Kebaktian

G. K. R. I. ‘GOLGOTA’

(Rungkut Megah Raya, blok D no 16)

 

Minggu, tgl 14 Nopember 2010, pk 17.00

 

Pdt. Budi Asali, M. Div.

(HP: 7064-1331 / 6050-1331)

[email protected]

 

HUKUM 4 (2)

 

Ingatlah dan Kuduskanlah hari sabat

 

(Kel 20:8-11)

 

II) Pro kontra penghapusan Sabat.

 

1)   Argumentasi untuk menghapuskan hukum tentang hari Sabat.

 

a)   Itu merupakan ceremonial law (= hukum yang berhubungan dengan upacara keagamaan), dan semua ceremonial law dihapuskan pada kematian dan kebangkitan Kristus (Ef 2:15).

 

Ef 2:15 - “sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera”.

 

Kita tidak mungkin menafsirkan bahwa ayat ini memaksudkan seluruh hukum Taurat dihapuskan, karena dalam Mat 5:17-19 Yesus berkata: “(17) ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. (19) Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga”.

 

Jadi, untuk mengharmoniskan kedua bagian ini, dan juga dengan bagian-bagian Kitab Suci yang lain, haruslah ditafsirkan bahwa yang dihapuskan hanyalah hukum Taurat yang bersifat ceremonial saja (seperti sunat, najis / tahir, larangan makan, persembahan korban dsb), sedangkan yang bersifat moral terus berlaku. Kalau hukum tentang hari Sabat termasuk ceremonial law, maka itu berarti hukum ini juga dihapuskan.

 

Calvin termasuk orang yang menghapuskan hukum Sabat.

 

John Calvin: “there is no doubt that by the Lord Christ’s coming the ceremonial part of this commandment was abolished” (= tidak diragukan bahwa oleh kedatangan Tuhan Kristus bagian ceremonial dari perintah ini dihapuskan) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 31.

 

Calvin menggunakan Kol 2:16-17 - “(16) Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus”.

 

John Calvin: “Christians ought therefore to shun completely the superstitious observance of days” (= Karena itu orang-orang kristen harus menghindarkan diri secara total dari pemeliharaan hari-hari yang bersifat takhyul) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 31.

Catatan: mungkin yang dimaksud oleh Calvin dengan ‘bersifat takhyul’ adalah bilangan 7 (pemeliharaan hari ke 7).

 

John Calvin: “because it was expedient to overthrow superstition, the day sacred to the Jews was set aside; because it was necessary to maintain decorum, order, and peace in the church, another was appointed for that purpose” [= karena merupakan sesuatu yang layak untuk merobohkan takhyul, (maka) hari yang keramat bagi orang-orang Yahudi disingkirkan; karena merupakan sesuatu yang perlu untuk memelihara kepantasan, keteraturan, dan damai dalam gereja, (maka) hari yang lain ditetapkan untuk tujuan itu] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 33.

Catatan: sukar untuk menterjemahkan kata ‘order’. Dalam Webster’s New World Dictionary, kata itu mempunyai bermacam-macam arti, antara lain, ‘keteraturan’, ‘keadaan tenang / damai’, atau ‘keadaan dimana segala sesuatu ada di tempat yang benar dan berfungsi dengan benar’. Mungkin yang terakhir yang yang dimaksudkan oleh Calvin.

 

Jadi, sekalipun Calvin berpendapat bahwa Sabat (Sabat Yahudi - Sabtu) telah dibatalkan / dicabut, tetapi ia juga berpendapat bahwa kita tetap harus berbakti dan memberi istirahat pegawai dsb (‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 32). Dasarnya adalah karena bagian lain dari Kitab Suci, bahkan Perjanjian Baru (Kis 2:42  1Kor 16:2), mengharuskan hal itu. Disamping itu, hal ini perlu untuk keteraturan dan kesehatan rohani kita.

 

Ini menyebabkan Calvin berpendapat bahwa hari untuk kebaktian boleh dipilih hari apapun.

 

John Calvin: “And I shall not condemn churches that have other solemn days for their meetings, provided there be no superstition. This will be so if they have regard solely to the maintenance of discipline and good order (= Dan saya tidak akan mengecam gereja-gereja yang mempunyai hari keramat / kudus yang lain untuk pertemuan-pertemuan / kebaktian-kebaktian mereka, asal disana tidak ada takhyul. Ini akan demikian jika mereka hanya memperhatikan pada pemeliharaan disiplin dan keteraturan yang baik) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 34.

 

Penafsiran Calvin bahwa hukum Sabat ini termasuk ceremonial law, ditentang oleh kebanyakan, atau mungkin semua, orang-orang Reformed, dan juga oleh Westminster Confession of Faith.

 

Editor dari Calvin’s Institutes: “It is clear from this passage and from sec. 34 that for Calvin the Christian Sunday is not, as in the Westminster Confession XXI, 8, a simple continuation of the Jewish Sabbath ‘changed into the first day of the week,’ but a distinctively Christian institution adopted on the abrogation of the former one, as a means of church order and spiritual health” [= Adalah jelas dari bagian ini (no 33) dan dari no 34, bahwa bagi Calvin hari Minggu orang Kristen bukanlah, seperti dalam Pengakuan Westminster XXI, 8, suatu kelanjutan / sambungan biasa dari Sabat Yahudi ‘(yang) diubah ke hari pertama dari suatu minggu’, tetapi suatu hukum Kristen yang diadopsi / diambil pada penghapusan dari hukum yang lama, sebagai suatu cara dari keteraturan gereja dan kesehatan rohani] - Book II, Chapter VIII, no 33 (footnote, hal 399).

Catatan: tentang kata ‘order’ dalam 2 kutipan terakhir ini, lihat catatan di atas.

 

b)   Ada beberapa text Kitab Suci yang kelihatannya menghapuskan hukum Sabat.

 

1.   Kol 2:16-17 - “(16) Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus”.

Kalau Sabat merupakan type yang telah digenapi oleh Kristus, bukankah sekarang Sabat harus dihapuskan?

 

2.   Ro 14:5-6 - “(5) Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri. (6) Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah”.

 

3.   Gal 4:7-11 - “(7) Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah. (8) Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. (9) Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah sia-sia”.

 

2)   Argumentasi untuk mempertahankan hukum tentang hari Sabat.

 

a)   Hukum tentang hari Sabat ini merupakan hukum yang bersifat moral, dan karena itu terus berlaku sampai akhir jaman.

Thomas Watson (‘The Ten Commandments’, hal 94) menganggap bahwa hukum ini bukan termasuk ceremonial law tetapi moral law, dan karena itu terus berlaku sampai kesudahan alam.

Alasan-alasan yang diberikan oleh para ahli theologia / penafsir untuk menganggap bahwa hukum Sabat ini merupakan hukum moral, bukan ceremonial:

 

1.   Hukum ini sudah ada sebelum hukum Taurat / ceremonial law.

Bahwa Sabat sudah ada sebelum pemberian hukum Taurat kepada Musa terlihat dari:

·         Kej 2:3 - “Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu”.

·         Kel 16:22-30 - peristiwa pemberian manna, dimana bangsa Israel disuruh beristirahat pada hari ketujuh.

 

Calvin sendiri mengakui bahwa text ini menunjukkan bahwa peraturan Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat Musa!

 

Calvin: “From this passage it may be probably conjectured that the hallowing of the Sabbath was prior to the Law; and undoubtedly what Moses has before narrated, that they were forbidden to gather the manna on the seventh day, seems to have led its origin from a well-known and received custom; ... But what in the depravity of human nature was altogether extinct among heathen nations, and almost obsolete with the race of Abraham, God renewed in His Law” (= Dari text ini mungkin bisa diperkirakan bahwa pengudusan hari Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat; dan tidak diragukan apa yang telah ditulis oleh Musa sebelumnya, bahwa mereka dilarang mengumpulkan manna pada hari yang ketujuh, kelihatannya telah membawa asal usulnya dari suatu tradisi / kebiasaan yang telah dikenal dan diterima; ... Tetapi apa yang dalam kebejatan manusia telah sama sekali musnah di antara bangsa-bangsa kafir, dan hampir usang dengan ras / bangsa dari Abraham, diperbaharui oleh Allah dalam hukum TauratNya) - hal 439.

 

D. L. Moody: “I honestly believe that this commandment is just as binding today as it ever was. ... The Sabbath was binding in Eden, and it has been in force ever since. The fourth commandment begins with the word ‘remember,’ showing that the Sabbath already existed when God wrote this law on the tables of stone at Sinai” (= Saya dengan jujur / terus terang percaya bahwa perintah ini sama mengikatnya pada saat ini seperti pada masa yang lalu. ... Sabat mengikat di Eden, dan itu selalu berlaku sejak saat itu. Perintah / hukum keempat dimulai dengan kata ‘Ingatlah’, yang menunjukkan bahwa Sabat telah ada pada waktu Allah menuliskan hukum ini pada loh-loh batu di Sinai) - ‘D. L. Moody On The Ten Commandments’, hal 47,48.

Catatan: saya tidak tahu apakah kata ‘ingatlah’ memang harus diartikan seperti itu. Ada orang lain yang mengatakan bahwa kata ‘ingatlah’ hanya menunjukkan bahwa hukum / perintah ini sering dilupakan / dilalaikan oleh manusia.

 

R. L. Dabney: “the enactment of the Sabbath-law does not date from Moses, but was coeval with the human race. ... The sanctification of the seventh day took place from the very end of the week of creation. (Gen. 2:3.) For whose observance was the day, then, consecrated or set apart, if not for man’s? Not for God’s; ... Not surely for the angels’, but for Adam’s” [= penjadian hukum Sabat sebagai undang-undang tidak terjadi pada jaman Musa, tetapi sama tuanya dengan umat manusia. ... Pengudusan dari hari yang ketujuh terjadi sejak akhir dari minggu penciptaan (Kej 2:3). Untuk pemeliharaan siapa hari itu, yang pada saat itu dikuduskan atau dipisahkan, jika bukan untuk manusia? Bukan untuk Allah; ... Pasti bukan untuk malaikat-malaikat, tetapi untuk Adam] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 376.

 

R. L. Dabney: “In Exodus 16:22-30, where we read the first account of the manna, we find the Sabbath institution already in force; and no candid mind will say that this is the history of its first enactment. It is spoken of as a rest with which the people ought to have been familiar. But the people had not yet come to Sinai, and none of its institution had been given. Here, then, we have the Sabbath’s rest enforced on Israel, before the ceremonial law was set up” [= Dalam Keluaran 16:22-30, dimana kita membaca cerita pertama tentang manna, kita menemukan hukum Sabat sudah berlaku; dan tidak ada pikiran yang jujur yang akan mengatakan bahwa ini adalah sejarah dari pengundangannya yang pertama. Itu dikatakan sebagai suatu istirahat dengan mana bangsa itu pasti telah akrab. Tetapi bangsa itu belum tiba di Sinai, dan tidak ada dari hukum Sinai yang telah diberikan. Maka, di sini kita mendapatkan istirahat Sabat dijalankan pada Israel, sebelum ceremonial law (hukum yang berhubungan dengan upacara agama) ditegakkan] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 377.

 

R. L. Dabney: “If it was not introduced by the Levitical economy for the first time, but was in force before, and if it was binding not on Jews only, but on all men, then the abrogation of that economy cannot have abrogated that which it did not institute” [= Jika itu (hukum Sabat) tidak diperkenalkan oleh pengaturan Imamat untuk pertama kalinya, tetapi telah berlaku sebelumnya, dan jika itu (hukum Sabat) mengikat bukan orang Yahudi saja, tetapi semua orang, maka pembatalan dari pengaturan Imamat itu tidak bisa membatalkan apa yang tidak diadakannya] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 375.

R. L. Dabney: “If the Sabbath command was in full force before Moses, the passing away of Moses’ law does not remove it” (= Jika perintah Sabat telah berlaku sepenuhnya sebelum Musa, matinya hukum Taurat Musa tidak menyingkirkannya) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

 

Bdk. Gal 3:17 - “Maksudku ialah: Janji yang sebelumnya telah disahkan Allah, tidak dapat dibatalkan oleh hukum Taurat, yang baru terbit empat ratus tiga puluh tahun kemudian, sehingga janji itu hilang kekuatannya”.

 

Gal 3:17 ini menjadi dasar pemikiran / kata-kata Dabney di atas. Kalau janji (kepada Abraham) itu sudah ada sebelum hukum Taurat, maka pembatalan hukum Taurat tidak bisa membatalkan janji itu. Demikian juga kalau hukum tentang hari Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat, maka pembatalan hukum Taurat tidak bisa membatalkan hukum tentang hari Sabat itu.

 

2.   Hukum ini masuk dalam 10 hukum Tuhan yang semuanya merupakan hukum moral.

 

R. L. Dabney: “The very fact that this precept found a place in the awful ‘ten words,’ is of itself strong evidence that it is not a positive and ceremonial, but a moral and perpetual statute. Confessedly, there is nothing else ceremonial here. ... How can it be believed that this one ceremonial precept has been thrust in here, where all else is of obligation as old, and as universal as the race?” [= Fakta bahwa perintah ini mendapatkan suatu tempat dalam 10 firman yang hebat, merupakan bukti yang kuat bahwa ini bukan suatu undang-undang yang bersifat positif dan ceremonial, tetapi bersifat moral dan kekal. Merupakan sesuatu yang telah diakui bahwa tidak ada sesuatu yang lain yang bersifat ceremonial di sini (dalam 10 hukum Tuhan). ... Bagaimana dapat dipercaya bahwa perintah ceremonial yang satu ini telah dimasukkan di sini, dimana semua yang lain merupakan kewajiban yang sama tuanya dan sama universalnya dengan umat manusia?] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.

Catatan: saya tidak terlalu mengerti apa maksud dari kata ‘positive’ di sini. Dalam Webster’s New World Dictionary dikatakan bahwa kata ‘positive’ bisa diartikan sebagai ‘opposed to natural’ (= bertentangan dengan alamiah). Mungkin itu arti yang harus diambil di sini.

 

3.   Dasar dari hukum Sabat ini sama sekali tidak bersifat Yahudi / nasional, tetapi diambil dari peristiwa penciptaan (Kej 2:3).

 

Kel 20:8-11 - “(8) Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: (9) enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, (10) tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. (11) Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya.

 

Ay 11 memang menunjukkan bahwa dasar dari hukum / peraturan tentang Sabat adalah dari peristiwa penciptaan (Kej 2:3).

Kej 2:3 - “Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu”.

 

R. L. Dabney: “the ground first assigned in Genesis, and here repeated for its enactment, is in no sense Jewish or national. God’s work of creation in six days, and His rest on the seventh, have just as much relation to one tribe of Adam’s descendants as to another. Note the contrast: that, in many cases, when ceremonial and Jewish commands are given, like the passover, a national or Jewish event is assigned as its ground, like the exodus from Egypt” (= dasar pertama yang diberikan dalam kitab Kejadian, dan di sini diulangi untuk pengundang-undangannya, sama sekali tidak bersifat Yahudi ataupun nasional. Pekerjaan penciptaan Allah dalam enam hari dan istirahatNya pada hari yang ketujuh, mempunyai hubungan yang sama dengan satu suku bangsa dari keturunan Adam seperti dengan suku bangsa yang lain. Perhatikan kontrasnya: bahwa, dalam banyak kasus, dimana perintah-perintah yang bersifat ceremonial dan Yahudi diberikan, seperti Paskah, suatu peristiwa yang bersifat nasional atau Yahudi diberikan sebagai dasarnya, seperti keluarnya bangsa Israel dari Mesir) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.

 

4.   Hukum ini merupakan kebutuhan, dan berlaku, tidak hanya untuk bangsa Israel saja, tetapi untuk semua orang.

Bdk. Kel 20:10 - “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu”.

 

R. L. Dabney: “That it is a positive, moral, and perpetual command, we argue from the facts that there is a reason in the nature of things, making such an institution necessary to man’s religious interests; and that this necessity is substantially the same in all ages and nations” (= Kami berargumentasi bahwa itu merupakan suatu perintah yang bersifat positif, moral, dan kekal, dari fakta-fakta bahwa disana ada suatu alasan dalam sifat alamiah dari hal-hal, yang membuat hukum ini perlu bagi kepentingan agamawi manusia; dan bahwa kebutuhan ini pada dasarnya sama dalam semua jaman dan bangsa) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 375-376.

Catatan: dalam kutipan di atas Dabney mengatakan bahwa hukum ini tidak bersifat ‘positive’, tetapi sekarang ia mengatakan hukum ini bersifat ‘positive’. Apakah ia menggunakan kata itu dalam arti yang berbeda? Tetapi arti kata ini tidak terlalu berhubungan dengan penekanan saya dalam bagian ini, yaitu apakah hukum keempat ini bersifat moral atau ceremonial.

 

R. L. Dabney: “The assertion that the Sabbath was coeval with the human race, and was intended for the observation of all, receives collateral confirmation also from the early traditions concerning it, which pervades the first pagan literature” (= Penegasan bahwa Sabat sama tuanya dengan umat manusia, dan dimaksudkan untuk dihormati / dijalankan oleh semua orang, menerima peneguhan tambahan juga dari tradisi-tradisi mula-mula mengenainya, yang sangat banyak dalam literatur kafir mula-mula) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.

 

R. L. Dabney (hal 378-379) lalu memberikan banyak kutipan dari literatur kafir kuno, yang menunjukkan bahwa mereka juga sudah memelihara hari ketujuh sebagai hari yang kudus / keramat.

 

R. L. Dabney: “the Sabbath never was a Levitical institution, because God commanded its observance both by Jews and Gentiles, in the very laws of Moses” (= Sabat tidak pernah merupakan suatu hukum Imamat, karena Allah memerintahkan supaya hukum ini dihormati / dijalankan oleh orang Yahudi dan orang non Yahudi, dalam hukum Taurat Musa itu sendiri) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

 

R. L. Dabney: “To see the force of the argument from this fact, the reader must contrast the jealous care with which ‘the stranger,’ the pagan foreigner residing in an Israelitish community, was prohibited from all share in their ritual services. No foreigner could partake of the passover - it was sacrilege. He was even forbidden to enter the court of the temple where the sacrifices were offered, at the peril of his life. Now, when the foreigner is commanded to share the Sabbath-rest, along with the Israelite, does not this prove that rest to be no ceremonial, no type, like the passover and the altar, but a universal moral institution, designed for Jew and Gentile alike?” (= Untuk melihat kekuatan dari argumentasi dari fakta ini, pembaca harus mengkontraskan ketelitian yang penuh kecemburuan, dengan mana ‘orang asing’, yaitu orang kafir yang tinggal dalam suatu masyarakat Yahudi, dilarang untuk ambil bagian sama sekali dalam ibadah ritual mereka. Tidak ada orang asing yang bisa ambil bagian dalam Paskah - itu merupakan sesuatu yang keramat / kudus. Orang asing bahkan dilarang untuk memasuki pelataran Bait Allah dimana korban dipersembahkan, dengan ancaman hukuman mati. Sekarang, pada waktu orang asing diperintahkan untuk ambil bagian dalam istirahat Sabat, bersama-sama dengan bangsa Israel, bukankah ini membuktikan bahwa istirahat itu bukan bersifat ceremonial, bukan merupakan type / bayangan, seperti Paskah dan mezbah, tetapi merupakan suatu hukum yang bersifat moral dan universal, direncanakan bagi orang Yahudi dan orang non Yahudi?) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

 

R. L. Dabney: “If it always was binding, on grounds as general as the human race, on all tribes of mankind, the dissolution of God’s special covenant with the family of Jacob did not repeal it” (= Jika itu selalu mengikat, pada dasar yang sama umumnya seperti umat manusia, pada semua suku bangsa dari umat manusia, pembubaran dari perjanjian Allah yang khusus dengan keluarga Yakub tidak mencabutnya) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

 

Ada 2 hal yang bisa diberikan sebagai bantahan terhadap argumentasi Dabney pada point ini (bahwa Sabat berlaku untuk orang asing):

 

a.   Calvin mempunyai pandangan / penafsiran yang berbeda dengan Dabney dalam persoalan keharusan memelihara Sabat bagi orang asing.

 

Calvin: “The case of ‘strangers’ was different, who were obliged to rest on the Sabbath, although they remained uncircumcised; for he does not only refer to the foreigners, who had subscribed to the Law, but also to the uncircumcised. If any should object that they were improperly made partakers of the sacred sign whereby God had bound His elect people to Himself, the reply is easy, that this was not done for their sakes, but lest anything opposed to the Sabbath should happen beneath the eyes of the Israelites; as we may understand more clearly from the case of the oxen and asses. Surely God would never have required spiritual service of brute animals; yet He ordained their repose as a lesson, so that wherever the Israelites turned their eyes, they might be incited to the observation of the Sabbath. ... Besides, if the very least liberty had been conceded to them, they would have done many things to evade the Law in their days of rest, by employing strangers and the cattle in their work” [= Kasus tentang ‘orang-orang asing’ berbeda, yang diwajibkan untuk beristirahat pada hari Sabat, sekalipun mereka tetap tidak disunat; karena Ia tidak hanya menunjuk kepada orang-orang asing, yang telah menganut hukum Taurat, tetapi juga kepada yang tidak disunat. Jika ada yang keberatan bahwa mereka secara tidak tepat dibuat menjadi pengambil bagian dari tanda keramat dengan mana Allah telah mengikat umat pilihanNya kepada diriNya sendiri, jawabannya mudah, yaitu bahwa ini dilakukan bukan demi diri orang-orang asing itu sendiri, tetapi supaya tidak ada apapun yang bertentangan dengan hari Sabat terjadi di depan mata orang-orang Israel; seperti yang bisa kita mengerti dengan lebih jelas dari kasus lembu dan keledai. Pasti Allah tidak akan pernah menghendaki / mewajibkan binatang-binatang yang tidak berakal itu untuk melakukan kebaktian yang bersifat rohani; tetapi Ia menentukan istirahat mereka sebagai suatu pelajaran, sehingga kemanapun bangsa Israel memalingkan mata mereka, mereka bisa didorong pada pemeliharaan hari Sabat. ... Disamping itu, jika kebebasan yang terkecil diserahkan kepada mereka (bangsa Israel), mereka akan melakukan banyak hal untuk menghindari hukum Taurat pada hari-hari istirahat mereka, dengan mempekerjakan orang-orang asing dan ternak dalam pekerjaan mereka] - hal 439.

 

Calvin mungkin lebih benar, karena Sabat memang merupakan tanda perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel.

Kel 31:13 - “‘Katakanlah kepada orang Israel, demikian: Akan tetapi hari-hari SabatKu harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku dan kamu, turun-temurun, sehingga kamu mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, yang menguduskan kamu.”.

 

b.   Ada banyak ayat yang menunjukkan bahwa larangan yang jelas bersifat ceremonial, juga diberlakukan bagi orang asing, seperti:

·         Im 17:13 - “Setiap orang dari orang Israel dan dari orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu, yang menangkap dalam perburuan seekor binatang atau burung yang boleh dimakan, haruslah mencurahkan darahnya, lalu menimbunnya dengan tanah”.

·         Im 17:15 - “Dan setiap orang yang makan bangkai atau sisa mangsa binatang buas, baik ia orang Israel asli maupun orang asing, haruslah mencuci pakaiannya, membasuh tubuhnya dengan air dan ia menjadi najis sampai matahari terbenam, barulah ia menjadi tahir”.

·         Im 22:25 - “Juga dari tangan orang asing janganlah kamu persembahkan sesuatu dari semuanya itu sebagai santapan Allahmu, karena semuanya itu telah rusak dan bercacat badannya; TUHAN tidak akan berkenan akan kamu karena persembahan-persembahan itu.’”.

·         Bil 19:10 - “Dan orang yang mengumpulkan abu lembu itu haruslah mencuci pakaiannya, dan ia najis sampai matahari terbenam. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagi orang Israel dan bagi orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu”.

 

R. L. Dabney: “If its nature is moral and practical, the substitution of the substance for the types does not supplant it. The reason that the ceremonial laws were temporary was that the necessity for them was temporary. They were abrogated because they were no longer needed. But the practical need for a Sabbath is the same in all ages. When it is made to appear that this day is the bulwark of practical religion in the world, that its proper observance everywhere goes hand in hand with piety and the true worship of God; that where there is no Sabbath there is no Christianity, it becomes an impossible supposition that God would make the institution temporary. The necessity for the Sabbath has not ceased, therefore it is not abrogated. In its nature, as well as its necessity, it is a permanent, moral command. All such laws are as incapable of change as the God in whose character they are founded” (= Jika sifat dasarnya bersifat moral dan praktis, maka penggantian dari substansi untuk typenya tidak menggantikannya. Alasan bahwa hukum-hukum ceremonial bersifat sementara adalah bahwa kebutuhan untuk hukum-hukum itu bersifat sementara. Mereka dibatalkan karena mereka tidak lagi dibutuhkan. Tetapi kebutuhan praktis bagi suatu Sabat adalah sama dalam semua jaman. Pada waktu terlihat bahwa hari ini merupakan benteng dari agama praktis dalam dunia, dan bahwa dimana tidak ada Sabat tidak ada kekristenan, maka menjadi suatu anggapan yang tidak mungkin bahwa Allah membuat hukum itu bersifat sementara. Kebutuhan untuk hari Sabat belum berhenti, karena itu hukum ini tidak dibatalkan. Dalam sifat alamiahnya, maupun dalam kebutuhannya, itu merupakan suatu perintah yang bersifat kekal dan moral. Semua hukum-hukum seperti itu tidak bisa berubah, sama seperti Allah, dalam karakter siapa hukum-hukum itu didirikan) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379-380.

 

Keberatan:

Ada keberatan bahwa hukum Sabat merupakan hukum yang bersifat moral, karena Mat 12:1-8 kelihatannya menunjukkan bahwa hukum Sabat merupakan ceremonial law.

 

Mat 12:1-8 - “(1) Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-muridNya memetik bulir gandum dan memakannya. (2) Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepadaNya: ‘Lihatlah, murid-muridMu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat.’ (3) Tetapi jawab Yesus kepada mereka: ‘Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, (4) bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam? (5) Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? (6) Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah. (7) Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. (8) Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.’”.

 

Perhatikan khususnya Mat 12:3-4, yang menunjukkan bahwa Daud dan para pengikutnya tidak salah pada waktu memakan roti sajian. Padahal roti sajian itu seharusnya hanya untuk imam-imam (Kel 29:32-34  Im 24:5-9); ini merupakan ceremonial law. Mengapa mereka tidak salah? Karena mereka lapar dan betul-betul membutuhkannya. Jadi, ceremonial law boleh dilanggar pada waktu memang ada kebutuhan mendesak. Yesus menggunakan kejadian ini untuk menjawab tuduhan dari orang-orang Farisi bahwa para murid melanggar hukum Sabat. Bukankah ini menunjukkan bahwa larangan makan roti sajian mempunyai persamaan dengan peraturan Sabat, yaitu sama-sama termasuk ceremonial law? Dan keduanya boleh dilanggar pada waktu ada kebutuhan yang mendesak? Jawabannya adalah tidak!

 

Penjelasan: Tujuan Yesus menggunakan kasus Daud ini adalah untuk memberikan suatu argumentasi sebagai berikut:

·         Daud dan pengikut-pengikutnya, pada waktu lapar, tidak disalahkan pada waktu melanggar ceremonial law, padahal ceremonial law itu merupakan Firman Tuhan yang diberikan oleh Allah sendiri.

·         Karena itu murid-murid Yesus, pada waktu mereka lapar, juga tidak dapat disalahkan pada waktu melanggar peraturan orang Farisi, yang tidak diberikan oleh Allah.

Dengan penjelasan ini jelas bahwa Mat 12:1-8, khususnya Mat 12:3-4, tidak dapat digunakan sebagai argumentasi untuk mengatakan bahwa hukum Sabat hanya merupakan ceremonial law.

 

Easton’s Bible Dictionary (dengan topik ‘Sabbath’): “The Sabbath, originally instituted for man at his creation, is of permanent and universal obligation. The physical necessities of man require a Sabbath of rest. He is so constituted that his bodily welfare needs at least one day in seven for rest from ordinary labour. Experience also proves that the moral and spiritual necessities of men also demand a Sabbath of rest” (= Sabat, mula-mula diadakan untuk manusia pada penciptaannya, merupakan kewajiban yang permanen dan universal. Kebutuhan fisik manusia membutuhkan suatu Sabat dari istirahat. Ia dibentuk sedemikian rupa sehingga kesejahteraan jasmaninya membutuhkan sedikitnya satu hari dalam tujuh hari untuk istirahat dari pekerjaan biasa. Pengalaman juga membuktikan bahwa kebutuhan moral dan rohani dari manusia juga menuntut suatu Sabat dari istirahat).

 

 

 

-bersambung-

 

Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

E-mail : [email protected]

e-mail us at [email protected]

http://golgothaministry.org

Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ