Kebaktian

G. K. R. I. ‘GOLGOTA’

(Rungkut Megah Raya, blok D no 16)

 

Minggu, tgl 27 Maret 2011, pk 17.00

 

Pdt. Budi Asali, M. Div.

(HP: 7064-1331 / 6050-1331)

[email protected]

 

HUKUM 7 (1)

 

jangan Berzinah

 

(Kel 20:14)

 

Kel 20:14 - “Jangan berzinah”.

 

Contoh pelanggaran terhadap hukum ini:

 

1)         Melakukan hubungan sex diluar pernikahan (pelacuran, dsb).

 

Satu hal yang perlu dicamkan tentang hukum ketujuh ini adalah bahwa tidak ada orang yang kebal terhadapnya (perzinahan)! Kalau Daud, yang begitu rohani, bisa jatuh ke dalam perzinahan, maka semua orang juga bisa. Jadi, jangan pernah meremehkan dosa ini!

Bdk. 1Kor 10:12 - “Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!”.

 

a)   Hubungan sex dengan suami / istri atau tunangan orang lain.

 

Im 20:10 - “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu”.

Ul 22:22-24 - “(22) Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel. (23) Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan - jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, (24) maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu”.

Catatan:

1.   Dalam hukum Yahudi, ada 2 tahap pertunangan. Pertunangan tingkat 1 tidak terlalu dianggap. Tetapi dalam pertunangan tingkat 2 (seperti pertunangan Yusuf dan Maria) maka kedua orang itu sudah dianggap sebagai suami - istri (perhatikan bahwa dalam ay 23 disebutkan ‘bertunangan’, tetapi dalam ay 24 disebutkan ‘isteri’!), sekalipun belum boleh melakukan hubungan sex. Bdk. Mat 1:18-25.

2.   Kata ‘memperkosa’ yang saya beri garis bawah ganda dalam ay 24 itu, diterjemahkan berbeda dalam Kitab Suci bahasa Inggris.

KJV: ‘hath humbled’ (= telah merendahkan).

RSV: ‘violated’ (= melanggar / mengganggu).

Catatan: kata ‘to violate’ menurut kamus memang bisa diterjemahkan ‘memperkosa’ tetapi kontextnya tidak cocok dengan terjemahan itu, karena gadis itu tidak menolak. Jadi, ini merupakan hubungan mau sama mau, bukan perkosaan.

 

b)   Hubungan sex dengan seorang perawan, yang bukan istri ataupun tunangan orang lain (tak ada yang punya).

Kel 22:16-17 - “(16) Apabila seseorang membujuk seorang anak perawan yang belum bertunangan, dan tidur dengan dia, maka haruslah ia mengambilnya menjadi isterinya dengan membayar mas kawin. (17) Jika ayah perempuan itu sungguh-sungguh menolak memberikannya kepadanya, maka ia harus juga membayar perak itu sepenuhnya, sebanyak mas kawin anak perawan.’”.

Hukuman ini kelihatannya ringan, tetapi bagaimanapun menunjukkan bahwa ini tetap merupakan suatu dosa. Tetapi dosanya kelihatannya dianggap jauh lebih ringan dari pada berzinah dengan orang yang sudah mempunyai suami / istri / tunangan. Jadi, kata-kata banyak laki-laki yang berbunyi “Oh, aku tak mau berzinah / berhubungan sex dengan orang yang sudah menikah. Kalau dengan yang belum / tidak menikah, aku mau”, sebetulnya juga ada benarnya, karena perzinahan dengan orang yang tidak / belum menikah memang dianggap jauh lebih kecil dari pada perzinahan dengan orang yang sudah menikah / bertunangan.

 

c)   Hubungan sex dengan seadanya orang lain yang bukan pasangan hidupnya.

Dalam Ul 25:11-12 ada hukum yang kelihatannya aneh, yang bunyinya adalah sebagai berikut: “(11) ‘Apabila dua orang berkelahi dan isteri yang seorang datang mendekat untuk menolong suaminya dari tangan orang yang memukulnya, dan perempuan itu mengulurkan tangannya dan menangkap kemaluan orang itu, (12) maka haruslah kaupotong tangan perempuan itu; janganlah engkau merasa sayang kepadanya.’.

 

Perempuan itu melihat suaminya berkelahi, lalu bermaksud menolong suaminya dengan ‘menangkap kemaluan’ lawan suaminya itu. Hukum Taurat ini mengatakan bahwa tangan perempuan itu harus dipotong. Hukum ini menunjukkan betapa keramatnya alat kelamin di hadapan Allah. Kalau perempuan yang memegang alat kelamin lelaki lain dalam sikon seperti itu (bukan karena nafsu!) harus dihukum dengan dipotong tangannya, apalagi kalau ia melakukannya dalam suatu perselingkuhan / perzinahan (dengan berahi / nafsu)! Dan jelas ini bukan hanya berlaku bagi perempuan saja, tetapi juga bagi laki-laki, yang memegang alat kelamin perempuan yang bukan istrinya!

 

Calvin: “This Law is apparently harsh, but its severity shews how very pleasing to God is modesty, whilst, on the other hand, He abominates indecency; for, if in the heat of a quarrel, when the agitation of the mind is an excuse for excesses, it was a crime thus heavily punished, for a woman to take hold of the private parts of a man who was not her husband, much less would God have her lasciviousness pardoned, if a woman were impelled by lust to do anything of the sort” (= Hukum ini kelihatannya keras, tetapi kekerasannya menunjukkan betapa menyenangkannya kesopanan bagi Allah, sementara, di sisi lain, Ia membenci ketidak-senonohan; karena, jika dalam kepanasan dari suatu pertengkaran, pada waktu kekacauan / gangguan pikiran merupakan suatu alasan untuk perbuatan-perbuatan yang keterlaluan, merupakan suatu kejahatan yang dihukum dengan begitu berat, bagi seorang perempuan untuk memegang bagian-bagian pribadi dari seorang laki-laki yang bukan suaminya, lebih-lebih Allah tidak akan mengampuni tindakannya yang menimbulkan gairah / birahi, jika seorang perempuan didorong oleh nafsu untuk melakukan apapun dari jenis tindakan itu).

 

Matthew Henry: The occasion is such as might in part excuse it; it was to help her husband out of the hands of one that was too hard for him. Now if the doing of it in a passion, and with such a good intention, was to be so severely punished, much more when it was done wantonly and in lust. ... The punishment was that her hand should be cut off; and the magistrates must not pretend to be more merciful than God (= Peristiwa / kejadiannya adalah sedemikian rupa sehingga bisa memaafkannya sampai tingkat tertentu; itu adalah untuk menolong suaminya dari tangan orang yang terlalu kuat baginya. Kalau dalam melakukan tindakan itu dalam suatu emosi, dan dengan suatu maksud baik seperti itu, harus dihukum dengan begitu berat, lebih lagi pada waktu itu dilakukan dengan sembarangan / tanpa alasan dan dalam nafsu. ... Hukumannya adalah bahwa tangannya harus dipotong; dan hakim-hakim tidak boleh menganggap diri lebih berbelas kasihan dari pada Allah).

Catatan: kata ‘passion’ bisa menunjuk pada emosi yang bermacam-macam seperti kasih, benci, sedih, takut, sukacita, dan sebagainya (Webster’s New World Dictionary). Saya tidak tahu yang mana yang dimaksudkan oleh Matthew Henry. Bisa ‘kasih’ (kepada suaminya), atau ‘benci’ (terhadap orang yang berkelahi dengan suaminya).

 

Bible Knowledge Commentary: “The command in 25:11-12 was probably intended to protect both womanly modesty and the capacity of a man to produce heirs. This second purpose probably helps explain why this law is placed here immediately after the instructions about levirate marriages (vv. 5-10)” [= Hukum dalam 25:11-12 mungkin dimaksudkan untuk melindungi baik kesopanan perempuan dan kemampuan dari seorang laki-laki untuk menghasilkan pewaris. Tujuan kedua ini mungkin menolong untuk menjelaskan mengapa hukum ini diletakkan di sini langsung setelah intruksi tentang pernikahan ipar (ay 5-10)].

Catatan: ‘levirate marriage’ (= pernikahan ipar) adalah hukum yang mengharuskan seorang laki-laki mengawini istri saudaranya, yang mati tanpa mempunyai anak, supaya bisa melanjutkan keturunan dari saudaranya itu.

 

Yang membuat saya bingung dengan hukum dalam Ul 25:11-12 ini adalah: bagaimana dengan dokter dan suster yang merawat orang sakit di rumah sakit? Kalau harus memeriksa / merawat orang yang berlawanan jenis kelamin, dan harus memegang alat kelaminnya, bolehkah?

 

2)         Melakukan hubungan sex sebelum pernikahan (dengan pacar / tunangannya sendiri).

 

a)   Hubungan sex sebelum pernikahan tetap adalah dosa, sekalipun pernikahan sudah kurang 1 hari!

 

b)   Kitab Suci tidak memberikan batasan orang pacaran, selain dari dilarangnya hubungan sex. Jadi, sukar untuk berbicara tentang hal ini secara mutlak. Mungkin sekali Ul 25:11-12 yang sudah saya jelaskan di atas, bisa menjadi dasar untuk melarang memegang alat kelamin pacarnya. Ada juga yang berdasarkan Mat 5:28 bahkan melarang orang berciuman di bibir.

Mat 5:28 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”.

 

Sutjipto Subeno: “Telah disinggung di atas bahwa pengembangan keintiman fisik hari ini merupakan masalah yang sangat serius. Seorang anak kecil bisa berkata: ‘Wah, Andi belum pacaran dengan Ita, karena belum ciuman bibir.’ Betapa mengerikan jika pacaran ditandai dengan ‘ciuman bibir.’ Inilah gambaran umum yang dipasarkan sangat meluas oleh pemikiran yang berdosa pada masa kini. Sulit sekali orang Kristen atau pendeta untuk mengatakan ‘Kalau pacaran, silahkan jangan ciuman bibir dulu. Boleh cium di pipi atau di kening.’ Maka langsung dijawab: ‘Wah, itu kuno sekali.’ Pengembangan keintiman fisik sudah terbukti membawa masalah seksual yang sangat serius di kalangan remaja. Begitu banyak terjadi kehamilan remaja akibat hal yang sedemikian dianggap remeh dan biasa. ‘Kalau pacaran pasti harus ciuman bibir.’ Ciuman bibir merupakan titik awal dari rangsangan seksual. Ciuman bibir membawa satu pasangan, khususnya pihak wanita, terbuai dengan rangsangan seks. Kemudian hal itu mengakibatkan kebutuhan akan dosis yang lebih tinggi lagi. Mulai dari ciuman sedetik, lalu menjadi 5 detik, lama-kelamaan bisa bermenit-menit. Dan ketika rangsangan naik, si wanita semakin ingin dipeluk, diraba, dan rangsangan rabaan ini akan berlanjut terus menuju ke daerah-daerah yang sangat pribadi dan sensitif. Mungkin sebagai gadis baik-baik ia akan merasa bersalah, tetapi rangsangan kuat akan menelan perasaan dan teguran itu. Ia hanya dapat berkata ‘jangan’ tetapi tidak mampu melawan keinginannya. Rangsangan yang terjadi membawa dia pada kondisi tidak berdaya, sehingga penentuannya di pihak pria. Jika pria itu kurang ajar dan memang rusak, ia akan memanfaatkan keadaan itu untuk terus melakukan rangsangan dan menekan pihak wanita yang akan semakin menyerah, sampai semuanya terjadi. Setelah semua terjadi, wanita itu marah, kecewa, sedih, tetapi semua sudah terjadi dan tidak bisa ditarik kembali. Selanjutnya perasaan yang timbul adalah ketakutan ditinggal oleh sang kekasih yang telah merenggut keperawanannya. Di kemudian hari, ia akan semakin takluk jika kekasihnya meminta hal yang lebih, sampai berakibat kehamilan yang tidak dikehendaki” - ‘Keindahan Pernikahan Kristen’, hal 82-83.

 

Saya berpendapat ini terlalu extrim. Apa alasan dari Alkitab untuk mengatakan bahwa orang pacaran dilarang ciuman di bibir tetapi boleh di kening atau di pipi? Teman saya waktu Sekolah Theologia, yang juga mempunyai pandangan seperti Sutjipto Subeno, mengatakan bahwa ciuman di bibir membuat terangsang, sehingga melanggar Mat 5:28. Sutjipto Subeno dalam kutipan di atas mengatakan Ciuman bibir merupakan titik awal dari rangsangan seksual. Lucu sekali! Apakah ciuman di kening atau di pipi tidak membuat terangsang? Lalu bagaimana dengan berpelukan? Apakah berpelukan tidak membuat orang terangsang? Orang laki-laki, yang sudah tertarik kepada seorang gadis / perempuan, bisa terangsang hanya dengan memegang tangannya atau bahkan hanya dengan melihatnya (perhatikan kata ‘memandang’ dalam Mat 5:28)!

Dan kalau alasannya adalah menguatirkan terjadinya eskalasi / peningkatan tindakan, maka saya beranggapan bahwa semua tindakan yang paling ‘kudus’ dalam pacaran, seperti ciuman di kening, ciuman di pipi, pelukan, gandengan tangan, memungkinkan rangsangan, yang akan meningkatkan ‘tindakan kudus’ itu menjadi ‘tindakan tidak kudus’. Jadi, lalu harus pacaran bagaimana? Hanya lewat telpon?

Catatan: kata ‘kudus’ dan ‘tidak kudus’ saya letakkan dalam tanda petik karena saya tak terlalu percaya istilah itu.

 

Untuk menghindari eskalasi / peningkatan ‘tindakan pacaran’ pada waktu pacaran, maka pencegahan yang harus dilakukan adalah, jangan berpacaran di tempat yang memungkinkan terjadinya hubungan sex, misalnya berduaan dalam rumah yang kosong, apalagi dalam kamar. Usahakanlah untuk selalu ada orang ketiga dalam rumah itu.

 

c)   Bagaimana kalau terjadi hubungan sex sebelum pernikahan?

Kalau terjadi hubungan sex sebelum pernikahan maka si laki-laki harus menikahi gadis yang dicemarkannya itu. Tetapi ayah si gadis berhak menolak hal itu.

Kel 22:16-17 - “(16) Apabila seseorang membujuk seorang anak perawan yang belum bertunangan, dan tidur dengan dia, maka haruslah ia mengambilnya menjadi isterinya dengan membayar mas kawin. (17) Jika ayah perempuan itu sungguh-sungguh menolak memberikannya kepadanya, maka ia harus juga membayar perak itu sepenuhnya, sebanyak mas kawin anak perawan.’”.

 

Bolehkah pernikahan seperti ini diberkati di gereja? Kalau saya, saya memperbolehkan, asal ada pertobatan dan pengakuan di depan umum. Mengapa di depan umum? Supaya orang tidak berpandangan negatif tentang gereja yang melakukan pemberkatan pernikahan dalam kasus seperti itu!

 

3)         Bercerai, kecuali kalau terjadi perzinahan fisik.

 

a)   Kitab Suci jelas melarang perceraian.

Mal 2:16a - “Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel”.

1Kor 7:10-11 - “(10) Kepada orang-orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. (11) Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya”.

Mat 19:6 - “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.’”.

 

Bahkan kalau salah satu dari sepasang suami istri yang tadinya kedua-duanya kafir lalu bertobat / menjadi Kristen, pihak yang menjadi Kristen ini tidak boleh menceraikan pasangan kafirnya itu, selama pasangan kafirnya itu masih tetap mau hidup dalam pernikahan dengannya.

1Kor 7:12-13 - “(12) Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. (13) Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.

Catatan: ini bukan kasus dimana orang Kristen menikah dengan orang non Kristen! Ini adalah orang kafir yang menikah dengan orang kafir, tetapi setelah itu salah satu bertobat, sehingga terjadi pasangan ‘Kristen - non Kristen’.

 

Tetapi bagaimana dengan kasus dalam Ezra 9-10? Di sana, orang-orang Israel yang pulang dari pembuangan Babilonia kawin campur dengan perempuan-perempuan asing, dan Ezra menyuruh mereka menceraikan istri-istri asing itu.

Dalam kasus Ezra ini mungkin harus dianggap bahwa itu merupakan kasus khusus. Mengapa? Karena mereka dalam jumlah kecil pulang dari pembuangan. Dalam keadaan seperti itu kawin campur ini bisa menyebabkan kemusnahan dari bangsa Yahudi, dan kalau demikian, akan menghancurkan rencana Allah tentang kedatangan Mesias melalui mereka. Karena itu, dalam kasus itu Ezra mengambil tindakan seperti itu, dimana mereka yang melakukan kawin campur itu harus menceraikan istrinya.

 

b)   Perkecualian dalam hal larangan bercerai: perceraian diijinkan pada saat salah satu pihak berzinah secara fisik.

 

1.         Perceraian tidak dilarang secara mutlak.

Ada satu, dan hanya satu, alasan yang sah berdasarkan Alkitab, yang menyebabkan seseorang boleh menceraikan pasangannya tanpa berbuat dosa / melanggar hukum ketujuh ini. Alasan itu adalah perzinahan fisik yang dilakukan oleh pasangannya.

Mat 19:9 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’”.

Bdk. Mat 5:32 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.

Perzinahan ini harus adalah perzinahan fisik, bukan hanya dalam hati / pikiran (bdk. Mat 5:28), karena kalau tidak, maka semua perempuan boleh menceraikan suaminya! Perzinahan fisik merupakan satu-satunya alasan yang sah untuk bercerai. Dan perzinahan fisik ini harus betul-betul terbukti / ada saksi-saksi dsb, bukan hanya gosip / desas desus dan sebagainya.

 

Barnes’ Notes (tentang Mat 5:32): “Nor has any man or set of men - any legislature or any court, civil or ecclesiastical - a right to interfere, and declare that divorces may be granted for any other cause” (= Juga tidak ada siapapun / orang manapun atau kumpulan orang manapun - badan pembuat undang-undang manapun atau pengadilan manapun, yang bersifat umum atau gerejani - yang mempunyai hak untuk ikut campur, dan menyatakan bahwa perceraian dikabulkan karena alasan / penyebab lain apapun).

 

The Bible Exposition Commentary: New Testament (tentang Mat 19:9): “Marriage is a permanent physical union that can be broken only by a physical cause: death or sexual sin. (I would take it that homosexuality and bestiality would qualify.)” [= Pernikahan adalah suatu persatuan fisik yang permanen yang bisa diputuskan hanya oleh suatu penyebab fisik: kematian atau dosa sexual. (Saya menganggap bahwa homosex dan hubungan sex dengan binatang memenuhi syarat untuk itu)].

 

Adam Clarke (tentang Mat 5:32): It does not appear that there is any other case in which Jesus Christ admits of divorce. A real Christian ought rather to beg of God the grace to bear patiently and quietly the imperfections of his wife, than to think of the means of being parted from her” (= Tidak terlihat bahwa disana ada kasus lain apapun dalam mana Yesus Kristus mengijinkan perceraian. Seorang Kristen yang sejati / sungguh-sungguh seharusnya memohon kepada Allah kasih karunia untuk menanggung dengan sabar dan dengan tenang ketidak-sempurnaan istrinya, dari pada memikirkan cara-cara untuk dipisahkan darinya).

 

Kalau terjadi perzinahan fisik, pihak yang tidak bersalah berhak menceraikan pasangannya yang berzinah itu, dan lalu kawin lagi. Dalam hal seperti itu perceraian diijinkan, bukan diharuskan. Perkecualian ‘kecuali karena zinah’ dalam Mat 19:9 berlaku bagi tindakan menceraikan, maupun tindakan kawin lagi.

Banyak orang yang mengatakan bahwa perceraian tetap tidak diijinkan sekalipun terjadi perzinahan. Contoh:

Pdt. Sutjipto Subeno: “Allah sudah menetapkan bahwa pernikahan tidak boleh diceraikan oleh manusia, kecuali oleh kematian” - ‘Keindahan Pernikahan Kristen’, hal 28.

Ini bodoh, tidak Alkitabiah, dan sama sekali salah! Alasannya:

a.   Untuk apa kata-kata ‘kecuali karena zinah’ itu diletakkan dalam Mat 5:32 dan Mat 19:9? Kalau perceraian dilarang secara mutlak, maka hapuskan saja kata-kata itu!

b.   Dalam Mat 19, orang-orang yang menentang pandangan ini mencoba mengacu pada kontextnya, dan menyoroti Mat 19:6-8 - “(6) Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.’ (7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8) Kata Yesus kepada mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian”.

Ini salah, karena yang dimaksudkan dengan bagian ini adalah ‘menceraikan istrinya dengan alasan apa saja (Mat 19:3). Disamping itu, dalam Mat 5:32, tidak ada kontext seperti itu. Jadi, bagaimana membengkokkan Mat 5:32 sehingga menjadi berarti larangan cerai secara mutlak?

c.   Yer 3:8 - Dilihatnya, bahwa oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal”.

Memang kasus dalam Yer 3:8 ini adalah perzinahan rohani, dalam arti bangsa Israel menyembah berhala. Tetapi prinsip yang berlaku adalah sama. Tuhan menceraikan Israel, karena Israel melakukan perzinahan! Ini jelas merupakan dukungan kuat bagi penafsiran tentang Mat 5:32 dan Mat 19:9 yang mengatakan bahwa kalau terjadi perzinahan, maka pihak yang tidak bersalah itu boleh menceraikan pasangannya.

d.   1Kor 6:16 - “Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: ‘Keduanya akan menjadi satu daging.’”.

Orang yang berzinah menjadi satu tubuh dengan orang dengan siapa ia berzinah, dan ini secara otomatis menghancurkan kesatuannya dengan istri / suaminya. Karena itulah maka perceraian diijinkan.

e.   Menceraikan pasangan yang berzinah berbeda dengan tidak mengampuni!

Ada orang-orang yang beranggapan bahwa karena orang Kristen harus mengampuni maka orang Kristen tidak boleh menceraikan pasangannya sekalipun pasangannya itu berzinah. Ini bukan hanya melarang secara tidak Alkitabiah, tetapi juga memberikan alasan yang salah. Orang Kristen memang harus mengampuni pasangannya yang berzinah, tetapi itu berbeda dengan harus tetap menerimanya sebagai pasangan hidup.

Illustrasi: kalau saudara adalah seorang boss dan saudara mempunyai seorang pegawai yang berulang kali mencuri. Salahkah kalau saudara memecat dia? Kalau saudara memecatnya, apakah itu salah karena itu menunjukkan bahwa saudara tidak mengampuni dia? Saudara memang harus mengampuni dia, tetapi itu tidak berarti saudara harus tetap menjadikan orang itu pegawai saudara!

 

Catatan:

·         kalau mau mempelajari argumentasi yang lebih banyak lagi berkenaan dengan hal ini, baca buku saya berjudul ‘Matius’ jilid II, dalam exposisi tentang Mat 5:32 dimana saya menjelaskan semua ini secara sangat mendetail.

·         kalau dilihat hamba-hamba Tuhan di Indonesia maka sebagian besar menganggap cerai dilarang secara mutlak, tetapi kalau dilihat dari para penafsir, hampir semua (95 % atau lebih) menganggap bahwa kalau terjadi perzinahan fisik, maka cerai dan kawin lagi diijinkan. Mungkin ini terjadi karena mayoritas hamba-hamba Tuhan di Indonesia tidak membaca buku tafsiran!

 

2.   Tetapi kalau tidak terjadi perzinahan fisik, maka perceraian, dan tindakan kawin lagi, merupakan perzinahan! Dan orang yang mengawini orang yang bercerai secara tidak sah, juga dianggap berzinah!

Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

Mat 5:32 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.

 

c)   ‘Menceraikan’ sangat berbeda dengan ‘diceraikan’.

Kalau ada yang tidak membedakan kedua hal ini, maka mereka juga harus menyamakan ‘membunuh’ dan ‘dibunuh’!

 

1.         Yang salah adalah yang menceraikan, bukan yang diceraikan (kecuali ia berzinah).

Mat 5:32 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.

Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

1Kor 7:12-13,15 - “(12) Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. (13) Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. ... (15) Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”.

 

2.   Menceraikan dikatakan sebagai ‘menjadikan pasangannya berzinah’ (Mat 5:32). Apa artinya?

Tentang kata-kata ‘ia menjadikan isterinya berzinah’ dalam Mat 5:32b, Calvin berkata: “the man who, unjustly and unlawfully, abandons the wife whom God had given him, is justly condemned for having prostituted his wife to others” (= orang yang secara tidak benar dan tidak sah meninggalkan istri yang telah Allah berikan kepadanya, secara benar dikecam sebagai telah melacurkan istrinya kepada orang-orang lain) - hal 293.

 

Matthew Henry: divorce is not to be allowed, except in case of adultery, which breaks the marriage covenant; but he that puts away his wife upon any other pretence, ‘causeth her to commit adultery,’ and him also that shall marry her when she is thus divorced. Note, Those who lead others into temptation to sin, or leave them in it, or expose them to it, make themselves guilty of their sin, and will be accountable for it [= perceraian tidak diijinkan, kecuali dalam kasus perzinahan, yang menghancurkan perjanjian pernikahan; tetapi ia yang menyingkirkan istrinya karena dalih lain apapun, ‘menyebabkan ia melakukan perzinahan’, dan dia (laki-laki) juga yang akan menikahinya (bekas istrinya) pada waktu ia diceraikan seperti itu. Perhatikan, Mereka yang membimbing orang-orang lain ke dalam pencobaan kepada dosa, atau meninggalkan mereka di dalamnya, atau membukakan mereka terhadapnya, membuat diri mereka sendiri bersalah tentang dosa mereka, dan akan bertanggung jawab untuknya].

 

William Hendriksen: “she is called an adulteresses because she may easily become one. ... Far better, it would seem to me, is therefore the translation, ‘Whoever divorces his wife except on the basis of infidelity exposes her to adultery,’ or something similar. What Jesus is saying, then, is this: Whoever divorces his wife except on the ground of infidelity must bear the chief responsibility if as a result she, in her deserted state, should immediately yield to the temptation of becoming married to someone else” [= ia disebut sebagai pezinah (perempuan) karena ia dengan mudah menjadi seorang pezinah. ... Karena itu, bagi saya jauh lebih baik terjemahan: ‘Siapapun menceraikan istrinya kecuali berdasarkan ketidak-setiaan membukakan dia kepada perzinahan’, atau terjemahan lain yang serupa. Jadi, apa yang dimaksud oleh Yesus adalah ini: Siapapun menceraikan istrinya kecuali berdasarkan ketidak-setiaan, harus memikul tanggung jawab utama jika sebagai akibatnya perempuan itu, dalam keadaan ditinggalkan, menyerah pada pencobaan untuk menjadi istri dari orang lain] - hal 305,306.

Catatan: kata-kata ‘menjadikan isterinya berzinah’ dalam Mat 5:32 diterjemahkan berbeda dalam RSV dan NIV. William Hendriksen kelihatannya menggunakan terjemahan ini.

RSV: ‘makes her an adulteress’ (= membuatnya seorang pezinah).

NIV: ‘causes her to become an adulteress’ (= menyebabkan dia menjadi seorang pezinah).

 

3.   Sekalipun yang diceraikan tidak salah, ia tetap tidak boleh kawin lagi, kecuali pasangannya yang menceraikannya itu kawin lagi. Kalau bekas pasangannya itu kawin lagi, ia berzinah, dan itu mengesahkan perceraian itu, sehingga pasangan yang dicerai itu sekarang boleh kawin lagi.

 

d)   Bolehkah menceraikan istri yang ternyata didapati tidak perawan pada malam pertama pernikahan?

Dalam hal ini saya kira kita tidak bisa memberlakukan Mat 5:32 dan Mat 19:9, karena di sini perzinahan terjadi sebelum pernikahan.

Saya tidak tahu dengan pasti apakah dalam kasus ini perceraian diijinkan, karena dalam Perjanjian Lama istri seperti itu dijatuhi hukuman mati (Ul 22:13-21). Adalah memungkinkan bahwa dalam jaman Perjanjian Baru diijinkan untuk menceraikan istri seperti itu, tetapi saya belum mendapatkan konfirmasi tentang hal ini dari penafsir manapun.

Ada 3 hal yang ingin saya tekankan di sini:

1.   Pada waktu pacaran / mau menikah, harus ada pengakuan tentang hal seperti ini (perawan atau tidak). Kalau pernikahan batal, itu masih lebih baik dari pada ribut setelah persoalannya terbongkar pada malam pertama pernikahan.

2.   Tidak ada tanda keperawanan kadang-kadang bisa terjadi bukan karena si gadis sudah pernah melakukan hubungan sex, tetapi karena sebab lain.

3.   Sebaliknya, adanya tanda keperawanan belum tentu menunjukkan si gadis memang masih perawan, karena sobeknya selaput dara bisa dijahit kembali oleh dokter, sehingga perempuan yang sebetulnya sudah tidak perawan bisa menjadi ‘perawan’ lagi!

 

4)   Menikah dengan orang yang bercerai, kecuali kalau perceraian itu adalah perceraian yang sah (terjadi karena ada perzinahan).

Di atas ini sudah saya singgung, tetapi di sini akan saya bahas dengan lebih terperinci.

 

a)   Menikahi orang yang bercerai secara sah (cerai karena pasangannya melakukan perzinahan) bukan dosa!

Jadi, kalau mendengar ada orang kawin dengan janda / duda, jangan terlalu cepat mempunyai pikiran yang negatif tentang orang itu. Periksa dulu, janda / duda itu menjadi janda / duda karena apa? Kalau karena pasangannya mati, atau karena ia menceraikan pasangannya yang berzinah, maka tidak salah menikah dengan janda / duda seperti itu! Dan gereja / pendeta boleh memberkati pernikahan seperti ini!

 

b)   Tetapi menikah dengan orang yang bercerai secara tidak sah, jelas merupakan dosa!

Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

1Kor 7:10-11 - “(10) Kepada orang-orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. (11) Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya”.

 

c)   Bagaimana dengan orang yang sudah menceraikan istrinya, dan lalu menikah lagi dengan perempuan lain? Jangan menasehatinya untuk menceraikan istri kedua dan lalu kembali kepada istri pertama! Kitab Suci justru melarang orang itu kembali dengan istri pertamanya (rujuk), dalam kasus seperti itu.

 

Ul 24:1-4a - “(1) ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, (2) dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, (3) dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, (4a) maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN”.

 

Rujuk (1Kor 7:11 - ‘berdamai dengan suaminya’) hanya dimungkinkan kalau kedua belah pihak belum menikah lagi. Tetapi kalau salah satu pihak sudah pernah menikah lagi, maka rujuk tak dimungkinkan untuk selama-lamanya.

 

Jadi, apa yang harus dilakukan oleh orang Kristen yang sudah menceraikan pasangannya, dan sudah menikah lagi? Yang harus ia lakukan hanya mengaku dosa kepada Tuhan.

 

 

 

-bersambung-

 

Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

E-mail : [email protected]

e-mail us at [email protected]

http://golgothaministry.org

Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ