(Jl. Dinoyo
19b, lantai 3)
Minggu, tgl 2
Agustus 2009, pk 17.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
(HP: 7064-1331
/ 6050-1331)
Mark 9:43-48 - “(43) Dan
jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk
ke dalam hidup dengan tangan kudung dari pada dengan utuh kedua tanganmu
dibuang ke dalam neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan; (44) [di
tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam.] (45) Dan
jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke
dalam hidup dengan timpang, dari pada dengan utuh kedua kakimu dicampakkan ke
dalam neraka; (46) [di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya
tidak akan padam.] (47) Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah,
karena lebih baik engkau masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan bermata satu
dari pada dengan bermata dua dicampakkan ke dalam neraka, (48) di mana
ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak padam”.
II) Yesus ‘turun ke neraka’.
Baik
point ke 4 dari 12 Pengakuan Iman Rasuli, maupun point ke 36 dari Pengakuan Iman
Athanasius, mengatakan bahwa Yesus ‘turun ke neraka’. Tetapi apa
artinya dan kapan Yesus ‘turun ke neraka’ itu? Mungkin ini merupakan
suatu istilah yang paling banyak disalah-mengerti oleh orang kristen.
A) Ada yang menganggap bahwa
Yesus betul-betul turun ke neraka untuk menanggung hukuman neraka itu bagi kita.
B) Ada juga yang menganggap
bahwa Yesus turun ke neraka / kerajaan maut untuk membebaskan orang-orang di
sana dan / atau memberitakan Injil kepada orang-orang di dalam neraka / kerajaan
maut.
Dalam
buku sesatnya yang berjudul ‘Dunia orang mati’, Andereas Samudra berkata: “Saya
percaya tak ada aliran gereja yang menolak kebenaran ini, yaitu ketika Tuhan
Yesus menyerahkan nyawaNya kepada BapaNya di atas kayu salib, Bapa Surgawi telah
mengirim Ia dalam keadaan Roh ke alam maut untuk melakukan 2 hal. Pertama-tama
melepaskan tawanan-tawanan, yaitu orang-orang kudus sebelum Tuhan Yesus, dari
tahanan mereka di alam maut dan yang kedua adalah bahwa Ia memberitakan Injil
kepada orang-orang mati, yaitu kepada orang-orang penjara di Hades” - hal
46.
Kata-kata
‘Saya percaya tak ada aliran gereja
yang menolak kebenaran ini’ menunjukkan bahwa orang ini tidak mengerti
dunia theologia, karena Reformed / Calvinisme jelas menolak apa yang ia sebut
dengan ‘kebenaran’ ini!
Saya
menolak semua ini dengan alasan:
1) Di atas kayu salib Ia berkata ‘sudah selesai’ (Yoh 19:30).
Ini
menunjukkan bahwa penderitaan aktifNya dalam memikul hukuman dosa manusia sudah
selesai. Kalau ternyata setelah mati Ia masih harus pergi ke neraka untuk
mengalami hukuman neraka bagi kita, maka itu berarti bahwa kata-kata Yesus dalam
Yoh 19:30 itu salah!
Camkan ini baik-baik: penebusan dosa kita terjadi di kayu salib dan
bukan di dalam neraka!
2)
Ia berkata kepada penjahat yang disalib bersama dengan Dia bahwa penjahat
itu akan bersama dengan Dia di Firdaus (= surga) pada hari itu (Luk 23:43).
Juga pada waktu mati Ia menyerahkan rohNya ke dalam tangan Bapa (Luk 23:46).
Luk 23:43,46
- “(43) Kata Yesus kepadanya: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari
ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.’ ... (46)
Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: ‘Ya Bapa, ke dalam tanganMu
Kuserahkan nyawaKu.’ Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawaNya”.
Jadi,
antara kematian dan kebangkitanNya, tubuh Kristus ada dalam kuburan, dan roh /
jiwaNya ada di surga. Karena itu, baik tubuh maupun jiwa / roh dari manusia
Yesus Kristus tidak mungkin:
a)
Turun ke neraka untuk mengalami siksaan neraka tersebut.
b)
Turun ke Hades / dunia orang mati untuk memberitakan Injil atau untuk
membebaskan orang-orang di sana.
3)
Seandainya Yesus mau membebaskan orang yang ada dalam neraka /
kerajaan maut, Ia tidak perlu pergi ke sana. Ia bisa melakukan itu dari surga.
Disamping itu, apa dasarnya untuk mengatakan bahwa orang-orang suci jaman
Perjanjian Lama itu ada di alam maut / tempat penantian, dsb? Dalam 2Raja 2
dikatakan bahwa Elia naik ke surga. Mungkinkah ia sendirian di surga
sementara semua orang suci jaman Perjanjian
Lama yang lain ada di tempat penantian / alam maut? Ini rasanya mustahil, dan
karena itu saya percaya bahwa orang suci jaman Perjanjian Lama juga langsung
masuk ke surga pada saat mereka mati.
4)
Penginjilan kepada orang mati, dan lebih lagi kemungkinan pertobatan
orang mati, bertentangan dengan:
a)
Maz 88:11-13 - “(11) Apakah Kaulakukan keajaiban
bagi orang-orang mati? Masakan arwah bangkit untuk bersyukur kepadaMu? Sela.
(12) Dapatkah kasihMu diberitakan di dalam kubur, dan kesetiaanMu di tempat
kebinasaan? (13) Diketahui orangkah keajaiban-keajaibanMu dalam kegelapan,
dan keadilanMu di negeri segala lupa?”.
Jelas
terlihat bahwa semua pertanyaan dalam text ini harus dijawab dengan ‘tidak’!
Calvin:
“By
these words the prophet intimates, that God, if he did not make haste to
succor him, would be too late, there being scarce anything betwixt him and
death; and that therefore this was the critical juncture, if God was inclined
to help him, for should the present opportunity not be embraced another would
not occur. He asks how long God meant to delay, - if he meant to do so till
death intervened, that he might raise the dead by a miracle? He does not speak
of the resurrection at the last day, which will surpass all other miracles, as
if he called it in question; ... We impeach his power if we believe not that
it is as easy for him to restore life to the dead ... When the Psalmist asks, Shall thy
loving-kindness be declared in the grave? he does not mean that the dead are devoid of consciousness; ... He
reasons from what ordinarily happens; it not being God’s usual way to bring
the dead out of their graves to be witnesses and publishers of his goodness.
... When the prophet affirms, that the divine faithfulness as well as the
divine goodness, power, and righteousness, are not known in the land of
forgetfulness, some deluded persons
foolishly wrest the statement to support a gross error, as if it taught that
men were annihilated by death. He speaks only of the ordinary manner in which
help is extended by God, who has designed this world to be as a stage on which
to display his goodness towards mankind” (= ).
Matthew
Henry: “Departed souls may indeed know God’s wonders and declare his
faithfulness, justice, and lovingkindness; but deceased bodies cannot; they
can neither receive God’s favours in comfort nor return them in praise.’
Now we will not suppose these expostulations to be the language of despair, as
if he thought God could not help him or would not, much less do they imply any
disbelief of the resurrection of the dead at the last day; but he thus pleads
with God for speedy relief: ‘Lord, thou art good, thou art faithful, thou
art righteous; these attributes of thine will be made known in my deliverance,
but, if it be not hastened, it will come too late; for I shall be dead and
past relief, dead and not capable of receiving any comfort, very
shortly.’” (= ).
Adam
Clarke:
“‘Arise
and praise thee?’ Any more in this life? The interrogations in this and the
two following verses imply the strongest negations” (= ).
Adam
Clarke:
“‘Or
thy faithfulness in destruction?’ Faithfulness in God refers as well to his
fulfilling his threatenings as to his keeping his promises. The wicked are
threatened with such punishments as their crimes have deserved; but
annihilation is no punishment. God therefore does not intend to annihilate the
wicked; their destruction cannot declare the faithfulness of God” (= ).
Jamieson,
Fausset & Brown: “in
relation to the visible earth, man seems forgotten in the grave, so the
‘righteousness’ of God requires Him to vindicate man’s cause, now
rendered a just one through His vicarious law-fulfiller, against Satan the
usurper and oppressor, by manifestly rescuing man from the region where he
seems to be forgotten” (= ).
Barnes’
Notes: “The idea is that the dead will be cut off from all the privileges
which attend the living on earth; or, that those in the grave cannot
contemplate the character and the greatness of God. He urges this as a reason
why he should be rescued. The sentiment here is substantially the same as in
Ps. 6:5. See the notes at that passage. Compare Isa. 38:18.” (= ).
Maz
6:6 - “Sebab di dalam maut tidaklah
orang ingat kepadaMu; siapakah yang akan bersyukur kepadaMu di dalam dunia
orang mati?”.
Yes
38:18 - “Sebab dunia orang mati tidak
dapat mengucap syukur kepadaMu, dan maut tidak dapat memuji-muji Engkau;
orang-orang yang turun ke liang kubur tidak menanti-nanti akan kesetiaanMu”.
Barnes’
Notes: “The question here is not whether they would rise to live again, or
appear in this world, but whether in Sheol they would rise up from their
resting places, and praise God as men in vigor and in health can on the earth.
The question has no reference to the future resurrection. It relates to the
supposed dark, dismal, gloomy, inactive state of the dead” (= ).
Barnes’
Notes: “It is implied here that, according to the views then entertained of
the state of the dead, those things would not occur. According to what is now
made known to us of the unseen world it is true that the mercy of God will not
be made known to the dead; that the Gospel will not be preached to them; that
no messenger from God will convey to them the offers of salvation. Compare
Luke 16:28-31.” (= ).
b) Orang
kaya dalam cerita Lazarus dan orang kaya, jelas sekali menyesal / bertobat,
tetapi tidak ada kesempatan itu bagi dia.
c) Kitab
Suci menunjukkan betapa mendesaknya 2 hal ini, yaitu:
1.
Penginjilan.
Mendesaknya
hal ini terlihat bahwa ini tetap dilakukan oleh rasul-rasul / orang kristen abad
pertama sekalipun nyawa mereka terancam. Baca seluruh Kisah Para Rasul, dan
saudara akan melihat hal ini dengan jelas.
2.
Pertobatan.
Bandingkan
dengan 2Kor 6:1-2 - “(1) Sebagai
teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi
sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima. (2) Sebab Allah berfirman:
‘Pada waktu Aku berkenan, Aku akan mendengarkan engkau, dan pada hari Aku
menyelamatkan, Aku akan menolong engkau.’ Sesungguhnya, waktu ini adalah
waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu”.
Yesus ‘turun ke neraka’ / memikul hukuman neraka bukan dengan
betul-betul pergi ke dalam neraka, tetapi dengan ditinggal oleh BapaNya pada
waktu Ia ada di kayu salib, yaitu pada waktu Ia berteriak: “ELI, ELI, LAMA
SABAKHTANI?” (Mat 27:46). Ingat bahwa dalam 2Tes 1:9, dikatakan
bahwa neraka adalah perpisahan dengan Allah! Jadi, pada waktu Yesus terpisah
dari Allah, itu adalah neraka bagi Dia.
Kalau
saudara menganggap enteng apa yang Kristus alami pada saat itu, maka perhatikan
kata-kata Herman Hoeksema, seorang ahli theologia Reformed, yang berkata sebagai
berikut: “No
one, therefore, even in hell, can even suffer what Christ suffered during His
entire life and especially on the cross. For, in the first place, no one can
possibly taste the wrath of God as the Sinless One. And, in the second place, no
one could possibly bear the complete burden of the wrath of God against the sin
of the world. Even in hell everyone will suffer according to his personal sin
and in his personal position in desolation. But Christ bore the sin of all His
own as the Sinless One” [= Karena itu, tak seorangpun, bahkan dalam
neraka, bisa menderita apa yang diderita oleh Kristus dalam sepanjang hidupNya
dan terutama di kayu salib. Karena, yang pertama, tak seorangpun bisa
merasakan murka Allah sebagai orang yang tak berdosa. Dan, yang kedua, tak
seorangpun bisa memikul seluruh beban murka Allah terhadap dosa dunia. Bahkan
dalam neraka, setiap orang akan menderita sesuai dengan dosa pribadinya dan
dalam posisi pribadinya dalam kesendirian. Tetapi Kristus memikul dosa dari
semua milikNya sebagai Orang yang Tidak Berdosa] - ‘Reformed Dogmatics’, hal 401.
III) Tanggapan kita.
1) Kalau saudara belum percaya dengan sungguh-sungguh kepada
Yesus Kristus, maka percayalah kepada Yesus Kristus sekarang juga.
Dia
sudah memikul hukuman dosa, termasuk neraka, sehingga kalau saudara percaya
kepada Dia, maka saudara akan diampuni dan tidak mungkin dihukum / masuk neraka!
Yoh 3:16
- “Karena begitu besar kasih Allah akan
dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap
orang yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal”.
Ro 8:1
- “Demikianlah sekarang tidak ada
penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus”.
Mengapakah
saudara mau mati dan menderita dalam neraka yang begitu mengerikan itu kalau
Tuhan menawarkan kehidupan dan kebahagiaan secara cuma-cuma (bdk. Ro 3:24)
kepada saudara?
Ro
3:24 - “dan oleh kasih karunia telah
dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus”.
2)
Bertobatlah dari segala dosa, juga dosa-dosa yang menyenangkan!
Ini
dinyatakan dengan perintah untuk memotong tangan / kaki, dan mencungkil mata,
jika hal-hal itu menyesatkan kita (ay 43,45,47).
Mark 9:43,45,47
- “(43) Dan jika tanganmu
menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam
hidup dengan tangan kudung dari pada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam
neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan; ... (45) Dan jika kakimu
menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam
hidup dengan timpang, dari pada dengan utuh kedua kakimu dicampakkan ke dalam
neraka; ... (47) Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah, karena
lebih baik engkau masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan bermata satu dari pada
dengan bermata dua dicampakkan ke dalam neraka”.
Kata
‘menyesatkan’ dalam ay 42, diterjemahkan ‘offend’
(= menyandungi) oleh KJV.
Mark
9:42 - “‘Barangsiapa menyesatkan
salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah
batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut”.
Calvin:
“If any man through our fault
either stumbles, or is drawn aside from the right course, or retarded in it, we
are said to ‘offend’ him” (= Jika ada seseorang yang karena kesalahan
kita tersandung atau disimpangkan dari jalan yang benar, atau dihambat dalam
jalan yang benar, maka kita dikatakan ‘offend’
dia) - hal 336.
Dalam
ay 43,45,47 dikatakan bahwa tangan, kaki atau mata kita ‘menyesatkan’ /
‘offend’ kita. Artinya adalah bahwa tangan, kaki atau mata kita
menyebabkan kita tersandung, atau menyimpang dari jalan yang benar, atau
terhambat dalam jalan yang benar. Dalam keadaan seperti itu dikatakan bahwa kita
harus memotong tangan atau kaki kita itu atau mencungkil mata kita itu.
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a) Lagi-lagi
kata-kata ini diucapkan oleh Yesus.
Pulpit
Commentary: “The
passage from which these few words are chosen is stern and severe; yet it was
uttered by the gentle Teacher who would not break the bruised reed” (=
Text dari mana kata-kata ini dipilih merupakan text yang keras; tetapi itu
diucapkan oleh Guru yang lembut yang tidak akan mematahkan buluh yang terkulai)
- hal 30.
b)
Kata-kata ‘lebih baik engkau masuk ke dalam
hidup dengan tangan kudung dari pada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam
neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan’,
tidak menunjukkan bahwa kekristenan mengajarkan keselamatan karena perbuatan
baik. Kata-kata ini harus diartikan bahwa perbuatan baik / pertobatan dari dosa
merupakan bukti iman maupun keselamatan.
c)
Tangan, kaki dan mata menunjuk pada hal-hal yang menyebabkan kita jatuh
ke dalam dosa. Jadi, jika teman, atau keluarga, pacar, pekerjaan atau hobby
saudara, menyebabkan saudara berdosa, tidak peduli betapa hebat saudara
mencintainya, atau tak peduli betapa bergunanya itu bagi saudara, potonglah
itu darimu.
Pulpit
Commentary mengutip kata-kata Richard Baxter: “The meaning is not that any man
is in such a case that he hath no better way to avoid sin and hell than being
maimed; but if he had no better, he should choose this. Nor doth it mean that
maimed persons are maimed in heaven; but if it were so, it were a less evil”
[= Artinya bukanlah bahwa ada orang yang berada dalam keadaan dimana ia tidak
mempunyai jalan yang lebih baik untuk menghindari dosa dan neraka dari pada
dibuntungi; tetapi seandainya ia tidak mempunyai jalan yang lebih baik,
ia harus memilih ini. Juga itu tidak berarti bahwa di surga ada orang-orang yang
buntung; tetapi seandainya demikian, itu masih lebih baik (dari pada
masuk ke neraka dengan utuh)] - hal
27.
Pulpit
Commentary tentang Mat 5:29: “The ideas of this verse are
expressed in the strong language of Oriental imagery, and yet a moment’s
reflection will show us that the language is not a whit too strong, even if it
is interpreted with strict literalness. If it came to a choice between plucking
out an eye and death, every man who had courage enough to perform the hideous
deed would at once choose it as the less terrible alternative. Every day
hospital patients submit to frightful operation to save their lives or to
relieve intolerable sufferings. But if to the thought of death we add the
picture of the doom of the lost, the motives for choosing the lesser evil are
immeasurably strengthened. ... The difficulty, then, is not as to the truth of
our Lord’s words, but as to the application of them. ... As a matter of fact,
self-mutilation is not the right method of avoiding temptation. If it were the
sole method, it would be prudent to resort to it. But, as God has provided other
ways, only a wild delusion will resort to this. Moreover, if lust is in the
heart, it will not be destroyed by plucking out the eye. If hatred reigns within
the enraged man, he is essentially a murderer, even after he has cut off the
hand with which he was about to commit his awful crime. Still, whatever is most
near to us and hinders our Christian life, must go - any friendship, though dear
as the apple of the eye; any occupation, though profitable as the right hand”
(= Maksud dari ayat ini dinyatakan dalam bahasa perumpamaan Timur yang kuat /
keras, tetapi suatu pemikiran yang singkat akan menunjukkan kepada kita bahwa
bahasa itu tidak sedikitpun terlalu kuat / keras, bahkan jika itu ditafsirkan
dengan kehurufiahan yang ketat. Jika sampai pada suatu pemilihan antara
pencungkilan mata dan kematian, setiap orang yang mempunyai keberanian yang
cukup untuk melakukan tindakan mengerikan itu akan segera memilihnya sebagai
suatu alternatif yang kurang mengerikan (dibandingkan dengan kematian).
Setiap hari pasien-pasien rumah sakit tunduk pada operasi yang menakutkan untuk
menyelamatkan nyawa mereka atau untuk meringankan penderitaan yang tak
tertahankan. Tetapi jika kepada pemikiran tentang kematian kita menambahkan
gambaran tentang nasib / hukuman bagi orang yang terhilang, maka motivasi untuk
memilih pemotongan / pencungkilan itu akan sangat dikuatkan. ... Jadi,
kesukarannya bukanlah berkenaan dengan kebenaran dari kata-kata Tuhan kita,
tetapi berkenaan dengan penerapan dari kata-kata itu. ... Sebetulnya,
pembuntungan diri sendiri bukanlah metode yang benar untuk menghindari
pencobaan. Seandainya itu merupakan satu-satunya metode, maka merupakan
sesuatu yang bijaksana untuk mengambil jalan itu. Tetapi, karena Allah
telah menyediakan jalan-jalan yang lain, hanya khayalan yang liar yang akan
mengambil jalan ini. Lagi pula, jika nafsu itu ada dalam hati, itu tidak
akan dihancurkan dengan mencungkil mata. Jika kebencian berkuasa dalam diri
orang yang sangat marah, maka secara hakiki ia adalah seorang pembunuh, bahkan
setelah ia memotong tangan dengan mana ia mau melakukan kejahatannya yang hebat
itu. Tetapi, apapun yang paling dekat dengan kita dan menghalangi kehidupan
kristen kita, harus dibuang - persahabatan yang manapun, sekalipun kita sayangi
seperti biji mata kita; pekerjaan apapun, sekalipun berguna seperti tangan kanan
kita) - hal 182.
Pulpit
Commentary mengutip kata-kata Godwin: “It is better to make any
sacrifice than to retain any sin” (= Adalah lebih baik untuk melakukan
pengorbanan apapun dari pada mempertahankan dosa apapun) - hal 27.
Pulpit
Commentary: “The
general lesson taught is this - that it is better to die than to sin, and so to
wrong ourselves and others” (= Pelajaran umum yang diajarkan adalah bahwa
lebih baik mati dari pada berdosa, dan dengan demikian menyalahi diri kita
sendiri dan orang lain) - hal 30.
Pulpit
Commentary: “The
hand may offend by doing wrong, the foot may offend by going on what is wrong.
But if the most serviceable member, as the hand, do amiss, or the most useful
member, as the foot, walk astray, or the most precious member, as the eye, look
with delight on objects sinful and forbidden, then there must be no hesitation
in divesting ourselves of such rather than risk the fearful fate of those who
are tormented in the Gehenna of fire, ‘where their worm dieth not, and the
fire is not quenched.’” (= Tangan bisa menyesatkan dengan melakukan apa
yang salah, kaki bisa menyesatkan dengan pergi ke tempat yang salah. Tetapi jika
anggota yang paling berguna, seperti tangan, melakukan hal yang salah, atau jika
anggota yang paling berguna, seperti kaki, berjalan ke arah yang sesat, atau
jika anggota yang paling berharga, seperti mata, melihat dengan senang pada
obyek yang berdosa dan terlarang, maka di sana tidak boleh ada keragu-raguan
dalam membebaskan diri kita sendiri dari hal-hal itu dari pada mendapatkan
resiko nasib yang menakutkan dari mereka yang disiksa dalam GEHENNA dari api,
‘dimana ulatnya tidak mati, dan apinya tidak padam’) - hal 58-59.
William
Barclay: “this
passage lays down in vivid eastern language the basic truth that there is one
goal in life worth any sacrifice” (= text ini menggambarkan dalam bahasa
Timur yang hidup suatu kebenaran dasar bahwa ada satu tujuan dalam kehidupan
yang cukup berharga untuk pengorbanan apapun) - hal 230.
William
Barclay: “It
means that it may be necessary to excise some habit, to abandon some pleasure,
to give up some friendship, to cut out some thing which has become very dear to
us, in order to be fully obedient to the will of God. This is not a matter with
which anyone can deal for anyone else. It is solely a matter of a man’s
individual conscience, and it means that, if there is anything in our lives
which is coming between us and a perfect obedience to the will of God, however
much habit and custom may have made it part of our lives, it must be rooted out.
The rooting out may be as painful as surgical operation, it may seem like
cutting out part of our own body, but if we are to know real life, real
happiness and real peace it must go. This may sound bleak and stern, but in
reality it is only facing the facts of life” (= Itu berarti bahwa
merupakan suatu keharusan untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tertentu,
meninggalkan kesenangan-kesenangan tertentu, membuang / menghentikan
persahabatan-persahabatan tertentu, memotong hal-hal tertentu yang telah sangat
kita sayangi, supaya bisa taat sepenuhnya pada kehendak Allah. Ini bukanlah
persoalan dimana seseorang bisa melakukannya untuk orang lain. Ini sepenuhnya
merupakan persoalan hati nurani setiap individu, dan itu berarti bahwa jika ada
sesuatu apapun dalam hidup kita yang datang di antara kita dan suatu ketaatan
sempurna kepada kehendak Allah, bagaimanapun terbiasanya kita dengan hal itu
sehingga hal itu telah menjadi bagian hidup kita, hal itu harus dicabut.
Pencabutan itu bisa sama menyakitkan seperti suatu operasi pembedahan, itu bisa
kelihatan seperti pemotongan bagian tubuh kita sendiri, tetapi jika kita mau
mengenal hidup yang sejati, kebahagiaan yang sejati, dan damai yang sejati, hal
itu harus dibuang. Ini mungkin kedengaran menyedihkan dan keras, tetapi dalam
kenyataan itu hanyalah menghadapi fakta-fakta dari kehidupan) - hal 232-233.
Pulpit
Commentary: “The
old story of the man who defended his dishonesty by the plea, ‘One must
live,’ has its meaning for us. The judge replied to the culprit, ‘I do not
see the necessity.’ So with the Christian: luxury is not a necessity; pleasure
is not a necessity; even life in the lower sense is not a necessity; but only
life in the higher sense - a good conscience, a soul in purity and integrity. It
is ever a good bargain to part with a sin, and a losing business to compromise
with a lust” (= Cerita kuno tentang orang yang mempertahankan
ketidakjujurannya dengan alasan, ‘Orang harus hidup, mempunyai artinya bagi
kita. Hakim menjawab kepada orang yang telah melakukan kejahatan itu: ‘Aku
tidak melihat keharusannya’. Demikian juga dengan orang Kristen: kemewahan
bukanlah suatu keharusan; kesenangan bukanlah suatu keharusan; bahkan hidup
dalam arti yang rendah bukanlah suatu keharusan; tetapi hanya hidup dalam arti
yang tinggi - suatu hati nurani yang baik, suatu jiwa dalam kemurnian dan
kejujuran / ketulusan. Selalu merupakan suatu persetujuan tukar menukar yang
baik untuk berpisah dengan dosa, dan selalu merupakan suatu bisnis yang rugi
untuk berkompromi dengan nafsu) - hal 38.
Calvin:
“To
impart the greater vehemence to the threatening, he adds, that neither a right eye nor a right
hand ought to be spared, if they
occasion offense to us; for I
explain these words as added for the purpose of amplification. Their meaning
is, that we ought to be so constant and so zealous in opposing offenses,
that we would rather choose to pluck out our eyes, or cut off our
hands, than give encouragement to offenses;
for if any man hesitate to incur the
loss of his limbs, he spares them at the risk of throwing himself into eternal
perdition” (= ).
Matthew
Henry: “1. The case supposed, that our own hand, or eye, or foot, offend us;
that the impure corruption we indulge is as dear to us as an eye or a hand, or
that that which is to us as an eye or a hand, is become an invisible
temptation to sin, or occasion of it. Suppose the beloved is become a sin, or
the sin a beloved. Suppose we cannot keep that which is dear to us, but it
will be a snare and a stumbling-block; suppose we must part with it, or part
with Christ and a good conscience. 2. The duty prescribed in that case; Pluck
out the eye, cut off the hand and foot, mortify the darling lust, kill it,
crucify it, starve it, make no provision for it. Let the idols that have been
delectable things, be cast away as detestable things; keep at a distance from
that which is a temptation, though ever so pleasing. It is necessary that the
part which is gangrened, should be taken off for the preservation of the
whole. Immedicabile vulnus ense recidendum est, ne pars sincera trahatur - The
part that is incurably wounded must be cut off, lest the parts that are sound
be corrupted. We must put ourselves to pain, that we may not bring ourselves
to ruin; self must be denied, that it may not be destroyed. ... 4. The danger
of not doing this. The matter is brought to this issue, that either sin
must die, or we must die. If we will lay this Delilah in our bosom, it
will betray us; if we be ruled by sin, we shall inevitably be ruined by it; if
we must keep our two hands, and two eyes, and two feet, we must with them be
cast into hell. Our Saviour often pressed our duty upon us, from the
consideration of the torments of hell, which we run ourselves into if we
continue in sin. With what an emphasis of terror are those words repeated
three times here, Where their worm dieth not, and the fire is not quenched!”
(= ).
Jamieson,
Fausset & Brown (tentang Mat 5:29): “‘Pluck it out, and cast it
from thee.’ - implying a certain indignant promptitude, heedless of whatever
cost to feeling the act may involve. Of course, it is not the eye simply of
which our Lord speaks - as if execution were to be done upon the bodily organ
- though there have been fanatical ascetics who have both advocated and
practiced this, showing a very low apprehension of spiritual things-- but the
offending eye, or the eye considered as the occasion of sin; and consequently,
only the sinful exercise of the organ which is meant” (= ).
Barnes’
Notes: “‘Thy right eye.’ The Hebrews, like others, were accustomed to
represent the affections of the mind by the members or parts of the body, Rom.
7:23; 6:13. Thus, the bowels denoted compassion; the heart, affection or
feeling; the reins, understanding, secret purpose. An evil eye denotes
sometimes envy (Matt. 20:15), and sometimes an evil passion, or sin in general
(Mark 7:21-22): ‘out of the heart proceedeth an evil eye.’ In this place,
as in 2Pet. 2:14, the expression is used to denote strong adulterous passion,
unlawful desire, or wicked inclination. The right eye and hand are mentioned,
because they are of most use to us, and denote that, however strong the
passion may be, or difficult to part with, yet that we should do it. ‘Offend
thee.’ ... The English word ‘offend’ means now, commonly, to displease;
to make angry; to affront. This is by no means the sense of the word in
Scripture. It means to cause to fall into sin. The eye does this when it
wantonly looks upon a woman to lust after her. ... ‘Pluck it out ...’ It
cannot be supposed that Christ intended this to be taken literally. His design
was to teach that the dearest objects, if they cause us to sin, are to be
abandoned; that by all sacrifices and self-denials we must overcome the evil
propensities of our nature, and resist our wanton imaginations. Some of the
fathers, however, took this commandment literally” (= ).
Kesimpulan / penutup.
Bagi saudara yang belum percaya kepada
Yesus, percayalah dan terimalah Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat saudara. Bagi
saudara yang sudah percaya, bertobatlah dari dosa-dosa saudara, khususnya
dosa-dosa yang menyenangkan saudara!
-AMIN-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali