind. So we were by nature children of wrath,
like the rest.’ (Ephesians 2:1-3, abbr.) Again: ‘Remember that ... you were
once without hope, and lacking God in the world.’ (Ephesians 2:12 p.)
Likewise: You were once darkness but are now light in the Lord; walk as children
of light.’ (Ephesians 5:8-9.)”
[= Karena mereka yang membayangkan /
mengkhayalkan bahwa sejenis benih pemilihan telah ditaburkan dalam diri mereka
sejak lahir, dan bahwa oleh kuasanya mereka selalu condong pada kesalehan dan
rasa takut akan Allah, tidak didukung oleh otoritas Kitab Suci, dan disangkal
oleh pengalaman sendiri. Mereka mengemukakan beberapa contoh-contoh dengan mana
mereka membuktikan bahwa orang-orang pilihan, bahkan sebelum pencerahan,
bukanlah orang-orang asing terhadap agama: Paulus hidup secara tak bercacat
sebagai seorang Farisi (Fil 3:5-6); Kornelius, dengan sedekah-sedekah dan doa-doanya, diterima oleh Allah (Kis
10:2), dan yang lain-lain, jika ada. Tentang Paulus, kami mengakui point
mereka; dalam Kornelius, kami berkata bahwa mereka tertipu. Karena kelihatan
bahwa pada saat itu ia sudah diterangi dan dilahir-barukan, sehingga ia tidak
kekurangan apapun kecuali wahyu / penyataan yang jelas dari Injil. Tetapi
apa yang akan mereka peras dari beberapa contoh ini? Bahwa semua orang pilihan
selalu diberi roh kesalehan? Ini tidak lebih benar dari jika seseorang, dengan
menunjukkan kejujuran / ketulusan / kelurusan dari Aristides, Socrates,
Xenocrates, Scipio, Curius, Camillus, dan lain-lain, menyimpulkan dari situ
bahwa semua orang yang ditinggalkan dalam kegelapan dari penyembahan berhala
adalah pencari-pencari yang sungguh-sungguh dari kesucian / kekudusan dan
kemurnian. Kitab Suci secara terbuka menyangkal mereka di lebih dari satu
tempat. Keadaan sebelum kelahiran baru ini digambarkan oleh Paulus dalam
suratnya kepada orang-orang Efesus tidak menunjukkan adanya benih ini. ‘Kamu
dahulu sudah mati’, katanya, ‘karena pelanggaran-pelanggaran dan
dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini,
karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang
bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga
terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan
menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah
orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain.’ (Ef 2:1-3). Lagi,
‘ingatlah bahwa dahulu kamu ... tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam
dunia’ (Ef 2:12). Juga: ‘Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi
sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak
terang’ (Ef 5:8-9)]
- ‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter XXIV, no
10.
Catatan:
saya tak mengerti mengapa berkenaan dengan Paulus, Calvin mengakui point mereka.
John Calvin:
“The
Lord, having rescued man from the pit of perdition, has through the grace of
adoption set him apart for his own. Thereupon, because he has begotten him anew
and conformed him to a new life, he now embraces him as a new creature (cf. 2
Corinthians 5:17) endowed with the gifts of his Spirit. This is that
‘acceptance’ which Peter mentions (Acts 10:34; cf.
1 Peter 1:17) whereby believers are, after their call, approved of God
also in respect of works (cf. 1 Peter 2:5). For the Lord cannot fail to love and
embrace the good things that he works in them through his Spirit. But we must
always remember that God ‘accepts’ believers by reason of works only because
he is their source and graciously, by way of adding to his liberality, deigns
also to show ‘acceptance’ toward the good works he has himself bestowed.
For whence come their good works, save that the Lord, having chosen them as
vessels unto honor (Romans 9:21), thus is pleased to adorn them with true
purity? Whence, also, are these works reckoned good as if they lacked nothing,
save that the kindly Father grants pardon for those blemishes and spots which
cleave to them?”
[= Tuhan, setelah menyelamatkan manusia dari lubang
kehancuran / kebinasaan / penghukuman, telah memisahkannya sebagai milikNya
sendiri, melalui kasih karunia pengadopsian. Setelah itu, karena Ia telah
melahir-barukannya dan menyesuaikan dia dengan suatu kehidupan yang baru,
sekarang Ia memeluknya sebagai ciptaan yang baru (bdk. 2Kor 5:17) yang diberi
karunia-karunia Roh. Ini adalah ‘penerimaan’ yang disebutkan oleh Petrus
(Kis 10:34; bdk. 1Pet 1:17) dengan mana orang-orang percaya, setelah panggilan
mereka, direstui oleh Allah juga berkenaan dengan pekerjaan / perbuatan baik
mereka (bdk. 1Pet 2:5). Karena Tuhan tidak bisa gagal untuk mengasihi dan
memeluk hal-hal yang baik sehingga Ia bekerja dalam diri mereka melalui RohNya. Tetapi
kita harus selalu mengingat bahwa Allah ‘menerima’ orang-orang percaya
karena / berhubungan dengan pekerjaan / perbuatan baik, hanya karena Ia adalah
sumber mereka dan dengan penuh kasih karunia / kemurahan, melalui penambahan
pada keroyalanNya, juga berkenan untuk menunjukkan ‘penerimaan’ terhadap
perbuatan baik yang telah Ia sendiri anugerahkan. Karena dari mana datangnya
perbuatan baik mereka, kecuali Tuhan, setelah memilih mereka sebagai alat-alat /
benda-benda bagi kemuliaan (Ro 9:21), lalu berkenan untuk menghiasi mereka
dengan kemurnian yang benar? Juga, dari mana pekerjaan-pekerjaan ini dianggap
baik, seakan-akan pekerjaan-pekerjaan itu tidak kekurangan apapun, kecuali bahwa
Bapa yang baik memberikan pengampunan untuk cacat-cacat dan noda-noda yang
melekat pada pekerjaan-pekerjaan itu?] - ‘Institutes of
the Christian Religion’, Book III, Chapter XVII, no 5.
Kalau
seluruh kata-kata Calvin mau dikatakan secara singkat dan sederhana, maka bisa
dikatakan seperti ini: dalam diri orang yang di luar Kristus / tidak beriman,
maka Allah tidak bisa menjumpai apapun yang baik, sebaliknya Ia bahkan
menjumpai hal-hal yang seharusnya membuatNya membenci orang berdosa itu. Dalam
keadaan seperti itu, Ia memberikan kasih karuniaNya, dan membuat orang itu
bertobat / percaya kepada Yesus. Ini menyebabkan orang itu lalu diterima oleh
Allah, dan ini merupakan penerimaan yang pertama. Setelah itu Allah
membentuk orang itu, atau menguduskan orang itu, sehingga muncul
perbuatan-perbuatan baik dalam diri orang itu, yang memperkenan Allah, dan ini
adalah penerimaan yang kedua. Tetapi penerimaan kedua inipun disertai
kasih karunia / kemurahan, karena kekudusan kita tetap penuh dengan cacat
cela.
Sekarang
bandingkan pandangan Calvin ini dengan kata-kata Pdt. Stephen Tong tentang
Kornelius (yang pasti ia terapkan kepada filosof Cina itu). Pdt. Stephen Tong
mengatakan bahwa sebelum Kornelius diselamatkan, kebajikannya sudah diterima
oleh Tuhan!
Kesimpulan:
ay 34-35 ini menekankan / mengajarkan:
1.
Allah tak membedakan bangsa, khususnya Yahudi dan non Yahudi.
2.
Kata-kata ‘takut
akan Dia’ dan ‘mengamalkan kebenaran’ menunjuk pada
kesalehan vertikal (kepada Allah) dan horizontal (kepada sesama manusia), dan
ini bukan kesalehan kafir. Orang kafir tidak mungkin bisa mempunyai kedua
kesalehan ini.
3. Orang yang dalam ay 35
dikatakan berkenan kepada Allah bukanlah orang tak beriman yang ‘hidupnya
baik’, tetapi orang yang setelah beriman, lalu dalam hidupnya
membuahkan kedua jenis kesalehan di atas (vertikal dan horizontal).
Dengan
demikian, ay 34-35 ini tidak mungkin bisa digunakan untuk mengatakan bahwa
orang-orang yang tidak beriman kepada Kristus, seperti filosof Cina itu atau
Socrates, bisa diselamatkan ataupun diterima oleh Tuhan.
Penerapan:
Untuk
diri saudara sendiri, kalau saudara belum percaya Kristus, cepatlah percaya.
Karena sebaik apapun kehidupan saudara, itu tidak mungkin memperkenan Allah, dan
itu tidak mungkin menyelamatkan saudara.
Dan
kalau saudara melihat orang yang kelihatannya baik, tetapi tidak / belum percaya
kepada Kristus, ingatlah, bahwa orang seperti itu tidak mungkin memperkenan
Allah atau masuk surga berdasarkan perbuatan baik mereka. Karena itu,
beritakanlah Injil kepada mereka, supaya mereka bisa percaya kepada Yesus dan
diselamatkan. Kiranya Tuhan memberkati saudara.
-AMIN-
e-mail address : : [email protected]
Base
URL: http://www.golgothaministry.org