(Rungkut
Megah Raya, blok D no 16)
Minggu,
tgl 15 Mei 2016, pk 8.00 & pk 17.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
DOKTRIN
Perjamuan Kudus(3)
Keberatan terhadap pandangan Consubstantiation ini:
a) Bahwa kata ‘is’ / ‘adalah’ dalam kata-kata Yesus ‘This is My body’ / ‘Inilah tubuhKu’ bisa diartikan ‘menggambarkan’ / ‘menyimbolkan’, sudah saya beri contoh-contoh ayat yang sangat banyak pada waktu membahas pandangan Gereja Roma Katolik (transubstantiation), dan tak perlu saya ulang di sini.
b) Dalam persoalan Yesus berbicara dengan bahasa Aram, saya setuju dengan Lenski, yang menganggap bahwa bahasa Yunani, yang merupakan bahasa tertulis dari Perjanjian Baru, yang harus digunakan dalam menafsirkan. Tetapi sekalipun menggunakan bahasa Yunani, tetap saja kata Yunani yang diterjemahkan ‘is’ / ‘adalah’ bisa, bahkan harus, diartikan ‘menggambarkan’ atau ‘menyimbolkan’.
Adam
Clarke, setelah memberikan banyak ayat dimana kata ‘adalah’ diartikan
‘menggambarkan’ atau ‘mewakili’ lalu memberikan suatu ilustrasi di bawah
ini.
Adam
Clarke (tentang Mat 26:26):
“Suppose
a man entering into a museum, enriched with the remains of ancient Greek
sculpture: his eyes are attracted by a number of curious busts; and, on
inquiring what they are, he learns, this is Socrates, that Plato, a third Homer;
others Hesiod, Horace, Virgil, Demosthenes, Cicero, Herodotus, Livy, Caesar,
Nero, Vespasian, etc. Is he deceived by this information? Not at all: he knows
well that the busts he sees are not the identical persons of those ancient
philosophers, poets, orators, historians, and emperors, but only REPRESENTATIONS
of their persons in sculpture, between which and the originals there is as
essential a difference as between a human body, instinct with all the principles
of rational vitality, and a block of marble. When, therefore, Christ took up a
piece of bread, brake it, and said, This is my body, who, but the most stupid of
mortals, could imagine that he was, at the same time, handling and breaking his
own body! Would not any person, of plain common sense, see as great a difference
between the man Christ Jesus, and the piece of bread, as between the block of
marble and the philosopher it represented, in the case referred to above?”
[=
Bayangkan seseorang memasuki suatu museum, yang diperkaya dengan
peninggalan-peninggalan / sisa-sisa dari patung pahatan Yunani kuno: matanya
tertarik oleh sejumlah patung kepala pahatan yang menarik; dan pada waktu
menanyakan apa mereka itu, ia mendapat informasi, ini adalah Socrates, itu
Plato, yang ketiga Homer; yang lain-lain Hesiod, Horace, Virgil, Demosthenes,
Cicero, Herodotus, Livy, Caesar, Nero, Vespasian, dsb. Apakah ia ditipu oleh
informasi ini? Sama sekali tidak: ia tahu dengan baik bahwa patung kepala
pahatan yang ia lihat bukanlah pribadi-pribadi yang identik dengan ahli-ahli
filsafat, penyair-penyair, ahli-ahli pidato, ahli-ahli sejarah, dan
kaisar-kaisar kuno itu, tetapi hanyalah WAKIL-WAKIL dari pribadi-pribadi mereka
dalam patung pahatan, dan antara patung pahatan dan orang-orang aslinya ada
suatu perbedaan yang hakiki seperti antara suatu tubuh manusia, yang penuh
dengan semua kwalitas elemen yang hakiki dari vitalitas / karakteristik yang
rasionil, dan sebongkah batu pualam. Karena itu, pada waktu Kristus mengambil
sepotong roti, memecah-mecahkannya, dan berkata ‘Ini adalah tubuhKu’, siapa,
kecuali orang-orang fana yang bodoh, bisa membayangkan bahwa Ia, pada saat yang
sama, sedang memberikan dan memecahkan tubuhNya sendiri! Tidakkah orang manapun,
dengan akal sehat yang jujur, melihat suatu perbedaan yang sama besarnya antara
manusia Kristus Yesus, dan sepotong roti, seperti antara sebongkah batu pualam
dan ahli-ahli filsafat yang diwakilinya, dalam kasus yang ditunjukkan di atas?].
c) Bagaimana Luther, sebagaimana yang dikutip oleh Lenski di atas, bisa menganggap bahwa roti biasa berjenis kelamin laki-laki, sedangkan ‘roti yang telah dikuduskan’ jenis kelaminnya berubah menjadi neuter? Dan kalau ia mempercayai seperti itu, mengapa Ia tidak tetap saja pada pandangan dari Gereja Roma Katolik (transubstantiation)?
d) Argumentasi Luther, sebagai yang diberikan oleh Louis Berkhof di atas, bahwa pada waktu Yesus berkata ‘Ini adalah tubuhKu’, Ia sedang berbicara dengan gaya bahasa synecdoche, merupakan sesuatu argumentasi yang dipaksakan. Apa dasarnya untuk mengatakan bahwa itu adalah suatu synecdoche? Dan penafsiran ini juga bertentangan dengan argumentasi-argumentasinya sendiri yang lain dimana ia mati-matian menekankan arti hurufiah dari text itu. Jadi, yang mana yang benar? Text itu berarti secara hurufiah, atau text itu diartikan sebagai menggunakan gaya bahasa synecdoche??? Dalam point ini saya sangat setuju dengan kata-kata David Schaff di bawah ini.
David
Schaff: “There
is, in this reasoning, a strange combination of literal and figurative
interpretation.”
[= Di sana ada, dalam argumentasi ini, suatu kombinasi yang aneh dari penafsiran
hurufiah dan kiasan.]
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 624-625.
e)
Baik dalam pandangan Gereja Roma Katolik maupun pandangan Luther / Gereja
Lutheran, ada pengacau-balauan antara hal yang sebenarnya dengan hal yang
menjadi tanda / simbol darinya.
Calvin
(tentang Mat 26:26):
“But
there are others who reject the figure, and, like madmen, unsay what they had
just said. According to them, ‘bread’
is
truly and properly ‘body;’
for
they disapprove of transubstantiation, as wholly devoid of reason and
plausibility. But when the question is put to them, if Christ be ‘bread’ and
‘wine,’
they
reply that the ‘bread’
is
called ‘body,’
because
under it and along with it the ‘body’ is
received in the Lord’s Supper. But
from this reply it may be readily concluded, that the word ‘body’
is improperly
applied to the ‘bread,’ which is a
sign of it.” [= Tetapi disana ada
orang-orang lain yang menolak figur / kiasan / simbolnya, dan, seperti
orang-orang gila, menarik kembali kata-kata yang mereka baru ucapkan. Menurut
mereka, ‘roti’ secara benar dan tepat adalah ‘tubuh’; karena mereka
menolak transubstantiation, sebagai sepenuhnya tak mempunyai alasan dan tidak
masuk akal. Tetapi pada waktu pertanyaan diberikan kepada mereka, jika
Kristus adalah ‘roti’ dan ‘anggur’, mereka menjawab bahwa ‘roti’
disebut ‘tubuh’, karena di bawahnya dan bersamanya ‘tubuh’ diterima
dalam Perjamuan Kudus. Tetapi
dari jawaban ini bisa dengan segera disimpulkan, bahwa kata ‘tubuh’ secara
tidak tepat diterapkan pada ‘roti’, yang merupakan tanda / simbol darinya.].
f) Sama seperti terhadap pandangan Roma Katolik, pandangan Luther / Lutheran tetap menunjukkan bahwa tubuh Kristus harus maha ada (karena tubuh Kristus itu harus hadir di setiap tempat yang mengadakan Perjamuan Kudus, dan sekaligus juga di surga). Ini tidak benar, dan pandangan salah ini didasarkan pada pengertian yang kacau tentang Kristologi! Tubuh Kristus bukan Allah sehingga tidak maha ada. Bahkan seluruh manusia Yesus bukan Allah, dan karena itu juga tidak maha ada! Kalau karena dipermuliakan setelah kebangkitanNya, sehingga lalu menjadi maha ada, maka Yesus bukan lagi seorang manusia!
Louis
Berkhof:
“This view is burdened with the impossible doctrine of the
omnipresence of the Lord’s physical body.” [= Pandangan ini dibebani dengan doktrin yang mustahil tentang
kemahaadaan dari tubuh fisik Tuhan.]
- ‘Systematic Theology’, hal 649.
David
Schaff: “He
(Luther)
believed in his presence and power as much as in the omnipresence of God and the
ubiquity of Christ’s body.”
[= Ia (Luther) percaya pada kehadiran dan kuasaNya
sama seperti dalam kemaha-adaan Allah dan tubuh Kristus yang ada dimana-mana.]
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 624.
Kepercayaan
seperti ini, menunjukkan Kristologi yang kacau balau dari Luther, atau
menyebabkan Kristologi Luther menjadi kacau balau.
DR
F P MÖLLER: “We
are here again confronted with the old idea that Christ initially only had a
divine nature without a body. When He became flesh, He also received, in
addition to a human body, a human nature. That body, because it is like our
body, can only be present in one place at a time, even after the resurrection!
As a result of this idea, Luther’s protagonists wrestle with the question of
how Christ, who is in heaven, can be bodily present at Holy Communion.”
[= Di sini kita lagi-lagi dikonfrontasikan dengan gagasan lama bahwa Kristus
pada mulanya hanya mempunyai suatu hakekat ilahi tanpa suatu tubuh. Pada waktu
Ia menjadi daging / manusia, Ia juga menerima, sebagai tambahan pada suatu
tubuh manusia, suatu hakekat manusia. Tubuh itu, karena itu adalah seperti
tubuh kita, hanya bisa hadir di satu tempat pada satu saat, bahkan setelah
kebangkitan! Sebagai suatu hasil dari gagasan ini, para pendukung Luther
bergumul dengan pertanyaan tentang bagaimana Kristus, yang ada di surga, bisa
hadir secara jasmani dalam Perjamuan Kudus.] - ‘Kingdom
of God, church and sacraments’
(Libronix).
Catatan:
bagian yang saya garis-bawahi itu salah, karena hakekat manusia Yesus itu jelas
sudah mencakup tubuhNya.
DR
F P MÖLLER: “In
order to explain the bodily presence of Christ at the Holy Communion, Luther
developed his doctrine of the communicatio
idiomatum and ubiquitas.
It boils down to the contention that the glorified Christ we receive through the
Holy Communion can be omnipresent because his divine nature endows his human
nature with that ability.” [= Untuk menjelaskan kehadiran jasmani dari
Kristus pada Perjamuan Kudus, Luther mengembangkan doktrinnya tentang
COMMUNICATIO IDIOMATUM dan ‘ada dimana-mana’. Itu disederhanakan / diringkas
sampai pada penegasan bahwa Kristus yang telah dimuliakan yang kita terima
melalui Perjamuan Kudus bisa maha ada karena hakekat ilahiNya memberi /
menganugerahi hakekat manusiaNya dengan kemampuan itu.] - ‘Kingdom
of God, church and sacraments’ (Libronix).
Catatan:
kalau mau melihat perbedaan
tentang COMMUNICATIO IDIOMATUM [= ‘communication of properties’ {= pemberian sifat-sifat /
sama-sama memiliki sifat-sifat}] dalam doktrin dari Luther / Lutheran vs Reformed, baca buku Kristologi
saya. Kelihatannya, karena kesalahan dalam doktrin tentang Perjamuan Kudus, maka
Luther terpaksa mengubah Kristologinya sehingga jadi salah / sesat.
Sifat
maha ada tidak bisa diberikan oleh hakekat ilahi Yesus kepada hakekat
manusiaNya.
Charles
Hodge: “...
the properties or attributes of a substance constitute its essence, so that if
they be removed or if others of a different nature be added to them, the
substance itself is changed. ... If divine attributes be conferred on man, he
ceases to be man; and if human attributes be transferred to God, he ceases to be
God.”
[= ... sifat-sifat dari suatu zat / bahan membentuk hakekatnya, sehingga kalau
mereka disingkirkan atau kalau sifat-sifat yang lain ditambahkan kepada mereka,
maka zat / bahan itu sendiri berubah. ... Kalau sifat-sifat ilahi diberikan
kepada manusia, ia berhenti menjadi manusia; dan kalau sifat-sifat manusia
diberikan kepada Allah, ia berhenti menjadi Allah.]
- ‘Systematic Theology’, vol II, hal 390.
Perdebatan Martin Luther
(bersama Philip Melanchthon) vs Zwingli (bersama Oecolampadius).
David
Schaff: “Zwingli
answered Luther without delay, ... Zwingli follows Luther step by step, answers
every argument, defends the figurative interpretation of the words of
institution by many parallel passages (Gen. 41:26; Exod. 12:11; Gal. 4:24; Matt.
11:14; 1 Cor. 10:4, etc.), and discusses also the relation of the two natures in
Christ. ... He charges Luther with confounding the two. The attributes of the
infinite nature of God are not communicable to the finite nature of man, except
by an exchange which is called in rhetoric alloeosis.
The ubiquity of Christ’s body is a contradiction. Christ is everywhere, but
his body cannot be everywhere without ceasing to be a body, in any proper sense
of the term.”
[= Zwingli menjawab Luther tanpa penundaan, ... Zwingli mengikuti Luther langkah
demi langkah, menjawab setiap argumentasi, mempertahankan penafsiran yang
bersifat kiasan dari kata-kata institusi / peneguhan dengan banyak text-text
yang paralel / mempunyai arah yang sama (Kej 41:26; Kel 12:11; Gal 4:24; Mat 11:14;
1Kor 10:4, etc.), dan juga mendiskusikan hubungan dari 2 hakekat dalam
Kristus. ... Ia menuduh Luther mencampur-adukkan keduanya. Atribut / sifat dasar
dari hakekat tak terbatas (ilahi) Allah tidak bisa diberikan kepada (atau, sama-sama dimiliki oleh)
hakekat yang terbatas dari manusia, kecuali oleh suatu pertukaran yang dalam
rhetoric disebut gaya bahasa ALLOEOSIS {= perubahan}. Kemahaadaan dari tubuh
Kristus adalah suatu kontradiksi. Kristus ada dimana-mana, tetapi tubuhNya tidak
bisa ada dimana-mana tanpa berhenti menjadi suatu tubuh, dalam arti yang benar
dari istilah itu.]
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 625-626.
Catatan:
ada bermacam-macam arti dari kata ‘rhetoric’:
1. The study of the technique of using language effectively [= Pembelajaran tentang tehnik penggunaan bahasa secara efektif].
2. The art of using speech to persuade, influence, or please; oratory [= Seni / keahlian menggunakan pidato untuk meyakinkan, mempengaruhi, atau menyenangkan; kefasihan berpidato]
3. Excessive use of ornamentation and contrivance in spoken or written discourse; bombast [= Penggunaan yang berlebihan dari hiasan dan alat dalam percakapan mulut atau tertulis; bahasa yang terdengar baik tetapi tak berarti].
4. Speech or discourse that pretends to significance but lacks true meaning: all the politician says is mere rhetoric. [= Pidato / percakapan yang berpura-pura berarti / penting tetapi kekurangan arti sebenarnya: semua yang ahli politik katakan semata-mata adalah rhetoric.].
(dari http://www.thefreedictionary.com/rhetoric).
Catatan:
Mungkin ALLOEOSIS berhubungan dengan ayat-ayat yang menggunakan sebutan
/ gelar yang hanya cocok untuk hakekat yang satu, tetapi
menggunakan predikat yang hanya cocok untuk hakekat
yang lain.
Ini
terbagi dalam 2 golongan:
Golongan
pertama adalah ayat-ayat yang menyebut Kristus dengan sebutan
/ gelar ilahi, tetapi menggunakan predikat
yang hanya cocok untuk hakekat manusia.
Contoh:
a.
1Kor 2:8 - “Tidak
ada dari penguasa dunia ini yang mengenalnya, sebab kalau sekiranya mereka
mengenalnya, mereka tidak menyalibkan Tuhan yang
mulia.”.
Ayat
ini menggunakan sebutan / gelar ilahi (‘Tuhan
yang mulia’ / ‘The Lord of glory’), tetapi menggunakan predikat
‘menyalibkan’ yang sebetulnya hanya cocok untuk hakekat manusia
Yesus.
b. 1Yoh 1:1 - “Apa
yang telah ada sejak semula, yang telah kami
dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan
yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup -
itulah yang kami tuliskan kepada kamu.”.
Ayat
ini menggunakan sebutan / gelar ilahi
(‘Firman’ / LOGOS), tetapi menggunakan predikat
‘telah kami lihat dengan mata kami’ dan ‘telah kami saksikan dan yang
telah kami raba dengan tangan kami’, yang sebetulnya hanya cocok untuk
hakekat manusia Yesus.
Golongan
kedua adalah ayat-ayat yang menyebut Kristus dengan sebutan / gelar manusia,
tetapi menggunakan predikat yang hanya cocok untuk hakekat ilahi.
Contoh:
a. Mat 9:6 - “Tetapi
supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia
berkuasa mengampuni dosa’ - lalu berkatalah Ia kepada orang
lumpuh itu -: ‘Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke
rumahmu!’”.
Ayat
ini menggunakan sebutan / gelar manusia
(‘Anak Manusia’), tetapi menggunakan predikat
‘berkuasa mengampuni dosa’ yang hanya cocok untuk hakekat ilahi.
b. Mat 12:8 - “Karena
Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.’”.
Ayat
ini menggunakan sebutan / gelar manusia
(‘Anak Manusia’), tetapi menggunakan predikat
‘Tuhan atas hari Sabat’ yang hanya cocok untuk hakekat ilahi.
Calvin
menjelaskan mengapa hal itu dilakukan dalam Kitab Suci dengan berkata sebagai
berikut:
“And
they (Scriptures) so earnestly express this union of the two natures that is
in Christ as sometimes to interchange them.”
[= Dan mereka (Kitab-kitab Suci) begitu sungguh-sungguh mewujudkan
kesatuan dari dua hakekat yang ada di dalam Kristus sehingga kadang-kadang
menukar / membolak-balik mereka.]
- ‘Institutes of the Christian Religion’, book II, chapter XIV, 1.
“But
because the selfsame one was both God and man, for the sake of the union of
both natures he gave to the one what belonged to the other.”
[= Tetapi karena ‘orang’ yang sama adalah Allah dan manusia, demi kesatuan
dari kedua hakekat, ia memberikan kepada yang satu apa yang termasuk pada yang
lain.] - ‘Institutes
of the Christian Religion’, book II, chapter XIV, 2.
David
Schaff mengutip kata-kata Zwingli:
“To
Martin Luther, Huldrych Zwingli wishes grace and peace from God through Jesus
Christ the living Son of God, who, for our salvation, suffered death, and then
left this world in his body and ascended to heaven, where he sits until he shall
return on the last day, according to his own word, so that you may know that he
dwells in our hearts by faith (Eph. 3:17), and not by bodily eating through the
mouth, as thou wouldest teach without God’s Word.”
[= Kepada Martin Luther, Huldrych Zwingli
mengharapkan kasih karunia dan damai dari Allah melalui Yesus Kristus Anak Allah
yang hidup, yang, untuk keselamatan kita, mengalami kematian, dan lalu
meninggalkan dunia ini dalam tubuhNya dan naik ke surga, dimana Ia duduk sampai
Ia akan kembali pada hari terakhir, sesuai dengan kata-kataNya sendiri, sehingga
kamu bisa tahu bahwa Ia tinggal dalam hatimu oleh iman (Ef 3:17), dan bukan
dengan tindakan memakan secara tubuh melalui mulut, seperti yang engkau
ajarkan tanpa Firman Allah.]
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 626-627.
Ef 3:17 - “sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih.”.
Bdk. Kis 3:21 - “Kristus itu harus tinggal di sorga sampai waktu pemulihan segala sesuatu, seperti yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi-nabiNya yang kudus di zaman dahulu.”.
David
Schaff: “Oecolampadius
wrote likewise a book in self-defense. Luther now came out, in March, 1528, with
his Great
‘Confession on the Lord’s
Supper,’
which he intended to be his last word in this controversy. It is his most
elaborate treatise on the eucharist, full of force and depth, but also full of
wrath. He begins again with the Devil, and rejoices that he had provoked his
fury by the defense of the holy sacrament. He compares the writings of his
opponents to venomous adders. I shall waste, he says, no more paper on their mad
lies and nonsense, lest the Devil might be made still more furious. May the
merciful God convert them, and deliver them from the bonds of Satan! I can do no
more. A heretic we must reject, after the first and second admonition (Tit.
3:10). Nevertheless, he proceeds to an elaborate assault on the Devil and his
fanatical crew. The ‘Confession’ is divided into three parts. The first is a
refutation of the arguments of Zwingli and Oecolampadius; the second, an
explanation of the passages which treat of the Lord’s Supper; the third, a
statement of all the articles of his faith, against old and new heresies. He
devotes much space to a defense of the ubiquity of Christ’s body, which he
derives from the unity of the two natures. He
calls to aid the scholastic distinction between three modes of presence, -
local, definitive, and repletive. He calls Zwingli’s alloeosis
‘a mask of the Devil.’ He concludes with these words: ‘This is my faith,
the faith of all true Christians, as taught in the Holy Scriptures. I beg all
pious hearts to bear me witness, and to pray for me that I may stand firm in
this faith to the end. For - which God forbid! - should I in the temptation and
agony of death speak differently, it must be counted for nothing but an
inspiration of the Devil. Thus help me my Lord and Saviour Jesus Christ, blessed
forever. Amen.’ The ‘Confession’ called out two lengthy answers of Zwingli
and Oecolampadius, at the request of the Strassburg divines; but they add
nothing new.”
[= Oecolampadius
juga menulis sebuah buku sebagai pembelaan. Sekarang Luther keluar, pada Maret
1528, dengan bukunya yang agung ‘Confession
on the Lord’s Supper’ / ‘Pengakuan tentang Perjamuan Kudus’, yang ia
maksudkan sebagai kata terakhirnya dalam pertentangan ini. Itu adalah tulisan
sistimatisnya yang paling terperinci tentang Perjamuan Kudus, penuh dengan
kekuatan dan kedalaman, tetapi juga penuh dengan kemurkaan. Ia mulai lagi dengan
Setan, dan bersukacita bahwa ia telah memprovokasi kemarahan Setan oleh
pembelaan tentang Sakramen yang kudus. Ia membandingkan tulisan-tulisan
lawan-lawannya dengan ular beludak yang berbisa. Ia berkata, aku tidak akan
membuang-buang lebih banyak kertas tentang dusta dan omong kosong gila mereka,
supaya jangan Setan dibuat lebih marah lagi. Kiranya Allah yang penuh belas
kasihan mempertobatkan mereka, dan membebaskan mereka dari belenggu Iblis! Saya
tidak bisa melakukan lebih lagi. Seorang bidat harus kita tolak / jauhi, setelah
nasehat pertama dan kedua (Tit 3:10). Sekalipun demikian, ia melanjutkan dengan
suatu serangan yang terperinci kepada Setan dan pekerja-pekerjanya yang fanatik.
Buku ‘Confession’ ini dibagi menjadi 3 bagian. Yang pertama adalah
suatu bantahan / penolakan tentang argumentasi-argumentasi dari Zwingli dan
Oecolampadius; yang kedua, suatu penjelasan tentang text-text yang
menangani Perjamuan Kudus; yang ketiga, suatu pernyataan tentang semua
artikel-artikel dari imannya, terhadap / menentang bidat-bidat lama dan baru. Ia menggunakan banyak tempat sebagai suatu pembelaan tentang tubuh
Kristus yang ada dimana-mana, yang ia dapatkan dari persatuan dari kedua hakekat. Ia
menggunakan bantuan dari perbedaan scholastik antara tiga cara kehadiran, -
lokal, definitif / bersifat definisi, dan bersifat mengisi. Ia
menyebut ALLOEOSIS {= perubahan} dari Zwingli ‘suatu topeng dari Setan’. Ia
menyimpulkan dengan kata-kata ini: ‘Inilah imanku, iman dari semua orang
Kristen yang sejati, seperti yang diajarkan dalam Kitab Suci. Saya memohon
kepada semua orang yang mempunyai hati yang saleh untuk memberi saya kesaksian,
dan untuk berdoa bagi saya supaya saya bisa berdiri teguh dalam iman ini sampai
akhir. Karena - kiranya Allah melarang! - seandainya dalam pencobaan dan
penderitaan dari kematian, aku berbicara secara berbeda, itu harus dianggap
sebagai bukan lain dari suatu ilham dari Setan. Jadi tolonglah aku, Tuhan dan
Juruselamatku Yesus Kristus, terpujilah selama-lamanya. Amin’ Buku
‘Confession’ itu menarik dua jawaban panjang dari Zwingli dan Oecolampadius,
atas permintaan dari ahli-ahli theologia dari Strassburg; tetapi mereka tidak
menambahkan apapun yang baru.]
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 627-628.
Tit
3:10 - “Seorang
bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi.”.
David
Schaff: “In
the private conference with Zwingli, against whom he was strongly prejudiced, he
is reported to have yielded the main point of dispute, as regards the literal
interpretation of ‘This is my body,’ and the literal handing of Christ’s
body to his disciples, but added that he gave it to them ‘in a certain
mysterious manner.’ When Zwingli urged the ascension as an argument against
the local presence, Melanchthon said, ‘Christ has ascended indeed, but in
order to fill all things’ (Eph. 4:10). ‘Truly,’ replied Zwingli, ‘with
his power and might, but not with his body.’”
[= Dalam pertemuan pribadi dengan Zwingli, terhadap siapa ia (Melanchthon)
sangat berprasangka, ia dilaporkan telah menyerah dalam pokok utama dari
perdebatan, berkenaan dengan penafsiran hurufiah dari ‘Ini adalah tubuhKu’,
dan pemberian tubuh Kristus secara hurufiah kepada murid-muridNya, tetapi
menambahkan bahwa Ia memberikannya kepada mereka ‘dalam suatu cara yang
misterius’. Pada waktu Zwingli menekankan kenaikan ke surga sebagai suatu
argumentasi menentang kehadiran lokal, Melanchthon berkata, ‘Kristus memang
telah naik ke surga, tetapi untuk memenuhi segala sesuatu’ (Ef 4:10).
‘Benar’, jawab Zwingli, ‘dengan kuasa dan kekuatanNya, tetapi tidak dengan
tubuhNya’.] - ‘History
of the Christian Church’, vol VII, hal 638.
Ef
4:10 - “Ia yang telah turun, Ia juga yang telah naik jauh
lebih tinggi dari pada semua langit, untuk memenuhkan segala sesuatu.”.
David
Schaff: “John
Feige, the chancellor of the Landgrave, exhorted the theologians in an
introductory address to seek only the glory of Christ and the restoration of
peace and union to the church. [= John Feige, gubernur / perdana menteri (?) dari
Landgrave, mendesak ahli-ahli theologia ini dalam suatu pidato pembukaan untuk
hanya mencari kemuliaan Kristus dan pemulihan dari damai dan persatuan pada /
bagi gereja.]
The
debate was chiefly exegetical, but brought out no new argument. It was simply a
recapitulation of the preceding controversy, with less heat and more gentlemanly
courtesy. [= Debat itu terutama bersifat exegesis, tetapi
tidak menyatakan argumentasi yang baru. Itu hanyalah ringkasan dari kontroversi
sebelumnya, dengan sedikit panas dan lebih banyak kesopanan yang halus /
beradab.]
Luther
took his stand on the words of institution in their literal sense: ‘This is my
body;’ the Swiss, on the word of Christ: ‘It is the Spirit that quickeneth;
the flesh profiteth nothing; the words that I have spoken unto you are spirit
and are life.’ [= Luther mempertahankan pandangannya tentang
kata-kata institusi / peneguhan dalam arti hurufiah mereka: ‘Ini adalah
tubuhKu’; Si orang Swiss (Zwingli), tentang kata-kata
Kristus: ‘Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna.
Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.’ (Yoh
6:63).]
Luther
first rose, and declared emphatically that he would not change his opinion on
the real presence in the least, but stand fast on it to the end of life. He
called upon the Swiss to prove the absence of Christ, but protested at the
outset against arguments derived from reason and geometry. To give pictorial
emphasis to his declaration, he wrote with a piece of chalk on the table in
large characters the words of institution, with which he was determined to stand
or fall: ‘Hoc est corpus Meum.’ [= Luther
bangkit pertama / lebih dulu, dan menyatakan secara menekankan bahwa ia tidak
akan / tidak mau mengubah sedikitpun pandangannya tentang kehadiran yang
sungguh-sungguh, tetapi berpegang teguh padanya sampai mati. Ia
meminta / menuntut si orang Swiss (Zwingli) untuk membuktikan
absennya / ketidak-hadiran dari Kristus, tetapi memprotes pada permulaan
terhadap argumentasi-argumentasi yang didapatkan dari akal / logika dan geometri
/ ilmu ukur. Untuk memberikan penekanan bergambar pada
pernyataannya, ia menulis dengan sepotong kapur di meja dalam huruf-huruf besar
kata-kata dari institusi / peneguhan, dengan mana ia ditentukan untuk berdiri
atau jatuh: ‘HOC EST CORPUS MEUM’.]
Oecolampadius
in reply said he would abstain from philosophical arguments, and appeal to the
Scriptures. He quoted several passages which have an obviously figurative
meaning, but especially John 6:63, which in his judgment furnishes the key for
the interpretation of the words of institution, and excludes a literal
understanding. He employed this syllogism: Christ cannot contradict himself; he
said, ‘The flesh profiteth nothing,’ and thereby rejected the oral
manducation of his body; therefore he cannot mean such a manducation in the
Lord’s Supper. [=
Sebagai jawaban Oecolampadius berkata bahwa ia akan menahan diri dari
argumentasi-argumentasi yang bersifat filsafat / berhubungan dengan ahli-ahli
filsafat, dan naik banding kepada Kitab Suci / menggunakan otoritas Kitab Suci.
Ia mengutip beberapa text yang mempunyai suatu arti kiasan yang jelas, tetapi
khususnya Yoh 6:63, yang dalam penilaiannya menyediakan / memberikan kunci untuk
penafsiran dari kata-kata institusi / peneguhan, dan mengeluarkan / membuang
suatu pengertian hurufiah. Ia menggunakan logika ini: Kristus tidak bisa
menentang diriNya sendiri; Ia berkata, ‘Daging sama sekali tidak berguna’,
dan dengan itu menolak tindakan memakan dengan mulut dari tubuhNya; karena itu
Ia tidak bisa memaksudkan suatu tindakan makan dengan mulut dalam Perjamuan
Kudus.]
Yoh 6:63 - “Rohlah
yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang
Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.”.
Luther
denied the second proposition, and asserted that Christ did not reject oral, but
only material manducation, like that of the flesh of oxen or of swine. I mean a
sublime spiritual fruition, yet with the mouth. To the objection that bodily
eating was useless if we have the spiritual eating, he replied, If God should
order me to eat crab-apples or dung, I would do it, being assured that it would
be salutary. We must here close the eyes. [=
Luther menyangkal pernyataan kedua, dan menegaskan bahwa Kristus tidak menolak
yang berhubungan dengan mulut, tetapi hanya tindakan memakan secara materi,
seperti tindakan memakan daging sapi atau babi. Saya memaksudkan suatu
penikmatan rohani yang mulia, tetapi dengan mulut. Terhadap keberatan bahwa
makan secara jasmani tak berguna jika kita makan secara rohani, ia menjawab,
Seandainya Allah menyuruh aku untuk memakan apel kecut atau tahi, aku akan
melakukannya, karena yakin bahwa itu akan menghasilkan hasil yang baik. Di sini
kita harus menutup mata.]
Here
Zwingli interposed: God does not ask us to eat crab-apples, or to do any thing
unreasonable. We cannot admit two kinds of corporal manducation; Christ uses the
same word ‘to eat,’ which is either spiritual or corporal. You admit that
the spiritual eating alone gives comfort to the soul. If this is the chief
thing, let us not quarrel about the other. He then read from the Greek Testament
which he had copied with his own hand, and used for twelve years, the passage
John 6:52, ‘How can this man give us his flesh to eat?’ and Christ’s word,
6:63. [= Di sini Zwingli ikut campur: Allah tidak meminta
kita untuk memakan apel kecut, atau melakukan apapun yang tidak masuk akal. Kami
tidak bisa menerima dua jenis tindakan memakan; Kristus menggunakan kata yang
sama ‘memakan’, yang atau bersifat rohani atau jasmani. Kamu mengakui bahwa
makan rohani saja memberi penghiburan kepada jiwa. Jika ini adalah hal yang
terutama, marilah kita tidak bertengkar tentang yang lain. Lalu ia membaca dari
Perjanjian Baru bahasa Yunani yang ia salin dengan tangannya sendiri, dan
gunakan selama 12 tahun, text Yoh 6:52, ‘Bagaimana orang ini bisa memberi
dagingNya kepada kita untuk dimakan?’ dan kata-kata Kristus, 6:63.]
Yoh 6:52 - “Orang-orang
Yahudi bertengkar antara sesama mereka dan berkata: ‘Bagaimana Ia ini dapat
memberikan dagingNya kepada kita untuk dimakan.’”.
Yoh 6:63 - “Rohlah
yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang
Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.”.
Luther
asked him to read the text in German or Latin, not in Greek. When Christ says,
‘The flesh profiteth nothing,’ he speaks not of his flesh, but of ours. [= Luther
meminta ia untuk membaca text itu dalam bahasa Jerman atau Latin, bukan dalam
bahasa Yunani. Pada waktu Kristus berkata, ‘Daging sama sekali
tidak berguna’, Ia bukan berbicara tentang dagingNya, tetapi tentang daging
kita.]
Zwingli:
The soul is fed with the spirit, not with flesh. [=
Zwingli: Jiwa diberi makan dengan roh, bukan dengan daging.]
Luther:
We eat the body with the mouth, not with the soul. If God should place rotten
apples before me, I would eat them. [= Luther: Kita / kami memakan tubuh dengan mulut,
bukan dengan jiwa. Seandainya Allah menempatkan apel-apel busuk di depanku, aku
akan memakan mereka.]
Zwingli:
Christ’s body then would be a corporal, and not a spiritual, nourishment. [=
Zwingli: Maka tubuh Kristus akan menjadi suatu makanan yang bersifat jasmani,
bukan rohani.]
Luther:
You are captious. [= Luther: Kamu cerewet / membingungkan / suka
mencari-cari kesalahan yang kecil-kecil.]
Zwingli:
Not so; but you contradict yourself. [= Zwingli: Tidak demikian; tetapi kamu menentang
dirimu sendiri.]
Zwingli
quoted a number of figurative passages; but Luther always pointed his finger to
the words of institution, as he had written them on the table. He denied that
the discourse, John 6, had any thing to do with the Lord’s Supper. [=
Zwingli mengutip sejumlah text-text yang bersifat kiasan; tetapi
Luther selalu menunjukkan jarinya pada kata-kata institusi / peneguhan, yang
telah ia tulis di meja. Ia menyangkal
bahwa pembicaraan / pelajaran itu, Yoh 6, berhubungan dengan Perjamuan Kudus.]
Catatan: Apakah kata-kata ‘daging’ dan ‘darah’ dalam Yoh 6:51,53-56 ini menunjuk pada Perjamuan Kudus atau tidak, merupakan hal yang diperdebatkan habis-habisan oleh banyak penafsir. Ada 3 macam pandangan:
a) Bagian ini menunjuk pada Perjamuan Kudus.
b) Secara primer bagian ini tidak berbicara tentang Perjamuan Kudus, tetapi secara sekunder bagian ini berhubungan dengan Perjamuan Kudus.
Leon Morris (NICNT):
“It
sees in the words primarily a teaching about spiritual realities (as outlined
in the preceding paragraph), but does not deny that there may be a secondary
reference to the sacrament.”
[= Ini (penafsiran
ini) melihat dalam kata-kata Yesus itu secara primer suatu ajaran tentang
kenyataan rohani (seperti diuraikan dalam paragraf sebelumnya), tetapi tidak
menyangkal bahwa di sana ada petunjuk sekunder terhadap sakramen.]
- hal 354.
Calvin
(tentang Yoh 6:54): “...
this discourse does not relate to the Lord’s Supper, but to the
uninterrupted communication of the flesh of Christ, which we obtain apart from
the use of the Lord’s Supper. ... From these words, it plainly appears that
the whole of this passage is improperly explained, as applied to the Lord’s
Supper. ... And yet, at the same time, I acknowledge that there is nothing
said here that is not figuratively represented, and actually bestowed on
believers, in the Lord’s Supper; and Christ even intended that the holy
Supper should be, as it were, a seal and confirmation of this sermon.”
[= ... percakapan / pengajaran ini tidak berhubungan dengan Perjamuan Kudus,
tetapi pada pemberian / penerimaan daging Kristus yang terus menerus, yang
kita dapatkan terpisah dari penggunaan Perjamuan Kudus. ... Dari kata-kata
ini, terlihat dengan jelas bahwa seluruh bagian ini dijelaskan secara salah,
kalau diterapkan pada Perjamuan Kudus. ... Sekalipun demikian, pada saat yang
sama, saya mengakui bahwa tidak ada yang dikatakan di sini yang tidak
mempunyai arti kiasan, dan betul-betul diberikan kepada orang-orang percaya
dalam Perjamuan Kudus; dan Kristus bahkan memaksudkan bahwa Perjamuan Kudus
menjadi meterai dan pengesahan dari khotbah ini.].
c) Bagian ini tidak berhubungan dengan Perjamuan Kudus.
Saya setuju dengan pandangan ketiga ini.
Alasannya:
1. Tidak mungkin Yesus membicarakan Perjamuan Kudus yang pada saat itu belum ada.
2. Kalau ini menunjuk pada Perjamuan Kudus, maka ay 50,51,54,57b,58b menunjukkan bahwa orang harus ikut Perjamuan Kudus untuk mendapatkan hidup yang kekal, dan ay 53 menunjukkan bahwa orang yang tidak ikut Perjamuan Kudus tidak akan mendapatkan hidup yang kekal. Dengan kata lain, kalau ini menunjuk pada Perjamuan Kudus, maka Perjamuan Kudus adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan hidup yang kekal. Ini menjadi ajaran sesat Salvation by works!
Adam Clarke (tentang Yoh 6:54): “‘Hath eternal life.’ This can never be understood of the sacrament of the Lord’s supper. 1. Because this was not instituted until a year after; at the last Passover. 2. It cannot be said that those who do not receive that sacrament must perish everlastingly. 3. Nor can it be supposed that all those who do receive it are necessarily and eternally saved.” [= ‘Mempunyai hidup yang kekal’. Ini tidak pernah bisa dimengerti tentang sakramen Perjamuan Kudus. 1. Karena ini (Perjamuan Kudus) tidak diteguhkan / dimulai sampai satu tahun setelahnya; pada hari raya Paskah yang terakhir. 2. Tak bisa dikatakan bahwa mereka yang tidak menerima sakramen itu harus binasa secara kekal. 3. Juga tak bisa dianggap bahwa semua mereka yang menerimanya diselamatkan secara pasti dan secara kekal.].
3. Yesus menggunakan istilah ‘daging’ (Inggris: flesh; Yunani: SARX) bukan ‘tubuh’ (Inggris: body; Yunani: SOMA). Padahal dalam membicarakan Perjamuan Kudus, selalu digunakan kata ‘tubuh’ (body / SOMA). Bdk. Mat 26:26 Mark 14:22 Luk 22:19 1Kor 11:24,27.
Leon Morris (NICNT) tentang ay 51: “‘Flesh’ is a striking word. In distinction from ‘my body’ or ‘myself’ it puts marked emphasis on the physical side of life. .... Many commentators speak as though the word ‘flesh’ self-evidently marked a reference to Holy Communion. It, of course, does nothing of the sort. The word is not found in the narratives of the institution, nor in 1 Corinthians 10 or 11 in connection with the sacrament. Nor is it common in the Fathers in this sense. The usual word in sacramental usage is ‘body.’” [= ‘Daging’ adalah suatu kata yang menarik perhatian. Dalam perbedaan dari ‘tubuhKu’ atau ‘diriKu sendiri’ itu memberikan penekanan yang menyolok pada sisi fisik dari kehidupan. ... Banyak penafsir berbicara seakan-akan kata ‘daging’ pasti menunjukkan suatu referensi pada Perjamuan Kudus. Itu pasti tidak menunjuk seperti itu. Kata itu tidak ditemukan dalam cerita tentang institusi / peneguhan, ataupun dalam 1Kor 10 atau 11 berkenaan dengan sakramen itu. Juga itu bukan merupakan sesuatu yang umum dalam (tulisan) Bapa-bapa gereja dalam arti ini. Kata yang biasa dalam penggunaan yang bersifat sakramen adalah ‘tubuh’.].
4. Kata-kata ‘makan’ dan ‘minum’ dalam ay 50,51,53 dalam bahasa Yunaninya menggunakan aorist tense yang menunjuk pada satu tindakan tertentu di masa lampau. Kalau menunjuk pada Perjamuan Kudus, yang merupakan tindakan makan dan minum secara berulang-ulang, maka seharusnya digunakan bentuk present tense. Catatan: tetapi ay 54,56,57 menggunakan bentuk present participle, sehingga terjemahannya adalah: ‘the one (who is) eating / drinking My flesh / blood’.
Leon Morris (NICNT) tentang ay 50: “And when anyone once takes it (‘eat’ is in the aorist tense, of the once-for-all action of receiving Christ), he will not die.” [= Dan pada waktu siapapun pernah / sekali mengambilnya (‘makan’ ada dalam tensa aorist, tentang tindakan menerima Kristus sekali untuk selamanya), ia tidak akan mati.].
Leon Morris (NICNT) tentang ay 51: “‘Came down’ is in the aorist, pointing to the single act of the incarnation. As in the previous verse, ‘eats’ (aorist tense) points to the act of appropriating Christ.” [= ‘Turun’ ada dalam tensa aorist, menunjuk pada satu tindakan inkarnasi. Seperti dalam ayat sebelumnya, ‘makan’ (tensa aorist) menunjuk pada tindakan mengambil Kristus.].
Catatan: untuk bagian ini Leon Morris memberikan catatan kaki seperti di bawah ini.
Leon Morris (NICNT): “This aorist makes it difficult to understand the word as referring to the Holy Communion as some suggest.” [= Tensa aorist ini membuatnya sukar untuk mengerti / menafsirkan kata itu sebagai menunjuk pada Perjamuan Kudus seperti diusulkan oleh beberapa orang.].
At
this point a laughable, yet characteristic incident occurred. ‘Beg your
pardon,’ said Zwingli, ‘that passage (John 6:63) breaks your neck.’
Luther, understanding this literally, said, ‘Do not boast so much. You are in
Hesse, not in Switzerland. In this country we do not break people’s necks.
Spare such proud, defiant words, till you get back to your Swiss.’ [=
Pada titik ini suatu peristiwa khas yang menggelikan terjadi. ‘Maaf’, kata
Zwingli, text itu (Yoh 6:63) mematahkan lehermu’. Luther, yang mengerti
kata-kata ini secara hurufiah, berkata, ‘Jangan terlalu sombong. Kamu ada di
Hesse, bukan di Swiss. Di negara ini kita tidak mematahkan leher orang. Simpan
kata-kata sombong, bersifat provokasi, sampai kamu kembali ke Swiss-mu’.]
Zwingli:
In Switzerland also there is strict justice, and we break no man’s neck
without trial. I use simply a figurative expression for a lost cause. [=
Zwingli: di Swiss juga ada keadilan yang ketat, dan kami tidak mematahkan leher
orang tanpa pengadilan. Saya hanya menggunakan suatu ungkapan yang bersifat
kiasan untuk suatu kasus yang kalah.]
The
Landgrave said to Luther, ‘You should not take offense at such common
expressions.’ But the agitation was so great that the meeting adjourned to the
banqueting hall.”
[= Orang dari Landgrave (John Feige) berkata kepada Luther,
‘Kamu tidak boleh tersinggung oleh ungkapan-ungkapan umum seperti itu’.
Tetapi gangguan / pergolakan itu begitu besar sehingga pertemuan ditunda di
ruangan pesta.]
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 640-642.
David
Schaff: “The
discussion was resumed in the afternoon, and turned on the christological
question. I believe, said Luther, that Christ is in heaven, but also in the
sacrament, as substantially as he was in the Virgin’s womb. I care not whether
it be against nature and reason, provided it be not against faith. [=
Diskusi dimulai lagi / dilanjutkan pada siang / sore hari, dan berubah
arah pada persoalan Kristologi. Saya percaya, kata Luther, bahwa
Kristus ada di surga, tetapi juga dalam sakramen, dengan tingkat yang sama
seperti Ia ada dalam kandungan sang Perawan. Saya
tak peduli apakah itu menentang alam dan akal, asal itu tidak menentang iman.]
Oecolampadius:
You deny the metaphor in the words of institution, but you must admit a
synecdoche. For Christ does not say, This is bread and my body (as you hold),
but simply, This is my body. [= Oecolampadius: Kamu menyangkal kiasan dalam
kata-kata institusi / peneguhan, tetapi kamu harus mengakui suatu synecdoche.
Karena Kristus tidak berkata, Ini adalah roti dan tubuhKu (seperti yang kamu
percayai), tetapi hanya, Ini adalah tubuhKu.]
Luther:
A metaphor admits the existence of a sign only; but a synecdoche admits the
thing itself, as when I say, the sword is in the scabbard, or the beer in the
bottle. [= Luther: Suatu kiasan menerima keberadaan dari suatu tanda saja;
tetapi suatu synecdoche menerima hal itu sendiri, seperti pada waktu saya
berkata, pedang ada dalam sarungnya, atau bir dalam botol.]
Zwingli
reasoned: Christ ascended to heaven, therefore he cannot be on earth with his
body. A body is circumscribed, and cannot be in several places at once. [=
Zwingli berargumentasi: Kristus telah naik ke surga, karena itu Ia tidak bisa
ada di bumi dengan tubuhNya. Suatu tubuh dibatasi / terbatas, dan tidak bisa ada
di beberapa tempat pada saat yang sama.]
Luther:
I care little about mathematics. [= Luther: Saya tak
peduli tentang matematik.]
The
contest grew hotter, without advancing, and was broken up by a call to the
repast. The next day, Sunday, Oct. 3, it was renewed. [=
Pertarungan makin menjadi panas, tanpa kemajuan, dan dipisahkan / dihentikan
oleh panggilan makan. Hari berikutnya, Minggu, tanggal 3 Oktober, itu
diperbaharui.]
Zwingli
maintained that a body could not be in different places at once. Luther quoted
the Sophists (the Schoolmen) to the effect that there are different kinds of
presence. The universe is a body, and yet not in a particular place. [=
Zwingli mempertahankan bahwa suatu tubuh tidak bisa ada di tempat-tempat yang
berbeda sekaligus. Luther mengutip ahli-ahli
filsafat (orang-orang terpelajar) yang berarti bahwa di sana ada jenis-jenis
yang berbeda tentang kehadiran. Alam semesta adalah suatu tubuh, tetapi bukan di
suatu tempat khusus / tertentu.]
Zwingli:
Ah, you speak of the Sophists, doctor! Are you really obliged to return to the
onions and fleshpots of Egypt? He then cited from Augustin, who says, ‘Christ
is everywhere present as God; but as to his body, he is in heaven.’ [=
Zwingli: Ah, kamu berbicara tentang ahli-ahli filsafat, Doktor! Apakah kamu
harus kembali pada bawang dan panci daging dari Mesir? Lalu ia mengutip dari
Agustinus, yang berkata, ‘Kristus hadir dimana-mana sebagai Allah; tetapi
berkenaan dengan tubuhNya, Ia ada di surga’.]
Bdk. Bil 11:4-6 - “(4)
Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang
Israelpun menangislah pula serta berkata: ‘Siapakah yang akan memberi kita
makan daging? (5) Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan
tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan
bawang putih. (6) Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun,
kecuali manna ini saja yang kita lihat.’”.
Luther:
You have Augustin and Fulgentius on your side, but we have all the other
fathers. Augustin was young when he wrote the passage you quote, and he is
obscure. We must believe the old teachers only so far as they agree with the
Word of God. [= Luther: Kamu mempunyai Agustinus dan Fulgentius
di pihakmu, tetapi kami mempunyai semua bapa-bapa gereja yang lain. Agustinus
masih muda pada waktu ia menulis text yang kamu kutip, dan ia tak punya
reputasi. Kita harus mempercayai guru-guru kuno hanya sejauh mereka setuju /
sesuai dengan Firman Allah.]
Oecolampadius:
We, too, build on the Word of God, not on the fathers; but we appeal to them to
show that we teach no novelties. [= Oecolampadius: Kami, juga, membangun pada Firman
Allah, bukan pada bapa-bapa gereja; tetapi kami naik banding kepada mereka untuk
menunjukkan bahwa kami bukan mengajar hal yang baru.]
Luther,
pointing again his finger to the words on the table: This is our text: you have
not yet driven us from it. We care for no other proof. [=
Luther, menunjukkan jarinya lagi pada kata-kata di meja: Ini adalah text kami:
kamu belum menggerakkan kami darinya. Kami tak peduli pada bukti lain.]
Oecolampadius:
If this is the case, we had better close the discussion. [=
Oecolampadius: Jika itu adalah kasusnya, kita lebih baik menutup / mengakhiri
diskusi ini.]
The
chancellor exhorted them to come to an understanding. [=
Sang gubernur / perdana menteri mendesak / menasehati mereka untuk datang pada
suatu persetujuan.]
Luther:
There is only one way to that. Let our adversaries believe as we do. [=
Luther: Di sana hanya ada satu jalan kesana. Hendaklah lawan-lawan kami percaya
seperti yang kami percaya.]
The
Swiss: We cannot. [= Orang Swiss: Kami tidak bisa.]
Luther:
Well, then, I abandon you to God’s judgment, and pray that he will enlighten
you. [= Luther: Kalau demikian, saya meninggalkan kamu pada penghakiman
Allah, dan berdoa supaya Ia akan mencerahi kamu.]
Oecolampadius:
We will do the same. You need it as much as we. [=
Oecolampadius: Kami akan melakukan hal yang sama. Kamu membutuhkannya sama
banyaknya seperti yang kami butuhkan.]
At
this point both parties mellowed down. Luther begged pardon for his harsh words,
as he was a man of flesh and blood. Zwingli begged Luther, with tearful eyes, to
forgive him his harsh words, and assured him that there were no men in the world
whose friendship he more desired than that of the Wittenbergers.”
[= Pada titik ini kedua pihak melunak. Luther meminta maaf untuk kata-kata
kasarnya, karena ia adalah seseorang dari daging dan darah. Zwingli meminta
Luther, dengan mata penuh air mata, untuk mengampuni dia atas kata-katanya yang
kasar, dan meyakinkan dia bahwa di sana tidak ada orang di dunia yang lebih ia
inginkan persahabatannya dari pada orang-orang Wittenberg.]
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 642-644.
Apakah
ini berarti kedua pihak berdamai? Sama sekali tidak!
David
Schaff: “§ 109. Luther’s Last Attack
on the Sacramentarians. His Relation to Calvin. ... The Marburg Conference did
not really reconcile the parties, or advance the question in dispute; but the
conflict subsided for a season, and was thrown into the background by other
events. The persistent efforts of Bucer and Hedio to bring about a
reconciliation between Wittenberg and Zurich soothed Luther, and excited in him
the hope that the Swiss would give up their heresy, as he regarded it. But in
this hope he was disappointed. The Swiss could not accept the ‘Wittenberg
Concordia’ of 1536, because it was essentially Lutheran in the assertion of
the corporal presence and oral manducation. A year and a half before his death,
Luther broke out afresh, to the grief of Melanchthon and other friends, in a
most violent attack on the Sacramentarians, the ‘Short Confession on the Holy
Sacrament’ (1544). It was occasioned by Schwenkfeld, and by the rumor that
Luther had changed his view, because he had abolished the elevation and
adoration of the host. Moreover he learned that Dévay, his former student, and
inmate of his house, smuggled the sacramentarian doctrine under Luther’s name
into Hungary. He was also displeased with the reformation program of Bucer and
Melanchthon for the diocese of Cologne (1543), because it stated the doctrine of
the eucharist without the specific Lutheran features, so that he feared it would
give aid and comfort to the Sacramentarians. These provocations and vexations,
in connection with sickness and old age, combined to increase his irritability,
and to sour his temper. They must be taken into account for all understanding of
his last document on the eucharist. It is the severest of all, and forms a
parallel to his last work against the papacy, of the same year, which surpasses
in violence all he ever wrote against the Romish Antichrist. The ‘Short
Confession’ contains no argument, but the strongest possible reaffirmation of
his faith in the real presence, and a declaration of his total and final
separation from the Sacramentarians and their doctrine, with some concluding
remarks on the elevation of the sacrament. Standing on the brink of the grave,
and in view of the judgment-seat, he solemnly condemns all enemies of the
sacraments wherever they are. ‘Much rather,’ he says, ‘would I be torn to
pieces, and burnt a hundred times, than be of one mind and will with Stenkefeld
(Schwenkfeld), Zwingel, Carlstadt, Oecolampad, and all the rest of the Schwaermer,
or tolerate their doctrine.’ He overwhelms them with terms of opprobrium, and
coins new ones which cannot be translated into decent English. He calls them
heretics, hypocrites, liars, blasphemers, soul-murderers, sinners unto death,
bedeviled all over. He ceased to pray for them, and left them to their fate. At
one time he had expressed some regard for Oecolampadius, and even for Zwingli,
and sincere grief at his tragic death. But in this last book he repeatedly
refers to his death as a terrible judgment of God, and doubts whether he was
saved. He was horrified at Zwingli’s belief in the salvation of the pious
heathen, which he learned from his last exposition of the Christian faith,
addressed to the king of France. ‘If such godless heathen,’ he says, ‘as
Socrates, Aristides, yea, even the horrible Numa who introduced all kinds of
idolatry in Rome (as St. Augustin writes), were saved, there is no need of God,
Christ, gospel, Scriptures, baptism, sacrament, or Christian faith.’ He thinks
that Zwingli either played the hypocrite when he professed so many Christian
articles at Marburg, or fell away, and has become worse than a heathen, and ten
times worse than he was as a papist. This attitude Luther retained to the end.
It is difficult to say whom he hated most, the papists or the Sacramentarians.
On the subject of the real presence he was much farther removed from the latter.
He remarks once that he would rather drink blood alone with the papists than
wine alone with the Zwinglians. A few days before his death, he wrote to his
friend, Pastor Probst in Bremen: ‘Blessed is the man that walketh not in the
counsel of the Sacramentarians,
nor standeth in the way of the Zwinglians,
nor sitteth in the seat of the Zurichers.’
Thus he turned the blessing of the first Psalm into a curse, in accordance with
his growing habit of cursing the pope and the devil when praying to God. He
repeatedly speaks of this habit, especially in reciting the Lord’s Prayer, and
justifies it as a part of his piety. It is befitting that with this last word
against the Sacramentarians should coincide in time and spirit his last and most
violent attack upon the divine gift of reason, which he had himself so often and
so effectually used as his best weapon, next to the Word of God. On Jan. 17,
1546, he ascended the pulpit of Wittenberg for the last time, and denounced
reason as ‘the damned whore of the Devil.’ The fanatics and Sacramentarians
boast of it when they ask: ‘How can this man give us his flesh to eat?’ Hear
ye the Son of God who says: ‘This is my body,’ and crush the serpent beneath
your feet. Six days later Luther left the city of his public labors for the city
of his birth, and died in peace at Eisleben, Feb. 18. 1546, holding fast to his
faith, and commending his soul to his God and Redeemer. In view of these last
utterances we must, reluctantly, refuse credit to the story that Luther before
his death remarked to Melanchthon: ‘Dear Philip, I confess that the matter of
the Lord’s Supper has been overdone;’ and that, on being asked to correct
the evil, and to restore peace to the church, he replied: ‘I often thought of
it; but then people might lose confidence in my whole doctrine. I leave the
matter in the hands of the Lord. Do what you can after my death.’”
[= § 109. Serangan terakhir Luther
kepada Sacramentarians. Hubungannya dengan Calvin. ... Konperensi Marburg tidak
sungguh-sungguh mendamaikan pihak-pihak, atau memajukan pertanyaan yang
diperdebatkan; tetapi konflik itu mereda untuk suatu waktu, dan dilemparkan ke
latar belakang oleh peristiwa-peristiwa yang lain. Usaha-usaha yang terus
menerus dari Bucer dan Hedio untuk membuat suatu perdamaian antara Wittenberg
dan Zurich menenangkan Luther, dan membangkitkan pengharapan dalam dia bahwa
orang-orang Swiss itu akan menyerahkan kesesatan mereka, sebagaimana ia
menganggapnya. Tetapi ia kecewa dalam pengharapan ini. Orang-orang Swiss itu
tidak bisa menerima ‘Wittenberg Concordia’ dari tahun 1536, karena itu
secara hakiki adalah Lutheran dalam penegasan tentang kehadiran jasmani dan
tindakan makan dengan mulut. Satu setengah tahun sebelum kematiannya, Luther
meledak lagi, menyedihkan Melanchthon dan sahabat-sahabat lain, dalam suatu
serangan yang paling keras / ganas kepada Sacramentarians, ‘the Short
Confession on the Holy Sacrament’ / ‘Pengakuan Singkat tentang Perjamuan
Kudus’ (1544). Itu disebabkan oleh Schwenkfeld, dan oleh gosip bahwa Luther telah
mengubah pandangannya, karena ia telah menghapuskan peninggian dan pemujaan
terhadap roti / hosti. Lebih lagi, ia tahu bahwa Dévay, bekas muridnya, dan
orang yang pernah tinggal di rumahnya, menyelundupkan doktrin Sacramentarian di
bawah nama Luther ke Hongaria. Ia juga tidak senang dengan program reformasi
dari Bucer dan Melanchthon untuk kumpulan gereja-gereja di Cologne (1543),
karena itu menyatakan doktrin Perjamuan Kudus tanpa ciri-ciri khusus Lutheran,
sehingga ia takut itu akan membantu dan menyenangkan Sacramentarian.
Provokasi-provokasi dan gangguan-gangguan ini, berhubungan dengan penyakit dan
usia tua, bergabung untuk meningkatkan kejengkelannya, dan memahitkan
temperamennya. Hal-hal itu harus dipertimbangkan untuk seluruh pengertian
tentang dokumen terakhirnya tentang Perjamuan Kudus. Itu adalah yang paling
keras dari semua, dan membentuk suatu paralel dengan pekerjaan / tulisannya yang
terakhir menentang kepausan, dari tahun yang sama, yang dalam kekerasan
melampaui semua yang pernah ia tulis menentang sang Anti Kristus Roma. ‘The
Short Confession’ (Pengakuan Singkat) tidak mempunyai argumentasi, tetapi
penegasan kembali terkuat yang memungkinkan tentang imannya dalam kehadiran
sungguh-sungguh, dan suatu pernyataan tentang pemisahan total dan terakhirnya
dari para Sacramentarian dan doktrin mereka, dengan beberapa kesimpulan tentang
peninggian sakramen itu. Pada saat berdiri di tepi kubur, dan dalam terang dari
takhta penghakiman, ia secara khidmat mengecam / mengutuk semua musuh-musuh dari
sakramen dimanapun mereka berada. ‘Lebih baik’,
ia berkata, ‘saya dicabik-cabik, dan dibakar seratus kali, dari pada menjadi
satu pikiran dan kehendak dengan Stenkefeld (Schwenkfeld), Zwingel, Carlstadt,
Oecolampad, dan semua sisa dari Schwaermer,
atau menoleransi doktrin mereka’. Ia membanjiri mereka
dengan istilah-istilah celaan, dan menemukan / menciptakan istilah-istilah baru
yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang sopan. Ia menyebut
mereka orang sesat, munafik, pendusta, penghujat, pembunuh jiwa, pendosa sampai
kematian, kerasukan seluruhnya. Ia berhenti berdoa untuk mereka, dan membiarkan
mereka pada nasib mereka. Pada satu saat ia telah menyatakan hormat untuk
Oecolampadius, dan bahkan untuk Zwingli, dan kesedihan yang tulus pada
kematiannya yang tragis. Tetapi dalam buku terakhir ini ia berulang-ulang
menunjuk pada kematiannya sebagai suatu penghakiman yang mengerikan dari Allah,
dan meragukan apakah ia diselamatkan. Ia takut / tak senang pada kepercayaan
Zwingli pada keselamatan dari orang-orang kafir yang saleh, yang ia pelajari
dari exposisinya yang terakhir tentang iman Kristen, ditujukan kepada raja
Perancis. ‘Jika orang kafir seperti itu’, ia berkata, ‘seperti
Socrates, Aristides, ya, bahkan Numa yang mengerikan yang memperkenalkan semua
jenis pemberhalaan di Roma (seperti Santo Agustinus tuliskan), diselamatkan, di
sana tak dibutuhkan Allah, Kristus, injil, Kitab Suci, baptisan, sakramen, atau
iman Kristen’. Ia berpikir bahwa Zwingli, atau
bersikap sebagai orang munafik pada waktu ia mengaku begitu banyak artikel
Kristen di Marburg, atau murtad, dan telah menjadi lebih buruk dari pada seorang
kafir, dan sepuluh kali lebih buruk dari pada pada waktu ia adalah seorang
Katolik. Sikap ini dipertahankan Luther sampai akhir / mati. Adalah
sukar untuk mengatakan siapa yang paling ia benci, orang-orang Katolik atau para
Sacramentarian. Tentang pokok kehadiran sungguh-sungguh bergerak jauh
lebih jauh dari yang belakangan. Ia pernah menyatakan
bahwa ia lebih memilih untuk minum darah saja bersama orang Katolik dari pada
anggur saja bersama pengikut-pengikut Zwingli. Beberapa hari sebelum
kematiannya, ia menulis kepada sahabatnya, Pdt. Probst di Bremen:
‘Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat para Sacramentarian,
yang tidak berdiri di jalan Zwinglian, dan yang tidak duduk dalam kumpulan
orang-orang Zurich’. Demikianlah ia mengubah berkat dari Mazmur Pertama
menjadi suatu kutuk, sesuai dengan kebiasaannya yang berkembang tentang mengutuk
Paus dan setan pada waktu ia berdoa kepada Allah. Ia berulang-ulang berbicara
dari kebiasaan ini, khususnya dalam mengucapkan Doa Bapa Kami, dan
membenarkannya sebagai sebagian dari kesalehannya. Adalah
cocok bahwa kata-kata terakhir yang menentang para Sacramentarian ini terjadi
pada saat yang sama dalam waktu dan roh / kecondongan serangan terakhirnya dan
yang paling ganas terhadap karunia ilahi tentang / dari akal, yang ia sendiri
telah begitu sering dan dengan begitu efektif gunakan sebagai senjata
terbaiknya, setelah Firman Allah. Pada tanggal 17 Januari 1546, ia naik mimbar
Wittenberg untuk terakhir kalinya, dan mengecam / mengutuk akal sebagai
‘pelacur terkutuk dari Setan’. Orang-orang fanatik dan para
Sacramentarian membanggakannya pada waktu mereka bertanya: ‘Bagaimana Orang
ini bisa memberi kita dagingNya untuk dimakan?’ Dengarlah kamu Anak Allah yang
berkata: ‘Ini adalah tubuhKu’, dan menghancurkan / hancurkanlah ular di
bawah kakimu. Enam hari kemudian Luther meninggalkan kota dari jerih payah
umumnya ke kota kelahirannya, dan mati dalam damai di Eisleben, tanggal 18
Februari 1546, memegang teguh imannya, dan menyerahkan jiwanya kepada Allah dan
Penebusnya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 654-659.
Catatan:
1.
Sacramentarian berarti:
a.
Orang yang menganggap bahwa roti dan anggur yang telah dikuduskan dari
Perjamuan Kudus hanya sebagai bersifat kiasan, dan bukan tubuh dan darah secara
fisik dari Yesus.
b.
Orang yang menekankan pentingnya sakramen sebagai suatu cara / jalan
kasih karunia.
Saya
kira yang pertamalah yang ditekankan di sini.
2.
Pandangan Zwingli tentang kemungkinan orang kafir selamat tanpa percaya
Kristus memang adalah pandangan sesat.
David
Schaff: “But
it is gratifying to know that Luther never said one unkind word of Calvin, who
was twenty-five years younger. He never saw him, but read some of his books, and
heard of him through Melanchthon. In a letter to Bucer, dated Oct. 14, 1539, he
sent his respectful salutations to John Sturm and John Calvin, who lived at that
time in Strassburg, and added that he had read their books with singular
delight. This includes his masterly answer to the letter of Bishop Sadolet
(1539). Melanchthon sent salutations from Luther and Bugenhagen to Calvin, and
informed him that he was ‘in high favor with Luther,’ notwithstanding the
difference of views on the real presence, and that Luther hoped for better
opinions, but was willing to bear something from such a good man. Calvin had
expressed his views on the Lord’s Supper in the first edition of his Institutes,
which appeared in 1536, incidentally also in his answer to Sadolet, which Luther
read ‘with delight,’ and more fully in a special treatise, De Coena Domini,
which was published in French at Strassburg, 1541, and then in Latin, 1545.
Luther must have known these views. He is reported to have seen a copy of
Calvin’s tract on the eucharist in a bookstore at Wittenberg, and, after
reading it, made the remark: ‘The author is certainly a learned and pious man:
if Zwingli and Oecolampadius had from the start declared themselves in this way,
there would probably not have arisen such a controversy.’”
[= Tetapi
merupakan sesuatu yang menyenangkan untuk tahu bahwa Luther tidak pernah
mengatakan satupun kata yang tak baik tentang Calvin yang 25 tahun lebih muda.
Ia tidak pernah melihatnya, tetapi membaca beberapa dari buku-bukunya, dan
mendengar tentang dia melalui Melanchthon. Dalam suatu surat kepada Bucer,
tertanggal 14 Oktober 1539, ia mengirim salam yang penuh hormat kepada John
Sturm dan John Calvin, yang pada saat itu tinggal di Strassburg, dan menambahkan
bahwa ia telah membaca buku-buku mereka dengan kesenangan yang sangat bagus. Ini
mencakup jawabannya yang menunjukkan pengetahuan seorang master terhadap surat
dari Uskup Sadolet (1539). Melanchthon mengirimkan salam dari Luther dan
Bugenhagen kepada Calvin, dan memberitahunya bahwa ia ‘sangat disenangi oleh
Luther’, sekalipun ada perbedaan pandangan tentang kehadiran yang
sungguh-sungguh, dan bahwa Luther mengharapkan untuk pandangan-pandangan yang
lebih baik, tetapi mau menahan sesuatu dari orang baik / saleh seperti itu.
Calvin telah menyatakan pandangannya tentang Perjamuan Kudus dalam edisi pertama
dari Institutes-nya, yang muncul tahun 1536, juga sebagai sesuatu yang sekunder
dalam jawabannya kepada Sadolet, yang Luther baca ‘dengan senang’, dan
secara lebih penuh dalam tulisan khususnya, De Coena Domini, yang dipublikasikan
di Perancis di Strassburg, 1541, dan lalu dalam bahasa Latin, 1545. Luther pasti telah mengetahui
pandangan-pandangan ini. Ia dilaporkan telah melihat suatu salinan dari traktat
/ tulisan singkat Calvin tentang Perjamuan Kudus di suatu toko buku di
Wittenberg, dan setelah membacanya, membuat pernyataan / komentar: ‘Sang
pengarang pasti adalah seorang terpelajar dan saleh: seandainya Zwingli dan
Oecolampadius dari semula telah menyatakan diri mereka dengan cara ini, di sana
mungkin tidak akan pernah muncul kontroversi seperti itu’.]
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 659-660.
Bagi
saya merupakan sesuatu yang mengherankan bagaimana Luther bisa memegang teguh
pandangan yang begitu salah dalam persoalan Perjamuan Kudus.
Calvin
(tentang Mat 26:26):
“So
then those later instructions about the letter are not less absurd than the
Papists.” [= Jadi, karena itu
ajaran-ajaran belakangan tentang huruf itu itu tidak
kurang menggelikannya dari pada ajaran Katolik.].
Louis
Berkhof:
“2. The Lutheran view. ... It really makes the words of
Jesus mean, ‘this accompanies my body’, an interpretation that is more
unlikely than either of the others.” [= 2. Pandangan Lutheran. ...
Itu sesungguhnya membuat kata-kata Yesus berarti, ‘ini menyertai
tubuhKu’, suatu penafsiran yang lebih
tidak mungkin dari pada yang manapun dari pandangan-pandangan yang lain.]
- ‘Systematic Theology’, hal 652-653.
-bersambung-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali