oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.
‘Daerah Yudea
yang di seberang sungai Yordan’.
Daerah ini
disebut Perea, dan daerah ini dikuasai oleh Herodes Antipas (pembunuh Yohanes
Pembaptis).
Dalam ayat ini
terlihat bahwa Yesus bergerak menuju Yerusalem untuk menggenapi nubuatNya
dalam Mat 16:21.
1)
Yesus menyembuhkan orang-orang sakit.
Ini jelas merupakan tindakan kasih. Tetapi apa yang Yesus dapatkan?
Dalam ay 3, Ia justru diserang / dicobai oleh tokoh-tokoh agama.
Penerapan:
Karena itu kalau saudara berbuat baik / mentaati Allah, janganlah
terlalu berharap bahwa saudara selalu akan disenangi oleh orang-orang kristen /
tokoh-tokoh gereja. Memang bisa saja perbuatan baik kita menyebabkan orang-orang
lalu membalas kita dengan perbuatan baik juga (bdk. 1Pet 3:13). Tetapi sering
juga terjadi sebaliknya! (bdk. 1Pet 2:20 3:14,17 4:14-16).
Kalau hal ini terjadi, janganlah saudara bingung / kecewa dan janganlah merasa
atau menganggap bahwa saudara salah jalan, dsb. Yesuspun mengalami hal yang
sama! Bukankah seorang hamba tidak lebih tinggi dari tuannya, dan bukankah
seorang murid tidak lebih tinggi dari gurunya (Mat 10:24)? Kalau tuan / gurunya
mengalami hal itu, tidaklah aneh kalau hamba / muridnya juga mengalami hal yang
sama!
2)
Yang diceritakan oleh Matius hanyalah penyembuhan orang sakit yang dilakukan
oleh Yesus. Supaya saudara tidak menganggap bahwa penyembuhan orang sakit adalah
pelayanan Yesus yang terutama, bacalah cerita paralelnya dalam Mark 10:1
dimana dikatakan bahwa Ia mengajarkan Firman Tuhan. Kalau saudara melihat Mark 1:38,
terlihat jelas bahwa pemberitaan Injil / Firman Tuhanlah yang merupakan
pelayanan utama dari Tuhan Yesus!
1)
Pada saat Yesus ada di Galilea, di sana Ia diserang oleh setan dengan
menggunakan orang Farisi / ahli Taurat. Sekarang Ia pindah ke Perea, setanpun
punya anak buah di sana untuk menyerang Dia.
Ini mengajar kita apa? Adalah sia-sia kalau kita mau lari dari
kesukaran dengan pindah rumah, pindah kota, pindah sekolah, pindah pekerjaan
dsb. Di tempat yang barupun setan pasti akan menyerang kita. Jadi, janganlah
lari! Mendekatlah kepada Tuhan, dan hadapilah setan dengan kekuatan dari Tuhan!
Saudara hanya boleh lari dari serangan setan, kalau serangan itu adalah seperti
yang dialami oleh Yusuf dalam Kej 39:7-13. Bahkan dalam hal ini saudara harus
lari, dan bukannya menghadapi pencobaan itu!
2)
Ay 3 ini menunjukkan bahwa orang Farisi mencobai Yesus dengan berusaha
menarik Yesus masuk ke dalam kontroversi / perdebatan antara Rabi Shammai versus
Rabi Hillel. Mereka adalah 2 rabi Yahudi yang bertentangan pendapat tentang
syarat perceraian yang mereka tafsirkan dari Ul 24:1-4 (bacalah bagian
ini!).
a)
Rabi Shammai berpendapat bahwa kata-kata ‘yang
tidak senonoh’ dalam Ul 24:1
menunjuk pada perzinahan. Jadi ia berkata bahwa hanya kalau terjadi perzinahan
maka perceraian diijinkan.
b)
Rabi Hillel menyoroti kata-kata ‘ia tidak menyukai lagi perempuan itu’ dalam
Ul 24:1 dan lalu menafsirkan bahwa segala tindakan istri yang tidak
menyenangkan suami boleh dijadikan alasan untuk menceraikan istri (termasuk
tindakan yang remeh seperti menggosongkan makanan waktu masak, bicara terlalu
keras sehingga terdengar oleh tetangga dsb).
Jelas bahwa pandangan Hillel lebih banyak diterima, khususnya oleh
orang laki-laki, dari pada pandangan Shammai!
Sekarang perhatikan pertanyaan orang Farisi dalam ay 3 dimana
mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan
orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?”.
Jelas mereka menanyakan apakah Yesus setuju dengan pandangan Hillel yang
mengijinkan orang menceraikan istri dengan alasan apa saja.
Pencobaan orang Farisi ini meletakkan Yesus dalam posisi yang
sulit:
· kalau
Ia pro Hillel, Ia akan dianggap pro perceraian.
· kalau
Ia pro Shammai, Ia menentang pandangan mayoritas.
1)
Jawaban Yesus terhadap pertanyaan / pencobaan itu:
Mula-mula Yesus mengutip 2 buah ayat dari Kitab Suci / Perjanjian
Lama:
· Ay 4
dikutip dari Kej 1:27 (atau Kej 5:2). Ini untuk mengingatkan mereka
tentang penciptaan manusia pertama kalinya. Allah hanya menciptakan 1
laki-laki dan 1 perempuan, sehingga Allah jelas tidak menghendaki polygamy
maupun orang yang berganti-ganti pasangan.
· Ay 5
dikutip dari Kej 2:24.
Ayat ini sering diartikan bahwa kalau orang laki-laki kawin, ia
harus keluar dari rumah orang tuanya, tetapi kalau orang perempuan kawin, ia dan
suaminya boleh tetap tinggal bersama orang tuanya. Ini adalah penafsiran yang
salah!
Arti ayat ini: seseorang yang menikah (baik ia laki-laki maupun
perempuan), harus lebih mengutamakan hubungannya dengan pasangannya dari pada
hubungannya dengan orang tuanya.
Dalam ay 5 itu dikatakan ‘bersatu
dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging’.
Kata ‘bersatu’ terjemahan hurufiahnya adalah ‘shall be glued to’
(= dilem kepada).
Jelas bahwa ayat inipun menentang polygamy maupun perceraian.
Setelah mengutip 2 ayat Perjanjian Lama itu, maka Yesus lalu
memberikan kesimpulannya dalam ay 6.
2)
Adalah sesuatu yang menarik bahwa dalam menjawab pertanyaan orang Farisi yang
berkenaan dengan Ul 24:1-4, Yesus sama sekali tidak membahas Ul 24
itu, tetapi Ia menggunakan ayat-ayat lain yang lebih jelas / gamblang.
Kalau saudara berdebat dengan seseorang, dan orang itu menggunakan
ayat yang sukar sebagai dasar pandangannya, maka janganlah saudara hanya
menyoroti ayat sukar yang dia pakai. Cobalah untuk memikir / mengingat ayat-ayat
Kitab Suci yang lain, yang lebih jelas / gamblang, yang mendukung
pandangan saudara dan menghancurkan pandangan orang itu.
Contoh:
orang Saksi Yehovah sering menggunakan Mat 5:5 dan Wah 7:4 untuk
mengatakan bahwa nanti cuma 144.000 orang yang masuk surga dan selebihnya
tinggal di bumi ini yang telah disempurnakan, dalam arti tidak ada lagi dosa
dan penderitaan. Ayat yang jelas / gamblang yang menentang pandangan itu adalah
2Pet 3:10-13 yang menyatakan bahwa pada saat Yesus datang kembali, bumi ini
akan dihancurkan, dan kita akan mendapat tempat yang baru!
1)
Ay 7 jelas lagi-lagi menunjuk pada Ul 24:1-4.
Jadi, mereka ingin kembali pada Ul 24 itu. Maksud mereka,
kalau perceraian dilarang, lalu bagaimana menafsirkan Ul 24 itu?
2)
Dalam ay 7 itu mereka menggunakan istilah ‘memerintahkan’. Sekalipun
memang mereka berkata bahwa ‘Musa memerintahkan untuk memberikan surat
cerai’, tetapi orang bisa menerima secara salah, seolah-olah Musa
memerintahkan perceraian. Karena itu, pada waktu Yesus menjawab dalam ay 8,
Ia tidak mau menggunakan istilah ‘memerintahkan’, tetapi Ia menggunakan
istilah ‘mengijinkan’. Itupun tidak berarti bahwa Musa menghalalkan
perceraian itu atau menganggapnya tidak dosa. Karena itu Yesus berkata ‘karena
ketegaran hatimu maka Musa mengijinkan hal itu’. Jadi, supaya tidak
terjadi hal yang lebih buruk seperti istri dipukuli, tidak diberi makan dsb,
maka Musa akhirnya mengijinkan perceraian.
3)
Sebetulnya, dalam arti yang ketat, Ul 24:1-4 sama sekali tidak memberi ijin
cerai / memberi syarat perceraian. Hati-hati kalau saudara menggunakan
terjemahan KJV yang salah terjemahan! Terjemahan itu menjadikan Musa betul-betul
mengijinkan cerai dan bahkan mengijinkan kawin lagi! Tetapi terjemahan Kitab
Suci Indonesia dan juga Kitab Suci bahasa Inggris yang lain, tidak seperti itu.
Bacalah sekali lagi Ul 24:1-4 itu, maka saudara akan melihat bahwa tujuan
ayat-ayat itu hanyalah memperingatkan seseorang, bahwa kalau ia menceraikan
istrinya dan istrinya lalu kawin lagi dengan orang lain, maka sesudah orang
lain itu menceraikan perempuan itu, atau bahkan setelah orang lain itu mati
sekalipun, laki-laki pertama tidak boleh mengambil kembali istrinya. Secara implicit,
bagian ini justru memperingatkan orang untuk tidak gampang-gampang bercerai,
karena kalau suatu hari ia menyesal dan ingin rujuk, ia tidak bisa rujuk (kalau
istri yang dicerai itu belum kawin lagi, maka rujuk diijinkan, tetapi kalau
sudah kawin lagi, rujuk tidak lagi dimungkinkan).
Lalu, kalau Ul 24:1-4 memang tidak mengijinkan perceraian,
mengapa dalam ay 8 Yesus mengatakan bahwa Musa mengijinkan perceraian? Ada
2 kemungkinan jawaban:
a)
Karena Musa tidak melarang perceraian secara tegas, maka itu dianggap
mengijinkan.
b)
Waktu Yesus berkata ‘Musa mengijinkan’, Ia tidak memaksudkan Ul 24,
tetapi dalam praktek / kenyataannya, dimana Musa memang mengijinkan perceraian.
4)
Yesus berani secara terang-terangan mengecam perceraian, padahal Ia berada di
Perea yang termasuk wilayah kekuasaan Herodes Antipas. Ia tahu bahwa Yohanes
Pembaptis dibunuh gara-gara menegur Herodes tentang kawin-cerai. Tetapi Yesus
tidak takut untuk menyatakan kebenaran! Bagaimana dengan saudara?
5)
Yesus secara terang-terangan menentang Hillel, padahal pandangan Hillel adalah
pandangan mayoritas orang Yahudi pada saat itu! Yesus tidak berusaha untuk jadi
‘netral’! Yesus juga tidak takut menentang pandangan mayoritas! Ia bukan
‘bunglon’! Bagaimana dengan saudara? Khususnya kalau saudara adalah hamba
Tuhan, tirulah Yesus, dan jangan menjadi ‘bunglon’!
1)
Dari Markus 10:10-12 terlihat bahwa ay 9 itu diucapkan hanya kepada
murid-murid (ketika mereka sudah tiba di rumah).
2)
Mat 19:9 - “Tetapi Aku berkata
kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu
kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah”.
Ayat ini berarti bahwa kalau terjadi perzinahan (ini satu-satunya
alasan!), maka diijinkan untuk bercerai bahkan untuk kawin lagi. Banyak orang
hanya menyoroti ay 6 lalu berkata bahwa bagi orang kristen perceraian
dilarang secara mutlak dalam keadaan apapun. Ini salah, karena ay 9 secara
jelas berkata bahwa kalau terjadi perzinahan, maka perceraian diijinkan!
Ada juga yang sekalipun melihat ay 9 ini tetapi tetap menafsirkan
bahwa orang kristen secara mutlak tidak boleh berzinah, bahkan kalau terjadi
perzinahan sekalipun. Alasan mereka kontex dari Mat 19 ini (mulai ay 3-9)
jelas menentang perceraian. Terhadap ajaran / penafsiran seperti ini saya jawab
sebagai berikut:
a)
Kalau memang orang tidak boleh bercerai sekalipun terjadi perzinahan, lalu
mengapa dalam ay 9 itu ada kata-kata ‘kecuali karena zinah’? Bukankah
sebaiknya dibuang saja supaya tidak membingungkan?
b)
Penafsiran yang mengijinkan cerai pada saat terjadi perzinahan tidak
bertentangan / dengan kontex. Coba perhatikan: dalam ay 3 orang-orang itu
bertanya: Bolehkah menceraikan istri dengan alasan apa saja? Dalam ay 4-6
Yesus memberikan peraturan umum, yaitu orang tidak boleh bercerai. Lalu
dalam ay 7 mereka bertanya: Mengapa Musa menyuruh memberi surat cerai? Dan
dalam ay 8 Yesus menjawab: karena ketegaran hatimu. Lalu dalam ay 9 Ia
menekankan lagi bahwa orang tidak boleh bercerai, tetapi sekarang ini ia
memberikan perkecualian, yaitu kalau terjadi zinah. Ini untuk menjawab
pertanyaan mereka dalam ay 3. Dengan demikian kesimpulan seluruhnya adalah
sebagai berikut: Terhadap pertanyaan: apakah boleh seseorang menceraikan
istrinya dengan alasan apa saja? Yesus menjawab: Tidak, orang hanya boleh cerai
kalau terjadi perzinahan!
c)
Apa yang diajarkan Yesus dalam Mat 19:9 itu sebetulnya sudah ada dalam Mat 5:32.
Supaya saudara melihat kontex ayat itu, saya menuliskan di sini Mat 5:31-32 yang
berbunyi sebagai berikut: “Telah
difirmankan juga: Siapa yang menceraikan istrinya harus memberi surat cerai
kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali
karena zinah, ia menjadikan istrinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan
perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.
Dalam Mat 19 itu orang masih bisa berkelit dengan mengandalkan
kontex, tetapi bagaimana dengan Mat 5:31-32?
d)
Yer 3:8 berbunyi: “Dilihatnya, bahwa
oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan
memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak
setia itu tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal”.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempraktekkan prinsip yang Yesus
ajarkan dalam Mat 5:32 dan Mat 19:9 itu. Pada waktu Israel bersundal / berzinah
/ tidak setia kepada Allah, maka Allah menceraikan Israel dan memberikan surat
cerai kepadanya! Memang perzinahan yang dilakukan oleh Israel, adalah perzinahan
rohani, dimana mereka tidak setia kepada Allah dan lalu menyembah berhala
/ allah lain, tetapi prinsipnya sama yaitu: jikalau terjadi perzinahan maka
perceraian diijinkan!
e) Macam-macam komentar dari para penafsir:
Barclay: “Jesus’s
answer was to take things back to the very beginning, back to the ideal of
creation. ... Jesus was laying down the principle that all divorce is wrong.
Thus early we must note that it is not a law; it is a principle, which is a very
different thing. ... Here, at once, the Pharisees saw a point of attack. ...
They could now say to Jesus, ‘Are you saying Moses was wrong? Are you seeking
to abrogate the divine law which was given to Moses? Are you setting yourself
above Moses as a law-giver?’ Jesus’s answer was that what Moses said was not
in fact a law, but nothing more than a concession. Moses did not command a
divorce; at the best he only permitted it in order to regulate a situation which
would have become chaotically promiscuous. ... The Mosaic regulation was only a
concession to fallen human nature. ... It is now that we are face to face with
one of the most real and most acute difficulties in the New Testament. ... The
difficulty is - and there is no escaping it - that Mark and Matthew report the
words of Jesus differently. ... both Mark and Luke make the prohibition of
divorce absolute; with them there are no exceptions whatsoever. But Matthew has
one saving clause - divorce is permitted on the ground of adultery. ... In the
last analysis we must choose between Matthew’s version of this saying and that
of Mark and Luke. We think there is little doubt that the version of Mark and
Luke is right. There are two reasons. Only the absolute prohibition of
separation will satisfy the ideal of the Adam and Eve symbolic complete union.
And the staggered words of the disciples imply this absolute prohibition, for,
in effect, they say (verse 10) that if marriage is as binding as that, it is
safer not to marry at all. ... Matthew’s saving clause is a later
interpretation inserted in the light of the practice of the Church when he
wrote” (= )
- hal 200-202.
Catatan:
ayat dalam Markus adalah Mark 10:11-12; sedangkan ayat dalam Lukas adalah
Luk 16:18.
· Mark
10:11-12 - “Lalu kataNya kepada mereka:
‘Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup
dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya
dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.
· Luk
16:18 - “Setiap orang yang menceraikan
isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa
kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.
Calvin tentang Mat 5:31: “An exception is added,
‘except on account of fornication’: for the woman, who has basely violated
the marriage-vow, is justly cast off; because it was by her fault that the tie
was broken, and the husband set at liberty”
(= ) - hal 293.
Calvin tentang Mat 19:9: “But an exception
is added; for the woman, by fornication, cuts herself off, as a rotten member,
from her husband, and sets him at liberty. Those who search for other reasons
ought justly to be set at nought, because they choose to be wise above the
heavenly teacher. ... the husband, who convicts his wife of uncleanness, is here
freed by Christ from the bond” (= )
- hal 383,384.
Calvin tentang Mat 19:9: “It must also be
observed, that the right belongs equally and mutually to both sides, as there is
a mutual and equal obligation to fidelity. For, though in other matters the
husband holds the superiority, as to the marriage bed, the wife has an equal
right: for he is not the lord of his body; and therefore when, by committing
adultery, he has dissolved the marriage, the wife is set at liberty”
(= ) - hal 384.
Calvin tentang Mat 19:9: “‘And whosoever
shall marry her that is divorced.’ This clause has been very ill explained by
many commentators; for they have thought that generally, and without exception,
celibacy is enjoined in all cases when a divorce has taken place; and,
therefore, is a husband should put away an adulteress, both would be lain under
the necessity of remaining unmarried. ... It was therefore a gross error; for,
though Christ condemns as an adulterer the man who shall marry a wife that has
been divorced, this is undoubtedly restricted to unlawful and frivolous
divorces” (= )
- hal 384.
Adam Clarke tentang Mat 5:32: “As fornication
signifies no more than the unlawful connection of unmarried persons, it cannot
be used here with propriety, when speaking of those logou
porneiaV,on account of whoredom. It does not
appear that there is any other case in which Jesus Christ admits divorce”
(= ) - hal 74.
Pulpit Commentary tentang Mat 5:32:
“‘Fornication.’ The reference is to
sin after marriage. ... The more general word (porneia)
is used, because it lays more stress on the physical character of the sin than moiceia
would have laid” (= )
- hal 164.
Tentang Mat 19:9 Pulpit Commentary mengatakan bahwa karena
yang digunakan adalah kata Yunani PORNEIA, maka ada penafsir yang beranggapan
bahwa ini hanya berkenaan dengan percabulan yang dilakukan oleh seseorang
sebelum menikah. Tetapi ia menolak pandangan ini dan berkata:
“it is
not correct to say that porneia
denotes solely the sin of unmarried people. All illicit connection is described
by this term, and it cannot be limited to one particular kind of transgression.
In Ecclus. 23:23 it is used expressly of the sin of an adulteress”
(= ) - hal 244-245.
Pulpit Commentary tentang Mat 19:9:
“Our Lord seems to have introduced the
exceptional clause in order to answer what were virtually two questions of the
Pharisees, viz. whether it was lawful to ‘put away a wife for every cause,’
and whether, when a man had legally divorced his wife, he might marry again. To
the former Christ replies that separation was allowable only in the case of
fornication; in response to the second, he rules that even in that case
remarriage was wholly barred” (= )
- hal 245.
Pulpit Commentary tentang Mat 19:9:
“The Lord distinctly forbids divorce,
‘except it be for fornication.’ He does not sanction remarriage even in that
case” (= )
- hal 254.
William Hendriksen tentang Mat 5:31-32:
“The exception to which Jesus refers in
Matt. 5:32 (‘except on the ground of infidelity’) permits divorce only when
one of the contracting parties, here the wife, by means of marital
unfaithfulness (‘fornication’) rises in rebellion against the very essence
of the marriage bond” [= ]
- hal 305.
William Hendriksen tentang Mat 19:9:
“As far as the record goes, this is the
only ground Jesus ever mentioned for giving the innocent person - in the present
case the husband, ... - the right to divorce his wife and marry again”
(= ) - hal 717.
William Hendriksen tentang Mat 19:9:
“The term porneia
(‘fornication’) is very broad in meaning. It its widest sense it indicates
immorality or sexual sin in general (15:19; Gal. 5:19), illicit (often
clandestine) relationships of every description, particularly unlawful sexual
intercourse (John 8:41). In Paul’s epistles the word occurs frequently. In
addition to Gal. 5:19 see also 1Cor. 5:1; 6:13,18; 7:2; 2Cor. 12:21; Eph. 5:3;
Col. 3:5; 1Thess. 4:3. ... By reason of the context it is clear that here in
Matt. 19:9, as also in 5:32, the reference is to the infidelity of a married
woman” (= )
- hal 716-717 (footnote).
A. T. Robertson: “An unusual phrase that
perhaps means ‘except for a matter of unchastity.’ ... McNeile denies that
Jesus made this exception because Mark and Luke do not give it. He claims that
the early Christians made the exception to meet a pressing need, but one fails
to see the force of this charge against Matthew’s report of the words of
Jesus” (= )
- ‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 47.
A. T. Robertson memberi komentar tambahan tentang kata-kata McNeile
ini: “That
in my opinion is gratuitous criticism which is unwilling to accept Matthew’s
report because it disagrees with one’s views on the subject of divorce. He
adds: ‘It cannot be supposed that Matthew wished to represent Jesus as siding
with the school of Shammai.’ Why not, if Shammai on this point agreed with
Jesus?” (= )
- ‘Word Pictures in the
New Testament’, vol I, hal 155.
A. T. Robertson: “it is plain that
Matthew represents Jesus in both places as allowing divorce for fornication as a
general term (porneia) which is technically adultery (moicheia from moichao or
moicheuo)” (= )
- ‘Word Pictures in the
New Testament’, vol I, hal 155.
A. T. Robertson: “Jesus by implication,
as in 5:31, does allow remarriage of the innocent party, but not of the guilty
one” (= ) - ‘Word
Pictures in the New Testament’, vol I, hal 155.
Matthew Henry tentang Mat 5:32: “divorce is not to
be allowed, except in case of adultery, which breaks the marriage covenant”
(= ) - hal 62.
Matthew Henry tentang Mat 19:9: “He allows
divorce, in case of adultery; the reason of the law against divorce being this,
‘They two shall be one flesh.’ If the wife play the harlot, and make herself
one flesh with an adulterer, the reason of the law ceases, and so does the law.
By the law of Moses adultery was punished with death, Deut. 22:22. Now our Lord
mitigates the rigour of that, and appoints divorce to be the penalty. Dr. Whitby
understands this, not of adultery, but (because our Saviour uses the word porneia
- fornication) of uncleanness committed before marriage, but discovered
afterward; because if it were committed after, it was a capital crime, and there
needed no divorce” (= )
- hal 270.
The Wycliffe Bible Commentary tentang Mat 19:9:
“If fornication be regarded as a
general term including adultery (an identification most uncertain in the New
Testament), then our Lord allowed divorce only for the cause of infidelity by
the wife. ... However, if fornication be viewed in its usual meaning, and
referred here to unchastity by the bride during betrothal (cf. Joseph’s
suspicious, Mt 1:18,19), then Christ allowed no grounds what ever for divorce of
married persons. Thus he agreed neither with Shammai nor Hillel”
(= ) -
hal 963.
Barnes’ Notes tentang Mat 5:32: “Our Saviour
brought marriage back to its original institution, and declared that whosoever
put away his wife henceforward should be guilty of adultery. But one offence, he
declared, could justify divorce. ... Nor has any man, or set of men, a right to
interfere and declare that divorces may be granted for any other cause.
Whosoever, therefore, are divorced for any cause except the single one of
adultery, if they marry again, are, according to the Scriptures, living in
adultery” (= )
- hal 25.
Barnes’ Notes tentang Mat 19:9: “Only one offence
was to make divorce lawful. This is the law of God. And by the same law, all
marriages which take place after divorce, where adultery is not the cause of
divorce, are adulterous. Legislatures have no right to say that men may put away
their wives for any other cause; and where they do, and where there is marriage
afterwards, by the law of God such marriages are adulterous”
(= ) -
hal 87.
John Murray tentang Mat 5:31-32: “In verse 32 Jesus
proceeds to propound the principle that to put away or dismiss a wife for any
reason but that of sexual infidelity is sin”
(= ) - ‘Divorce’, hal 20.
John Murray tentang Mat 5:31-32: “Fornication is
unequivocally stated to be the only legitimate ground for which a man may put
away his wife. The word used here is the more generic term for sexual
uncleanness, namely, fornication (porneia). This term may be
used of all kinds of illicit sexual intercourse and may apply to such on the
part of unmarried persons, in whose case the sin would not be in the specific
sense of adultery. But though it is the generic word that is used here (cf. also
Matt. 19:9), it is not to be supposed that the sense is perplexed thereby. What
Jesus sets in the forefront is the sin of illicit sexual intercourse. It is, of
course, implied that such on the part of a married woman is not only fornication
but also adultery in the specific sense, for the simple reason that it
constitutes sexual infidelity to her spouse. And this is the only case in which,
according to Christ’s unambiguous assertion, a man may dismiss his wife
without being involved in the sin which Jesus proceeds to characterise as making
his wife to be an adulteress” [= ]
- ‘Divorce’, hal 20-21.
John Murray tentang Mat 5:31-32: “What is of
paramount importance is that however significant is the exceptive clause as
guarding the innocence of the husband in dismissing for sexual infidelity, it is
not the exceptive clause that bears the weight of the emphasis in the text. It
is rather that the husband may not put away for any other cause. it is the one
exception that gives prominence to the illegitimacy of any other reason.
Preoccupation with the one exception should never be permitted to obscure the
force of the negation of all others” (= )
- ‘Divorce’, hal
21.
John Murray tentang Mat 5:31-32: “This however,
does not settle the question as to the status of the remarriage of the woman
divorced for adultery. The matter is simply left undetermined in the teaching of
the text. The possibility, however, is left open that the force of the exceptive
clause carries over to the last clause of the verse and, therefore, dissociates
the remarriage of the legitimately divorced woman from the adultery contemplated
in the concluding clause, though not, of course, relieving the woman in any way
from the adultery for which she had been divorced”
(= ) -
‘Divorce’, hal 26.
John Murray tentang Mat 5:31-32: “the Old Testament
law did not provide for divorce in the case of adultery. The law was more
stringent; it required death for such sexual infidelity. The marriage was indeed
thereby dissolved but this was effected through the death of the guilty party.
The law enunciated by our Lord, on the other hand, institutes divorce as the
means of relief for the husband in the case of adultery on the part of the wife.
Here then is something novel and it implies that the requirement of death for
adultery is abrogated in the economy Jesus himself inaugurated. ... He abrogated
the Mosaic penalty for adultery and he legitimated divorce for
adultery” (= )
- ‘Divorce’, hal
27.
John Murray tentang Mat 19:9: “Matthew informs
us of two things: (a) a man may put away his wife for adultery; (b) he may marry
another when such divorce is consummated” (= ) -
‘Divorce’, hal 52.
Matthew Poole:
“Some have upon these words made a
question whether it be lawful for the husband or the wife separated for adultery
to marry again while each other liveth. As to the offending party, it may be a
question; but as to the innocent person offended, it is no question, for the
adultery of the person offending hath dissolved the knot of marriage by the
Divine law. ... it seemeth against reason that both persons should have the like
liberty to a second marriage. ... It is unreasonable that she should make an
advantage of her own sin and error. ... But for the innocent person, it is an
unreasonable that he or she should be punished for the sin of another”
(= ) -
hal 88-89.
Westminster Confession of Faith, chapter XXIV, No 5
- “Adultery
or fornication committed after a contract, being detected before marriage,
giveth just occasion to the innocent party to dissolve the contract. In the case
of adultery after marriage, it is lawful for the innocent party to sue out a
divorce and, after the divorce, to marry another, as if the offending party were
dead” (= ).
Kata PORNEIA dan MOICHEIA kelihatannya digunakan secara
interchangeable dalam Wah 2:20-22, karena Wah 2:20,21 menggunakan
PORNEIA, sedangkan Wah 2:22 menggunakan MOICHEIA, padahal semua
membicarakan satu hal yang sama.
Wah 2:20-22 - “(20)
Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau membiarkan wanita Izebel, yang menyebut
dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hambaKu supaya berbuat zinah
dan makan persembahan-persembahan berhala. (21) Dan Aku telah memberikan dia
waktu untuk bertobat, tetapi ia tidak mau bertobat dari zinahnya. (22)
Lihatlah, Aku akan melemparkan dia ke atas ranjang orang sakit dan mereka yang berbuat
zinah dengan dia akan Kulemparkan ke dalam kesukaran besar, jika mereka
tidak bertobat dari perbuatan-perbuatan perempuan itu”.
Apakah itu berarti tidak ada pengampunan? Diampuni, tetapi tidak
diterima kembali sebagai pasangan hidupnya!
Perzinahan itu haruslah perzinahan fisik. Bukan seperti dalam Mat
5:28. Mengapa?
Ajaran Yesus ini bertentangan dengan hukum Yahudi pada saat itu
yang berbunyi: Perceraian diharuskan kalau:
a) Ada perzinahan.
b) Tidak bisa punya anak.
Bahwa Yesus berani mengajar bertentangan dengan hukum Yahudi,
lagi-lagi menunjukkan bahwa Yesus tidak takut pada tradisi.
1)
Pernyataan murid-murid ini menunjukkan bahwa bagi mereka, ajaran Yesus itu
begitu berat sehingga lebih baik tidak kawin dari pada harus terikat oleh ajaran
yang begitu berat. Jelas bahwa murid-murid itupun tadinya pro Hillel.
2)
Kata-kata ‘lebih baik jangan kawin’ adalah sesuatu yang tidak Alkitabiah.
Ini bertentangan dengan Kej 2:18.
1)
‘Akan tetapi’ (ay 11). Kata ‘tetapi’ selalu mengkontraskan
bagian yang di depannya dengan bagian yang di belakangnya. Jadi, dari kata
‘tetapi’ ini sudah jelas bahwa Yesus tidak setuju dengan kata-kata
murid-murid dalam ay 10.
2)
‘Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu’.
Kata ‘mengerti’ itu salah terjemahan (idem ay 12b).
NIV/NASB: accept (= menerima).
KJV/RSV: receive (= menerima).
Jadi terjemahan seharusnya adalah ‘menerima’.
Arti: tidak semua orang bisa tidak kawin.
3)
‘Hanya mereka yang dikaruniai saja’.
Arti: hanya mereka yang diberi karunia untuk tidak kawin bisa /
boleh hidup membujang (celibat). Bandingkan dengan 1Kor 7:7.
1)
‘Orang yang tidak dapat kawin’.
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘eunuchs’ (= sida-sida).
2)
Ada 3 golongan orang seperti ini:
a)
Orang yang memang tidak bisa kawin dari lahir.
Ini adalah orang-orang yang lahir dalam keadaan tidak normal pada
alat kelamin mereka sehingga mereka memang tidak bisa kawin.
b)
Orang yang dijadikan demikian oleh orang lain.
Ini menunjuk pada orang-orang semacam sida-sida / penjaga harem
raja yang dikebiri oleh raja (bdk. 2Raja-raja 20:18 Ester 2:14-15).
c)
Orang yang membuat dirinya sendiri demikian karena kemauannya sendiri oleh
karena Kerajaan Surga.
NASB: ‘who made themselves eunuchs for the sake of the kingdom
of heaven’ (= yang membuat diri mereka sendiri sida-sida demi kerajaan
sorga).
Origen, seorang bapa gereja, menghurufiahkan ayat ini lalu
mengebiri dirinya sendiri dengan menggunakan tangannya sendiri. Tapi tindakan
ini dikecam oleh gereja dan akhirnya Origen sadar bahwa tindakannya itu salah.
Jadi, bagian ini menunjuk pada orang yang secara sengaja tidak mau
kawin (sekalipun ia bisa kawin) demi Tuhan / gereja. Tapi ayat ini sama sekali
tidak berarti bahwa orang itu betul-betul membuat dirinya tidak bisa kawin
dengan jalan mengebiri dirinya sendiri!
Bandingkan ayat ini dengan 1Kor 7:32-35!
Tapi, bagaimanapun juga gol ke 3 ini tetap harus memperhatikan ay 11!
Jadi, tidak semua orang boleh tidak kawin demi Tuhan / gereja. Mereka hanya
boleh tidak kawin demi Tuhan / gereja, kalau mereka punya karunia untuk tidak
kawin!
-AMIN-
e-mail us at [email protected]