Sanctification / pengudusan

 

Louis Berkhof:

Doktrin Sanctification dalam sejarah (hal 529).

Sebelum Reformasi.

Tulisan bapa-bapa gereja yang mula-mula hanya berbicara sedikit sekali tentang sanctification. Keselamatan dianggap didapatkan melalui iman dan perbuatan baik. Asceticism dianggap sebagai sangat penting. Juga ada kecenderungan untuk mencampuradukkan justification dan sanctification. Augustine adalah orang pertama yang mengembangkan gagasan tertentu tentang sanctification.

Setelah Reformasi.

Para tokoh Reformasi membuat pembedaan yang jelas tentang justification dan sanctification. Yang pertama dianggap sebagai tindakan hukum dari kasih karunia, mempengaruhi status dari manusia, sedangkan yang terakhir dianggap sebagai pekerjaan moral yang mengubah manusia dari dalam. Tetapi sekalipun mereka membedakan kedua hal itu, mereka juga menekankan bahwa kedua hal itu mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan.

Louis Berkhof: “While deeply convinced that man is justified by faith alone, they also understood that the faith which justifies is not alone. Justification is at once followed by sanctification, since God sends out the Spirit of His Son into the hearts of His own as soon as they are justified, and that Spirit is the Spirit of sanctification” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 530.

 

Sanctification dianggap sebagai pekerjaan Roh Kudus terutama melalui Firman, dan secara sekunder melalui sakramen, melalui mana Ia membebaskan kita secara bertahap dari kuasa dosa, dan memempukan kita untuk berbuat baik.

 

Louis Berkhof: “In Pietism and Methodism great emphasis was placed on constant fellowship with Christ as the great means of sanctification. By exalting sanctification at the expense of justification, they did not always avoid the danger of self-righteousness. Wesley did not merely distinguish justification and sanctification, but virtually separated them, and spoke of entire sanctification as a second gift of grace, following the first, of justification by faith, after a shorter or longer period. While he also spoke of sanctification as a process, he yet held that the believer should pray and look for full sanctification at once by a separate act of God” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 530.

 

Di bawah pengaruh dari Rationalisme dan moralisme dari Kant, maka sanctification tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan supranatural dari Roh Kudus dalam memperbaharui orang berdosa, tetapi dianggap sebagai perbaikan moral oleh kekuatan alamiah dari manusia.

 

Louis Berkhof: “A man may boast of great moral improvement, and yet be an utter stranger to sanctification. The Bible does not urge moral improvement pure and simple, but moral improvement in relation to God, for God’s sake, and with a view to the service of God. It insists on sanctification. At this very point much ethical preaching of the present day is utterly misleading; and the corrective for it lies in the presentation of the true doctrine of sanctification” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 532.

 

Sifat (nature) dari sanctification.

 

1)         Sanctification merupakan suatu pekerjaan supranatural dari Allah.

Louis Berkhof: “It is essentially a work of God, though in so far as He employs means, man can and is expected to co-operate by the proper use of these means” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 532.

Louis Berkhof: “It should never be represented as a merely natural process in the spiritual development of man, nor brought down to the level of a mere human achievement, as is done in a great deal of modern liberal theology” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 533.

 

Kitab Suci menunjukkan secara jelas sifat supranatural ini dalam beberapa cara.

a)   Kitab Suci menggambarkan sanctification sebagai pekerjaan Allah (1Tes 5:23  Ibr 13:20-21).

b)   Kitab Suci menggambarkan sanctification sebagai buah dari persatuan kita dengan Yesus Kristus (Yoh 15:4  Gal 2:20  Gal 4:19).

c)   Kitab Suci menggambarkan sanctification sebagai pekerjaan yang dikerjakan dari dalam diri manusia, dan karena itu tidak mungkin merupakan pekerjaan manusia (Ef 3:16  Kol 1:11).

d)   Kitab Suci menyatakan sanctification sebagai buah Roh Kudus (Gal 5:22-23).

 

2)         Sanctification terdiri dari 2 bagian, yaitu:

 

a)   Mortification terhadap manusia lama / tubuh dosa. Ini digambarkan dengan penyaliban terhadap manusia lama (Ro 6:6  Gal 5:24).

 

b)   Penghidupan (the quickening) dari manusia baru, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk perbuatan baik.

 

Kalau yang pertama bersifat negatif, maka yang kedua bersifat positif. Kedua bagian dari sanctification ini tidak dilakukan secara berurutan, tetapi secara berbarengan.

Louis Berkhof: “The old structure of sin is gradually torn down, and a new structure of God is reared in its stead. These two parts of sanctification are not successive but contemporaneous. Thank God, the gradual erection of the new building need not wait until the old one is completely demolished. If it had to wait for that, it could never begin in this life. With the gradual dissolution of the old the new makes its appearance” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 533.

 

3)   Sanctification mempengaruhi seluruh manusia, tubuh maupun jiwa, intelek, perasaan maupun kehendak. Bdk. 1Tes 5:23  2Kor 5:17  Ro 6:12  1Kor 6:15,20.

Pengertian (Yer 31:34  Yoh 6:45).

Kehendak (Yeh 36:25-27  Fil 2:13)

Perasaan (Gal 5:24).

Hati nurani (Tit 1:15  Ibr 9:14).

 

4)   Ini merupakan pekerjaan Allah dimana manusia ikut bekerja sama.

Ini tak boleh diartikan bahwa manusia adalah agen yang independent dalam pekerjaan pengudusan ini, sehingga membuat sanctification merupakan sebagian pekerjaan manusia dan sebagian merupakan pekerjaan Allah.

Louis Berkhof: “God effects the work in part through the instrumentality of man as a rational being, by requiring of him prayerful and intelligent co-operation with the Spirit” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 534.

Bahwa manusia ikut bekerja sama terlihat dari:

a)   Adanya banyak peringatan terhadap hal-hal yang jahat / pencobaan, yang secara implicit menunjukkan bahwa kita harus aktif dalam menghindari hal-hal tersebut. Bdk. Ro 12:9,16,17  1Kor 6:9,10  Gal 5:16-23.

b)   Adanya banyak perintah untuk hidup kudus. Mikha 6:8  Yoh 15:2,8,16  Ro 8:12,13  Ro 12:1,2,17  Gal 6:7,8,15.

 

Louis Berkhof: “Though man is privileged to co-operate with the Spirit of God, he can do this only in virtue of the strength which the Spirit imparts to him from day to day. The spiritual development of man is not a human achievement, but a work of divine grace. Man deserves no credit whatsoever for that which he contributes to it instrumentally” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 535.

 

Louis Berkhof: “The very fact that it is based on justification, in which the free grace of God stands out with the greatest prominence, excludes the idea that we can ever merit anything in sanctification” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 536.

 

5)   Sanctification merupakan proses yang berlangsung seumur hidup dan tidak pernah selesai dalam hidup ini.

Kitab Suci mengajarkan bahwa dalam hidup ini tidak mungkin ada orang yang bisa mencapai kesucian yang sempurna (1Raja 8:46  Amsal 20:9  Ro 3:10,12  Yak 3:2  1Yoh 1:8.

Orang baru disempurnakan dalam sanctification pada saat mati atau sesaat setelah mati. Ibr 12:23  Wah 14:5 - ‘without blemish’ Wah 21:27.

 

The means of sanctification.

 

1)         Firman Allah.

Ini dikatakan oleh L. Berkhof sebagai ‘the principal means’.

Louis Berkhof: “The truth in itself certainly has no adequate efficiency to sanctify the believer, yet it is naturally adapted to be the means of sanctification as employed by the Holy Spirit” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 535.

Dasar: Maz 119:9  Yer 23:29  Yoh 15:3.

 

2)         Sakramen.

Gereja Roma Katolik menganggap ini sebagai yang terutama, tetapi gereja Protestan menganggap ini sebagai cara yang lebih rendah dari Firman Tuhan.

 

3)         Pimpinan dari providence of God.

Yang dimaksudkan adalah hajaran atau ujian atau kesabaran Allah.

Bandingkan dengan Maz 119:71 - “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapanMu”.

Ro 2:4  Ibr 12:10.

 

 

Perfectionisme

Sifat tidak sempurna dari sanctification (>< Perfectionism).

Louis Berkhof: “When we speak of sanctification as being imperfect in this life, we do not mean to say that it is imperfect in parts, as if only a part of the holy man that originates in regeneration were affected. It is the whole, but yet undeveloped new man, that must grow into full stature. A new-born child is, barring exceptions, perfect in parts, but not yet in the degree of development for which it is intended. Just so the new man is perfect in parts, but remains in the present life imperfect in the degree of spiritual development. Believers must contend with sin as long as they live” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 537.

 

Orang-orang yang menolak sifat tidak sempurna dari pengudusan ini disebut Perfectionist. Mereka menganggap bahwa dalam hidup ini adalah mungkin bagi seorang kristen untuk mencapai kekudusan yang sempurna. Ajaran ini diajarkan dalam banyak bentuk oleh orang-orang yang menganut Pelagianisme, Roma Katolik, Semi-Pelagianisme, Arminianisme, Wesleyans, dan juga oleh para ahli theologia Oberlin, seperti Charles Gospel Finney (Berkhof, hal 537-538).

Louis Berkhof: “They all agree, however, in externalizing sin” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 538.

Louis Berkhof: “the Pelagians, in distinction from all the rest, denying the inherent corruption of man” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 538.

Louis Berkhof: “They all agree, however, in externalizing sin” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 538.

Louis Berkhof: “the Arminians, including the Wesleyans, differing from all the rest in holding that this is not the original moral law, but the gospel requirements or the new law of faith and evangelical obedience” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 538.

Louis Berkhof: “The Roman Catholics and the Oberlin theologians maintain that it is the original law, but admit that the demands of this law are adjusted to man’s deteriorated powers and to his present ability” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 538.

Louis Berkhof: “It is very significant that all the leading perfectionist theories (with the sole exception of the Pelagian, which denies the inherent corruption of man) deem it necessary to lower the standard of perfection and do not hold man responsible for a great deal that is undoubtedly demanded by the original moral law. And it is equally significant that they feel the necessity of externalizing the idea of sin, when they claim that only conscious wrong-doing can be so considered, and refuse to recognize as sin a great deal that is represented as such in Scripture” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 538.

 

Dasar yang dipakai oleh penganut Perfectionism:

a)   Adanya perintah untuk hidup kudus / sempurna, meneladani Yesus (1Pet 1:16  Mat 5:48  Yak 1:4  1Pet 2:21-dst), merupakan sesuatu yang tidak masuk akal kalau hal itu tidak bisa dilaksanakan.

Jawab: Kitab Suci menuntut kesempurnaan bagi orang kristen maupun kafir, karena Allah memang menuntut kesucian sejak semula, dan tuntutan itu tidak pernah dibuang. Jika karena adanya tuntutan / perintah seperti itu disimpulkan bahwa orang kristen bisa hidup suci, maka itu juga harus diberlakukan untuk orang kafir.

Louis Berkhof: “The measure of our ability cannot be inferred from the Scriptural commandments” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 538.

b)   Belum selesai, Berkhof hal 538 bawah

 

Kalau dalam Kitab Suci disebutkan ada orang yang tak bercela dsb (Kej 6:9  Ayub 1:1  1Raja 15:14), itu hanya dalam perbandingan. Ini harus ditafsirkan dengan melihat Ro 3:23  Amsal 20:9  1Yoh 1:8,10.

1Yoh 3:6,8,10 juga tidak berarti bahwa orang kristen bisa suci. Yang dimaksud oleh ayat-ayat ini adalah kebiasaan berdosa, atau terus-menerus berbuat dosa.

Louis Berkhof: “Moreover, the Perfectionist cannot very well use these passages to prove his point, since they would prove too much for this purpose. He does not make bold to say that all believers are actually sinless, but only that they can reach a state of sinless perfection. The Johannine passage, however, would prove, on his interpretation, that all believers are without sin. And more than that, they would also prove that believers never fall from tha state of grace (for this is sinning); and yet the Perfectionists are the very people who believe that even perfect Christians may fall away.” (= ) - ‘Systematic Theology’, hal 539.

 

 

 

Cara pengudusan yang salah.

 

‘Streams in the Desert’, vol 3, August 3:

“‘Christ in you, the hope of glory’ (Col. 1:27). The greatest thing that any of us can do is not to live for Christ but to live Christ. What is holy living? It is Christ life. It is not to be Christians, but Christ-ones. It is not to try to do or be some great thing but simply to have Him and let Him live His own life in us; abiding in Him and He in us, and letting Him reflect His own graces, His own faith, His own consecration, His own love, His own patience, His own gentleness, His own words in us, while we ‘show forth the virtues of Him whi hath called us out of darkness into His marvelous light.’ This is at once the sublimest and the simplest life that it is possible to live. It is a higher standard than human perfection, and yet it is possible for a poor, sinful, imperfect man to realize it through the perfect Christ who comes to live within us. God help us so to live, and thus to make real to those around us the simplicity, the beauty, the glory and the power of the Christ life.” (= ).

 

Juga cara Watchman Nee, dalam buku ‘penghidupan orang kristen yang normal’.

 

 

William G. T. Shedd: “David’s experience during his backslidings was fearful in the extreme” (= ) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 546.

Bdk. Ps 32:4  42:7  116:3.

 

 

J. C. Ryle kutip John Owen:

“I do not understand how a man can be a true believer unto whom sin is not the greatest burden, sorrow and trouble” (= Saya tidak mengerti bagaimana seseorang bisa merupakan orang percaya yang sejati jika bagi dia dosa bukanlah beban, kesedihan dan kesukaran / problem yang terbesar) - ‘Holiness’, hal 38.

J. C. Ryle: “I fear it is sometimes forgotten that God has married together justification and sanctification. They are distinct and different things, beyond question, but one is never found without the other. All justified people are sanctified, and all sanctified are justified. What God has joined together let no man dare to put asunder” (= Saya takut / kuatir bahwa kadang-kadang dilupakan bahwa Allah telah menikahkan pembenaran dan pengudusan. Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah 2 hal yang berbeda, tetapi yang satu tidak pernah ada / ditemukan tanpa yang lain. Semua orang yang dibenarkan juga dikuduskan, dan semua yang dikuduskan juga dibenarkan. Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia) - ‘Holiness’, hal 46.

 

J. C. Ryle: “A ‘saint’, in whom nothing can be seen but worldliness or sin, is a kind of monster not recognized in the Bible” (= ‘Orang suci / kudus’, dalam siapa tidak ada apapun bisa dilihat kecuali keduniawian atau dosa, adalah sejenis monster yang tidak dikenal dalam Alkitab) - ‘Holiness’, hal 19.

 

J. C. Ryle: “Sound Protestant and evangelical doctrine is useless if it is not accompanied by a holy life. It is worse than useless: it does positive harm. It is despised by keensighted and shrewd men of the world, as an unreal and hollow thing, and brings religion into contempt” (= Doktrin / ajaran Protestan yang sehat dan injili tidak ada gunanya jika itu tidak dibarengi dengan hidup yang kudus. Itu bahkan lebih buruk dari tidak berguna: itu memberikan kerugian positif. Itu dihina oleh orang dunia yang bermata tajam / teliti dan cerdik, sebagai sesuatu yang tidak nyata dan kosong / palsu, dan menyebabkan agama dihina) - ‘Holiness’, bagian ‘Introduction’.

 

Spurgeon: “the nearer a man lives to God the more intensely he has to mourn over his own evil heart; and the more his Master honors him in His service, the more the evil of the flesh vexes and teases him day by day” (= makin seseorang hidup dekat dengan Allah, makin hebat ia berkabung atas hatinya sendiri yang jahat; dan makin Tuannya menghormatinya dalam pelayananNya, makin kejahatan dari daging menjengkelkan dan menggodanya hari demi hari) - ‘Morning and Evening’, July 5, morning.

 

Charles Haddon Spurgeon: “Nothing is more deadly than self-righteousness, or more hopeful than contrition” (= Tidak ada yang lebih mematikan dari pada perasaan bahwa diri sendiri itu benar, atau lebih berpengharapan dari pada perasaan sedih karena kesadaran dosa) - ‘Morning and Evening’, September 29, morning.

 

J. C. Ryle: “Let us not expect too much from our own hearts here below. At our best we shall find in ourselves daily cause for humiliation, and discover that we are needy debtors to mercy and grace every hour. The more light we have, the more we shall see our own imperfection. Sinners we were when we began, sinners we shall find ourselves as we go on: renewed, pardoned, justified, yet sinners to the very last” (= Janganlah kita berharap terlalu banyak dari hati kita sendiri di sini di bawah / di dunia. Sebaik-baiknya kita, kita tetap akan menemukan dalam diri kita sendiri hal-hal yang memalukan setiap hari, dan menemukan bahwa kita adalah orang berhutang yang membutuhkan belas kasihan dan kasih karunia setiap jam. Makin banyak terang yang kita miliki, makin kita melihat ketidaksempurnaan kita. Kita adalah orang berdosa pada waktu kita mulai, kita akan mendapatkan diri kita sebagai orang berdosa pada waktu kita berjalan: diperbaharui, diampuni, dibenarkan, tetapi tetap adalah orang berdosa sampai akhir) - ‘Holiness’, hal 31.

 

J. C. Ryle: “Many appear to forget that we are saved and justified as sinners, and only sinners, and that we never can attain to anything higher, if we live to the age of Methuselah. Redeemed sinners, justified sinners and renewed sinners doubtless we must be - but sinners, sinners, sinners, we shall be always to the very last” (= Banyak orang kelihatannya lupa bahwa kita diselamatkan dan dibenarkan sebagai orang berdosa, dan bahwa kita tidak pernah bisa mencapai sesuatu yang lebih tinggi, bahkan jika kita hidup sampai pada usia Metusalah. Tidak diragukan lagi bahwa kita adalah orang berdosa yang telah ditebus, orang berdosa yang telah dibenarkan dan orang berdosa yang telah diperbaharui - tetapi kita akan selalu adalah orang berdosa, orang berdosa, orang berdosa, sampai saat terakhir) - ‘Holiness’, hal 113.

 

Pulpit Commentary: “God’s holiest servants feel their unworthiness the most; they are conscious, not only of many great sins in the past, but of much frailty and inconstancy always. There are strange inconsistencies and vacillations and falterings, even in the holiest lives” (= Pelayan-pelayan Allah yang paling kudus paling merasakan ketidak-layakan mereka; mereka menyadari bukan hanya tentang banyak dosa-dosa besar di masa yang lalu, tetapi juga tentang selalu adanya banyak kelemahan dan ketidak-teguhan / ketidak-setiaan. Ada ketidak-konsistenan dan kebimbangan dan kegoyahan yang aneh, bahkan dalam kehidupan yang paling kudus) - ‘1Peter’, hal 19.

 

Allah menghendaki pengudusan kita (1Tes 4:3).

 

J. C. Ryle: “A truly sanctified person may be so clothed with humility that he can see in himself nothing but infirmity and defects” (= Orang yang benar-benar telah dikuduskan bisa dipakaiani dengan kerendahan hati sedemikian rupa sehingga ia tidak melihat apapun dalam dirinya sendiri kecuali kelemahan dan cacat) - ‘Holiness’, hal 18.

Bdk. Mat 25:37 - domba tak merasa berbuat baik.

 

Doa adalah cara / jalan untuk mendapatkan sanctification.

Mat 6:13  Mat 26:41.

 

Sanctification tak berarti bebas dari inward spiritual conflict. bdk. Gal 5:17.

Sanctification tidak membenarkan manusia, tetapi menyenangkan Allah.

 

J. C. Ryle: “He and sin must quarrel, if he and God are to be friends” (= Ia dan dosa harus bertengkar, jika ia dan Allah mau menjadi teman) - ‘Holiness’, hal 68.

 

J. C. Ryle: “A single day in hell will be worse than a whole life spent in carrying the cross” (= Satu hari dalam neraka lebih jelek dari pada seluruh hidup dihabiskan untuk memikul salib) - ‘Holiness’, hal 75.

 

 

 

 

I)  Apakah mortification itu?

 

Dalam Ro 8:13 ini istilah mortification ini digambarkan dengan kata-kata ‘mematikan perbuatan-perbuatan tubuh’.

 

1)   ‘Tubuh’.

Kata ‘tubuh’ dalam ay 13b artinya sama dengan kata ‘daging’ dalam ay 13a.

Jadi, ‘perbuatan tubuh / daging’ ini bisa disamakan dengan ‘kehidupan manusia lama’, yang menunjuk pada semua dosa dalam hidup kita.

 

2)   ‘Mematikan’ (= to mortify).

 

a)   ‘To mortify sin’  (= mematikan dosa) tidak berarti menutup-nutupi dosa, berpura-pura saleh, kesalehan lahiriah dsb.

 

John Owen:

“When a man on some outward respects forsakes the practice of any sin, men perhaps may look on him as a changed man. God knows that to his former iniquity he hath added cursed hypocrisy, and is got in a safer path to hell than he was in before. He hath got another heart than he had, that is more cunning; not a new heart, that is more holy” (= Pada waktu seseorang kelihatan dari luar meninggalkan praktek dari suatu dosa, mungkin orang akan melihatnya sebagai orang yang tetah berubah. Tetapi Allah tahu bahwa terhadap dosanya yang semula ia telah menambahkan kemunafikan yang terkutuk, dan ia telah mencapai jalan yang lebih aman menuju neraka dari pada sebelumnya. Ia telah mendapatkan hati yang lain yang lebih licik dari hatinya semula, bukan hati yang baru, yang lebih suci / kudus) - ‘The Works of John Owen’, vol 6, ‘Temptation and Sin’, hal 25.

 

Mortification bukan cuma kesalehan di luar yang disebabkan karena karakter / kepribadian yang tenang, tidak mudah marah, sopan dsb. Kalau hatinya tetap penuh dengan kebencian, iri hati, percabulan dsb, maka di sini tidak ada mortification.

 

Penerapan:

Apakah saudara hanya mempunyai kesalehan lahiriah (seperti pergi ke gereja, dibaptis, dsb), tetapi mempunyai hati yang tidak percaya dan jahat?

 

·        Artinya sama dengan ‘menyalibkan manusia lama’ / membuang dosa / semua yang tak sesuai dengan Firman Tuhan / kehendak Allah, bukan hanya secara lahiriah, tetapi juga di dalam hati.

Memang manusia lama ini sudah disalibkan dengan Kristus (Ro 6:6). Ini dimulai pada saat kelahiran baru (Ro 6:3-5). Tetapi ini harus dilanjutkan / ditingkatkan sampai pada kesempurnaan. Sekalipun memang dalam dunia ini kita tidak akan bisa mencapai kesempurnaan, tetapi itu harus menjadi tujuan kita.

 

II) Siapa yang harus melakukan mortification?

 

1)   Orang yang diberi kewajiban ini adalah ‘kamu’ (Ro 8:13), yaitu orang kristen di Roma kepada siapa Paulus menuliskan surat ini. Ini terlihat lebih jelas lagi dari Kol 3:5, karena kalau dilihat Kol 3:1-4 terlihat bahwa ini ditujukan kepada orang percaya.

 

2)   Ada bahayanya kalau kita menyuruh orang yang belum percaya untuk melakukan mortification, yaitu ia tidak akan datang kepada Yesus, sebaliknya merasa diri bisa melakukan perbaikan hidup. Dan pada saat ia gagal melakukan mortification itu, ia bisa berpandangan bahwa kek­ristenan itu salah, membuang dosa itu sia-sia dsb. Ini menyebabkan ia makin menyerah kepada dosa.

Karena itu, terhadap orang yang belum percaya, kita hanya menginjilinya menyuruh­nya datang kepada Yesus, sedangkan terhadap orang percaya kita menyuruhnya melakukan mortification.

 

II) Mengapa kita harus terus-menerus melakukan mortification?

 

1)   Karena dosa terus bertindak dalam diri kita menghasilkan perbuatan daging.

 

John Owen:

“When sin lets us alone we may let sin alone; but as sin is never less quiet than when it seems to be most quiet, and its waters are for the most part deep when they are still, so ought our contrivances against it to be vigorous at all times and in all conditions, even where there is least suspicion” (= Kalau dosa membiarkan kita / tak mengganggu kita, maka kita boleh membiarkan dosa; tetapi karena dosa itu tidak pernah  diam, dan airnya biasanya dalam pada waktu sedang tenang, maka usaha kita menentangnya harus bersemangat setiap saat dan dalam setiap kondisi, bahkan pada saat ada kecurigaan yang paling kecil) - ‘The Works of John Owen’, vol 6, ‘Temptation and Sin’, hal 11.

 

2)   Dosa bukan hanya akan terus bekerja / bertindak, tetapi kalau didiamkan / kalau tidak terus dimatikan, dosa itu akan melahir­kan dosa-dosa yang hebat, yang oleh Owen dikatakan sebagai ‘cursed, scandalous, soul-destroying sins’ (= dosa-dosa terkutuk, memalukan, mernghancurkan jiwa).

 

John Owen:

“Every unclean thought or glance would be adultery if it could; every covetous desire would be oppression, every thought of unbelief would be atheism, might it grow to its head” (= Setiap pikiran / pandangan mata yang najis akan menjadi perzinahan kalau memungkinkan; setiap keinginan yang tamak akan menjadi penindasan, setiap pikiran tentang ketidakpercayaan akan menjadi atheisme, kalau hal itu bisa tumbuh sampai puncaknya) - ‘The Works of John Owen’, vol 6, ‘Temptation and Sin’, hal 12.

Bandingkan dengan:

·        Ibr 3:13.  Gal 5:19-21.

·        1Sam 11 Daud mula-mula melihat Batsyeba, tetapi lalu berzinah dengan Batsyeba, membunuh Uria dsb.

 

John Owen:

“It is modest, as it were, in its first motions and proposals, but having once got footing in the heart by them, it constantly makes good its ground, and presseth on to some farther degrees in the same kind” (= Pada gerakan dan usul mula-mula dosa itu sopan, tetapi sekali mendapat tempat berpijak dalam hati kita, dosa itu merperkokoh posisinya, dan terus menekan ke tingkat yang lebih jauh) - ‘The Works of John Owen’, vol 6, ‘Temptation and Sin’, hal 12.

 

Penerapan:

Kalau perzinahan itu mau menguasai saudara bisa saja mula-mula ia datang dengan sopan, dan mengajak saudara untuk ‘mengagumi keindahan ciptaan Tuhan’, tetapi lalu membawa saudara ke dalam perzinahan dalam hati (Mat 5:28), dan akhirnya ke dalamn perzinahan fisik. Karena itu hati-hatilah dengan ‘sikap sopan’ dari dosa pada waktu ia pertama kali datang kepada saudara!

 

John Owen menambahkan sebagai berikut:

“One lust, or a lust in one man, may receive many accidental improvements, heightenings, and strengthenings, which may give it life, power, and vigour, exceedingly above what another lust hath, or the same lust (that is, of the same kind and nature) in another man” [= Satu nafsu, atau suatu nafsu dalam satu orang, bisa menerima kemajuan, peningkatan dan penguatan, yang memberinya hidup, kekuatan, dan semangat yang jauh melebihi yang dipunyai oleh nafsu yang lain, atau nafsu yang sama (yaitu, nafsu dari jenis dan sifat yang sama) dalam diri orang lain] - ‘The Works of John Owen’, vol 6, ‘Temptation and Sin’, hal 29.

 

John Owen juga memberi petunjuk tentang dosa yang sudah berkembang sampai pada taraf berbahaya:

a)         Kalau dosa itu sudah mendarah daging untuk waktu yang lama.

Renungkan: apa dosa / kelemahan saudara yang sudah ada sejak kecil? Zinah? Sombong? Dusta? Pemarah? Pendendam? Malas? Suka ngaret?

b)   Kalau kita menyetujui dosa itu, dan tak ada usaha untuk membunuhnya, atau usaha untuk membenarkan diri sekalipun ada dosa.

c)   Atau kalau kita hibur diri bahwa untuk dosa inipun Kristus sudah mati dan tebus, lalu kita teruskan dosa itu.

·        bdk. Naaman dalam 2Raja-raja 5:18 - mau teruskan masuk ke kuil Rimon bersama rajanya, dan minta Tuhan ampuni.

·        bdk. Yudas 4: 'menya­lahgunakan kasih karunia Allah untuk melampiaskan hawa nafsu!

·        bdk. Ro 6:1-2.

d)         Kalau kita senang / mencintai dosa itu (sekalipun kita tak melaku­kannya).

 

3)   Dosa memberikan banyak hal negatif.

 

a)   John Owen:

“Every unmortified sin will certainly do two things: - [1] It will weaken the soul, and deprive it of its vigour. [2] It will darken the soul, and deprive it of its comfort and peace” [= Setiap dosa yang tidak dimatikan pasti akan melakukan 2 hal: (1) Dosa itu akan melemahkan jiwa, dan mencabut / menghilangkan semangat / kekuatannya.(2) Dosa itu akan menggelapkan jiwa, dan mencabut / menghilangkan penghiburan dan damai darinya] - ‘The Works of John Owen’, vol 6, ‘Temptation and Sin’, hal 22.

Contoh:

·        Daud dalam Maz 38:4,9  Maz 40:13 (KJV: I am not able to look up).

·        Juga 1Yoh 2:15  1Yoh 3:17 - kehilangan kasih Allah.

·        Tentang ‘kehilangan damai’ lihat:

*        Im 26:17b,36-37a  Amsal 28:1.

*        1Raja2 8:38 - ‘apa yang merisaukan hatinya sendiri’ ® jelas menunjukkan bahwa dosa menghancurkan damai / sukacita.

Illustrasi:

Ini seperti tanaman yang ditanam tanpa disiangi tanahnya, sehingga tumbuh banyak semak, rumput dsb disekeliling­nya. Tanaman itu mungkin saja bisa tetap hidup, tetapi tidak akan bagus / sehat.

 

Sebaliknya, ada janji yang diberikan kalau kita melakukan kewajiban ini, yaitu: ‘Engkau akan hidup’ (Ro 8:13).

Hidup disini dikontraskan dengan ‘mati’ dalam ay 13a atau ‘kebina­saan’ dalam Gal 6:8.

Mungkin kata ‘hidup’ ini tidak hanya menunjuk pada hidup yang kekal, tetapi juga pada kehidupan rohani yang kuat, penuh semangat dan sukacita. Seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam 1Tes 3:8 - ‘Sekarang kami hidup kembali, asal saja kamu teguh berdiri’. Tentu maksud Paulus bukan sekedar ‘hidup kekal biasa’ tetapi hidup rohani yang penuh sukacita.

Jadi yang dijanjikan di dalam Ro 8:13 ini adalah: ‘Kamu akan mempunyai kehidupan rohani yang baik, bersemangat / kuat, dan menyenangkan saat ini, dan kamu akan menerima hidup kekal nanti’.

 

b)   Doa yang tidak dijawab

Hos 5:13-15 - tidak dilepaskan dari penderitaan, sekalipun berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, sampai mereka menga­ku bersalah (Hos 5:15  bdk. Zakh 7:8-14).

Bdk. Juga Yoh 9:31  Yes 59:1-2  Yes 1:15  Amsal 1:24-28.

 

c)         Dosa sebabkan pelayanan kita tak diberkati / sia-sia.

Pelayanan tergantung pada doa. Kalau doa tak dijawab (no b) di atas, maka jelas pelayanan akan sia-sia.

Bdk. juga 1Kor 15:58  2Tim 2:20-22.

 

d)   Dosa menyebabkan kita dikeraskan hatinya (Ibr 3:12-13).

Kita menjadi tak takut kepada Allah, remehkan / kecilkan dosa itu dsb.

 

e)   Adanya hukuman / hajaran Tuhan (Maz 89:31-33).

Bdk. Yunus ditelan ikan.

 

4)   Dosa menyedihkan / mendukakan Roh Kudus (Ef 4:30).

 

III) Bagaimana caranya melakukan mortification?

 

1)   Cara melakukan kewajiban itu adalah: ‘melalui Roh Kudus’.

 

John Owen:

“Mortification from a self-strength, carried on by ways of self-invention, unto the end of a self-righteousness, is the soul and substance of all false religion in the world” (= Tindakan mematikan dosa dengan kekuatan sendiri, dilakukan dengan cara-cara yang ditemukan sendiri, menuju kebenaran diri sendiri, adalah jiwa dan zat / inti dari semua agama palsu dalam dunia) - ‘The Works of John Owen’, vol 6, ‘Temptation and Sin’, hal 7.

 

Dalam melakukan mortification ini harus ada kesadaran mendalam bahwa kita tidak mampu, dan hanya Roh Kudus yang mampu. Ini membuat kita harus bersandar kepada Dia dengan banyak berdoa! Tetapi bahwa Roh Kudus yang menguduskan kita dan mematikan dosa dalam diri kita, tidak berarti bahwa kita tak perlu berbuat apa-apa. Pengudusan / mortification termasuk synergistic, yaitu suatu hal yang terjadi karena kerja sama dua pihak, yaitu Allah / Roh Kudus dan manusia!

 

John Owen:

“He works in us and with us, not against us or without us” (= Ia bekerja di dalam kita dan bersama kita, bukan menentang kita atau tanpa kita) - ‘The Works of John Owen’, vol 6, ‘Temptation and Sin’, hal 20.

 

2)   Kita tak boleh mengecilkan / meremehkan dosa itu. Kita harus mempunyai pengertian yang benar tentang kesalahan, bahaya, dan jahatnya dosa itu. Tidak adanya hal ini menyebabkan kita terus ada dalam dosa itu. Contoh:

·        2Raja2 5:18 - Naaman adalah contoh orang yang meremehkan dosa.

·        Amsal 7:23b - tidak sadar bahwa hidupnya terancam.

Bdk. juga dengan Roma Katolik yang mengajarkan tentang venial sins (= dosa kecil), yang bahkan tidak perlu diakui.

Kita memang percaya adanya tingkat-tingkat dosa, tetapi kita tidak percaya adanya dosa yang boleh diremehkan! Setiap dosa yang bagaimanapun kecilnya, upahnya adalah maut. Setiap dosa yang bagaimanapun kecilnya, menimbulkan murka Allah / menjauhkan manusia dari Allah. Setiap dosa yang bagaimanapun kecilnya, menyebabkan Kristus harus mati di atas kayu salib.

 

3)   Kita tak boleh melakukan mortification itu hanya pada dosa-dosa tertentu saja, tetapi pada semua dosa (bdk. 2Kor 7:1 - marilah kita menyucikan diri dari semua pencemaran jasmani dan rohani). Mengapa?

a)      biasanya orang memilih untuk membunuh dosa yang menyebabkan hidupnya tidak damai, tidak enak, dsb, tetapi membiarkan dosa yang tidak menyebabkan hal-hal itu. Ini menunjukkan bahwa morti­fication yang ia lakukan didasarkan pada self-love (= kasih pada diri sendiri)!

b)      Bisa saja dosa-dosa yang mau kita buang itu tidak bisa mati, justru karena adanya dosa-dosa yang kita biarkan.

c)      Allah sering menghukum satu dosa dengan membiarkan orang itu jatuh ke dalam dosa-dosa lain (Maz 81:12-13  Ro 1:24,26,28). Jadi, dosa yang satu bisa berhubungan dengan dosa yang lain.

d)      dosa yang dibiarkan itu akan merusak persekutuan kita dengan Allah, dan rusaknya persekutuan dengan Allah ini menyebabkan kita tidak punya kekuatan untuk membuang dosa yang ingin kita buang.

Renungkan: dosa apa yang saudara biarkan dalam diri saudara?

 

4)   Mortification harus dilakukan dengan terus menerus memerangi / melemahkan dosa itu. Jangan hanya kadang-kadang, karena pada saat kita berhenti memeranginya, ia bertumbuh / menguat.

 

John Owen:

“Cease not a day from this work; be killing sin or it will be killing you” (= jangan berhenti satu haripun dari pekerjaan ini; bunuhlah dosa atau dosa itu akan membunuhmu) - ‘The Works of John Owen’, vol 6, ‘Temptation and Sin’, hal 9.

 

Tujuannya supaya dosa terus berkurang dalam kekuatannya, maupun dalam seringnya muncul dalam diri kita. Dosa, khususnya yang telah lama dipelihara dan menjadi kuat, harus dilemahkan / diperangi terus menerus ® ini yang disebut menyalib­kan daging dengan segala keinginannya (Gal 5:24).

Perlu juga diketahui bahwa kalau seseorang disalibkan, maka biasa­nya mula-mula ia berontak, berteriak dsb, tetapi lama-kelamaan akan melemah dan mati. Demikian juga pada waktu kita menyalibkan dosa, maka sering terjadi bahwa dosa itu lalu justru kelihatan tambah hebat.

Catatan:

Makin hebatnya dosa pada saat kita melakukan mortification sering membuat kita putus asa, merasa gagal / sia-sia, sehingga kita berhenti menyalibkan dosa itu, tetapi kalau penyaliban itu diteruskan, maka dosa itu akan melemah dan mati.

 

5)   Melakukan hal-hal yang ‘tidak menyenangkan’ / bertentangan dengan dosa itu.

Contoh:

·        kalau saudara suka ngaret, maka janganlah sekedar datang persis pada waktunya, tetapi datanglah kepagian, bahkan sangat kepagian. Ini adalah sesuatu yang sangat tidak menyenangkan bagi sifat ngaret itu!

·        kalau saudara medit / kikir, justru berikan uang kepada gereja / orang yang layak dibantu.

·        kalau saudara sering tidak memberikan persembahan persepuluhan, justru berikan persembahan perlimaan, sekaligus untuk membayar hutang saudara kepada Tuhan!

·        kalau saudara tamak, justru tolak tawaran bisnis, sekalipun sebetulnya memungkinkan untuk menerimanya!

·        kalau saudara selalu hidup dengan pengelihatan / logika, justru saudara harus berusaha untuk hidup dengan iman (bdk. 2Kor 5:7).

·        kalau saudara sombong / senang dianggap hebat / disanjung, justru buatlah supaya saudara direndahkan. Misalnya: pada waktu berkumpul kumpul dengan teman-teman yang kaya, saudara pakai pakaian sederhana / murah, tanpa perhiasan. Atau dengan berani bertanya (sekalipun akan dianggap bodoh) pada waktu ada sesuatu yang tidak saudara mengerti dalam pembicaraan.

·        kalau TV menjadi ‘allah lain’ dalam hidup saudara, maka saudara harus dengan sengaja tidak menonton acara yang saudara senangi sekalipun sebetulnya ada waktu untuk menontonnya.

·        kalau saudara tidak bisa bersekutu, justru harus mengadakan waktu untuk bersekutu.

·        kalau saudara malas melayani, justru saudara harus meminta pelayanan yang merepotkan!

·        kalau saudara membenci  / mendendam kepada seseorang, saudara justru harus mendoakan dia dan melakukan sesuatu yang baik kepadanya (Mat 5:44).

·        kalau saudara senang memfitnah / menjelekkan orang, saudara justru harus membicarakan kebaikan orang.

·        kalau saudara senang bersungut-sungut, saudara justru harus memuji Tuhan / bersyukur kepada Tuhan.

·        kalau pikiran saudara sering kotor / cabul, saudara justru harus mengisinya dengan hal-hal yang baik, seperti Firman Tuhan (bdk. Fil 4:8).

·        kalau saudara mempunyai keinginan menyeleweng, saudara justru harus mendekat kepada istri saudara dan menunjukkan kasih saudara kepadanya.

 

Renungkan:

Kelemahan apa yang ada pada diri saudara, dan hal apa yang bertentangan dengannya yang harus saudara lakukan?

 

6)   Menjauhi pencobaan yang membawa kita pada dosa itu.

Perlu juga diketahui bahwa kalau dosa itu digambarkan seperti tanaman yang menghasilkan buah yang pahit / beracun, maka tidak cukup bagi kita untuk menghancurkan buahnya, tetapi seluruh tanaman beserta akarnya!

Pertama-tama kita harus mengenali dosa apa yang ada dalam diri kita, lalu kita harus mempelajari cara-caranya / siasat yang ia pakai dalam mengalahkan kita, situasi apa yang menguntungkan dia, dsb. Jadi, kita betul-betul seperti perang, dimana kita harus menyeli­diki kekuatan dan kelemahan dan taktik dari musuh kita.

 

John Owen:

“This is a folly that possesses many who have yet a quick and living sense of sin. They are sensible of their sins, not of their temptations, - are displeased with the bitter fruit, but cherish the poisonous root” (= Ini adalah kebodohan yang merasuk / menguasai banyak orang yang mempunyai perasaan yang cepat dan hidup tentang dosa. Mereka peka terhadap dosa mereka, tidak terhadap pencobaan mereka; tidak senang dengan buah yang pahit, tetapi menyayangi / memelihara / memberi makan akar yang beracun) - ‘The Works of John Owen’, vol 6, ‘Temptation and Sin’, hal 118.

 

Adalah sesuatu yang kurang ajar kalau kita berdoa supaya ‘jangan dibawa ke dalam pencobaan’ (Mat 6:13a), tetapi kita terus menerus menyenangi dan mendatangi pencobaan!

 

Penerapan:

·        kalau kelemahan saudara adalah perzinahan, maka saudara harus menjauhi film yang merangsang, buku / bacaan yang porno / membangkitkan nafsu, dan juga teman-teman yang omongannya erotis / cabul / membangkitkan nafsu, lebih-lebih teman yang mengajak untuk berzinah.

·        kalau kelemahan saudara adalah dalam hal menonton TV, sumbangkan TV saudara ke gereja!

·        kalau kelemahan saudara adalah merokok, jauhi teman yang merokok.

 

Renungkan:

Apa kelemahan saudara, dan apa yang harus saudara lakukan untuk menjauhkan pencobaan yang menarik saudara ke dalam dosa itu?

 

7)   Menghidupkan manusia baru (vivification).

Kalau mortification adalah mematikan manusia lama, maka vivification adalah menghidupkan manusia baru. Kalau mortification adalah sesuatu yang negatif, maka vivification adalah sesuatu yang positif. Kalau mortification adalah berusaha untuk berhenti berbuat dosa, maka vivification adalah berusaha berbuat baik.

Bdk. Kol 3:5-17! Bagian ini mengandung mortification maupun vivification! Kedua hal ini harus dilakukan secara serentak!

Contoh dari vivification:

·        berbakti dengan rajin.

Saudara hanya boleh tidak datang dalam kebaktian kalau saudara sakit, atau hujan begitu lebat sampai banjir 3 meter!

·        belajar Firman Tuhan melalui Pemahaman Alkitab, cassette khotbah, buku makalah!.

·        Berdoa, secara pribadi maupun dalam Persekutuan Doa di gereja.

·        Melayani / memberitakan Injil.

·        Melakukan semua hal yang baik / sesuai dengan Firman Tuhan, seperti menolong orang, mengasihi istri, mentaati suami, dsb.

 

 

 

 

 

-AMIN-

 

 

 

Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

E-mail : [email protected]

e-mail us at [email protected]

http://golgothaministry.org

Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ