(Rungkut Megah Raya, blok D no 16)
Minggu, tgl 3 Desember 2017, pk 08.00 & 17.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
VII) Tetzel dan penjualan surat pengampunan dosa.
1) Siapa Tetzel itu?
David Schaff: “The Archbishop appointed Johann Tetzel (Diez) of the Dominican order, his commissioner, who again employed his sub-agents.” [= Uskup Agung menetapkan Johann Tetzel (Diez) dari ordo Dominican, anggota komisinya, yang lalu mempekerjakan agen-agen bawahan.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 151.
David Schaff: “Tetzel was born between 1450 and 1460, at Leipzig, and began his career as a preacher of indulgences in 1501. He became famous as a popular orator and successful hawker of indulgences. He was prior of a Dominican convent, doctor of philosophy, and papal inquisitor (haereticae pravitatis inquisitor). At the end of 1517 he acquired in the University of Frankfurt-on-the-Oder the degree of Licentiate of Theology, and in January, 1518, the degree of Doctor of Theology, by defending, in two disputations, the doctrine of indulgences against Luther. He died at Leipzig during the public debate between Eck and Luther, July, 1519. He is represented by Protestant writers as an ignorant, noisy, impudent, and immoral charlatan, who was not ashamed to boast that he saved more souls from purgatory by his letters of indulgence than St. Peter by his preaching. On the other hand, Roman Catholic historians defend him as a learned and zealous servant of the church. He has only an incidental notoriety, and our estimate of his character need not affect our views on the merits of the Reformation. We must judge him from his published sermons and anti-theses against Luther. They teach neither more nor less than the usual scholastic doctrine of indulgences based on an extravagant theory of papal authority. He does not ignore, as is often asserted, the necessity of repentance as a condition of absolution. But he probably did not emphasize it in practice, and gave rise by unguarded expressions to damaging stories. His private character was certainly tainted, if we are to credit such a witness as the papal nuncio, Carl von Miltitz, who had the best means of information, and charged him with avarice, dishonesty, and sexual immorality.” [= Tetzel dilahirkan antara 1450 dan 1460, di Leipzig, dan memulai karirnya sebagai seorang pengkhotbah dari pengampunan dosa pada tahun 1501. Ia menjadi terkenal sebagai seorang orator yang populer dan penjual agresif yang sukses dari pengampunan dosa. Ia adalah petugas / pejabat biara dari suatu biara Dominican, Doktor filsafat, dan penyelidik kesesatan dari kepausan (haereticae pravitatis inquisitor). Pada akhir dari tahun 1517 ia mendapatkan di Universitas Frankfurt-on-the-Oder gelar Licentiate of Theology, dan pada Januari 1518, gelar Doktor of Theology, dengan mempertahankan, dalam dua perdebatan, doktrin pengampunan dosa terhadap / melawan Luther. Ia mati di Leipzig dalam debat umum antara Eck dan Luther, pada bulan Juli 1519. Ia digambarkan oleh penulis-penulis Protestan sebagai seorang penjual obat palsu yang bodoh, ribut / banyak bicara, kurang ajar, dan tak bermoral, yang tidak malu untuk membanggakan bahwa ia menyelamatkan lebih banyak jiwa dari api penyucian dengan surat-surat pengampunan dosanya dari pada Santo Petrus dengan khotbahnya. Di sisi lain, ahli-ahli sejarah Roma Katolik membela / mempertahankan dia sebagai seorang pelayan gereja yang terpelajar dan bersemangat. Ia hanya mempunyai keterkenalan yang buruk sekali-sekali, dan penilaian kita tentang karakternya tidak perlu mempengaruhi pandangan-pandangan kita tentang jasa-jasa dari Reformasi. Kita harus menilai dia dari khotbah-khotbahnya yang dipublikasikan, dan anti thesisnya terhadap / menentang Luther. Mereka mengajar tak lebih atau kurang dari doktrin Katolik umum / biasa tentang pengampunan dosa yang didasarkan pada suatu teori berlebihan tentang otoritas kepausan. Ia tidak mengabaikan, seperti sering dinyatakan, perlunya pertobatan sebagai suatu syarat dari pengampunan. Tetapi mungkin ia tidak menekankannya dalam prakteknya, dan oleh ungkapan-ungkapan yang tak dijaga menimbulkan cerita-cerita yang merusak. Karakter moralnya pasti bercacat, jika kita mau mempercayai saksi seperti wakil Paus, Carl von Militz, yang mempunyai jalan informasi yang terbaik, dan menuduh dia dengan ketamakan, ketidak-jujuran, dan ketidak-bermoralan dalam hal sex.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 151-153.
David Schaff: “Tetzel traveled with great pomp and circumstance through Germany, and recommended with unscrupulous effrontery and declamatory eloquence the indulgences of the Pope to the large crowds who gathered from every quarter around him. He was received like a messenger from heaven. Priests, monks, and magistrates, men and women, old and young, marched in solemn procession with songs, flags, and candles, under the ringing of bells, to meet him and his fellow-monks, and followed them to the church; the papal Bull on a velvet cushion was placed on the high altar, a red cross with a silken banner bearing the papal arms was erected before it, and a large iron chest was put beneath the cross for the indulgence money. Such chests are still preserved in many places. The preachers, by daily sermons, hymns, and processions, urged the people, with extravagant laudations of the Pope’s Bull, to purchase letters of indulgence for their own benefit, and at the same time played upon their sympathies for departed relatives and friends whom they might release from their sufferings in purgatory ‘as soon as the penny tinkles in the box.’” [= Tetzel melakukan perjalanan dengan kemegahan dan upacara yang besar melalui Jerman, dan dengan keberanian yang tak mempedulikan kebenaran dan kefasihan bicara, memberi rekomendasi tentang pengampunan dosa dari Paus kepada kumpulan besar orang banyak yang berkumpul dari setiap sudut di sekitarnya. Ia diterima seperti seorang utusan dari surga. Pastor-pastor, biarawan-biarawan, dan magister-magister / pejabat-pejabat, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, berbaris dalam kelompok-kelompok yang khidmat dengan lagu-lagu, bendera-bendera, dan lilin-lilin, di bawah bunyi lonceng-lonceng, untuk menemuinya dan rekan-rekan biarawannya, dan mengikuti mereka ke gereja; ketetapan formil dari Paus pada suatu bantal empuk ditempatkan pada altar yang tinggi, suatu salib merah dengan suatu panji sutera menyimbolkan kuasa / otoritas Paus didirikan di hadapannya, dan suatu kotak kuat dari besi yang besar diletakkan di bawah salib untuk uang pengampunan dosa. Kotak-kotak seperti itu tetap dipelihara di banyak tempat. Pengkhotbah-pengkhotbah, dengan khotbah-khotbah harian, lagu-lagu pujian, dan musik, mendesak orang-orang, dengan pujian yang berlimpah-limpah tentang ketetapan Paus, untuk membeli surat-surat pengampunan dosa demi kepentingan mereka sendiri, dan pada saat yang sama memanipulasi simpati mereka untuk keluarga dan teman-teman yang sudah mati yang bisa mereka bebaskan dari penderitaan mereka dalam api penyucian ‘secepat uang logam / koin berdenting dalam kotak’.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 153.
Bdk. Luk 6:26 - “Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu.’”.
David Schaff: “The common people eagerly embraced this rare offer of salvation from punishment, and made no clear distinction between the guilt and punishment of sin; after the sermon they approached with burning candles the chest, confessed their sins, paid the money, and received the letter of indulgence which they cherished as a passport to heaven. But intelligent and pious men were shocked at such scandal. The question was asked, whether God loved money more than justice, and why the Pope, with his command over the boundless treasury of extra-merits, did not at once empty the whole purgatory for the rebuilding of St. Peter’s, or build it with his own money.” [= Orang-orang awam dengan tak sabar / dengan keinginan yang besar menerima tawaran yang jarang dari keselamatan dari hukuman ini, dan tak membedakan antara kesalahan dan hukuman dari dosa; setelah khotbah mereka mendekati kotak dengan lilin menyala, mengakui dosa-dosa mereka, membayar uangnya, dan menerima surat pengampunan dosa yang mereka hargai sebagai suatu paspor ke surga. Tetapi orang-orang yang pandai dan saleh terkejut oleh skandal seperti itu. Pertanyaan ditanyakan, apakah Allah mencintai uang lebih dari keadilan, dan mengapa Paus, dengan otoritasnya atas dana yang tak terbatas dari jasa / perbuatan baik yang kelebihan, tidak segera mengosongkan seluruh api penyucian untuk pembangunan kembali / renovasi (gereja) Santo Petrus, atau membangunnya dengan uangnya sendiri.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.
Bdk. Amsal 15:21 - “Kebodohan adalah kesukaan bagi yang tidak berakal budi, tetapi orang yang pandai berjalan lurus.”.
VIII) Reformasi: pemakuan 95 thesis oleh Luther.
David Schaff: “Tetzel approached the dominions of the Elector of Saxony, who was himself a devout worshiper of relics, and had great confidence in indulgences, but would not let him enter his territory from fear that he might take too much money from his subjects. So Tetzel set up his trade on the border of Saxony, at Jueterbog, a few hours from Wittenberg. There he provoked the protest of the Reformer, who had already in the summer of 1516 preached a sermon of warning against trust in indulgences, and had incurred the Elector’s displeasure by his aversion to the whole system, although he himself had doubts about some important questions connected with it.” [= Tetzel mendekati daerah kekuasaan dari Pangeran Saxony, yang dirinya sendiri adalah seorang penyembah relics yang berbakti, dan mempunyai keyakinan yang besar pada pengampunan dosa, tetapi tidak mau mengijinkan dia memasuki wilayahnya karena takut bahwa ia mengambil uang terlalu banyak dari orang-orang dibawah kekuasaannya. Jadi Tetzel menempatkan perdagangannya di perbatasan Saxony, di Jueterborg, beberapa jam dari Wittenberg. Di sana ia memprovokasi protes dari sang Reformator, yang pada musim panas tahun 1516 telah mengkhotbahkan suatu khotbah yang memperingatkan terhadap kepercayaan pada pengampunan dosa, dan telah menimbulkan ketidak-senangan sang Pangeran terhadapnya oleh kejijikannya pada seluruh sistim itu, sekalipun ia sendiri mempunyai keragu-raguan tentang beberapa pertanyaan penting berhubungan dengan hal itu.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.
Dr. Albert H. Freundt Jr.: “The Elector of Saxony, Luther’s prince, forbade the sale of Tetzel’s indulgence in his territory. ... but his people went across the border a few miles to hear Tetzel preach in neighboring towns.” [= Pangeran dari Saxony, pangeran dari Luther, melarang penjualan pengampunan dosa Tetzel di wilayahnya. ... tetapi orang-orangnya / rakyatnya menyeberangi perbatasan beberapa mil untuk mendengar Tetzel berkhotbah di kota-kota yang berdekatan.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 28.
David Schaff: “Luther had experienced the remission of sin as a free gift of grace to be apprehended by a living faith. This experience was diametrically opposed to a system of relief by means of payments in money. It was an irrepressible conflict of principle. He could not be silent when that barter was carried to the very threshold of his sphere of labor. As a preacher, a pastor, and a professor, he felt it to be his duty to protest against such measures: to be silent was to betray his theology and his conscience.” [= Luther telah mengalami pengampunan dosa sebagai suatu pemberian cuma-cuma dari kasih karunia untuk dimengerti oleh suatu iman yang hidup. Pengalaman ini bertentangan secara frontal dengan suatu sistim pengurangan dengan cara pembayaran dengan uang. Itu merupakan suatu konflik tentang prinsip yang tak bisa ditekan / dikekang. Ia tidak bisa diam pada waktu barter / pertukaran itu dibawa persis ke ambang pintu dari ruang lingkup jerih payahnya. Sebagai seorang pengkhotbah, seorang gembala, dan seorang profesor, ia merasakannya sebagai kewajibannya untuk memprotes terhadap / menentang ukuran (?) seperti itu: diam berarti mengkhianati theologianya dan hati nuraninya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154-155.
Bandingkan kutipan di atas ini dengan ayat-ayat di bawah ini:
a) Ro 3:23-24 - “(23) Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, (24) dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.”.
b) Yes 55:1-2 - “(1) Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran! (2) Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat.”.
c) Mat 10:27 - “Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah.”.
Edmund Burke: “All that is necessary for the triumph of evil is that good men do nothing.” [= Semua yang dibutuhkan supaya kejahatan menang adalah bahwa orang-orang yang baik tidak melakukan apa-apa.] - ‘Streams in the Desert’, vol 2, June 13.
David Schaff: “The jealousy between the Augustinian order to which he belonged, and the Dominican order to which Tetzel belonged, may have exerted some influence, but it was certainly very subordinate. ... The controversy with Tetzel (who is not even mentioned in Luther’s Theses) was merely the occasion, but not the cause, of the Reformation: it was the spark which exploded the mine. The Reformation would have come to pass sooner or later, if no Tetzel had ever lived; and it actually did break out in different countries without any connection with the trade in indulgences, except in German Switzerland, where Bernhardin Samson acted the part of Tetzel, but after Zwingli had already begun his reforms.” [= Sikap cemburu / waspada antara ordo Augustinian pada mana ia termasuk, dan ordo Dominican pada mana Tetzel termasuk, bisa / mungkin telah mendorong / memunculkan sedikit pengaruh, tetapi itu pasti sangat sekunder. ... Kontroversi dengan Tetzel (yang bahkan tak disebutkan namanya dalam thesis dari Luther) semata-mata hanyalah peristiwa / kesempatan, tetapi bukan penyebab, dari Reformasi: itu adalah percikan api yang meledakkan tambang. Reformasi akan terjadi cepat atau lambat, seandainya tak ada seorang Tetzel yang pernah hidup; dan itu sungguh-sungguh terjadi / menyebar di negara-negara yang berbeda tanpa hubungan apapun dengan perdagangan dalam pengampunan dosa, kecuali di Swiss Jerman, dimana Bernhardin Samson melakukan bagian Tetzel, tetapi setelah Zwingli telah memulai reformasinya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 155.
Catatan:
1. Perbedaan ordo-ordo dalam Gereja Katolik, bukan berhubungan dengan perbedaan doktrin, tetapi hanya perbedaan dalam penekanan saja (misalnya ada yang menekankan doa, ada yang menekankan pelayanan / khotbah dsb). Itu bisa dibaca di link di bawah ini:
http://www.religious-vocation.com/differences_religious_orders.html#.Wg5XqHlx0dU
2. Khusus tentang Ordo Augustinian bisa dibaca di link di bawah ini:
https://en.wikipedia.org/wiki/Augustinians
3. Khusus tentang Ordo Dominican bisa dibaca di link di bawah ini:
https://en.wikipedia.org/wiki/Dominican_Order
Dr. Albert H. Freundt Jr.: “The crude way in which Tetzel hawked these indulgences didn’t help reassure Luther, who for some years had been troubled over the doctrine and practice of indulgences. Said Tetzel, who gave this invitation at the end of his emotional appeals: ‘The moment the coin in the collection box rings, that moment the souls from purgatory springs.’” [= Cara yang kasar / terang-terangan dalam mana Tetzel berkeliling sambil menjual pengampunan dosa itu secara agresif, tidak membantu untuk meyakinkan kembali Luther, yang untuk banyak tahun telah diganggu oleh doktrin dan praktek dari pengampunan dosa. Kata Tetzel, yang memberikan undangan ini pada akhir dari permohonan emosionilnya: ‘Saat koin berdenting dalam kotak kolekte, saat itu jiwa meloncat dari api penyucian’.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 28.
David Schaff: “After serious deliberation, without consulting any of his colleagues or friends, but following an irresistible impulse, Luther resolved upon a public act of unforeseen consequences. ... He wished to elicit the truth about the burning question of indulgences, which he himself professed not fully to understand at the time, and which yet was closely connected with the peace of conscience and eternal salvation. He chose the orderly and usual way of a learned academic disputation.” [= Setelah pemikiran yang serius, tanpa berkonsultasi dengan rekan-rekan atau sahabat-sahabat yang manapun, tetapi mengikuti dorongan hati yang tak bisa ditahan, Luther memutuskan suatu tindakan umum dari konsekwensi-konsekwensi yang tidak terlihat lebih dulu. ... Ia ingin mendapatkan kebenaran tentang pertanyaan yang mendesak tentang pengampunan dosa, yang ia sendiri akui tidak ia mengerti sepenuhnya pada saat itu, dan yang berhubungan dekat dengan damai dari hati nurani dan keselamatan kekal. Ia memilih cara yang teratur / sesuai dengan sistim dan umum / biasa dari suatu perdebatan akademik terpelajar.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 155.
Bdk. Gal 1:15-17 - “(15) Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karuniaNya, (16) berkenan menyatakan AnakNya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia; (17) juga aku tidak pergi ke Yerusalem mendapatkan mereka yang telah menjadi rasul sebelum aku, tetapi aku berangkat ke tanah Arab dan dari situ kembali lagi ke Damsyik.”.
David Schaff: “Accordingly, on the memorable thirty-first day of October, 1517, which has ever since been celebrated in Protestant Germany as the birthday of the Reformation, at twelve o’clock he affixed (either himself or through another) to the doors of the castle-church at Wittenberg, ninety-five Latin Theses on the subject of indulgences, and invited a public discussion. At the same time he sent notice of the fact to Archbishop Albrecht of Mainz, and to Bishop Hieronymus Scultetus, to whose diocese Wittenberg belonged. He chose the eve of All Saints’ Day (Nov. 1), because this was one of the most frequented feasts, and attracted professors, students, and people from all directions to the church, which was filled with precious relics.” [= Jadi, pada hari yang layak untuk diingat, tanggal 31 Oktober tahun 1517, yang sejak saat itu dirayakan di Jerman Protestan sebagai hari kelahiran dari Reformasi, pada pk 12 ia menempelkan (atau ia sendiri atau melalui orang lain) pada pintu-pintu dari gereja benteng di Wittenberg, 95 thesis berbahasa Latin tentang pokok tentang pengampunan dosa, dan mengundang suatu diskusi umum. Pada saat yang sama ia mengirimkan pengumuman formil / tertulis tentang fakta itu kepada Uskup Agung Albrecht dari Mainz, dan kepada Uskup Hieronymus Scultetus, dalam keuskupan siapa Wittenberg termasuk. Ia memilih malam dari ‘All Saints’ Day’ (tanggal 1 Nopember), karena ini adalah salah satu dari hari-hari raya yang paling sering dikunjungi, dan menarik profesor-profesor, mahasiswa-mahasiswa, dan orang-orang dari semua jurusan kepada gereja, yang dipenuhi dengan relics yang berharga.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 155-156.
Catatan:
a) 95 thesis ini ditulis dalam bahasa Latin, sehingga jelas ditujukan kepada para ahli theologia, bukan untuk umum, yang tak mengerti bahasa Latin itu.
b) ‘All Saints’ Day’ (tanggal 1 Nopember) merupakan hari raya Gereja Katolik yang dirayakan untuk menghormati semua orang-orang kudus (santa / santo).
Dr. Albert H. Freundt Jr.: “Luther was troubled over the theory of indulgence, and his heart ached to hear that ignorant people supposed they had no more need for penitence because they had bought the indulgence. Luther was shown a copy of the Archbishop’s instruction to Tetzel, and he was shoched. On All Saints’ Eve, October 31, 1517, he nailed to the door of the castle church at Wittenberg a placard inscribed with ‘Ninity-Five Theses upon Indulgences.’ He announced thereby that he was ready to defend these theses at a public disputation. The placard was not intended to be revolutionary or to appeal to the general public. The theses were designed to be debated by theologians.” [= Luther terganggu oleh teori pengampunan dosa, dan hatinya sakit mendengar bahwa orang-orang yang bodoh / tidak mempunyai pengertian menganggap bahwa mereka tak lagi memerlukan pertobatan karena mereka telah membeli pengampunan dosa itu. Luther ditunjuki satu salinan dari instruksi Uskup Agung kepada Tetzel, dan ia terkejut. Pada malam dari hari ‘All Saints’, tanggal 31 Oktober 1517, ia memakukan pada pintu dari gereja di Wittenberg suatu poster bertuliskan dengan ‘Sembilan puluh lima Thesis tentang Pengampunan Dosa’. Ia dengan itu mengumumkan bahwa ia siap untuk mempertahankan thesis ini pada suatu perdebatan umum / terbuka. Poster itu bukan dimaksudkan untuk bersifat revolusi atau mendesak pada masyarakat umum. Thesis ini dirancang untuk diperdebatkan oleh ahli-ahli theologia.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 28.
Dr. Albert H. Freundt Jr.: “Luther main three points: He objected to the object of expenditure (St. Peter’s in Rome), for German would not profit from it. He denied the power of the Pope over purgatory; the Pope has no jurisdiction over purgatory, if he does, why not just release everyone from it. He claimed that indulgences gave a sinner a false sense of well-being. ... The most radical proposition is that ‘Any Christian whatever, who is truly repentant, enjoys full remission from penalty and guilt, and this is given him without letters of indulgence.’” [= Tiga pokok utama Luther: Ia keberatan terhadap tujuan dari pengeluaran / biaya (Gereja Santo Petrus di Roma), karena Jerman tidak akan mendapatkan manfaat darinya. Ia menyangkal kuasa Paus atas api penyucian; Paus tidak mempunyai hak hukum atas api penyucian, jika ia punya, mengapa tidak membebaskan semua orang dari api penyucian itu. Ia mengclaim bahwa pengampunan dosa itu memberi seorang berdosa suatu perasaan yang salah / palsu tentang kebahagiaan / kondisi yang baik. ... Persoalan / pokok yang paling radikal adalah bahwa ‘Orang Kristen manapun, yang bertobat dengan sungguh-sungguh, menikmati pengampunan penuh dari hukuman dan kesalahan, dan ini diberikan kepadanya tanpa surat pengampunan dosa’.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 29.
Dr. Albert H. Freundt Jr.: “Luther does not overstep the frontier between frank criticism and defiance of papal authority. In fact, as Luther looked back on this in 1545, he said: ‘When I first took up this cause I was a most vehement Papist, so intoxicated - so drowned - in papal dogmas that I stood ready beyond all others to kill, if I could, or at least to consent to and work with the killers, of every one who depreciated even by a single syllable the obedience due to the Pope ... This is why you will find in my earlier writings such a multitude of grovelling concessions to the Pope, which as time has proceeded I abominate and repudiate for extreme blasphemy ... In those early days I stood alone; I was fitted neither by experience nor education for dealing with such momentous subjects; and I call God to witness that I plunged into these controversies neither by choice nor conviction, but by chance. When, then, in 1517 Indulgences were being sold in these districts (or ‘promulgated,’ as I preferred to call it) for filthy lucre, I ... began to dissuade and deter the people from lending their ear to the cries of the Indulgence-mongers, ... ; and I conceived that in this I could claim the Pope as my protector, for I placed strong reliance on his good faith ... My concern was to shield the Pope’s honor by pressing not for the condemnation of Indulgences but for preference to be given to works of love.’” [= Luther tidak melewati batasan antara kritik yang terbuka / tulus / jujur dan penentangan terhadap otoritas Paus / Gereja Roma Katolik. Dalam faktanya, pada waktu Luther melihat kembali tentang hal ini di tahun 1545, ia berkata: ‘Pada waktu aku pertama-tama mengangkat / memulai perkara ini aku adalah orang Katolik / pengikut Paus yang sangat bersemangat, begitu mabuk - begitu tenggelam - dalam dogma-dogma Gereja Roma Katolik sehingga aku siap melebihi yang lain untuk membunuh, jika aku bisa, atau setidaknya menyetujui dan bekerja sama dengan pembunuh-pembunuh, dari setiap orang yang merendahkan / menghina bahkan oleh satu suku kata ketaatan yang harus diberikan kepada Paus ... Ini sebabnya kamu akan menemukan dalam tulisan-tulisan awalku begitu banyak pengakuan yang merendahkan diri kepada Paus, yang pada saat waktu telah berlalu aku benci / merasa jijik dan menolak sebagai penghujatan yang extrim ... Pada hari-hari awal itu aku berdiri sendirian; aku tidak cocok / belum siap baik dengan pengalaman atau pendidikan untuk menangani pokok begitu besar / penting; dan aku memanggil Allah untuk bersaksi bahwa aku menceburkan diri ke dalam kontroversi-kontroversi ini bukan oleh pilihan ataupun keyakinan, tetapi oleh kekuatan yang tidak terkendali / serangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan. Lalu, pada waktu dalam tahun 1517 Pengampunan dosa dijual di daerah-daerah ini (atau ‘disebar-luaskan / diumumkan’, seperti saya lebih memilih untuk menyebutnya) untuk uang yang kotor, saya ... mulai meminta dan mencegah orang untuk mendengarkan teriakan-teriakan dari pedagang / dealer dari Pengampunan dosa, ... ; dan saya mengira bahwa dalam hal ini saya bisa mengclaim Paus sebagai pelindungku, karena saya mempunyai keyakinan yang kuat pada imannya yang baik ... Kepedulianku / keinginanku adalah untuk melindungi kehormatan Paus dengan tidak menekankan pengecaman terhadap Pengampunan dosa tetapi supaya pilihan diberikan pada pekerjaan-pekerjaan kasih.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 29.
Dr. Albert H. Freundt Jr.: “From 1517 to 1521, however, Luther was in constant conflict with the papal party. He sent a copy of the Theses to Archbishop Albert of Mainz, who had not the slightest interest in the fine points of indulgence theology. He was interested in the revenue from the indulgence and found that the protest from this hitherto unknown Luther to be hurting the sales. He reported the Theses to the Pope, who thought that the quarrel was trivial - a monks’ squabble between Dominican and Augustinians - and simply told the head of the Friars to keep his men quiet. The Dominican theologians considered themselves the guardians of orthodoxy; they believed Luther was a heretic and tried to prove it. Since the doctrine of indulgence was doubtful, they had to demonstrate that Luther was assailing papal power. He had questioned the absolute authority of the Pope; to question the absolute authority of the Pope is heretical. The argument rapidly turned itself into a controversy over papal authority and its limits, and the debate over indulgences was left behind in a wider argument.” [= Tetapi, dari tahun 1517 sampai tahun 1521, Luther berada dalam konflik terus menerus dengan golongan Katolik. Ia mengirim sebuah copy / salinan dari Thesis itu kepada Uskup Agung dari Mainz, yang tidak mempunyai interest / kesenangan yang terkecilpun dalam pokok-pokok halus / tajam dari theologia pengampunan dosa. Ia punya interest dalam penghasilan dari pengampunan dosa dan mendapati bahwa protes dari Luther yang tidak dikenal sampai saat itu merugikan penjualan. Ia melaporkan thesis itu kepada Paus, yang menganggap bahwa pertengkaran itu adalah sesuatu yang remeh - pertengkaran biarawan antara Dominican dan Augustinian - dan hanya memberitahu kepala biarawan untuk menjaga orang-orangnya supaya diam. Ahli-ahli theologia Dominican menganggap diri mereka sebagai penjaga-penjaga dari keortodoxan; mereka percaya Luther adalah seorang bidat dan berusaha untuk membuktikannya. Karena doktrin tentang pengampunan dosa merupakan sesuatu yang meragukan, mereka harus menunjukkan bahwa Luther sedang menyerang kekuasaan Paus. Ia telah mempertanyakan otoritas mutlak dari Paus; mempertanyakan otoritas mutlak dari Paus adalah sesuatu yang bersifat bidat. Argumentasi dengan cepat membelokkan dirinya sendiri ke dalam kontroversi tentang otoritas Paus dan batasan-batasannya, dan debat tentang pengampunan dosa ditinggalkan di belakang dalam suatu argumentasi yang lebih lebar.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 29-30.
Yer 6:13-14 - “(13) Sesungguhnya, dari yang kecil sampai yang besar di antara mereka, semuanya mengejar untung, baik nabi maupun imam semuanya melakukan tipu. (14) Mereka mengobati luka umatKu dengan memandangnya ringan, katanya: Damai sejahtera! Damai sejahtera!, tetapi tidak ada damai sejahtera.”.
Catatan: dalam debat, orang yang tak bisa menjawab argumentasi, lalu mengalihkan pada sesuatu yang lain, merupakan hal biasa. Saya juga pernah ‘menyerang’ suatu gereja, dan karena mereka tak bisa serangannya, maka mereka mengalihkan pada hal-hal yang lain, seperti menyalahkan cara saya dalam menyerang / mengkritik dan sebagainya. Di face book ‘pengecut yang tidak fair’ seperti itu luar biasa banyak.
-bersambung-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali