Kebaktian

G. K. R. I. ‘GOLGOTA’

(Rungkut Megah Raya, blok D no 16)

 

Minggu, tgl 3 April 2011, pk 17.00

 

Pdt. Budi Asali, M. Div.

(HP: 7064-1331 / 6050-1331)

[email protected]

 

HUKUM 7 (2)

 

jangan Berzinah

 

(Kel 20:14)

 

4)   Menikah dengan orang yang bercerai, kecuali kalau perceraian itu adalah perceraian yang sah (terjadi karena ada perzinahan).

Di atas ini sudah saya singgung, tetapi di sini akan saya bahas dengan lebih terperinci.

 

a)   Menikahi orang yang bercerai secara sah (cerai karena pasangannya melakukan perzinahan) bukan dosa!

Jadi, kalau mendengar ada orang kawin dengan janda / duda, jangan terlalu cepat mempunyai pikiran yang negatif tentang orang itu. Periksa dulu, janda / duda itu menjadi janda / duda karena apa? Kalau karena pasangannya mati, atau karena ia menceraikan pasangannya yang berzinah, maka tidak salah menikah dengan janda / duda seperti itu! Dan gereja / pendeta boleh memberkati pernikahan seperti ini!

 

b)   Tetapi menikah dengan orang yang bercerai secara tidak sah, jelas merupakan dosa!

Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

1Kor 7:10-11 - “(10) Kepada orang-orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. (11) Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya”.

 

c)   Bagaimana dengan orang yang sudah menceraikan istrinya (secara tidak sah / bukan karena perzinahan), dan lalu sudah menikah lagi dengan perempuan lain? Jangan menasehatinya untuk menceraikan istri kedua dan lalu kembali kepada istri pertama! Dalam kasus seperti itu, Kitab Suci justru melarang orang itu kembali dengan istri pertamanya (rujuk).

 

Ul 24:1-4a - “(1) ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, (2) dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, (3) dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, (4a) maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN”.

 

Jadi jelas bahwa rujuk (1Kor 7:11 - ‘berdamai dengan suaminya’) hanya dimungkinkan kalau kedua belah pihak belum menikah lagi. Tetapi kalau salah satu pihak sudah pernah menikah lagi, maka rujuk tak dimungkinkan untuk selama-lamanya.

 

Jadi, apa yang harus dilakukan oleh orang Kristen yang sudah menceraikan pasangannya (secara tidak sah), dan sudah menikah lagi? Yang harus ia lakukan hanya mengaku dosa kepada Tuhan.

 

5)         Poligami atau poliandri / beristri atau bersuami lebih dari satu.

 

a)   Seseorang hanya boleh menikah lagi, kalau pasangannya sudah mati.

Dari fakta bahwa Allah menciptakan 1 Adam dan 1 Hawa (bukan 2 Hawa, 3 Hawa, dst), jelas bahwa Allah tidak menghendaki poligami maupun poliandri.

Juga perhatikan Kej 2:24 - “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”.

Perhatikan bahwa ayat ini menggunakan kata ‘keduanya’, bukan ‘ketiganya’, ‘keempatnya’ dst!

 

Jadi, seseorang hanya boleh menikah lagi, kalau pasangannya sudah meninggal dunia.

1Kor 7:39-40a - “(39) Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya. (40a) Tetapi menurut pendapatku, ia lebih berbahagia, kalau ia tetap tinggal dalam keadaannya”.

Bdk. Ro 7:2-3 - “(2) Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. (3) Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain”.

 

Catatan:

1.   1Kor 7:40a memang kelihatannya menunjukkan bahwa Paulus beranggapan bahwa orang yang kematian pasangannya lebih baik tidak menikah lagi, tetapi ay 40a ini diberikan bukan sebagai peraturan umum, tetapi hanya dalam keadaan darurat pada saat itu. Dalam 1Kor 7:17-40 kata-kata Paulus memang berhubungan dengan masa darurat itu, dan karena itu tidak berlaku umum.

Bdk. 1Kor 7:26 - “Aku berpendapat, bahwa, mengingat waktu darurat sekarang, adalah baik bagi manusia untuk tetap dalam keadaannya”.

2.   Tetapi 1Kor 7:39nya jelas memang merupakan suatu hukum yang berlaku umum. Dan hukum ini menunjukkan bahwa seseorang boleh menikah lagi kalau pasangannya telah meninggal dunia.

 

Jadi:

a.   Dalam hal ini Kristen memang sangat berbeda dengan Islam, yang mengijinkan seorang laki-laki mempunyai sampai 4 istri, sekalipun diberi syarat, harus bisa berlaku adil (bandingkan dengan A. A. Gym). Dalam Kristen, selama pasangannya masih hidup seseorang dilarang menikah lagi, dengan alasan apapun, seperti pasangannya sakit / lumpuh, koma, tidak bisa punya anak, tidak cocok, pasangannya dingin sex / impoten, bahkan gila, dan sebagainya.

b.   Dalam Kristen, seseorang hanya boleh menikah lagi kalau pasangannya telah meninggal dunia. Jadi, jangan mempunyai pandangan negatif sedikitpun tentang orang yang menikah lagi setelah pasangannya meninggal dunia!

 

b)   Keberatan-keberatan dan jawabannya.

 

1.   Kalau poligami dilarang, mengapa dalam Perjanjian Lama begitu banyak anak-anak Tuhan yang melakukannya, dan kelihatannya dibiarkan, atau bahkan direstui oleh Tuhan? Contoh: Abraham, Daud, Salomo, dan sebagainya.

Jawab:

a.   Tuhan biasanya lebih bertoleransi terhadap dosa-dosa yang sangat membudaya, dan pada jaman itu poligami dan perbudakan merupakan dosa yang sangat membudaya. Tetapi itu tidak berarti Tuhan merestui dosa tersebut.

b.   Sekalipun tidak pernah ada kecaman terhadap anak-anak Tuhan yang melakukan poligami, tetapi tak berarti mereka tak dihukum / dihajar. Boleh dikatakan semua anak Tuhan dalam Perjanjian Lama yang melakukan poligami menderita karena hal itu. Contoh: Abraham, Yakub, Elkana, Daud, Salomo, dan sebagainya.

 

2.   Daud kelihatannya diberkati karena poligaminya, karena dari Batsyeba ia mendapatkan anak Salomo.

Jawab: Demikian juga dengan Yakub, karena dari 4 istrinya ia mendapatkan 12 anak laki-laki yang menurunkan 12 suku Israel. Memang Tuhan bisa mendatangkan sesuatu yang baik dari suatu dosa. Tetapi itu tidak membenarkan tindakan berdosa itu.

 

3.   Kelihatannya 2Sam 12:8 menunjukkan bahwa Tuhan menyetujui poligami, bahkan Tuhan mengatur terjadinya poligami.

2Sam 12:8 - Telah Kuberikan isi rumah tuanmu kepadamu, dan isteri-isteri tuanmu ke dalam pangkuanmu. Aku telah memberikan kepadamu kaum Israel dan Yehuda; dan seandainya itu belum cukup, tentu Kutambah lagi ini dan itu kepadamu.

Jawab: Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

a.   Saul hanya mempunyai 1 istri dan 1 gundik (1Sam 14:50  2Sam 3:7  2Sam 21:8), dan Daud tidak pernah dikatakan mengawini istri / gundik Saul yang manapun. Karena itu kata-kata ‘telah Kuberikan ... isteri-isteri tuanmu ke dalam pangkuanmu’, jelas bukan menunjuk pada fakta.

b.   Jadi, kata-kata itu dianggap diucapkan bukan berdasarkan fakta, tetapi berdasarkan kebiasaan saat itu, dimana seorang raja yang menggantikan raja yang lama mendapatkan semua yang dimiliki raja yang lama itu termasuk istri-istri dan gundik-gundiknya (bdk. 1Raja 2:13-25  2Sam 16:21-22).

c.   Kata-kata ‘dan seandainya itu belum cukup, tentu Kutambah lagi ini dan itu kepadamu’ (ay 8b) diartikan sebagai janji pengabulan permintaan yang masuk akal, bukan yang bertentangan dengan Firman Tuhan. Jadi, jelas tidak bisa diartikan Tuhan akan menambah istri seandainya Daud menganggap istri-istri yang sudah banyak itu belum cukup!

 

c)   Apa yang harus dilakukan oleh orang yang sudah terlanjur mempunyai banyak istri, yang lalu bertobat dan menjadi orang Kristen?

Kalau ada orang yang sudah terlanjur mempunyai lebih dari satu istri, dan ia lalu menjadi kristen, maka saya berpendapat bahwa ia harus menceraikan istri ke 2 dstnya, tetapi harus tetap membiayai hidup mereka. Mengapa? Karena hanya pernikahan pertama yang sah di hadapan Allah, sedangkan pernikahan kedua dstnya adalah perzinahan (bdk. Ro 7:3). Karena itu, pada waktu ia bertobat / menjadi orang kristen, ia harus membuang semua perzinahan itu.

Tetapi kalau memang harus demikian mengapa dalam jaman Perjanjian Lama Tuhan tidak memerintahkan anak-anakNya yang melakukan poligami untuk menceraikan istri-istri ke 2 dst? Karena, seperti sudah saya katakan di atas, pada jaman Perjanjian Lama, itu adalah salah satu dosa yang sangat membudaya, sehingga lebih ditoleransi oleh Tuhan.

 

6)         Perkosaan.

Ul 22:23-27 - “(23) Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan - jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, (24) maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (25) Tetapi jikalau di padang laki-laki itu bertemu dengan gadis yang telah bertunangan itu, memaksa gadis itu tidur dengan dia, maka hanyalah laki-laki yang tidur dengan gadis itu yang harus mati, (26) tetapi gadis itu janganlah kauapa-apakan. Gadis itu tidak ada dosanya yang sepadan dengan hukuman mati, sebab perkara ini sama dengan perkara seseorang yang menyerang sesamanya manusia dan membunuhnya. (27) Sebab laki-laki itu bertemu dengan dia di padang; walaupun gadis yang bertunangan itu berteriak-teriak, tetapi tidak ada yang datang menolongnya”.

Catatan: jangan menekankan kata-kata yang saya garis bawahi (‘di kota’ dan ‘di padang’). Yang ditekankan adalah: apakah memungkinkan bagi gadis itu untuk berteriak minta tolong atau tidak. Kalau memungkinkan, ia bersalah karena tidak berteriak. Kalau tidak memungkinkan, ia tidak bersalah.

 

Ul 22:28-29 - “(28) Apabila seseorang bertemu dengan seorang gadis, yang masih perawan dan belum bertunangan, memaksa gadis itu tidur dengan dia, dan keduanya kedapatan - (29) maka haruslah laki-laki yang sudah tidur dengan gadis itu memberikan lima puluh syikal perak kepada ayah gadis itu, dan gadis itu haruslah menjadi isterinya, sebab laki-laki itu telah memperkosa dia; selama hidupnya tidak boleh laki-laki itu menyuruh dia pergi”.

 

Terus terang saya menganggap ayat ini aneh. Karena kalau demikian, pada waktu seorang laki-laki jatuh cinta kepada seorang gadis, dan gadis itu tidak menanggapinya, ia bisa memperkosanya. Hukumannya adalah menikahinya; ‘hukuman’ itu akan menyenangkan bagi laki-laki yang memang mencintai gadis itu.Saya tidak bisa mendapatkan penjelasan yang memuaskan tentang ayat ini dari penafsir manapun.

 

Semua tindakan ‘sexual abuse’ (= penyalah-gunaan dalam hal sex) bisa dikategorikan sebagai ‘perkosaan’, dan jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum ketujuh ini. Dan yang boleh dikatakan terburuk dalam kategori ini adalah ‘child sexual abuse’, yaitu penyalah-gunaan dalam hal sex yang dilakukan terhadap anak kecil, yang sering disebut pedophilia.

 

7)         Incest / perzinahan dalam keluarga.

Ini mungkin dianggap sebagai perzinahan yang paling buruk!

1Kor 5:1 - “Memang orang mendengar, bahwa ada percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya (maksudnya ‘ibu tirinya’).

Bandingkan dengan:

Im 18:6-18 - “(6) Siapapun di antaramu janganlah menghampiri seorang kerabatnya yang terdekat untuk menyingkapkan auratnya; Akulah TUHAN. (7) Janganlah kausingkapkan aurat isteri ayahmu, karena ia hak ayahmu; dia ibumu, jadi janganlah singkapkan auratnya. (8) Janganlah kausingkapkan aurat seorang isteri ayahmu, karena ia hak ayahmu. (9) Mengenai aurat saudaramu perempuan, anak ayahmu atau anak ibumu, baik yang lahir di rumah ayahmu maupun yang lahir di luar, janganlah kausingkapkan auratnya. (10) Mengenai aurat anak perempuan dari anakmu laki-laki atau anakmu perempuan, janganlah kausingkapkan auratnya, karena dengan begitu engkau menodai keturunanmu. (11) Mengenai aurat anak perempuan dari seorang isteri ayahmu, yang lahir pada ayahmu sendiri, janganlah kausingkapkan auratnya, karena ia saudaramu perempuan. (12) Janganlah kausingkapkan aurat saudara perempuan ayahmu, karena ia kerabat ayahmu. (13) Janganlah kausingkapkan aurat saudara perempuan ibumu, karena ia kerabat ibumu. (14) Janganlah kausingkapkan aurat isteri saudara laki-laki ayahmu, janganlah kauhampiri isterinya, karena ia isteri saudara ayahmu. (15) Janganlah kausingkapkan aurat menantumu perempuan, karena ia isteri anakmu laki-laki, maka janganlah kausingkapkan auratnya. (16) Janganlah kausingkapkan aurat isteri saudaramu laki-laki, karena itu hak saudaramu laki-laki. (17) Janganlah kausingkapkan aurat seorang perempuan dan anaknya perempuan. Janganlah kauambil anak perempuan dari anaknya laki-laki atau dari anaknya perempuan untuk menyingkapkan auratnya, karena mereka adalah kerabatmu; itulah perbuatan mesum. (18) Janganlah kauambil seorang perempuan sebagai madu kakaknya untuk menyingkapkan auratnya di samping kakaknya selama kakaknya itu masih hidup”.

Im 20:11-12,17,19-21 - “(11) Bila seorang laki-laki tidur dengan seorang isteri ayahnya, jadi ia melanggar hak ayahnya, pastilah keduanya dihukum mati, dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. (12) Bila seorang laki-laki tidur dengan menantunya perempuan, pastilah keduanya dihukum mati; mereka telah melakukan suatu perbuatan keji, maka darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. ... (17) Bila seorang laki-laki mengambil saudaranya perempuan, anak ayahnya atau anak ibunya, dan mereka bersetubuh, maka itu suatu perbuatan sumbang, dan mereka harus dilenyapkan di depan orang-orang sebangsanya; orang itu telah menyingkapkan aurat saudaranya perempuan, maka ia harus menanggung kesalahannya sendiri. ... (19) Janganlah kausingkapkan aurat saudara perempuan ibumu atau saudara perempuan ayahmu, karena aurat seorang kerabatnya sendirilah yang dibuka, dan mereka harus menanggung kesalahannya sendiri. (20) Bila seorang laki-laki tidur dengan isteri saudara ayahnya, jadi ia melanggar hak saudara ayahnya, mereka mendatangkan dosa kepada dirinya, dan mereka akan mati dengan tidak beranak. (21) Bila seorang laki-laki mengambil isteri saudaranya, itu suatu kecemaran, karena ia melanggar hak saudaranya laki-laki, dan mereka akan tidak beranak”.

Dalam ayat-ayat dari kitab Imamat itu ada larangan berzinah (mungkin sekali mencakup larangan menikah) dengan keluarga dekat, dan yang disebutkan sebagai keluarga dekat adalah:

a)   Ibu tiri / istri dari ayah.

b)   Saudara / saudara tiri / setengah saudara.

c)   Cucu.

d)   Saudara ayah / ibu.

e)   Istri saudara dari ayah / ibu.

f)    Menantu.

g)   Ipar.

 

Dalam jaman Adam, dan juga pada jaman Nuh, pernikahan dengan saudara / keluarga sendiri ini memang harus dilakukan, karena tidak ada orang dengan siapa seseorang bisa menikah kecuali saudara / keluarganya sendiri. Tetapi ingat juga bahwa pada jaman itu, hukum yang melarang pernikahan dalam keluarga ini juga belum ada.

 

8)   Pikiran-pikiran cabul, menginginkan / membayangkan hubungan sex dengan orang yang bukan suami / istrinya.

Mat 5:28 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”.

KJV: ‘to lust after her’ (= bernafsu terhadapnya).

RSV/NIV: ‘lustfully’ (= dengan penuh nafsu).

NASB: ‘with lust’ (= dengan nafsu).

TL: ‘bergerak syahwatnya’.

 

Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan Mat 5:28 ini:

 

a)   ‘Wet dream’ (= mimpi basah) bukanlah dosa, karena ini bukan pikiran dalam keadaan sadar, tetapi dalam mimpi. Memang Im 15:1-18 menganggap lelehan yang keluar itu menajiskan orang itu, tetapi ini adalah ceremonial law (= hukum yang berhubungan dengan upacara agama), yang tidak lagi berlaku saat ini (bdk. Ef 2:15).

 

b)   Masturbasi / onani termasuk di sini.

Menurut pendapat saya, sebetulnya bukannya masturbasi itu sendiri yang salah, tetapi fantasi sex yang boleh dikatakan selalu menyertai masturbasi. Ini jelas bertentangan dengan Mat 5:28 itu. Tetapi ada kemungkinan bahwa seseorang melakukan masturbasi, tetapi tidak bersalah, yaitu:

1.   Kalau ia bisa melakukannya tanpa fantasi sex. Ini rasanya tidak masuk akal, tetapi saya pernah berdiskusi dengan seseorang yang mengatakan bahwa ia bisa melakukan masturbasi tanpa membayangkan apa-apa. Kalau ini memang bisa dilakukan, saya berpendapat tidak ada dasar apapun untuk menentang masturbasi seperti ini.

2.   Kalau ia melakukan masturbasi itu dengan membayangkan istri / suaminya sendiri, mungkin pada saat ia terpisah jauh dari pasangannya. Dengan istri atau suaminya sendiri, melakukan hubungan sexpun tidak apa-apa, apalagi hanya membayangkan hubungan sex dengan dia.

 

c)   Orang laki-laki harus menjaga pandangan matanya, karena itu yang menyebabkan kejatuhan ke dalam dosa ini.

Saya kira, tidak ada laki-laki yang tidak pernah melanggar Mat 5:28. Kelihatannya dalam Alkitab, hanya Ayub yang menyatakan bahwa dirinya tidak melanggar hukum ini.

Bdk. Ayub 31:1,7-11 - “(1) ‘Aku telah menetapkan syarat bagi mataku, masakan aku memperhatikan anak dara? ... (7) Jikalau langkahku menyimpang dari jalan, dan hatiku menuruti pandangan mataku, dan noda melekat pada tanganku, (8) maka biarlah apa yang kutabur, dimakan orang lain, dan biarlah tercabut apa yang tumbuh bagiku. (9) Jikalau hatiku tertarik kepada perempuan, dan aku menghadang di pintu sesamaku, (10) maka biarlah isteriku menggiling bagi orang lain, dan biarlah orang-orang lain meniduri dia. (11) Karena hal itu adalah perbuatan mesum, bahkan kejahatan, yang patut dihukum oleh hakim”.

 

Ay 1: “‘Aku telah menetapkan syarat bagi mataku, masakan aku memperhatikan anak dara?”.

KJV: ‘made a covenant ... think’ (= membuat perjanjian ... memikirkan).

RSV: ‘have made a covenant ... look upon’ (= telah membuat perjanjian ... memandang kepada).

NIV: ‘made a covenant ... not to look lustfully’ (= membuat perjanjian ... tidak memandang dengan nafsu).

NASB: ‘have made a covenant ... gaze’ (= telah membuat perjanjian ... memandang / menatap).

 

Tetapi, apakah Ayub sudah bisa melakukan ini sejak masa mudanya? Menurut saya, itu sangat meragukan.

 

John Stott mengomentari text Ayub ini dengan berkata: “The control of his heart was due to the control of his eyes” (= Kontrol dari hatinya disebabkan oleh kontrol dari matanya) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 88.

 

Memang, ketidak-mampuan / ketidak-mauan mengontrol mata sering membuat seseorang jatuh ke dalam dosa perzinahan. Bdk. Daud dan Batsyeba. 2Sam 11:2-4 - “(2) Sekali peristiwa pada waktu petang, ketika Daud bangun dari tempat pembaringannya, lalu berjalan-jalan di atas sotoh istana, tampak kepadanya dari atas sotoh itu seorang perempuan sedang mandi; perempuan itu sangat elok rupanya. (3) Lalu Daud menyuruh orang bertanya tentang perempuan itu dan orang berkata: ‘Itu adalah Batsyeba binti Eliam, isteri Uria orang Het itu.’ (4a) Sesudah itu Daud menyuruh orang mengambil dia. Perempuan itu datang kepadanya, lalu Daud tidur dengan dia”.

 

d)   Hal-hal yang harus diwaspadai karena bisa menjatuhkan laki-laki ke dalam dosa ini.

 

1.   Cara berpakaian, cara duduk, posisi tubuh seorang perempuan / gadis.

Supaya tidak membangkitkan pikiran cabul dalam diri lawan jenis / laki-laki, seorang perempuan tidak seharusnya berpakaian sedemikian rupa sehingga merangsang orang lain, karena dengan demikian, ia menjatuhkan orang lain ke dalam dosa ini. Memang merupakan sesuatu yang wajar kalau seorang perempuan ingin tampil menarik. Tetapi perlu diingat bahwa ‘menarik’ berbeda dengan ‘menggoda’ / ‘merangsang’!

 

John Stott: “This may be an appropriate moment to refer in passing to the way girls dress. It would be silly to legislate about fashions, but wise (I think) to ask them to make this distinction: it is one thing to make yourself attractive; it is another to make yourself deliberately seductive (= Ini mungkin merupakan saat yang tepat untuk membicarakan cara gadis-gadis berpakaian. Adalah tolol untuk mengatur / membuat peraturan tentang mode, tetapi saya kira merupakan sesuatu yang bijaksana untuk meminta mereka membuat pembedaan ini: membuat dirimu sendiri menarik berbeda dengan secara sengaja membuat dirimu menggoda / menggairahkan) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 88.

Catatan: saya berpendapat bahwa kata ‘menarik’ dan ‘menggoda’ / ‘menggairahkan’ yang digunakan oleh John Stott juga merupakan istilah-istilah yang relatif, karena berbeda untuk setiap orang. Tetapi memang ada pakaian yang jelas tergolong ‘menggoda’ / ‘menggairahkan’, seperti misalnya pakaian yang dipakai oleh para cewek dalam film ‘Baywatch’, dan banyak film lainnya.

 

Menurut saya, seorang perempuan bukan hanya harus memperhatikan pakaiannya, tetapi juga posisi tubuhnya (posisi kaki yang terbuka pada waktu duduk, menunjukkan buah dada pada waktu membungkuk, dsb), supaya jangan mempertontonkan bagian-bagian tubuhnya yang merangsang laki-laki.

 

2.         Dansa.

Pulpit Commentary (tentang Mat 5:28): “Sex is the spirit of the modern dance” (= Sex merupakan roh / semangat / ciri dari dansa modern) - hal 216.

 

Tidak semua dansa termasuk dalam golongan ini, dan karena itu kita tidak bisa secara mutlak melarang orang kristen berdansa atau melihat dansa. Tetapi jelas bahwa orang kristen harus hati-hati dengan dansa.

Juga banyak ‘dance group’ yang disewa pada acara penikahan, yang mempertontonkan tarian yang jelas-jelas merangsang, dan ini harus diwaspadai oleh orang kristen pada waktu mengadakan pernikahan.

 

3.   Permainan-permainan yang berbau porno dalam acara HUT, pernikahan, dan sebagainya.

Permainan-permainan pada acara HUT banyak yang berbau porno, dan sangat memungkinkan terjadinya rangsangan pada seseorang. Misalnya memasukkan sesuatu ke dalam kantong celana seorang cowok, dan menyuruh seorang cewek yang matanya ditutup untuk mencari dan mengambil barang tersebut. Dan permainan seperti ini yang disenangi!

 

 

 

-bersambung-

 

Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

E-mail : [email protected]

e-mail us at [email protected]

http://golgothaministry.org

Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ