(Jl. Dinoyo 19b, lantai 3)
Minggu, tgl 16 Maret 2008, pk 17.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
(8:
7064-1331 / 6050-1331)
f) Sekalipun
penjahat yang bertobat ini selamat / masuk surga pada saat ia mati, tetapi
pertobatan / imannya pada saat itu tidak membatalkan hukuman mati yang sedang ia
jalani ataupun menghapuskan rasa sakit yang sedang ia derita.
Bdk. Yoh 19:31-32 - “(31) Karena hari itu hari persiapan dan
supaya pada hari Sabat mayat-mayat itu tidak tinggal tergantung pada kayu salib
- sebab Sabat itu adalah hari yang besar - maka datanglah orang-orang Yahudi
kepada Pilatus dan meminta kepadanya supaya kaki orang-orang itu dipatahkan dan
mayat-mayatnya diturunkan. (32) Maka datanglah prajurit-prajurit lalu mematahkan
kaki orang yang pertama dan kaki orang yang lain yang disalibkan bersama-sama
dengan Yesus”.
1.
Dalam tradisi penyaliban orang Romawi, mereka membiarkan begitu saja
orang yang disalib itu sampai mati. Ini bisa memakan waktu berhari-hari. Setelah
orang itu mati, kadang-kadang mereka membiarkan mayat itu begitu saja pada
salibnya sebagai peringatan bagi semua orang, dan kadang-kadang mereka
menurunkannya dan membiarkan mayat itu dimakan burung pemakan bangkai atau
anjing.
Leon
Morris (NICNT):
“The Roman custom was to leave
the bodies of crucified criminals on their crosses as a warning to others. It
was therefore necessary to obtain permission before removing a body” (=
Kebiasaan Romawi adalah membiarkan mayat-mayat dari orang-orang kriminil yang
disalib itu pada salib mereka sebagai suatu peringatan bagi yang lain. Karena
itu perlu mendapatkan ijin sebelum menurunkan suatu mayat / tubuh) - hal 817.
William
Barclay: “When the Romans carried out
crucifixion under their own customs, the victim was simply left to die on the
cross. He might hang for days in the heat of the midday sun and the cold of the
night, tortured by thirst and tortured also by the gnats and the flies crawling
in the weals on his torn back. Often men died raving mad on their crosses. Nor
did the Romans bury the bodies of crucified criminals. They simply took them
down and let the vultures and the crows and the dogs feed upon them” (=
Pada waktu orang Romawi melakukan penyaliban dalam tradisi mereka, korban
dibiarkan begitu saja untuk mati pada salib. Ia bisa tergantung selama
berhari-hari dalam panasnya matahari pada tengah hari dan dinginnya malam,
disiksa oleh kehausan dan disiksa juga oleh serangga dan lalat yang merayap pada
punggungnya yang sudah tercabik-cabik. Seringkali orang-orang mati pada salib
mereka sambil ngoceh tak karuan seperti orang gila. Juga orang Romawi tidak
mengubur mayat-mayat dari penjahat-penjahat yang disalib. Mereka hanya
menurunkan mereka dan membiarkan burung pemakan bangkai dan gagak dan anjing
memakan mereka) - hal 260.
2.
Orang-orang (tokoh-tokoh) Yahudi meminta dilakukannya pematahan kaki dan
penurunan mayat dari kayu salib (ay 31). Mengapa?
a.
Karena mereka harus mempersiapkan diri untuk masuk hari Sabat (ay 31).
Persiapan
Sabat dimulai Jum’at pukul 3 siang.
b. ‘Sabat itu
adalah hari yang besar’ (ay 31).
Maksudnya
hari itu adalah hari Sabat yang istimewa, karena menjelang / bertepatan dengan
Paskah / Passover (= hari peringatan keluarnya orang Israel dari Mesir).
Pulpit
Commentary: “on
that particular year the weekly sabbath would coincide with the 15th
of Nissan, which had a sabbath value of its own” (= pada tahun itu sabbat
mingguan bertepatan dengan tanggal 15 dari bulan Nissan, yang mempunyai nilai
sabbat sendiri) - hal 436.
c.
Mereka tidak mau bahwa pada hari Sabat yang istimewa itu, tanah mereka
dinajiskan oleh adanya mayat / orang yang tergantung pada salib.
Bdk.
Ul 21:22-23 - “(22) ‘Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan
dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kaugantung dia pada sebuah
tiang, (23) maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu,
tetapi haruslah engkau menguburkan dia pada hari itu juga, sebab seorang yang
digantung terkutuk oleh Allah; janganlah engkau menajiskan tanah yang diberikan
TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.’”.
Tentang
hukum dalam Ul 21:22-23 ini, perlu diketahui bahwa pada jaman Perjanjian
Lama salib belum dikenal. Karena itu Ul 21:22-23 sebetulnya menunjuk pada
hukuman gantung dimana orangnya langsung mati, atau menunjuk kepada orang yang
setelah dihukum mati, lalu mayatnya digantung.
Tetapi
pada jaman Yesus, hukum ini diterapkan pada penyaliban, yang bisa berlangsung
berhari-hari. Bahwa orang yang disalib bisa bertahan berhari-hari, terlihat dari
kutipan-kutipan di bawah ini:
·
‘The
International Standard Bible Encyclopedia’ dalam article berjudul ‘Cross’
berkata sebagai berikut: “The
length of this agony was wholly determined by the constitution of the victim and
the extent of the prior flogging, but death was rarely seen before 36 hours
had passed” (= Lamanya / panjangnya penderitaan ini sepenuhnya
ditentukan oleh keberadaan korban itu secara fisik dan mental dan tingkat
pencambukan yang mendahuluinya, tetapi kematian jarang terlihat sebelum 36
jam berlalu).
·
Thomas Whitelaw: “When violence was not used, the crucified often lived 24 or 36
hours, sometimes three days and nights” (= Kalau kekerasan tidak
digunakan, orang yang disalib sering hidup selama 24 atau 36 jam,
kadang-kadang 3 hari 3 malam)
- hal 410.
·
William
Barclay dalam komentarnya tentang Luk 23:32-38 berkata sebagai berikut: “Many
a criminal was known to have hung for a week upon his cross until he died
raving mad” (= Banyak penjahat diketahui tergantung selama seminggu
pada salibnya sampai ia mati sambil mengoceh tidak karuan seperti orang gila).
·
Barnes’ Notes: “The law required that the bodies of those
who were hung should not remain suspended during the night. See Deut. 21:22-23.
That law was made when the punishment by crucifixion was unknown, and when those
who were suspended would almost immediately expire. In the punishment by
crucifixion, life was lengthened out for four, five, or eight days” (=
Hukum Taurat melarang mayat-mayat dari mereka yang digantung tetap tergantung
pada malam hari. Lihat Ul 21:22-23. Hukum itu dibuat pada waktu hukuman dengan
penyaliban tidak dikenal, dan pada waktu mereka yang digantung akan segera mati.
Dalam hukuman dengan penyaliban, hidup diperpanjang sampai empat, lima, atau
delapan hari).
·
‘Unger’s
Bible Dictionary’
dalam artikel berjudul ‘Crucifixion’
berkata sebagai berikut: “Instances
are on record of persons surviving nine days” (= Ada contoh-contoh
/ kejadian-kejadian yang tercatat dari orang-orang yang bertahan sampai 9
hari).
Bdk.
Mark 15:44 - “Pilatus heran waktu mendengar bahwa Yesus sudah mati.
Maka ia memanggil kepala pasukan dan bertanya kepadanya apakah Yesus sudah
mati”.
Pilatus
merasa heran karena Yesus mati dengan begitu cepat, dan ini menunjukkan bahwa
biasanya penyaliban membutuhkan waktu lebih lama untuk membunuh korbannya.
d.
Kalau orang hukuman itu diturunkan dari salib dalam keadaan masih hidup,
maka itu berarti bahwa ia tidak jadi dihukum mati. Karena itulah para tokoh
Yahudi itu meminta dilakukan pematahan kaki lebih dulu, supaya orang hukuman itu
cepat mati. Setelah orangnya mati, barulah mayatnya diturunkan.
Dari
semua ini terlihat bahwa orang-orang Yahudi ini berusaha mentaati peraturan
kecil (yaitu Ul 21:22-23), tetapi melanggar peraturan besar, yaitu membunuh
Yesus yang tak bersalah. Bandingkan dengan kecaman Yesus terhadap mereka dalam
Mat 23:23-24 - “(23) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas
manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu
abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus
dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. (24) Hai kamu pemimpin-pemimpin buta,
nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu
telan”.
Charles
Haddon Spurgeon:
“Their consciences were not
wounded by the murder of Jesus, but they were greatly moved by the fear of
ceremonial pollution. Religious scruples may live in a dead conscience” (=
Hati nurani mereka tidak terluka oleh pembunuhan terhadap Yesus, tetapi mereka
sangat tergerak oleh rasa takut akan pencemaran yang bersifat upacara. Keberatan
agamawi yang kecil-kecil bisa hidup dalam hati nurani yang mati) - ‘A
Treasury of Spurgeon on The Life and Work of Our Lord’, vol VI - ‘The
Passion and Death of Our Lord’, hal
665.
3. Tentang pematahan kaki.
Para
penafsir mengatakan bahwa pematahan kaki orang yang disalib ini dilakukan pada
bagian di antara lutut dan pergelangan kaki, dan ini dilakukan dengan
menggunakan besi atau martil yang berat. Ini tentu merupakan suatu tindakan yang
sangat kejam, karena menimbulkan rasa sakit yang luar biasa, tetapi pematahan
kaki ini ‘mengandung kebaikan’ karena hal ini mempercepat kematian.
Pulpit
Commentary: “Though a cruel act, it was
designed to shorten the sufferings of the crucified” (= Sekalipun
merupakan tindakan yang kejam, tindakan ini bertujuan untuk memperpendek
penderitaan orang yang disalib) - hal 439.
Pulpit
Commentary: “ ... a brutal custom, which added to the cruel shame and torment,
even though it hastened the end” (= ... kebiasaan / tradisi yang brutal,
yang ditambahkan pada rasa malu dan penyiksaan yang kejam, sekalipun ini
mempercepat kematian) - hal 432.
Ada
2 pandangan mengapa pematahan kaki bisa mempercepat kematian:
a. Karena sesak nafas.
Orang
yang disalib sukar bernafas, dan setiap mau bernafas harus menjejakkan kakinya
untuk mengangkat dadanya ke atas. Pada waktu kaki-kakinya dipatahkan, maka ia
tidak lagi bisa melakukan hal ini, dan akan mengalami sesak nafas, yang
mempercepat kematiannya.
F.
F. Bruce: “The common view today seems to
be that the breaking of the legs hastened death by asphyxiation. The weight of
the body fixed the thoracic cage so that the lungs could not expel the air which
was breathed in, but breathing by diaphragmatic action could continue for a long
time so long as the legs, fastened to the cross, provided a point of leverage.
When the legs were broken this leverage was no longer available and total
asphyxia followed rapidly” (= Kelihatannya pandangan yang umum pada jaman
ini adalah bahwa pematahan kaki
mempercepat kematian oleh sesak nafas. Berat badan menyebabkan ruang dada tidak
bisa dikempiskan sehingga paru-paru tidak dapat mengeluarkan udara yang dihisap,
tetapi bernafas dengan menggunakan diafragma bisa dilakukan untuk waktu yang
lama selama kaki, yang dipakukan pada salib, memberikan tekanan ke atas. Pada
waktu kaki-kaki dipatahkan pengangkatan ke atas ini tidak ada lagi, dan sesak
nafas total akan menyusul) - hal 375.
b.
Adanya rasa sakit yang luar biasa atau shock
/ kejutan yang ditimbulkannya, sehingga menyebabkan terjadinya kematian.
Charles
Haddon Spurgeon:
“... hastening death by the
terrible pain which it would cause, and the shock to the system which it would
occasion” (= ... mempercepat kematian oleh rasa sakit yang luar biasa yang
disebabkannya, dan kejutan pada sistim yang ditimbulkannya) - ‘A
Treasury of Spurgeon on The Life and Work of Our Lord’, vol VI - ‘The
Passion and Death of Our Lord’, hal
666.
William
Hendriksen: “Such breaking of the bones
(crurifragium, as it is called) by means of the heavy blows of a hammer or iron
was frightfully inhuman. It caused death, which otherwise might be delayed by
several hours or even days. Says Dr. S. Bergsma in an article ...: ‘The shock
attending such cruel injury to bones can be the coup de grace causing
death’” [= Pematahan tulang (disebut dengan istilah crurifragium) dengan
cara pemukulan menggunakan martil atau besi merupakan sesuatu yang menakutkan
yang tidak manusiawi. Ini menyebabkan kematian, yang sebetulnya bisa ditunda
beberapa jam atau bahkan beberapa hari. Kata Dr. S. Bergsma dalam suatu
artikel... : ‘Kejutan yang ditimbulkan oleh pelukaan yang kejam pada tulang
seperti itu bisa menjadi tindakan yang mengakhiri penderitaan dengan
kematian’] - hal 436.
Ada
juga yang menggabungkan kedua pandangan di atas.
Leon
Morris (NICNT):
“The victims of this cruel form
of execution could ease slightly the strain on their arms and chests by taking
some of their weight on the feet. This helped to prolong their lives somewhat.
When the legs were broken this was no longer possible. There was then a greater
constriction of the chest, and the death came on more quickly. This was aided
also, of course, by the shock attendant on the brutal blows as the legs were
broken with a heavy mallet” (= Korban-korban dari hukuman mati yang kejam
ini bisa mengurangi sedikit ketegangan pada lengan dan dada mereka dengan
memindahkan sebagian berat pada kaki / menekan pada kaki. Ini menolong untuk
memperpanjang hidup mereka. Pada saat kaki mereka dipatahkan ini tidak lagi
mungkin dilakukan. Karena itu lalu terjadi kesesakan yang lebih besar pada dada,
dan kematian datang lebih cepat. Tentu saja ini didukung pula oleh kejutan yang
menyertai pukulan-pukulan brutal pada saat kaki-kaki mereka dipatahkan dengan
martil yang berat)
- hal 817-818.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Crucifixion’: “Death, apparently caused by exhaustion or by heart failure,
could be hastened by shattering the legs (crurifragium) with an iron club, so
that shock and asphyxiation soon ended his life”
[= Kematian, rupanya disebabkan oleh kehabisan tenaga atau oleh gagal jantung,
bisa dipercepat oleh penghancuran kaki-kaki (crurifragrium) dengan suatu
pentungan besi, sehingga kejutan / shock dan sesak nafas segera
mengakhiri hidupnya].
4.
Para tentara Romawi lalu mematahkan kaki dari 2 penjahat yang disalib
bersama Yesus (ay 32).
a.
Sesuatu yang penting diperhatikan dalam bagian ini adalah bahwa penjahat
yang bertobat mengalami nasib yang sama dengan penjahat yang tidak bertobat.
Tuhan tidak lalu mengadakan ‘rapture’ (= pengangkatan) bagi dia sebelum hal itu dilakukan!
Matthew
Henry: “One
of these thieves was a penitent, and had received from Christ an assurance that
he should shortly be with him in paradise, and yet died in the same pain and
misery that the other thief did” (= Satu dari pencuri-pencuri ini
bertobat, dan telah menerima dari Kristus suatu jaminan bahwa ia akan segera
bersamaNya di Firdaus / surga, tetapi ia mati dengan rasa sakit dan kesengsaraan
yang sama seperti yang dirasakan oleh pencuri yang lain).
Charles
Haddon Spurgeon:
“It is a striking fact that the
penitent thief, although he was to be in Paradise with the Lord that day, was
not, therefore, delivered from the excruciating agony occasioned by the breaking
of his legs. We are saved from eternal misery, not from temporary pain. ... You
must not expect because you are pardoned, even if you have the assurance of it
from Christ’s own lips, that, therefore, you shall escape tribulation”
(= Adalah merupakan fakta yang menyolok bahwa pencuri / penjahat yang bertobat,
sekalipun akan bersama dengan Tuhan di Firdaus pada hari itu, tidak dibebaskan
dari penderitaan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh pematahan kakinya. Kita
diselamatkan dari kesengsaraan kekal, bukan dari rasa sakit sementara. ...
Engkau tidak boleh mengharapkan, karena engkau diampuni, bahkan jika engkau
mendapatkan keyakinan tentangnya dari bibir Kristus sendiri, bahwa karena itu
engkau akan lolos dari kesengsaraan) - ‘A
Treasury of Spurgeon on The Life and Work of Our Lord’, vol VI - ‘The
Passion and Death of Our Lord’, hal 666.
Penerapan:
·
Seorang
kristen berkata kepada saya bahwa menurut dia 5 orang kristen yang mati dibakar
di Situbondo pada beberapa waktu yang lalu itu, pasti tidak merasa sakit.
Sebelum mereka merasa sakit, Tuhan sudah ‘mengangkat’ mereka. Saya sama
sekali tidak yakin akan kebenaran kata-kata yang tidak mempunyai dasar Kitab
Suci ini!
·
Kalau ada
gempa bumi, banjir, atau bencana lain apapun juga, jangan heran kalau gereja /
orang kristen juga terkena. Tuhan memang bisa menghindarkan hal itu dari gereja
/ orang kristen, dan kadang-kadang Ia melakukan hal itu, tetapi seringkali Ia
membiarkan orang kristen terkena bencana bersama-sama dengan orang kafir!
b.
Sekalipun pematahan kaki ini memberi penderitaan yang luar biasa bagi
penjahat yang bertobat itu, tetapi pematahan kaki ini juga dipakai oleh Tuhan
untuk memberi berkat kepadanya, karena melalui pematahan kaki ini ia mati pada
hari itu juga, sehingga kata-kata / janji Yesus kepadanya dalam Luk 23:43
tergenapi.
Charles
Haddon Spurgeon:
“Suffering is not averted, but
it is turned into a blessing. The penitent thief entered into Paradise that very
day, but it was not without suffering; say, rather, that the terrible stroke was
the actual means of the prompt fulfilment of his Lord’s promise to him. By
that blow he died that day; else might he have lingered long” (=
Penderitaan tidak dicegah / dihindarkan, tetapi penderitaan itu diubah menjadi
suatu berkat. Pencuri yang bertobat itu masuk ke Firdaus hari itu juga, tetapi
itu tidak terjadi tanpa penderitaan; sebaliknya pukulan yang mengerikan itu
merupakan jalan / cara yang sebenarnya untuk penggenapan yang tepat dari janji
Tuhannya kepadanya. Oleh pukulan itu ia mati pada hari itu; kalau tidak ia
mungkin akan tetap hidup lama) - ‘A
Treasury of Spurgeon on The Life and Work of Our Lord’, vol VI - ‘The
Passion and Death of Our Lord’, hal 666.
Calvin:
“What is promised to the robber does not alleviate his present
sufferings, nor make any abatement of his bodily punishment. This reminds us
that we ought not to judge of the grace of God by the perception of the flesh;
for it will often happen that those to whom God is reconciled are permitted by
him to be severely afflicted. So then, if we are dreadfully tormented in body,
we ought to be on our guard lest the severity of pain hinder us from tasting the
goodness of God; but, on the contrary, all our afflictions ought to be mitigated
and soothed by this single consolation, that as soon as God has received us into
his favor, all the afflictions which we endure are aids to our salvation. This
will cause our faith not only to rise victorious over all our distresses, but to
enjoy calm repose amidst the endurance of sufferings” (= Apa yang
dijanjikan kepada perampok itu tidak mengurangi pnderitaannya pada saat itu,
ataupun mengurangi / meredakan hukuman fisiknya. Ini mengingatkan kita bahwa
kita tidak boleh menilai kasih karunia Allah oleh penglihatan / pemahaman
daging; karena akan sering terjadi bahwa mereka dengan siapa Allah diperdamaikan
diijinkan untuk menderita secara hebat. Jadi, kalau kita disiksa secara
menakutkan secara fisik, kita harus berjaga-jaga supaya jangan hebatnya rasa
sakit menghalangi kita untuk mengecap / merasakan kebaikan Allah; tetapi
sebaliknya, seluruh penderitaan kita harus dikurangi / diredakan dan ditenangkan
oleh penghiburan tunggal ini, bahwa begitu Allah telah menerima kita ke dalam
kebaikanNya, semua penderitaan yang kita alami adalah penolong-penolong ke arah
keselamatan kita. Ini akan menyebabkan iman kita bukan hanya naik dan menang
atas semua penderitaan kita, tetapi juga menikmati istirahat / ketenangan di
tengah-tengah penderitaan).
-AMIN-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ