10 hukum Tuhan:

hukum KEEMPAT

  Pdt. Budi Asali, M.Div.

 

 

Ay 8-11: “(8) Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: (9) enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, (10) tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. (11) Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya”.

 

I)         Perubahan Sabat dari Sabtu ke Minggu.

 

1)   Hari Sabat sebetulnya adalah hari Sabtu.

Bangsa Israel / orang-orang Yahudi menghitung hari dengan cara berbeda dari orang Tionghoa. Bagi orang Tionghoa, hari pertama adalah hari Senin, tetapi bagi bangsa Israel / orang Yahudi hari pertama adalah hari Minggu, hari kedua adalah hari Senin, dst., sehingga bagi mereka hari ketujuh adalah hari Sabtu. Jadi, hari Sabat sebetulnya (pada jaman Perjanjian Lama) adalah hari Sabtu.

 

Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa pergantian hari mereka terjadi pada pk 6 sore. Jadi kalau bagi kita masih Jumat pk 6 sore, bagi mereka saat itu sudah mulai masuk hari Sabtu / Sabat.

Bdk. Luk 23:53-54 - “(53) Dan sesudah ia menurunkan mayat itu, ia mengapaninya dengan kain lenan, lalu membaringkannya di dalam kubur yang digali di dalam bukit batu, di mana belum pernah dibaringkan mayat. (54) Hari itu adalah hari persiapan dan sabat hampir mulai.

Catatan: Yesus mati pada Jumat pk 3 siang, dan setelah itu mayatNya diturunkan dan dikuburkan. Jadi pada saat penguburan itu selesai, sudah mendekati pk 6 sore, sehingga sudah hampir memasuki hari Sabat / Sabtu.

 

Harold H. P. Dressler: “The length of a day was reckoned from morning until morning in Egypt; from evening until evening in Mesopotamia. The Egyptian system seems to be reflected in such passages as Genesis 1:3-5, Deuteronomy 28:66-67, Judges 19:4-9. On the other hand, the Mesopotamian system apparently is in evidence in Exodus 12:18, 1Kings 8:29, Nehemiah 13:19, Psalm 55:17, Isaiah 27:3, Jeremiah 14:17. De Vaux proposes a change of reckoning ‘between the end of the monarchy and the age of Nehemiah.’ However, this change is not clearly attested, and it is possible that both systems were used simultaneously” (= Panjangnya / lamanya suatu hari dihitung dari pagi sampai pagi di Mesir; dari petang sampai petang di Mesopotamia. Sistim Mesir kelihatannya digambarkan dalam text-text seperti Kej 1:3-5, Ul 28:66-67, Hak 19:4-9. Di sisi lain, sistim Mesopotamia nyata terbukti dalam Kel 12:18, 1Raja 8:29, Neh 13:19, Maz 55:18, Yes 27:3, Yer 14:17. De Vaux mengemukakan suatu perubahan perhitungan ‘di antara akhir dari jaman kerajaan dan jaman Nehemia’. Tetapi, perbahan ini tidak terbukti dengan jelas, dan adalah mungkin bahwa kedua sistim digunakan secara bersamaan) - D. A. Carson (Editor), ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 33.

Catatan: yang dimaksud ‘pagi sampai pagi’ adalah dari pk 12 malam sampai pk 12 malam (pergantian hari pada pk 12 malam); sedangkan yang dimaksud dengan ‘dari petang sampai petang’ adalah dari pk 6 sore sampai pk 6 sore (pergantian hari pada pk 6 sore).

 

Mari kita perhatikan ayat-ayat yang ia gunakan sebagai contoh:

 

a)         Kelompok I.

·        Kej 1:5 - “Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.

Catatan: saya kira Kej 1:5 ini mestinya masuk kelompok kedua (Sistim Mesopotamia), karena petang didahulukan dari pagi.

·        Ul 28: 67 - Pada waktu pagi engkau akan berkata: Ah, kalau malam sekarang! dan pada waktu malam engkau akan berkata: Ah, kalau pagi sekarang! karena kejut memenuhi hatimu, dan karena apa yang dilihat matamu”.

·        Hak 19:4-9 - “(4) Mertuanya, ayah perempuan muda itu, tidak membiarkan dia pergi, sehingga ia tinggal tiga hari lamanya pada ayah itu; mereka makan, minum dan bermalam di sana. (5) Tetapi pada hari yang keempat, ketika mereka bangun pagi-pagi dan ketika orang Lewi itu berkemas untuk pergi, berkatalah ayah perempuan muda itu kepada menantunya: ‘Segarkanlah dirimu dahulu dengan sekerat roti, kemudian bolehlah kamu pergi.’ (6) Jadi duduklah mereka, lalu makan dan minumlah keduanya bersama-sama. Kata ayah perempuan muda itu kepada laki-laki itu: ‘Baiklah putuskan untuk tinggal bermalam dan biarlah hatimu gembira.’ (7) Tetapi ketika orang itu bangun untuk pergi juga, mertuanya itu mendesaknya, sehingga ia tinggal pula di sana bermalam. (8) Pada hari yang kelima, ketika ia bangun pagi-pagi untuk pergi, berkatalah ayah perempuan muda itu: ‘Mari, segarkanlah dirimu dahulu, dan tinggallah sebentar lagi, sampai matahari surut.’ Lalu makanlah mereka keduanya. (9) Ketika orang itu bangun untuk pergi, bersama dengan gundiknya dan bujangnya, berkatalah mertuanya, ayah perempuan muda itu, kepadanya: ‘Lihatlah, matahari telah mulai turun menjelang petang; baiklah tinggal bermalam, lihat, matahari hampir terbenam, tinggallah di sini bermalam dan biarlah hatimu gembira; maka besok kamu dapat bangun pagi-pagi untuk berjalan dan pulang ke rumahmu.’”.

 

b)         Kelompok II:

·        Kel 12:18 - “Dalam bulan pertama, pada hari yang keempat belas bulan itu pada waktu petang, kamu makanlah roti yang tidak beragi, sampai kepada hari yang kedua puluh satu bulan itu, pada waktu petang.

·        1Raja 8:29 - “Kiranya mataMu terbuka terhadap rumah ini, siang dan malam [KJV: ‘night and day’ (= petang dan pagi)], terhadap tempat yang Kaukatakan: namaKu akan tinggal di sana; dengarkanlah doa yang hambaMu panjatkan di tempat ini”.

·        Neh 13:19 - “  Kalau sudah remang-remang di pintu-pintu gerbang Yerusalem menjelang hari Sabat, kusuruh tutup pintu-pintu dan kuperintahkan supaya jangan dibuka sampai lewat hari Sabat. Dan aku tempatkan beberapa orang dari anak buahku di pintu-pintu gerbang, supaya tidak ada muatan yang masuk pada hari Sabat”.

·        Maz 55:18 - “Di waktu petang, pagi dan tengah hari aku cemas dan menangis; dan Ia mendengar suaraku”.

·        Yes 27:3 - “Aku, TUHAN, penjaganya; setiap saat Aku menyiraminya. Supaya jangan orang mengganggunya, siang malam [KJV: ‘night and day’ (= petang dan pagi)] Aku menjaganya”.

·        Yer 14:17 - “Katakanlah perkataan ini kepada mereka: ‘Air mataku bercucuran siang dan malam [KJV: ‘night and day’ (= petang dan pagi)] dengan tidak berhenti-henti, sebab anak dara, puteri bangsaku, dilukai dengan luka parah, luka yang sama sekali tidak tersembuhkan”.

Catatan: Untuk 1Raja 8:29  Yes 27:3 dan Yer 14:17, terjemahan Kitab Suci Indonesia terbalik; KJV: ‘night and day’ (= petang dan pagi). RSV/NIV/NASB juga seperti KJV dengan perkecualian Yes 27:3 dimana NIV menterjemahkan terbalik seperti Kitab Suci Indonesia.

 

2)   Sabat diubah dari Sabtu menjadi Minggu.

Sabat Kristen berbeda harinya dengan Sabat Yahudi. Bagi orang Kristen, hari Sabat berubah dari Sabtu menjadi Minggu.

 

Thomas Watson: “The old-seventh-day Sabbath, which was the Jewish Sabbath, is abrogated, and in the room of it the first day of the week, which is the Christian Sabbath, succeeds. The morality or substance of the fourth commandment does not lie in keeping the seventh day precisely, but keeping one day in seven is what God has appointed” (= Sabat hari ke 7 yang lama, yang merupakan hari Sabat Yahudi, dibatalkan / dicabut, dan di tempatnya digantikan dengan hari pertama dari suatu minggu, yang adalah hari Sabat Kristen. Moralitas atau substansi / hakekat dari hukum ke 4 tidak terletak dalam pemeliharaan hari ke 7 secara persis, tetapi pada pemeliharaan 1 dari 7 hari yang merupakan apa yang telah ditetapkan Allah) - ‘The Ten Commandments’, hal 95.

Catatan: ini tentu tidak berarti bahwa setiap kita berhak menentukan Sabatnya sendiri-sendiri. Setelah Sabat berubah ke hari Minggu, pada umumnya kita harus menjadikan hari Minggu sebagai Sabat kita. Saya katakan ‘pada umumnya’ karena hamba-hamba Tuhan tidak mungkin bisa mempunyai Sabat pada hari itu.

 

Apa alasan orang Kristen untuk mengubah Sabat dari Sabtu menjadi Minggu?

 

a)   Kristus bangkit pada hari Minggu, dan 2 x Ia menampakkan diri setelah kebaktian, juga pada hari Minggu.

 

Westminster Confession of Faith: As it is the law of nature, that, in general, a due proportion of time be set apart for the worship of God; so, in His Word, by a positive, moral, and perpetual commandment binding all men in all ages, He hath particularly appointed one day in seven, for a Sab­bath, to be kept holy unto him: which, from the beginning of the world to the ressurection of Christ, was the last day of the week; and, from the ressurection of Christ, was changed into the first day of the week, which, in Scripture, is called the Lord’s Day, and is to be continued to the end of the world, as the Christian Sabbath (= ) - Chapter XXI, No 7.

 

R. L. Dabney: “After the resurrection of Christ, the perpetual Divine obligation of a religious rest was transferred to the first day of the week, and thence to the end of the world, the Lord’s day is the Christian Sabbath, by Divine and apostolic appointment” (= Setelah kebangkitan Kristus, kewajiban Ilahi yang kekal tentang istirahat agamawi dipindahkan ke hari pertama dari suatu minggu, dan dari sana sampai akhir jaman, hari Tuhan adalah Sabat Kristen, oleh penetapan Ilahi dan rasuli) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 367-368.

 

Keil & Delitzsch (tentang Kel 20:8-11): “... after the completion of His work, He also rested on the Sabbath. But He rose again on the Sunday; and through His resurrection, which is the pledge to the world of the fruits of His redeeming work, He has made this day the kuriakee’ heeme’ra (Lord’s day) for His Church, to be observed by it till the Captain of its salvation shall return” [= ... setelah penyelesaian pekerjaanNya, Ia juga beristirahat pada hari Sabat (Sabtu). Tetapi Ia bangkit kembali pada hari Minggu; dan melalui kebangkitanNya, yang merupakan janji kepada dunia tentang buah dari pekerjaan penebusanNya, Ia telah menjadikan hari ini kuriakee’ heeme’ra (hari Tuhan) bagi GerejaNya, untuk diperhatikan / dihormati olehnya sampai Kapten keselamatannya datang kembali].

 

Matthew Henry (tentang Im 23:3): “Christ appointed the New-Testament sabbath to be a holy convocation, by meeting his disciples once and again (and perhaps oftener) on the first day of the week” [= Kristus menetapkan hari Sabat Perjanjian Baru sebagai suatu pertemuan kudus, dengan menemui murid-muridNya sekali dan sekali lagi (dan mungkin lebih sering) pada hari pertama dari minggu].

 

Wycliffe Bible Commentary (tentang Kel 20:8-11): “The keeping of the seventh day of the week as the Sabbath is not abrogated in the NT, but the Sabbath of the New Creation is most naturally to be celebrated on that day when Christ, having ceased from his finished work, rose from the dead. The apostolic church celebrated both the first and the seventh days, but they soon discontinued the old Hebrew observance” (= Pemeliharaan hari yang ketujuh dari suatu minggu sebagai hari Sabat tidak dihapuskan dalam Perjanjian Baru, tetapi Sabat dari Ciptaan Yang Baru paling wajar / alamiah untuk dirayakan pada hari dimana Kristus, setelah berhenti dari pekerjaanNya yang telah diselesaikan, bangkit dari antara orang mati. Gereja rasuli merayakan baik hari pertama maupun hari ketujuh, tetapi mereka dengan cepat menghentikan pemeliharaan Ibrani yang lama).

 

Thomas Watson: “Christ rose on the first day of the week, out of the grave, and appeared twice on that day to his disciples, John 20:19,26, which was to intimate, as Augustine and Athanasius say, that he transferred the Jewish Sabbath to the Lord’s day” (= Kristus bangkit dari kubur pada hari pertama dari suatu minggu, dan muncul / menampakkan diri 2 x pada hari itu kepada murid-muridNya, Yoh 20:19,26, yang tujuannya adalah untuk mengisyaratkan, seperti yang dikatakan Agustinus dan Athanasius, bahwa Ia memindahkan hari Sabat Yahudi ke hari Tuhan) - ‘The Ten Commandments’, hal 95.

 

Sekarang mari kita memperhatikan 2 ayat yang dibicarakan dalam kutipan di atas, yaitu Yoh 20:19,26.

 

1.   Yoh 20:19 - “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi. Pada waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: ‘Damai sejahtera bagi kamu!’”.

 

a.         pada hari pertama minggu itu.

Yohanes menulis sedemikian rupa sehingga hari pertama itu sangat ditekankan.

KJV: ‘Then the same day at evening, being the first day of the week’ (= Maka pada hari yang sama pada sore / malam hari, yang merupakan hari pertama dari minggu).

William Hendriksen menterjemahkan: ‘Now when it was evening on that day, the first day of the week’ (= Pada waktu sore / malam pada hari itu, hari pertama dari minggu).

William Hendriksen mengatakan (hal 457) bahwa Yohanes bisa saja menulis ‘Now when it was the evening of the first day’ (= Pada sore / malam dari hari pertama). Tetapi ia mau lebih menekankan hari pertama itu. Jadi ia mulai dengan mengatakan ‘Now when it was evening of that day’ (= Pada sore / malam dari hari itu). Dilihat dari kontextnya itu sudah menunjuk kepada hari pertama (bdk. 20:1). Tetapi Yohanes tidak puas dengan itu, dan ia melanjutkan ‘that day, the first day of the week’ (= hari itu, hari pertama dari minggu itu).

Matthew Henry beranggapan bahwa ini merupakan tanda / bukti bahwa Allah menghormati hari itu.

 

b.         “malam”.

Text yang sedang kita pelajari ini (Yoh 20:19-23) paralel dengan Luk 24:36-dst. Sekarang mari kita perhatikan kontext dari Luk 24 itu.

Luk 24:29,33,36 - “(29) Tetapi mereka sangat mendesakNya, katanya: ‘Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam.’ Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka. ... (33) Lalu bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem. Di situ mereka mendapati kesebelas murid itu. Mereka sedang berkumpul bersama-sama dengan teman-teman mereka. ... (36) Dan sementara mereka bercakap-cakap tentang hal-hal itu, Yesus tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata kepada mereka: ‘Damai sejahtera bagi kamu!’”.

Jadi, kalau dilihat dari Luk 24:29,33,36 ini, terlihat dengan jelas bahwa saat ini bukan lagi siang / sore (sebelum pk 6 sore) tetapi sudah malam (lewat dari pk 6 sore). Itu berarti bahwa sebetulnya, dari perhitungan waktu Yahudi, itu bukan lagi hari pertama (minggu) tetapi hari kedua (senin).

 

William Hendriksen: “It was evening. In the light of Luke 24:29,33,36 we have a right to conclude that it was no longer early in the evening when the great event recorded in the present paragraph took place. As the Jews compute the days it was no longer the first day of the week. But John, though a Jew, is writing much later than Matthew and Mark, and does not seem to concern himself with Jewish time-reckoning (= Itu adalah malam. Dalam terang dari Luk 24:29,33,36 kami mempunyai hak untuk menyimpulkan bahwa itu bukan lagi awal dari suatu sore ketika peristiwa yang besar yang dicatat dalam text ini terjadi. Sebagaimana orang-orang Yahudi menghitung hari, itu bukan lagi hari pertama dari minggu. Tetapi Yohanes, sekalipun ia adalah orang Yahudi, menulis jauh lebih belakangan dari Matius dan Markus, dan kelihatannya tidak mempedulikan perhitungan waktu Yahudi) - hal 458.

 

A. T. Robertson menganggap bahwa kata-kata “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu menunjukkan bahwa Yohanes menggunakan perhitungan waktu Romawi dan bukan Yahudi, karena ‘malam’ menyusul ‘pagi / siang’ dan bukan sebaliknya.

Catatan: kalau Yohanes menggunakan perhitungan waktu Yahudi, maka ia tidak mungkin menggabungkan ‘malam’ dengan ‘hari pertama minggu itu’.

 

Bagian ini perlu diperhatikan karena ada orang-orang yang menolak perubahan Sabat dari Sabtu menjadi Minggu dengan mengatakan bahwa Yesus menampakkan diri di sini pada hari Senin, bukan pada hari Minggu. Itu memang Senin berdasarkan perhitungan waktu Yahudi, tetapi itu adalah Minggu berdasarkan perhitungan waktu Romawi. Dan Yohanes kelihatannya menggunakan perhitungan waktu Romawi.

 

c.         “berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat”.

Kita memang tidak tahu apa tujuan para murid berkumpul pada saat itu, tetapi sedikitnya itu adalah suatu persekutuan. Bahkan ada penafsir yang beranggapan bahwa murid-murid berkumpul pada hari minggu dalam Yoh 20:19 itu, untuk berbakti.

 

Barnes’ Notes: “It is worthy of remark that this is the first assembly that was convened for worship on the Lord’s Day, and in that assembly Jesus was present. Since that time, the day has been observed in the church as the Christian Sabbath, particularly to commemorate the resurrection of Christ” (= Layak diperhatikan bahwa ini adalah perkumpulan pertama yang dilakukan untuk kebaktian pada hari Tuhan, dan dalam perkumpulan itu Yesus hadir. Sejak saat itu, hari itu dihormati dalam gereja sebagai Sabat Kristen, khususnya untuk memperingati kebangkitan Kristus).

 

2.   Yoh 20:26 - “Delapan hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu dan Tomas bersama-sama dengan mereka. Sementara pintu-pintu terkunci, Yesus datang dan Ia berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: ‘Damai sejahtera bagi kamu!’”.

 

Maksudnya adalah 8 hari setelah Yoh 20:19. Ini bukan hari Senin, tetapi hari Minggu! Yoh 20:19 adalah hari Minggu. 8 hari setelah itu / hari ke 8 setelah itu juga adalah hari Minggu! (bandingkan dengan Yesus yang mati pada hari Jum’at, lalu bangkit pada hari ke 3 yang adalah hari Minggu - itulah cara mereka menghitung hari!).

 

      M   S   S    R   K   J    S  M

 

----|----|----|----|----|----|----|----|----|---

 

       1    2   3    4    5    6   7   8

 

 

Mengapa Yesus muncul lagi-lagi pada hari Minggu? Untuk menekankan perubahan Sabat dari Sabtu menjadi hari pertama (Minggu). Mari kita memperhatikan beberapa komentar dari para penafsir tentang bagian ini.

 

Barnes’ Notes: “‘And after eight days again’. That is, on the return of the first day of the week. From this it appears that they thus early set apart this day for assembling together, and Jesus countenanced it by appearing twice with them. It was natural that the apostles should observe this day, but not probable that they would do it without the sanction of the Lord Jesus. His repeated presence gave such a sanction, and the historical fact is indisputable that from this time this day was observed as the Christian Sabbath. See Acts 20:7; 1 Cor. 16:2; Rev. 1:10.” (= ‘Dan setelah 8 hari lagi’. Yaitu, pada kembalinya hari pertama dari suatu minggu. Dari sini kelihatannya mereka demikian awal memisahkan hari ini untuk berkumpul bersama-sama, dan Yesus menyetujuinya dengan muncul 2 x bersama mereka. Adalah sesuatu yang wajar bahwa rasul-rasul memperingati hari ini, tetapi tidak mungkin bahwa mereka melakukan hal itu tanpa persetujuan dari Tuhan Yesus. KehadiranNya yang terulang memberikan persetujuan seperti itu, dan fakta historis tidak dapat dibantah bahwa sejak saat ini hari ini diperingati sebagai Sabat Kristen. Lihat Kis 20:7; 1Kor 16:2; Wah 1:10).

 

Jadi kelihatannya Barnes beranggapan bahwa rasul-rasul yang lebih dulu melakukan perubahan Sabat, dan Yesus lalu merestuinya. Tetapi saya lebih condong pada pandangan dari beberapa penafsir di bawah ini.

 

William Hendriksen: “Did the Lord wait until Sunday evening in order to encourage his disciples to observe that day - and not some other day - as day of rest and worship? That would seem probable” (= Apakah Tuhan menunggu sampai Minggu malam untuk mendorong murid-muridNya untuk menghormati hari itu - dan bukannya hari yang lain - sebagai hari istirahat dan ibadah? Itu kelihatannya memungkinkan) - hal 464.

 

Matthew Henry: “He deferred it so long as seven days. And why so? ... that he might put an honour upon the first day of the week, and give a plain intimation of his will, that it should be observed in his church as the Christian sabbath, the weekly day of holy rest and holy convocations. That one day in seven should be religiously observed was an appointment from the beginning, as old as innocency; and that in the kingdom of the Messiah the first day of the week should be that solemn day this was indication enough, that Christ on that day once and again met his disciples in a religious assembly” (= Ia menunda itu selama 7 hari. Dan mengapa demikian? ... supaya Ia bisa meletakkan suatu penghormatan pada hari pertama dari suatu minggu, dan memberikan suatu isyarat yang jelas dari kehendakNya, bahwa hari itu harus diperingati / dihormati dalam gerejaNya sebagai Sabat Kristen, hari libur mingguan dan pertemuan kudus mingguan).

 

Jamieson, Fausset & Brown: “‘And after eight days’ - that is, on the eighth or first day of the following week. They themselves probably met every day during the preceding week, but their Lord designedly reserved His second appearance among them until the recurrence of His resurrection-day, that He might thus inaugurate the delightful sanctities of THE LORD’S DAY (Rev. 1:10).” [= ‘Dan setelah 8 hari’ - yaitu, pada hari ke 8 atau hari pertama dari minggu berikutnya. Mereka sendiri mungkin bertemu setiap hari dalam sepanjang minggu yang lalu, tetapi Tuhan mereka dengan terencana menahan pemunculanNya yang kedua di antara mereka sampai kembalinya hari kebangkitanNya, supaya dengan demikian Ia bisa melantik kekudusan yang menggembirakan dari HARI TUHAN (Wah 1:10)].

 

Jelas bahwa inisiatif perubahan Sabat itu tidak mungkin datang dari rasul-rasul, yang lalu disetujui oleh Yesus. Inisiatif itu datang dari Yesus sendiri, yang secara sengaja dan terencana melakukan 2 x pemunculan pada hari Minggu, dan dengan demikian memberikan isyarat yang jelas tentang hal itu.

 

b)   Hari Pentakosta (Kis 2:1-13), yang merupakan ‘hari berdirinya gereja’, juga jatuh pada hari Minggu (bdk. Im 23:15-16  Ul 16:9).

 

Im 23:15-16 - “(15) Kemudian kamu harus menghitung, mulai dari hari sesudah sabat itu, yaitu waktu kamu membawa berkas persembahan unjukan, harus ada genap tujuh minggu; (16) sampai pada hari sesudah sabat yang ketujuh kamu harus hitung lima puluh hari; lalu kamu harus mempersembahkan korban sajian yang baru kepada TUHAN”.

 

c)         Hari Minggu disebut sebagai ‘hari Tuhan’.

Wah 1:10 - “Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh dan aku mendengar dari belakangku suatu suara yang nyaring, seperti bunyi sangkakala”.

Sekalipun ayat ini tak menyebutkan bahwa itu adalah hari pertama / hari Minggu, tetapi boleh dikatakan semua penafsir menganggapnya demikian

 

Thomas Watson: “As it is called the ‘Lord’s Supper,’ because of the Lord’s instituting the bread and wine and setting it apart from a common to a special and sacred use; so it is called the Lord’s-day, because of the Lord’s instituting it, and setting it apart from common days, to his special worship and service” [= Sebagaimana itu disebut ‘Makan Malam / Perjamuan Tuhan’ (= Perjamuan Kudus), karena Tuhan menetapkan roti dan anggur dan memisahkannya dari penggunaan yang umum / biasa menjadi penggunaan yang khusus dan keramat / kudus; demikian juga itu disebut ‘hari Tuhan’, karena Tuhan menetapkannya, dan memisahkannya dari hari-hari yang umum / biasa, bagi penyembahan dan kebaktianNya yang khusus] - ‘The Ten Commandments’, hal 95.

Catatan: istilah ‘the Lord’s Supper’ muncul dalam 1Kor 11:20 versi KJV.

1Kor 11:20 - “Apabila kamu berkumpul, kamu bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan.

KJV: ‘the Lord's supper’ (= makan malam Tuhan / perjamuan Tuhan).

 

Bdk. Yes 58:13-14 - “(13) Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudusKu; apabila engkau menyebutkan hari Sabat ‘hari kenikmatan’, dan hari kudus TUHAN ‘hari yang mulia’; apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong kosong, (14) maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN, dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan; Aku akan memberi makan engkau dari milik pusaka Yakub, bapa leluhurmu, sebab mulut Tuhanlah yang mengatakannya”.

 

Matthew Henry: “Even in Old-Testament times the sabbath was called the Lord’s day, and therefore it is fitly called so still, and for a further reason, because it is the Lord Christ’s day, Rev. 1:10” (= Bahkan dalam jaman Perjanjian Lama Sabat disebut ‘hari Tuhan’, dan karena itu, itu cocok tetap disebut demikian, dan untuk alasan lain, karena itu adalah hari Tuhan Kristus, Wah 1:10).

 

d)   Sejak kebangkitan Tuhan Yesus, orang-orang kristen berbakti pada hari pertama / hari Minggu.

 

Kis 20:7 - “Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti, Paulus berbicara dengan saudara-saudara di situ, karena ia bermaksud untuk berangkat pada keesokan harinya. Pembicaraan itu berlangsung sampai tengah malam”.

Ini jelas merupakan suatu kebaktian, dan itu diadakan pada hari pertama / hari Minggu.

 

Pulpit Commentary (tentang Kis 20:7): “This is an important evidence of the keeping of the Lord’s day by the Church as a day for their Church assemblies” (= Ini merupakan suatu bukti yang penting tentang pemeliharaan hari Tuhan oleh Gereja untuk hari pertemuan mereka) - hal 143.

 

1Kor 16:1-2 - “(1) Tentang pengumpulan uang bagi orang-orang kudus, hendaklah kamu berbuat sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang kuberikan kepada Jemaat-jemaat di Galatia. (2) Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing - sesuai dengan apa yang kamu peroleh - menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan, kalau aku datang”.

 

Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dari text di atas ini:

1.   Ay 1 mengatakan bahwa perintah yang Paulus berikan kepada gereja Korintus ini juga ia berkan kepada gereja-gereja di Galatia.

2.   Kata-kata ‘di rumah’ dalam ay 2 seharusnya dihapuskan.

NIV: ‘each one of you should set aside a sum of money in keeping with his income, saving it up, ...’ (= setiap orang dari kamu harus menyisihkan sejumlah uang sesuai dengan penghasilannya, menyimpannya, ...).

Kata-kata ‘di rumah’ itu salah terjemahan, karena kata-kata itu seharusnya tidak ada. Bandingkan dengan terjemahan NIV yang tidak mempunyai kata-kata itu. KJV/RSV/NASB juga tidak mempunyai kata-kata ‘di rumah’ itu. Memang ada penafsir-penafsir yang menafsirkan, bahwa secara implicit Paulus memaksudkan ‘di rumah’. Tetapi menurut saya, penafsiran ini tidak masuk akal. Mengapa? Karena kalau memang harus disimpan ‘di rumah’ mengapa mereka harus mengumpulkan pada hari pertama? Mereka bisa melakukan hal itu pada hari yang manapun, tidak harus pada hari pertama!

 

Gordon H. Clark (tentang 1Kor 16:2): “if the money were to be saved at home, there would be no point in mentioning the first day of the week. Setting aside money at home could best be done on whatever day the money was received. The mention of the first day makes sense only if Paul had in mind a church service on the Lord’s Day. The passage is fatal to Seventh Day Adventism” [= seandainya uang itu harus disimpan di rumah, maka tidak ada gunanya / tujuannya dalam menyebutkan hari pertama dari minggu itu. Menyisihkan uang di rumah bisa dilakukan pada hari apapun uang itu dierima. Penyebutan hari pertama hanya masuk akal, jika Paulus memikirkan kebaktian gereja pada Hari Tuhan. Text ini fatal / mematikan bagi Advent Hari Ketujuh (Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh)] - ‘First Corinthians’, hal 317.

 

Charles Hodge (tentang 1Kor 16:2): “If Paul directed this money to be laid up at home, why was the first day of the week selected? It is evident that the first day must have offered some special facility for doing what is here enjoined. The only reason that can be assigned for requiring the thing to be done on the first day of the week, is, that on that day the Christians were accustomed to meet, and what each one had laid aside from his weekly gains could be treasured up, i.e. put into the common treasury of the church” (= Jika Paulus mengarahkan supaya uang ini disimpan di rumah, mengapa dipilih hari yang pertama dari minggu? Adalah jelas bahwa hari yang pertama itu pasti memberikan suatu fasilitas yang khusus untuk melakukan apa yang di sini diperintahkan. Satu-satunya alasan yang bisa diberikan untuk memerintahkan hal itu dilakukan pada hari yang pertama dari minggu, adalah bahwa pada hari itu orang-orang kristen biasa bertemu, dan apa yang telah disisihkan oleh setiap orang dari keuntungan / pendapatan mingguan, bisa disimpan, yaitu dimasukkan ke dalam perbendaharaan umum dari gereja) - ‘I & II Corinthians’, hal 364.

 

Dari kedua text di atas (Kis 20:7 dan 1Kor 16:1-2), terlihat bahwa berbakti pada hari Minggu ini sudah dimulai sangat awal. Beberapa penafsir mengatakan bahwa sejak awal abad kedua, seluruh gereja sudah meninggalkan Sabat Yahudi (Sabtu), dan menggunakan hari Minggu sebagai hari Sabat /  Kebaktian. Ke-universal-an seperti ini tidak mungkin terjadi kalau hanya orang-orang kristen tertentu yang mengubahnya. Pasti rasul-rasul yang mengubahnya, dan mereka tidak mungkin mengubah berdasarkan kemauan / pemikiran mereka sendiri. Mereka pasti mendapat perintah dari Tuhan.

 

Charles Hodge (tentang 1Kor 16:2): “That the first day of the week was, by divine appointment, made the sacred day for Christians, may be inferred, ... From the uniform practice of the whole church, which practice, having the clear evidence of apostolic sanction, is authoritative” (= Bahwa hari yang pertama dari minggu, oleh penetapan ilahi, dijadikan hari kudus / keramat bagi orang-orang kristen, bisa disimpulkan, ... Dari praktek yang seragam / sama dari seluruh gereja, praktek mana, karena mempunyai bukti yang jelas dari persetujuan / dukungan rasuli, adalah bersifat memerintah / mempunyai wewenang ) - ‘I & II Corinthians’, hal 363.

 

Philip Schaff: “The universal and uncontradicted Sunday observance in the second century can only be explained by the fact that it had its roots in apostolic practice” (= Ibadah pada hari Minggu yang bersifat universal dan tak ditentang pada abad kedua hanya bisa dijelaskan oleh fakta bahwa itu mempunyai akarnya dalam praktek rasuli) - ‘History of the Christian Church’, vol I, hal 478.

 

Thomas Watson: “Augustine and Innocentius, and Isidore, make the keeping of our gospel Sabbath to be of apostolic sanction, and affirm, that by virtue of the apostles’ practice, this day is to be set apart for divine worship. What the apostles did, they did by divine authority; for they were inspired by the Holy Ghost” (= Agustinus dan Innocentius, dan Isidore, menganggap pemeliharaan Sabat Injil kita sebagai penetapan rasuli, dan menegaskan, bahwa berdasarkan praktek rasul-rasul, hari ini harus dipisahkan untuk penyembahan / ibadah ilahi. Apa yang dilakukan rasul-rasul, mereka lakukan oleh otoritas ilahi; karena mereka diilhami oleh Roh Kudus) - ‘The Ten Commandments’, hal 95.

 

Thomas Watson: “The primitive church had the Lord’s-day, which we now celebrate, in high estimation. It was a great badge of their religion to observe this day. Ignatius, the most ancient father, who lived in the time of John the apostle, has these words, ‘Let every one that loveth Christ keep holy the first day of the week, the Lord’s-day.’” (= Gereja mula-mula sangat meninggikan hari Tuhan, yang sekarang kita rayakan. Merupakan lencana yang besar dari agama mereka untuk menghormati hari ini. Ignatius, bapa gereja yang paling kuno, yang hidup pada jaman Yohanes sang rasul, mengatakan kata-kata ini: ‘Hendaklah setiap orang yang mengasihi Kristus menguduskan hari pertama dari suatu minggu, hari Tuhan’) - ‘The Ten Commandments’, hal 95-96.

 

William Barclay: “By early in the second century the Sabbath had been abandoned and the Lord’s Day was the accepted Christian day” (= Pada awal abad kedua hari Sabat telah ditinggalkan dan hari Tuhan diterima sebagai hari Kristen) - hal 43.

Catatan: ‘awal abad kedua’ berarti tahun 100an, dan itu sangat dekat dengan masa kehidupan rasul Yohanes, yang masih hidup sampai akhir abad pertama.

 

Homer Hailey: “The ante-Nicene writers who wrote after John followed a consistent pattern in considering ‘the first day,’ ‘the Lord’s day,’ the ‘resurrection day,’ and the day of meeting, Sunday, as identical. Ignatius (30-107 A.D.) writes, ‘Let every friend of Christ keep the Lord’s day as a festival, the resurrection day, the queen and chief of all the days (of the week)’ (A-N-F, I, p. 63). Justin (110-165 A.D.), writing of the day which the saints met for worship identified it as ‘Sunday ... the first day ... and Jesus Christ our Saviour on the same day rose from the dead’ (I, p. 168). The teaching of the Twelve (120-190 A.D.): ‘But every Lord’s day do ye gather yourselves, and break bread’ (VII, p. 381). Clement (153-217 A.D.), writing agonist (against?) Gnostics, identifies the Lord’s day with the resurrection, saying, ‘He, in fulfillment of the precept, according to the Gospel, keeps the Lord’s day ... glorifying the Lord’s resurrection’ (II, p. 545). Tertullian (145-220 A.D.) identifies ‘the Lord’s day’ as ‘every eighth day’ (III, p. 70). Constitution of the Holy Apostles (250-325 A.D.): ‘And on the day of our Lord’s resurrection, which is the Lord’s day, meet more diligently’ (VII, p. 423); and ‘on the day of the resurrection of the Lord, that is, the Lord’s day, assemble yourselves together, without fail’ (ibid. p. 471)” [= Penulis-penulis sebelum Nicea yang menulis setelah Yohanes mengikuti pola yang konsisten dalam menganggap ‘hari pertama’, ‘hari Tuhan’, ‘hari kebangkitan’, dan hari pertemuan, Minggu, sebagai identik. Ignatius (30-107 M) menulis: ‘Hendaknya setiap teman Kristus memelihara hari Tuhan sebagai suatu perayaan, hari kebangkitan, ratu dan kepala dari semua hari (dari suatu minggu)’ (A-N-F, I, hal 63). Justin (110-165 M), menulis tentang hari dimana orang-orang kudus bertemu untuk kebaktian menyebutnya sebagai ‘Minggu ... hari yang pertama ... dan Yesus Kristus Juru-selamat kita bangkit dari antara orang mati pada hari yang sama’ (I, hal 168). The teaching of the Twelve (120-190 M): ‘Tetapi setiap hari Tuhan kamu berkumpul dan memecahkan roti’ (VII, hal 381). Clement (153-217 M), menulis menentang Gnostics, mengidentikkan hari Tuhan dengan kebangkitan, dengan berkata: ‘Ia, dalam penggenapan ajaran / perintah, sesuai dengan Injil, memelihara hari Tuhan ... memuliakan kebangkitan Tuhan’ (II, hal 545). Tertullian (145-220 M) mengidentikkan / menyebut ‘hari Tuhan’ sebagai ‘setiap hari ke 8’ (III, hal 70). Constitution of the Holy Apostles (250-325 M): ‘Dan pada hari kebangkitan Tuhan, yang adalah hari Tuhan, bertemulah dengan makin rajin’ (VII, hal 423); dan ‘pada hari kebangkitan Tuhan, yaitu, hari Tuhan, kumpulkanlah dirimu bersama-sama, tanpa gagal (jangan pernah gagal untuk bertemu)’ (ibid. hal 471)] - hal 107.

 

e)   Perubahan dari Sabtu ke Minggu ini perlu untuk mengingat penebusan dosa oleh Kristus.

Thomas Watson: “The grand reason for changing the Jewish Sabbath to the Lord’s-day is that it puts us in mind of the Mystery of our redemption by Christ.’ The reason why God instituted the old Sabbath was to be a memorial of the creation; but he has now brought the first day of the week in its room in memory of a more glorious work than creation, which is redemption. Great was the work of creation, but greater was the work of redemption” (= Alasan yang agung untuk mengubah Sabat Yahudi menjadi hari Tuhan adalah bahwa itu mengingatkan kita akan ‘Misteri penebusan kita oleh Kristus’. Alasan mengapa Allah mengadakan Sabat yang lama adalah sebagai peringatan tentang penciptaan; tetapi sekarang Ia telah membawa hari pertama dari minggu sebagai gantinya untuk mengingat tentang suatu pekerjaan yang lebih mulia dari pada penciptaan, yaitu penebusan. Pekerjaan penciptaan itu besar, tetapi pekerjaan penebusan itu lebih besar) - ‘The Ten Commandments’, hal 96.

 

Bagian ini penting untuk diingat kalau saudara menghadapi orang Advent, yang berkeras bahwa hari untuk berbakti haruslah Sabtu, yang merupakan hari Sabat Perjanjian Lama.

 

II) Pro kontra penghapusan Sabat.

 

1)   Argumentasi untuk menghapuskan hukum tentang hari Sabat.

 

a)   Itu merupakan ceremonial law (= hukum yang berhubungan dengan upacara keagamaan), dan semua ceremonial law dihapuskan pada kematian dan kebangkitan Kristus (Ef 2:15).

 

Ef 2:15 - “sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera”.

 

Kita tidak mungkin menafsirkan bahwa ayat ini memaksudkan seluruh hukum Taurat dihapuskan, karena dalam Mat 5:17-19 Yesus berkata: “(17) ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. (19) Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga”.

 

Jadi, untuk mengharmoniskan kedua bagian ini, dan juga dengan bagian-bagian Kitab Suci yang lain, haruslah ditafsirkan bahwa yang dihapuskan hanyalah hukum Taurat yang bersifat ceremonial saja (seperti sunat, najis / tahir, larangan makan, persembahan korban dsb), sedangkan yang bersifat moral terus berlaku. Kalau hukum tentang hari Sabat termasuk ceremonial law, maka itu berarti hukum ini juga dihapuskan.

 

Calvin termasuk orang yang menghapuskan hukum Sabat.

 

John Calvin: “there is no doubt that by the Lord Christ’s coming the ceremonial part of this commandment was abolished” (= tidak diragukan bahwa oleh kedatangan Tuhan Kristus bagian ceremonial dari perintah ini dihapuskan) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 31.

 

Calvin menggunakan Kol 2:16-17 - “(16) Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus”.

 

John Calvin: “Christians ought therefore to shun completely the superstitious observance of days” (= Karena itu orang-orang kristen harus menghindarkan diri secara total dari pemeliharaan hari-hari yang bersifat takhyul) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 31.

Catatan: mungkin yang dimaksud oleh Calvin dengan ‘bersifat takhyul’ adalah bilangan 7 (pemeliharaan hari ke 7).

 

John Calvin: “because it was expedient to overthrow superstition, the day sacred to the Jews was set aside; because it was necessary to maintain decorum, order, and peace in the church, another was appointed for that purpose” [= karena merupakan sesuatu yang layak untuk merobohkan takhyul, (maka) hari yang keramat bagi orang-orang Yahudi disingkirkan; karena merupakan sesuatu yang perlu untuk memelihara kepantasan, keteraturan, dan damai dalam gereja, (maka) hari yang lain ditetapkan untuk tujuan itu] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 33.

Catatan: sukar untuk menterjemahkan kata ‘order’. Dalam Webster’s New World Dictionary, kata itu mempunyai bermacam-macam arti, antara lain, ‘keteraturan’, ‘keadaan tenang / damai’, atau ‘keadaan dimana segala sesuatu ada di tempat yang benar dan berfungsi dengan benar’. Mungkin yang terakhir yang yang dimaksudkan oleh Calvin.

 

Jadi, sekalipun Calvin berpendapat bahwa Sabat telah dibatalkan / dicabut, tetapi ia juga berpendapat bahwa kita tetap harus berbakti dan memberi istirahat pegawai dsb (‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 32). Dasarnya adalah karena bagian lain dari Kitab Suci, bahkan Perjanjian Baru (Kis 2:42  1Kor 16:2), mengharuskan hal itu. Disamping itu, hal ini perlu untuk keteraturan dan kesehatan rohani kita.

 

Ini menyebabkan Calvin berpendapat bahwa hari untuk kebaktian boleh dipilih hari apapun.

 

John Calvin: “And I shall not condemn churches that have other solemn days for their meetings, provided there be no superstition. This will be so if they have regard solely to the maintenance of discipline and good order (= Dan saya tidak akan mengecam gereja-gereja yang mempunyai hari keramat / kudus yang lain untuk pertemuan-pertemuan / kebaktian-kebaktian mereka, asal disana tidak ada takhyul. Ini akan demikian jika mereka hanya memperhatikan pada pemeliharaan disiplin dan keteraturan yang baik) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 34.

 

Penafsiran Calvin bahwa hukum Sabat ini termasuk ceremonial law, ditentang oleh kebanyakan, atau mungkin semua, orang-orang Reformed, dan juga oleh Westminster Confession of Faith.

 

Editor dari Calvin’s Institutes: “It is clear from this passage and from sec. 34 that for Calvin the Christian Sunday is not, as in the Westminster Confession XXI, 8, a simple continuation of the Jewish Sabbath ‘changed into the first day of the week,’ but a distinctively Christian institution adopted on the abrogation of the former one, as a means of church order and spiritual health” [= Adalah jelas dari bagian ini (no 33) dan dari no 34, bahwa bagi Calvin hari Minggu orang Kristen bukanlah, seperti dalam Pengakuan Westminster XXI, 8, suatu kelanjutan / sambungan biasa dari Sabat Yahudi ‘diubah ke hari pertama dari suatu minggu’, tetapi suatu hukum Kristen yang diadopsi / diambil pada penghapusan dari hukum yang lama, sebagai suatu cara dari keteraturan gereja dan kesehatan rohani] - Book II, Chapter VIII, no 33 (footnote, hal 399).

Catatan: tentang kata ‘order’ dalam 2 kutipan terakhir ini, lihat catatan di atas.

 

b)   Ada beberapa text Kitab Suci yang menghapuskan hukum Sabat.

 

1.   Kol 2:16-17 - “(16) Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus”.

Kalau Sabat merupakan type yang telah digenapi oleh Kristus, bukankah sekarang Sabat harus dihapuskan?

 

2.   Ro 14:5-6 - “(5) Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri. (6) Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah”.

 

3.   Gal 4:7-11 - “(7) Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah. (8) Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. (9) Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah sia-sia”.

 

2)   Argumentasi untuk mempertahankan hukum tentang hari Sabat.

a)   Hukum tentang hari Sabat ini merupakan hukum yang bersifat moral, dan karena itu terus berlaku sampai akhir jaman.

 

Thomas Watson (‘The Ten Commandments’, hal 94) menganggap bahwa hukum ini bukan termasuk ceremonial law tetapi moral law, dan karena itu terus berlaku sampai kesudahan alam.

 

Alasan-alasan yang diberikan oleh para ahli theologia / penafsir untuk menganggap bahwa hukum Sabat ini merupakan hukum moral, bukan ceremonial:

 

1.   Hukum ini sudah ada sebelum hukum Taurat / ceremonial law.

Bahwa Sabat sudah ada sebelum pemberian hukum Taurat kepada Musa terlihat dari:

·        Kej 2:3 - “Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu”.

·        Kel 16:22-30 - peristiwa pemberian manna, dimana bangsa Israel disuruh beristirahat pada hari ketujuh.

 

Calvin sendiri mengakui bahwa text ini menunjukkan bahwa peraturan Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat Musa!

 

Calvin: “From this passage it may be probably conjectured that the hallowing of the Sabbath was prior to the Law; and undoubtedly what Moses has before narrated, that they were forbidden to gather the manna on the seventh day, seems to have led its origin from a well-known and received custom; ... But what in the depravity of human nature was altogether extinct among heathen nations, and almost obsolete with the race of Abraham, God renewed in His Law” (= Dari text ini mungkin bisa diperkirakan bahwa pengudusan hari Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat; dan tidak diragukan apa yang telah ditulis oleh Musa sebelumnya, bahwa mereka dilarang mengumpulkan manna pada hari yang ketujuh, kelihatannya telah membawa asal usulnya dari suatu tradisi / kebiasaan yang telah dikenal dan diterima; ... Tetapi apa yang dalam kebejatan manusia telah sama sekali musnah di antara bangsa-bangsa kafir, dan hampir usang dengan ras / bangsa dari Abraham, diperbaharui oleh Allah dalam hukum TauratNya) - hal 439.

 

D. L. Moody: “I honestly believe that this commandment is just as binding today as it ever was. ... The Sabbath was binding in Eden, and it has been in force ever since. The fourth commandment begins with the word ‘remember,’ showing that the Sabbath already existed when God wrote this law on the tables of stone at Sinai” (= Saya dengan jujur / terus terang percaya bahwa perintah ini sama mengikatnya pada saat ini seperti pada masa yang lalu. ... Sabat mengikat di Eden, dan itu selalu berlaku sejak saat itu. Perintah / hukum keempat dimulai dengan kata ‘Ingatlah’, yang menunjukkan bahwa Sabat telah ada pada waktu Allah menuliskan hukum ini pada loh-loh batu di Sinai) - ‘D. L. Moody On The Ten Commandments’, hal 47,48.

Catatan: saya tidak tahu apakah kata ‘ingatlah’ memang harus diartikan seperti itu. Ada orang lain yang mengatakan bahwa kata ‘ingatlah’ hanya menunjukkan bahwa hukum / perintah ini sering dilupakan / dilalaikan oleh manusia.

 

R. L. Dabney: “the enactment of the Sabbath-law does not date from Moses, but was coeval with the human race. ... The sanctification of the seventh day took place from the very end of the week of creation. (Gen. 2:3.) For whose observance was the day, then, consecrated or set apart, if not for man’s? Not for God’s; ... Not surely for the angels’, but for Adam’s” [= penjadian hukum Sabat sebagai undang-undang tidak terjadi pada jaman Musa, tetapi sama tuanya dengan umat manusia. ... Pengudusan dari hari yang ketujuh terjadi sejak akhir dari minggu penciptaan (Kej 2:3). Untuk pemeliharaan siapa hari itu, yang pada saat itu dikuduskan atau dipisahkan, jika bukan untuk manusia? Bukan untuk Allah; ... Pasti bukan untuk malaikat-malaikat, tetapi untuk Adam] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 376.

 

R. L. Dabney: “In Exodus 16:22-30, where we read the first account of the manna, we find the Sabbath institution already in force; and no candid mind will say that this is the history of its first enactment. It is spoken of as a rest with which the people ought to have been familiar. But the people had not yet come to Sinai, and none of its institution had been given. Here, then, we have the Sabbath’s rest enforced on Israel, before the ceremonial law was set up” [= Dalam Keluaran 16:22-30, dimana kita membaca cerita pertama tentang manna, kita menemukan hukum Sabat sudah berlaku; dan tidak ada pikiran yang jujur yang akan mengatakan bahwa ini adalah sejarah dari pengundangannya yang pertama. Itu dikatakan sebagai suatu istirahat dengan mana bangsa itu pasti telah akrab. Tetapi bangsa itu belum tiba di Sinai, dan tidak ada dari hukum Sinai yang telah diberikan. Maka, di sini kita mendapatkan istirahat Sabat dijalankan pada Israel, sebelum ceremonial law (hukum yang berhubungan dengan upacara agama) ditegakkan] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 377.

 

R. L. Dabney: “If it was not introduced by the Levitical economy for the first time, but was in force before, and if it was binding not on Jews only, but on all men, then the abrogation of that economy cannot have abrogated that which it did not institute” [= Jika itu (hukum Sabat) tidak diperkenalkan oleh pengaturan Imamat untuk pertama kalinya, tetapi telah berlaku sebelumnya, dan jika itu (hukum Sabat) mengikat bukan orang Yahudi saja, tetapi semua orang, maka pembatalan dari pengaturan Imamat itu tidak bisa membatalkan apa yang tidak diadakannya] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 375.

R. L. Dabney: “If the Sabbath command was in full force before Moses, the passing away of Moses’ law does not remove it” (= Jika perintah Sabat telah berlaku sepenuhnya sebelum Musa, matinya hukum Taurat Musa tidak menyingkirkannya) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

 

Bdk. Gal 3:17 - “Maksudku ialah: Janji yang sebelumnya telah disahkan Allah, tidak dapat dibatalkan oleh hukum Taurat, yang baru terbit empat ratus tiga puluh tahun kemudian, sehingga janji itu hilang kekuatannya”.

 

Gal 3:17 ini menjadi dasar pemikiran / kata-kata Dabney di atas. Kalau janji itu sudah ada sebelum hukum Taurat, maka pembatalan hukum Taurat tidak bisa membatalkan janji itu. Demikian juga kalau hukum tentang hari Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat, maka pembatalan hukum Taurat tidak bisa membatalkan hukum tentang hari Sabat itu.

 

2.   Hukum ini masuk dalam 10 hukum Tuhan yang semuanya merupakan hukum moral.

 

R. L. Dabney: “The very fact that this precept found a place in the awful ‘ten words,’ is of itself strong evidence that it is not a positive and ceremonial, but a moral and perpetual statute. Confessedly, there is nothing else ceremonial here. ... How can it be believed that this one ceremonial precept has been thrust in here, where all else is of obligation as old, and as universal as the race?” [= Fakta bahwa perintah ini mendapatkan suatu tempat dalam 10 firman yang hebat, merupakan bukti yang kuat bahwa ini bukan suatu undang-undang yang bersifat positif dan ceremonial, tetapi bersifat moral dan kekal. Merupakan sesuatu yang telah diakui bahwa tidak ada sesuatu yang lain yang bersifat ceremonial di sini (dalam 10 hukum Tuhan). ... Bagaimana dapat dipercaya bahwa perintah ceremonial yang satu ini telah dimasukkan di sini, dimana semua yang lain merupakan kewajiban yang sama tuanya dan sama universalnya dengan umat manusia?] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.

Catatan: saya tidak terlalu mengerti apa maksud dari kata ‘positive’ di sini. Dalam Webster’s New World Dictionary dikatakan bahwa kata ‘positive’ bisa diartikan sebagai ‘opposed to natural’ (= bertentangan dengan alamiah). Mungkin itu arti yang harus diambil di sini.

 

3.   Dasar dari hukum Sabat ini sama sekali tidak bersifat Yahudi / nasional, tetapi diambil dari peristiwa penciptaan (Kej 2:3).

    Kel 20:8-11 - “(8) Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: (9) enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, (10) tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. (11) Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya.

 

Ay 11 memang menunjukkan bahwa dasar dari hukum / peraturan tentang Sabat adalah dari peristiwa penciptaan (Kej 2:3).

Kej 2:3 - “Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu”.

 

R. L. Dabney: “the ground first assigned in Genesis, and here repeated for its enactment, is in no sense Jewish or national. God’s work of creation in six days, and His rest on the seventh, have just as much relation to one tribe of Adam’s descendants as to another. Note the contrast: that, in many cases, when ceremonial and Jewish commands are given, like the passover, a national or Jewish event is assigned as its ground, like the exodus from Egypt” (= dasar pertama yang diberikan dalam kitab Kejadian, dan di sini diulangi untuk pengundang-undangannya, sama sekali tidak bersifat Yahudi ataupun nasional. Pekerjaan penciptaan Allah dalam enam hari dan istirahatNya pada hari yang ketujuh, mempunyai hubungan yang sama dengan satu suku bangsa dari keturunan Adam seperti dengan suku bangsa yang lain. Perhatikan kontrasnya: bahwa, dalam banyak kasus, dimana perintah-perintah yang bersifat ceremonial dan Yahudi diberikan, seperti Paskah, suatu peristiwa yang bersifat nasional atau Yahudi diberikan sebagai dasarnya, seperti keluarnya bangsa Israel dari Mesir) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.

 

4.   Hukum ini merupakan kebutuhan, dan berlaku, tak hanya untuk bangsa Israel saja, tetapi untuk semua orang.

Bdk. Kel 20:10 - “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu”.

 

R. L. Dabney: “That it is a positive, moral, and perpetual command, we argue from the facts that there is a reason in the nature of things, making such an institution necessary to man’s religious interests; and that this necessity is substantially the same in all ages and nations” (= Kami berargumentasi bahwa itu merupakan suatu perintah yang bersifat positif, moral, dan kekal, dari fakta-fakta bahwa disana ada suatu alasan dalam sifat alamiah dari hal-hal, yang membuat hukum ini perlu bagi kepentingan agamawi manusia; dan bahwa kebutuhan ini pada dasarnya sama dalam semua jaman dan bangsa) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 375-376.

Catatan: dalam kutipan di atas Dabney mengatakan bahwa hukum ini tidak bersifat ‘positive’, tetapi sekarang ia mengatakan hukum ini bersifat ‘positive’. Apakah ia menggunakan kata itu dalam arti yang berbeda? Tetapi arti kata ini tidak terlalu berhubungan dengan penekanan saya dalam bagian ini, yaitu apakah hukum keempat ini bersifat moral atau ceremonial.

 

R. L. Dabney: “The assertion that the Sabbath was coeval with the human race, and was intended for the observation of all, receives collateral confirmation also from the early traditions concerning it, which pervades the first pagan literature” (= Penegasan bahwa Sabat sama tuanya dengan umat manusia, dan dimaksudkan untuk dihormati / dijalankan oleh semua orang, menerima peneguhan tambahan juga dari tradisi-tradisi mula-mula mengenainya, yang sangat banyak dalam literatur kafir mula-mula) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.

 

R. L. Dabney (hal 378-379) lalu memberikan banyak kutipan dari literatur kafir kuno, yang menunjukkan bahwa mereka juga sudah memelihara hari ketujuh sebagai hari yang kudus / keramat.

 

R. L. Dabney: “the Sabbath never was a Levitical institution, because God commanded its observance both by Jews and Gentiles, in the very laws of Moses” (= Sabat tidak pernah merupakan suatu hukum Imamat, karena Allah memerintahkan supaya hukum ini dihormati / dijalankan oleh orang Yahudi dan orang non Yahudi, dalam hukum Taurat Musa itu sendiri) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

 

R. L. Dabney: “To see the force of the argument from this fact, the reader must contrast the jealous care with which ‘the stranger,’ the pagan foreigner residing in an Israelitish community, was prohibited from all share in their ritual services. No foreigner could partake of the passover - it was sacrilege. He was even forbidden to enter the court of the temple where the sacrifices were offered, at the peril of his life. Now, when the foreigner is commanded to share the Sabbath-rest, along with the Israelite, does not this prove that rest to be no ceremonial, no type, like the passover and the altar, but a universal moral institution, designed for Jew and Gentile alike?” (= Untuk melihat kekuatan dari argumentasi dari fakta ini, pembaca harus mengkontraskan ketelitian yang begitu hati-hati, dengan mana ‘orang asing’, yaitu orang kafir yang tinggal dalam suatu masyarakat Yahudi, dilarang untuk ambil bagian sama sekali dalam ibadah ritual mereka. Tidak ada orang asing yang bisa ambil bagian dalam Paskah - itu merupakan sesuatu yang keramat / kudus. Orang asing bahkan dilarang untuk memasuki pelataran Bait Allah dimana korban dipersembahkan, dengan ancaman hukuman mati. Sekarang, pada waktu orang asing diperintahkan untuk ambil bagian dalam istirahat Sabat, bersama-sama dengan bangsa Israel, bukankah ini membuktikan bahwa istirahat itu bukan bersifat ceremonial, bukan merupakan type / bayangan, seperti Paskah dan mezbah, tetapi merupakan suatu hukum yang bersifat moral dan universal, direncanakan bagi orang Yahudi dan orang non Yahudi?) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

 

R. L. Dabney: “If it always was binding, on grounds as general as the human race, on all tribes of mankind, the dissolution of God’s special covenant with the family of Jacob did not repeal it” (= Jika itu selalu mengikat, pada dasar yang sama umumnya seperti umat manusia, pada semua suku bangsa dari umat manusia, pembubaran dari perjanjian Allah yang khusus dengan keluarga Yakub tidak mencabutnya) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

 

Ada 2 hal yang bisa diberikan sebagai bantahan terhadap argumentasi Dabney pada point ini:

 

·        Calvin mempunyai pandangan / penafsiran yang berbeda dengan Dabney dalam persoalan keharusan memelihara Sabat bagi orang asing.

 

Calvin: “The case of ‘strangers’ was different, who were obliged to rest on the Sabbath, although they remained uncircumcised; for he does not only refer to the foreigners, who had subscribed to the Law, but also to the uncircumcised. If any should object that they were improperly made partakers of the sacred sign whereby God had bound His elect people to Himself, the reply is easy, that this was not done for their sakes, but lest anything opposed to the Sabbath should happen beneath the eyes of the Israelites; as we may understand more clearly from the case of the oxen and asses. Surely God would never have required spiritual service of brute animals; yet He ordained their repose as a lesson, so that wherever the Israelites turned their eyes, they might be incited to the observation of the Sabbath. ... Besides, if the very least liberty had been conceded to them, they would have done many things to evade the Law in their days of rest, by employing strangers and the cattle in their work” [= Kasus tentang ‘orang-orang asing’ berbeda, yang diwajibkan untuk beristirahat pada hari Sabat, sekalipun mereka tetap tidak disunat; karena Ia tidak hanya menunjuk kepada orang-orang asing, yang telah menganut hukum Taurat, tetapi juga kepada yang tidak disunat. Jika ada yang keberatan bahwa mereka secara tidak tepat dibuat menjadi pengambil bagian dari tanda keramat dengan mana Allah telah mengikat umat pilihanNya kepada diriNya sendiri, jawabannya mudah, yaitu bahwa ini dilakukan bukan demi diri orang-orang asing itu sendiri, tetapi supaya tidak ada apapun yang bertentangan dengan hari Sabat terjadi di depan mata orang-orang Israel; seperti yang bisa kita mengerti dengan lebih jelas dari kasus lembu dan keledai. Pasti Allah tidak akan pernah menghendaki / mewajibkan binatang-binatang yang tidak berakal itu untuk melakukan kebaktian yang bersifat rohani; tetapi Ia menentukan istirahat mereka sebagai suatu pelajaran, sehingga kemanapun bangsa Israel memalingkan mata mereka, mereka bisa didorong pada pemeliharaan hari Sabat. ... Disamping itu, jika kebebasan yang terkecil diserahkan kepada mereka (bangsa Israel), mereka akan melakukan banyak hal untuk menghindari hukum Taurat pada hari-hari istirahat mereka, dengan mempekerjakan orang-orang asing dan ternak dalam pekerjaan mereka] - hal 439.

 

Calvin mungkin lebih benar, karena Sabat memang merupakan tanda perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel.

Kel 31:13 - “‘Katakanlah kepada orang Israel, demikian: Akan tetapi hari-hari SabatKu harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku dan kamu, turun-temurun, sehingga kamu mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, yang menguduskan kamu.”.

 

·        Ada banyak ayat yang menunjukkan bahwa larangan yang jelas bersifat ceremonial, juga diberlakukan bagi orang asing, seperti:

*        Im 17:13 - “Setiap orang dari orang Israel dan dari orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu, yang menangkap dalam perburuan seekor binatang atau burung yang boleh dimakan, haruslah mencurahkan darahnya, lalu menimbunnya dengan tanah”.

*        Im 17:15 - “Dan setiap orang yang makan bangkai atau sisa mangsa binatang buas, baik ia orang Israel asli maupun orang asing, haruslah mencuci pakaiannya, membasuh tubuhnya dengan air dan ia menjadi najis sampai matahari terbenam, barulah ia menjadi tahir”.

*        Im 22:25 - “Juga dari tangan orang asing janganlah kamu persembahkan sesuatu dari semuanya itu sebagai santapan Allahmu, karena semuanya itu telah rusak dan bercacat badannya; TUHAN tidak akan berkenan akan kamu karena persembahan-persembahan itu.’”.

*        Bil 19:10 - “Dan orang yang mengumpulkan abu lembu itu haruslah mencuci pakaiannya, dan ia najis sampai matahari terbenam. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagi orang Israel dan bagi orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu”.

 

R. L. Dabney: “If its nature is moral and practical, the substitution of the substance for the types does not supplant it. The reason that the ceremonial laws were temporary was that the necessity for them was temporary. They were abrogated because they were no longer needed. But the practical need for a Sabbath is the same in all ages. When it is made to appear that this day is the bulwark of practical religion in the world, that its proper observance everywhere goes hand in hand with piety and the true worship of God; that where there is no Sabbath there is no Christianity, it becomes an impossible supposition that God would make the institution temporary. The necessity for the Sabbath has not ceased, therefore it is not abrogated. In its nature, as well as its necessity, it is a permanent, moral command. All such laws are as incapable of change as the God in whose character they are founded” (= Jika sifat dasarnya bersifat moral dan praktis, maka penggantian dari substansi untuk typenya tidak menggantikannya. Alasan bahwa hukum-hukum ceremonial bersifat sementara adalah bahwa kebutuhan untuk hukum-hukum itu bersifat sementara. Mereka dibatalkan karena mereka tidak lagi dibutuhkan. Tetapi kebutuhan praktis bagi suatu Sabat adalah sama dalam semua jaman. Pada waktu terlihat bahwa hari ini merupakan benteng dari agama praktis dalam dunia, dan bahwa dimana tidak ada Sabat tidak ada kekristenan, maka menjadi suatu anggapan yang tidak mungkin bahwa Allah membuat hukum itu bersifat sementara. Kebutuhan untuk hari Sabat belum berhenti, karena itu hukum ini tidak dibatalkan. Dalam sifat alamiahnya, maupun dalam kebutuhannya, itu merupakan suatu perintah yang bersifat kekal dan moral. Semua hukum-hukum seperti itu tidak bisa berubah, sama seperti Allah, dalam karakter siapa hukum-hukum itu didirikan) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379-380.

 

Keberatan:

Ada keberatan bahwa hukum Sabat merupakan hukum yang bersifat moral, karena Mat 12:1-8 kelihatannya menunjukkan bahwa hukum Sabat merupakan ceremonial law.

 

Mat 12:1-8 - “(1) Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-muridNya memetik bulir gandum dan memakannya. (2) Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepadaNya: ‘Lihatlah, murid-muridMu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat.’ (3) Tetapi jawab Yesus kepada mereka: ‘Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, (4) bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam? (5) Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? (6) Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah. (7) Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. (8) Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.’”.

 

Perhatikan khususnya Mat 12:3-4, yang menunjukkan bahwa Daud dan para pengikutnya tidak salah pada waktu memakan roti sajian. Padahal roti sajian itu seharusnya hanya untuk imam-imam (Kel 29:32-34  Im 24:5-9); ini merupakan ceremonial law. Mengapa mereka tidak salah? Karena mereka lapar dan betul-betul membutuhkannya. Jadi, ceremonial law boleh dilanggar pada waktu memang ada kebutuhan mendesak. Yesus menggunakan kejadian ini untuk menjawab tuduhan dari orang-orang Farisi bahwa para murid melanggar hukum Sabat. Bukankah ini menunjukkan bahwa larangan makan roti sajian mempunyai persamaan dengan peraturan Sabat, yaitu sama-sama termasuk ceremonial law? Dan keduanya boleh dilanggar pada waktu ada kebutuhan yang mendesak? Jawabannya adalah tidak!

 

Penjelasan: Tujuan Yesus menggunakan kasus Daud ini adalah untuk memberikan suatu argumentasi sebagai berikut:

·        Daud dan pengikut-pengikutnya, pada waktu lapar, tidak disalahkan pada waktu melanggar ceremonial law, padahal ceremonial law itu merupakan Firman Tuhan yang diberikan oleh Allah sendiri.

·        Karena itu murid-murid Yesus, pada waktu mereka lapar, juga tidak dapat disalahkan pada waktu melanggar peraturan orang Farisi, yang tidak diberikan oleh Allah.

Dengan penjelasan ini jelas bahwa Mat 12:1-8, khususnya Mat 12:3-4, tidak dapat digunakan sebagai argumentasi untuk mengatakan bahwa hukum Sabat hanya merupakan ceremonial law.

 

b)   Text-text Kitab Suci yang digunakan untuk menyatakan penghapusan hukum Sabat sama sekali tidak bisa diartikan demikian.

Pembahasan text-text Kitab Suci yang seolah-olah menghapuskan hukum tentang hari Sabat.

 

1.   Kol 2:16-17 - “(16) Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus”.

 

Matthew Henry: “Here is a caution to take heed of judaizing teachers, or those who would impose upon Christians the yoke of the ceremonial law: ... but here the apostle shows that since Christ has come, and has cancelled the ceremonial law, we ought not to keep it up” (= Di sini ada suatu peringatan untuk berhati-hati terhadap guru-guru Yudaisme / agama Yahudi, atau mereka yang ingin membebankan / memaksakan pada orang-orang kristen kuk dari hukum ceremonial: ... tetapi di sini sang rasul menunjukkan bahwa karena Kristus telah datang, dan telah membatalkan hukum ceremonial, kita tidak seharusnya memeliharanya).

 

Adam Clarke: “it is not clear that the apostle refers at all to the Sabbath in this place, whether Jewish or Christian; his sabbatoon, ‘of sabbaths or weeks,’ most probably refers to their feasts of weeks” (= sama sekali tidak jelas bahwa sang rasul menunjuk pada Sabat di tempat ini, apakah Sabat Yahudi atau Sabat Kristen; kata sabbatoon yang digunakannya, yang berarti ‘tentang Sabat-Sabat atau minggu-minggu’ paling memungkinkan menunjuk pada perayaan / pesta mingguan mereka).

 

Barnes’ Notes: “The word Sabbath in the Old Testament is applied not only to the seventh day, but to all the days of holy rest that were observed by the Hebrews, and particularly to the beginning and close of their great festivals. There is, doubtless, reference to those days in this place, since the word is used in the plural number, and the apostle does not refer particularly to the Sabbath properly so called. There is no evidence from this passage that he would teach that there was no obligation to observe any holy time, for there is not the slightest reason to believe that he meant to teach that one of the ten commandments had ceased to be binding on mankind. If he had used the word in the singular number - ‘THE Sabbath,’ it would then, of course, have been clear that he meant to teach that that commandment had ceased to be binding, and that a Sabbath was no longer to be observed. But the use of the term in the plural number, and the connection, show that he had his eye on the great number of days which were observed by the Hebrews as festivals, as a part of their ceremonial and typical law, and not to the moral law, or the Ten Commandments [= Kata ‘Sabat’ dalam Perjanjian Lama diterapkan bukan hanya pada hari ketujuh, tetapi pada semua hari-hari istirahat yang kudus yang dipelihara oleh orang-orang Ibrani, dan khususnya pada permulaan dan akhir dari perayaan-perayaan besar mereka. Tidak diragukan, bahwa yang ditunjuk di tempat ini adalah hari-hari itu, karena kata itu digunakan dalam bentuk jamak, dan sang rasul tidak menunjuk secara khusus pada Sabat yang sebenarnya. Tidak ada bukti dari text ini bahwa ia mengajarkan bahwa tidak ada kewajiban untuk memelihara / menghormati saat kudus manapun, karena tidak ada alasan yang paling kecil sekalipun untuk percaya bahwa ia bermaksud untuk mengajar bahwa satu dari 10 hukum Tuhan telah berhenti mengikat umat manusia. Seandainya ia menggunakan kata itu dalam bentuk tunggal - ‘Sabat’, maka tentu saja akan jelas bahwa ia bermaksud untuk mengajar bahwa hukum itu (hukum Sabat) telah berhenti mengikat, dan hari Sabat tidak lagi perlu dihormati / dipelihara. Tetapi penggunaan istilah ini dalam bentuk jamak, dan hubungannya, menunjukkan bahwa ia mengarahkan matanya pada sejumlah besar hari-hari yang dipelihara oleh orang-orang Ibrani sebagai pesta / perayaan, sebagai suatu bagian dari hukum ceremonial dan yang bersifat type / bayangan, dan bukan pada hukum moral, atau pada 10 hukum Tuhan].

 

R. L. Dabney: “it must be distinctly remembered that the word ‘Sabbath’ was never applied, in New Testament language, to the Lord’s day, but was always used for the seventh day, and other Jewish festivals, as distinguished from the Christian Sunday. ... And we assert that, according to well known usage of the word SABBATA at that time, the Sundays were definitely excluded from the apostle’s assertion. When he says here, ‘holy-days, new-moons, and Sabbath-days,’ he intentionally excludes the Lord’s days. We are entitled to assume, therefore, that they are excluded when he says in the parallel passage of Romans, ‘every day,’ and in Galatians, ‘days, and months, and times, and years.’’” (= harus diingat dengan jelas bahwa kata ‘Sabat’ tidak pernah diterapkan, dalam bahasa Perjanjian Baru, pada ‘hari Tuhan’, tetapi selalu digunakan untuk hari yang ketujuh, dan pesta-pesta Yahudi yang lain, yang dibedakan dari hari Minggu orang Kristen. ... Dan kami menegaskan bahwa, sesuai dengan penggunaan yang telah dikenal dari kata SABBATA pada saat itu, hari Minggu jelas dikeluarkan dari penegasan sang rasul. Pada waktu ia berkata di sini, ‘hari kudus / raya, bulan baru, dan hari-hari Sabat’, ia dengan sengaja mengeluarkan hari-hari Tuhan. Karena itu, kita berhak untuk menganggap bahwa hari-hari Minggu juga dikeluarkan pada waktu ia berkata dalam text-text yang paralel dari Roma, ‘setiap / semua hari’, dan dalam Galatia, ‘hari-hari, dan bulan-bulan, dan masa-masa, dan tahun-tahun’.) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 389.

 

Sekarang kita soroti Kol 2:17 - ‘semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus’.

KJV: ‘Which are a shadow of things to come; but the body is of Christ’ (= Yang merupakan bayangan dari hal-hal yang akan datang; tetapi tubuhnya / wujudnya adalah Kristus).

 

Tentang ayat ini Dabney memberikan komentar / penafsiran sebagai berikut.

 

R. L. Dabney: “the Sabbath was to the Jews both a perpetual, moral institution, and a type. ... That it was to the Jews also a type, we admit. ... It was for a time, at least, a foreshadowing of the rest of Canaan. Heb. 4:4-11. It was to them, as it is to us, a shadow of the rest in heaven. Heb. 4:9. ... When the Epistle to the Colossians says that Sabbath, along with holy days and new-moons, are a shadow, it seems to us much the most simple explanation to say that it is the sacrificial aspect of those days, or (to employ other words) their use as special days of sacrifice, in which they together constituted a shadow. They were a shadow in this: that the sacrifices, which constituted so prominent a part of their Levitical observance, pointed to Christ the body. This is exactly accordant with the whole tenor of the Epistles. The seventh day had been, then, to the Jews, both a moral institution and a ritual type. In its latter use, the coming of Christ had of course abrogated it. In its former use, its whole duties and obligations had lately been transferred to the Lord’s day” [= hari Sabat bagi orang Yahudi merupakan hukum yang bersifat kekal dan moral, dan juga merupakan suatu type. ... Bahwa bagi orang Yahudi itu juga merupakan suatu type, kami mengakuinya. ... Setidaknya, untuk suatu waktu tertentu, itu merupakan bayangan dari istirahat di Kanaan. Ibr 4:4-11. Bagi mereka, dan bagi kita, itu merupakan bayangan dari istirahat di surga. Ibr 4:9. ... Pada waktu surat Kolose mengatakan bahwa Sabat, bersama-sama dengan hari-hari kudus / raya dan bulan baru, merupakan suatu bayangan, sangat terlihat bagi kita bahwa penjelasan yang paling sederhana adalah mengatakan bahwa itu merupakan aspek korban dari hari-hari / saat itu, atau (menggunakan kata-kata yang lain) penggunaan mereka tentang hari-hari korban khusus, dalam mana mereka bersama-sama membentuk / merupakan suatu bayangan. Mereka merupakan suatu bayangan dalam hal ini: bahwa korban-korban, yang merupakan bagian yang begitu menonjol dari pemeliharaan Imamat mereka, menunjuk pada Kristus yang adalah wujudnya. Ini secara tepat sesuai dengan seluruh tujuan dari surat. Jadi, hari ketujuh bagi orang Yahudi merupakan suatu hukum moral dan type / bayangan yang bersifat ritual / upacara. Dalam penggunaannya yang terakhir, tentu saja kedatangan Kristus membatalkannya. Dalam penggunaanya yang pertama, seluruh kewajibannya telah dipindahkan pada hari Tuhan] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 388-389.

Catatan: bagian yang saya garis-bawahi itu agak sukar dimengerti. Mungkin maksudnya adalah sebagai berikut: yang ditekankan dari kata ‘Sabat’ dalam Kol 2:16-17 ini, sama seperti dengan kata-kata ‘hari raya’ dan ‘bulan baru’, adalah aspek / sudut korbannya (pada hari Sabat ada pengorbanan binatang; itu yang ditekankan, bukan peraturan Sabatnya). Semua ini memang merupakan type, sedangkan wujudnya / anti-typenya adalah Kristus.

 

2.   Ro 14:5-6,10,13 - “(5) Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri. (6) Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah. ... (10) Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. ... (13) Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung!”.

 

Matthew Henry: “Those who thought themselves still under some kind of obligation to the ceremonial law esteemed one day above another - kept up a respect to the times of the passover, pentecost, new moons, and feasts of tabernacles; thought those days better than other days, and solemnized them accordingly with particular observances, binding themselves to some religious rest and exercise on those days. Those who knew that all these things were abolished and done away by Christ’s coming esteemed every day alike. We must understand it with an exception of the Lord’s day, which all Christians unanimously observed; but they made no account, took no notice, of those antiquated festivals of the Jews. Here the apostle speaks of the distinction of meats and days as a thing indifferent, when it went no further than the opinion and practice of some particular persons, who had been trained up all their days to such observances, and therefore were the more excusable if they with difficulty parted with them. But in the epistle to the Galatians, where he deals with those that were originally Gentiles, but were influenced by some judaizing teachers, not only to believe such a distinction and to practise accordingly, but to lay a stress upon it as necessary to salvation, and to make the observance of the Jewish festivals public and congregational, here the case was altered, and it is charged upon them as the frustrating of the design of the gospel, falling from grace, Gal. 4:9-11. The Romans did it out of weakness, the Galatians did it out of wilfulness and wickedness; and therefore the apostle handles them thus differently. This epistle is supposed to have been written some time before that to the Galatians. The apostle seems willing to let the ceremonial law wither by degrees, and to let it have an honourable burial; now these weak Romans seem to be only following it weeping to its grave, but those Galatians were raking it out of its ashes” (= Mereka yang berpikir bahwa diri mereka masih berada di bawah kewajiban tertentu pada hukum ceremonial, menilai satu hari lebih dari yang lainnya - memelihara rasa hormat terhadap masa-masa Paskah, Pentakosta, bulan-bulan baru, dan hari raya pondok daun; menganggap hari-hari itu lebih baik / penting dari hari-hari yang lain, dan sesuai dengan pandangan itu menguduskan hari-hari itu dengan pemeliharaan khusus, mengikat diri mereka sendiri pada istirahat dan aktivitas agamawi tertentu pada hari-hari itu. Mereka yang mengerti bahwa semua hal-hal ini telah dicabut / dibatalkan dan disingkirkan oleh kedatangan Kristus menganggap setiap hari sama. Kita harus mengerti ini dengan perkecualian tentang hari Tuhan, yang secara sepakat dipelihara oleh semua orang Kristen; tetapi mereka memperhatikan hari-hari raya Yahudi kuno itu. Di sini sang rasul berbicara tentang perbedaan tentang daging dan hari sebagai suatu hal yang tidak penting, dimana itu bukan lain adalah pandangan dan praktek dari beberapa orang-orang tertentu, yang telah dididik seumur hidup mereka pada pemeliharaan-pemeliharaan seperti itu, dan karena itu lebih mudah dimaafkan jika mereka sukar berpisah dengan hal itu. Tetapi dalam surat Galatia, dimana ia menangani mereka yang asal usulnya adalah orang non Yahudi, tetapi telah dipengaruhi oleh beberapa guru agama Yahudi, yang bukan hanya mempercayai perbedaan seperti itu dan mempraktekkannya, tetapi menekankannya sebagai sesuatu yang perlu untuk keselamatan, dan membuat pemeliharaan hari-hari raya Yahudi itu bersifat umum dan jemaat, di sini kasusnya berubah, dan dituduhkan kepada mereka sebagai menggagalkan rencana / tujuan dari injil, jatuh dari kasih karunia / murtad, Gal 4:9-11. Orang-orang Roma melakukannya dari kelemahan, orang-orang Galatia melakukannya dari kesengajaan dan kejahatan; dan karena itu sang rasul menangani mereka secara berbeda. Surat ini (Roma) diduga / dianggap telah ditulis beberapa waktu sebelum surat Galatia. Sang rasul kelihatannya mau untuk membiarkan hukum ceremonial menjadi layu perlahan-lahan, dan membiarkannya mendapatkan penguburan yang terhormat; orang-orang Roma yang lemah ini kelihatannya hanya mengikutinya dengan menangis sampai pada kuburnya, tetapi orang-orang Galatia itu menggaruknya dari abunya).

 

Barnes’ Notes: “The question has been agitated whether the apostle intends in this to include the Christian Sabbath. Does he mean to say that it is a matter of ‘indifference’ whether this day be observed, or whether it be devoted to ordinary business or amusements? This is a very important question in regard to the Lord’s day. That the apostle did not mean to say that it was a matter of indifference whether it should be kept as holy, or devoted to business or amusement, is plain from the following considerations. (1) the discussion had reference only to the special customs of the ‘Jews,’ to the rites and practices which ‘they’ would attempt to impose on the Gentiles, ... The inquiry pertained to ‘meats,’ and festival observances among the Jews, and to their scruples about partaking of the food offered to idols, etc.; and there is no more propriety in supposing that the subject of the Lord’s day is introduced here than that he advances principles respecting ‘baptism’ and ‘the Lord’s supper.’ (2) the ‘Lord’s day’ was doubtless observed by ‘all’ Christians, whether converted from Jews or Gentiles; see 1 Cor. 16:2; Acts 20:7; Rev. 1:10; compare the notes at John 20:26. The propriety of observing ‘that day’ does not appear to have been a matter of controversy. The only inquiry was, whether it was proper to add to that the observance of the Jewish Sabbaths, and days of festivals and fasts” [= Ada pertanyaan yang mengganggu apakah sang rasul bermaksud dengan ini untuk mencakup Sabat Kristen. Apakah ia bermaksud untuk mengatakan bahwa merupakan sesuatu yang tidak penting apakah hari ini dipelihara, atau apakah itu digunakan untuk bisnis dan hiburan biasa? Ini merupakan pertanyaan yang sangat penting berkenaan dengan hari Tuhan. Bahwa sang rasul tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa merupakan sesuatu yang tidak penting apakah itu (hari Minggu) harus dipelihara sebagai hari yang kudus, atau digunakan untuk bisnis atau hiburan, adalah jelas dari pertimbangan-pertimbangan berikut. (1) diskusi itu hanya berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan / tradisi-tradisi khusus dari ‘orang-orang Yahudi’, dengan upacara-upacara dan praktek-praktek yang mereka usahakan untuk dipaksakan terhadap orang-orang non Yahudi, ... Penyelidikan / pertanyaan ini mengenai ‘daging’, dan pemeliharaan hari-hari raya / perayaan di antara orang-orang Yahudi, dan keberatan mereka tentang ambil bagian terhadap makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala, dsb.; dan sama tidak cocoknya untuk menganggap bahwa pokok tentang hari Tuhan diajukan di sini dengan bahwa ia (Paulus) mengajukan prinsip-prinsip tentang ‘baptisan’ dan ‘Perjamuan Kudus’. (2) tak diragukan bahwa ‘hari Tuhan’ dipelihara oleh ‘semua’ orang-orang kristen, apakah dipertobatkan dari kalangan Yahudi atau non Yahudi; lihat 1Kor 16:2; Kis 20:7; Wah 1:10; bandingkan dengan catatan pada Yoh 20:26. Kepatutan / kebenaran tentang pemeliharaan ‘hari itu’ tidak merupakan persoalan kontroversi. Satu-satunya pertanyaan adalah, apakah merupakan sesuatu yang benar untuk menambahkan pada itu pemeliharaan terhadap Sabat-Sabat Yahudi, dan hari-hari perayaan dan puasa].

 

Catatan: saya menganggap bagian yang saya garis bawahi sebagai sesuatu yang sangat bagus, dan karena itu akan saya perjelas dengan kata-kata saya sendiri. Barnes mengatakan bahwa text Ro 14:5-6 ini berkenaan dengan 2 hal, yaitu pandangan tentang ‘hari’, dan pandangan tentang ‘makanan’. Keduanya berkenaan dengan agama Yahudi. Yang tentang ‘hari’, berurusan dengan Sabat Yahudi dan hari-hari raya maupun puasa mereka, dan yang tentang ‘makanan’ berkenaan dengan makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala. Kalau yang tentang ‘hari’ diterapkan pada Sabat Kristen / hari Minggu, itu sama salahnya dengan kalau yang tentang ‘makanan’ diterapkan pada Perjamuan Kudus.

 

3.   Gal 4:7-11 - “(7) Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah. (8) Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. (9) Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh [KJV: ‘elements’ (= elemen-elemen)] dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah sia-sia”.

 

Baik Adam Clarke maupun Barnes menganggap bahwa istilah-istilah dalam text Galatia ini berkenaan dengan Sabat Yahudi dan hari-hari raya Yahudi.

 

Tentang ketiga text di atas perhatikan komentar / penafsiran R. L. Dabney di bawah ini.

R. L. Dabney: “The facts in which all are agreed, which explain the Apostle’s meaning in these passages, are these: After the establishment of the new dispensation, the Christian converted from among the Jews had generally combined the practice of Judaism with the forms of Christianity. They observed the Lord’s day, baptism, and the Lord’s supper; but they also continued to keep the seventh day, the passover, and circumcision. At first it was proposed by them to enforce this double system on all Gentile Christian; but this project was rebuked by the meeting of apostles and elders at Jerusalem, recorded in Acts 15. A large part, however, of the Jewish Christians, out of whom ultimately grew the Ebionite sect, continued to observe the forms of both dispensations; and restless spirits among the mixed churches of Jewish and Gentile converts planted by Paul, continued to attempt their enforcement on Gentiles also; some of them conjoining with this Ebionite theory the graver heresy of a justification by ritual observances. Thus, at this day, this spectacle was exhibited. In the mixed churches of Asia Minor and the West, some brethren went to the synagogue on Saturday, and to the church-meeting on Sunday, keeping both days religiously; while some kept only Sunday. Some felt bound to keep all the Jewish festivals and fasts, while others paid them no regard. And those who had not Christian light to apprehend these Jewish observances as non-essentials, found their consciences burdened or offended by the diversity. It was to quiet this trouble that the apostle wrote these passages. ... We, however, further assert, that by the beggarly elements of ‘days,’ ‘months,’ ‘times,’ ‘years,’ ‘holy-days,’ ‘new-moons,’ ‘Sabbath-days,’ the apostle means Jewish festivals, and those alone. The Christian’s festival, Sunday, is not here in question; because about the observance of this there was no dispute nor diversity in the Christian churches. Jewish and Gentile Christians alike consented universally in its sanctification. When Paul asserts that the regarding of a day, or the not regarding it, is a non-essential, like the eating or not eating of meats, the natural and fair interpretation is, that he means those days which were in debate, and no others. When he implies that some innocently ‘regarded every day alike,’ we should understand, every one of those days which were subjects of diversity - not the Christians’ Sunday, about which there was no dispute” (= Fakta-fakta dalam mana semua orang setuju, yang menjelaskan maksud dari sang Rasul dalam text-text ini adalah ini: Setelah penegakan dari sistim agama yang baru, orang Kristen yang bertobat dari antara orang-orang Yahudi pada umumnya mengombinasikan praktek dari agama Yahudi dengan bentuk-bentuk dari kekristenan. Mereka memelihara / menghormati hari Tuhan, baptisan, dan Perjamuan Kudus; tetapi mereka juga terus memelihara hari ketujuh, Paskah, dan sunat. Mula-mula mereka bermaksud untuk memaksakan sistim ganda ini terhadap semua orang Kristen non Yahudi; tetapi rancangan ini dikecam oleh pertemuan rasul-rasul dan tua-tua di Yerusalem, yang dicatat dalam Kis 15. Tetapi sebagian besar dari orang-orang kristen Yahudi, dari mana akhirnya tumbuh sekte Ebionite, terus memelihara bentuk-bentuk dari kedua sistim agama; dan roh-roh yang resah di antara gereja-gereja campuran dari petobat-petobat Yahudi dan non Yahudi yang ditanam oleh Paulus, terus berusaha untuk memaksa orang-orang non Yahudi juga; sebagian dari mereka bergabung dengan teori Ebionite ini yang merupakan kesesatan yang lebih berat dari pembenaran oleh ketaatan ritual. Maka, pada saat ini, tontonan ini ditunjukkan. Dalam gereja-gereja campuran Asia Kecil dan di Barat, sebagian saudara-saudara pergi ke sinagog pada hari Sabtu, dan ke pertemuan / kebaktian gereja pada hari Minggu, memelihara kedua hari secara agamawi; sementara sebagian hanya memelihara hari Minggu. Sebagian merasa harus memelihara semua hari-hari raya dan hari-hari puasa Yahudi, sedangkan yang lain tidak mempedulikannya. Dan mereka yang tidak mempunyai terang Kristen untuk memahami bahwa pemeliharaan Yahudi ini sebagai sesuatu yang tidak penting, mendapati bahwa hati-hati nurani mereka dibebani atau tersinggung / tersandung oleh perbedaan ini. Untuk menenangkan problem inilah maka sang rasul menulis text-text ini. ... Tetapi kami selanjutnya menegaskan, bahwa dengan elemen-elemen / roh-roh yang miskin dari ‘hari-hari’, ‘bulan-bulan’, ‘masa-masa’, ‘tahun-tahun’, ‘hari-hari kudus / raya’, ‘bulan-bulan baru’, ‘hari-hari Sabat’, sang rasul memaksudkan hari-hari raya Yahudi, dan hanya hari-hari raya Yahudi itu saja. Hari raya Kristen, hari Minggu, tidak dipertanyakan / dipersoalkan di sini; karena tentang pemeliharaan terhadap hari ini tidak ada perdebatan ataupun perbedaan dalam gereja-gereja Kristen. Orang-orang kristen Yahudi maupun non Yahudi sama-sama setuju secara universal tentang pengudusan hari itu. Pada waktu Paulus menegaskan bahwa ‘menghormati suatu hari’, atau ‘tidak menghormati suatu hari’ merupakan hal yang tidak penting, seperti ‘makan daging’ atau ‘tidak makan daging’, penafsiran yang alamiah / wajar dan adil adalah bahwa ia memaksudkan hari-hari yang diperdebatkan, dan bukan hari-hari yang lain. Pada waktu ia secara implicit mengatakan bahwa sebagian secara tidak bersalah ‘menganggap semua hari sama’, kita harus mengertinya bahwa ia memaksudkan setiap hari dari hari-hari itu yang merupakan pokok perbedaan - bukan hari Minggunya orang Kristen, tentang mana di sana tidak ada perdebatan) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 385-386.

 

Kesimpulan: ketiga text di atas (Kol 2:16-17  Ro 14:5-6  Gal 4:9-11) berbicara tentang hari-hari raya dalam agama Yahudi, bukan tentang hari Sabat Kristen (Minggu), dan karena itu tidak bisa digunakan untuk mengatakan bahwa hari Sabat Kristen ditiadakan. Jelas bahwa text-text ini juga tidak bisa digunakan untuk menentang perayaan Natal, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang.

 

c)   Sabat merupakan type dari istirahat di surga, dan karena itu tidak mungkin dihapuskan sebelum anti type / penggenapannya terjadi.

 

Adam Clarke: “The word shabaat signifies ‘rest or cessation from labour,’ and the sanctification of the seventh day is commanded, ... for it typifies the rest which remains for the people of God, and in this light it evidently appears to have been understood by the apostle, Heb. 4. Because this commandment has not been particularly mentioned in the New Testament as a moral precept that is binding on all, therefore some have presumptuously inferred that there is no Sabbath under the Christian dispensation. The truth is, the Sabbath is considered as a type: All types are of full force till the thing signified by them takes place; but the thing signified by the Sabbath is that rest in glory which remains for the people of God, therefore the moral obligation of the Sabbath must continue till time be swallowed up in eternity (= Kata SHABAAT berarti ‘istirahat atau berhenti dari pekerjaan’, dan pengudusan hari ketujuh diperintahkan, ... karena itu merupakan type dari istirahat yang tertinggal bagi umat Allah, dan jelas dalam terang ini itu terlihat telah dimengerti oleh sang rasul, Ibr 4. Karena perintah ini tidak disebutkan secara khusus dalam Perjanjian Baru sebagai perintah moral yang mengikat semua orang, maka sebagian orang secara lancang menyimpulkan bahwa tidak ada Sabat dalam sistim Kristen. Kebenarannya adalah, Sabat dianggap sebagai type: Semua type berlaku sampai hal yang dibayangkan olehnya terjadi; tetapi hal yang dibayangkan oleh Sabat adalah istirahat dalam kemuliaan yang tertinggal bagi umat Allah, dan karena itu, kewajiban Sabat harus terus berlaku sampai waktu ditelan dalam kekekalan).

 

Ibr 4:4-11 - “(4) Sebab tentang hari ketujuh pernah dikatakan di dalam suatu nas: ‘Dan Allah berhenti pada hari ketujuh dari segala pekerjaanNya.’ (5) Dan dalam nas itu kita baca: ‘Mereka takkan masuk ke tempat perhentianKu.’ (6) Jadi sudah jelas, bahwa ada sejumlah orang akan masuk ke tempat perhentian itu, sedangkan mereka yang kepadanya lebih dahulu diberitakan kabar kesukaan itu, tidak masuk karena ketidaktaatan mereka. (7) Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu ‘hari ini’, ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: ‘Pada hari ini, jika kamu mendengar suaraNya, janganlah keraskan hatimu!’ (8) Sebab, andaikata Yosua telah membawa mereka masuk ke tempat perhentian, pasti Allah tidak akan berkata-kata kemudian tentang suatu hari lain. (9) Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah. (10) Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat perhentianNya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari pekerjaanNya. (11) Karena itu baiklah kita berusaha untuk masuk ke dalam perhentian itu, supaya jangan seorangpun jatuh karena mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga”.

 

Memang type hanya berlaku sampai anti-typenya / penggenapannya terjadi. Contoh: korban binatang untuk dosa merupakan type dari Kristus yang dikorbankan untuk dosa kita. Pada waktu Kristus telah dikorbankan di atas kayu salib, maka typenya dihapuskan. Demikian juga imam merupakan type dari Kristus sebagai pengantara. Pada saat Kristus telah datang, mati di salib, maka imam harus disingkirkan.

Tetapi karena Sabat merupakan type dari istirahat di surga, itu belum terjadi / tergenapi sampai kita masuk surga. Karena itu, kewajiban berkenaan dengan Sabat terus berlaku.

 

Bahwa hari Sabat, yang diubah dari Sabtu ke Minggu setelah kebangkitan Kristus, berlaku sampai akhir jaman, juga dinyatakan dalam Westminster Confession of Faith.

 

Westminster Confession of Faith: As it is the law of nature, that, in general, a due proportion of time be set apart for the worship of God; so, in His Word, by a positive, moral, and perpetual commandment binding all men in all ages, He hath particularly appointed one day in seven, for a Sab­bath, to be kept holy unto him: which, from the beginning of the world to the ressurection of Christ, was the last day of the week; and, from the ressurection of Christ, was changed into the first day of the week, which, in Scripture, is called the Lord’s Day, and is to be continued to the end of the world, as the Christian Sabbath (= belum diterjemahkan ) - Chapter XXI, No 7.

 

III) Larangan dan keharusan pada hari Sabat.

Kel 20:8-11 - “(8) Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: (9) enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, (10) tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. (11) Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya”.

 

Ay 8 mengatakan bahwa kita harus mengingat dan menguduskan hari Sabat.

Arti kata ‘kudus’:

Misalnya:

*        bangsa Israel disebut sebagai bangsa yang kudus (Im 20:24,26).

*        orang Kristen disebut sebagai orang kudus (Ef 1:1  1Pet 2:9).

*        bangsa Israel adalah bangsa milik Allah (Im 20:26).

*        orang Kristen juga menjadi milik Allah (1Pet 2:9).

 

Kalau kita diperintahkan untuk menguduskan hari Sabat, maka itu berarti kita harus memisahkan hari Sabat dari hari-hari yang lain, atau kita harus membedakan hari Sabat dari hari-hari yang lain (arti 1), dan kita harus menggunakan hari Sabat itu untuk Tuhan (arti 2).

 

Apa tindakan yang dilarang dan yang harus dilakukan untuk menguduskan hari Sabat itu?

 1.   Pada hari Sabat, kita dilarang bekerja.

Pada hari-hari biasa, kita bekerja, dan kita harus membedakan hari Sabat, dengan tidak bekerja pada hari itu. Kalau kita tetap bekerja pada hari Sabat, maka kita menyamakan hari itu dengan hari-hari yang lain, dan itu berarti kita tidak menguduskannya.

 

Harold H. P. Dressler: “A holy day is profaned when it is considered like any other day, lacking any special significance. Such profaning can be done if one continue to work on the Sabbath as one does on any other day” (= Hari yang kudus dicemarkan pada waktu hari itu dianggap seperti hari yang lain, tanpa ada suatu arti yang khusus. Pencemaran seperti itu bisa dilakukan jika seseorang terus bekerja pada hari Sabat seperti yang ia lakukan pada hari yang lain) - D. A. Carson (Editor), ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 27.

 

2.   Pada hari Sabat, kita harus berbakti kepada Tuhan (untuk ini perhatikan bagian-bagian yang saya beri garis bawah ganda dari ayat-ayat di atas).

 

D. L. Moody: “Men seem to think they have a right to change the holy day into a holiday” (= Manusia kelihatannya mengira bahwa mereka mempunyai hak untuk mengubah hari yang kudus menjadi hari libur) - ‘D. L. Moody On The Ten Commandments’, hal 58.

 

Sekarang, mari kita menyoroti kedua hal di atas dengan lebih terperinci:

 

1)   Larangan bekerja pada hari Sabat.

 

a)         Penambahan peraturan / larangan Sabat oleh orang-orang Yahudi.

Hukum hari Sabat ditambahi dengan begitu banyak larangan dan peraturan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Ini bisa kita lihat dari kutipan-kutipan dari William Barclay di bawah ini.

 

·        banyaknya peraturan orang-orang Yahudi tentang hari Sabat.

 

William Barclay (tentang Yoh 3:1-6): “In the Bible itself we are simply told that we must remember the Sabbath day to keep it holy and that on that day no work must be done, either by a man or by his servants or his animals. Not content with that, the later Jews spent hour after hour and generation after generation defining what work is and listing the things that may and may not be done on the Sabbath day. The Mishnah is the codified scribal law. The scribes spent their lives working out these rules and regulations. In the Mishnah the section on the Sabbath extends to no fewer than twenty-four chapters. The Talmud is the explanatory commentary on the Mishnah, and in the Jerusalem Talmud the section explaining the Sabbath law runs to sixty-four and a half columns; and in the Babylonian Talmud it runs to one hundred and fifty-six double folio pages. And we are told about a rabbi who spent two and a half years in studying one of the twenty-four chapters of the Mishnah” (= Dalam Alkitab sendiri kita hanya diberitahu bahwa kita harus mengingat hari Sabat dan menguduskannya dan bahwa pada hari itu tidak ada pekerjaan yang boleh dilakukan, apakah oleh seorang manusia atau oleh pelayan-pelayannya atau binatang-binatangnya. Tidak puas dengan itu, orang-orang Yahudi belakangan menghabiskan jam demi jam dan generasi demi generasi untuk mendefinisikan apakah pekerjaan itu dan membuat daftar hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat. Mishnah merupakan hukum dari ahli-ahli Taurat yang telah disusun dalam sebuah buku. Ahli-ahli Taurat menghabiskan hidup mereka untuk menyusun / menentukan peraturan-peraturan ini. Dalam Mishnah bagian / bab tentang hari Sabat mencapai tidak kurang dari 24 pasal. Kitab Talmud merupakan buku tafsiran yang menjelaskan tentang Mishnah, dan dalam Talmud Yerusalem bagian / bab yang menjelaskan tentang hari Sabat mencapai 64,5 kolom / artikel; dan dalam Talmud Babilonia itu mencapai 156 halaman dobel-folio. Dan kita diberi tahu tentang seorang rabi yang menghabiskan 2,5 tahun untuk mempelajari satu dari 24 pasal dari Mishnah) - hal 121.

 

William Barclay (tentang Mat 5:17-20): “The Scribes were the men who worked out these rules and regulations. The Pharisees, whose names means The Separated Ones, were the men who had separated themselves from all the ordinary activities of life to keep all these rules and regulations. We can see the length to which this went from the following facts. For many generations this Scribal Law was never written down; it was the oral law, and it was handed down in the memory of generations Scribes. In the middle of the third century A. D. a summary of it was made and codified. That summary is known as the Mishnah; it contains sixty-three tractates on various subjects of the Law, and in English makes a book of almost eight hundred pages. Later Jewish scholarship busied itself with making commentaries to explain the Mishnah. These commentaries are known as the Talmuds. Of the Jerusalem Talmud there are twelve printed volumes; and of the Babylonian Talmud there are sixty printed volumes. To the strict orthodox Jew, in the time of Jesus, religion, serving God, was a matter of keeping thousands of legalistic rules and regulations; they regarded these petty rules and regulations as literally matters of life and death and eternal destiny” (= Ahli-ahli Taurat adalah orang-orang yang menyusun peraturan-peraturan ini. Orang-orang Farisi, yang namanya berarti ‘orang-orang yang terpisah’, adalah orang-orang yang memisahkan diri mereka sendiri dari semua aktivitas kehidupan biasa untuk mentaati semua peraturan-peraturan itu. Kita bisa melihat panjangnya peraturan-peraturan itu dari fakta-fakta yang berikut ini. Selama beberapa generasi, hukum dari ahli-ahli Taurat ini tidak pernah dituliskan; itu merupakan hukum lisan, dan diturunkan dalam ingatan dari generasi-generasi ahli-ahli Taurat. Pada pertengahan abad ketiga Masehi suatu ringkasan darinya dibuat dan disusun. Ringkasan itu dikenal sebagai Mishnah; itu terdiri dari 63 traktat tentang bermacam-macam pokok hukum Taurat, dan dalam bahasa Inggris menjadi sebuah buku yang terdiri dari hampir 800 halaman. Ahli-ahli theologia Yahudi selanjutnya menyibukkan dirinya sendiri dengan membuat tafsiran-tafsiran untuk menjelaskan Mishnah. Tafsiran-tafsiran ini dikenal sebagai Talmud. Talmud Yerusalem terdiri dari 12 volume; dan Talmud Babilonia terdiri dari 60 volume. Bagi seorang Yahudi orthodox, pada jaman Yesus, agama dan pelayanan kepada Allah merupakan persoalan ketaatan terhadap ribuan peraturan-peraturan legalistik; mereka menganggap peraturan-peraturan remeh / picik ini secara hurufiah sebagai persoalan hidup atau mati dan tujuan kekal) - hal 129-130.

 

·        larangan membawa ‘beban’ dan mempersiapkan makanan.

 

William Barclay (tentang Mat 12:1-8): “The Sabbath Law was very complicated and very detailed. The commandment forbids work on the Sabbath day; but the interpreters of the Law were not satisfied with that simple prohibition. Work had to be defined. So thirty-nine basic actions were laid down, which were forbidden on the Sabbath, and amongst them were reaping, winnowing, and threshing, and preparing a meal. The interpreters were not even prepared to leave the matter there. Each item in the list of forbidden works had to be carefully defined. For instance, it was forbidden to carry a burden. But what is a burden? A burden is anything which weighs as much as two dried figs. ... Later the great Jewish teacher, Maimonides, was to say, ‘To pluck ears is a kind of reaping.’ By their conduct the disciples were guilty of far more than one breach of the Law. By plucking the corn they were guilty of reaping; by rubbing it in their hands they were guilty of threshing; by separating the grain and the chaff they were guilty of winnowing; and by the whole process they were guilty of preparing a meal on the Sabbath day, for everything which was to be eaten on the Sabbath had to be prepared the day before” (= Hukum hari Sabat sangat rumit dan sangat terperinci, Hukum itu melarang pekerjaan pada hari Sabat; tetapi para penafsir dari hukum Taurat tidak puas dengan larangan yang sederhana itu. Pekerjaan harus didefinisikan. Jadi, 39 tindakan dasar ditetapkan, yang dilarang pada hari Sabat, dan diantaranya adalah menuai, menampi, dan mengirik, dan mempersiapkan makanan. Para penafsir bahkan tidak siap untuk meninggalkan persoalan itu di sana. Setiap hal dari pekerjaan-pekerjaan yang dilarang harus didefinisikan dengan teliti. Sebagai contoh, merupakan sesuatu yang dilarang untuk membawa beban. Tetapi apakah beban itu? Beban adalah apapun yang sama beratnya dengan 2 buah ara kering. Belakangan guru besar Yahudi, Maimonides, berkata, ‘Memetik bulir gandum merupakan semacam penuaian’. Oleh tingkah laku mereka, para murid bersalah dengan melakukan lebih dari satu pelanggaran terhadap hukum Taurat. Dengan memetik bulir gandum, mereka bersalah karena menuai; dengan menggosok-gosoknya dalam tangan mereka, mereka bersalah karena mengirik; dengan memisahkan gandum dari sekamnya, mereka bersalah karena menampi; dan dengan seluruh proses mereka bersalah karena mempersiapkan makanan pada hari Sabat, karena segala sesuatu yang akan dimakan pada hari Sabat harus dipersiapkan pada hari sebelumnya) - hal 22.

 

William Barclay (tentang Mat 5:17-20): “The Law lays it down that the Sabbath Day is to be kept holy, and that on it no work is to be done. That is a great principle. But the Jewish legalists had a passion for definition. So they asked: What is work? All kinds of things were classified as work. For instance, to carry a burden on the Sabbath Day is to work. But next a burden has to be defined. So the Scribal Law lays it down that a burden is ‘food equal in weight to a dried fig, enough wine for making a goblet, milk enough for one swallow, honey enough to put upon a wound, oil enough to anoint a small member, water enough to moisten an eye-salve, paper enough to write a customs house notice upon, ink enough to write two letters of the alphabet, reed enough to make a pen’ - and so on endlessly. So they spent endless hours arguing whether a man could or could not lift a lamp from one place to another on the Sabbath, whether a tailor committed a sin if he went out with a needle in his robe, whether a woman might wear a brooch or false hair, even if a man might go out on the Sabbath with artificial teeth or an artificial limb, if a man might lift his child on the Sabbath Day. These things to them were the essence of religion. Their religion was a legalism of petty rules and regulations” [= Hukum Taurat menetapkan bahwa hari Sabat harus dikuduskan, dan bahwa pada hari itu tidak ada pekerjaan yang boleh dilakukan. Itu merupakan prinsip yang besar. Tetapi para legalist Yahudi senang mendefinisikan. Karena itu mereka bertanya: Apakah pekerjaan itu? Semua jenis hal-hal digolongkan sebagai pekerjaan. Misalnya, membawa beban pada hari Sabat adalah bekerja. Tetapi selanjutnya ‘beban’ itu harus didefinisikan. Maka hukum dari ahli-ahli Taurat menetapkan bahwa ‘beban’ adalah ‘makanan yang sama beratnya dengan sebuah buah ara kering, anggur yang cukup untuk membuat satu gelas minuman, susu yang cukup untuk satu teguk, madu cukup untuk diberikan pada suatu luka, minyak cukup untuk mengurapi anggota yang kecil, air cukup untuk membasahkan salep mata, kertas cukup untuk menuliskan pemberitahuan suatu rumah cukai (?), tinta cukup untuk menuliskan 2 huruf dari alfabet, bambu cukup untuk membuat sebuah pena’, dan seterusnya tanpa ada akhirnya. Demikianlah mereka menghabiskan banyak waktu untuk berdebat apakah seseorang boleh atau tidak boleh mengangkat sebuah lampu dari satu tempat ke tempat lain pada hari Sabat, apakah seorang penjahit melakukan dosa jika ia pergi keluar dengan sebuah jarum dalam jubahnya, apakah seorang perempuan boleh memakai bros atau rambut palsu, bahkan apakah seseorang boleh pergi keluar pada hari Sabat dengan gigi palsu atau kaki palsu, apakah seseorang boleh mengangkat anaknya pada hari Sabat. Hal-hal ini bagi mereka merupakan inti dari agama. Agama mereka adalah suatu legalisme yang terdiri dari peraturan-peraturan yang picik / remeh] - hal 128.

Catatan: di sini ia mengatakan sebuah buah ara kering, tadi ia mengatakan 2 buah ara kering. Entah yang mana yang benar.

 

William Barclay (tentang Yoh 5:10-18): “the Rabbis of Jesus’s day solemnly argued that a man was sinning if he carried a needle in his robe on the Sabbath. They even argued as to whether he could wear his artificial teeth or his wooden leg. They were quite clear that any kind of brooch could not be worn on the Sabbath” (= para Rabi pada jaman Yesus berargumentasi dengan khidmat bahwa seseorang berdosa jika ia membawa sebuah jarum di jubahnya pada hari Sabat. Mereka bahkan berargumentasi berkenaan dengan apakah seseorang boleh menggunakan gigi palsunya atau kaki kayunya. Mereka yakin bahwa bros dari jenis apapun tidak boleh dipakai pada hari Sabat) - hal 182.

 

·        larangan bepergian / melakukan perjalanan jauh.

 

William Barclay (tentang Yoh 3:1-6): “... journeying on the Sabbath. Exodus 16:29 says: ‘Remain every man of you in his place; let no man go out of his place on the seventh day.’ A Sabbath day’s journey was therefore limited to two thousand cubits, that is, one thousand yards” (= ... mengadakan perjalanan pada hari Sabat. Keluaran 16:29 mengatakan ‘Tinggallah kamu di tempatmu masing-masing, seorangpun tidak boleh keluar dari tempatnya pada hari ketujuh itu’. Karena itu perjalanan pada hari Sabat dibatasi pada 2000 hasta, yaitu 1000 yard) - hal 122.

Catatan: 1 yard = 3 kaki (kira-kira 91,5 cm).

 

William Barclay (tentang Kis 1:12-20): “For the Jew, the Sabbath was entirely a day of rest when all work was forbidden. A journey was limited to 2.000 cubits and that distance was called a Sabbath day’s journey. A cubit was eighteen inches; so a Sabbath day’s journey was rather more than half a mile” (= Bagi seorang Yahudi, hari Sabat sepenuhnya merupakan hari istirahat dimana semua pekerjaan dilarang. Suatu perjalanan dibatasi sampai 2000 hasta dan jarak itu disebut sehari-perjalanan Sabat. Satu hasta adalah 18 inci; jadi sehari-perjalanan Sabat adalah sedikit lebih dari setengah mil) - hal 15.

Catatan: 1 inci = 2,54 cm; sehingga berdasarkan kata-kata Barclay ini, jarak yang boleh ditempuh pada hari Sabat hanyalah sekitar 914 meter.

 

Barnes’ Notes (tentang Mat 24:20): “Long journeys were prohibited by the law on the Sabbath, Exo. 16:29. The law of Moses did not mention the distance to which persons MIGHT go on the Sabbath, but most of the Jews maintained that it should not be more than 2000 cubits. Some supposed that it was 7 furlongs, or nearly a mile. This distance was allowed in order that they might go to their places of worship. Most of them held that it was not lawful to go further, under any circumstances of war or affliction” (= Perjalanan jauh dilarang oleh hukum tentang Sabat, Kel 16:29. Hukum Taurat Musa tidak menyebutkan jarak yang boleh ditempuh seseorang pada hari Sabat, tetapi kebanyakan orang Yahudi menyatakan bahwa itu tidak boleh lebih dari 2000 hasta. Sebagian menganggap bahwa itu adalah 7 furlong, atau hampir 1 mil. Jarak ini diijinkan supaya mereka bisa pergi ke tempat ibadah. Kebanyakan dari mereka mempercayai bahwa tidak diijinkan untuk pergi lebih jauh, dalam keadaan apapun dari perang atau penderitaan).

Catatan:

*        Webster’s New World Dictionary mengatakan bahwa 1 furlong = 220 yards, atau sekitar 200 meter. Jadi 7 furlong = 1,4 km.

*        Kel 16:29 - “Perhatikanlah, TUHAN telah memberikan sabat itu kepadamu; itulah sebabnya pada hari keenam Ia memberikan kepadamu roti untuk dua hari. Tinggallah kamu di tempatmu masing-masing, seorangpun tidak boleh keluar dari tempatnya pada hari ketujuh itu.’”.

Sebetulnya Kel 16:29 sama sekali tidak bisa diartikan bahwa seseorang tak boleh pergi jauh, apalagi bahwa seseorang tak boleh keluar rumah pada hari Sabat. Ayat itu harus ditafsirkan berdasarkan / dengan melihat kontextnya. Jadi artinya, pada hari Sabat mereka tak boleh keluar rumah untuk mencari manna.

 

·        larangan mengobati / menyembuhkan.

 

William Barclay (tentang Mat 12:9-14): “The Law quite definitely forbade healing on the Sabbath. It was true that the Law clearly laid it down that ‘every case when life is in danger supersedes the Sabbath Law.’ This was particularly the case in diseases of the ear, the nose, the throat and the eyes. But even then it was equally clearly laid down that steps could be taken to keep a man from getting worse, but not to make him better. So a plain bandage might be put on a wound, but not a medicated bandage, and so on” (= Hukum Taurat dengan cukup pasti melarang penyembuhan pada hari Sabat. Memang benar bahwa hukum Taurat dengan jelas menetapkan bahwa ‘setiap kasus dimana nyawa ada dalam bahaya menyingkirkan hukum hari Sabat’. Ini khususnya seperti kasus penyakit telinga, hidung, tenggorokan, dan mata. Tetapi bahkan dalam kasus seperti itu, juga dengan sama jelasnya ditetapkan bahwa langkah-langkah bisa diambil untuk mencegah supaya orang itu jangan menjadi lebih buruk, tetapi bukan untuk membuatnya lebih baik. Jadi, perban biasa boleh diberikan pada suatu luka, tetapi bukan perban yang menggunakan obat, dan sebagainya) - hal 29.

 

William Barclay (tentang Yoh 9:13-16): “It was forbidden to heal on the Sabbath. Medical attention could be given only if life was in actual danger. Even then it must be only such as to keep the patient from getting worse, not to make him any better. For instance, a man with toothache might not suck vinegar through his teeth. It was forbidden to set a broken limb. ‘If a man’s hand or foot is dislocated he may not pour cold water over it.’ Clearly the man who was born blind was in no danger of his life; therefore Jesus broke the Sabbath when he healed him” (= Dilarang menyembuhkan pada hari Sabat. perawatan medis bisa diberikan hanya jika nyawa betul-betul ada dalam bahaya. Bahkan pada saat seperti itu pengobatan itu haruslah sedemikian rupa sehingga hanya mencegah pasien itu dari menjadi lebih buruk, bukan untuk membuatnya lebih baik. Sebagai contoh, seseorang yang sakit gigi tidak boleh menghisap cuka melalui giginya. Dilarang untuk membetulkan letak dari kaki / tangan yang patah. ‘Jika tangan atau kaki seseorang keluar dari posisinya ia tidak boleh menuangkan air dingin padanya’. Jelas bahwa orang yang dilahirkan buta itu nyawanya tidak berada dalam bahaya; karena itu Yesus melanggar hari Sabat pada waktu Ia menyembuhkannya) - hal 45.

 

William Barclay (tentang Mark 3:1-6): “It was the Sabbath day; all work was forbidden and to heal was to work. The Jewish law was definite and detailed about this. Medical attention could be given only if a life was in danger. To take some examples - a woman in childbirth might be helped on the Sabbath; an infection of the throat might be treated; if a wall fell on anyone, enough might be cleared away to see whether he was dead or alive; if he was alive he might be helped, if he was dead the body must be left until the next day. A fracture could not be attended to. Cold water might not be poured on a sprained hand or foot. A cut finger might be bandaged with a plain bandage but not with ointment. That is to say, at the most an injury could be kept from getting worse; it must not be made better” (= Itu adalah hari Sabat; semua pekerjaan dilarang, dan menyembuhkan adalah bekerja. Hukum Taurat Yahudi pasti dan terperinci tentang hal ini. Perawatan medis boleh diberikan hanya jika nyawa ada dalam bahaya. Sebagai contoh - seorang perempuan yang mau melahirkan boleh ditolong pada hari Sabat; suatu infeksi pada tenggorokan boleh dirawat / diobati; jika sebuah tembok rubuh dan menimpa seseorang, secukupnya boleh disingkirkan untuk melihat apakah ia mati atau hidup; jika ia hidup ia boleh ditolong, jika ia mati mayatnya harus dibiarkan sampai hari berikutnya. Tulang patah tidak boleh dirawat. Air dingin tidak boleh dituangkan pada tangan atau kaki yang terkilir. Jari yang teriris / terpotong boleh diperban dengan perban biasa, tetapi tanpa obat / salep. Artinya, paling-paling suatu luka boleh dicegah supaya tidak memburuk; tetapi luka itu tidak boleh dibuat menjadi lebih baik) - hal 67.

 

·        larangan menulis.

 

William Barclay (tentang Mat 5:17-20): “To write was to work on the Sabbath. But writing has to be defined. So the definition runs: ‘He who writes two letters of the alphabet with his right or with his left hand, whether of one kind or of two kinds, if they are written with different inks or in different languages, is guilty. Even if he should write two letters from forgetfulness, he is guilty, whether he has written them with ink or with paint, red chalk, vitriol, or anything which makes a permanent mark. Also he that writes on two walls that from an angle, or on two tablets of his account book so that they can be read together is guilty ... But, if anyone writes with dark fluid, with fruit juice, or in the dust of the road, or in sand, or in anything which does not make a permanent mark, he is not guilty. ... If he writes one letter on the ground, and one on the wall of the house, or on two pages of a book, so that they cannot be read together, he is not guilty.’ That is a typical passage from the Scribal Law; and that is what the orthodox Jew regarded as true religion and the true service of God” [= Menulis pada hari Sabat berarti bekerja. Tetapi ‘menulis’ perlu didefinisikan. Dan demikianlah bunyi definisinya: ‘Ia yang menulis 2 huruf dari alfabet dengan tangan kanan atau tangan kirinya, apakah dari satu jenis atau 2 jenis, jika huruf-huruf itu ditulis dengan tinta yang berbeda atau dalam bahasa yang berbeda, bersalah. Bahkan jika ia menulis 2 huruf karena lupa, ia bersalah, apakah ia telah menulis huruf-huruf itu dengan tinta atau dengan cat, kapur merah, benda tajam, atau apapun yang membuat tanda permanen. Juga ia yang menulis pada 2 dinding yang membentuk suatu sudut, atau pada 2 lembaran dari buku catatan / rekeningnya sehingga huruf-huruf itu bisa dibaca bersama-sama, ia bersalah ... Tetapi jika seseorang menulis dengan cairan gelap, dengan air buah, atau di tanah di jalanan, atau pada pasir, atau pada apapun yang tidak membuat tanda permanen, ia tidak bersalah. ... Jika ia menulis satu huruf di tanah, dan satu di dinding rumah, atau pada 2 halaman dari suatu buku, sehingga huruf-huruf itu tidak bisa dibaca bersama-sama, ia tidak bersalah’. Itulah text yang khas dari hukum dari ahli-ahli Taurat; dan itulah yang dianggap oleh seorang Yahudi orthodox sebagai agama yang benar dan pelayanan yang benar kepada Allah] - hal 129.

 

·        larangan menyalakan api / lampu.

 

William Barclay (tentang Ro 10:1-13): “To this day there are strict orthodox Jews in this country who will not poke or mend a fire on the Sabbath or switch on a light. If a fire has to be poked a Gentile is employed to do it. If a Jew is wealthy enough he will sometimes instal a time switch to switch on the lights at dusk on Sabbath without his doing so himself” [= Sampai hari ini ada orang-orang Yahudi orthodox yang ketat di negeri ini yang tidak akan memperbaiki nyala api pada hari Sabat atau menyalakan skakelar lampu. Jika api harus dikobarkan seorang non Yahudi digunakan untuk melakukannya. Jika seorang Yahudi cukup kaya, ia kadang-kadang akan memasang skakelar waktu yang akan menyalakan lampu (secara otomatis) pada sore hari pada hari Sabat tanpa ia melakukannya sendiri] - hal 137.

 

·        larangan membuat simpul.

 

William Barclay (tentang Yoh 3:1-6): “To tie a knot on the Sabbath was to work; but a knot had to be defined. ‘The following are the knots the making of which renders a man guilty; the knot of camel drivers and that of sailors; and as one is guilty by reason of tying them, so also of untying them.’ On the other hand knots which could be tied or untied with one hand were quite legal. Further, ‘a woman may tie up a slit in her shift and the strings of her cap and those of her girdle, the straps of shoes or sandals, of skins of wine and oil.’” [= Mengikat / membuat simpul pada hari Sabat adalah bekerja; tetapi suatu simpul perlu didefinisikan. ‘Yang berikut ini adalah simpul-simpul yang kalau dibuat menyebabkan seseorang bersalah; simpul dari penunggang-penunggang unta dan simpul dari pelaut; dan seseorang sama bersalahnya dengan membuat simpul maupun melepaskan / menguraikannya’. Pada sisi lain, simpul-simpul yang bisa dibuat / diikat atau dilepaskan / diuraikan dengan satu tangan adalah simpul yang sah (boleh dilakukan). Selanjutnya, ‘seorang perempuan boleh mengikat suatu celah pada pakaiannya (?) dan tali pada topi dan pada sabuknya, tali pengikat dari sepatu atau sandal, dari kantong kulit dari anggur dan minyak’] - hal 121-122.

 

·        macam-macam larangan.

William Barclay (tentang Yoh 9:13-16): “By making clay he had been guilty of working on the Sabbath when even the simplest act constituted work. Here are some of the things which were forbidden on the Sabbath. ‘A man may not fill a dish with oil and put it beside a lamp and put the end of the wick in it.’ ‘If a man extinguishes a lamp on the Sabbath to spare the lamp or the oil or the wick, he is culpable.’ ‘A man may not go out on the Sabbath with sandals shod with nails.’ (The weight of the nails would have constituted a burden, and to carry a burden was to break the Sabbath.) A man might not cut his finger nails or pull out a hair of his head or his beard. Obviously in the eyes of such a law to make clay was to work and so to break the Sabbath” (= Dengan membuat tanah liat / adukan tanah Ia telah bersalah karena bekerja pada hari Sabat dimana bahkan tindakan yang paling sederhana merupakan pekerjaan. Di sini ada beberapa hal yang dilarang pada hari Sabat. ‘Seseorang tidak boleh mengisi tempat minyak dengan minyak dan meletakkannya di sisi lampu dan memasukkan ujung sumbu ke dalamnya’. ‘Jika seseorang mematikan sebuah lampu pada hari Sabat untuk menghemat lampu atau minyak atau sumbunya, ia bersalah’. ‘Seseorang tidak boleh keluar pada hari Sabat dengan sandal yang menggunakan paku’. (Berat dari paku-paku itu merupakan suatu beban, dan membawa beban berarti melanggar hari Sabat.) Seseorang tidak boleh menggunting kuku jarinya atau mencabut rambut dari kepalanya atau janggutnya. Jelas bahwa di mata hukum seperti itu, membuat tanah liat / adukan tanah adalah bekerja dan dengan demikian melanggar hari Sabat) - hal 44-45.

 

William Barclay (tentang Mat 12:1-8): “The orthodox Jews took this Sabbath Law with intense seriousness. The Book of Jubilee has a chapter (chapter 50) about the keeping of the Sabbath. Whoever lies with his wife, or plans to do anything on the Sabbath, or plans to set out on a journey (even the contemplation of work is forbidden), or plans to buy or sell, or draws water, or lifts a burden is condemned. Any man who does any work on the Sabbath (whether the work is in his house or in any other place), or goes a journey, or tills a farm, any man who lights a fire or rides any beast, or travels by ship at sea, any man who strikes or kills anything, any man who catches an animal, a bird, or a fish, any man who fasts or who makes war on Sabbath - the man who does these things shall die” [= Orang-orang Yahudi yang orthodox memegang hukum hari Sabat ini dengan keseriusan yang sangat. Kitab Jubilee mempunyai suatu pasal (pasal 50) tentang pemeliharaan hari Sabat. Siapapun yang tidur dengan istrinya, atau merencanakan untuk melakukan apapun pada hari Sabat, atau merencanakan untuk melakukan suatu perjalanan (bahkan pemikiran tentang suatu pekerjaan dilarang), atau merencanakan untuk membeli atau menjual, atau menimba air, atau mengangkat suatu beban dikecam / dikutuk. Siapapun yang melakukan pekerjaan apapun pada hari Sabat (apakah pekerjaan itu di rumahnya atau ditempat lain manapun juga), atau melakukan perjalanan, atau mengerjakan ladangnya, setiap orang yang menyalakan api atau menunggang binatang apapun, atau bepergian dengan kapal di laut, setiap orang yang memukul atau membunuh apapun, setiap orang yang menangkap seekor binatang, seekor burung, atau seekor ikan, setiap orang yang berpuasa atau berperang pada hari Sabat - orang yang melakukan hal-hal ini harus mati] - hal 22-23.

Catatan: C. Rowland mengatakan bahwa:

*        dalam kitab Yahudi bernama Jubilees 50:6-13 dikatakan bahwa bahkan hubungan sex dilarang pada hari Sabat - ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 45.

*        puasa justru dilarang pada hari Sabat, karena hari Sabat dianggap sebagai hari pesta / perayaan. Makanan justru merupakan bagian penting dari perayaan hari Sabat - ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 50.

 

·        larangan berperang / membela diri.

William Barclay (tentang Mark 3:1-6): “a strict Jew would not even defend his life on the Sabbath” (= seorang Yahudi yang ketat bahkan tidak akan mempertahankan dirinya / nyawanya pada hari Sabat) - hal 67-68.

 

Barclay melanjutkan dengan memberi contoh-contoh dimana orang-orang Syria dan Romawi pernah mengalahkan orang-orang Yahudi dengan cara berperang pada hari Sabat, dan orang-orang Yahudi itu sama sekali tidak mau membela diri sehingga mereka dapat dibunuh dengan mudah.

 

Salah satu cerita dimana orang-orang Yahudi tidak mau berperang dan rela membiarkan diri dibunuh, karena musuh menyerang pada hari Sabat, terdapat dalam kitab Apocrypha, yaitu 1Makabe 2:31-38. Pada saat itu sekitar 1000 orang Yahudi dibunuh pada hari Sabat. Ini menyebabkan seorang Yahudi yang bernama Matatias lalu mengubah prinsip itu, dan memutuskan untuk berperang kalau diserang pada hari Sabat (1Makabe 2:41).

Catatan: kitab apocrypha tidak kita akui sebagai Firman Tuhan, tetapi paling-paling sebagai buku kuno / sejarah.

 

Larangan perang pada hari Sabat ini kelihatannya bertentangan dengan peristiwa dalam:

*        Yos 6:15 - “Tetapi pada hari yang ketujuh mereka bangun pagi-pagi, ketika fajar menyingsing, dan mengelilingi kota tujuh kali dengan cara yang sama; hanya pada hari itu mereka mengelilingi kota itu tujuh kali”.

*        1Raja 20:29 - “Tujuh hari lamanya mereka berkemah berhadap-hadapan. Tetapi pada hari yang ketujuh mulailah pertempuran, dan pada suatu hari orang Israel menewaskan seratus ribu orang berjalan kaki dari orang Aram itu”.

*        2Raja 3:9 - “Maka berjalanlah raja Israel dan raja Yehuda dan raja Edom. Tetapi sesudah mereka berkeliling tujuh hari perjalanan jauhnya, maka tidak terdapat air untuk tentara dan untuk hewan yang mengikuti mereka”.

 

William Barclay (tentang Mark 3:1-6): “The Romans, who had compulsory military service, had in the end to exempt the Jews from army service because no strict Jew would fight on the Sabbath. The orthodox Jewish attitude to the Sabbath was completely rigid and unbending” (= Orang-orang Romawi, yang mempunyai kewajiban pelayanan militer, pada akhirnya harus mengecualikan orang-orang Yahudi dari pelayanan tentara karena tidak ada orang Yahudi yang ketat yang mau berperang pada hari Sabat. Sikap orang-orang Yahudi yang orthodox terhadap hari Sabat adalah sama sekali kaku dan tidak bisa dibengkokkan) - hal 68.

 

C. Rowland mengatakan bahwa ada kelompok Yahudi yang bernama The Essenes, yang bahkan melarang seseorang buang air besar pada hari Sabat! - ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 46. Ini betul-betul sinting!

 

William Barclay (tentang Yak 2:8-11): “The Jews was very apt to regard the law as a series of detached injunctions. To keep one was to gain credit; to break one was to incur debt. A man could add up the ones he kept and subtract the ones he broke and so emerge with a credit or a debit balance. ... many of the Rabbis held that ‘the Sabbath weighs against all precepts,’ and to keep it was to keep the law” (= Orang-orang Yahudi sering menganggap hukum Taurat sebagai suatu seri dari perintah-perintah yang terpisah. Mentaati satu perintah berarti mendapat kredit; melanggar satu perintah berarti membuat hutang. Seseorang bisa menjumlah perintah-perintah yang ia taati dan mengurangi dengan perintah-perintah yang ia langgar dan lalu muncul dengan suatu saldo kredit atau hutang. ... banyak rabi-rabi yang mempercayai bahwa ‘hari Sabat lebih berat dari semua perintah’, dan mentaatinya berarti mentaati hukum Taurat) - hal 69.

 

Ajaran para ahli Taurat dan orang Farisi, yang boleh dikatakan melarang segala sesuatu pada hari Sabat, dan yang menyebabkan hari Sabat menjadi beban yang sangat berat, adalah salah (bdk. Mat 12:1-13). Ini berulang kali ditentang oleh Yesus sendiri, seperti dalam:

¨       Mat 12:1-13 (bdk. Mark 2:23-3:6  Luk 6:1-11).

Mat 12:1-13 - “(1) Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya. (2) Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepadaNya: ‘Lihatlah, murid-muridMu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat.’ (3) Tetapi jawab Yesus kepada mereka: ‘Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, (4) bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam? (5) Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? (6) Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah. (7) Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. (8) Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.’ (9) Setelah pergi dari sana, Yesus masuk ke rumah ibadat mereka. (10) Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya. Mereka bertanya kepadaNya: ‘Bolehkah menyembuhkan orang pada hari Sabat?’ Maksud mereka ialah supaya dapat mempersalahkan Dia. (11) Tetapi Yesus berkata kepada mereka: ‘Jika seorang dari antara kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada hari Sabat, tidakkah ia akan menangkapnya dan mengeluarkannya? (12) Bukankah manusia jauh lebih berharga dari pada domba? Karena itu boleh berbuat baik pada hari Sabat.’ (13) Lalu kata Yesus kepada orang itu: ‘Ulurkanlah tanganmu!’ Dan ia mengulurkannya, maka pulihlah tangannya itu, dan menjadi sehat seperti tangannya yang lain”.

¨       Luk 13:10-17 - “(10) Pada suatu kali Yesus sedang mengajar dalam salah satu rumah ibadat pada hari Sabat. (11) Di situ ada seorang perempuan yang telah delapan belas tahun dirasuk roh sehingga ia sakit sampai bungkuk punggungnya dan tidak dapat berdiri lagi dengan tegak. (12) Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya: ‘Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.’ (13) Lalu Ia meletakkan tanganNya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah. (14) Tetapi kepala rumah ibadat gusar karena Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, lalu ia berkata kepada orang banyak: ‘Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat.’ (15) Tetapi Tuhan menjawab dia, kataNya: ‘Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? (16) Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?’ (17) Dan waktu Ia berkata demikian, semua lawanNya merasa malu dan semua orang banyak bersukacita karena segala perkara mulia, yang telah dilakukanNya”.

¨       Luk 14:1-6 - “(1) Pada suatu hari Sabat Yesus datang ke rumah salah seorang pemimpin dari orang-orang Farisi untuk makan di situ. Semua yang hadir mengamat-amati Dia dengan saksama. (2) Tiba-tiba datanglah seorang yang sakit busung air berdiri di hadapanNya. (3) Lalu Yesus berkata kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu, kataNya: ‘Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?’ (4) Mereka itu diam semuanya. Lalu Ia memegang tangan orang sakit itu dan menyembuhkannya dan menyuruhnya pergi. (5) Kemudian Ia berkata kepada mereka: ‘Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?’ (6) Mereka tidak sanggup membantahNya”.

¨       Yoh 5:1-18 - “(1) Sesudah itu ada hari raya orang Yahudi, dan Yesus berangkat ke Yerusalem. (2) Di Yerusalem dekat Pintu Gerbang Domba ada sebuah kolam, yang dalam bahasa Ibrani disebut Betesda; ada lima serambinya (3) dan di serambi-serambi itu berbaring sejumlah besar orang sakit: orang-orang buta, orang-orang timpang dan orang-orang lumpuh, yang menantikan goncangan air kolam itu. (4) Sebab sewaktu-waktu turun malaikat Tuhan ke kolam itu dan menggoncangkan air itu; barangsiapa yang terdahulu masuk ke dalamnya sesudah goncangan air itu, menjadi sembuh, apapun juga penyakitnya. (5) Di situ ada seorang yang sudah tiga puluh delapan tahun lamanya sakit. (6) Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan karena Ia tahu, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu, berkatalah Ia kepadanya: ‘Maukah engkau sembuh?’ (7) Jawab orang sakit itu kepadaNya: ‘Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku.’ (8)  Kata Yesus kepadanya: ‘Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.’ (9) Dan pada saat itu juga sembuhlah orang itu lalu ia mengangkat tilamnya dan berjalan. Tetapi hari itu hari Sabat. (10) Karena itu orang-orang Yahudi berkata kepada orang yang baru sembuh itu: ‘Hari ini hari Sabat dan tidak boleh engkau memikul tilammu.’ (11) Akan tetapi ia menjawab mereka: ‘Orang yang telah menyembuhkan aku, dia yang mengatakan kepadaku: Angkatlah tilammu dan berjalanlah.’ (12) Mereka bertanya kepadanya: ‘Siapakah orang itu yang berkata kepadamu: Angkatlah tilammu dan berjalanlah?’ (13) Tetapi orang yang baru sembuh itu tidak tahu siapa orang itu, sebab Yesus telah menghilang ke tengah-tengah orang banyak di tempat itu. (14) Kemudian Yesus bertemu dengan dia dalam Bait Allah lalu berkata kepadanya: ‘Engkau telah sembuh; jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk.’ (15) Orang itu keluar, lalu menceriterakan kepada orang-orang Yahudi, bahwa Yesuslah yang telah menyembuhkan dia. (16) Dan karena itu orang-orang Yahudi berusaha menganiaya Yesus, karena Ia melakukan hal-hal itu pada hari Sabat. (17) Tetapi Ia berkata kepada mereka: ‘BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.’ (18) Sebab itu orang-orang Yahudi lebih berusaha lagi untuk membunuhNya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah BapaNya sendiri dan dengan demikian menyamakan diriNya dengan Allah”.

¨       Yoh 7:22-23 - “(22) Jadi: Musa menetapkan supaya kamu bersunat - sebenarnya sunat itu tidak berasal dari Musa, tetapi dari nenek moyang kita - dan kamu menyunat orang pada hari Sabat! (23) Jikalau seorang menerima sunat pada hari Sabat, supaya jangan melanggar hukum Musa, mengapa kamu marah kepadaKu, karena Aku menyembuhkan seluruh tubuh seorang manusia pada hari Sabat”.

¨       Yoh 9:1-16 - “(1) Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. (2) Murid-muridNya bertanya kepadaNya: ‘Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?’ (3) Jawab Yesus: ‘Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. (4) Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja. (5) Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia.’ (6) Setelah Ia mengatakan semuanya itu, Ia meludah ke tanah, dan mengaduk ludahnya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta tadi (7) dan berkata kepadanya: ‘Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam.’ Siloam artinya: ‘Yang diutus.’ Maka pergilah orang itu, ia membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek. (8) Tetapi tetangga-tetangganya dan mereka, yang dahulu mengenalnya sebagai pengemis, berkata: ‘Bukankah dia ini, yang selalu mengemis?’ (9) Ada yang berkata: ‘Benar, dialah ini.’ Ada pula yang berkata: ‘Bukan, tetapi ia serupa dengan dia.’ Orang itu sendiri berkata: ‘Benar, akulah itu.’ (10) Kata mereka kepadanya: ‘Bagaimana matamu menjadi melek?’ (11) Jawabnya: ‘Orang yang disebut Yesus itu mengaduk tanah, mengoleskannya pada mataku dan berkata kepadaku: Pergilah ke Siloam dan basuhlah dirimu. Lalu aku pergi dan setelah aku membasuh diriku, aku dapat melihat.’ (12) Lalu mereka berkata kepadanya: ‘Di manakah Dia?’ Jawabnya: ‘Aku tidak tahu.’ (13) Lalu mereka membawa orang yang tadinya buta itu kepada orang-orang Farisi. (14) Adapun hari waktu Yesus mengaduk tanah dan memelekkan mata orang itu, adalah hari Sabat. (15) Karena itu orang-orang Farisipun bertanya kepadanya, bagaimana matanya menjadi melek. Jawabnya: ‘Ia mengoleskan adukan tanah pada mataku, lalu aku membasuh diriku, dan sekarang aku dapat melihat.’ (16) Maka kata sebagian orang-orang Farisi itu: ‘Orang ini tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat.’ Sebagian pula berkata: ‘Bagaimanakah seorang berdosa dapat membuat mujizat yang demikian?’ Maka timbullah pertentangan di antara mereka”.

 

Dari text-text yang menunjukkan pertentangan antara Yesus dan orang-orang Yahudi dalam persoalan hukum Sabat ini, kita bisa menyimpulkan bahwa dalam pandangan Yesus ada hal-hal / pekerjaan yang boleh dilakukan pada hari Sabat, yaitu:

 

1.   Pekerjaan / hal darurat yang betul-betul dibutuhkan (Mat 12:1-4  Luk 14:5).

Ini jelas mencakup perang / pembelaan diri. Bandingkan dengan Yos 6:15  1Raja 20:29  2Raja 3:9 yang sudah saya kutip di atas.

 

2.   Menolong orang / berbuat baik (Mat 12:9-13).

William Barclay (tentang Luk 6:6-11): “To heal was to work and work was prohibited on the Sabbath day. True, if there was any danger to life, steps might be taken to help a sufferer. For instance, it was always legal to treat diseases of the eye or throat. But this man was in no danger of his life; he might have waited until the next day without peril. But Jesus laid down the great principle that, whatever the rules and regulations may say, it is always right to do a good thing on the Sabbath day” (= Menyembuhkan adalah bekerja dan pekerjaan dilarang pada hari Sabat. Memang, jika nyawa ada dalam bahaya, boleh dilakukan langkah-langkah untuk menolong si penderita. Sebagai contoh, merupakan sesuatu yang selalu sah untuk menangani penyakit-penyakit mata dan kerongkongan / tenggorokan. Tetapi orang ini nyawanya sama sekali tidak ada dalam bahaya; ia bisa menunggu sampai hari berikutnya tanpa bahaya. Tetapi Yesus meletakkan suatu prinsip yang besar / agung bahwa, apapun yang dikatakan oleh peraturan-peraturan, selalu merupakan sesuatu yang benar untuk melakukan hal yang baik pada hari Sabat) - hal 72.

 

Karena itu janganlah menggunakan hukum Sabat ini sebagai alasan untuk tidak menolong orang yang membutuhkan pertolongan.

 

Diijinkannya kita untuk berbuat baik pada hari Sabat menyebabkan adanya tempat-tempat yang boleh tetap buka pada hari Sabat, seperti rumah sakit, apotik. Tetapi motivasinya bukan untuk mencari uang, tetapi untuk berbuat baik / melayani / menolong orang. Tentu bukannya semua lalu digratiskan. Mereka tetap boleh menarik bayaran, tetapi itu tidak boleh menjadi motivasi mereka.

 

3.   Melayani Tuhan (Mat 12:5).

Bahkan sebetulnya hari Sabat diadakan supaya saudara bebas dari pekerjaan sehari-hari sehingga bisa berbakti dan melayani Tuhan.

 

John Murray: “God’s own rest on the seventh day is not to be construed in terms of cessation from activity but in terms of cessation from one kind of activity, the work of creation. In like manner, the sabbath in man’s week is not to be defined in terms of cessation from activity, but cessation from that kind of activity involved in the labours of the other six days. ... Sabbath rest is not inactivity; it is not unemployment, but employment of another sort from that of the six days” (= Istirahat Allah sendiri pada hari ketujuh tidaklah ditafsirkan dalam arti penghentian aktivitas tetapi dalam arti penghentian dari satu jenis aktivitas, pekerjaan penciptaan. Dengan cara yang sama, hari Sabat dalam mingguan manusia tidaklah didefinisikan dalam arti penghentian dari aktivitas, tetapi penghentian dari jenis aktivitas yang bersangkutan dengan pekerjaan dari enam hari lainnya. ... Istirahat Sabat bukanlah ketidak-aktifan; itu bukanlah tidak adanya pekerjaan, tetapi pekerjaan dari jenis yang lain dari pekerjaan dalam enam hari) - ‘Principles of Conduct’, hal 33.

 

John Murray juga mengutip Yoh 5:17. Supaya lebih jelas saya memberikan seluruh kontextnya di sini.

 

Yoh 5:10-18 - “(10) Karena itu orang-orang Yahudi berkata kepada orang yang baru sembuh itu: ‘Hari ini hari Sabat dan tidak boleh engkau memikul tilammu.’ (11) Akan tetapi ia menjawab mereka: ‘Orang yang telah menyembuhkan aku, dia yang mengatakan kepadaku: Angkatlah tilammu dan berjalanlah.’ (12) Mereka bertanya kepadanya: ‘Siapakah orang itu yang berkata kepadamu: Angkatlah tilammu dan berjalanlah?’ (13) Tetapi orang yang baru sembuh itu tidak tahu siapa orang itu, sebab Yesus telah menghilang ke tengah-tengah orang banyak di tempat itu. (14) Kemudian Yesus bertemu dengan dia dalam Bait Allah lalu berkata kepadanya: ‘Engkau telah sembuh; jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk.’ (15) Orang itu keluar, lalu menceriterakan kepada orang-orang Yahudi, bahwa Yesuslah yang telah menyembuhkan dia. (16) Dan karena itu orang-orang Yahudi berusaha menganiaya Yesus, karena Ia melakukan hal-hal itu pada hari Sabat. (17) Tetapi Ia berkata kepada mereka: ‘BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.’ (18) Sebab itu orang-orang Yahudi lebih berusaha lagi untuk membunuhNya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah BapaNya sendiri dan dengan demikian menyamakan diriNya dengan Allah”.

 

Calvin (tentang Yoh 5:17): “it is only from their own works that men are commanded to abstain; and, accordingly, circumcision - which is a work of God, and not of men - is not at variance with the Sabbath. What Christ insists upon is this, that the holy rest which was enjoined by the Law of Moses is not disturbed when we are employed in the works of God” (= hanyalah dari pekerjaan mereka sendiri manusia diperintahkan untuk berpantang / menjauhkan diri; dan, sesuai dengan itu, sunat - yang merupakan pekerjaan Allah, dan bukan pekerjaan manusia - tidaklah bertentangan dengan hari Sabat. Apa yang Kristus tekankan adalah bahwa istirahat kudus yang diperintahkan oleh hukum Musa tidaklah ter­ganggu / terusik kalau kita mengerjakan pekerjaan Allah) - hal 195.

 

Calvin menambahkan: “And for this reason he excuses not only his own action, but also the action of the man who carried his bed; for it was an appendage, and - as we might say - a part of the miracle, for it was nothing else than an approbation of it. Besides, if thanksgiving and the publication of the divine glory be reckoned among the works of God, it was not a profanation of the Sabbath to testify the grace of God by feet and hands” (= Dan untuk alasan ini Ia membenarkan bukan hanya tindakanNya sendiri tetapi juga tindakan dari orang yang memikul tilamnya; karena itu merupakan suatu tambahan / embel-embel, dan, - seperti bisa kita katakan - sebagian dari mujijat, karena itu bukan lain dari suatu persetujuan tentang mujijat itu. Disamping, jika pengucapan syukur dan publikasi dari kemuliaan ilahi dianggap sebagai pekerjaan-pekerjaan Allah, maka bukanlah merupakan suatu pencemaran Sabat untuk menyaksikan kasih karunia Allah dengan kaki dan tangan) - hal 195-196.

 

Calvin menambahkan lagi: “the keeping of the Sabbath is so far from interrupting or hindering the works of God, that, on the contrary, it gives way to them alone. For why does the Law enjoin men to abstain from their own works, but in order to keep all their senses free and occupied for considering the works of God? Consequently, he who does not, on the Sabbath, allow a free course and reign to the works of God, is not only a false expounder of the Law, but wickedly overturns it” (= pemeliharaan Sabat begitu jauh dari mengganggu atau menghalangi pekerjaan-pekerjaan Allah, sehingga sebaliknya, pemeliharaan Sabat memberi jalan pada pekerjaan-pekerjaan Allah itu saja. Karena mengapa hukum Taurat memerintahkan manusia untuk menjauhkan diri dari pekerjaan-pekerjaan mereka sendiri, kecuali supaya seluruh pikiran mereka bebas dan digunakan untuk memikirkan pekerjaan-pekerjaan Allah? Karena itu, ia yang pada hari Sabat tidak mengijinkan suatu jalan dan pemerintahan yang bebas bagi pekerjaan-pekerjaan Allah, bukan hanya merupakan penafsir yang palsu dari hukum Taurat, tetapi secara jahat memutar-balikkannya) - hal 196.

 

Jadi, hamba Tuhan yang ‘bekerja’ / melayani pada hari Minggu, tidak bersalah. Sebaliknya, ia melakukan sesuatu yang baik. Pelayanan pada hari Minggu bukanlah termasuk bekerja, dan karena itu bukan merupakan pelanggaran terhadap hukum hari Sabat.

 

Tetapi lalu bagaimana dengan istirahat Sabat bagi hamba Tuhan? Ada orang-orang yang mengatakan bahwa hamba Tuhan harus mempunyai hari Sabat / hari istirahat di luar hari Minggu. Tetapi dari Kitab Suci maupun dari buku-buku manapun, saya tidak pernah membaca / menemukan bahwa imam-imam pada jaman Perjanjian Lama mempunyai hari Sabat / hari istirahat di luar hari Sabtu. Jadi, menurut saya, Kitab Suci tidak mengharuskan hamba Tuhan untuk mempunyai satu hari istirahat, tetapi juga tidak melarangnya. Kalau seorang hamba Tuhan ingin mempunyai hari istirahat, dan memilih satu hari tertentu (selain Minggu) sebagai hari istirahatnya, saya berpendapat bahwa ia berhak melakukannya.

 

A. T. Lincoln: “If the Mosaic law were designed to teach the principle of one day’s rest in seven instead of seventh day rest, it might be expected that its legislation would have provided for a different day of rest for the priests (cf. Num. 28:9-10), but it does not. This permitted breaking of the Sabbath is appealed to by Jesus according to Matthew 12:5.” [= Jika hukum Taurat Musa direncanakan untuk mengajarkan prinsip satu hari istirahat dalam 7 hari, dan bukannya istirahat pada hari ketujuh, maka bisa diharapkan bahwa perundang-undangannya akan menyediakan satu hari istirahat yang berbeda untuk imam-imam (bdk. Bil 28:9-10), tetapi ternyata tidak. Ini memungkinkan ‘pelanggaran’ Sabat dimaafkan oleh Yesus menurut Mat 12:5] - D. A. Carson (Editor), ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 355.

Catatan: saya tidak menyetujui bagian awal dari kutipan ini. Yang saya tekankan dari kutipan ini hanya bagian yang saya garis-bawahi, yang menunjukkan bahwa untuk imam-imam pada jaman Perjanjian Lama, tidak ada hari Sabat khusus di luar hari Sabtu, sekalipun pada hari Sabat / Sabtu mereka tetap harus ‘bekerja’.

 

b)         Ada banyak hal yang tidak boleh kita lakukan pada hari Sabat.

Kalau orang-orang Yahudi menambahi larangan / peraturan Sabat sehingga menjadi terlalu ketat, maka pada jaman sekarang, boleh dikatakan semua orang Kristen jatuh pada extrim sebaliknya, yaitu mengabaikan sebagian / seluruh larangan / peraturan Sabat. Karena itu, perhatikanlah hal-hal yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat di bawah ini:

 

1.   Kita tidak boleh melakukan pekerjaan sehari-hari.

 

Kel 20:9-10 - “(9) enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, (10) tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu”.

 

a.   Perhatikan Kel 20:9: “enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu”.

 

·        Kita tidak boleh menjadi pemalas yang tidak mau bekerja. Kita disuruh untuk bekerja.

 

John Murray: “The day of rest has no meaning apart from the background of labour” (= Hari istirahat tidak mempunyai arti terpisah dari latar belakang pekerjaan) - ‘Principles of Conduct’, hal 35.

 

Calvin (tentang Kel 20:9): “when He says, ‘Six days shalt thou labour,’ He indirectly reproves their ingratitute, if it should be irksome and disagreeable to them, to devote one day out of the seven to God, when He in His generosity gives up six to themselves. ... He only claims a seventh part (of their time) for Himself ... Therefore, He says, ‘all thy work,’ whereby He signifies that they have plenty of time, exclusive of the Sabbath, for all their business” [= Pada waktu Ia berkata, ‘enam hari lamanya engkau akan bekerja’, Ia secara tidak langsung menegur rasa tidak tahu terima kasih mereka, jika mereka jengkel dan tidak setuju untuk membaktikan satu dari tujuh hari bagi Allah, pada waktu Ia dalam kemurahanNya memberikan 6 hari kepada mereka sendiri. ... Ia hanya menuntut / mengclaim sepertujuh bagian (dari waktu mereka) untuk diriNya sendiri ... Karena itu, Ia berkata, ‘segala pekerjaanmu’, dengan mana Ia memberitahu bahwa mereka mempunyai banyak waktu, selain Sabat, bagi semua kesibukan mereka] - hal 438.

 

Thomas Watson: “God would not have any live out of a calling: religion gives no warrant for idleness. It is a duty to labour six days, as well as keep holy rest on the seventh day. ... Piety does not exclude industry” (= Allah tidak mau siapapun hidup tanpa pekerjaan: agama tidak membenarkan kemalasan. Merupakan suatu kewajiban untuk bekerja selama 6 hari, maupun memelihara istirahat kudus pada hari yang ketujuh. ... Kesalehan tidak membuang kerajinan) - ‘The Ten Commandments’, hal 97.

 

·        Tetapi, semua pekerjaan itu harus dilakukan dalam 6 hari. Untuk itu perhatikan kata ‘segala’ dalam ay 9 di atas. Saya berpendapat bahwa penekanan dari ay 9 ini bukanlah bahwa kita harus bekerja selama 6 hari itu, tetapi bahwa segala pekerjaan harus diselesaikan dalam 6 hari sehingga tidak ada pekerjaan yang tersisa untuk hari Sabat. Jadi, bekerja ataupun lembur pada hari Sabat jelas tidak diijinkan. Pada masa sibukpun hari Sabat harus tetap menjadi hari istirahat.

Bdk. Kel 34:21 - “Enam harilah lamanya engkau bekerja, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah engkau berhenti, dan dalam musim membajak dan musim menuai haruslah engkau memelihara hari perhentian juga”.

A. T. Lincoln: “Exodus 34:21, with its addition of ‘in plowing time and in harvest time you shall rest,’ emphasizes that even at the busiest time of the year in an agricultural society the Sabbath was still to be kept” (= Keluaran 34:21, dari pada penambahan kata-kata ‘dalam musim membajak dan musim menuai haruslah engkau memelihara hari perhentian juga’ menekankan bahwa bahkan pada masa yang paling sibuk dari suatu tahun dalam masyarakat pertanian, hari Sabat harus tetap dipelihara) - D. A. Carson (Editor), ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 351-352.

Masa menabur dan menuai jelas merupakan masa paling sibuk. Tetapi Firman Tuhan tidak mengenal kompromi dan tetap memerintahkan untuk memelihara Sabat sebagai hari perhentian / istirahat pada saat seperti itu.

 

Ini berlaku untuk siswa / mahasiswa yang sedang ujian. Kalau mereka kuatir tidak lulus karena harus punya 1 hari istirahat dalam 1 minggu, maka perlu mereka camkan bahwa Tuhan bisa memberkati masa belajar 6 hari, dibandingkan dengan masa belajar 7 hari tanpa istirahat, dalam 1 minggu!

 

Ini juga berlaku untuk orang yang merasa bahwa dengan bekerja 7 hari dalam 1 minggu ia masih belum mendapat uang yang cukup untuk hidupnya. Bagaimana mungkin harus ‘membuang’ 1 hari untuk istirahat? Ingat, Tuhan bisa memberkati 6 hari kerja lebih dari 7 hari kerja dalam 1 minggu! Bdk. Mat 6:33 - “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”.

 

Matthew Henry (tentang Kel 16:22-31): “The double provision which God made for the Israelites, and which they were to make for themselves, on the sixth day: God gave them on the sixth day the bread of two days, v. 29. Appointing them to rest on the seventh day, he took care that they should be no losers by it; and none ever will be losers by serving God (= Penyediaan ganda yang Allah buat bagi bangsa Israel, dan yang harus mereka buat bagi diri mereka sendiri, pada hari keenam: Allah memberi mereka pada hari keenam roti untuk dua hari, ay 29. Ia menetapkan mereka untuk beristirahat pada hari ketujuh, dan karena itu Ia memperhatikan bahwa mereka tidak akan kehilangan / rugi apa-apa oleh hal itu; dan tak seorangpun pernah kehilangan / rugi dengan melayani / berbakti kepada Allah).

 

Bandingkan dengan orang yang 100 % gajinya tidak mencukupi, tetapi dengan memberikan 10 % untuk Tuhan sebagai persembahan persepuluhan, malah dengan 90 % ia bisa mencukupi hidupnya. Tuhan ada di atas matematik! Ini juga berlaku bagi orang-orang, yang karena ingin memelihara hari Sabat, tidak bekerja / belajar pada hari itu!

 

Kalau kita melanggar hukum hari Sabat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan, maka perhatikan kutipan di bawah ini.

 

D. L. Moody: “When the children of Israel went into the Promised Land, God told them to let their land rest every seven years, and He would give them as much in six years as in seven. For four hundred and ninety years they disregarded that law. But mark you, Nebuchadnezzar came and took them off into Babylon, and kept them seventy years in captivity, and the land had its seventy sabbaths of rest. Seven times seventy is four hundred and ninety. So they did not gain much by breaking this law. You can give God His day, or He will take it” (= Pada waktu bangsa Israel masuk ke Tanah Perjanjian, Allah memberitahu mereka untuk membiarkan tanah mereka beristirahat setiap 7 tahun, dan Ia akan memberikan kepada mereka sama banyaknya dalam 6 tahun seperti dalam 7 tahun. Selama 490 tahun mereka mengabaikan hukum tersebut. Tetapi perhatikan, Nebukadnezar datang dan membawa mereka ke Babilonia, dan menaruh mereka 70 tahun dalam pembuangan, dan tanah itu mendapatkan 70 x istirahat Sabatnya. 7 x 70 = 490. Jadi, mereka tidak mendapatkan keuntungan dengan melanggar hukum ini. Kamu bisa memberikan kepada Allah hariNya, atau Ia akan mengambilnya sendiri) - ‘D. L. Moody On The Ten Commandments’, hal 61.

 

b.   Perhatikan Kel 20:10: “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu”.

 

Adam Clarke (tentang Kel 20:9): “No work should be done on the Sabbath that can be done on the preceding days, or can be deferred to the succeeding ones. Works of absolute necessity and mercy are alone excepted. ... The whole of it should be devoted to the rest of the body and the improvement of the mind. God says He has hallowed it - He has made it sacred and set it apart for the above purposes. It is therefore the most proper day for public religious worship” (= Tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan pada hari Sabat yang bisa dilakukan pada hari sebelumnya, atau bisa ditunda pada hari-hari sesudahnya. Hanya pekerjaan yang mutlak perlu dan pekerjaan belas kasihan yang dikecualikan. ... Seluruh hari itu harus dipersembahkan bagi istirahat dari tubuh dan kemajuan dari pikiran. Allah berkata Ia telah menguduskannya - Ia telah membuatnya keramat dan memisahkannya untuk tujuan-tujuan di atas. Karena itu, itu merupakan hari yang paling tepat untuk kebaktian agamawi).

 

Ada beberapa hal yang harus ditekankan / dijelaskan tentang Kel 20:10, dan penafsiran Adam Clarke di atas:

 

·        seluruh, bukan sebagian dari, hari ketujuh itu adalah hari Sabat Tuhan! Perhatikan bagian yang saya garis-bawahi dari komentar Adam Clarke di atas. Jadi, jangan mempunyai pandangan bahwa kalau saudara sudah berbakti kepada Tuhan pada hari Minggu, maka saudara boleh menggunakan sisa hari itu sesuka saudara sendiri! Seluruh hari Minggu adalah hari Sabat Tuhan!

 

·        bukan hanya kita yang tidak boleh bekerja, tetapi juga pegawai, anak-anak, dan bahkan binatang!

 

Adam Clarke (tentang Kel 20:9): “He who works by his servants or cattle is equally guilty as if he worked himself” (= Ia yang bekerja oleh / melalui pelayan-pelayannya atau ternanya sama bersalahnya seakan-akan ia sendiri bekerja).

 

Kita tidak boleh mempekerjakan pegawai  / pelayan, dan kita juga tidak boleh menyuruh anak kita untuk belajar! Mereka juga membutuhkan istirahat! Ada 6 hari untuk bekerja / belajar bagi mereka; biarkan mereka beristirahat pada hari Sabat.

Ini perlu dicamkan oleh para boss, yang sering mengharuskan pegawai-pegawainya untuk lembur / tetap bekerja pada hari Minggu.

Ini juga perlu dicamkan oleh para orang tua, khususnya mereka yang kadang-kadang menghukum anaknya dengan melarang pergi ke gereja dan menyuruhnya belajar di rumah, karena anak itu mendapatkan nilai / rapor yang jelek. Hukumlah anak dengan cara lain, bukan dengan menyuruh mereka berdosa dengan melanggar peraturan Sabat!

 

·        mengapa ‘istri’ tidak disebutkan?

Matthew Henry (tentang Kel 20:8-11): “who must observe it: ‘Thou, and thy son, and thy daughter;’ the wife is not mentioned, because she is supposed to be one with the husband and present with him, and, if he sanctify the sabbath, it is taken for granted that she will join with him; but the rest of the family are specified. Children and servants must keep the sabbath, according to their age and capacity: in this, as in other instances of religion, it is expected that masters of families should take care, not only to serve the Lord themselves, but that their houses also should serve him, at least that it may not be through their neglect if they do not, Josh. 24:15” (= siapa yang harus memelihara / mentaatinya: ‘Engkau, dan anakmu laki-laki, dan anakmu perempuan’; istri tidak disebutkan, karena ia dianggap sebagai satu dengan suami, dan hadir / berada bersamanya, dan, jika suami itu menguduskan hari Sabat, maka dianggap pasti bahwa istri itu akan bergabung dengannya; tetapi sisa dari keluarga disebutkan secara terperinci).

 

Sekarang mari kita melihat beberapa text Kitab Suci lain (selain Kel 20:9-10), yang menekankan larangan bekerja pada hari Sabat, dan juga beberapa komentar dari para penafsir tentang text-text tersebut.

 

Yer 17:21-27 - “(21) Beginilah firman TUHAN: Berawas-awaslah demi nyawamu! Janganlah mengangkut barang-barang pada hari Sabat dan membawanya melalui pintu-pintu gerbang Yerusalem! (22) Janganlah membawa barang-barang dari rumahmu ke luar pada hari Sabat dan janganlah lakukan sesuatu pekerjaan, tetapi kuduskanlah hari Sabat seperti yang telah Kuperintahkan kepada nenek moyangmu. (23) Namun mereka tidak mau mendengarkan dan tidak mau memperhatikannya, melainkan mereka berkeras kepala, sehingga tidak mau mendengarkan dan tidak mau menerima tegoran. (24) Apabila kamu sungguh-sungguh mendengarkan Aku, demikianlah firman TUHAN, dan tidak membawa masuk barang-barang melalui pintu-pintu gerbang kota ini pada hari Sabat, tetapi menguduskan hari Sabat dan tidak melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, (25) maka melalui pintu-pintu gerbang kota ini akan berarak masuk raja-raja dan pemuka-pemuka, yang akan duduk di atas takhta Daud, dengan mengendarai kereta dan kuda: mereka dan pemuka-pemuka mereka, orang-orang Yehuda dan penduduk Yerusalem. Dan kota ini akan didiami orang untuk selama-lamanya. (26) Orang akan datang dari kota-kota Yehuda dan dari tempat-tempat sekitar Yerusalem, dari tanah Benyamin dan dari Daerah Bukit, dari pegunungan dan dari tanah Negeb, dengan membawa korban bakaran, korban sembelihan, korban sajian dan kemenyan, membawa korban syukur ke dalam rumah TUHAN. (27) Tetapi apabila kamu tidak mendengarkan perintahKu untuk menguduskan hari Sabat dan untuk tidak masuk mengangkut barang-barang melalui pintu-pintu gerbang Yerusalem pada hari Sabat, maka di pintu-pintu gerbangnya Aku akan menyalakan api, yang akan memakan habis puri-puri Yerusalem, dan yang tidak akan terpadamkan.’”.

 

Matthew Henry (tentang Yer 17:19-27): “These verses are a sermon concerning sabbath-sanctification. ... They must rest from their worldly employment on the sabbath day, must do no servile work. They must bear no burden into the city nor out of it, into their houses nor out of them; husbandmen’s burdens of corn must not be carried in, nor manure carried out; nor must tradesmen’s burdens of wares or merchandises be imported or exported. There must not a loaded horse, or cart, or wagon, be seen on the sabbath day either in the streets or in the roads; the porters must not ply on that day, nor must the servants be suffered to fetch in provisions or fuel. It is a day of rest, and must not be made a day of labour, unless in case of necessity” (= Ayat-ayat ini merupakan suatu khotbah tentang pengudusan hari Sabat. ... Mereka harus beristirahat dari pekerjaan duniawi pada hari Sabat, tidak boleh melakukan pekerjaan yang memperbudak / berat. Mereka tidak boleh memikul beban ke dalam kota ataupun keluar darinya, ke dalam rumah-rumah atau keluar darinya; beban jagung dari petani tidak boleh dibawa masuk, ataupun pupuk dibawa keluar; beban barang-barang atau barang dagangan dari pedagang tidak boleh dimasukkan atau dikeluarkan. Tidak boleh terlihat seekor kuda, atau gerobak, atau kereta, yang dimuati, pada hari Sabat, baik di jalan besar atau kecil; buruh / penjaga pintu tidak boleh tetap bekerja pada hari itu, juga pelayan-pelayan tidak boleh dibiarkan mengambil persediaan atau bahan bakar. Itu merupakan suatu hari istirahat, dan tidak boleh dijadikan hari pekerjaan, kecuali dalam kasus kebutuhan yang mendesak).

Catatan:

¨       saya berpendapat larangan dalam text Yeremia ini harus ditafsirkan sesuai kontextnya. Jadi, yang dilarang adalah membawa barang keluar atau masuk kota atau rumah, dalam urusan pekerjaan. Jadi, bukannya sama sekali tidak boleh membawa barang apapun keluar atau masuk kota / rumah. Kalau bukan dalam urusan pekerjaan, maka hal itu tidak dilarang.

¨       istilah ‘servile work’ seharusnya berarti ‘pekerjaan yang memperbudak’. Tetapi kalau dalam KJV muncul istilah ‘servile work’, maka Kitab Suci Indonesia menterjemahkan sebagai ‘pekerjaan berat’, seperti dalam Im 23:7,21,25,35,36.

 

Matthew Henry (tentang Yer 17:19-27): “They must herein be very circumspect: ‘Take heed to yourselves, watch against every thing that borders upon the profanation of the sabbath.’ Where God is jealous we must be cautious. ‘Take heed to yourselves, for it is at your peril if you rob God of that part of your time which he has reserved to himself.’” (= Dalam hal ini mereka harus sangat berhati-hati: ‘Perhatikanlah dirimu / berawas-awaslah demi nyawamu, berjaga-jagalah terhadap segala sesuatu yang berbatasan dengan pencemaran hari Sabat’. Dimana Allah itu menuntut kesetiaan / ketaatan sepenuhnya, kita harus berhati-hati. ‘Perhatikanlah dirimu / berawas-awaslah demi nyawamu, karena merupakan resikomu jika kamu merampok Allah bagian waktumu itu, yang telah Ia sediakan bagi diriNya sendiri’).

 

Barnes’ Notes (tentang Yer 17:21): “‘Bear no burden on the sabbath day.’ Apparently the Sabbath day was kept negligently. The country people were in the habit of coming to Jerusalem on the Sabbath to attend the temple service, but mingled traffic with their devotions, bringing the produce of their fields and gardens with them for disposal. The people of Jerusalem for their part took (Jer. 17:22) their wares to the gates, and carried on a brisk traffic there with the villagers. Both parties seem to have abstained from manual labor, but did not consider that buying and selling were prohibited by the fourth commandment” [= ‘Jangan membawa beban apapun pada hari Sabat’. Jelas bahwa hari Sabat dipelihara dengan lalai. Orang-orang pedesaan biasa datang ke Yerusalem pada hari Sabat untuk menghadiri kebaktian di Bait Allah, tetapi mencampurkan perdagangan dengan pembaktian mereka, dengan membawa hasil dari ladang dan kebun mereka bersama mereka untuk dijual. Orang-orang Yerusalem ikut ambil bagian dengan mengambil (Yer 17:22) barang-barang mereka ke pintu-pintu gerbang, dan mengadakan perdagangan cepat di sana dengan orang-orang pedesaan. Kedua pihak kelihatannya menjauhkan diri dari pekerjaan kasar, tetapi tidak menganggap bahwa membeli dan menjual dilarang oleh hukum keempat].

 

Neh 13:15-22 - “(15) Pada masa itu kulihat di Yehuda orang-orang mengirik memeras anggur pada hari Sabat, pula orang-orang yang membawa berkas-berkas gandum dan memuatnya di atas keledai, juga anggur, buah anggur dan buah ara dan pelbagai muatan yang mereka bawa ke Yerusalem pada hari Sabat. Aku memperingatkan mereka ketika mereka menjual bahan-bahan makanan. (16) Juga orang Tirus yang tinggal di situ membawa ikan dan pelbagai barang dagangan dan menjual itu kepada orang-orang Yehuda pada hari Sabat, bahkan di Yerusalem. (17) Lalu aku menyesali pemuka-pemuka orang Yehuda, kataku kepada mereka: ‘Kejahatan apa yang kamu lakukan ini dengan melanggar kekudusan hari Sabat? (18) Bukankah nenek moyangmu telah berbuat demikian, sehingga Allah kita mendatangkan seluruh malapetaka ini atas kita dan atas kota ini? Apakah kamu bermaksud memperbesar murka yang menimpa Israel dengan melanggar kekudusan hari Sabat?’ (19) Kalau sudah remang-remang di pintu-pintu gerbang Yerusalem menjelang hari Sabat, kusuruh tutup pintu-pintu dan kuperintahkan supaya jangan dibuka sampai lewat hari Sabat. Dan aku tempatkan beberapa orang dari anak buahku di pintu-pintu gerbang, supaya tidak ada muatan yang masuk pada hari Sabat. (20) Tetapi orang-orang yang berdagang dan berjualan rupa-rupa barang itu kemudian bermalam juga di luar tembok Yerusalem satu dua kali. (21) Lalu aku memperingatkan mereka, kataku: ‘Mengapa kamu bermalam di depan tembok? Kalau kamu berbuat itu sekali lagi akan kukenakan tanganku kepadamu.’ Sejak waktu itu mereka tidak datang lagi pada hari Sabat. (22) Juga kusuruh orang-orang Lewi mentahirkan dirinya dan datang menjaga pintu-pintu gerbang untuk menguduskan hari Sabat. Ya Allahku, ingatlah kepadaku juga karena hal itu dan sayangilah aku menurut kasih setiaMu yang besar!”.

Pertanyaan: agak aneh bahwa anak buah Nehemia dan orang-orang Lewi itu diijinkan (bahkan disuruh) bekerja menjaga pintu gerbang (ay 19,22). Kok boleh mereka bekerja? Mungkin itu dianggap sebagai pelayanan.

 

Matthew Henry (tentang Neh 13:15-22): “The law of the sabbath was very strict and much insisted one, and with good reason, for religion is never in the throne while sabbaths are trodden under foot” (= Hukum tentang hari Sabat sangat ketat dan sangat dituntut, dan dengan alasan yang baik, karena agama tidak pernah bertakhta sementara / jika hari Sabat diinjak-injak).

 

Matthew Henry (tentang Neh 13:15-22): “The hawkers, and pedlars, and petty chapmen, that were men of Tyre, that famous trading city, sold all manner of wares on the sabbath day (v. 16); and the children of Judah and Jerusalem had so little grace as to buy of them, and so encourage them in making our Father’s day a day of merchandise, contrary to the law of the fourth commandment, which forbids the doing any manner of work” [= Penjaja, dan pedagang keliling, dan pedagang kecil, yang adalah orang-orang Tirus, kota dagang yang terkenal, menjual segala macam barang pada hari Sabat (ay 16); dan anak-anak Yehuda dan Yerusalem mempunyai kasih karunia yang begitu sedikit sehingga membeli barang-barang itu, dan dengan demikian mendorong mereka membuat hari Bapa kita sebagai suatu hari perdagangan, bertentangan dengan hukum keempat, yang melarang untuk melakukan pekerjaan dari jenis apapun].

 

Catatan: Secara hurufiah, Nehemia hanya melarang berjualan, bukan membeli. Tetapi Matthew Henry mengecam baik yang berjualan  maupun yang membeli. Dan memang, kalau orang dilarang berjualan, maka sudah jelas bahwa orang juga dilarang membeli, karena para pembeli ini memotivasi para penjual untuk terus berjualan pada hari Sabat.

Jadi, shopping / berbelanja pada hari Sabat / Minggu jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum keempat ini. Ini semua juga memotivasi pemilik toko untuk tetap buka pada hari Sabat / Minggu.

 

Amos 8:5 - “dan berpikir: ‘Bilakah bulan baru berlalu, supaya kita boleh menjual gandum dan bilakah hari Sabat berlalu, supaya kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa, membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu”.

 

Adam Clarke (tentang Amos 8:5): “The Sabbath was strictly holy; and yet so covetous were they that they grudged to give to God and their own souls this seventh portion of time! But bad and execrable as they were, they neither set forth their grain, nor their wheat, nor any other kind of merchandise, on the Sabbath. They were saints then, when compared to multitudes called Christians, who keep their shops either partially or entirely open on the Lord’s day, and buy and sell without any scruples of conscience” (= Hari Sabat adalah sangat kudus; tetapi begitu tamaknya mereka sehingga mereka menggerutu untuk memberikan kepada Allah dan kepada jiwa mereka sendiri bagian ketujuh dari waktu ini! Tetapi, sekalipun mereka begitu buruk dan keterlaluan, mereka tidak mengajukan / menawarkan padi-padian mereka, gandum mereka, atau barang dagangan mereka yang lain, pada hari Sabat. Jadi, mereka adalah orang-orang suci, pada waktu dibandingkan dengan banyak orang yang disebut orang-orang Kristen, yang tetap membuka toko mereka pada sebagian hari atau seluruh hari dari hari Tuhan, dan membeli dan menjual tanpa ada keberatan hati nurani apapun).

 

Jamieson, Fausset & Brown (tentang Amos 8:5): “So greedy are they of unjust gain that they cannot spare a single day, however sacred, from pursuing it” (= Begitu tamaknya mereka terhadap keuntungan yang tidak benar sehingga mereka tidak bisa mengecualikan satu haripun, betapapun keramatnya, dari pengejaran keuntungan).

 

Barnes’ Notes (tentang Amos 8:5): “‘When will the new moon be gone?’ They kept their festivals, though weary and impatient for their close. They kept sabbath and festival with their bodies, not with their minds. The Psalmist said, ‘When shall I come to appear before the presence of God?’ (Ps. 42:2). These said, perhaps in their hearts only which God reads to them, ‘when will this service be over, that we may be our own masters again?’ They loathed the rest of the sabbath, because they had, thereon, to rest from their frauds” [= ‘Bilakah bulan baru berlalu?’ Mereka memelihara hari-hari raya mereka, sekalipun jemu / bosan dan tidak sabar menunggu selesainya hari-hari itu. Mereka memelihara hari Sabat dan hari raya dengan tubuh mereka, bukan dengan pikiran mereka. Sang Pemazmur berkata: ‘Kapan aku akan datang untuk muncul di hadapan hadirat Allah?’ (Maz 42:3). Orang-orang ini berkata, mungkin hanya dalam hati mereka yang Allah bacakan bagi mereka, ‘kapan kebaktian ini berakhir, supaya kami bisa menjadi tuan kami sendiri lagi?’ Mereka benci terhadap istirahat Sabat karena pada hari itu mereka harus beristirahat dari  penipuan / kecurangan mereka].

Bdk. Maz 42:2-3,5 - “(2) Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. (3) Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah? ... (5) Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah-gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan.”.

Selain Maz 42:3, juga bisa ditambahkan:

·        Maz 43:3-4 - “(3) Suruhlah terangMu dan kesetiaanMu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunungMu yang kudus dan ke tempat kediamanMu! (4) Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah, yang adalah sukacitaku dan kegembiraanku, dan bersyukur kepadaMu dengan kecapi, ya Allah, ya Allahku!”.

·        Maz 84:2,3,5,11 - “(2) Betapa disenangi tempat kediamanMu, ya TUHAN semesta alam! (3) Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN; hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup. ... (5) Berbahagialah orang-orang yang diam di rumahMu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau. Sela ... (11) Sebab lebih baik satu hari di pelataranMu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik”.

 

Penerapan: bagaimana sikap hati saudara pada hari Minggu? Seperti orang-orang dalam Amos 8:5, atau seperti orang-orang dalam Mazmur-mazmur di atas ini?

 

2.   Kita tidak boleh memasak / mempersiapkan makanan.

Calvin (tentang Kel 20:10): “It was not lawful to cook food for your guests” (= Tidak diijinkan untuk memasak makanan bagi tamu-tamumu) - hal 438.

Jadi, Calvin menganggap bahwa memasak makanan termasuk pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat. Dan bahwa Kitab Suci memang melarang untuk memasak / mempersiapkan makanan pada hari Sabat, terlihat dari text-text di bawah ini:

 

a.   Kel 16:4-5,22-30 - “(4) Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu; maka bangsa itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari, supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukumKu atau tidak. (5) Dan pada hari yang keenam, apabila mereka memasak yang dibawa mereka pulang, maka yang dibawa itu akan terdapat dua kali lipat banyaknya dari apa yang dipungut mereka sehari-hari.’ ... (22) Dan pada hari yang keenam mereka memungut roti itu dua kali lipat banyaknya, dua gomer untuk tiap-tiap orang; dan datanglah semua pemimpin jemaah memberitahukannya kepada Musa. (23) Lalu berkatalah Musa kepada mereka: ‘Inilah yang dimaksudkan TUHAN: Besok adalah hari perhentian penuh, sabat yang kudus bagi TUHAN; maka roti yang perlu kamu bakar, bakarlah, dan apa yang perlu kamu masak, masaklah; dan segala kelebihannya biarkanlah di tempatnya untuk disimpan sampai pagi.’ (24) Mereka membiarkannya di tempatnya sampai keesokan harinya, seperti yang diperintahkan Musa; lalu tidaklah berbau busuk dan tidak ada ulat di dalamnya. (25) Selanjutnya kata Musa: ‘Makanlah itu pada hari ini, sebab hari ini adalah sabat untuk TUHAN, pada hari ini tidaklah kamu mendapatnya di padang. (26) Enam hari lamanya kamu memungutnya, tetapi pada hari yang ketujuh ada sabat; maka roti itu tidak ada pada hari itu.’ (27) Tetapi ketika pada hari ketujuh ada dari bangsa itu yang keluar memungutnya, tidaklah mereka mendapatnya. (28) Sebab itu TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Berapa lama lagi kamu menolak mengikuti segala perintahKu dan hukumKu? (29) Perhatikanlah, TUHAN telah memberikan sabat itu kepadamu; itulah sebabnya pada hari keenam Ia memberikan kepadamu roti untuk dua hari. Tinggallah kamu di tempatmu masing-masing, seorangpun tidak boleh keluar dari tempatnya pada hari ketujuh itu.’ (30) Lalu beristirahatlah bangsa itu pada hari ketujuh”.

 

Matthew Henry (tentang Kel 16:22-31): “On that day they were to fetch in enough for two days, and to prepare it, v. 23. The law was very strict, that they must bake and seeth, the day before, and not on the sabbath day” [= Pada hari itu (hari sebelum hari Sabat) mereka harus mengambil (manna) cukup untuk dua hari, dan mempersiapkannya, ay 23. Hukum itu sangat ketat, dan mereka harus membakarnya dan memasak / merebusnya pada hari sebelumnya, dan bukan pada hari Sabat].

 

Barnes’ Notes (tentang Kel 16:25): “‘Eat that today.’ ... The people were to abstain from the ordinary work of every day life: they were not to collect food, nor, as it would seem, even to prepare it as on other days” (= ‘Makanlah itu pada hari ini’. Bangsa itu harus menjauhkan diri dari pekerjaan biasa dari kehidupan sehari-hari: mereka tidak boleh mengumpulkan makanan, ataupun, seperti terlihat, bahkan mempersiapkan makanan seperti pada hari-hari yang lain).

 

b.   Kel 35:2-3 - “(2) Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada perhentian kudus bagimu, yakni sabat, hari perhentian penuh bagi TUHAN; setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, haruslah dihukum mati. (3) Janganlah kamu memasang api di manapun dalam tempat kediamanmu pada hari Sabat.’”.

 

Matthew Henry (tentang Kel 35:3): “Also a particular prohibition of kindling fires on the sabbath day for any servile work, as smith’s work, or plumbers, etc.” (= Juga suatu larangan khusus untuk menyalakan api pada hari Sabat untuk pekerjaan yang memperbudak / berat, seperti pekerjaan pandai besi, atau tukang patri / tukang pipa, dsb.).

Catatan: istilah ‘servile work’ seharusnya berarti ‘pekerjaan yang memperbudak’. Tetapi kalau dalam KJV muncul istilah ‘servile work’, maka Kitab Suci Indonesia menterjemahkan sebagai ‘pekerjaan berat’, seperti dalam Im 23:7,21,25,35,36.

 

Adam Clarke (tentang Kel 35:3): “‘Ye shall kindle no fire.’ The Jews understand this precept as forbidding the kindling of fire only for the purpose of doing work or dressing victuals; but to give them light and heat, they judge it lawful to light a fire on the Sabbath day, though themselves rarely kindle it - they get Christians to do this work for them” (= ‘Janganlah kamu memasang / menyalakan api’. Orang-orang Yahudi mengartikan peraturan ini sebagai melarang penyalaan api hanya untuk tujuan melakukan pekerjaan atau mempersiapkan makanan; tetapi untuk memberi terang dan panas, mereka menilainya sebagai sah untuk menyalakan api pada hari Sabat, sekalipun mereka sendiri jarang menyalakannya - mereka menyuruh orang-orang kristen untuk melakukan pekerjaan ini bagi mereka).

 

c.   Bil 15:32-36 - “(32) Ketika orang Israel ada di padang gurun, didapati merekalah seorang yang mengumpulkan kayu api pada hari Sabat. (33) Lalu orang-orang yang mendapati dia sedang mengumpulkan kayu api itu, menghadapkan dia kepada Musa dan Harun dan segenap umat itu. (34) Orang itu dimasukkan dalam tahanan, oleh karena belum ditentukan apa yang harus dilakukan kepadanya. (35) Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Orang itu pastilah dihukum mati; segenap umat Israel harus melontari dia dengan batu di luar tempat perkemahan.’ (36) Lalu segenap umat menggiring dia ke luar tempat perkemahan, kemudian dia dilontari dengan batu, sehingga ia mati, seperti yang difirmankan TUHAN kepada Musa”.

 

Thomas Watson: “God will not have his day entrenched upon, or defiled in the least thing. The man that gathered sticks on the Sabbath he commanded to be stoned. Numb. 15:35. It would seem a small thing to pick up a few sticks to make a fire; but God would not have this day violated in the smallest matters” (= Allah tidak mau hariNya diserobot. Orang yang mengumpulkan ranting-ranting pada hari Sabat Ia perintahkan untuk dilempari dengan batu / dirajam. Bil 15:35. Kelihatannya merupakan suatu hal kecil / remeh untuk mengambil beberapa ranting untuk membuat api; tetapi Allah tidak menghendaki hari ini dilanggar dalam hal-hal yang paling kecil) - ‘The Ten Commandments’, hal 99.

 

Matthew Henry (tentang Bil 15:30-36): “The offence was the gathering of sticks on the sabbath day (v. 32), which, it is probable, were designed to make a fire of, whereas they were commanded to bake and seeth what they had occasion for the day before, Exo. 16:23. This seemed but a small offence, but it was a violation of the law of the sabbath, and so was a tacit contempt of the Creator, to whose honour the sabbath was dedicated, and an incursion upon the whole law, which the sabbath was intended as a hedge about. And it appears by the context to have been done presumptuously, and in affront both of the law and to the Law-maker. ... death is appointed him which was looked upon as most terrible: He must be stoned with stones, v. 35. Note, God is jealous for the honour of his sabbaths, and will not hold those guiltless, whatever men do, that profane them” [= Pelanggarannya adalah mengumpulkan ranting-ranting pada hari Sabat (ay 32), yang mungkin dimaksudkan untuk membuat api, sedangkan mereka diperintahkan untuk membakar dan merebus pada saat mereka mempunyai kesempatan pada hari sebelumnya, Kel 16:23. Ini kelihatannya hanya merupakan pelanggaran kecil, tetapi itu merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum hari Sabat, dan dengan demikian secara diam-diam itu merupakan suatu sikap memandang rendah terhadap sang Pencipta, bagi kehormatan siapa hari Sabat dipersembahkan, dan suatu serangan terhadap seluruh hukum Taurat, untuk mana hari Sabat dimaksudkan menjadi pagar. Dan terlihat dari kontextnya bahwa hal itu dilakukan dengan sombong / berani / kurang ajar, dan dalam penghinaan baik terhadap hukum Taurat maupun terhadap Pembuat hukum Taurat. ... kematian yang ditentukan baginya kelihatannya mengerikan: Ia harus dirajam dengan batu, ay 35. Perhatikan, Allah sangat menjaga kehormatan dari hari-hari SabatNya, dan tidak akan menganggap mereka tidak bersalah, apapun yang mereka lakukan, yang mencemarkan hari-hari Sabat itu].

Catatan: untuk bagian yang saya garis bawahi, lihat / bandingkan dengan Bil 15:30-31, yang persis mendahului kontext ini.

Bil 15:30-31 - “(30) Tetapi orang yang berbuat sesuatu dengan sengaja, baik orang Israel asli, baik orang asing, orang itu menjadi penista TUHAN, ia harus dilenyapkan dari tengah-tengah bangsanya, (31) sebab ia telah memandang hina terhadap firman TUHAN dan merombak perintahNya; pastilah orang itu dilenyapkan, kesalahannya akan tertimpa atasnya.’”.

Kata-kata ‘dengan sengaja’ yang saya garis-bawahi salah terjemahan. Bandingkan dengan terjemahan-terjemahan dari Kitab Suci bahasa Inggris di bawah ini.

KJV: ‘presumptuously’ (= dengan sombong / berani / kurang ajar).

RSV: ‘with a high hand’ (= dengan arogan).

NIV/NASB: ‘defiantly’ (= dengan bersikap menantang).

 

Jamieson, Fausset & Brown: “‘A man that gathered sticks upon the sabbath day.’ This incident is evidently, narrated as an instance of presumptuous sin. The mere gathering of sticks was not a sinful act, and might be necessary for fuel to warm him, or to make ready his food. But its being done on the Sabbath altered the entire character of the action. ... this transgression of it was a known and willful sin, and it was marked by several aggravations: for the deed was done with unblushing boldness in broad daylight, in open defiance of the divine authority” (= ‘seorang yang mengumpulkan kayu api pada hari Sabat’. Jelas bahwa peristiwa ini diceritakan sebagai suatu contoh dari dosa yang dilakukan dengan berani / sombong / kurang ajar. Tindakan mengumpulkan ranting semata-mata bukanlah merupakan tindakan yang berdosa, dan bisa merupakan sesuatu yang perlu dilakukan sebagai bahan bakar untuk menghangatkan dirinya, atau mempersiapkan makanannya. Tetapi dilakukannya hal itu pada hari Sabat, mengubah seluruh karakter dari tindakan itu. ... pelanggaran hukum hari Sabat ini merupakan suatu dosa yang disadari dan disengaja, dan itu ditandai oleh beberapa hal yang memberatkan / memperburuk: karena tindakan itu dilakukan dengan keberanian yang tidak tahu malu di siang bolong, dalam suatu tindakan menantang yang terang-terangan terhadap otoritas ilahi).

 

Karena dilarangnya seseorang memasak / mempersiapkan makanan pada hari Sabat, maka pemilik warung / restoran yang tetap berjualan makanan pada hari Sabat jelas melanggar peraturan Sabat; bukan hanya larangan bekerja dan mempekerjakan orang, tetapi juga larangan memasak makanan.

Sekarang, kalau kita melarang orang buka restoran / warung pada hari Sabat, masuk akalkah kalau kita diperbolehkan membeli makanan? Kalau mau konsisten, jelas bahwa kita juga tidak boleh membeli makanan, karena ini akan memotivasi orang-orang untuk makin membuka restoran / warungnya. Tetapi ini merupakan hal yang hampir tak ada orang Kristen yang memperhatikannya. Saya menganggap bahwa ‘tidak boleh membeli makanan’ merupakan sesuatu yang sangat sukar untuk ditaati. Kita tidak boleh memasak, dan kita tidak boleh membeli makanan. Jadi kita harus makan makanan yang sudah dimasak pada hari sebelum Sabat (Kel 16:23-25).

Lalu bagaimana dengan gereja yang mengundang hamba Tuhan dari luar kota? Biasanya hamba Tuhan itu diajak untuk makan di restoran! Kalau tidak, lalu bagaimana? Harus diajak makan di rumah, untuk makan makanan yang dimasak kemarinnya? Atau gereja harus masak sendiri? Apakah dibedakan memasak makanan biasa, dan memasak makanan untuk hamba Tuhan sebagai suatu tindakan pelayanan?

 

3.   Kita tidak boleh melakukan perjalanan (kecuali untuk pergi ke gereja / melakukan pelayanan), dan kita juga tidak boleh melakukan hal-hal demi kesenangan diri kita sendiri, termasuk rekreasi.

 

Adam Clarke (tentang Kel 20:9): “Hiring out horses, etc., for pleasure or business, going on journeys, paying worldly visits, or taking jaunts on the Lord’s day, are breaches of this law. The whole of it should be devoted to the rest of the body and the improvement of the mind. God says He has hallowed it - He has made it sacred and set it apart for the above purposes. It is therefore the most proper day for public religious worship” (= Menyewakan kuda, dsb, untuk kesenangan atau bisnis, bepergian, melakukan kunjungan duniawi, atau tamasya / pesiar pada hari Tuhan, merupakan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum ini. Seluruh hari itu harus dibaktikan untuk istirahat dari tubuh dan kemajuan pikiran. Allah berkata Ia telah menguduskannya - Ia telah membuatnya kudus dan memisahkannya untuk tujuan-tujuan di atas. Karena itu, hari itu merupakan hari yang paling tepat untuk ibadah agama umum).

 

Bdk. Yes 58:13-14 - “(13) Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudusKu; apabila engkau menyebutkan hari Sabat ‘hari kenikmatan’, dan hari kudus TUHAN ‘hari yang mulia’; apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong kosong, (14) maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN, dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan; Aku akan memberi makan engkau dari milik pusaka Yakub, bapa leluhurmu, sebab mulut Tuhanlah yang mengatakannya”.

Bandingkan Yes 58:13 dalam Kitab Suci Indonesia, khususnya bagian yang saya garis-bawahi, dengan Yes 58:13 versi bahasa Inggris di bawah ini.

KJV: ‘If thou turn away thy foot from the sabbath, from doing thy pleasure on my holy day; and call the sabbath a delight, the holy of the LORD, honourable; and shalt honour him, not doing thine own ways, nor finding thine own pleasure, nor speaking thine own words:’ (= Jika engkau membalikkan / memalingkan kakimu dari hari Sabat, dari melakukan kesenanganmu pada hari kudusKu; dan menyebut hari Sabat suatu kesenangan, hari yang kudus dari TUHAN, terhormat; dan menghormatiNya, tidak melakukan jalanmu sendiri, ataupun mencari kesenanganmu sendiri, ataupun mengucapkan kata-katamu sendiri).

NIV: If you keep your feet from breaking the Sabbath and from doing as you please on my holy day, if you call the Sabbath a delight and the LORD’s holy day honorable, and if you honor it by not going your own way and not doing as you please or speaking idle words, (= Jika engkau menjaga kakimu dari pelanggaran hari Sabat dan dari melakukan seperti yang engkau sukai pada hari kudusKu, jika engkau menyebut hari Sabat suatu kesukaan dan hari kudus TUHAN terhormat, dan jika engkau menghormatinya dengan tidak pergi melakukan jalanmu dan tidak melakukan yang engkau senangi atau mengucapkan kata-kata kosong / omong kosong).

 

Matthew Henry (tentang Yes 58:13-14): “Nothing must be done that puts contempt upon the sabbath day, or looks like having mean thoughts of it, when God has so highly dignified it. We must turn away our foot from the sabbath, from trampling upon it, as profane atheistical people do, from travelling on that day (so some); we must turn away our foot from doing out (our?) pleasure on that holy day, that is, from living at large, and taking a liberty to do what we please on sabbath days, without the control and restraint of conscience, or from indulging ourselves in the pleasures of sense, ... On sabbath days we must not walk in our own ways (that is, not follow our callings), not find our own pleasure (that is, not follow our sports and recreations); nay, we must not speak our own words, words that concern either our callings or our pleasures; we must not allow ourselves a liberty of speech on that day as on other days, for we must then mind God’s ways, make religion the business of the day; we must choose the things that please him; and speak his words, speak of divine things as we sit in the house and walk by the way. In all we say and do we must put a difference between this day and other days” [= Tidak ada apapun yang boleh dilakukan yang merendahkan hari Sabat, atau memandangnya dengan mempunyai pikiran buruk / jahat tentangnya, pada waktu Allah meninggikan derajat hari Sabat itu dengan begitu tinggi. Kita harus memalingkan kaki kita dari hari Sabat, dari tindakan menginjak-injaknya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang atheis yang duniawi, dari bepergian pada hari itu (demikianlah pandangan sebagian orang); kita harus memalingkan kaki kita dari melakukan kesenangan kita pada hari kudus itu, yaitu, dari hidup bebas, dan bersikap terlalu bebas untuk melakukan apa yang kita senangi pada hari-hari Sabat, tanpa kontrol dan pengekangan hati nurani, atau dari pemuasan diri kita sendiri dalam kesenangan-kesenangan perasaan / tubuh, ... Pada hari Sabat kita tidak boleh berjalan / hidup dalam jalan kita sendiri (yaitu, tidak mengikuti pekerjaan kita), atau mencari kesenangan kita sendiri (yaitu tidak mengikuti kesenangan dan rekreasi kita); bahkan, kita tidak boleh mengucapkan kata-kata kita sendiri, kata-kata yang berkenaan dengan pekerjaan kita atau kesenangan kita; kita tidak boleh mengijinkan diri kita sendiri suatu kebebasan berkata-kata pada hari itu seperti pada hari-hari yang lain, karena pada saat itu kita harus memikirkan jalan Allah, menjadikan agama kesibukan dari hari itu; kita harus memilih hal-hal yang menyenangkan Dia; dan mengucapkan kata-kataNya, berbicara tentang hal-hal ilahi pada waktu kita duduk di rumah dan berjalan di jalan. Dalam semua yang kita katakan dan lakukan kita harus membedakan hari ini dan hari-hari lainnya].

Catatan: saya tidak tahu apakah hubungan sex juga dilarang pada hari Sabat. Orang-orang Yahudi melarangnya, tetapi saya tidak menemukan kata-kata yang explicit dari para penafsir yang melarang orang Kristen melakukan hubungan sex pada hari Sabat. Tetapi dari kata-kata Matthew Henry di atas, bisa saja disimpulkan demikian.

 

Matthew Henry (tentang Yes 58:13-14): “Every thing must be done that puts an honour on the day and is expressive of our high thoughts of it. We must call it a delight, not a task and a burden; we must delight ourselves in it, in the restraints it lays upon us and the services it obliges us to. We must be in our element when we are worshipping God, and in communion with him. How amiable are thy tabernacles, O Lord of hosts! We must not only count it a delight, but call it so, must openly profess the complacency we take in the day and the duties of it. We must call it so to God, in thanksgiving for it and earnest desire of his grace to enable us to do the work of the day in its day (?), because we delight in it. We must call it so to others, to invite them to come and share in the pleasure of it; and we must call it so to ourselves, that we may not entertain the least thought of wishing the sabbath gone that we may sell corn. We must call it the Lord’s holy day, and honourable. We must call it holy, separated from common use and devoted to God and to his service, must call it the holy of the Lord, the day which he has sanctified to himself” (= Kita harus melakukan segala sesuatu yang membawa kehormatan bagi hari itu dan menyatakan pemikiran kita yang tinggi tentangnya. Kita harus menyebutnya suatu kesenangan, bukan suatu tugas atau suatu beban; kita sendiri harus menyenanginya, dalam pengekangan-pengekangan yang diberikannya kepada kita dan pelayanan-pelayanan yang diwajibkannya bagi kita. Kita harus senang sekali pada waktu kita berbakti kepada Allah, dan dalam persekutuan dengan Dia. Alangkah menyenangkannya tempat kudusMu, ya Tuhan semesta alam! Kita tidak hanya harus menganggapnya suatu kesenangan, tetapi menyebutnya demikian, harus secara terbuka mengakui kepuasan yang kita dapatkan dari hari itu dan kewajiban-kewajibannya. Kita harus menyebutnya demikian kepada Allah, dalam pengucapan syukur untuknya dan menginginkan dengan sungguh-sungguh kasih karuniaNya untuk memampukan kita untuk melakukan pekerjaan dari hari itu pada hari itu, karena kita menyenanginya. Kita harus menyebutnya demikian kepada orang-orang lain, untuk mengundang mereka untuk datang dan ikut menikmati kesenangan dari hari itu; dan kita harus menyebutnya demikian kepada diri kita sendiri, supaya kita tidak mempunyai sedikitpun pikiran yang menginginkan hari Sabat berlalu sehingga kita bisa menjual gandum. Kita harus menyebutnya hari kudus Tuhan, dan terhormat. Kita harus menyebutnya kudus, terpisah dari penggunaan biasa dan dibaktikan bagi Allah dan bagi pelayananNya, harus menyebutnya yang kudus dari Tuhan, hari yang telah Ia kuduskan bagi diriNya sendiri).

 

Adam Clarke (tentang Yes 58:13): “‘If thou turn away thy foot from the Sabbath.’ The meaning of this seems to be, that they should be careful not to take their pleasure on the Sabbath day, by paying visits, and taking country jaunts; ... How vilely is this rule transgressed by the inhabitants of this land! They seem to think that the Sabbath was made only for their recreation!” (= ‘Jika engkau memalingkan kakimu dari hari Sabat’. Arti dari kata-kata ini kelihatannya adalah, bahwa mereka harus hati-hati untuk tidak menuruti kesenangan mereka pada hari Sabat, dengan melakukan kunjungan, dan melakukan tamasya; ... Alangkah buruknya peraturan ini dilanggar oleh penduduk dari negara ini! Mereka kelihatannya berpikir bahwa hari Sabat dibuat hanya untuk rekreasi mereka!).

 

Jamieson, Fausset & Brown (tentang Yes 58:13): “‘Foot.’ - the instrument of motion ... men are not to travel for mere pleasure on the Sabbath” (= ‘Kaki’. - alat dari gerakan ... manusia tidak boleh bepergian semata-mata untuk kesenangan pada hari Sabat).

 

Barnes’ Notes (tentang Yes 58:13): “‘If thou turn away thy foot from the Sabbath.’ ... The idea, says Grotius, is, that they were not to travel on the Sabbath day on ordinary journeys. The ‘foot’ is spoken of as the instrument of motion and travel. ... So here, to restrain the foot from the Sabbath, is not to have the foot employed on the Sabbath; not to be engaged in traveling, or in the ordinary active employments of life, either for business or pleasure” (= ‘Jika engkau memalingkan kakimu dari hari Sabat’. ... Artinya, kata Grotius, adalah bahwa mereka tidak boleh bepergian pada hari Sabat dalam perjalanan biasa. ‘Kaki’ dibicarakan sebagai alat dari gerakan dan perjalanan. ... Jadi di sini, mengekang kaki dari hari Sabat berarti tidak menggunakan kaki pada hari Sabat; tidak terlibat dalam perjalanan, atau dalam penggunaan aktif yang biasa dari kehidupan, untuk bisnis atau untuk kesenangan).

 

Bahwa melakukan perjalanan dilarang pada hari Sabat mungkin bisa dibenarkan berdasarkan Mat 24:20 - Berdoalah, supaya waktu kamu melarikan diri itu jangan jatuh pada musim dingin dan jangan pada hari Sabat. Mengapa harus berdoa seperti itu? Karena pada hari Sabat tak boleh melakukan perjalanan, jadi tak bisa melarikan diri. Tetapi sebetulnya, kalau untuk menyelamatkan nyawa, tentu saja boleh melakukan perjalanan. Tetapi, sekalipun diijinkan untuk melakukan perjalanan untuk menyelamatkan nyawa pada hari Sabat, tetap ada problem lain dalam melakukan hal itu, seperti yang dikatakan Clarke di bawah ini.

Adam Clarke (tentang Mat 24:20): “‘Neither on the Sabbath-day.’ That you may not raise the indignation of the Jews by traveling on that day, and so suffer that death out of the city which you had endeavoured to escape from within. Besides, on the Sabbath-days the Jews not only kept within doors, but the gates of all the cities and towns in every place were kept shut and barred; so that if their flight should be on a Sabbath, they could not expect admission into any place of security in the land” [= ‘jangan pada hari Sabat’. Supaya kamu tidak membangkitkan kemarahan dari orang-orang Yahudi dengan melakukan perjalanan pada hari itu, dan dengan demikian mendapat kematian di luar kota dari mana kamu berusaha untuk meloloskan diri dari dalamnya. Disamping itu, pada hari Sabat orang-orang Yahudi bukan hanya tinggal di dalam pintu (rumah), tetapi tetapi juga pintu-pintu gerbang dari kota-kota di semua tempat ditutup dan dipalang; sehingga jika mereka harus lari pada hari Sabat, mereka tidak bisa berharap mendapat ijin masuk ke dalam setiap tempat aman di negara itu].

Wycliffe Bible Commentary (tentang Mat 24:20): “Neither on the sabbath day. A reference to the difficulty of travel (securing lodging, meals, services) on the Sabbath in an area where Jews will be observing such restrictions. This does not necessarily imply that Christian Jews will observe Sabbath worship. Jesus was employing concepts familiar to his hearers, none of whom as yet could know of the change to Sunday” [= ‘Jangan pada hari Sabat’. Suatu petunjuk pada kesukaran untuk melakukan perjalanan (mendapatkan penginapan, makanan, pelayanan) pada hari Sabat di daerah dimana orang-orang Yahudi akan mengamati / menjalankan pembatasan-pembatasan seperti itu. Ini tidak harus berarti bahwa orang-orang Yahudi Kristen akan menjalankan ibadah Sabat. Yesus sedang menggunakan konsep yang telah diketahui oleh para pendengarnya, yang tidak ada yang tahu tentang perubahan (Sabat) ke hari Minggu].

 

Pindahkan yang dalam kotak di atas ini ke bagian depan, dimana dibahas pemindahan Sabat dari Sabtu ke minggu. Sekaligus kutip dari buku advent berkenaan dengan penafsiran mereka tentang ayat tersebut.

 

Satu hal yang harus diperhatikan adalah: kalau pada hari Sabat kita melakukan perjalanan, apalagi yang jauh, maka kita sukar terhindar dari membeli makanan dan bahan bakar kendaraan.

 

Barnes’ Notes (tentang Yes 58:13): “‘From doing thy pleasure on my holy day.’ Two things may here be observed: 1. God claims the day as his, and as holy on that account. While all time is his, and while he requires all time to be profitably and usefully employed, he calls the Sabbath especially his own ... To take the hours of that day, therefore, for our pleasure, or for work which is not necessary or merciful, is to rob God of that which he claims as his own. 2. We are not to do our own pleasure on that day. That is, we are not to pursue our ordinary plans of amusement; we are not to devote it to feasting, to riot, or to revelry. It is true that they who love the Sabbath as they should will find ‘pleasure’ in observing it, for they have happiness in the service of God. But the idea is, here, that we are to do the things which God requires, and to consult his will in the observance. It is remarkable that the thing here adverted to, is the very way in which the Sabbath is commonly violated. ... while the Sabbath is God’s great ordinance for perpetuating religion and virtue, it is also, by perversion, made Satan’s great ordinance for perpetuating intemperance, dissipation, and sensuality” (= ‘Dari melakukan kesenanganmu pada hari kudusKu’. Dua hal yang bisa dilihat di sini: 1. Allah mengclaim hari itu sebagai hariNya, dan sebagai kudus karena hal itu. Sekalipun semua waktu adalah milikNya, dan sekalipun Ia menuntut semua waktu untuk digunakan secara berguna dan bermanfaat, Ia menyebut hari Sabat secara khusus sebagai milikNya ... Karena itu, mengambil saat-saat dari hari itu untuk kesenangan kita, atau untuk pekerjaan kita, yang bukan merupakan pekerjaan yang mutlak perlu ataupun pekerjaan belas kasihan, sama dengan merampok Allah dari apa yang Ia claim sebagai milikNya. 2. Kita tidak boleh melakukan kesenangan kita sendiri pada hari itu. Yaitu, kita tidak boleh mengejar rencana hiburan / kesenangan biasa kita; kita tidak boleh membaktikan hari itu pada pesta, keramaian, atau kesuka-riaan yang gaduh. Memang benar bahwa mereka yang mengasihi hari Sabat sebagaimana seharusnya, akan mendapatkan ‘kesenangan’ dalam mentaati / memeliharanya, karena mereka mendapatkan kebahagiaan dalam pelayanan / penyembahan kepada Allah. Tetapi gagasannya di sini adalah bahwa kita harus melakukan hal-hal yang Allah tuntut, dan mencari kehendakNya dalam pemeliharaan hari itu. Merupakan sesuatu yang luar biasa bahwa hal yang ditunjuk di sini, adalah cara dimana justru hari Sabat secara umum dilanggar. ... sementara hari Sabat merupakan peraturan Allah yang besar untuk terus menerus menghidupkan agama dan kebaikan, itu juga, oleh penyimpangannya, dijadikan peraturan Setan yang besar untuk terus menerus menghidupkan kebebasan / ketidak-adaan penguasaan diri, pemborosan waktu dan tenaga, dan pemuasan nafsu).

Catatan: mungkin saudara berpikir bahwa kalau pada hari Sabat kita tidak boleh bepergian, piknik, melakukan kesenangan-kesenangan, dsb, apakah kita tidak akan mengalami stres? Untuk menjawab itu, perhatikan bagian yang saya garis bawahi dari kutipan di atas. Dan Barnes menekankan lagi hal tersebut dalam 2 kutipan di bawah ini.

 

Barnes’ Notes (tentang Yes 58:13): “‘And call the Sabbath a delight.’ This appropriately expresses the feelings of all who have any just views of the Sabbath. To them it is not wearisome, nor are its hours heavy. They love the day of sweet and holy rest. They esteem it a privilege, not a task, to be permitted once a week to disburden their minds of the cares, and toils, and anxieties of life. It is a ‘delight’ to them to recall the memory of the institution of the Sabbath, when God rested from his labors; to recall the resurrection of the Lord Jesus, to the memory of which the Christian Sabbath is consecrated; to be permitted to devote a whole day to prayer and praise, to the public and private worship of God, to services that expand the intellect and purify the heart. To the father of a family it is the source of unspeakable delight that he may conduct his children to the house of God, and that he may instruct them in the ways of religion. To the Christian man of business, the farmer, and the professional man, it is a pleasure that he may suspend his cares, and may uninterruptedly think of God and of heaven. To all who have any just feeling, the Sabbath is a ‘delight;’ and for them to be compelled to forego its sacred rest would be an unspeakable calamity” (= ‘Dan menyebut hari Sabat suatu kesenangan’. Ini dengan tepat menyatakan perasaan dari semua orang yang mempunyai pandangan yang benar tentang hari Sabat. Bagi mereka, itu bukanlah sesuatu yang menjemukan, dan saat-saatnya bukanlah merupakan sesuatu yang berat. Mereka mengasihi hari istirahat yang manis dan kudus itu. Mereka menilainya sebagai suatu hak, bukan sebagai suatu kewajiban, untuk diijinkan sekali seminggu untuk melepaskan beban pikiran mereka dari kekuatiran, dan kerja keras, dan keinginan-keinginan dari kehidupan. Itu merupakan suatu ‘kesenangan’ bagi mereka untuk mengingat ingatan tentang penegakan dari hari Sabat, dimana Allah beristirahat dari pekerjaanNya; untuk mengingat kebangkitan Tuhan Yesus, pada ingatan mana hari Sabat Kristen diabdikan; untuk diijinkan untuk membaktikan seluruh hari itu bagi doa dan pujian, bagi ibadah kepada Allah secara umum dan pribadi, bagi kebaktian-kebaktian yang mengembangkan intelek dan memurnikan hati. Bagi ayah dari suatu keluarga, merupakan sumber dari kesenangan yang tidak terkatakan bahwa ia bisa memimpin anak-anaknya ke rumah Allah, dan bahwa ia bisa mengajar mereka dalam cara-cara agama. Bagi orang bisnis, petani, dan orang-orang profesional Kristen, merupakan suatu kesenangan bahwa ia bisa menunda / menghentikan kekuatirannya, dan bisa berpikiir tentang Allah dan tentang surga tanpa diganggu. Bagi semua yang mempunyai pikiran yang benar, hari Sabat merupakan suatu kesenangan, dan kalau mereka dipaksa untuk tidak melaksanakan istirahatnya yang kudus, maka itu merupakan suatu bencana yang tidak terkatakan).

 

Barnes’ Notes (tentang Yes 58:14): “‘Then shalt thou delight thyself in the LORD.’ That is, as a consequence of properly observing the Sabbath, thou shalt find pleasure in Yahweh. It will be a pleasure to draw near to him, and you shall no longer be left to barren ordinances and to unanswered prayers. The delight or pleasure which God’s people have in him is a direct and necessary consequence of the proper observance of the Sabbath. It is on that day set apart by his own authority, for his own service, that he chooses to meet with his people, and to commune with them and bless them; and no one ever properly observed the Sabbath who did not find, as a consequence, that he had augmented pleasure in the existence, the character, and the service of Yahweh. Compare Job 22:21-26, where the principle stated here - that the observance of the law of God will lead to happiness in the Almighty - is beautifully illustrated” (= ‘maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN’. Yaitu, sebagai akibat dari ketaatan / penghormatan yang benar terhadap hari Sabat, engkau akan mendapatkan kesenangan dalam Yahweh. Merupakan suatu kesenangan untuk mendekat kepadaNya, dan engkau tidak akan ditinggalkan pada peraturan-peraturan yang tandus dan pada doa-doa yang tidak dijawab. Kesenangan yang didapatkan umat Allah dalam Dia merupakan akibat yang langsung dan yang harus terjadi dari pengamatan / penghormatan yang benar terhadap hari Sabat. Pada hari itulah, yang Ia pisahkan dengan otoritasNya sendiri, bagi ibadahNya sendiri, Ia memilih untuk bertemu dengan umatNya, dan untuk berkomunikasi secara akrab dengan mereka dan memberkati mereka; dan tidak seorangpun yang memelihara hari Sabat secara benar yang tidak mendapati, sebagai akibatnya, bahwa ia telah menambah kesenangan dalam keberadaan, karakter, dan pelayanan / ibadah dari Yahweh. Bandingkan dengan Ayub 22:21-26, dimana prinsip yang dinyatakan di sini - bahwa pemeliharaan / ketaatan pada hukum Allah akan membawa pada kebahagiaan dalam Yang Maha Kuasa - dijelaskan secara indah).

 

Bdk. Ayub 22:21-26 - “(21) Berlakulah ramah terhadap Dia, supaya engkau tenteram; dengan demikian engkau memperoleh keuntungan. (22) Terimalah apa yang diajarkan mulutNya, dan taruhlah firmanNya dalam hatimu. (23) Apabila engkau bertobat kepada Yang Mahakuasa, dan merendahkan diri; apabila engkau menjauhkan kecurangan dari dalam kemahmu, (24) membuang biji emas ke dalam debu, emas Ofir ke tengah batu-batu sungai, (25) dan apabila Yang Mahakuasa menjadi timbunan emasmu, dan kekayaan perakmu, (26) maka sungguh-sungguh engkau akan bersenang-senang karena Yang Mahakuasa, dan akan menengadah kepada Allah”.

 

Bahwa seluruh hari Sabat harus digunakan bagi Allah, dan karena itu kita dlarang memikirkan pekerjaan duniawi dan melakukan rekreasi, juga dinyatakan dalam Westminster Confession of Faith.

 

Westminster Confession of Faith: This Sabbath is then kept holy unto the Lord, when men, after a due preparing of their hearts, and ordering of their common affairs beforehand, do not only observe an holy rest, all the day, from their own works, words, and thoughts about their worldly employments and recreations, but also are taken up, the whole time, in the public and private exercises of His worship, and in the duties of necessity and mercy (= Maka hari Sabat ini dipelihara / dijaga kudus bagi Tuhan, pada waktu manusia, setelah mempersiapkan hati mereka dengan seharusnya, dan mengatur / mengurus urusan-urusan biasa mereka sebelumnya, tidak hanya memelihara suatu istirahat yang kudus, seluruh hari itu, dari pekerjaan, dari kata-kata dan dari pemikiran mereka sendiri tentang pekerjaan-pekerjaan duniawi mereka, dan rekreasi-rekreasi, tetapi juga membaktikan, seluruh waktu, dalam pelaksanaan ibadahNya secara umum dan pribadi, dan dalam kewajiban-kewajiban yang memang mutlak harus dilakukan dan belas kasihan) - Chapter XXI, No 8.

 

4.   Membangun Kemah Sucipun tidak boleh dilakukan pada hari Sabat.

Sekalipun pelayanan merupakan ‘pekerjaan’ yang diijinkan untuk dilakukan pada hari Sabat, tetapi membangun Kemah Suci / Bait Allah / gedung gereja, tidak sama dengan pelayanan. Ini dilarang!

 

Kel 31:12-17 - “(12) Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: (13) ‘Katakanlah kepada orang Israel, demikian: Akan tetapi hari-hari SabatKu harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku dan kamu, turun-temurun, sehingga kamu mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, yang menguduskan kamu. (14) Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya. (15) Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, hari kudus bagi TUHAN: setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari Sabat, pastilah ia dihukum mati. (16) Maka haruslah orang Israel memelihara hari Sabat, dengan merayakan sabat, turun-temurun, menjadi perjanjian kekal. (17) Antara Aku dan orang Israel maka inilah suatu peringatan untuk selama-lamanya, sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, dan pada hari yang ketujuh Ia berhenti bekerja untuk beristirahat.’”.

 

Dalam membaca text ini yang sangat perlu diperhatikan adalah letak dari text ini dalam Kitab Suci. Sangat perlu untuk diketahui dan diperhatikan, bahwa dalam Kitab Suci, text ini terletak dalam kontext perintah pembangunan Kemah Suci, yang sudah dimulai dalam Kel 25. Dan text ini didahului oleh Kel 31:1-11, yang menceritakan penunjukan Bezaleel dan Aholiab untuk mengerjakan Kemah Suci. Mengapa tahu-tahu bisa ada text seperti ini, yang menekankan hari Sabat dan keharusan istirahat pada hari itu? Jawabannya adalah: karena bahkan dalam membangun Kemah Suci sekalipun, hari Sabat harus tetap menjadi hari untuk istirahat. Pada hari itu, pembangunan Kemah Suci harus dihentikan. Jadi, pada jaman sekarang, gereja-gereja tidak boleh terus mempekerjakan tukang-tukang bangunan untuk membangun gereja pada hari Minggu. Membangun gedung gereja tidak sama dengan melayani Tuhan.

 

Thomas Watson: “the work which had reference to a religious use might not be done on the Sabbath, as the hewing of stones for the building of the sanctuary. ... Exod. 31:15. A temple is a place of God’s worship, but it was a sin to build a temple on the Lord’s-day” (= pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan agamawi tidak boleh dilakukan pada hari Sabat, seperti memotong / membentuk batu untuk pembangunan tempat kudus. ... Kel 31:15. Bait Allah / Kemah Suci adalah tempat untuk berbakti kepada Allah, tetapi merupakan suatu dosa untuk membangun Bait Allah / Kemah Suci pada hari Tuhan) - ‘The Ten Commandments’, hal 100.

 

Matthew Henry (tentang Kel 31:12-18): “A strict command for the sanctification of the sabbath day, v. 13-17. ... Orders were now given that a tabernacle should be set up and furnished for the service of God with all possible expedition; but lest they should think that the nature of the work, and the haste that was required, would justify them in working at it on sabbath days, that they might get it done the sooner, this caution is seasonably inserted, Verily, or nevertheless, my sabbaths you shall keep. Though they must hasten the work, yet they must not make more haste than good speed; they must not break the law of the sabbath in their haste: even tabernacle-work must give way to the sabbath-rest; so jealous is God for the honour of his sabbaths” (= Suatu perintah yang ketat bagi pengudusan hari Sabat, ayat 13-17. ... Sekarang perintah-perintah telah diberikan bahwa Kemah Suci harus didirikan dan diperlengkapi untuk ibadah bagi Allah dengan secepat mungkin; tetapi supaya mereka jangan berpikir bahwa sifat dari pekerjaan itu, dan ketergesa-gesaan yang dituntut, akan membenarkan mereka untuk mengerjakannya pada hari-hari Sabat, supaya mereka bisa menyelesaikannya dengan lebih cepat, peringatan ini dimasukkan tepat pada waktunya, Sesungguhnya, atau sekalipun demikian, hari-hari SabatKu harus kamu pelihara. Sekalipun mereka harus cepat-cepat mengerjakannya, tetapi mereka tidak boleh melakukan ketergesa-gesaan yang lebih dari kecepatan yang benar; mereka tidak boleh melanggar hukum dari hari Sabat dalam ketergesa-gesaan mereka: bahkan pekerjaan Kemah Suci harus memberi jalan pada istirahat hari Sabat; demikianlah hati-hatinya Allah bagi kehormatan dari hari-hari SabatNya).

 

Jamieson, Fausset & Brown (tentang Kel 31:12-17): “The reason for the fresh inculcation of the fourth commandment at this particular period was, that the great ardour and eagerness with which all classes betook themselves to the construction of the tabernacle exposed them to the temptation of encroaching on the sanctity of the appointed day of rest. They might suppose that the erection of the tabernacle was a sacred work, and that it would be a high merit - an acceptable tribute - to prosecute the undertaking without the interruption of a day’s repose; and therefore the caution here given, at the commencement of the undertaking, was a seasonable admonition” (= Alasan untuk penanaman segar dari hukum keempat pada masa khusus ini adalah, bahwa semangat dan kesungguhan dengan mana semua golongan membaktikan diri mereka bagi pembangunan Kemah Suci, membuka diri mereka terhadap pencobaan pelanggaran pada kekudusan dari hari istirahat yang telah ditetapkan. Mereka bisa / mungkin menduga bahwa pendirian dari Kemah Suci merupakan pekerjaan yang kudus, dan bahwa merupakan suatu kebaikan yang tinggi - suatu upeti / penghormatan yang bisa diterima - untuk meneruskan usaha itu tanpa gangguan dari istirahat satu hari; dan karena itu peringatan yang diberikan di sini, pada permulaan dari usaha itu, merupakan peringatan yang tepat pada waktunya).

 

Barnes’ Notes (tentang Kel 31:12-17): “It seems likely that the penal edict was especially introduced as a caution in reference to the construction of the tabernacle, lest the people, in their zeal to carry on the work, should be tempted to break the divine law for the observance of the day” (= Sangat memungkinkan bahwa pengumuman / ketetapan yang berhubungan dengan hukuman, secara khusus diajukan sebagai suatu peringatan berkenaan dengan pembangunan Kemah Suci, supaya umat / bangsa itu jangan, dalam semangat mereka untuk melaksanakan pekerjaan itu, dicobai untuk melanggar hukum ilahi untuk pemeliharaan / penghormatan hari itu).

 

Keil & Delitzsch (tentang Kel 31:12-17): “The repetition and further development of this command, which was included already in the decalogue, is quite in its proper place here, inasmuch as the thought might easily have occurred, that it was allowable to omit the keeping of the Sabbath, when the execution of so great a work in honour of Jehovah had been commanded” (= Pengulangan dan pengembangan selanjutnya dari perintah ini, yang sudah dimasukkan dalam 10 hukum Tuhan, ada pada tempat yang tepat di sini, karena dengan mudah terjadi pemikiran bahwa merupakan sesuatu yang diijinkan untuk menghapuskan pemeliharaan hari Sabat, pada waktu pelaksanaan dari pekerjaan yang begitu besar dalam penghormatan terhadap Yehovah telah diperintahkan).

 

2)         Kita harus berbakti kepada Tuhan.

 

Im 19:30 - “Kamu harus memelihara hari-hari sabatKu dan menghormati tempat kudusKu; Akulah TUHAN”. Bdk. dengan Im 26:2 yang bunyinya sama persis.

 

Matthew Henry (tentang Im 19:30): “The sanctuary must be reverenced: great care must be taken to approach the tabernacle with that purity and preparation which the law required, ... Though now there is no place holy by divine institution, as the tabernacle and temple then were, yet this law obliges us to respect the solemn assemblies of Christians for religious worship” (= ).

Bdk. Pkh 4:17 - “Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Allah! Menghampiri untuk mendengar adalah lebih baik dari pada mempersembahkan korban yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, karena mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat”.

 

Calvin (tentang Im 19:30 dan Im 26:2): “From these two passages it is manifested that the services of the tabernacle was annexed to the Sabbath, and that the two things were not only connected by an indissoluble tie, but that the rest from labour had reference to the sacrifices; since it would have been a mere mockery to rest without any ulterior object; nay more, after Moses has spoken of the rest, he seems to subjoin the reverencing of the sanctuary, as if it were the generic ordinance; so that the people might understand that all impediments were removed which are wont to withdraw them from the services of God. ... they should shew by their very reverence of the sanctuary how truly and sincerely they fear God, who had promised that He would be present there, whenever He should be invoked” (= ) - hal 441-442.

 

Im 23:1-3 - “(1) TUHAN berfirman kepada Musa: (2) ‘Berbicaralah kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: Hari-hari raya yang ditetapkan TUHAN yang harus kamu maklumkan sebagai waktu pertemuan kudus, waktu perayaan yang Kutetapkan, adalah yang berikut. (3) Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, yakni hari pertemuan kudus; janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah sabat bagi TUHAN di segala tempat kediamanmu.

 

Matthew Poole (tentang Im 23:3): “‘In all your dwellings:’ this is added to distinguish the sabbath from other feasts, which were to be kept before the Lord in Jerusalem only, whither all the males were to come for that end; but the sabbath was to be kept in all places where they were, both in synagogues, which were erected for that end, and in their private houses” (= ) - hal 247.

 

R. K. Harrison (Tyndale) (tentang Im 23:3): “the rest imposed on this basic holy day was more comprehensive (‘in all your dwellings’) than was required for other prescribed festivals, when only servile work was prohibited” (= ) - hal 216.

Bdk. Im 23:7 - “Pada hari yang pertama kamu harus mengadakan pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat.

KJV: ‘servile work’ (= pekerjaan yang memperbudak).

RSV: ‘laborious work’ (= pekerjaan berat).

NIV: regular work (= pekerjaan biasa).

NASB: any laborious work (= pekerjaan berat apapun).

R. K. Harrison (Tyndale) (tentang Im 23:7): “This regulation is less stringent than that required for the sabbath (3), partly because a longer period of time was involved, and it applied also to the other major festivals (verse 21,25,35-36)” (= ) - hal 217.

Bdk. Im 23:21,25,35-36 - “(21) Pada hari itu juga kamu harus mengumumkan hari raya dan kamu harus mengadakan pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya di segala tempat kediamanmu turun-temurun. ... (25) Janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat dan kamu harus mempersembahkan korban api-apian kepada TUHAN.’ ... (35) Pada hari yang pertama haruslah ada pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat. (36) Tujuh hari lamanya kamu harus mempersembahkan korban api-apian kepada TUHAN, dan pada hari yang kedelapan kamu harus mengadakan pertemuan kudus dan mempersembahkan korban api-apian kepada TUHAN. Itulah hari raya perkumpulan, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat.

 

Maz 92:1-5 - “(1) Mazmur. Nyanyian untuk hari Sabat. (2) Adalah baik untuk menyanyikan syukur kepada TUHAN, dan untuk menyanyikan mazmur bagi namaMu, ya Yang Mahatinggi, (3) untuk memberitakan kasih setiaMu di waktu pagi dan kesetiaanMu di waktu malam, (4) dengan bunyi-bunyian sepuluh tali dan dengan gambus, dengan iringan kecapi. (5) Sebab telah Kaubuat aku bersukacita, ya TUHAN, dengan pekerjaanMu, karena perbuatan tanganMu aku akan bersorak-sorai”.

 

Bil 28:9-10 - “(9) ‘Pada hari Sabat: dua ekor domba berumur setahun yang tidak bercela, dan dua persepuluh efa tepung yang terbaik sebagai korban sajian, diolah dengan minyak, serta dengan korban curahannya. (10) Itulah korban bakaran Sabat pada tiap-tiap Sabat, di samping korban bakaran yang tetap dan korban curahannya”.

 

Matthew Henry (tentang Bil 28:9-15): “Every sabbath day the offering must be doubled; besides the two lambs offered for the daily burnt-offering, there must be two more offered, one (it is probable) added to the morning sacrifice, and the other to the evening, v. 9, 10. This teaches us to double our devotions on sabbath days, for so the duty of the day requires. The sabbath rest is to be observed, in order to a more close application to the sabbath work, which ought to fill up sabbath time. ... This is the burnt-offering of the sabbath in his sabbath, so it is in the original, v. 10. We must do every sabbath day’s work in its day, studying to redeem every minute of sabbath time as those that believe it precious; and not thinking to put off one sabbath’s work to another, for sufficient to every sabbath is the service thereof” (= ).

 

Calvin (tentang Bil 28:9): “on the Sabbath the continual sacrifice was to be double, and two lambs offered instead of one; for it was reasonable that, as the seventh day was peculiarly dedicated to God, it should be exalted above other days by some extraordinary and distinctive mark” (= ) - hal 301.

 

Yeh 46:1-3 - “(1) Beginilah firman Tuhan ALLAH: Pintu gerbang pelataran dalam yang menghadap ke sebelah timur haruslah tertutup selama enam hari kerja, tetapi pada hari Sabat supaya dibuka; pada hari bulan baru juga supaya dibuka. (2) Raja itu akan masuk dari luar melalui balai gerbang dan akan berdiri dekat tiang pintu gerbang itu. Sementara itu imam-imam akan mengolah korban bakaran dan korban keselamatan raja itu dan ia akan sujud menyembah di ambang pintu gerbang itu, lalu keluar lagi. Dan pintu gerbang itu tidak boleh ditutup sampai petang hari. (3) Penduduk negeri juga harus turut sujud menyembah di hadapan TUHAN di pintu gerbang itu pada hari Sabat dan hari bulan baru”.

 

Text ini jelas menunjukkan diperintahkannya bangsa Israel untuk berbakti kepada Tuhan di Bait Allah pada hari Sabat.

 

a)   Sebenarnya ‘berbakti kepada Tuhan’ merupakan tujuan dari istirahat pada hari Sabat. Bukan sekedar istirahatnya semata-mata yang ditekankan, tetapi kita harus beristirahat / berhenti mengurusi urusan sehari-hari kita, supaya kita bisa menggunakan hari itu untuk berbakti kepada Tuhan.

 

John Murray: “The weekly sabbath is based upon the divine example; the divine mode of procedure in creation determines one of the basic cycles by which human life here on earth is regulated, namely, the weekly cycle; this sequence of six days of labour and one of rest have applied to Adam in the state of innocence ...” (= Sabat mingguan didasarkan pada teladan ilahi; cara / prosedur ilahi dalam penciptaan menentukan satu dari siklus dasar oleh mana kehidupan manusia di bumi diatur, yaitu, siklus mingguan; urutan enam hari kerja dan satu hari istirahat ini telah diterapkan kepada Adam dalam keadaan tidak berdosa) - ‘Principles of Conduct’, hal 34.

 

John Murray: “Even in innocence man would have required time for specific worship. ... Unfallen man would need to suspend his weekly labours in order to refresh himself with the exercises of concentrated worship” (= Bahkan dalam ketidak-berdosaan manusia membutuhkan waktu tertentu untuk ibadah / kebaktian. ... Manusia yang belum jatuh ke dalam dosa butuh untuk menghentikan pekerjaan-pekerjaan mingguannya untuk menyegarkan dirinya sendiri dan pelaksanaan dari ibadah yang terkonsentrasi) - ‘Principles of Conduct’, hal 34.

 

Calvin (tentang Kel 20:8): “Surely God has no delight in idleness and sloth, and therefore there was no importance in the simple cessation of the labours of their hands and feet; nay, it would have been childish superstition to rest with no other view than to occupy their repose in the service of God. ... they were only called away from their own works, that, as if dead to themselves and to the world, they might wholly devote themselves to God. ... we must see what is the sum of this sanctification, viz., the death of the flesh, when men deny themselves and renounce their earthly nature, so that they may be ruled and guided by the Spirit of God” (= Jelas bahwa Allah tidak menyenangi kemalasan, dan karena itu tidak ada kepentingan dalam sekedar penghentian dari pekerjaan dari tangan dan kaki mereka; tidak, merupakan suatu takhyul yang kekanak-kanakan untuk beristirahat tanpa maksud untuk mengisi istirahat mereka dalam kebaktian / pelayanan Allah. ... mereka hanya dipanggil untuk menjauh dari pekerjaan-pekerjaan mereka sendiri, supaya, seakan-akan mati bagi diri mereka sendiri dan bagi dunia, mereka bisa membaktikan diri mereka seluruhnya kepada Allah. ... kita harus melihat intisari dari pengudusan ini, yaitu mati bagi daging, pada waktu manusia menyangkal diri mereka sendiri dan meninggalkan sifat duniawi mereka, sehingga mereka bisa diatur dan dipimpin oleh Roh Allah) - hal 434.

 

Calvin (tentang Kel 20:8): “the legitimate use of the Sabbath must be supposed to be self-renunciation, since he is in fact accounted to cease from his works who is not led by his own will nor indulges his own wishes, but who suffers himself to be directed by the Spirit of God” (= penggunaan yang sah dari Sabat harus dianggap sebagai penyangkalan diri sendiri, karena ia yang dianggap berhenti dari pekerjaan-pekerjaannya sebetulnya adalah ia yang tidak dibimbing oleh kehendaknya sendiri maupun menuruti pemuasan keinginannya sendiri, tetapi ia yang membiarkan dirinya diarahkan oleh Roh Allah) - hal 436.

 

Calvin (tentang Kel 20:8): “There is indeed no moment which should be allowed to pass in which we are not attentive to the consideration of the wisdom, power, goodness, and justice of God in His admirable creation and government of the world; but, since our minds are fickle, and apt therefore to be forgetful or distracted, God, in his indulgence providing against our infirmities, separates one day from the rest, and commands that it should be free from all earthly business and cares, so that nothing may stand in the way of that holy occupation. On this ground He did not merely wish that people should rest at home, but that they should meet in the sanctuary, there to engage themselves in prayer and sacrifices, and to make progress in religious knowledge through the interpretation of the Law” (= Memang tidak ada saat / waktu yang boleh dibiarkan berlalu dalam mana kita tidak memberi perhatian pada pertimbangan / perenungan tentang hikmat, kuasa, kebaikan, dan keadilan dari Allah dalam penciptaanNya dan pemerintahanNya atas alam semesta yang mengagumkan; tetapi karena pikiran kita plin-plan, dan karena itu condong untuk lupa atau disimpangkan, maka Allah, dalam kebaikanNya bersiap-siap untuk menghadapi kelemahan-kelemahan kita, memisahkan satu hari dari yang lainnya, dan memerintahkan bahwa hari itu harus bebas dari semua kesibukan dan kekuatiran duniawi, sehingga tidak ada apapun yang menghalangi pekerjaan / kesibukan kudus itu. Berdasarkan hal ini Ia tidak semata-mata menginginkan supaya manusia harus beristirahat di rumah, tetapi supaya mereka bertemu di tempat kudus, menyibukkan diri mereka sendiri dalam doa dan korban-korban di sana, dan untuk membuat kemajuan dalam pengetahuan agamawi melalui penafsiran dari hukum Taurat) - hal 437.

 

Matthew Henry (tentang Yer 17:19-27): “They must apply themselves to that which is the proper work and business of the day: ‘Hallow you the sabbath, that is, consecrate it to the honour of God and spend it in his service and worship.’ It is in order to this that worldly business must be laid aside, that we may be entire for, and intent upon, that work, which requires and deserves the whole man” (= Mereka harus menerapkan kepada diri mereka sendiri pekerjaan dan kesibukan yang benar pada hari itu: ‘Kuduskanlah hari Sabat, yaitu, kuduskanlah hari itu bagi kehormatan Allah dan habiskanlah / gunakanlah hari itu untuk pelayanan dan penyembahan / ibadah’. Adalah untuk tujuan ini maka kesibukan / urusan duniawi harus disingkirkan, supaya kita bisa sepenuhnya dan bersungguh-sungguh untuk pekerjaan itu, yang membutuhkan / menuntut dan layak mendapatkan seluruh diri manusia).

 

Jamieson, Fausset & Brown: “the physical rest, though necessarily made prominent in the prohibitory form of the enactment ... did not certainly comprehend the whole or the chief object of the institution. Such abstinence from ‘any manner of work’ would not be equivalent to ‘keeping holy the Sabbath day.’ It is a part - an important, but not the principal, end of it, which was to afford an opportunity of worshipping God” [= istirahat fisik, sekalipun perlu ditonjolkan dalam bentuk larangan dari undang-undang ... jelas tidak meliputi seluruh hukum ataupun merupakan tujuan utama dari hukum. Tindakan menjauhkan diri dari ‘setiap bentuk pekerjaan’ seperti itu tidak akan sama dengan ‘menjaga kekudusan hari Sabat’. Itu merupakan sebagian, suatu tujuan yang penting tetapi bukan tujuan yang utama dari hari Sabat, yang adalah mengadakan suatu kesempatan untuk berbakti kepada Allah].

 

Jadi, melakukan hal-hal dalam kebaktian, seperti berdoa, menyanyi, mendengar / belajar Firman Tuhan, dan bahkan melayani, jelas bukan dosa, tetapi bahkan merupakan hal-hal yang harus dilakukan pada hari Sabat, dan merupakan tujuan utama adanya hari Sabat.

 

Bdk. Maz 92:1-5 - “(1) Mazmur. Nyanyian untuk hari Sabat. (2) Adalah baik untuk menyanyikan syukur kepada TUHAN, dan untuk menyanyikan mazmur bagi namaMu, ya Yang Mahatinggi, (3) untuk memberitakan kasih setiaMu di waktu pagi dan kesetiaanMu di waktu malam, (4) dengan bunyi-bunyian sepuluh tali dan dengan gambus, dengan iringan kecapi. (5) Sebab telah Kaubuat aku bersukacita, ya TUHAN, dengan pekerjaanMu, karena perbuatan tanganMu aku akan bersorak-sorai”.

Catatan: memang ayat 1 (yang saya garis-bawahi), sebetulnya bukan termasuk dalam Kitab Suci. Kalau saudara menggunakan Kitab Suci bahasa Inggris maka bagian ini diletakkan di atas sebagai judul, dan ay 2 dalam Kitab Suci Indonesia merupakan ay 1 dalam Kitab Suci bahasa Inggris. Ay 1 dalam Kitab Suci Indonesia ini merupakan sesuatu yang ditambahkan kepada mazmur ini, dan seringkali bisa membuat kita lebih mengerti latar belakang mazmur tersebut. Tetapi bagian seperti ini tidak selalu benar. Kalau ay 1 dalam Kitab Suci Indonesia ini benar, maka kontext dari bagian ini adalah ‘nyanyian untuk hari Sabat’.

 

Matthew Henry (tentang Maz 92): “This psalm was appointed to be sung, at least it usually was sung, in the house of the sanctuary on the sabbath day” (= Mazmur ini ditetapkan untuk dinyanyikan, setidaknya itu biasanya dinyanyikan, dalam tempat kudus pada hari Sabat).

 

Matthew Henry (tentang Maz 92): “The sabbath day must be a day, not only of holy rest, but of holy work, and the rest is in order to the work” (= Hari Sabat haruslah menjadi suatu hari, bukan hanya dari istirahat yang kudus, tetapi pekerjaan yang kudus, dan istirahat itu tujuannya untuk bekerja).

 

Jamieson, Fausset & Brown (tentang Maz 92): “this psalm is for the ‘holy convocation’ on ‘the Sabbath’ (Lev. 23:3). On it the Church is to ‘rest from her own works,’ and to ‘triumph in the Lord’s work’ (Ps. 92:4) in saving her and destroying her foes” [= mazmur ini adalah untuk ‘pertemuan kudus’ pada hari Sabat (Im 23:3). Pada hari itu Gereja harus ‘beristirahat dari pekerjaan-pekerjaannya sendiri’, dan ‘bersukacita dalam pekerjaan Tuhan’ (Maz 92:4) dalam menyelamatkannya dan menghancurkan musuh-musuhnya].

 

b)   Kalau ada orang yang pada hari Sabat hanya beristirahat tetapi tidak berbakti, maka ada juga yang sebaliknya. Mereka berbakti, tetapi lalu bekerja lagi setelah kebaktian itu selesai. Kedua hal ini sama salahnya, karena seluruh hari Sabat itu harus untuk Tuhan.

 

Thomas Watson: “The Lord forbade manna to be gathered on the Sabbath. ... One might think it would have been allowed, as manna was the ‘staff of their life;’ and the time when it fell was between five and six in the morning, so that they might have gathered it betimes, and all the rest of the Sabbath might have been employed in God’s worship; and besides, they needed not to have taken any great journey for it, for it was but stepping out of their doors, and it fell about their tents: and yet they might not gather it on the Sabbath: and for purposing only to do it, God was very angry” (= Tuhan melarang manna dikumpulkan pada hari Sabat. ... Seseorang bisa berpikir bahwa itu akan diijinkan, karena manna merupakan ‘bahan pokok dari kehidupan mereka’; dan saat dimana manna itu jatuh adalah di antara pk 5 dan pk 6 pagi, sehingga mereka bisa mengumpulkannya sangat pagi, dan seluruh sisa dari hari Sabat bisa digunakan dalam ibadah kepada Allah; dan disamping itu, mereka tidak perlu melakukan perjalanan yang jauh untuk hal itu, karena mereka hanya perlu melangkah keluar pintu mereka dan manna itu jatuh di sekitar tenda-tenda mereka: tetapi toh mereka tidak boleh mengumpulkan manna itu pada hari Sabat: dan hanya karena adanya maksud seperti itu sudah membuat Allah sangat marah) - ‘The Ten Commandments’, hal 99.

 

c)   Kita harus berbakti kepada Tuhan di gereja (Im 19:30  26:2  Luk 4:16).

Im 19:30 - “Kamu harus memelihara hari-hari sabatKu dan menghormati tempat kudusKu; Akulah TUHAN”.

Im 26:2 - “Kamu harus memelihara hari-hari SabatKu dan menghormati tempat kudusKu, Akulah TUHAN”.

Luk 4:16 - “Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaanNya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab”.

 

Jadi, berbakti kepada Tuhan, bukanlah sekedar merupakan anjuran, tetapi merupakan suatu keharusan. Jadi, kalau kita tidak melakukannya, kita berdosa. Tetapi, pergi ke gereja pada hari Sabat / Minggu sebetulnya bukan hanya merupakan kewajiban kita tetapi juga kebutuhan kita.

 

Seseorang mengatakan: “After looking at the earth for six days we need the Lord’s day to look up” (= Setelah melihat pada bumi / dunia selama 6 hari, kita membutuhkan hari Tuhan untuk melihat ke atas).

 

Ada beberapa hal yang ingin saya persoalkan:

1.   Kita tidak boleh berbakti di rumah sendiri (kecuali kalau rumah saudara memang dijadikan gereja).

Ada orang-orang yang berbakti kepada Tuhan di rumahnya sendiri (membaca Kitab Suci sendiri, berdoa sendiri, menyanyi sendiri, dsb). Dengan adanya Mimbar agama Kristen di TV pada hari Minggu, hal ini bisa dilakukan oleh makin banyak orang.

 

Tetapi ini bukan cara berbakti yang benar, dan ini terlihat dari:

 

·        Ul 12:5-7 - “(5) Tetapi tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, dari segala sukumu sebagai kediamanNya untuk menegakkan namaNya di sana, tempat itulah harus kamu cari dan ke sanalah harus kamu pergi. (6) Ke sanalah harus kamu bawa korban bakaran dan korban sembelihanmu, persembahan persepuluhanmu dan persembahan khususmu, korban nazarmu dan korban sukarelamu, anak-anak sulung lembu sapimu dan kambing dombamu. (7) Di sanalah kamu makan di hadapan TUHAN, Allahmu, dan bersukaria, kamu dan seisi rumahmu, karena dalam segala usahamu engkau diberkati oleh TUHAN, Allahmu”.

 

Sebelum jaman Musa, maka tempat ibadah kepada Tuhan belum ditetapkan, dan karena itu orang boleh beri­badah di mana-mana. Tetapi sejak jaman Musa, Tuhan menetapkan satu tempat ibadah tertentu. Tetapi penetapan tempatnya juga bisa berubah.

*        pada jaman Israel ada di padang gurun, tentu saja Kemah Sucinya berpindah-pindah sesuai dengan keberadaan mereka.

*        pada jaman Eli dan Samuel, Kemah Suci ada di Silo (1Sam 1:3,9,24  1Sam 2:14  1Sam 3:21  1Sam 4:3).

*        pada jaman Daud, Kemah Suci dipindahkan ke Yerusalem (2Sam 6).

 

Tetapi pada jaman Perjanjian Baru, tidak ada tempat yang ditetapkan.

Yoh 4:20-24 - “(20) Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.’ (21) Kata Yesus kepadanya: ‘Percayalah kepadaKu, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. (22) Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. (23) Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. (24) Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran.’”.

 

Kata-kata ‘menyembah dalam roh’ di sini dikontraskan dengan kata-kata ‘menyembah secara lahiriah’. Contoh penyembahan yang lahiriah adalah penekanan tempat tertentu untuk ibadah, doa dsb (dalam kontex ini jelas inilah yang dimaksud. Bdk. ay 21). Dari sini jelas bahwa:

¨       Orang kristen tidak punya tempat / kota suci.

Jadi, Yerusalem, maupun Israel / Kanaan bukan merupakan tempat suci bagi orang kristen!

¨       Orang kristen tidak harus berbakti di gedung gereja.

Rumah, restoran, ruang senam, lapangan, atau tempat manapun / apapun, boleh dipakai sebagai tempat untuk berbakti.

Catatan: kalau pemerintah melarang hal-hal itu, itu lain urusan. Tetapi Kitab Suci sendiri tidak pernah melarang kebaktian di tempat-tempat seperti itu.

¨       Orang kristen tidak perlu pergi ke suatu tempat tertentu (misalnya bukit doa) kalau mau berdoa. Memang kita harus mencari tempat yang sunyi, tetapi bukan tempat tertentu.

¨       Orang kristen tidak perlu pergi ke tempat tertentu untuk menda­pat berkat tertentu. Bandingkan dengan Gereja Roma Katolik dengan Lourdes-nya, dan juga orang-orang yang mempercayai Toronto Blessing dengan Toronto-nya.

 

·        Im 23:3 - “Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, yakni hari pertemuan kudus; janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah sabat bagi TUHAN di segala tempat kediamanmu”.

Kata-kata ‘hari pertemuan kudus’ dalam terjemahan bahasa Inggris adalah sebagai berikut:

KJV: ‘an holy convocation’ (= suatu pertemuan kudus).

RSV/NASB: ‘a holy convocation’ (= suatu pertemuan kudus).

NIV: a day of sacred assembly (= suatu hari pertemuan keramat / kudus).

Jadi, semua terjemahan mengandung kata ‘pertemuan’, dan itu jelas menunjuk pada ibadah bersama, bukan sendiri-sendiri.

 

·        Adanya Kemah Suci atau Bait Suci.

Kalau Tuhan memang menghendaki setiap orang percaya berbakti sendiri-sendiri di rumah masing-masing, untuk apa didirikan Kemah Suci / Bait Allah?

 

·        Adanya hamba-hamba Tuhan.

Kalau memang Tuhan menghendaki setiap orang percaya berbakti di rumahnya masing-masing, apa gunanya Tuhan menetapkan adanya hamba Tuhan / gembala (Ef 4:11), penatua dan diaken (1Tim 3:1-13), dsb?

Ef 4:11 - “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar”.

1Tim 3:1-13 - “(1) Benarlah perkataan ini: ‘Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah.’ (2) Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, (3) bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, (4) seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. (5) Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah? (6) Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. (7) Hendaklah ia juga mempunyai nama baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis. (8) Demikian juga diaken-diaken haruslah orang terhormat, jangan bercabang lidah, jangan penggemar anggur, jangan serakah, (9) melainkan orang yang memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci. (10) Mereka juga harus diuji dahulu, baru ditetapkan dalam pelayanan itu setelah ternyata mereka tak bercacat. (11) Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang terhormat, jangan pemfitnah, hendaklah dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal. (12) Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik. (13) Karena mereka yang melayani dengan baik beroleh kedudukan yang baik sehingga dalam iman kepada Kristus Yesus mereka dapat bersaksi dengan leluasa”.

Kis 14:23 - “Di tiap-tiap jemaat rasul-rasul itu menetapkan penatua-penatua bagi jemaat itu dan setelah berdoa dan berpuasa, mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan, yang adalah sumber kepercayaan mereka”.

1Tim 5:17 - “Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar”.

 

·        Tidak bisanya kita bersekutu dengan saudara seiman, kalau kita berbakti sendiri di rumah masing-masing. Perlu diingat bahwa Kristen sangat menekankan persekutuan dengan saudara seiman.

Ibr 10:25 - “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat”.

 

Adam Clarke: “it is evident that the church was now in a state of persecution, ... For fear of persecution, it seems as if some had deserted these meetings, ... and the others were in danger of following their example” (= ).

 

Barnes’ Notes: “it refers to public worship. ... The command, then, here is, to meet together for the worship of God, and it is enjoined on Christians as an important duty to do it. It is implied, also, that there is blame or fault where this is ‘neglected.’ ... Why those here referred to neglected public worship, is not specified. It may have been from such causes as the following. (1) some may have been deterred by the fear of persecution, as those who were thus assembled would be more exposed to danger than others. (2) some may have neglected the duty because they felt no interest in it - as professing Christians now sometimes do. (3) it is possible that some may have had doubts about the necessity and propriety of this duty, and on that account may have neglected it. (4) or it may perhaps have been, though we can hardly suppose that this reason existed, that some may have neglected it from a cause which now sometimes operates - from dissatisfaction with a preacher, or with some member or members of the church, or with some measure in the church. Whatever were the reasons, the apostle says that they should not be allowed to operate, but that Christians should regard it as a sacred duty to meet together for the worship of God. None of the causes above suggested should deter people from this duty. With all who bear the Christian name, with all who expect to make advances in piety and religious knowledge, it should be regarded as a sacred duty to assemble together for public worship. Religion is social; and our graces are to be strengthened and invigorated by waiting together on the Lord. There is an obvious propriety that people should assemble together for the worship of the Most High, and no Christian can hope that his graces will grow, or that he can perform his duty to his Maker, without uniting thus with those who love the service of God” (= ).

 

Wycliffe Bible Commentary: “When Christians meet together, they exhort each other to fruitful service and unbroken fellowship. The danger of apostasy lurks in the failure of believers to meet together for mutual help” (= ).

 

A. T. Robertson: “‘As the custom of some is.’ ... Already some Christians had formed the habit of not attending public worship, a perilous habit then and now” (= ).

 

2.   Yang dimaksud ‘gereja’ adalah persekutuan orang kristen, bukan gedungnya.

Bdk. 1Kor 1:2 - kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita.

Kata ‘jemaat’ seharusnya adalah ‘gereja’, dan yang disebut dengan ‘gereja’ sebetulnya bukanlah ‘gedung’nya tetapi ‘orang’nya. Bandingkan dengan kata-kata selanjutnya dalam ay 2 - ‘yaitu mereka yang dikuduskan’.

Jadi, sekalipun kebaktian itu tidak diadakan di gedung gereja, tetapi di restoran, hotel, rumah, dsb, itu tidak jadi soal, selama orang-orang yang mengikuti kebaktian itu adalah orang-orang kristen yang sejati (biarpun tidak semuanya, karena pasti ada lalang di antara gandum), itu tidak jadi soal.

Sekarang ada gereja-gereja (biasanya yang sudah mapan) yang mengajar jemaatnya bahwa kebaktian di ruko, restoran, hotel, rumah, dsb, itu tidak sah. Kebaktian yang sah hanyalah kebaktian yang diadakan di gedung gereja. Ini adalah omong kosong yang busuk dan kurang ajar! Ingat bahwa orang kristen abad pertama juga tidak mempunyai gedung gereja, sehingga mereka berbakti di rumah-rumah yang digunakan sebagai tempat berbakti. Kalau itu semua tidak sah, maka boleh dikatakan semua orang Kristen abad-abad awal, dan juga semua rasul-rasul, melakukan kebaktian yang tidak sah!

 

3.   Sebetulnya, pergi ke gereja pada hari Sabat / Minggu itu bukan hanya merupakan kewajiban kita, tetapi juga kebutuhan kita.

 

Thomas Watson: “The Sabbath-day is for our interest; it promotes holiness in us. The business of week-days makes us forgetful of God and our souls: the Sabbath brings him back to our remembrance” (= Hari Sabat adalah untuk kepentingan kita; itu memajukan kekudusan dalam diri kita. Kesibukan dari hari-hari dalam minggu itu membuat kita lupa kepada Allah dan jiwa kita: hari Sabat membawa Dia kembali pada ingatan kita) - ‘The Ten Commandments’, hal 94.

 

Seseorang mengatakan: “After looking at the earth for six days we need the Lord’s day to look up” (= Setelah melihat pada bumi / dunia selama 6 hari, kita membutuhkan hari Tuhan untuk melihat ke atas).

 

4.   Dalam berbakti kepada Tuhan kita harus memilih gereja yang benar, karena kalau tidak, itu bukan berbakti kepada Tuhan.

Jadi, kita harus memilih gereja yang benar, yaitu gereja yang betul-betul percaya, tunduk dan mengajarkan Firman Tuhan, sebagai tempat kita berbakti.

 

Bdk. 1Kor 1:2 - kepada jemaat (gereja) Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita.

Merupakan sesuatu yang harus diperhatikan bahwa Paulus tetap menyebut gereja Korintus yang bejat ini dengan sebutan ‘gereja’. Paulus yakin akan hal itu karena apa yang dialaminya dalam Kis 18:9-10 - “(9) Pada suatu malam berfirmanlah Tuhan kepada Paulus di dalam suatu penglihatan: ‘Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam! (10) Sebab Aku menyertai engkau dan tidak ada seorangpun yang akan menjamah dan menganiaya engkau, sebab banyak umatKu di kota ini.’”.

Karena itulah ia yakin bahwa di tengah-tengah banyak orang kristen yang brengsek di gereja ini pasti ada yang tetap setia, dan dengan demikian gereja yang penuh dengan cacat cela ini tetap adalah gereja Tuhan.

Jadi, dalam persoalan menilai suatu gereja itu benar atau sesat, kita harus menghindari 2 pandangan / sikap extrim yang salah:

 

·        Pandangan bahwa suatu gereja baru bisa disebut gereja kalau gereja itu sempurna dan tidak ada cacat celanya. Tidak ada gereja seperti itu di dunia.

Calvin (tentang 1Kor 1:2): “it is a dangerous temptation to think that there is no Church at all where perfect purity is not to be seen. For the man that is prepossessed with this notion, must necessarily in the end withdraw from all others, and look upon himself as the only saint in the world, or set up a peculiar sect in company with a few hypocrites” (= merupakan suatu pencobaan yang berbahaya untuk berpikir bahwa di sana tidak ada Gereja sama sekali dimana kemurnian yang sempurna tidak terlihat. Karena orang yang dikuasai oleh pikiran ini, pada akhirnya pasti menarik dari semua yang lain, dan memandang dirinya sendiri sebagai satu-satunya orang suci di dunia, atau mendirikan suatu sekte khusus bersama dengan beberapa / sedikit orang-orang yang munafik) - hal 51.

Ini perlu diingat dan dicamkan, khususnya oleh orang-orang kristen tertentu, yang selalu berpindah gereja pada saat melihat adanya ketidak-beresan tertentu dalam gerejanya / pendetanya.

 

·        Pandangan bahwa semua gereja adalah gereja.

Ini salah karena jelas ada gereja-gereja sesat yang bukanlah gereja dalam pandangan Tuhan.

Bahwa tidak semua ‘gereja’ adalah ‘gereja’ di hadapan Tuhan, terlihat dari:

*        istilah ‘jemaah Iblis’ [NIV: ‘a synagogue of Satan’ (= sinagog Setan)] dalam Wah 2:9 dan Wah 3:9.

Wah 2:9 - “Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu - namun engkau kaya - dan fitnah mereka, yang menyebut dirinya orang Yahudi, tetapi yang sebenarnya tidak demikian: sebaliknya mereka adalah jemaah Iblis.

Wah 3:9 - “Lihatlah, beberapa orang dari jemaah Iblis, yaitu mereka yang menyebut dirinya orang Yahudi, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, melainkan berdusta, akan Kuserahkan kepadamu. Sesungguhnya Aku akan menyuruh mereka datang dan tersungkur di depan kakimu dan mengaku, bahwa Aku mengasihi engkau”.

*        istilah ‘rumahmu (bukan ‘rumahKu’ atau ‘rumah BapaKu’) yang digunakan oleh Yesus dalam Mat 23:38 untuk menunjuk kepada Bait Allah.

Mat 23:38 - “Lihatlah rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi”.

 

Perlu diingat bahwa kalau kita berbakti di gereja yang sesat, maka:

 

a.   Tuhan tidak menganggap bahwa saudara sudah berbakti kepadaNya.

Bdk. Yeh 23:38-39 - “(38) Selain itu hal ini juga mereka lakukan terhadap Aku, mereka menajiskan tempat kudusKu pada hari itu dan melanggar kekudusan hari-hari SabatKu. (39) Dan sedang mereka menyembelih anak-anak mereka untuk berhala-berhalanya, mereka datang pada hari itu ke tempat kudusKu dan melanggar kekudusannya. Sungguh, inilah yang dilakukan mereka di dalam rumahKu”.

Perhatikan bahwa ay 39 mengatakan bahwa mereka datang ke rumah Allah, tetapi mereka menyembah berhala dan menyembelih anak-anak mereka bagi berhala / dewa. Jelas mereka sesat, dan karena itu, sekalipun mereka datang ke rumah Allah, Allah tetap menganggap mereka menajiskan tempat kudus / rumah Allah dan melanggar kekudusan Sabat (ay 38).

 

b.   Kita mendukung dan memberi semangat kepada gereja sesat itu.

 

Kalau saudara segan untuk meninggalkan gereja saudara, padahal saudara tahu bahwa gereja saudara itu sesat, apapun alasannya, maka saudara perlu merenungkan pertanyaan ini secara serius: ‘Apakah aku mengikut Kristus, atau mengikut gerejaku?’.

 

Saya akan memberikan komentar dari beberapa penafsir tentang berbakti di gereja yang tidak benar.

 

Luk 4:16 - “Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaanNya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab”.

 

Adam Clarke (tentang Luk 4:16): “Our Lord regularly attended the public worship of God in the synagogues; for there the Scriptures were read: other parts of the worship were very corrupt; but it was the best at that time to be found in the land. To worship God publicly is the duty of every man, and no man can be guiltless who neglects it. If a person cannot get such public worship as he likes, let him frequent such as he can get. Better to attend the most indifferent than to stay at home, especially on the Lord’s day. The place and the time are set apart for the worship of the true God: if others do not conduct themselves well in it, that is not your fault, and need not be any hinderance to you. You come to worship God -  do not forget your errand - and God will supply the lack in the service by the teachings of his Spirit” (= ).

 

Barnes’ Notes (tentang Luk 4:16): “From this it appears that the Saviour regularly attended the service of the synagogue. In that service the Scriptures of the Old Testament were read, prayers were offered, and the Word of God was explained. ... There was great corruption in doctrine and practice at that time, but Christ did not on that account keep away from the place of public worship. From this we may learn: 1. That it is our duty ‘regularily’ to attend public worship. 2. That it is better to attend a place of worship which is not entirely pure, or where just such doctrines are not delivered as we would wish, than not attend at all. ... At the same time, this remark should not be construed as enjoining it as our duty to attend where the ‘true’ God is not worshipped, or where he is worshipped by pagan rites and pagan prayers. If, therefore, the Unitarian does not worship the true God, and if the Roman Catholic worships God in a manner forbidden and offers homage to the creatures of God, thus being guilty of idolatry, it cannot be a duty to attend on such a place of worship” (= ).

 

Jadi, lebih baik berbakti di gereja yang jelek dari pada tidak berbakti sama sekali. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita boleh berbakti di gereja yang betul-betul sesat, seperti Saksi Yehuwa, Mormon, dan menurut Barnes, Gereja Roma Katolik.

 

5.   Satu hal lain yang perlu disadari adalah bahwa membolos dari kebaktian Minggu, bukan hanya merupakan suatu dosa, tetapi juga merupakan suatu tindakan yang sangat kurang ajar kepada Tuhan.

Illustrasi: Ada seorang melihat seorang pengemis. Ia kasihan dan ingin memberinya uang. Dalam kantongnya ada 7 keping uang, dan ia lalu memberikan 6 keping kepada pengemis itu, dan menyisakan 1 keping untuk dirinya sendiri. Tetapi pengemis itu, yang melihat bahwa orang itu menyisakan satu keping untuk dirinya sendiri, lalu menyambar sisa yang 1 keping itu, dan lari. Ini betul-betul menunjukkan orang yang kurang ajar bukan? Tetapi itu coba bandingkan dengan analoginya: Allah mempunyai 7 hari, dan ia memberikan 6 hari bagi kita untuk bekerja, belajar, mengurus urusan-urusan kita dsb. Ia hanya menyisakan satu hari bagi diriNya sendiri, yaitu hari Sabat. Tetapi kita sering lalu menyambar hari yang satu itu dari tangan Allah, dan tetap menggunakannya untuk diri kita sendiri! Apa bedanya orang yang membolos dari kebaktian dengan pengemis yang kurang ajar tadi?

 

6.         Alasan yang tidak sah dan yang sah untuk tidak berbakti pada hari Sabat.

Hal-hal di bawah ini bukanlah alasan yang sah untuk membolos dari kebaktian hari Minggu, dan karena itu jangan membolos dari kebaktian hari Minggu, dengan alasan-alasan yang sangat umum di bawah ini:

·        ada tamu.

·        arisan / pertemuan RT / RW.

·        kerja bakti.

·        bekerja / lembur.

·        belajar.

·        piknik / keluar kota.

·        pergi ke pesta HUT.

·        ada acara dari ‘para-church’ (persekutuan, dsb).

Para pemimpin maupun pengikut dari para-church ini harus menyadari bahwa para-church didirikan untuk mendukung gereja, dan bukannya untuk menyaingi gereja. Karena itu mereka seharusnya tidak mengadakan acara pada hari Minggu!

·        saudara merasa sudah mengikuti ‘kebaktian’ Pernikahan.

Ingat bahwa upacara pernikahan di gereja sebetulnya bukanlah suatu kebaktian! Saya berpendapat bahwa hari Minggu bukanlah hari untuk menikah, tetapi untuk berbakti. Orang kristen seharusnya tidak menikah pada hari Minggu! Mengapa? Karena ini bukan hanya menyebabkan pengantinnya tidak bisa berbakti, tetapi juga menyebabkan banyak orang berdosa karena membolos dari kebaktian.

 

Alasan yang sah untuk tidak pergi ke kebaktian adalah kalau saudara sakit, dan itupun tentu bukan sembarang sakit. Sakitnya harus cukup berat (sehingga memang tidak memungkinkan saudara untuk berbakti atau berkonsentrasi dalam kebaktian), atau menular dan membahayakan. Sedangkan alasan yang lain adalah kalau terjadi hal-hal yang memang sangat extrim, seperti bencana alam, banjir yang hebat, atau kerusuhan massal.

 

IV) Ancaman hukuman dan janji berkat.

 Tuhan memberikan ancaman hukuman bagi orang-orang yang tidak mempedulikan hukum Sabat, dan sebaliknya, Ia juga memberikan janji berkat bagi orang-orang yang memelihara / mentaati hukum Sabat.

 

Yes 56:2-7 - “(2) Berbahagialah orang yang melakukannya, dan anak manusia yang berpegang kepadanya: yang memelihara hari Sabat dan tidak menajiskannya, dan yang menahan diri dari setiap perbuatan jahat. (3) Janganlah orang asing yang menggabungkan diri kepada TUHAN berkata: ‘Sudah tentu TUHAN hendak memisahkan aku dari pada umatNya’; dan janganlah orang kebiri berkata: ‘Sesungguhnya, aku ini pohon yang kering.’ (4) Sebab beginilah firman TUHAN: ‘Kepada orang-orang kebiri yang memelihara hari-hari SabatKu dan yang memilih apa yang Kukehendaki dan yang berpegang kepada perjanjianKu, (5) kepada mereka akan Kuberikan dalam rumahKu dan di lingkungan tembok-tembok kediamanKu suatu tanda peringatan dan nama - itu lebih baik dari pada anak-anak lelaki dan perempuan - , suatu nama abadi yang tidak akan lenyap akan Kuberikan kepada mereka. (6) Dan orang-orang asing yang menggabungkan diri kepada TUHAN untuk melayani Dia, untuk mengasihi nama TUHAN dan untuk menjadi hamba-hambaNya, semuanya yang memelihara hari Sabat dan tidak menajiskannya, dan yang berpegang kepada perjanjianKu, (7) mereka akan Kubawa ke gunungKu yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doaKu. Aku akan berkenan kepada korban-korban bakaran dan korban-korban sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbahKu, sebab rumahKu akan disebut rumah doa bagi segala bangsa”.

 

Yes 58:13-14 - “(13) Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudusKu; apabila engkau menyebutkan hari Sabat ‘hari kenikmatan’, dan hari kudus TUHAN ‘hari yang mulia’; apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong kosong, (14) maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN, dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan; Aku akan memberi makan engkau dari milik pusaka Yakub, bapa leluhurmu, sebab mulut Tuhanlah yang mengatakannya”.

 

Bdk. Yer 17:24-27 - “(24) Apabila kamu sungguh-sungguh mendengarkan Aku, demikianlah firman TUHAN, dan tidak membawa masuk barang-barang melalui pintu-pintu gerbang kota ini pada hari Sabat, tetapi menguduskan hari Sabat dan tidak melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, (25) maka melalui pintu-pintu gerbang kota ini akan berarak masuk raja-raja dan pemuka-pemuka, yang akan duduk di atas takhta Daud, dengan mengendarai kereta dan kuda: mereka dan pemuka-pemuka mereka, orang-orang Yehuda dan penduduk Yerusalem. Dan kota ini akan didiami orang untuk selama-lamanya. (26) Orang akan datang dari kota-kota Yehuda dan dari tempat-tempat sekitar Yerusalem, dari tanah Benyamin dan dari Daerah Bukit, dari pegunungan dan dari tanah Negeb, dengan membawa korban bakaran, korban sembelihan, korban sajian dan kemenyan, membawa korban syukur ke dalam rumah TUHAN. (27) Tetapi apabila kamu tidak mendengarkan perintahKu untuk menguduskan hari Sabat dan untuk tidak masuk mengangkut barang-barang melalui pintu-pintu gerbang Yerusalem pada hari Sabat, maka di pintu-pintu gerbangnya Aku akan menyalakan api, yang akan memakan habis puri-puri Yerusalem, dan yang tidak akan terpadamkan.’”.

Dalam text Yeremia ini ada janji berkat kalau mentaati hukum Sabat, dan sebaliknya ada ancaman hukuman kalau tidak mentaati hukum Sabat.

 

Calvin: “It is to be gathered without doubt from many passages, that the keeping of the Sabbath was a serious matter, since God inculcates no other commandment more frequently, nor more strictly requires obedience to any; and again, when He complains that He is despised, and that the Jews have fallen into extreme ungodliness, He simply says that His ‘Sabbaths are polluted,’ as if religion principally consisted in their observances. (Jer. 17:24; Ez. 20:21; 22:8; 23:38.)” (= ) - hal 435.

Catatan: sekalipun memang peraturan Sabat sangat ditekankan, tetapi saya tak terlalu yakin bahwa ini adalah hukum yang paling ditekankan. Saya kira, penekanan hukum 1 dan 2, tentang allah lain dan penyembahan berhala, masih lebih ditekankan dari pada hukum Sabat.

 

Pelanggaran terhadap peraturan Sabat merupakan dosa yang berat, karena pada jaman Perjanjian Lama, orang yang melanggar peraturan Sabat dijatuhi hukuman mati (Kel 31:14-15  Bil 15:32-36). Sekarang renungkan: kalau saudara melihat seseorang mencuri dan seorang lain membolos dari kebaktian / bekerja pada hari Sabat, yang mana yang saudara anggap lebih jahat / lebih memalukan? Saya yakin bahwa hampir semua orang di dunia ini akan menganggap bahwa yang mencuri itulah yang dosanya lebih berat / lebih memalukan. Tetapi Kitab Suci tidak menjatuhkan hukuman mati kepada pencuri, melainkan hanya hukuman denda (Kel 22:1), sedangkan terhadap pelanggar peraturan Sabat, Kitab Suci menjatuhkan hukuman mati. Karena itu jelaslah bahwa Kitab Suci / Tuhan menganggap bahwa pelanggaran peraturan Sabat adalah dosa yang lebih besar dari pada mencuri! Karena itu jangan remehkan pelanggaran terhadap hukum ini!

 

Kel 31:14-15 - “(14) Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya. (15) Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, hari kudus bagi TUHAN: setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari Sabat, pastilah ia dihukum mati”.

Kel 35:2 - “Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada perhentian kudus bagimu, yakni sabat, hari perhentian penuh bagi TUHAN; setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, haruslah dihukum mati”.

 

Renungkan: berapa kali saudara melanggar hukum keempat ini, baik dengan tidak beristirahat / tetap bekerja, maupun dengan tidak berbakti, pada hari Minggu? Tanpa Kristus sebagai Penebus dosa saudara, pelanggaran-pelanggaran saudara terhadap hukum keempat ini akan membawa saudara ke neraka.

 

V) Apendix: tahun Sabat dan tahun Yobel.

 

1)   Tahun Sabat.

 

Kel 23:10-11 - “(10) Enam tahunlah lamanya engkau menabur di tanahmu dan mengumpulkan hasilnya, (11) tetapi pada tahun ketujuh haruslah engkau membiarkannya dan meninggalkannya begitu saja, supaya orang miskin di antara bangsamu dapat makan, dan apa yang ditinggalkan mereka haruslah dibiarkan dimakan binatang hutan. Demikian juga kaulakukan dengan kebun anggurmu dan kebun zaitunmu.

 

Im 25:1-7,20-22 - “(1) TUHAN berfirman kepada Musa di gunung Sinai: (2) ‘Berbicaralah kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: Apabila kamu telah masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepadamu, maka tanah itu harus mendapat perhentian sebagai sabat bagi TUHAN. (3) Enam tahun lamanya engkau harus menaburi ladangmu, dan enam tahun lamanya engkau harus merantingi kebun anggurmu dan mengumpulkan hasil tanah itu, (4) tetapi pada tahun yang ketujuh haruslah ada bagi tanah itu suatu sabat, masa perhentian penuh, suatu sabat bagi TUHAN. Ladangmu janganlah kautaburi dan kebun anggurmu janganlah kaurantingi. (5) Dan apa yang tumbuh sendiri dari penuaianmu itu, janganlah kautuai dan buah anggur dari pokok anggurmu yang tidak dirantingi, janganlah kaupetik. Tahun itu harus menjadi tahun perhentian penuh bagi tanah itu. (6) Hasil tanah selama sabat itu haruslah menjadi makanan bagimu, yakni bagimu sendiri, bagi budakmu laki-laki, bagi budakmu perempuan, bagi orang upahan dan bagi orang asing di antaramu, yang semuanya tinggal padamu. (7) Juga bagi ternakmu, dan bagi binatang liar yang ada di tanahmu, segala hasil tanah itu menjadi makanannya. ... (20) Apabila kamu bertanya: Apakah yang akan kami makan dalam tahun yang ketujuh itu, bukankah kami tidak boleh menabur dan tidak boleh mengumpulkan hasil tanah kami? (21) Maka Aku akan memerintahkan berkat-Ku kepadamu dalam tahun yang keenam, supaya diberinya hasil untuk tiga tahun. (22) Dalam tahun yang kedelapan kamu akan menabur, tetapi kamu akan makan dari hasil yang lama sampai kepada tahun yang kesembilan, sampai masuk hasilnya, kamu akan memakan yang lama.’”.

 

Harold H. P. Dressler: “The Sabbath as a sign of the covenant between God and the people of Israel ... was also celebrated as a sabbatical year or year of rest for the land every seventh year (Lev. 25:1-7)” (= ) - D. A. Carson (Editor), ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 31.

 

 2)   Tahun Yobel.

Im 25:8-13 - “(8) Selanjutnya engkau harus menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun. (9) Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu. (10) Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya. (11) Tahun yang kelima puluh itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, jangan kamu menabur, dan apa yang tumbuh sendiri dalam tahun itu jangan kamu tuai, dan pokok anggur yang tidak dirantingi jangan kamu petik buahnya. (12) Karena tahun itu adalah tahun Yobel, haruslah itu kudus bagimu; hasil tahun itu yang hendak kamu makan harus diambil dari ladang. (13) Dalam tahun Yobel itu kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya”.

 

Harold H. P. Dressler: “The year of jubilee ... was a special sabbatical year. In this year the sign of the covenant emphasized the covenant God as Redeemer, Liberator, and Savior; He restores His people and the land on which they live. The land takes an additional rest in this year, and the people who had become servants were liberated. Land that had been sold in payment of debts reverted to its original owner. Thus every jubilee year was highlighting the Sabbath as a sign of the covenant leading the people to special worship of the God of the covenant as Redeemer and Savior” (= ) - D. A. Carson (Editor), ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 31.

 

Harold H. P. Dressler: “the designation of the Sabbath as a sign of the covenant takes the weekly celebration of the Sabbath as ‘covenant feasts,’ which are then highlighted every seventh year by the sabbatical year and every fiftieth year by the year of jubilee” (= ) - D. A. Carson (Editor), ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 31.

 

 

 

A. T. Lincoln: “the Sabbath itself can be called a covenant (Exod. 31:16). This covenant is designed a perpetual one (31:16), and the sign, which is further described as a sign of God’s creative activity in six days and rest on the seventh, is also described as ‘sign for ever’ (3:17). Before any unwarranted conclusion are drawn from these assertions of the everlasting nature of the institution of the Mosaic Sabbath, it must be recalled that various other elements of the Mosaic covenant are spoken of in exactly the same way, including aspects of the administration of the tabernacle, the sacrifices, and the priesthood (Exod 27:27; 28:43; 29:28; 30:21; 40:15; Lev. 6:18;22; 7:34,36; 24:8; Num. 18:19), and that the Noahic, Abrahamic, and Davidic covenants are all ascribed the sama quality of permanence (cf. Gen. 9:16; 17:7; 2Sam. 7:13,16; 23:5). ... like the elements of the tabernacle, the priesthood, and the offerings, the Sabbath itself can be said to be perpetual until its fulfillment. As the writer to the Hebrews indicates, the archetypes of which these elements are the types can be seen to be eternal and to have continuing validity through the fulfillment of the type” [= ] - D. A. Carson (Editor), ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 352,353.

Cari ayat yang dimaksud dalam surat Ibrani!

Catatan: Kel 27:27 itu tidak ada, jadi pasti salah cetak. Mungkin maksudnya Kel 27:21.

Kel 27:21 - “Di dalam Kemah Pertemuan di depan tabir yang menutupi tabut hukum, haruslah Harun dan anak-anaknya mengaturnya dari petang sampai pagi di hadapan TUHAN. Itulah suatu ketetapan yang berlaku untuk selama-lamanya bagi orang Israel turun-temurun.’”.

Kel 28:43 - “Harun dan anak-anaknya haruslah memakainya, apabila mereka masuk ke dalam Kemah Pertemuan atau apabila mereka datang ke mezbah untuk menyelenggarakan kebaktian di tempat kudus, supaya mereka jangan membawa kesalahan kepada dirinya, lalu mati. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya baginya dan bagi keturunannya.’”.

Kel 29:28 - “Itulah yang menjadi bagian untuk Harun dan anak-anaknya menurut ketetapan yang berlaku untuk selama-lamanya bagi orang Israel, sebab inilah suatu persembahan khusus, maka haruslah itu menjadi persembahan khusus dari pihak orang Israel, yang diambil dari korban keselamatan mereka, dan menjadi persembahan khusus mereka bagi TUHAN”.

Kel 30:21 - “haruslah mereka membasuh tangan dan kaki mereka, supaya mereka jangan mati. Itulah yang harus menjadi ketetapan bagi mereka untuk selama-lamanya, bagi dia dan bagi keturunannya turun-temurun.’”.

Kel 40:15 - “Urapilah mereka, seperti engkau mengurapi ayah mereka, supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku; dan ini terjadi, supaya berdasarkan pengurapan itu mereka memegang jabatan imam untuk selama-lamanya turun-temurun.’”.

Im 6:18,22 - “(18) Setiap laki-laki di antara anak-anak Harun haruslah memakannya; itulah suatu ketetapan untuk selamanya bagi kamu turun-temurun; itulah bagianmu dari segala korban api-apian TUHAN. Setiap orang yang kena kepada korban-korban itu menjadi kudus.’ ... (22) Dan imam dari antara anak-anaknya yang diurapi sebagai penggantinya, haruslah mengolahnya; itulah suatu ketetapan untuk selamanya. Seluruhnya haruslah dibakar bagi TUHAN”.

Im 7:34,36 - “(34) Karena dada persembahan unjukan dan paha persembahan khusus telah Kuambil dari orang Israel dari segala korban keselamatan mereka dan telah Kuberikan kepada imam Harun, dan kepada anak-anaknya; itulah suatu ketetapan yang berlaku bagi orang Israel untuk selamanya.’ ... (36) itulah yang harus diserahkan menurut perintah TUHAN dari pihak Israel kepada mereka pada hari mereka itu diurapiNya; itulah suatu ketetapan untuk selamanya bagi mereka turun-temurun.

Im 24:8 - “Setiap hari Sabat ia harus tetap mengaturnya di hadapan TUHAN; itulah dari pihak orang Israel suatu kewajiban perjanjian untuk selama-lamanya.

Bil 18:19 - “Segala persembahan khusus, yakni persembahan kudus yang dipersembahkan orang Israel kepada TUHAN, Aku berikan kepadamu dan kepada anak-anakmu laki-laki dan perempuan bersama-sama dengan engkau; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya; itulah suatu perjanjian garam untuk selama-lamanya di hadapan TUHAN bagimu serta bagi keturunanmu.’”.

Kej 9:16 - “Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjianKu yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi.’”.

Kej 17:7 - Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu”.

2Sam 7:13,16 - “(13) Dialah yang akan mendirikan rumah bagi namaKu dan Aku akan mengokohkan takhta kerajaannya untuk selama-lamanya. ... (16) Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya.’”.

2Sam 23:5 - “Bukankah seperti itu keluargaku di hadapan Allah? Sebab Ia menegakkan bagiku suatu perjanjian kekal, teratur dalam segala-galanya dan terjamin. Sebab segala keselamatanku dan segala kesukaanku bukankah Dia yang menumbuhkannya?”.

 

Bisa juga ditambahkan:

Kej 17:9,12,13 - “(9) Lagi firman Allah kepada Abraham: ‘Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjianKu, engkau dan keturunanmu turun-temurun. ... (12) Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun: baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu. ... (13) Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat; maka dalam dagingmulah perjanjianKu itu menjadi perjanjian yang kekal.

Kel 12:14,17,24 - “(14) Hari ini akan menjadi hari peringatan bagimu. Kamu harus merayakannya sebagai hari raya bagi TUHAN turun-temurun. Kamu harus merayakannya sebagai ketetapan untuk selamanya. ... (17) Jadi kamu harus tetap merayakan hari raya makan roti yang tidak beragi, sebab tepat pada hari ini juga Aku membawa pasukan-pasukanmu keluar dari tanah Mesir. Maka haruslah kamu rayakan hari ini turun-temurun; itulah suatu ketetapan untuk selamanya. ... (24) Kamu harus memegang ini sebagai ketetapan sampai selama-lamanya bagimu dan bagi anak-anakmu.

Kel 16:32-33 - “Musa berkata: ‘Beginilah perintah TUHAN: Ambillah segomer penuh untuk disimpan turun-temurun, supaya keturunan mereka melihat roti yang Kuberi kamu makan di padang gurun, ketika Aku membawa kamu keluar dari tanah Mesir.’ (33) Sebab itu Musa berkata kepada Harun: ‘Ambillah sebuah buli-buli, taruhlah manna di dalamnya segomer penuh, dan tempatkanlah itu di hadapan TUHAN untuk disimpan turun-temurun.’”.

Kel 29:9,42 - “(9) Kauikatkanlah ikat pinggang kepada mereka, kepada Harun dan anak-anaknya, dan kaulilitkanlah destar itu kepada kepala mereka, maka merekalah yang akan memegang jabatan imam; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya. Demikianlah engkau harus mentahbiskan Harun dan anak-anaknya. ... (42) suatu korban bakaran yang tetap di antara kamu turun-temurun, di depan pintu Kemah Pertemuan di hadapan TUHAN. Sebab di sana Aku akan bertemu dengan kamu, untuk berfirman kepadamu”.

Kel 30:8,10,31 - “(8) Juga apabila Harun memasang lampu-lampu itu pada waktu senja, haruslah ia membakarnya sebagai ukupan yang tetap di hadapan TUHAN di antara kamu turun-temurun. ... (10) Sekali setahun haruslah Harun mengadakan pendamaian di atas tanduk-tanduknya; dengan darah korban penghapus dosa pembawa pendamaian haruslah ia sekali setahun mengadakan pendamaian bagi mezbah itu di antara kamu turun-temurun; itulah barang maha kudus bagi TUHAN.’ ... (31) Dan kepada orang Israel haruslah kaukatakan demikian: Inilah yang harus menjadi minyak urapan yang kudus bagiKu di antara kamu turun-temurun.

Im 3:17 - “Inilah suatu ketetapan untuk selamanya bagi kamu turun-temurun di segala tempat kediamanmu: janganlah sekali-kali kamu makan lemak dan darah.’”.

Im 6:18,22 - “(18) Setiap laki-laki di antara anak-anak Harun haruslah memakannya; itulah suatu ketetapan untuk selamanya bagi kamu turun-temurun; itulah bagianmu dari segala korban api-apian TUHAN. Setiap orang yang kena kepada korban-korban itu menjadi kudus.’ ... (22) Dan imam dari antara anak-anaknya yang diurapi sebagai penggantinya, haruslah mengolahnya; itulah suatu ketetapan untuk selamanya. Seluruhnya haruslah dibakar bagi TUHAN”.

Im 7:34,36 - “(34) Karena dada persembahan unjukan dan paha persembahan khusus telah Kuambil dari orang Israel dari segala korban keselamatan mereka dan telah Kuberikan kepada imam Harun, dan kepada anak-anaknya; itulah suatu ketetapan yang berlaku bagi orang Israel untuk selamanya.’ (36) itulah yang harus diserahkan menurut perintah TUHAN dari pihak Israel kepada mereka pada hari mereka itu diurapiNya; itulah suatu ketetapan untuk selamanya bagi mereka turun-temurun.

Im 10:9,15 - “(9) ‘Janganlah engkau minum anggur atau minuman keras, engkau serta anak-anakmu, bila kamu masuk ke dalam Kemah Pertemuan, supaya jangan kamu mati. Itulah suatu ketetapan untuk selamanya bagi kamu turun-temurun. ... (15) Paha persembahan khusus dan dada persembahan unjukan itu haruslah dibawa mereka ke tempat segala korban api-apian yang dari lemak itu, supaya dipersembahkan sebagai persembahan unjukan di hadapan TUHAN. Itulah suatu ketetapan untuk selamanya bagimu serta bagi anak-anakmu seperti yang diperintahkan TUHAN.’”.

Im 16:29,34 - “(29) Inilah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu. ... (34) Itulah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagimu, supaya sekali setahun diadakan pendamaian bagi orang Israel karena segala dosa mereka.’ Maka Harun melakukan seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa”.

Im 23:14,21,31,41 - “(14) Sampai pada hari itu juga janganlah kamu makan roti, atau bertih gandum atau gandum baru, sampai kamu telah membawa persembahan Allahmu; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu turun-temurun di segala tempat kediamanmu. ... (21) Pada hari itu juga kamu harus mengumumkan hari raya dan kamu harus mengadakan pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya di segala tempat kediamanmu turun-temurun. ... (31) Janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagimu turun-temurun di segala tempat kediamanmu. ... (41) Kamu harus merayakannya sebagai perayaan bagi TUHAN tujuh hari lamanya dalam setahun; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagimu turun-temurun. Dalam bulan yang ketujuh kamu harus merayakannya”.

Im 24:3,9 - “(3) Harun harus tetap mengatur lampu-lampu itu di depan tabir yang menutupi tabut hukum, di dalam Kemah Pertemuan, dari petang sampai pagi, di hadapan TUHAN. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagimu turun-temurun. ... (9) Roti itu teruntuk bagi Harun serta anak-anaknya dan mereka harus memakannya di suatu tempat yang kudus; itulah bagian maha kudus baginya dari segala korban api-apian TUHAN; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya.’”.

Bil 10:8 - “Nafiri-nafiri itu harus ditiup oleh anak-anak imam Harun; itulah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagimu turun-temurun.

Bil 15:21,23,38 - “(21) Dari tepung jelaimu yang mula-mula haruslah kamu menyerahkan persembahan khusus kepada TUHAN, turun-temurun.’ ... (23) yakni dari segala yang diperintahkan TUHAN kepadamu dengan perantaraan Musa, mulai dari hari TUHAN memberikan perintah-perintahNya dan seterusnya turun-temurun, ... (38) ‘Berbicaralah kepada orang Israel dan katakanlah kepada mereka, bahwa mereka harus membuat jumbai-jumbai pada punca baju mereka, turun-temurun, dan dalam jumbai-jumbai punca itu haruslah dibubuh benang ungu kebiru-biruan”.

Bil 18:8,11,23 - “(8) Lagi berfirmanlah TUHAN kepada Harun: ‘Sesungguhnya Aku ini telah menyerahkan kepadamu pemeliharaan persembahan-persembahan khusus yang kepadaKu; semua persembahan kudus orang Israel Kuberikan kepadamu dan kepada anak-anakmu sebagai bagianmu; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya. ... (11) Dan inipun adalah bagianmu: persembahan khusus dari pemberian mereka yang lain, termasuk segala persembahan unjukan orang Israel; semuanya itu Kuberikan kepadamu dan kepada anak-anakmu laki-laki dan perempuan bersama-sama dengan engkau; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya. Setiap orang yang tahir dari seisi rumahmu boleh memakannya. ... (23) tetapi orang Lewi, merekalah yang harus melakukan pekerjaan pada Kemah Pertemuan dan mereka harus menanggung akibat kesalahan mereka; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagimu turun-temurun. Mereka tidak akan mendapat milik pusaka di tengah-tengah orang Israel”.

Bil 19:10,21 - “(10) Dan orang yang mengumpulkan abu lembu itu haruslah mencuci pakaiannya, dan ia najis sampai matahari terbenam. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagi orang Israel dan bagi orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu. ... (21) Itulah yang harus menjadi ketetapan bagi mereka untuk selama-lamanya. Orang yang menyiramkan air penyuci itu, ia harus mencuci pakaiannya, dan orang yang kena kepada air penyuci itu, ia menjadi najis sampai matahari terbenam”.

Bil 25:13 - untuk menjadi perjanjian mengenai keimaman selama-lamanya bagi dia dan bagi keturunannya, karena ia telah begitu giat membela Allahnya dan telah mengadakan pendamaian bagi orang Israel.’”.

Bil 35:29 - Itulah semuanya yang harus menjadi ketetapan hukum bagimu turun-temurun di segala tempat kediamanmu”.


e-mail us at [email protected]