Eksposisi
Surat Paulus kepada Timotius yang Pertama
oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.
Ay 8:
“Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan
menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan”.
1) ‘di
mana-mana’.
Adam Clarke:
“‘Everywhere.’ En panti topoo.
‘In every place.’ That they should always have a praying heart, and this
will ever find a praying place. This may refer to a Jewish superstition. They
thought, at first, that no prayer could be acceptable that was not offered at
the temple at Jerusalem; afterward this was extended to the Holy Land; but, when
they became dispersed among the nations, they built oratories or places of
prayer, principally by rivers and by the seaside; and in these they were obliged
to allow that public prayer might be legally offered, but nowhere else. In
opposition to this, the apostle, by the authority of Christ, commands men to
pray everywhere; that all places belong to God’s dominions; and, as he fills
every place, in every place he may be worshipped and glorified” [= ‘Di
mana-mana’. EN PANTI TOPOO. ‘Di setiap tempat’. Bahwa mereka harus selalu
mempunyai hati yang (senang) berdoa, dan ini akan selalu menemukan tempat
untuk berdoa. Ini mungkin menunjuk pada takhyul Yahudi. Mula-mula mereka
berpikir bahwa tidak ada doa yang bisa diterima yang tidak dinaikkan di Bait
Suci di Yerusalem; setelah itu ini diperluas pada Tanah Suci; tetapi, pada waktu
mereka disebarkan di antara bangsa-bangsa, mereka membangun oratori-oratori atau
tempat-tempat berdoa, terutama di dekat sungai dan pantai; dan dalam
tempat-tempat ini mereka terpaksa mengijinkan bahwa doa umum bisa dinaikkan
secara sah, tetapi tidak di tempat lain. Bertentangan dengan ini, sang rasul,
dengan otoritas Kristus, memerintahkan orang laki-laki untuk berdoa di
mana-mana; bahwa semua tempat ada dalam kekuasaan Allah; dan karena Ia memenuhi
setiap tempat, di setiap tempat Ia boleh disembah dan dimuliakan].
Matthew
Henry: “Now, under the gospel,
prayer is not to be confined to any one particular house of prayer, but men must
pray every where: no place is amiss for prayer, no place more acceptable to God
than another, Jn. 4:21. Pray every where. We must pray in our closets, pray in
our families, pray at our meals, pray when we are on journeys, and pray in the
solemn assemblies, whether more public or private” (= Sekarang, dalam
jaman Injil, doa tidak dibatasi pada satu rumah doa khusus / tertentu manapun
juga, tetapi orang laki-laki harus berdoa di mana-mana: tidak ada tempat yang
salah untuk berdoa, tidak ada tempat yang lebih diterima bagi Allah dari pada
tempat yang lain, Yoh 4:21. ‘Berdoalah di mana-mana’. Kita harus berdoa di
kamar kita, berdoa dalam keluarga kita, berdoa pada saat makan, berdoa pada
waktu dalam perjalanan, dan berdoa dalam pertemuan kudus, apakah bersifat umum
atau pribadi).
2) ‘orang
laki-laki berdoa’.
Ini
bertentangan dengan pemikiran kebanyakan orang bahwa orang perempuanlah yang
harus berdoa. Paulus menginginkan supaya orang laki-laki juga berdoa!
Tetapi lebih
dari itu, banyak penafsir yang beranggapan bahwa karena ayat ini ada dalam
kontext ibadah / kebaktian, maka perintah ini menunjukkan bahwa hanya orang
laki-laki sajalah yang boleh memimpin suatu doa dalam kebaktian.
Pulpit
Commentary: “The persons who are to
pray in the Christian assemblies. These are limited to the men. The prayers and
the teaching in the congregation are to be conducted by men only. ... in the
Church assemblies the functions of public prayers, and public teaching and
preaching, are confined to men” (= Orang-orang yang harus berdoa dalam
pertemuan-pertemuan Kristen. Ini dibatasi pada laki-laki. Doa-doa dan
pengajaran-pengajaran dalam jemaat harus dipimpin oleh laki-laki saja. ... dalam
pertemuan-pertemuan Gereja, pelaksanaan / kewajiban doa di depan umum, dan
pengajaran dan khotbah umum, dibatasi pada laki-laki) - hal 37.
Pulpit
Commentary: “The apostle expresses
not a mere wish or desire, but, what is equivalent to a solemn command, that the
men alone should be responsible for the conduct of the public services” (=
Sang rasul menyatakan bukan sekedar suatu keinginan, tetapi, apa yang setara
dengan suatu perintah yang kudus / khidmat, bahwa laki-laki saja yang harus
bertanggung jawab untuk memimpin kebaktian umum) - hal 40.
Pulpit
Commentary: “The mind of the
apostle, as here expressed, is that in every place where men and women assemble
for Divine worship, the duty of conducting the public devotions shall devolve
upon the men. They, and not the women, as appears from the following contrast,
are to be the mouth of the congregation in prayer offered to God” (=
Pikiran sang rasul, sebagaimana dinyatakan di sini, adalah bahwa di setiap
tempat dimana laki-laki dan perempuan berkumpul untuk berbakti kepada Allah,
kewajiban untuk memimpin ibadah umum diberikan kepada laki-laki. Mereka, dan
bukannya perempuan, seperti terlihat dari kontras berikutnya, harus menjadi
mulut dari jemaat dalam doa yang dinaikkan kepada Allah) - hal 48.
Kalau ini
benar, maka doa dalam kebaktian tak boleh dipimpin oleh seorang perempuan. Juga
jelas bahwa tak boleh ada ‘chair-woman’ (= pemimpin liturgi
perempuan) dalam kebaktian.
3) ‘menadahkan
tangan’.
a)
Kebanyakan penafsir menganggap bahwa ayat ini hanya membicarakan posisi doa.
William
Hendriksen menunjukkan (hal 103 -104) bahwa dalam Kitab Suci ada orang-orang
berdoa dengan bermacam-macam posisi, seperti:
· berdiri.
· tangan
diangkat ke atas ke arah surga.
· kepala
ditundukkan.
· mata
diarahkan ke surga.
· berlutut.
· wajah
ditelungkupkan di tanah.
William
Hendriksen: “The present custom of
closing the eyes while folding the hands is of disputed origin. Though
unrecorded in Scripture and unknown to the early church, the custom may be
considered a good one if properly interpreted. It helps the worshipper to shut
out harmful distractions and to enter the sphere where ‘none but God is
near.’” (= Kebiasaan saat ini untuk menutup mata dan melipat tangan
diperdebatkan asal usulnya. Sekalipun tidak dicatat dalam Kitab Suci dan tidak
dikenal bagi gereja mula-mula, kebiasaan itu bisa dianggap suatu kebiasaan yang
baik jika ditafsirkan secara benar. Itu menolong orang yang berbakti untuk
menyingkirkan pemecah perhatian yang merugikan, dan untuk memasuki lingkungan
dimana ‘tidak ada siapapun kecuali Allah yang dekat’) - hal 104.
Catatan:
saya bisa menyetujui hal ini untuk tindakan menutup mata, tetapi tidak tentang
tindakan melipat tangan.
William
Hendriksen: “What is stressed,
however, throughout Scripture and also in the passage now under study, is not
the posture of the body or the position of the hands but the inner attitude of
the soul” (= Tetapi, apa yang ditekankan dalam sepanjang Kitab Suci, dan
juga dalam text yang sekarang sedang dipelajari, bukanlah posisi dari tubuh atau
posisi dari tangan, tetapi sikap di dalam dari jiwa) - hal 104.
b)
Adam Clarke mungkin adalah satu-satunya penafsir yang memberikan penafsiran
berbeda tentang bagian ini.
Adam Clarke:
“the apostle probably alludes to the Jewish custom of laying their hands
on the head of the animal which they brought for a sin-offering, confessing
their sins, and then giving up the life of the animal as an expiation for the
sins thus confessed. And this very notion is conveyed in the original term epairontas,
from airoo, ‘to lift up,’ and epi,
‘upon’ or ‘over.’ This shows us how Christians should pray. They should
come to the altar; set God before their eyes; humble themselves for their sins;
bring as a sacrifice the Lamb of God; lay their hands on this sacrifice; and by
faith offer it to God in their souls’ behalf, expecting salvation through his
meritorious death alone” [= sang rasul mungkin menyinggung kebiasaan
Yahudi pada waktu mereka menumpangkan tangan mereka pada kepala dari binatang
yang mereka bawa untuk korban penebusan dosa, sambil mengaku dosa-dosa mereka,
dan lalu menyerahkan nyawa dari binatang itu sebagai penebusan untuk dosa-dosa
yang diakui. Dan gagasan ini disampaikan dalam istilah orisinil (bahasa
asli) EPAIRONTAS, dari AIROO, ‘mengangkat’, dan EPI, ‘pada’ atau
‘di atas’. Ini menunjukkan bagaimana orang-orang Kristen harus berdoa.
Mereka harus datang pada altar; mengarahkan mata mereka kepada Allah;
merendahkan diri mereka untuk dosa-dosa mereka; membawa sebagai korban Anak
Domba Allah; meletakkan tangan mereka pada Korban ini; dan dengan iman
mempersembahkanNya kepada Allah demi kepentingan jiwa mereka, mengharapkan
keselamatan melalui kematianNya saja].
4) ‘yang suci’.
Barclay:
“He who prays must stretch forth holy hands. He must hold up to God
hands which do not touch the forbidden things. This does not mean for one moment
that the sinner is debarred from God; but it does mean that there is no reality
in the prayers of the man who then goes out to soil his hands with forbidden
things, as if he had never prayed. It is not thinking of the man who is
helplessly fighting against it, bitterly conscious of his failure. It is
thinking of the man whose prayers are a sheer formality” (= Ia yang berdoa
harus menadahkan tangan yang suci. Ia harus mengangkat kepada Allah tangan yang
tidak menyentuh hal-hal terlarang. Ini sama sekali tidak berarti bahwa orang
berdosa dihalangi dari Allah; tetapi itu berarti bahwa tidak ada kenyataan dalam
doa dari orang yang lalu keluar untuk mengotori tangannya dengan hal-hal yang
terlarang; seakan-akan ia tidak pernah berdoa. Ini tidak memikirkan orang yang
dengan tak berdaya berjuang melawan dosa, dan dengan pahit sadar akan
kegagalannya. Ini memikirkan orang yang doa-doanya hanyalah semata-mata
formalitas) - hal 65.
Barnes’
Notes: “‘Holy hands’ here, mean
hands that are not defiled by sin, and that have not been employed for any
purpose of iniquity. The idea is, that when men approach God they should do it
in a pure and holy manner” (= ‘tangan yang suci’ di sini, berarti
tangan yang tidak dikotori oleh dosa, dan yang tidak digunakan untuk tujuan
kejahatan apapun. Gagasannya adalah, bahwa pada waktu manusia mendekati Allah
mereka harus melakukannya dengan cara yang murni dan kudus / suci).
Bandingkan
dengan:
5) ‘tanpa
marah’.
Adam Clarke:
“‘Without wrath.’ Having no vindictive feeling against any person;
harbouring no unforgiving spirit, while they are imploring pardon for their own
offences” (= ‘Tanpa marah’. Tidak mempunyai perasaan ingin balas
dendam terhadap siapapun; tidak mempunyai roh yang tidak mengampuni, sementara
mereka memohon dengan sangat pengampunan untuk pelanggaran-pelanggaran mereka
sendiri).
Bdk. Mat 6:12,14-15
- “(12) dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga
mengampuni orang yang bersalah kepada kami; ... (14) Karena jikalau kamu
mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. (15)
Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu."”.
6) ‘tanpa
perselisihan’.
KJV: ‘without
... doubting’ (= tanpa ... keraguan).
RSV: ‘without
... quarreling’ (= tanpa ... pertengkaran).
NIV: ‘without
... disputing’ (= tanpa ... perselisihan).
NASB: ‘without
... dissension’ (= tanpa ... perselisihan).
Kelihatannya
KJV berbeda dengan Kitab Suci Indonesia / RSV / NIV / NASB yang menterjemahkan
kurang lebih sama. Mengapa bisa berbeda? Karena kata Yunani yang digunakan
memang bisa diterjemahkan sebagai ‘pertengkaran’ atau ‘keraguan’.
Jamieson,
Fausset & Brown: “‘Doubting,’
dialogismou - translated, Phil.
2:14, ‘disputing.’ But elsewhere it means ‘doubting;’ reasonings as to
whether prayer shall obtain an answer. However, the verb means ‘dispute’
(Mark 9:33-34). Such things hinder prayer” [= ‘Keraguan’. DIALOGISMOU
- diterjemahkan dalam Fil 2:14 ‘berbantah-bantahan’. Tetapi di tempat lain
itu berarti ‘keraguan’; pertimbangan apakah doa akan mendapatkan jawaban.
Bagaimanapun, kata kerjanya berarti ‘mempertengkarkan’ (Mark 9:33-34).
Hal-hal seperti itu menghalangi doa].
Barclay:
“The word used is DIALOGISMOS, which can mean both an argument and a
doubt. If we take it in the sense of argument, it simply repeats what has gone
before and restates the fact that bitterness and quarrels and venomous debates
are a hindrance to prayer. It is better to take it in the sense of doubt”
(= Kata yang digunakan adalah DIALOGISMOUS, yang bisa berarti ‘argumentasi’
dan ‘keraguan’. Jika kita mengambil arti ‘argumentasi’, itu hanya
mengulang apa yang sudah ada sebelumnya dan menyatakan lagi fakta bahwa
kepahitan dan pertengkaran dan perdebatan yang sengit merupakan suatu halangan
bagi doa. Adalah lebih baik untuk menerimanya dalam arti ‘keraguan’) -
hal 65-66.
Jadi, karena
sebelumnya sudah ada kata-kata ‘tanpa marah’, kalau di sini dipilih
terjemahan ‘argumentasi / pertengkaran’, itu hanya akan mengulang apa
yang sebelum ini sudah dinyatakan. Karena itu Barclay memilih terjemahan ‘keraguan’
seperti dalam KJV. Tetapi Adam Clarke tidak terlalu membedakan kedua istilah
ini, karena kata ‘argumentasi / pertengkaran / perselisihan’ ia
artikan bukan sebagai pertengkaran antara orang itu dengan orang lain, tetapi
antara iman / pengharapan dan ketidak-percayaan dalam diri orang itu sendiri,
dan ini pada hakekatnya adalah sama dengan ‘keraguan’.
Adam Clarke:
“‘And doubting.’ Dialogismou
or dialogismoon, as in many MSS.,
‘reasonings,’ ‘dialogues.’ Such as are often felt by distressed
penitents and timid believers; faith, hope, and unbelief appearing to hold a
disputation and controversy in their own bosoms, in the issue of which unbelief
ordinarily triumphs. The apostle therefore wills them to come, implicitly
relying on the promises of God, and the sacrifice and mediation of Jesus
Christ” (= ‘Dan keraguan’. Dialogismou
atau dialogismoon, seperti dalam
banyak manuscripts, ‘pertimbangan’, ‘dialog’. Hal seperti itu sering
dirasakan oleh orang yang menyesal yang sedih / menderita dan orang-orang
percaya yang takut-takut; iman, pengharapan, dan ketidak-percayaan kelihatannya
mengadakan suatu perselisihan dan perdebatan dalam dada mereka sendiri, dalam
hal mana biasanya ketidak-percayaan yang menang. Karena itu sang rasul
menghendaki mereka datang, secara mutlak bersandar pada janji-janji Allah, dan
pada korban dan pengantaraan Yesus Kristus).
Ay 9-10:
“(9) Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas,
dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai
emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, (10) tetapi hendaklah ia
berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang
beribadah”.
1)
Dalam Kitab Suci ada beberapa text yang kelihatannya sejalan dengan apa yang ada
di sini, yaitu:
2) ‘Demikian juga
hendaknya perempuan’.
Rasul Paulus
baru menyatakan kewajiban laki-laki dalam kebaktian (ay 8), dan sekarang ia
melanjutkan dengan menyatakan kewajiban perempuan dalam kebaktian. Jadi, secara strict
/ ketat, peraturan ini sebetulnya hanya berlaku untuk kebaktian.
Homer A.
Kent Jr.: “HOSAUTOS (likewise)
links this paragraph to the preceding discussion, showing that the public
worship service is still being considered. The exhortations to the women
regarding dress are in view of their attire when attending worship”
[= HOSAUTOS (demikian juga) menghubungkan text ini dengan diskusi yang
mendahuluinya, menunjukkan bahwa kebaktian umum sedang tetap dipertimbangkan.
Desakan / nasehat kepada perempuan-perempuan berkenaan dengan pakaian ini adalah
dalam pertimbangan tentang pakaian mereka pada waktu menghadiri kebaktian]
- hal 105.
Pulpit
Commentary: “The injunction refers
specially to the dress of women in the Christian assemblies, which ought not to
be showy or conspicuous, calculated either to swell the heart of the wearer with
pride, or to attract the eyes of others in forgetfulness of the solemnity of
public worship” (= Perintah ini menunjuk secara khusus pada pakaian
perempuan dalam pertemuan Kristen, yang tidak seharusnya bersifat menyolok,
dimaksudkan atau untuk membuat hati pemakainya menjadi sombong, atau untuk
menarik mata orang-orang lain sehingga lupa tentang kekhidmatan dari kebaktian
umum) - hal 40-41.
Pulpit
Commentary: “Christians come to
church to worship the glorious God, to humble themselves before his holy
presence, and to hear his Word, not for display, not to attract notice, not for
vain-glory or worldly vanity. It is therefore, quite out of place for either men
or women to make a parade of finery in church” (= Orang-orang kristen
datang ke gereja untuk menyembah Allah yang mulia, merendahkan diri mereka
sendiri di depan kehadiranNya yang kudus, dan untuk mendengar FirmanNya, bukan
untuk pameran, bukan untuk menarik perhatian, bukan untuk kemuliaan yang sia-sia
atau kesia-siaan duniawi. Karena itu, tidak pada tempatnya bagi laki-laki atau
perempuan untuk membuat pameran pakaian bagus / perhiasan di gereja) - hal
37.
Tetapi beberapa
penafsir menganggap bahwa kalau peraturan ini berlaku bagi perempuan dalam
kebaktian, tidak mungkin peraturan ini tidak berlaku pada sikon yang lain.
Donald
Guthrie: “no clear distinction can
be drawn between what is fitting for public worship and what is fitting at other
times. The advice given seems to be general and we must therefore suppose that
Paul turned from his immediate purpose in order to make wider observations about
women’s demeanour” (= tidak ada pembedaan jelas yang bisa ditarik antara
apa yang cocok untuk kebaktian dan apa yang cocok pada saat-saat lain. Nasehat
yang diberikan kelihatannya bersifat umum, dan karena itu kita harus menganggap
bahwa Paulus berbelok dari tujuannya saat itu untuk membuat pengamatan yang
lebih luas tentang kelakuan perempuan) - hal 74.
Barnes’
Notes: “if modest apparel is
appropriate in the sanctuary, it is appropriate everywhere. If what is here
prohibited in dress is wrong there, it would be difficult to show that it is
right elsewhere” (= jika pakaian yang sederhana adalah cocok / pantas di
tempat kudus, itu cocok / pantas di mana-mana. Jika apa yang di sini dilarang
tentang pakaian adalah salah di sini, adalah sukar untuk menunjukkan bahwa itu
benar di tempat lain).
Kata-kata /
pandangan ini belum tentu benar. Jelas ada pakaian yang cocok untuk satu tempat,
tetapi tidak cocok untuk tempat yang lain. Misalnya pakaian renang cocok untuk
pantai, tetapi tentu tidak cocok untuk kebaktian. Sebaliknya toga cocok untuk
kebaktian, tetapi tentu gila kalau dipakai untuk mendaki gunung!
3)
‘(9b) Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana,
rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun
pakaian yang mahal-mahal, (10) tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan
baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah’.
a)
Dandanan lahiriah.
1. ‘dengan
... sederhana’.
KJV: ‘with
... sobriety’ (= dengan ... kesederhanaan / kewarasan / kebijaksanaan).
Adam Clarke:
“With sobriety, meta ...
soophrosunees. Moderation would lead them to avoid all unnecessary
expense. They might follow the custom or costume of the country as to the dress
itself, ...; but they must not imitate the extravagance of those who, through
impurity or littleness of mind, decked themselves merely to attract the eye of
admiration, ... Woman has been invidiously defined: An animal fond of dress. How
long will they permit themselves to be thus degraded?” (= ‘Dengan
kesederhanaan / kewarasan / kebijaksanaan’, meta
... soophrosunees. Sikap yang tidak berlebih-lebihan akan membimbing
mereka untuk menghindari semua pengeluaran yang tidak perlu. Mereka boleh
mengikuti tradisi / kebiasaan atau pakaian dari negara berkenaan dengan pakaian
itu sendiri, ... tetapi mereka tidak boleh meniru keroyalan / pemborosan dari
mereka yang, melalui ketidak-murnian atau sempitnya pikiran, menutupi diri
mereka sendiri semata-mata untuk menarik mata kekaguman, ... Perempuan telah
didefinisikan secara menyakitkan hati: ‘Seekor binatang yang senang pada
pakaian’. Sampai kapan mereka akan mengijinkan diri mereka sendiri untuk
direndahkan / dihina seperti itu?).
2. ‘Rambutnya
jangan berkepang-kepang’.
Ini sama sekali
tidak berarti bahwa perempuan tak boleh mengelabang rambutnya. Untuk mengerti
maksud dari kata-kata ini, kita perlu mengerti latar belakang cara perempuan
menghiasi rambut pada saat itu.
Barnes’
Notes: “Females in the East pay
much more attention to the hair than is commonly done with us. It is plaited
with great care, and arranged in various forms, according to the prevailing
fashion, and often ornamented with spangles or with silver wire or tissue
interwoven; .... Christian females are not to imitate those of the world in
their careful attention to the ornaments of the head. It cannot be supposed
that the mere braiding of the hair is forbidden, but only that careful
attention to the manner of doing it, and to the ornaments usually worn in it,
which characterized worldly females” (= Orang perempuan di Timur
memberikan banyak perhatian pada rambut dari pada yang biasanya kita lakukan.
Itu dijalin dengan sangat teliti / hati-hati, dan diatur dalam bermacam-macam
bentuk, menurut mode yang sedang berlaku, dan sering dihiasi dengan kelap-kelip
atau dengan kawat / benang atau kain perak yang dijalin. ... perempuan Kristen
tidak boleh meniru mereka dari dunia ini dalam perhatian yang teliti pada
hiasan-hiasan kepala. Tidak bisa dianggap bahwa sekedar menjalin /
mengelabang rambut itu dilarang, tetapi hanya perhatian yang teliti pada
cara melakukannya, dan pada hiasan-hiasan yang biasanya digunakan padanya, yang
menjadi ciri dari perempuan-perempuan duniawi).
William
Hendriksen: “what about these
‘braids’ which were popular in the world of Paul’s day? No expense was
spared to make them dazzling. They actually sparkling. The braids were fastened
by jewelled tortoise-shell combs, or by pins of ivory or silver. Or the pins
were of bronze with jewelled heads, the more varied and expensive the better.
The pin-heads often consisted of miniature images (an animal, a human hand, an
idol, the female figure, etc.) Braids, in those days, often represented
fortunes. They were articles of luxury. The Christian woman is warned not to
indulge in such extravagance” [= bagaimana tentang ‘kepang-kepang’
yang populer dalam dunia dari jaman Paulus? Tidak ada pengeluaran yang dihemat /
ditahan untuk membuat kepang-kepang itu mempesonakan / berkilauan.
Kepang-kepang itu betul-betul gemerlapan. Kepang-kepang itu diikatkan oleh sisir
dari kulit kura-kura yang bertatahkan permata, atau oleh peniti-peniti dari
gading atau perak. Atau peniti-peniti itu dari perunggu dengan kepala yang
bertatahkan permata, makin bervariasi dan mahal, makin baik. Kepala dari peniti
itu seringkali terdiri dari patung mini (seekor binatang, sebuah tangan manusia,
patung berhala, seorang perempuan, dsb). Kepang-kepang, pada jaman itu, sering
menggambarkan / menunjukkan kekayaan. Mereka adalah sesuatu yang bersifat mewah.
Perempuan Kristen diperingati untuk tidak menuruti hatinya dalam keroyalan /
pemborosan seperti itu] - hal 107.
3. ‘jangan
memakai emas atau mutiara’.
Barnes’
Notes: “It is not to be supposed
that all use of gold or pearls as articles of dress is here forbidden; ... It
may be a difficult question to settle how much ornament is allowable, and when
the true line is passed. But though this cannot be settled by any exact rules,
since much must depend on age, and on the relative rank in life, and the means
which one may possess, yet there is one general rule which is applicable to all,
and which might regulate all. It is, that the true line is passed when more is
thought of this external adorning, than of the ornament of the heart. Any
external decoration which occupies the mind more than the virtues of the heart,
and which engrosses the time and attention more, we may be certain is wrong. The
apparel should be such as not to attract attention; such as becomes our
situation; such as will not be particularly singular; such as shall leave the
impression that the heart is not fixed on it. It is a poor ambition to decorate
a dying body with gold and pearls. It should not be forgotten that the body thus
adorned will soon need other habiliments, and will occupy a position where gold
and pearls would be a mockery. When the heart is right; when there is true and
supreme love for religion, it is usually not difficult to regulate the subject
of dress” (= Tidak boleh dianggap bahwa semua penggunaan emas atau mutiara
sebagai bagian dari pakaian dilarang di sini; ... Mungkin merupakan sesuatu yang
sukar untuk menentukan berapa banyak hiasan yang diijinkan, dan kapan batasannya
dilewati. Tetapi sekalipun ini tidak bisa ditentukan dengan peraturan-peraturan
yang persis, karena ada banyak hal yang tergantung pada usia, dan pada tingkat
relatif dalam kehidupan, dan pada harta yang dimiliki seseorang, tetapi ada satu
peraturan umum yang berlaku untuk semua, dan yang bisa mengatur semua. Itu
adalah, bahwa batasannya dilewati pada waktu lebih banyak pemikiran tentang
hiasan lahiriah ini dari pada hiasan dari hati. Hiasan lahiriah apapun yang
menempati pikiran lebih dari pada sifat-sifat baik dari hati, dan yang mengambil
/ menyerap waktu dan perhatian lebih banyak, kami bisa memastikan sebagai salah.
Pakaian harus sedemikian rupa sehingga tidak menarik perhatian; sedemikian rupa
sehingga cocok dengan situasi kita; sedemikian rupa sehingga tidak menyolok /
lain sendiri, sedemikian rupa sehingga meninggalkan kesan bahwa hati tidak
terikat padanya. Merupakan suatu ambisi yang malang untuk menghiasi tubuh yang
akan mati dengan emas dan mutiara. Tidak boleh dilupakan bahwa tubuh yang
dihiasi seperti itu akan segera membutuhkan pakaian / hiasan yang lain, dan akan
menempati suatu posisi dimana emas dan mutiara akan merupakan suatu ejekan. Pada
waktu hati itu benar, pada waktu ada kasih yang benar dan tertinggi untuk agama,
biasanya tidak sukar untuk mengatur persoalan pakaian).
b)
Dandanan batiniah.
Ay 10: ‘hendaklah
ia berdandan dengan perbuatan baik’.
Matthew
Henry: “Good works are the best
ornament; these are, in the sight of God, of great price. Those that profess
godliness should, in their dress, as well as other things, act as becomes their
profession; instead of laying out their money on fine clothes, they must lay it
out in works of piety and charity, which are properly called good works”
(= Perbuatan baik adalah hiasan yang terbaik; dalam pandangan Allah ini
merupakan sesuatu yang sangat berharga. Mereka yang beribadah, dalam pakaian
mereka, maupun dalam hal-hal lain, harus bertindak sehingga cocok dengan
pengakuan mereka; dari pada mengeluarkan uang mereka untuk pakaian-pakaian
bagus, mereka harus mengeluarkannya dalam pekerjaan kesalehan dan kasih, yang
secara benar disebut perbuatan baik).
-AMIN-
e-mail us at [email protected]