Pro
& Kontra Perayaan Natal
oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.
Pro & kontra perayaan Natal
Akhir-akhir ini makin banyak
orang-orang kristen yang menentang perayaan Natal, dan mereka menentang dengan
cara yang sangat fanatik dan keras, dan menyerang orang-orang kristen yang
merayakan Natal. Kalau ini dibiarkan, maka Natal bisa berkurang kesemarakannya,
dan menurut saya itu akan sangat merugikan kekristenan. Karena itu mari kita
membahas persoalan ini, supaya bisa memberi jawaban kepada orang-orang yang anti
Natal.
Macam-macam
alasan untuk menentang perayaan Natal dan jawabannya:
1)
Orang kristen dilarang merayakan hari ulang tahun, dan dengan demikian merayakan
hari ulang tahun Yesus tentu juga salah.
Internet:
“Dan, lebih jauh, kita menemukan kebenaran ini diakui: … di dalam
firman Allah, hanya orang-orang berdosa saja, bukan orang-orang percaya, yang
merayakan hari kelahiran mereka”.
Internet:
“the only birthday celebrations recorded in the whole Bible are those of
Pharaoh (Gen. 40:20) and King Herod (Matt. 14:6; Mk. 6:21). Both birthday
parties ended in murder, Herod’s in the murder of John the Baptist” [=
perayaan ulang tahun yang dicatat dalam seluruh Alkitab hanyalah perayaan ulang
tahun dari Firaun (Kej 40:20) dan raja Herodes (Mat 14:6; Mark 6:21). Kedua
pesta ulang tahun itu berakhir dengan pembunuhan, pesta ulang tahun Herodes
berakhir dengan pembunuhan Yohanes Pembaptis].
Tentang
larangan merayakan hari ulang tahun, Pdt. Jusuf B. S. juga mengajarkan kebodohan
dan keextriman yang sama. Dalam bukunya yang berjudul ‘Tradisi &
Kebiasaan’, hal 24-25, ia juga mengatakan bahwa dalam Perjanjian Lama hanya
Firaun yang merayakan HUT (Kej 40:20), sedangkan dalam Perjanjian Baru
hanya Herodes (Mat 14:6). Juga ia menambahkan bahwa Ayub dan Yeremia justru
mengutuki hari kelahirannya (Ayub 3:3 Yer 20:14).
Tanggapan
saya:
a)
Ini merupakan pandangan bodoh dan extrim.
Kebodohan dan
keextriman kedua penulis di internet dan Pdt. Jusuf B. S. ini terlihat dengan
jelas pada waktu mereka secara implicit melarang seseorang merayakan hari ulang
tahun (bukan hari ulang tahun Yesus saja, tetapi seadanya hari ulang tahun),
dengan alasan bahwa dalam Kitab Suci hanya orang jahat yang merayakan hari ulang
tahun. Ini merupakan metode penafsiran yang luar biasa bodohnya.
b)
Ini sama dengan pandangan Saksi-Saksi Yehuwa.
Hebatnya, ini
adalah kebodohan dan keextriman yang persis sama dengan yang dilakukan oleh
Saksi-Saksi Yehuwa (buku ‘Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab’, hal
145-147). Ajarannya persis, dan juga ayat-ayat yang digunakan tentang Firaun dan
Herodes juga persis.
c)
Kalau merayakan hari ulang tahun dilarang karena dalam Kitab Suci hanya
orang-orang jahat yang merayakan hari ulang tahun, maka dengan cara yang sama
kita bisa mengatakan bahwa:
· orang
kristen dilarang untuk mencalak mata / alis, yang dalam Kitab Suci hanya
dilakukan oleh Izebel (2Raja 9:30 bdk Yeh 23:40 - ini juga orang jahat).
· orang
kristen dilarang untuk menjadi bendahara gereja, yang dalam Kitab Suci hanya
dilakukan oleh Yudas Iskariot (Yoh 12:6). Dalam Kitab Suci banyak orang
menjadi ‘bendahara negara’ tetapi tidak ada bendahara gereja, kecuali Yudas
Iskariot.
· orang
kristen dilarang untuk disunat pada usia 13 tahun, karena dalam Kitab Suci hanya
Ismael yang mengalami hal itu (Kej 17:25).
· seorang
laki-laki dilarang memasakkan makanan untuk ayahnya, karena dalam Kitab Suci
hanya Esau yang melakukan hal itu (Kej 27).
· orang
kristen tidak boleh mencucuk daging dengan garpu bergigi 3, karena dalam Kitab
Suci hanya bujang dari Hofni dan Pinehas yang melakukannya (1Sam 2:13).
· seorang
raja / presiden tidak boleh berpidato di hadapan pendukung / rakyatnya, karena
dalam Kitab Suci hanya Herodes yang melakukan hal itu (Kis 12:20-23).
· orang
kristen tidak boleh mandi di sungai karena dalam Kitab Suci hanya puteri Firaun
yang melakukannya (Kel 2:5). Naaman bukan mandi, tetapi hanya membenamkan
diri di sungai untuk mentahirkan kustanya sesuai dengan perintah Elisa.
d)
Bahwa orang kafir melakukan sesuatu, tidak berarti bahwa orang kristen tidak
boleh melakukan hal itu. Hanya kalau orang kafir melakukan sesuatu yang
dilarang oleh Tuhan, barulah orang kristen dilarang untuk meniru mereka.
Tetapi menyalahkan untuk meniru orang kafir pada saat ia melakukan hal-hal, yang
dalam dirinya sendiri tidak bisa dikatakan sebagai dosa, seperti mandi, makan,
belajar, dan juga merayakan hari ulang tahun / pernikahan dsb, merupakan suatu
fanatisme picik dan extrim!
e)
Baik Ayub maupun Yeremia mengutuki hari kelahirannya, karena penderitaan yang
mereka alami. Jadi, saking menderitanya, mereka berharap mereka tidak pernah
dilahirkan, dan itu mereka nyatakan dengan mengutuki hari kelahiran mereka. Jadi
kalau ayat-ayat seperti ini dipakai sebagai dasar untuk menentang perayaan hari
ulang tahun, itu betul-betul suatu pengutipan ayat yang ‘out of context’,
dan lagi-lagi merupakan suatu metode penafsiran yang sangat bodoh.
2)
Kristus tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember; tanggal kelahiranNya tidak
diketahui.
Karena Allah
tidak memberitahu kita tanggal kelahiran Kristus, atau karena Allah
menyejmbunyikan tanggal kelahiran Kristus, itu merupakan bukti bahwa Ia tidak
menghhendaki kita untuk merayakannya.
Disamping itu,
karena tanggal 25 Desember bukan tanggal kelahiran Kristus, maka kita berdusta
kalau kita merayakan hari kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember.
Internet:
Jawaban saya:
a)
Kalau Allah tidak memberi tahu kita kapan Kristus dilahirkan, apakah itu
merupakan suatu bukti bahwa Allah tidak menghendaki kita untuk merayakan /
memperingatinya? Menurut saya: tidak!
Kita memang
tidak tahu kapan Yesus dilahirkan. Ada penafsir yang mengatakan bahwa untuk
setiap bulan dalam sepanjang tahun, ada satu kelompok kristen yang
mempercayainya sebagai bulan kelahiran Yesus. Ini memang menunjukkan bahwa tidak
ada orang yang tahu tanggal dan bulan kelahiran Kristus, dan mungkin bahkan
tahun kelahiranNya. Tetapi itu belum bisa dijadikan suatu bukti bahwa Ia tidak
menghendaki kita merayakan / memperingati kelahiran Kristus tersebut. Memang
kadang-kadang Allah mengatur sesuatu supaya tidak diketahui oleh manusia, dan Ia
melakukan ini karena Ia tidak menghendaki manusia untuk berurusan dengan hal
itu. Misalnya dalam persoalan kubur dari Musa. Ini sengaja disembunyikan, karena
mungkin Allah tahu bahwa seandainya bangsa Israel tahu tempat itu, mereka
mungkin akan melakukan penyembahan terhadapnya.
Tetapi tidak
selalu seperti itu. Dalam Perjanjian Lama Allah memperkenalkan namaNya kepada
Musa (Kel 3:14-15), dan ini jelas menunjukkan bahwa pada saat itu Allah
menghendaki orang-orang Israel untuk menggunakan nama itu asal tidak dengan
sembarangan. Tetapi Allah mengatur sehingga jaman sekarang tidak ada orang yang
tahu bagaimana mengucapkan nama Allah tersebut. Akibatnya, jaman sekarang orang
kristen menyebutNya sebagai TUHAN, LORD, YEHOVAH, YAHWEH, dsb, yang merupakan
sebutan-sebutan yang salah / belum tentu benar.
b)
Sebetulnya, tanpa dijelaskanpun, ‘fakta sudah berbicara sendiri’ bahwa Natal
memang tidak terjadi pada tanggal 25 Desember.
Fakta jaman
sekarang dimana banyak orang sudah merayakan Natal pada awal Desember, dan ada
orang-orang yang masih merayakan Natal pada bulan Januari dan bahkan Februari,
sudah menunjukkan kepada siapapun yang tidak membutakan dirinya, bahwa Kristus
tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember, dan bahwa kita tidak mengetahui
tanggal kelahiranNya.
Tetapi kalau
itu dirasa kurang cukup, maka dalam merayakannya, kita bisa menjelaskan hal itu
kepada jemaat dan khususnya anak-anak Sekolah Minggu, bahwa itu
sebetulnya bukan tanggal kelahiran yang sebenarnya, dan dengan demikian kita
bukan mendustai orang.
Kita mungkin
sering mendengar tentang orang kuno yang tidak mengetahui tanggal kelahirannya
sendiri, dan karena itu keluarganya menciptakan tanggal kelahiran baginya, dan
merayakannya setiap tahun pada tanggal tersebut. Apakah ini merupakan dusta?
Mengapa keluarga tersebut tetap merayakan hari ulang tahun dari orang itu
padahal mereka tidak mengetahui tanggal sebenarnya? Saya kira, karena kecintaan
mereka terhadap orang itu, sehingga mereka ingin menunjukkan kasih yang khusus
terhadap orang itu sedikitnya satu kali setahun. Hal ini tidak terlalu berbeda
dengan Natal! Yang penting bukan saat kelahiran Kristus, tetapi fakta bahwa Ia
sudah lahir untuk kita. Kita ingin membalas kasihNya sedikitnya sekali setahun,
dengan merayakan hari kelahiranNya, pada hari yang kita sendiri tentukan.
c)
Perhatikan dusta / fitnahan dari orang-orang yang anti Natal ini (perhatikan
bagian yang saya garis bawahi).
· Mereka
mengatakan bahwa Natal merupakan suatu kebohongan yang sama dengan Sinterklaas.
Selama point b) di atas kita lakukan, kita sudah bebas dari tuduhan kebohongan.
Dan jelas bahwa tidak semua orang kristen / gereja menggabungkan Natal dengan
Sinterklaas; saya sendiri jelas menentang hal itu.
· Mereka
mengatakan ‘Apakah mengherankan jika banyak dari mereka, setelah mereka
tumbuh dewasa, mulai mempercayai Allah hanya sebagai sebuah dongeng?’.
Saya pikir
tuduhan-tuduhan ini, khususnya yang kedua, merupakan pemikiran dari orang-orang
yang tidak punya otak, yang asal menuduh. Tuduhan itu jelas merupakan suatu exaggeration
(tindakan melebih-lebihkan), dan sama sekali bukan merupakan suatu fakta /
kebenaran. Siapa, yang karena dari kecil merayakan Natal, akhirnya tumbuh
sebagai orang yang mempercayai bahwa Allah itu hanya sekedar dongeng? Dan kalau
ada orang-orang seperti itu bagaimana mereka bisa membuktikan bahwa orang-orang
itu mempercayai Allah sebagai dongeng karena mereka pada waktu kecilnya
diajar merayakan Natal?
Orang-orang
yang anti Natal ini menuduh kita yang merayakan Natal sebagai berdusta,
sementara mereka sendiri melakukan fitnahan seperti ini. Mungkin mereka
sebaiknya memperhatikan kata-kata Yesus dalam Mat 7:1-5 - “(1)
‘Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. (2) Karena dengan
penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang
kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. (3) Mengapakah engkau
melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau
ketahui? (4) Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku
mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. (5)
Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan
melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.’”.
3)
Merayakan Natal berarti menilai Kristus menurut daging (2Kor 5:16).
Internet:
“Ada satu ALASAN YANG SANGAT PENTING mengenai hal ini. Paulus mengatakan
kepada kita di 2Kor. 5:16, Jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran
manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian. Ayat ini di dalam
Alkitab versi Amplified dikatakan sbb: Tidak, sekalipun kami pernah menilai
Kristus dari sisi pandang manusia dan sebagai manusia, akan tetapi kami
sekarang telah memiliki pengetahuan tentang Dia sedemikian sehingga kami tidak
lagi mengenal Dia secara daging atau jasmani; Yang Paulus maksudkan adalah bahwa
kita harus MENGENAL KRISTUS SECARA ROHANI, di dalam dan oleh ROH, dan bukan
MENURUT DAGING, bukan sebagai seorang manusia, bukan menurut huruf-huruf,
bukan sebagai seorang bayi … karena hal-hal tersebut TIDAK ADA ARTINYA
bagi kita yang memiliki HIDUP ROHANI!”.
Jawaban saya:
a)
Orang bodoh ini menuduh dengan menggunakan ayat tanpa mengerti arti ayat itu.
Ada 2
penafsiran yang memungkinkan tentang ayat ini:
· Menilai
Kristus menurut daging, artinya menilainya sesuai dengan pengertian agama Yahudi
pada jaman itu, dimana Mesias dianggap sebagai raja duniawi yang akan
membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Sebaliknya menilai Kristus secara
rohani, berarti menerima / mempercayai Dia sebagai Raja dan Juruselamat secara
rohani.
· Menilai
Kristus menurut daging artinya menganggap Dia hanya sebagai manusia saja.
Sedangkan menilai Kristus secara rohani artinya menilaiNya sesuai dengan ajaran
Kitab Suci, yang menyatakan Kristus bukan hanya sebagai manusia tetapi juga
sebagai Allah, Juruselamat, Mesias, dsb.
b)
Perhatikan bagian-bagian yang saya garis-bawahi.
Rupanya orang
bodoh dan sesat ini hanya mau mempedulikan Yesus sebagai Allah tetapi tidak
Yesus sebagai manusia. Ini bodoh dan sesat. Keilahian maupun kemanusiaan Yesus
sama pentingnya bagi kita. Tanpa kemanusiaanNya, Ia tidak bisa menderita dan
mati untuk menebus dosa-dosa kita. Orang yang salah dalam persoalan kemanusiaan
Kristus sama sesatnya dengan orang yang salah dalam persoalan keilahian Kristus!
Paulus sendiri dalam banyak bagian lain, menekankan kemanusiaan Yesus, seperti
dalam 1Tim 2:5 Fil 2:7 dsb.
Kalau Amplified
Bible memang menterjemahkan seperti itu, itu berarti terjemahannya salah /
sesat!
4) Orang yang hidup
dalam Roh tidak membutuhkan peringatan.
Internet:
“oleh karena kita hidup di dalam ROH dan hadirat Allah, kita TIDAK
MEMBUTUHKAN HARI atau PESTA-PESTA atau PERAYAAN atau PERINGATAN agar supaya kita
MENGINGAT DIA atau membawa pikiran dan kasih kita kepada-Nya”.
Tanggapan
saya:
Ini omongan
dari orang bodoh dan sok suci, seakan-akan dia bisa selalu mengingat kasih Tuhan
tanpa pengingat apapun. Lalu mengapa Tuhan memerintahkan kita untuk melakukan
Perjamuan Kudus? Bukankah itu untuk memperingati dan sekaligus
memberitakan kematian Kristus? (1Kor 11:23-26).
Perlu diingat
bahwa Allah sendiri memberi banyak hal untuk mengingatkan, dan menyuruh umatNya
untuk melakukan banyak peringatan. Mengapa? Karena Ia tahu bahwa kita mudah
sekali melupakan apa yang seharusnya tidak boleh kita lupakan.
Contoh:
Kel 12:14
- “Hari ini akan menjadi hari
peringatan bagimu. Kamu harus merayakannya sebagai hari raya bagi TUHAN
turun-temurun. Kamu harus merayakannya sebagai ketetapan untuk selamanya”.
Kel 13:3,8
- “(3) Lalu berkatalah Musa kepada bangsa itu: ‘Peringatilah hari ini, sebab pada hari ini kamu keluar
dari Mesir, dari rumah perbudakan; karena dengan kekuatan tanganNya TUHAN telah
membawa kamu keluar dari sana. Sebab itu tidak boleh dimakan sesuatupun yang
beragi. ... (8) Pada hari itu harus kauberitahukan kepada anakmu laki-laki: Ibadah
ini adalah karena mengingat apa
yang dibuat TUHAN kepadaku pada waktu aku keluar dari Mesir”.
Yos 4:7 - “maka
haruslah kamu katakan kepada mereka: Bahwa air sungai Yordan terputus di depan
tabut perjanjian TUHAN; ketika tabut itu menyeberangi sungai Yordan, air sungai
Yordan itu terputus. Sebab itu batu-batu ini akan menjadi tanda
peringatan bagi orang Israel untuk selama-lamanya.’”.
Luk 22:19
- “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan
memberikannya kepada mereka, kataNya: ‘Inilah tubuhKu yang diserahkan bagi
kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan
akan Aku.’”.
1Kor 11:24-25
- “(24) dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya
dan berkata: ‘Inilah tubuhKu, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini
menjadi peringatan akan Aku!’
(25) Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: ‘Cawan ini
adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darahKu; perbuatlah ini, setiap
kali kamu meminumnya, menjadi peringatan
akan Aku!’”.
5) Natal berasal dari
kekafiran.
Internet:
1.
“Catatan-catatan sejarah di dalam Ensiklopedia, yang bisa kita dapatkan di
perpustakaan-perpustakaan, dan yang dapat dipercaya, memberikan
fakta-fakta ini: bahwa Natal berasal dari bangsa kafir. Jika ditelusuri, Natal
merupakan kepanjangan dari penyembah-penyembah matahari di antara bangsa-bangsa
kafir. Banyak hari kelahiran dari para pemimpin kafir dirayakan oleh bangsa
Babilonia. Semua perayaan penyembahan berhala ini berasal dari bangsa kafir.
Kata Christmas (Natal) berarti Misa Kristus. Kata ini kemudian disingkat menjadi
Christ-Mass; dan akhirnya menjadi Christmas. Kita kenal misa ini sebagai Misa
Roma Katolik. Tetapi dari mana mereka mendapatkannya? Oleh karena kita
mengenalnya lewat Gereja Roma Katolik, dan tidak ada wewenang selain Gereja Roma
Katolik, marilah kita selidiki Ensiklopedia Katolik, yang diterbitkan oleh
denominasi ini. Di bawah judul Christmas (Natal) engkau akan menemukan kata-kata
ini: Natal tidak terdapat pada perayaan-perayaan Gereja jaman dahulu … Bukti
awal dari perayaan ini adalah dari Mesir. Adat kebiasaan dari para penyembah
berhala yang berlangsung sekitar bulan Januari ini kemudian dijadikan Natal. ...
ENSIKLOPEDIA AMERICANA, edisi 1969, berkata: Natal, nama ini berasal dari bahasa
Inggris kuno Chrites Maesse dan ejaan sekarang ini nampaknya mulai digunakan
pada sekitar abad ke 16. Semua gereja Kristen kecuali gereja Armenia merayakan
hari kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember. Tanggal ini tidak dikenal di
negeri Barat sampai kira-kira pertengahan abad ke 4 dan di Timur sampai
kira-kira seabad kemudian”.
2.
“Mengikuti CARA-CARA ORANG KAFIR bukanlah persoalan mengenai mana yang
harus kita lakukan atau mana yang tidak boleh kita lakukan menurut pemikiran
kita sendiri. Di dalam 1 Raja-raja 11:4-11 Allah menghukum raja Salomo untuk hal
yang satu ini. Allah merobek Kerajaannya darinya”.
Penyamaan
dengan Salomo, yang memang mendukung penyembahan berhala ini merupakan kegilaan
yang tidak perlu ditanggapi.
3.
“Tradisi ini mungkin berasal dari perayaan Saturnalia, di mana para
budak menjadi sejajar dengan tuannya. Membakar kayu Natal dimasukkan menjadi
adat orang Inggris yang asalnya dari adat orang Skandinavia tatkala mereka
menghormati titik balik matahari pada musim dingin”.
4.
“Asal mula Natal. Alasan mengapa menetapkan tanggal 25 Desember sebagai
Natal adalah tidak jelas, tetapi seperti yang dipercayai tanggal ini dipilih
untuk menyesuaikan dengan perayaan penyembahan berhala yang berlangsung pada
musim dingin waktu terjadi titik balik matahari, yaitu ketika siang hari mulai
panjang, untuk merayakan lahirnya kembali sang matahari. Suku-suku bangsa Eropa
Utara merayakan Natal mereka pada musim dingin waktu titik balik matahari untuk
merayakan kelahiran kembali sang matahari (dewa) sebagai yang memberikan terang
dan kehangatan. Saturnalia Romawi (perayaan yang dipersembahkan kepada Saturnus,
dewa pertanian) juga berlangsung pada waktu tersebut, dan beberapa adat Natal diperkirakan
berakar pada perayaan penyembahan berhala ini. Perayaan ini diadakan oleh
beberapa orang terpelajar bahwa kelahiran Kristus sebagai Terang Dunia
dianalogikan dengan kelahiran kembali sang matahari agar supaya kekristenan
menjadi lebih berarti bagi para petobat baru yang dulunya menyembah matahari”.
Jawaban
saya:
a)
Penulis di internet bodoh ini berbicara dengan lidah bercabang. Dalam kutipan
pertama dia mengatakan bahwa hal itu (bahwa Natal berasal dari kekafiran) ‘dapat
dipercaya’. Tetapi dalam kutipan ketiga ia mengatakan ‘mungkin’,
dan dalam kutipan keempat ia mengatakan ‘Alasan mengapa menetapkan tanggal
25 Desember sebagai Natal adalah tidak jelas’ dan pada bagian akhir ia
menggunakan kata ‘diperkirakan’.
b)
Asal usul dari kekafiran bukanlah merupakan sesuatu yang pasti.
Di sini saya
memberikan informasi dari Encyclopedia Britannica tentang sejarah Natal, kata ‘Christmas’,
dan asal usul tanggal 25 Desember dan perayaannya.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Christmas’:
“from
Old English Cristes maesse, ‘Christ’s mass’), Christian festival
celebrated on December 25, commemorating the birth of Jesus Christ. It is also a
popular secular holiday. According to a Roman almanac, the Christian festival of
Christmas was celebrated in Rome by AD 336. In the eastern part of the Roman
Empire, however, a festival on January 6 commemorated the manifestation of God
in both the birth and the baptism of Jesus, except in Jerusalem, where only the
birth was celebrated. During the 4th century the celebration of Christ’s birth
on December 25 was gradually adopted by most Eastern churches. In Jerusalem,
opposition to Christmas lasted longer, but it was subsequently accepted. In the
Armenian Church, a Christmas on December 25 was never accepted; Christ’s birth
is celebrated on January 6. After Christmas was established in the East, the
baptism of Jesus was celebrated on Epiphany, January 6. In the West, however,
Epiphany was the day on which the visit of the Magi to the infant Jesus was
celebrated. The reason why Christmas came to be celebrated on December 25 remains
uncertain, but most probably
the reason is that early Christians wished the date to coincide with the pagan
Roman festival marking the ‘birthday of the unconquered sun’ (natalis
solis invicti); this festival celebrated the winter solstice, when the days
again begin to lengthen and the sun begins to climb higher in the sky. The
traditional customs connected with Christmas have accordingly developed from
several sources as a result of the coincidence of the celebration of the birth
of Christ with the pagan agricultural and solar observances at midwinter. In
the Roman world the Saturnalia (December 17) was a time of merrymaking and
exchange of gifts. December 25 was also regarded as the birth date of the
Iranian mystery god Mithra, the Sun of Righteousness. On the Roman New Year
(January 1), houses were decorated with greenery and lights, and gifts were
given to children and the poor. To these observances were added the German and
Celtic Yule rites when the Teutonic tribes penetrated into Gaul, Britain, and
central Europe. Food and good fellowship, the Yule log and Yule cakes, greenery
and fir trees, and gifts and greetings all commemorated different aspects of
this festive season. Fires and lights, symbols of warmth and lasting life, have
always been associated with the winter festival, both pagan and Christian. Since
the European Middle Ages, evergreens, as symbols of survival, have been
associated with Christmas. Christmas is traditionally regarded as the festival
of the family and of children, under the name of whose patron, Saint Nicholas,
or Santa Claus, presents are exchanged in many countries”.
Saya hanya
menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi:
“Alasan
mengapa Natal sampai dirayakan pada tanggal 25 Desember tetap
tidak pasti, tetapi paling mungkin alasannya adalah bahwa
orang-orang kristen mula-mula ingin tanggal itu bertepatan dengan hari raya
kafir Romawi yang menandai ‘hari lahir dari matahari yang tak terkalahkan’
...; hari raya ini merayakan titik balik matahari pada musim dingin, dimana
siang hari kembali memanjang dan matahari mulai naik lebih tinggi di langit.
Jadi, kebiasaan yang bersifat tradisionil yang berhubungan dengan Natal telah
berkembang dari beberapa sumber sebagai suatu akibat dari bertepatannya perayaan
kelahiran Kristus dengan perayaan kafir yang berhubungan dengan pertanian dan
matahari pada pertengahan musim dingin. ... Tanggal 25 Desember juga dianggap
sebagai hari kelahiran dari dewa misterius bangsa Iran, yang bernama Mithra,
sang Surya Kebenaran”.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘from church year Christmas’:
“The
word Christmas is derived from the Old English Cristes maesse, ‘Christ’s
Mass.’ There is no certain tradition
of the date of Christ’s birth. Christian chronographers of the 3rd
century believed that the creation of the world took place at the spring
equinox, then reckoned as March 25; hence the new creation in the incarnation
(i.e., the conception) and death of Christ must therefore have occurred on the
same day, with his birth following nine months later at the winter solstice,
December 25. The oldest extant notice of a feast of Christ’s Nativity
occurs in a Roman almanac (the Chronographer of 354, or Philocalian Calendar),
which indicates that the festival was observed by the church in Rome by the year
336. Many have posited the theory that the feast of Christ’s Nativity, the
birthday of ‘the sun of righteousness’ (Malachi 4:2), was instituted in
Rome, or possibly North Africa, as a Christian rival to the pagan festival of
the Unconquered Sun at the winter solstice. This syncretistic cult that
leaned toward monotheism had been given official recognition by the emperor
Aurelian in 274. It was popular in the armies of the Illyrian (Balkan) emperors
of the late 3rd century, including Constantine’s father. Constantine himself
was an adherent before his conversion to Christianity in 312. There is, however,
no evidence of any intervention by him to promote the Christian festival. The
exact circumstances of the beginning of Christmas Day remain obscure.
From Rome the feast spread to other churches of the West and East, the last to
adopt it being the Church of Jerusalem in the time of Bishop Juvenal (reigned
424-458). Coordinated with Epiphany, a feast of Eastern origin commemorating the
manifestation of Christ to the world, the celebration of the incarnation of
Christ as Redeemer and Light of the world was favoured by the intense concern of
the church of the 4th and 5th centuries in formulating creeds and dogmatic
definitions relating to Christ’s divine and human natures. Christmas is the
most popular of all festivals among Christians and many non-Christians alike,
and its observance combines many strands of tradition. From the ancient Roman
pagan festivals of Saturnalia (December 17) and New Year’s come the
merrymaking and exchange of presents. Old Germanic midwinter customs have
contributed the lighting of the Yule log and decorations with evergreens. The
Christmas tree comes from medieval German mystery plays centred in
representations of the Tree of Paradise (Genesis 2:9). Francis of Assisi
popularized the Christmas crib, or crèche, in his celebration at Greccio,
Italy, in 1223. Another popular medieval feast was that of St. Nicholas of Myra
(c. 340) on December 6, when the saint was believed to visit children with
admonitions and gifts, in preparation for the gift of the Christ child at
Christmas. Through the Dutch the tradition of St. Nicholas (Sinterklaas, hence
‘Santa Claus’) was brought to America in their colony of New Amsterdam, now
New York. The sending of greeting cards at Christmas began in Britain in the
1840s and was introduced to the United States in the 1870s”.
Saya hanya
menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi:
“Tidak
ada tradisi tertentu yang pasti tentang tanggal kelahiran Kristus.
Para penghitung waktu Kristen dari abad ketiga percaya bahwa penciptaan dunia /
alam semesta terjadi pada musim semi di saat siang dan malam sama lamanya, yang
pada saat itu dianggap sebagai tanggal 25 Maret; karena itu penciptaan baru
dalam inkarnasi (yaitu ‘pembuahan’ /
mulai adanya janin Kristus) dan kematian Kristus harus terjadi pada hari yang
sama, dengan kelahiranNya 9 bulan berikutnya pada titik balik matahari pada
musim dingin, 25 Desember. ... Banyak orang memberikan teori bahwa hari raya
tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2)
ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen
terhadap hari raya kafir dari Surya yang tak terkalahkan pada titik balik
matahari. ... Keadaan yang tepat tentang
permulaan / asal usul hari Natal tetap kabur”.
Perhatikan 2
hal:
· kata-kata
‘tetap tidak pasti’, ‘tidak ada tradisi tertentu yang pasti’,
dan ‘keadaan yang tepat tentang permulaan / asal usul hari Natal tetap
kabur’, yang saya cetak dengan huruf besar itu.
· sedikitnya
ada 4 asal usul tanggal 25 Desember, yaitu:
* hari
raya Romawi yang memperingati titik balik matahari.
* hari
lahir dari dewa bangsa Iran.
* itu
ditentukan oleh para penghitung waktu Kristen (sekalipun dengan cara yang sangat
tidak masuk akal).
* Alfred
Edersheim memberikan asal usul tanggal 25 Desember yang berbeda.
Alfred
Edersheim: “the date of the Feast
of the Dedication - the 25th of Chislev - seems to have been adopted
by the ancient Church as that of the birth of our blessed Lord - Christmas - the
Dedication of the true Temple, which was the body of Jesus” [= tanggal
dari hari raya Pentahbisan Bait Allah - bulan Kislew tanggal 25 - kelihatannya
telah diadopsi oleh Gereja kuno sebagai tanggal kelahiran dari Tuhan kita yang
terpuji - Natal - Pentahbisan dari Bait Allah yang sejati, yang adalah tubuh
dari Yesus (bdk. Yoh 2:19-22)] - ‘The Temple’, hal 334.
Perhatikan
bahwa point ke 3 dan ke 4 tidak menunjukkan asal usul kafir!
Semua ini
jelas menunjukkan bahwa asal usul tanggal 25 Desember sebagai hari Natal masing
simpang siur dan tidak ada kepastiannya. Tetapi orang-orang bodoh yang anti
Natal itu dengan beraninya (atau dengan cerobohnya / lancangnya) telah menuduh
tidak karu-karuan. Menuduh tanpa fakta yang pasti sama dengan memfitnah!
c)
Sekarang andaikata tanggal 25 Desember itu memang diadopsi dari
hari raya kafir, kita masih harus memperhitungkan apa motivasi orang-orang
kristen pada saat itu untuk melakukan hal tersebut.
Encyclopedia
Britannica 2000 mengatakan bahwa ada teori yang mengatakan bahwa orang-orang
kristen mengadopsi tanggal itu supaya perayaan Natal menyaingi perayaan kafir
tersebut. Untuk jelasnya saya mengutip ulang bagian itu.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘from church year Christmas’:
“The
word Christmas is derived from the Old English Cristes maesse, ‘Christ’s
Mass.’ There is no certain tradition of the date of Christ’s birth.
Christian chronographers of the 3rd century believed that the creation of the
world took place at the spring equinox, then reckoned as March 25; hence the new
creation in the incarnation (i.e., the conception) and death of Christ must
therefore have occurred on the same day, with his birth following nine months
later at the winter solstice, December 25. The oldest extant notice of a feast
of Christ’s Nativity occurs in a Roman almanac (the Chronographer of 354, or
Philocalian Calendar), which indicates that the festival was observed by the
church in Rome by the year 336. Many have posited the theory that the feast
of Christ’s Nativity, the birthday of ‘the sun of righteousness’ (Malachi
4:2), was instituted in Rome, or possibly North Africa, as a Christian rival to
the pagan festival of the Unconquered Sun at the winter solstice. This
syncretistic cult that leaned toward monotheism had been given official
recognition by the emperor Aurelian in 274. It was popular in the armies of the
Illyrian (Balkan) emperors of the late 3rd century, including Constantine’s
father. Constantine himself was an adherent before his conversion to
Christianity in 312. There is, however, no evidence of any intervention by him
to promote the Christian festival. The exact circumstances of the beginning of
Christmas Day remain obscure. From Rome the feast spread to other churches of
the West and East, the last to adopt it being the Church of Jerusalem in the
time of Bishop Juvenal (reigned 424-458). Coordinated with Epiphany, a feast of
Eastern origin commemorating the manifestation of Christ to the world, the
celebration of the incarnation of Christ as Redeemer and Light of the world was
favoured by the intense concern of the church of the 4th and 5th centuries in
formulating creeds and dogmatic definitions relating to Christ’s divine and
human natures. Christmas is the most popular of all festivals among Christians
and many non-Christians alike, and its observance combines many strands of
tradition. From the ancient Roman pagan festivals of Saturnalia (December 17)
and New Year’s come the merrymaking and exchange of presents. Old Germanic
midwinter customs have contributed the lighting of the Yule log and decorations
with evergreens. The Christmas tree comes from medieval German mystery plays
centred in representations of the Tree of Paradise (Genesis 2:9). Francis of
Assisi popularized the Christmas crib, or crèche, in his celebration at
Greccio, Italy, in 1223. Another popular medieval feast was that of St. Nicholas
of Myra (c. 340) on December 6, when the saint was believed to visit children
with admonitions and gifts, in preparation for the gift of the Christ child at
Christmas. Through the Dutch the tradition of St. Nicholas (Sinterklaas, hence
‘Santa Claus’) was brought to America in their colony of New Amsterdam, now
New York. The sending of greeting cards at Christmas began in Britain in the
1840s and was introduced to the United States in the 1870s”.
Saya hanya
menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi:
“Banyak
orang memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir
dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika
Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya yang
tak terkalahkan pada titik balik matahari”.
Hal yang mirip
dengan itu adalah baik Nebukadnezar dan Artahsasta disebut dengan istilah ‘raja
di atas segala raja’ (Dan 2:37 Ezra 7:12). Tetapi gelar
dari raja kafir itu lalu diberikan kepada Yesus / Allah (1Tim 6:15 Wah
17:14 Wah 19:16). Mengapa bisa demikian?
The
International Standard Bible Encyclopedia, vol II:
“The title ‘King of kings,’ denoting absolute authority rather than
divinity per se, is used of God and Christ in the NT (always with ‘Lord of
lords’: 1Tim. 6:15; Rev. 17:14; 19:16). Its use was a response by both Jews
and Christians to the practice of deifying earthly political rulers”
[= Gelar ‘Raja segala raja’ lebih menunjukkan otoritas mutlak dari pada
keilahian sendiri, digunakan terhadap Allah dan Kristus dalam PB (selalu dengan
‘Tuhan segala Tuhan’: 1Tim 6:15; Wah 17:14; 19:16). Penggunaannya
merupakan suatu tanggapan baik oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen
terhadap praktek pendewaan penguasa-penguasa politik duniawi] - hal 508.
Jadi rupanya
pada jaman itu banyak raja duniawi disebut dengan istilah ‘raja di atas
segala raja’. Orang-orang kristen merasakan itu sebagai tidak tepat, dan
mereka menganggap hanya Yesus / Allah yang pantas memakai gelar itu, dan mereka
lalu memberikan gelar itu kepada Allah / Yesus, dan bahkan setiap kali gelar itu
mereka berikan kepada Allah / Yesus, maka mereka menambahi dengan kata-kata ‘Tuhan
atas segala Tuhan’. Jadi mereka menampilkan Yesus / Allah sebagai
saingan terhadap raja-raja kafir yang didewakan oleh rakyat kafir mereka.
Apakah ini juga mau kita anggap berasal dari kafir? Kalau mau dikatakan berasal
dari kafir, memang jelas berasal dari kafir. Tetapi apakah kita mau menyalahkan
motivasi mereka, yang sebetulnya bisa dikatakan sebagai ‘mulia’? Demikian
juga, andaikata Natal memang diambil dari kafir, tetapi motivasinya adalah untuk
menyaingi hari-hari raya kafir, itu adalah sesuatu yang ‘mulia’, dan
bertujuan untuk memuliakan Tuhan.
Apa maksudnya
orang-orang kristen itu menyaingi hari-hari raya kafir itu? Mungkin
orang-orang kristen tertentu sering menghadiri hari raya kafir, dan pada
saat-saat seperti itu biasanya mereka jatuh ke dalam dosa-dosa tertentu, seperti
penyembahan berhala, perzinahan, makan makanan yang telah dipersembahkan kepada
berhala, dan sebagainya. Karena itu gereja lalu menepatkan Natal dengan tanggal
tersebut, supaya orang-orang kristen itu merayakan Natal di gereja, dan tidak
pergi ke perayaan-perayaan kafir. Ini sama seperti kalau gereja mengadakan acara
pada malam tahun baru (tanggal 31 Desember). Dari pada jemaatnya pergi ke
tempat-tempat hiburan yang tidak karuan, lebih baik mereka diarahkan untuk pergi
ke gereja. Hanya orang bodoh dan tidak rohani yang akan menyalahkan hal seperti
ini!
d)
Dalam kristen maupun dalam kehidupan kita sehari-hari ada banyak hal yang
berasal dari kekafiran, tetapi tetap dipertahankan, setelah dibuang
kekafirannya. Saya akan memberikan beberapa contoh:
1.
Gelar ‘raja di atas segala raja’ yang sudah kita bahas di atas.
2.
Kata ‘Behold’ / ‘Lihatlah’ dalam Yes 7:14
diambil dari kekafiran dan diterapkan pada kelahiran Kristus.
Yes 7:14 -
“Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya,
seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki,
dan ia akan menamakan Dia Imanuel”.
KJV: ‘Therefore
the Lord himself shall give you a sign; Behold, a virgin shall conceive,
and bear a son, and shall call his name Immanuel’ (= Karena itu, Tuhan
sendiri akan memberimu suatu tanda; Lihatlah, seorang perawan akan
mengandung, dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan akan menamaiNya
Immanuel).
E. J. Young:
“‘Behold!’ ... It has also appeared in the texts from Ugarit. ... In
Ugarit it had been used to announce the birth of gods, nonexistent beings who
were a part of that web of superstition which covered the ancient pagan world.
On Isaiah’s lips, however, this formula is lifted from its ancient pagan
context and made to introduce the announcement of the birth of the only One
who truly is God and King” (= ‘Lihatlah!’ ... Kata itu juga muncul
dalam text-text dari Ugarit. ... Di Ugarit kata itu telah digunakan untuk
mengumumkan kelahiran allah-allah / dewa-dewa, makhluk-makhluk yang tidak
mempunyai keberadaan yang merupakan sebagian dari jaringan takhyul yang meliputi
dunia kafir kuno. Tetapi di bibir Yesaya, formula ini diangkat dari kontex
kafir kunonya dan digunakan untuk mengajukan pengumuman tentang kelahiran
dari satu-satunya ‘Makhluk’ yang sungguh-sungguh adalah Allah dan Raja)
- ‘The Book of Isaiah’, vol I, hal 284-285.
Kalau Yesaya
boleh menggunakan kata yang berasal dari orang kafir dalam urusan berhala
mereka, dan menggunakannya untuk menubuatkan kelahiran Kristus, mengapa orang
Kristen jaman sekarang menolak Natal dengan alasan itu berasal dari orang kafir
/ penyembah berhala?
3.
kata Yunani THEOS (= Allah) mungkin juga berhubungan dengan kekafiran, seperti
yang dikatakan oleh Bavinck di bawah ini.
Bavinck:
“Formerly the Greek word THEOS was held to be derived from
TITHENAI, THEEIN, THEASTHAI. At present some philologists connect it with
Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana, Juno, Dio, Dieu. So interpreted it would be
identical with the Sanskrit ‘deva,’ the shinning heaven, from
‘divorce’ to shine. Others, however, deny all etymological connection
between the Greek word THEOS and the Latin Deus and connect the former with the
root THES in THESSASTHAI to desire, to invoke. In many languages the words
‘heaven’ and ‘God’ are used synonymously; the oldest Grecian deity
Uranus was probably identical with the Sanskrit Varuna; the Tartar and Turkish
word ‘Taengri’ and the Chinese word ‘Thian’ mean both heaven and God;
and also in Scripture the words heaven and God are sometimes used
interchangeably; e.g., in the expression ‘kingdom of heaven’ or ‘kingdom
of God.’” (= Dahulu dipercaya bahwa kata Yunani THEOS diturunkan
dari TITHENAI, THEEIN, THEASTHAI. Pada saat ini beberapa ahli bahasa
menghubungkannya dengan Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana, Juno, Dio, Dieu.
Ditafsirkan demikian, maka kata itu menjadi identik dengan kata Sansekerta
‘deva’, ‘langit / surga yang berkilau / bersinar’, dan berasal dari
kata ‘div’ yang berarti ‘berkilau / bersinar’. Tetapi para ahli bahasa
yang lain menyangkal semua hubungan asal usul kata antara kata Yunani THEOS dan
kata Latin DEUS dan menghubungkan kata THEOS itu dengan akar kata THES dalam
THESSASTHAI, yang berarti ‘menginginkan’, ‘meminta / memohon’) - ‘The
Doctrine of God’, hal 98-99.
Juga kata Elohim,
Theos, dsb dipakai dalam Kitab Suci untuk menunjuk kepada
Allah yang benar, maupun kepada dewa-dewa / berhala-berhala kafir. Apakah kita
harus membuang penggunaan istilah itu?
4.
Istilah dalam Wah 1:4 yang digunakan untuk Allah juga mempunyai banyak
kemiripan dengan istilah-istilah yang digunakan terhadap dewa kafir.
Wah 1:4 - “Dari
Yohanes kepada ketujuh jemaat yang di Asia Kecil: Kasih karunia dan damai
sejahtera menyertai kamu, dari Dia, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan
datang, dan dari ketujuh roh yang ada di hadapan takhtaNya”.
Barnes’
Notes (tentang Wah 1:4): “It
is remarkable that there are some passages in pagan inscriptions and writings
which bear a very strong resemblance to the language used here by John
respecting God. Thus, Plutarch (De Isa. et Osir., p. 354.), speaking of a temple
of Isis, at Sais, in Egypt, says, ‘It bore this inscription -- ‘I am all
that was, and is, and shall be, and my vail no mortal can remove’’ -- ... .
So Orpheus (in Auctor. Lib. de Mundo), ‘Jupiter is the head, Jupiter is the
middle, and all things are made by Jupiter.’ So in Pausanias (Phocic. 12), ‘Jupiter
was; Jupiter is; Jupiter shall be.’” [= Merupakan sesuatu yang luar
biasa bahwa ada beberapa text dalam prasasti-prasasti dan tulisan-tulisan kafir
yang mengandung suatu kemiripan yang sangat kuat dengan bahasa / ungkapan yang
digunakan oleh Yohanes di sini berkenaan dengan Allah. Sesuai dengan itu,
Plutarch (De Isa. et Osir., p 354.), berbicara tentang kuil dari Isis, di Sais,
di Mesir, berkata: ‘Itu mengandung tulisan ini - ‘Aku adalah semua yang
dahulu ada, dan sekarang ada, dan yang akan datang, dan tidak seorangpun bisa
menyingkirkan cadar(?)ku’’ - ... Demikian juga Orpheus (in Auctor. Lib. de
Mundo), ‘Yupiter adalah kepala, Yupiter adalah tengah-tengah, dan segala
sesuatu dibuat oleh Yupiter’. Demikian juga dalam Pausanias (Phocic. 12), ‘Yupiter
ada dahulu; Yupiter ada sekarang; Yupiter akan ada’.] - hal 1543.
5.
Orang kristen berbakti pada hari yang dalam bahasa Inggris disebut ‘Sunday’,
yang berasal dari nama dewa. Apakah kita tidak boleh berbakti pada hari itu,
karena hari itu menggunakan nama dewa, atau apakah kita sebagai orang-orang
kristen harus mengubah nama hari itu? Semua nama hari dalam bahasa Inggris dan
juga nama-nama bulan seperti Januari, dan sebagainya, juga berasal dari
nama-nama dewa atau dari nama-nama kaisar Romawi yang didewakan. Apakah kita
sebagai orang-orang kristen tidak boleh memakai nama-nama bulan itu?
6.
Kebiasaan melakukan ‘toast’ dalam perayaan pernikahan juga berasal
dari tradisi kafir dalam penyembahan berhala. Tetapi boleh dikatakan semua orang
kristen melakukan ‘toast’ tersebut.
Dalam
tafsirannya tentang 1Kor 10:21 Albert Barnes mengatakan:
“The
custom of drinking toast at feasts and celebrations arose from this practice of
pouring out wine, or drinking in honour of the heathen gods; and is a practice
that partakes still of the nature of heathenism. It was one of the abominations
of heathenism to suppose that their gods would be pleased with the intoxicating
draught. Such a pouring out of a libation was usually accompanied with a prayer
to the idol god, that he would accept the offering; that he would be propitious;
and that he would grant the desire of the worshipper. From that custom the habit
of expressing a sentiment or proposing a toast, uttered in drinking wine, has
been derived. The toast or sentiment which now usually accompanies the drinking
of a glass in this manner, if it mean anything, is now also a prayer: but to
whom? to the god of wine? to a heathen deity? Can it be supposed that it is a
prayer offered to the true God - the God of purity? Has Jehovah directed that
prayer should be offered to him in such a manner? Can it be acceptable to him?
Either the sentiment is unmeaning, or it is a prayer offered to a heathen god,
or it is a mocking of Jehovah; and in either case it is improper and wicked”
(= ).
Memang Albert
Barnes menganggap bahwa ‘toast’ itu harus dibuang, tetapi saya tidak
yakin akan hal itu. Kalau sekarang kita melakukan ‘toast’, itu sudah
tidak lagi berhubungan dengan kekafiran atau dengan dewa-dewa kafir. Itu cuma
tinggal tradisi belaka.
7.
Seluruh Kanaan dulunya adalah negeri kafir yang dipenuhi dengan penyembahan
berhala. Tetapi Tuhan mengambilnya dan memberikannya kepada bangsa pilihanNya,
dan Kanaan lalu menjadi Holy Land, dan Bait Allah dibangun di sana.
8.
Bahasa Yunani juga merupakan bahasa bangsa kafir, tetapi lalu diambil dan
digunakan sebagai bahasa asli dari Kitab Suci.
Kesimpulan:
karena dunia ini dulunya seluruhnya kafir, adalah mustahil bagi kita untuk
menghindari hal-hal yang berasal dari kekafiran. Jadi selama kekafiran itu bisa
disaring / dibersihkan, tidak jadi soal dengan hal-hal yang asal usulnya kafir
itu.
6) Adanya hal-hal yang
dianggap salah yang menyertai Natal.
a)
Kata ‘Christmas’ itu sendiri.
Kata itu
dikatakan berasal dari kata ‘Christ’s Mass’ (= Misa Kristus),
dan karena itu orang-orang Protestan yang anti Natal mengatakan bahwa asal usul
Natal adalah gabungan dari kekafiran / penyembahan berhala dan Katolik.
Tanggapan
saya:
Kalau yang
berasal usul dari kafir saja boleh digunakan selama kekafirannya disaring,
apalagi yang berasal usul dari Katolik.
Juga kalau
hanya persoalan nama, bagi kita yang tinggal di Indonesia gampang saja. Kita
pakai saja istilah ‘Natal’, bukan ‘Christmas’.
‘Natal’ berasal dari bahasa Portugis (Encyclopedia Britannica 2000)
dan artinya ‘dilahirkan’ atau ‘berkenaan dengan kelahiran’
[Webster’s New World Dictionary (College Edition)].
b)
Pohon Natal.
“Ide untuk
menggunakan pohon Natal juga masuk ke Inggris dari kepercayaan orang-orang Eropa
sebelum mereka menjadi Kristen. Suku bangsa Celtic dan Teutonic menghormati
pohon-pohon ini pada perayaan musim dingin sebagai simbol kehidupan kekal. Pohon
ini disembah sebagai janji akan kembalinya sang matahari … Beberapa orang
terpelajar mengangkat pohon ini, yang merupakan lambang kehidupan bagi para
penyembah berhala, menjadi lambang Juru Selamat dan dengan demikian menjadi
bagian yang tak terpisahkan dengan perayaan hari kelahiranNya”.
Tetapi dari
kutipan dari Encyclopedia Britannica 2000 di atas dikatakan:
“The
Christmas tree comes from medieval German mystery plays centred in
representations of the Tree of Paradise (Genesis 2:9)”.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Christmas tree’:
“an
evergreen, usually a balsam or douglas fir, decorated with lights and ornaments
as a part of Christmas festivities. The use of evergreen trees, wreaths, and
garlands as a symbol of eternal life was an ancient custom of the Egyptians,
Chinese, and Hebrews. Tree worship, common among the pagan Europeans, survived
after their conversion to Christianity in the Scandinavian customs of
decorating the house and barn with evergreens at the New Year to scare away the
devil and of setting up a tree for the birds during Christmastime; it
survived further in the custom, also observed in Germany, of placing a Yule tree
at an entrance or inside the house in the midwinter holidays. The
modern Christmas tree, though, originated in western Germany. The
main prop of a popular medieval play about Adam and Eve was a fir tree hung with
apples (paradise tree) representing the Garden of Eden. The Germans set up a
paradise tree in their homes on December 24, the religious feast day of Adam and
Eve. They hung wafers on it (symbolizing the host, the Christian sign of
redemption); in a later tradition, the wafers were replaced by cookies of
various shapes. Candles, too, were often added as the symbol of Christ.
In the same room, during the Christmas season, was the Christmas pyramid, a
triangular construction of wood, with shelves to hold Christmas figurines,
decorated with evergreens, candles, and a star. By the 16th century, the
Christmas pyramid and paradise tree had merged, becoming the Christmas tree. The
custom was widespread among the German Lutherans by the 18th century, but it was
not until the following century that the Christmas tree became a deep-rooted
German tradition. Introduced into England in the early 19th century, the
Christmas tree was popularized in the mid-19th century by the German Prince
Albert, husband of Queen Victoria. The Victorian tree was decorated with
candles, candies, and fancy cakes hung from the branches by ribbon and by paper
chains. Brought to North America by German settlers as early as the 17th
century, Christmas trees were the height of fashion by the 19th century. They
were also popular in Austria, Switzerland, Poland, and The Netherlands. In China
and Japan, Christmas trees, introduced by western missionaries in the 19th and
20th centuries, were decorated with intricate paper designs”.
Internet:
“Tetapi jika Alkitab diam mengenai perayaan Natal, sesungguhnya Alkitab
TIDAK DIAM mengenai adat kebiasaan bangsa kafir dalam mendirikan sebuah pohon
– adat kebiasaan yang sama YANG TELAH MENJADI POHON NATAL! Hal ini akan
mengejutkan banyak orang. Tetapi ini dia: Dengarlah firman yang disampaikan
TUHAN kepadamu, hai kaum Israel! Beginilah firman TUHAN: ‘Janganlah biasakan
dirimu dengan tingkah langkah bangsa-bangsa, janganlah gentar terhadap
tanda-tanda di langit, sekalipun bangsa-bangsa gentar terhadapnya. Sebab yang
disegani bangsa-bangsa adalah kesia-siaan. Bukankah berhala itu pohon kayu yang
ditebang orang di hutan, yang dikerjakan dengan pahat oleh tangan tukang kayu?
Orang memperindahnya dengan emas dan perak; orang memperkuatnya dengan paku dan
palu, supaya jangan goyang. Berhala itu sama seperti orang-orangan di kebun
mentimun, tidak dapat berbicara; orang harus mengangkatnya, sebab tidak dapat
melangkah. Janganlah takut kepadanya …’ (Yer. 10:1-5)”.
“Kita
MENGIRA bahwa pohon Natal melambangkan hidup kekal dari Kristus”.
Tanggapan
saya:
1.
Penggunaan ayat yang menunjuk kepada berhala dan lalu diarahkan kepada pohon
Natal, jelas merupakan suatu pengawuran. Kata-kata ‘adat kebiasaan yang
sama’ yang saya garis bawahi, merupakan suatu tuduhan konyol dan bodoh!
Disamping itu, siapa yang ‘mengira bahwa pohon Natal melambangkan hidup
kekal dari Kristus’? Tuduhan seperti ini bukan hanya bodoh, tetapi juga
berbau fitnahan.
2.
Memang ada kemungkinan bahwa asal usul pohon Natal berbau kekafiran. Tetapi
Encyclopedia Britannica membedakan pohon Natal kuno dan yang modern. Pohon Natal
modern dikatakannya berasal dari Jerman Barat, dan tidak berurusan dengan
penyembahan berhala atau kekafiran, tetapi berhubungan dengan pohon di Taman
Eden, dan digunakan pada tanggal 24 Desember, yang merupakan hari raya untuk
memperingati Adam dan Hawa. Penggunaan pohon yang terus menerus hijau /
tidak terpengaruh oleh musim dingin, seperti cemara, dimaksudkan sebagai simbol
dari kehidupan yang kekal. Kalau ini benar, maka pohon Natal modern tidak
bersumber pada kekafiran / penyembahan berhala.
3.
Tetapi tetap ada hal-hal yang negatif tentang pohon Natal, yaitu:
· hiasan
Santa Claus. Ini menurut saya harus dibuang.
· hiasan
yang tidak sesuai dengan fakta. Dengan memberikan salju-saljuan, maka itu
menunjukkan bahwa seolah-olah Natal terjadi pada musim dingin. Padahal boleh
dikatakan tidak mungkin bahwa Natal terjadi pada musim dingin, mengingat bahwa
para gembala berada di luar / di padang pada malam hari, pada saat mereka
mendapat berita Natal dari malaikat-malaikat. Jadi mungkin hiasan salju-saljuan
itu harus dibuang, untuk lebih menyesuaikan dengan fakta. Juga lagu seperti ‘White
Christmas’.
· penekanan
yang saya anggap berlebihan terhadap pohon Natal. Mengapa saya katakan
berlebihan? Karena bagi banyak orang, pohon Natal menjadi sesuatu yang mutlak
harus ada. Kalau tidak ada pohon Natal maka seolah-olah itu bukan Natal. Dengan
demikian bagi banyak orang kristen, pohon Natal menjadi hakekat dari Natal,
padahal sebetulnya, kalau mau berbicara secara strict, maka Natal sama sekali
tidak berurusan dengan pohon Natal.
Apa bahayanya
kalau pohon Natal itu menjadi terlalu penting? Semua hal dalam kekristenan yang
menjadi terlalu penting, bisa menggeser apa yang seharusnya merupakan hal
terpenting dalam Natal, yaitu Yesus Kristus sendiri.
Earl Riney:
“The Christmas tree has taken the place of the altar in too much of our
modern Christmas observance” (= Pohon Natal telah mengambil tempat di
altar dalam terlalu banyak dari perayaan Natal modern kita) - ‘The
Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 113-114.
Illustrasi:
round girl (gadis yang membawa papan penunjuk ronde dalam pertandingan tinju)
yang terlalu cantik dan sexy menyebabkan penonton tidak memperhatikan papan
bertuliskan ronde ke berapa yang sedang ia bawakan.
Saya tidak
mengharuskan untuk membuang pohon Natal secara total; itu rasanya tidak mungkin.
Tetapi setidaknya kita harus mengurangi penekanan yang berlebihan pada pohon
Natal ini, supaya jangan pohon Natal, yang sebetulnya tidak ada hubungannya
dengan Natal, mengaburkan / menggeser fokus yang sebenarnya dari Natal.
c)
Sinterklaas / Santa Claus.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Santa Claus’:
“legendary
figure who is the traditional patron of Christmas
in the United States and other countries. His popular image is based on
traditions associated with a 4th-century Christian saint. See Nicholas,
Saint”.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Nicholas, Saint’:
“Nicholas’
existence is not attested by any historical document, so nothing certain is
known of his life except that he was probably bishop of Myra
in the 4th century. According to tradition, he was born in the ancient
Lycian seaport city of Patara, and, when young, he traveled to Palestine and
Egypt. He became bishop of Myra soon after returning to Lycia. He was imprisoned
during the Roman emperor Diocletian’s persecution of Christians but was
released under the rule of Emperor Constantine the Great and attended the first
Council (325) of Nicaea. After his death he was buried in his church at Myra,
and by the 6th century his shrine there had become well known. In 1087 Italian
sailors or merchants stole his alleged remains from Myra and took them to Bari,
Italy; this removal greatly increased the saint’s popularity in Europe, and
Bari became one of the most crowded of all pilgrimage centres. Nicholas’
relics remain enshrined in the 11th-century basilica of San
Nicola, Bari. Nicholas’ reputation for generosity and kindness gave
rise to legends of miracles
he performed for the poor and unhappy. He was reputed to have given
marriage dowries of gold to three girls whom poverty would otherwise have forced
into lives of prostitution, and he restored to life three children who had been
chopped up by a butcher and put in a brine tub. In the Middle Ages, devotion
to Nicholas extended to all parts of Europe. He became the patron saint of
Russia and Greece; of charitable fraternities and guilds; of children, sailors,
unmarried girls, merchants, and pawnbrokers; and of such cities as Fribourg,
Switz., and Moscow. Thousands of European churches were dedicated to him, one as
early as the 6th century, built by the Roman emperor Justinian I, at
Constantinople (now Istanbul). Nicholas’ miracles were a favourite subject for
medieval artists and liturgical plays, and his traditional feast day was the
occasion for the ceremonies of the Boy
Bishop, a widespread European custom in which a boy was elected bishop and
reigned until Holy Innocents’ Day (December 28). After the Reformation,
Nicholas’ cult disappeared in all the Protestant countries of Europe except
Holland, where his legend persisted as Sinterklaas (a Dutch variant of the name Saint
Nicholas). Dutch colonists took this tradition with them to New
Amsterdam (now New
York City) in the American colonies in the 17th century. Sinterklaas was
adopted by the country’s English-speaking majority under the name Santa Claus,
and his legend of a kindly old man was united with old Nordic folktales of a
magician who punished naughty children and rewarded good children with presents.
The resulting image of Santa Claus in the United States crystallized in the 19th
century, and he has ever since remained the patron of the gift-giving festival
of Christmas. Under various guises Saint Nicholas was transformed into a
similar benevolent, gift-giving figure in The Netherlands, Belgium, and other
northern European countries. In the United Kingdom Santa Claus is known
as Father Christmas”.
Dari kata-kata
Encyclopedia Britannica 2000 ini bisa didapatkan bahwa Santa Claus berasal dari
St. Nicholas, yang keberadaannya tidak dibuktikan oleh dokumen sejarah manapun.
Jadi tidak ada yang pasti yang diketahui tentang hidupnya. Yang diketahui
tentang dia berasal dari tradisi. Mungkin ia menjadi uskup di kota Myra pada
abad ke 4. Ia dipenjara pada masa pemerintahan kaisar Diocletian, tetapi lalu
dibebaskan pada masa pemerintahan kaisar Konstantine yang Agung, dan menghadiri
Sidang Gereja Nicea (tahun 325 M.). Setelah kematiannya ia dikuburkan di Myra,
dan pada tahun 1087 seseorang mencuri jenazahnya dan membawanya ke Bari, Italia.
Ini menjadikan dia populer di Eropah dan Bari menjadi tempat yang dipenuhi oleh
orang-orang yang berziarah. Reputasi Nicholas berkenaan dengan kedermawanan dan
kebaikannya menyebabkan munculnya dongeng-dongeng berkenaan dengan
mujijat-mujijat yang dilakukannya terhadap orang-orang yang miskin / tidak
bahagia, bahkan mujijat kebangkitan orang mati. Di Belanda, variasi dari Santa
Claus ini adalah Sinterklaas.
Dari semua ini
kita bisa melihat bahwa ini jelas-jelas merupakan sesuatu yang salah, karena
bukan hanya tidak ada urusannya sama sekali dengan Natal, tetapi bahkan bersifat
dusta / takhyul. Karena itu Santa Claus / Sinterklaas, baik gambarnya,
patungnya, beserta lagu-lagunya, harus disingkirkan.
d)
Pesta pora dan tukar hadiah.
Internet:
“engkau berkata, bukankah saling tukar hadiah itu Alkitabiah? Jawabnya
adalah TIDAK! Dari Biblioteca Sacra, edisi 12, hal 153-155, kita baca, Saling
tukar hadiah di antara kawan-kawan menjadi karakteristik yang sama antara
perayaan Natal dan Saturnalia, dan diadopsi oleh orang-orang Kristen dari
penyembahan berhala, sebagaimana yang ditunjukkan dengan jelas oleh Tertullian.
Faktanya adalah bahwa saling tukar hadiah dengan kawan-kawan dan tetangga dan
famili pada hari Natal adalah tidak ada nilai Kekristenannya sama sekali!
Perbuatan ini TIDAK berhubungan dengan kelahiran Kristus ataupun menghormati
Dia. Sikap pilih kasih yang sering dilakukan dalam memberi menjadi tanda
lainnya yang menunjukkan bahwa saling tukar hadiah tidak sejalan dengan firman
Allah. Kami tidak anti terhadap semangat memberi, tetapi mengapa harus
menunggu sampai dengan bulan Desember, jika waktu-waktu lainnya dalam tahun itu
akan lebih berguna? Juga cara dalam hal memberi sering menunjukkan
ketidaktulusan. Banyak dari mereka yang memberi berharap untuk mendapatkan
balasan. Ini sama sekali terpisah dari Roh Allah dan mereka telah mendapat
upahnya! Coba perhatikan ini: miliaran dollar harus dikeluarkan untuk
hadiah-hadiah setiap tahunnya hanya oleh SATU DOKTRIN YANG SALAH. Pengajaran
yang salah ini adalah: Oleh karena orang majus membawa persembahan kepada Yesus,
oleh sebab itu kita juga harus memberi. Tetapi apakah pemberian kita kepada
Yesus? Kepada pekerjaan-Nya? Tidak. TIDAK. Kita memberi hadiah yang bernilai
miliaran dollar kepada satu sama lain. KEBENARANNYA adalah ini: Orang-orang
majus membawa persembahannya langsung kepada Yesus, bukan kepada satu sama lain.
Dan pemberian mereka bukanlah pemberian sebagai hadiah kelahiran-Nya. Mereka
datang kepada-Nya setelah berbulan-bulan kemudian ketika Yesus bukan lagi bayi
yang baru lahir di dalam sebuah rumah (bukan kandang) (Matius 2:9,11) di
Nazaret, bukan Betlehem, Lukas 2:39. Jika seseorang ingin mengunjungi seorang
raja, maka ia harus membawa hadiah. Itulah kebiasaan yang umum di negeri Timur
jauh. Orang-orang majus ini tidak memberikan HADIAH KELAHIRAN kepada Yesus!
Mereka merindukan datangnya RAJA YAHUDI dan mereka membawa persembahan
kepada-Nya oleh karena Ia dulu, sekarang dan besok tetap RAJA! Beberapa orang
mengatakan bahwa Semangat Natal dan pemberian hadiah merupakan suatu hal yang
baik. Tetapi sesungguhnya itu merupakan ADAT KEBIASAAN YANG KEJI. Setiap
tahun orang-orang Kristen menghabiskan tabungan mereka untuk hadiah-hadiah Natal
yang tidak bermanfaat. Banyak dari mereka yang jatuh dalam hutang dan menjalani
hidup tahun berikutnya dengan membayar hutang untuk hadiah yang telah mereka
beli sebagai balasan dari hadiah yang mereka terima. Saling tukar hadiah satu
sama lain sama sekali tidak merayakan hari kelahiran-Nya ataupun menghormati-Nya.
Sebaliknya, Natal adalah KEJIJIKAN bagi Tuhan Yesus. Natal adalah kejijikan bagi
pekerjaan Tuhan dan umat Tuhan. Miliaran dollar digunakan untuk pernik-pernik
dan barang-barang yang tidak penting. Sejumlah uang milik Tuhan digunakan untuk
hal-hal yang bodoh, pesta pora dengan makanan-makanan yang lezat, memenuhi nafsu
serakahnya. Sebagai akibatnya mereka menderita berbagai macam penyakit oleh
karena kerakusannya. Semua ini merupakan kekejian bagi Tuhan dan sama sekali
TIDAK BERHUBUNGAN dengan kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus. Natal merupakan
saat yang penuh dengan kedagingan pada tingkat yang tinggi, sementara nilai
kerohaniannya rendah. Kita tahu bahwa orang-orang yang BELUM DISELAMATKAN tidak
menyembah Yesus. Tetapi mereka SUNGGUH-SUNGGUH MENIKMATI NATAL! Mengapa? Oleh
karena perhiasan-perhiasannya, pesta-pestanya, hadiah-hadiahnya, dsb. semua yang
berkaitan dengan dagingnya. INILAH ROH NATAL yang telah mencengkeram seluruh
dunia. Apakah itu Roh Tuhan? Bukan! INILAH SAATNYA bagi mereka yang hendak
menjadi ANAK-ANAK ALLAH untuk meninggalkan semua sampah semacam itu.”.
Tanggapan
saya:
1.
Ini kata-kata dari orang yang memang sudah antipati / berprasangka, dan selalu
menyoroti sudut negatifnya, dan mempunyai pikiran cupet / tidak berpikiran
panjang. Memang bisa ada ketidak-tulusan, berharap mendapat balasan, dan
sebagainya. Tetapi apakah semua seperti itu? Kalau hanya sebagian, bahkan hanya
sebagian kecil yang seperti itu, haruskah semuanya dibuang? Dalam memberi
persembahan kepada Tuhan, bukankah juga banyak orang yang tidak tulus, yang
mengharapkan balasan berlipat ganda dsb? Jadi, apakah acara persembahan dalam
gereja harus dihapuskan? Dalam segala hal yang dilakukan terhadap Tuhan, seperti
berbakti, berdoa, melayani, dsb, selalu bisa ada motivasi yang salah. Ini tidak
menyebabkan semua itu harus dibuang.
2.
Tentang adanya orang kristen yang dikatakan menghabiskan uang tabungannya,
sampai berhutang dsb, menurut saya ini suatu penggambaran berlebihan (exaggeration),
yang berbau fitnahan. Itu mungkin terjadi pada orang-orang Islam yang merayakan
Idul Fitri, tetapi tidak pada diri orang kristen yang merayakan Natal atau
memberi hadiah pada Natal. Dan kalau memang ada orang kristen seperti itu, dia
sendiri yang bodoh. Haruskah karena kebodohan satu atau dua orang dalam
merayakan Natal kita membuang seluruh Natal?
3.
Tukar hadiah, sekalipun memang tidak boleh dijadikan suatu keharusan, bisa
menjadi sesuatu yang menyenangkan dan mengakrabkan.
4.
Tentang asal usul tukar hadiah, penulis di internet di atas bertentangan dengan
dirinya sendiri. Mula-mula ia mengatakan itu berasal dari perayaan Saturnalia,
lalu ia mengatakan bahwa itu berasal dari pemberian orang-orang Majus kepada
Kristus. Yang mana yang benar? Jelas bahwa orang bodoh ini tidak mengerti apa
yang ia sendiri katakan. Dan jelas bahwa asal usul dari tukar menukar hadiah
itu, tidak bisa dipastikan.
Di bawah akan
kita lihat bahwa Edersheim mengatakan bahwa orang-orang Yahudi juga melakukan
tukar hadiah pada perayaan Purim. Apakah tidak mungkin bahwa ini asal usulnya?
5.
Pesta dan makan tidak salah selama tidak berlebihan dan tidak disertai hal-hal
yang amoral / bertentangan dengan Kitab Suci. Yesus sendiri datang ke pesta
pernikahan (Yoh 2:1-11).
e)
Kesibukan, tenaga dan uang yang dikeluarkan.
Internet:
“Menimbang banyaknya kesibukan yang harus dilakukan, dan waktu, tenaga dan
uang yang harus dikeluarkan, hanya untuk menikmati perayaan ini, maka adalah
PEMIKIRAN YANG BIJAKSANA jika kita mau berpegang pada firman Allah”.
Jawaban saya:
Orang bodoh ini
menganggap Natal tidak berguna, sehingga lalu menganggap semua kesibukan,
tenaga, uang, pikiran yang dikeluarkan untuk Natal sebagai sia-sia. Tetapi kalau
ia mau membuka matanya yang buta itu sedikit saja, maka ia bisa melihat bahwa
pada Natal kita bisa memberitakan Injil, mengembalikan kasih yang semula,
mengaingat kembali cinta Tuhan bagi kita, mempererat persekutuan dengan sesama
saudara seiman, dan seharusnya ia bisa melihat bahwa semua ini bukanlah sesuatu
yang sia-sia.
f)
Kartu Natal.
Dalam persoalan
mengirim kartu Natal, ini juga bisa menjadi suatu pemborosan uang. Saya sering
‘memarahi’ jemaat saya yang melakukan pemborosan uang dengan mengirim kartu
Natal kepada saya, padahal mereka bertemu dengan saya dalam kebaktian. Mengapa
tidak memberi selamat Natal dengan tangan saja, yang biayanya gratis? Tetapi
pada saat yang sama saya tidak anti secara mutlak terhadap pengiriman kartu
Natal, karena pengiriman kartu Natal itu bisa menjadi sarana penginjilan kalau
kita memilih kartu yang kata-katanya bersifat penginjilan, atau kalau kita
menuliskan ayat-ayat yang injili pada kartu Natal tersebut.
Juga sekarang,
dengan adanya handphone dan SMS, maka ucapan selamat Natal bisa dilakukan
melalui SMS dengan lebih cepat dan lebih murah.
g)
Mistletoe.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Mistletoe’:
“any of
many species of semiparasitic green plants of the families Loranthaceae and
Viscaceae, especially those of the genera Viscum,
Phoradendron, and Arceuthobium, all members of the Viscaceae. Viscum
album, the traditional mistletoe of literature and Christmas
celebrations, is distributed throughout Eurasia from Great Britain to northern
Asia. Its North American counterpart is Phoradendron
serotinum. Species of the genus Arceuthobium, parasitic primarily on
coniferous trees, are known by the name dwarf
mistletoe. The legendary mistletoe was known for centuries before the
Christian era. It forms a drooping yellowish evergreen bush, 0.6 to 0.9 m (about
2 to 3 feet) long, on the branch of a host tree. It has thickly crowded, forking
branches with oval to lance-shaped, leathery leaves about 5 cm (2 inches) long,
arranged in pairs, each opposite the other on the branch. The flowers, in
compact spikes, are bisexual, unisexual, or regular. They are yellower than the
leaves and appear in the late winter and soon give rise to one-seeded, white
berries, which when ripe are filled with a sticky, semitransparent pulp. These
berries, and those of other mistletoes, contain toxic compounds poisonous to
animals and to humans. Most tropical mistletoes are pollinated by birds, most
temperate species by flies and wind. Fruit-eating birds distribute the seeds in
their droppings or by wiping their beaks, to which the seeds often adhere,
against the bark of a tree. After germination a modified root (haustorium)
penetrates the bark of the host tree and forms a connection through which water
and nutrients pass from host to parasite. Mistletoes contain chlorophyll and can
make some of their own food. Most mistletoes parasitize a variety of hosts, and
some species even parasitize other mistletoes, which, in turn, are parasitic on
a host. The Eurasian Viscum album is most abundant on apple trees, poplars,
willows, lindens, and hawthorns. Species of Phoradendron in America also
parasitize many deciduous trees, including oaks. In some parts of Europe the
midsummer gathering of mistletoe is still associated with the burning of
bonfires, a remnant of sacrificial ceremonies performed by ancient priests, or druids.
Mistletoe was once believed to have magic powers as well as medicinal
properties. Later, the custom developed in England (and, still later, the United
States) of kissing
under the mistletoe, an action that once was believed to lead inevitably to
marriage. Mistletoes are slow-growing but persistent; their natural death is
determined by the death of the hosts. They are pests of many ornamental, timber,
and crop trees and are the cause of abnormal growths called ‘witches’
brooms’ that deform the branches and decrease the reproductive ability of the
host. The only effective control measure is complete removal of the parasite
from the host”.
Bagian yang
saya garis bawahi itu menyatakan bahwa tanaman mistletoe itu dulu dipercaya
mempunyai kekuatan magic, dan bisa berfungsi sebagai obat. Belakangan berkembang
suatu tradisi di Inggris, yang lalu diikuti di Amerika, berkenaan dengan tanaman
mistletoe ini, yaitu: dalam suatu perayaan Natal, tanaman mistletoe ini
dijadikan hiasan yang biasanya diletakkan di langit-langit rumah. Kalau ada
orang yang berdiri di bawah tanaman itu, maka siapapun boleh mencium orang itu.
Tradisi ini
boleh dikatakan tidak ada di Indonesia, dan juga tidak terlalu penting.
Jelas bahwa
perayaan Natal memang sering dicampur aduk dengan hal-hal yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan Natal, dan bahkan dengan hal-hal yang bertentangan dengan
Kitab Suci, seperti pesta pora, mabuk-mabukan, dan khususnya Sinterklaas / Santa
Claus dan lagu-lagu tentangnya, yang paling saya benci, karena merupakan suatu
dusta. Hal-hal ini memang harus dibuang dari perayaan Natal. Tetapi bahwa ada
orang-orang tertentu yang merayakan Natal dengan menggunakan hal-hal ini, tidak
berarti bahwa kita harus membuang seluruh Natal. Sama saja kalau ada orang
menggunakan mobil untuk merampok, itu tidak berarti bahwa kita tidak boleh
menggunakan mobil. Juga kalau ada sebagian orang kristen berbakti dengan cara
yang salah, itu tidak berarti bahwa semua kebaktian harus dibuang.
Jadi, saya
berpendapat perayaan Natal bukannya harus dibuang tetapi harus dimurnikan /
dibersihkan. Saudara mungkin berkata bahwa tidak mungkin kita bisa memurnikan
Natal. Maka saya jawab bahwa gereja juga banyak mengandung kebobrokan, dan harus
dimurnikan. Apakah mungkin memurnikan gereja? Jelas tidak mungkin, tetapi kita
toh tidak ragu-ragu untuk mempertahankan keberadaan gereja.
7) Tidak ada perintah
untuk merayakan hari kelahiran Kristus.
Rasul-rasul dan
orang-orang kristen abad pertama tidak merayakan Natal; tidak ada Natal pada
waktu itu.
Internet:
“TIDAK ADA SATUPUN FIRMAN ALLAH ATAUPUN DENGAN PENYATAAN DI MANA ALLAH
MEMERINTAHKAN KEPADA KITA UNTUK MEMPERINGATI KELAHIRAN TUHAN KITA. Tidak ada
satu katapun di seluruh Perjanjian Baru, maupun di seluruh Alkitab, yang
mengatakan agar supaya kita merayakan Natal. Orang-orang Kristen pada abad
pertama, di bawah pengajaran Petrus, Paulus dan rasul-rasul lain, tidak pernah
merayakan Natal. Paulus tidak pernah merayakan Natal. Petrus tidak pernah
merayakan Natal. Yohanes tidak pernah merayakan Natal. Sesungguhnya – TIDAK
ADA NATAL – pada waktu itu! Tidak ada OTORITAS untuk merayakannya”.
Tambahan
serangan: dengan menggunakan Mat 15:8-9 - “(8) Bangsa ini memuliakan
Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu. (9) Percuma mereka
beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah
manusia.’”.
Internet:
“Yesus berbicara tentang praktek-praktek kedagingan ini ketika Ia berkata,
Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: Bangsa ini
memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma
mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang diajarkan ialah perintah
manusia.
Inilah
sebuah kebenaran yang sederhana: apapun yang engkau lakukan guna MENGAGUNGKAN
ALLAH – di mana Allah TIDAK PERNAH MEMERINTAHKANNYA atau BERADA DI DALAMNYA
– maka penyembahanmu itu terhadap Allah adalah SIA-SIA! Semuanya TIDAK
BERARTI!”.
"Then came
to Jesus scribes and Pharisees, which were of Jerusalem, saying, Why do thy
disciples transgress the tradition of the elders? for they wash not their hands
when they eat bread. But he answered and said unto them, Why do ye also
transgress the commandment of God by your tradition?" (Matt. 15:1-3).
The
Pharisees were the respected religious leaders of the Jewish people. They
believed that they had the liberty to add to the commandments of God. The law of
God did contain various ceremonial washings to signify the unclean becoming
clean. The Pharisees simply added other washings to emphasize and
"perfect" the law of Moses. There is no express commandment forbidding
these ceremonial additions, except the regulative principle (e.g., Deut. 4:2;
12:31). These additions have no warrant from the Word of God.
Jesus
Christ is the champion of the regulative principle. He strongly rebuked the
scribes and Pharisees for adding to God's law. What happens when sinful men add
rules and regulations to God's law? Eventually man-made tradition replaces or
sets aside God's law. "Thus have ye made the commandment of God of none
effect by your tradition" (Matt. 15:6). The ancient Christian church added
its own rules and ceremonies to the worship of God and degenerated into the
pagan and idolatrous Roman Catholic Church. If we do not draw the line regarding
worship where God draws the line, then, as history proves, the church will
eventually degenerate into little better than a bizarre pagan cult. Christ's
rebuke to the scribes and Pharisees applies today to practically every (so
called) branch of the Christian church. "This people draweth nigh unto me
with their mouth, and honoureth me with their lips; but their heart is far from
me. But in vain they do worship me, teaching for doctrines the commandments
of men" (Matt. 15:8-9).
Tambahan
serangan lagi: dengan menggunakan Im 10:1-2 - “(1) Kemudian anak-anak
Harun, Nadab dan Abihu, masing-masing mengambil perbaraannya, membubuh api ke
dalamnya serta menaruh ukupan di atas api itu. Dengan demikian mereka
mempersembahkan ke hadapan TUHAN api yang asing yang tidak diperintahkanNya
kepada mereka. (2) Maka keluarlah api dari hadapan TUHAN, lalu menghanguskan
keduanya, sehingga mati di hadapan TUHAN”.
"And Nadab
and Abihu, the sons of Aaron, took either of them his censer, and put fire
therein, and put incense thereon, and offered strange fire before the LORD,
which he commanded them not. And there went out fire from the LORD, and
devoured them, and they died before the Lord" (Lev. 10:1,2).
"What
was their sin? Their sin was offering of
strange fire, so the text saith that they offered strange fire, which God
commanded them not. . . . But had God ever forbidden it? Where do we find that
ever God had forbidden them to offer strange fire, or appointed that they should
offer only one kind of fire? There is no text of Scripture that you can find
from the beginning of Genesis to this place, where God hath said in terminus,
in so many words expressly, You shall offer no fire but one kind of fire.
And yet here they are consumed by fire from God, for offering 'strange fire.'
" 7
Those
who reject God's regulative principle of worship have a real problem explaining
this text. Some argue that Nadab and Abihu were condemned because they offered
strange incense, for offering strange incense is expressly condemned in Exodus
30:9. But the text does not say "strange incense", it says
"strange fire". Others argue that they must have been insincere or
drunk. But what does the Holy Spirit give us as the reason for their judgment?
They offered strange fire "which he commanded them not." When
it comes to worshipping God, there must be a warrant out of God's Word.
"All things in God's worship must have a warrant out of God's word, [and]
must be commanded. It's not enough that it is not forbidden. . . . Now when man
shall put a Religious respect upon a thing, by vertue [sic] of his own
Institution when he hath not a warrant from God; Here's superstition! we must
all be willing worshipers, but not Wil-worshipers [sic]."8
Jawaban saya:
a)
Memang Kitab Suci tidak pernah memerintahkan untuk merayakan Natal, tetapi
jangan lupa bahwa Kitab Suci juga tidak pernah melarang untuk merayakan Natal.
Orang kristen merayakan Natal memang merupakan tradisi, dan saya berpendapat
bahwa tradisi tidak salah:
1.
Selama tidak bertentangan dengan Kitab Suci.
2.
Tradisi itu tidak kita paksakan / haruskan kepada orang-orang lain.
Dalam gereja
ada banyak hal-hal yang tidak diperintahkan, dan hanya bersifat tradisi,
misalnya:
· penggunaan
12 Pengakuan Iman Rasuli dan Doa Bapa Kami dalam banyak gereja-gereja Protestan.
· pendeta
memakai toga, paduan suara juga demikian.
· adanya
salib di gereja. Siapa yang menyuruh memasang tanda salib itu? Memang ada
orang-orang yang melarang adanya salib di gereja, tetapi mereka juga tidak
mempunyai dasar untuk melarang, selama salib itu tidak disembah.
· adanya
pengedaran kantong kolekte; siapa yang memerintahkan praktek ini? Dalam Bait
Allah, tidak ada hal seperti itu, karena mereka menggunakan peti persembahan,
dan orang yang mau mempersembahkan, mempersembahkan ke dalam peti tersebut (Luk
21:2).
· doa
dengan tutup mata, tunduk kepala dan sebagainya.
· sakramen
dan pemberkatan pernikahan hanya boleh dilayani oleh pendeta.
· upacara
pemberkatan nikah di gereja.
· adanya
kebaktian tutup peti, penghiburan, dan penguburan.
Semua ini tidak
pernah diperintahkan, tetapi juga tidak dilarang, dan tidak bertentangan dengan
Kitab Suci. Saya berpendapat perayaan Natal, dan hari-hari raya Kristen yang
lain juga demikian.
b)
Rasul-rasul juga tidak mempunyai gedung gereja, dan kita juga tidak pernah
diperintahkan untuk membangun gedung gereja. Jadi, apakah adanya gedung gereja
merupakan sesuatu yang salah?
c)
Ini bisa diextrimkan, misalnya dengan mengatakan: Tuhan juga tidak pernah
menyuruh kita mandi, dan karena itu orang kristen tidak boleh mandi! Atau
‘makan menggunakan sendok garpu / sumpit’, ‘pakai sepatu’ ke gereja,
menggunakan piano / organ / band di gereja, dan sebagainya.
d)
Pembahasan tentang Mat 15:8-9.
Ini juga
penafsiran yang out of context. Akan berbeda artinya kalau dibaca seluruhnya
yaitu Mat 15:1-20. Yesus menyerang orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat
itu karena:
1.
Mereka menjadikan tradisi sebagai suatu keharusan.
Mat 15:1-2
- “(1) Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari
Yerusalem kepada Yesus dan berkata: (2) ‘Mengapa murid-muridMu melanggar adat
istiadat (NIV: ‘tradition’) nenek moyang kita? Mereka
tidak membasuh tangan sebelum makan.’”.
Pertama-tama
perlu saudara ketahui bahwa apa yang dipersoalkan oleh orang-orang Farisi dan
ahli-ahli Taurat ini sama sekali tidak berurusan dengan kesehatan, tetapi
semata-mata merupakan persoalan yang bersifat upacara. Cuci tangannyapun tidak
sembarangan, tetapi harus dengan cara tertentu. Ini tidak pernah diperintahkan
dalam Kitab Suci, tetapi hanya merupakan tradisi mereka, tetapi hal yang hanya
merupakan tradisi ini lalu dijadikan suatu keharusan.
William
Barclay: “to the orthodox Jew all
this ritual ceremony was religion; this is what they believed, God demanded. To
do these things was to please God, and to be a good man. To put it in another
way, all this business of ritual washing was regarded as just as important and
just as binding as the Ten Commandments themselves” (= bagi orang-orang
Yahudi yang orthodox semua upacara ini adalah agama; ini adalah apa yang mereka
percaya sebagai tuntutan Allah. Melakukan hal-hal ini berarti menyenangkan
Allah, dan menjadi seorang yang baik. Dengan kata lain, semua urusan pembasuhan
yang bersifat upacara ini dianggap sama penting dan sama mengikatnya seperti
sepuluh Hukum Tuhan sendiri) - hal 115.
Kalau apa yang
sebetulnya bukan merupakan keharusan lalu dijadikan sebagai keharusan, itu sama
dengan menambahi Firman Tuhan. Dan itulah yang dilakukan oleh orang-orang Farisi
dan ahli-ahli Taurat itu. Firman Tuhan tidak pernah menyuruh orang yang mau
makan untuk membasuh tangan lebih dulu. Jadi semua itu hanya tradisi, tetapi
pada waktu para murid Yesus tidak melakukan hal itu, mereka menuduh para murid
sebagai telah berdosa.
2.
Mereka menggunakan tradisi yang bertentangan dengan Firman Tuhan.
Ini secara
implicit terlihat dari kata-kata Yesus dalam ay 11,17-20 - “(11)
‘Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan
orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.’
... (17) Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun
ke dalam perut lalu dibuang di jamban? (18) Tetapi apa yang keluar dari mulut
berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. (19) Karena dari hati timbul
segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah
palsu dan hujat. (20) Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan
tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang.’”.
Dari kata-kata
yang saya garis bawahi itu terlihat bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli
Taurat mengajarkan bahwa makan dengan tangan yang tidak dibasuh itu menajiskan
seseorang, dan Yesus mengcounter ajaran tersebut, dan mengatakan
sebaliknya.
3.
Mereka mengutamakan tradisi sedemikian rupa sehingga menggeser Firman Tuhan.
Mat 15:3-6
- “(3) Tetapi jawab Yesus kepada mereka: ‘Mengapa kamupun melanggar
perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? (4) Sebab Allah berfirman:
Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya
pasti dihukum mati. (5) Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya
atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk
pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, (6) orang itu
tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah
kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri”.
Karena itulah
maka Yesus lalu menegur mereka dengan keras, dan mengucapkan Mat 15:7-9 - “(7)
Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: (8) Bangsa ini
memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu. (9) Percuma
mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah
manusia.’”.
Sekarang,
cocokkah kalau text seperti ini diterapkan kepada orang-orang kristen yang
merayakan Natal? Selama kita tidak menjadikan perayaan Natal itu sebagai suatu
keharusan, maka saya berpendapat bahwa text ini tidak bisa dipakai untuk
menyerang kita.
e)
Pembahasan tentang Nadab dan Abihu dengan ‘api asing’ mereka.
Penulis di
internet itu mengatakan bahwa Nadab dan Abihu dihukum mati karena mereka
memberikan api asing, dan dengan demikian mereka melakukan apa yang tidak
diperintahkan oleh Tuhan. Memang dalam Im 10:1b ada kata-kata ‘yang
tidak diperintahkanNya’. Tetapi mari kita membahas kontext itu beserta
dengan kontext-kontext lain yang berhubungan, untuk melihat apakah Nadab dan
Abihu sekedar melakukan apa yang tidak diperintahkan oleh Tuhan, atau mereka
melakukan apa yang dilarang oleh Tuhan!
Im 10:1-7
- “(1) Kemudian anak-anak Harun, Nadab dan Abihu, masing-masing mengambil
perbaraannya, membubuh api ke dalamnya serta menaruh ukupan di atas api itu.
Dengan demikian mereka mempersembahkan ke hadapan TUHAN api yang asing yang
tidak diperintahkanNya kepada mereka. (2) Maka keluarlah api dari hadapan
TUHAN, lalu menghanguskan keduanya, sehingga mati di hadapan TUHAN. (3)
Berkatalah Musa kepada Harun: ‘Inilah yang difirmankan TUHAN: Kepada orang
yang karib kepadaKu Kunyatakan kekudusanKu, dan di muka seluruh bangsa itu akan
Kuperlihatkan kemuliaanKu.’ Dan Harun berdiam diri. (4) Kemudian Musa
memanggil Misael dan Elsafan, anak-anak Uziel, paman Harun, lalu berkatalah ia
kepada mereka: ‘Datang ke mari, angkatlah saudara-saudaramu ini dari depan
tempat kudus ke luar perkemahan.’ (5) Mereka datang, dan mengangkat mayat
keduanya, masih berpakaian kemeja, ke luar perkemahan, seperti yang dikatakan
Musa. (6) Kemudian berkatalah Musa kepada Harun dan kepada Eleazar dan Itamar,
anak-anak Harun: ‘Janganlah kamu berkabung dan janganlah kamu berdukacita,
supaya jangan kamu mati dan jangan TUHAN memurkai segenap umat ini, tetapi
saudara-saudaramu, yaitu seluruh bangsa Israel, merekalah yang harus menangis
karena api yang dinyalakan TUHAN itu. (7) Janganlah kamu pergi dari depan pintu
Kemah Pertemuan, supaya jangan kamu mati, karena minyak urapan TUHAN ada di
atasmu.’ Mereka melakukan sesuai dengan perkataan Musa”.
Satu hal yang
perlu diperhatikan adalah bahwa dosa Nadab dan Abihu dalam menggunakan api asing
ini, dilakukan persis setelah ayat terakhir dalam Im 9, yaitu Im 9:24 yang
menunjukkan bahwa Tuhan sendiri yang memberikan api yang harus digunakan.
Im 9:24 - “Dan
keluarlah api dari hadapan TUHAN, lalu menghanguskan korban bakaran dan
segala lemak di atas mezbah. Tatkala seluruh bangsa itu melihatnya,
bersorak-sorailah mereka, lalu sujud menyembah”.
Dan Tuhan
memerintahkan supaya api yang telah Ia berikan itu dijaga supaya jangan sampai
mati.
Im 6:9-13
- “(9) ‘Perintahkanlah kepada Harun dan anak-anaknya: Inilah hukum
tentang korban bakaran. Korban bakaran itu haruslah tinggal di atas perapian di
atas mezbah semalam-malaman sampai pagi, dan api mezbah haruslah dipelihara
menyala di atasnya. (10) Imam haruslah mengenakan pakaian lenannya, dan
mengenakan celana lenan untuk menutup auratnya. Lalu ia harus mengangkat abu
yang ada di atas mezbah sesudah korban bakaran habis dimakan api, dan haruslah
ia membuangnya di samping mezbah. (11) Kemudian haruslah ia menanggalkan
pakaiannya dan mengenakan pakaian lain, lalu membawa abu itu ke luar perkemahan
ke suatu tempat yang tahir. (12) Api yang di atas mezbah itu harus dijaga
supaya terus menyala, jangan dibiarkan padam. Tiap-tiap pagi imam harus
menaruh kayu di atas mezbah, mengatur korban bakaran di atasnya dan membakar
segala lemak korban keselamatan di sana. (13) Harus dijaga supaya api tetap
menyala di atas mezbah, janganlah dibiarkan padam.’”.
Adam Clarke
tentang Im 9:24: “This celestial
fire was carefully preserved among the Israelites till the time of Solomon, when
it was renewed, and continued among them till the Babylonish captivity” (=
Api dari surga itu harus dipelihara dengan seksama di antara bangsa Israel
sampai jaman Salomo, dimana itu diperbaharui, dan dilanjutkan di antara mereka
sampai pembuangan Babilonia) - hal 536.
Pulpit
Commentary tentang Im 6: “The altar
fire was never to go out, because the daily sacrifices constantly burning on the
altar symbolized the unceasing worship of God by Israel, and the gracious
acceptance of Israel by God” (= Api mezbah tidak pernah padam, karena
korban-korban harian secara terus menerus menyala pada mezbah menyimbolkan
ibadah yang tak henti-hentinya kepada Allah oleh Israel, dan penerimaan yang
murah hati terhadap Israel oleh Allah) - hal 90.
Calvin
tentang Im 6: “The intent of
this perpetuity was, that the offerings should be burnt with heavenly fire;
for on the day that Aaron was consecrated, the sacrifice was reduced to ashes
not by human means but miraculously, in token of approbation. True that God did
not choose daily to exert this power; but He interposed the hand and labour
of men in such a manner that the origin of the sacred fire should still be from
heaven” (= Tujuan dari keabadian ini adalah supaya persembahan /
korban dibakar dari api surgawi; karena pada hari Harun ditahbiskan, korban
dibakar menjadi abu bukan dengan cara manusiawi tetapi secara mujijat, sebagai
tanda penerimaan. Memang benar bahwa Allah tidak memilih untuk menggunakan kuasa
ini setiap hari; tetapi Ia meletakkan di tengah-tengahnya tangan dan
pekerjaan dari orang-orang dengan cara sedemikian rupa sehingga asal usul dari
api yang keramat itu tetap dari surga) - hal 364.
Calvin
tentang Im 6: “in order to
prevent any adulterations, He chose to have the fire continually burning on
the altar day and night, nor was it allowable to take it from elsewhere”
(= untuk mencegah percampuran apapun, Ia memilih untuk memerintahkan
supaya api itu secara terus menerus menyala di mezbah siang dan malam, juga
tidak diijinkan untuk mengambilnya dari tempat lain) - hal 364.
Calvin
tentang Im 6: “the purpose of God in
rejecting strange fire was to retain the people in His own genuine ordinance
prescribed by the Law, lest any inventions of men should insinuate themselves;
for the prohibition of strange fire was tantamount to forbidding men to
introduce anything of their own, or to add to the pure doctrine of the Law, or
to decline from its rule” (= tujuan dari Allah dalam menolak api asing
adalah untuk mempertahankan umatNya dalam peraturan / upacaraNya sendiri yang
murni yang ditentukan oleh hukum Taurat, supaya jangan penemuan manusia
memasukkan dirinya sendiri; karena larangan api asing sama dengan
melarang orang untuk memperkenalkan apapun dari diri mereka sendiri, atau untuk
menambahkan kepada ajaran hukum Taurat yang murni, atau untuk mundur dari
peraturannya) - hal 365.
Jadi, pada
waktu Nadab dan Abihu tidak menggunakan api yang Tuhan berikan itu, tetapi
menggunakan api asing / api dari sumber lain, apakah mereka sekedar melakukan
apa yang tidak diperintahkan oleh Tuhan? Perhatikan komentar dari para penafsir
di bawah ini:
Adam Clarke
tentang Im 10: “In the preceding
chapter we have seen how ... he sent his own fire ... Here we find Aaron’s
sons neglecting the Divine ordinance, and offering incense with strange,
that is, common fire, - fire not of a celestial origin” (= Dalam pasal
sebelumnya kita telah melihat bagaimana ... Ia mengirim apiNya sendiri ... Di
sini kita mendapati bahwa anak-anak Harun mengabaikan peraturan Ilahi,
dan mempersembahkan ukupan / kemenyan dengan api asing, yaitu api biasa, - api
yang bukan berasal dari surga) - hal 537.
Pulpit
Commentary tentang Im 10: “They had
acted presumptuously. ... they had irreverently broken the custom, which
rested upon a Divine command, of taking the fire for the altar of incense
from the altar of burnt sacrifice alone. ... this offence was the
transgression of a positive rather than of a moral precept, ... They ...
had, with whatever good intentions, done what God had not commended, and
in doing it had done what he had forbidden” (= Mereka telah
bertindak dengan lancang. ... dengan cara yang tidak hormat mereka
merusak kebiasaan, yang didasarkan pada perintah Ilahi, tentang pengambilan
api untuk mezbah ukupan dari mezbah korban bakaran saja. ... pelanggaran ini
lebih merupakan pelanggaran terhadap suatu peraturan / perintah yang positif
dari pada moral, ... Mereka ... dengan maksud baik apapun, telah
melakukan apa yang Allah tidak perintahkan, dan dengan melakukannya mereka telah
melakukan apa yang Ia larang) - hal 149.
Calvin
tentang Im 10: “The ‘strange
fire’ is distinguished from the sacred fire which was always burning upon the
altar: not miraculously, as some pretend, but by the constant watchfulness of
the priests. Now, God had forbidden
any other fire to be used in the ordinances, in order to exclude all
extraneous rites, and to shew His detestation of whatever might be derived from
elsewhere. Let us learn, therefore, so to attend to God’s command as not to
corrupt His worship by any strange inventions” (= ‘Api asing’ itu
dibedakan dari api yang keramat yang selalu menyala di mezbah: bukan secara
mujijat, seperti yang dikira oleh sebagian orang, tetapi oleh suatu penjagaan
terus menerus dari para imam. Jadi, Allah telah
melarang api yang lain untuk digunakan dalam upacara, supaya membuang
semua upacara asing, dan untuk menunjukkan kebencianNya terhadap apapun yang
bisa didapatkan dari tempat lain. Karena itu, marilah kita belajar untuk
memperhatikan perintah Allah sedemikian rupa sehingga tidak merusak ibadahNya
dengan penemuan-penemuan asing) - hal 431-432.
Dari semua
pembahasan ini bisa disimpulkan bahwa pada waktu Nadab dan Abihu memberikan ‘api
asing’, itu bukan berarti bahwa mereka sekedar melakukan sesuatu yang
tidak diperintahkan oleh Tuhan. Tuhan memberikan api secara mujijat, dan
mengharuskan memelihara api itu. Secara implicit, Tuhan melarang
penggunaan ‘api asing’. Karena itu sekalipun Im 10:1 mengatakan ‘mereka
mempersembahkan ke hadapan TUHAN api yang asing yang tidak diperintahkanNya
kepada mereka’ tetapi kalau kita membandingkannya dengan text-text lain
yang sudah kita lihat di atas, jelas bahwa Nadab dan Abihu tidak bisa dikatakan
hanya sebagai ‘melakukan apa yang tidak diperintahkan’ oleh Tuhan,
tetapi harus juga dikatakan sebagai ‘melakukan apa yang dilarang’
oleh Tuhan.
Jadi,
menggunakan text tentang Nadab dan Abihu untuk menentang perayaan Natal, adalah
sangat tidak cocok.
f)
Ada banyak hal yang tidak diperintahkan Tuhan, tetapi toh dilakukan, dan tidak
dipersalahkan.
Misalnya:
1.
Orang Israel tidak makan daging yang menutupi sendi pangkal paha.
Kej 32:25,31-32
- “(25) Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, ia
memukul sendi pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok,
ketika ia bergulat dengan orang itu. ... (31) Lalu tampaklah kepadanya matahari
terbit, ketika ia telah melewati Pniel; dan Yakub pincang karena pangkal
pahanya. (32) Itulah sebabnya sampai sekarang orang Israel tidak memakan daging
yang menutupi sendi pangkal paha, karena Dia telah memukul sendi pangkal paha
Yakub, pada otot pangkal pahanya”.
Barnes’
Notes: “God did not demand this
ritual observance in the Mosaic law, but the descendants of Israel of their own
accord instituted the practice because they recognized how extremely important
this experience of Jacob was for him and for themselves” (= Allah tidak
menuntut ketaatan / ibadah yang bersifat upacara ini dalam hukum Musa, tetapi
keturunan dari Israel dari persetujuan mereka sendiri mengadakan praktek ini
karena mereka menyadari betapa pentingnya pengalaman Yakub ini untuk dirinya dan
untuk diri mereka sendiri) - hal 883.
Matthew
Poole: “Not from any superstitious
conceit about it, but only for a memorial of this admirable conflict, the
blessed effects whereof even the future generations received” (= Bukan
dari pemikiran yang bersifat takhyul tentangnya, tetapi hanya untuk suatu
peringatan tentang konflik yang mengagumkan ini, tentang mana akibat-akibat yang
memberkati bahkan diterima oleh generasi-generasi yang akan datang) - hal
76.
2.
Musa mendirikan 12 tugu peringatan tanpa adanya perintah dari Tuhan.
Kel 24:4 -
“Lalu Musa menuliskan segala firman TUHAN itu. Keesokan harinya pagi-pagi
didirikannyalah mezbah di kaki gunung itu, dengan dua belas tugu sesuai dengan
kedua belas suku Israel”.
3.
Anak-anak perempuan Israel mempunyai tradisi untuk meratapi anak perempuan Yefta
4 hari dalam setahun, dan ini juga tidak pernah diperintahkan oleh Tuhan.
Hak 11:34-40
- “(34) Ketika Yefta pulang ke Mizpa ke rumahnya, tampaklah anaknya
perempuan keluar menyongsong dia dengan memukul rebana serta menari-nari. Dialah
anaknya yang tunggal; selain dari dia tidak ada anaknya laki-laki atau
perempuan. (35) Demi dilihatnya dia, dikoyakkannyalah bajunya, sambil berkata:
‘Ah, anakku, engkau membuat hatiku hancur luluh dan engkaulah yang
mencelakakan aku; aku telah membuka mulutku bernazar kepada TUHAN, dan tidak
dapat aku mundur.’ (36) Tetapi jawabnya kepadanya: ‘Bapa, jika engkau telah
membuka mulutmu bernazar kepada TUHAN, maka perbuatlah kepadaku sesuai dengan
nazar yang kauucapkan itu, karena TUHAN telah mengadakan bagimu pembalasan
terhadap musuhmu, yakni bani Amon itu.’ (37) Lagi katanya kepada ayahnya:
‘Hanya izinkanlah aku melakukan hal ini: berilah keluasan kepadaku dua bulan
lamanya, supaya aku pergi mengembara ke pegunungan dan menangisi kegadisanku
bersama-sama dengan teman-temanku.’ (38) Jawab Yefta: ‘Pergilah,’ dan ia
membiarkan dia pergi dua bulan lamanya. Maka pergilah gadis itu bersama-sama
dengan teman-temannya menangisi kegadisannya di pegunungan. (39) Setelah lewat
kedua bulan itu, kembalilah ia kepada ayahnya, dan ayahnya melakukan kepadanya
apa yang telah dinazarkannya itu; jadi gadis itu tidak pernah kenal laki-laki. Dan
telah menjadi adat di Israel, (40) bahwa dari tahun ke tahun anak-anak perempuan
orang Israel selama empat hari setahun meratapi anak perempuan Yefta, orang
Gilead itu”.
4.
Suku Ruben, Gad, dan setengah suku Manasye, mendirikan mezbah sebagai saksi /
peringatan, tanpa perintah dari Tuhan. Ini menyebabkan sisa Israel yang lain
marah dan mau memerangi mereka, karena mengira bahwa 2 ½ suku itu memberontak
terhadap Tuhan. Memang sebetulnya 2 ½ suku itu juga mempunyai kesalahan, yaitu
karena mereka tidak memberitahu lebih dulu tentang hal itu kepada suku-suku yang
lain, sehingga muncul kecurigaan yang memang cukup beralasan. Tetapi setelah
mereka menjelaskan apa tujuan mezbah itu, suku-suku yang lain menganggap hal itu
baik, dan membatalkan rencana mereka untuk memerangi 2 ½ suku itu.
Yos 22:9-34
- “(9) Maka pulanglah bani Ruben, bani Gad dan suku Manasye yang setengah
itu dan mereka pergi meninggalkan orang Israel, keluar dari Silo di tanah Kanaan
untuk pergi ke tanah Gilead, tanah milik mereka yang didiami mereka sesuai
dengan titah TUHAN dengan perantaraan Musa. (10) Ketika mereka sampai ke Gelilot
pada sungai Yordan, yang di tanah Kanaan, maka bani Ruben, bani Gad dan suku
Manasye yang setengah itu mendirikan mezbah di sana di tepi sungai Yordan,
mezbah yang besar bangunannya. (11) Lalu terdengarlah oleh orang Israel itu
cakap orang: ‘Telah didirikan mezbah oleh bani Ruben, bani Gad dan suku
Manasye yang setengah itu, mezbah menghadap ke tanah Kanaan, di Gelilot pada
sungai Yordan, di sebelah wilayah orang Israel.’ (12) Ketika hal itu
terdengar oleh orang Israel, berkumpullah segenap umat Israel di Silo, untuk
maju memerangi mereka. (13) Kemudian orang Israel mengutus kepada bani
Ruben, kepada bani Gad dan kepada suku Manasye yang setengah itu, ke tanah
Gilead, imam Pinehas bin Eleazar, (14) dan bersama-sama dengan dia sepuluh
pemimpin, yakni seorang pemimpin kaum keluarga sebagai wakil tiap-tiap suku
Israel. Masing-masing mereka itu kepala kaum keluarganya di antara kaum-kaum
orang Israel. (15) Setelah mereka sampai kepada bani Ruben, kepada bani Gad dan
kepada suku Manasye yang setengah itu di tanah Gilead, berkatalah mereka kepada
orang-orang itu, demikian: (16) ‘Beginilah kata segenap umat TUHAN: Apa macam
perbuatanmu yang tidak setia ini terhadap Allah Israel, dengan sekarang berbalik
dari pada TUHAN dan mendirikan mezbah bagimu, dengan demikian memberontak
terhadap TUHAN pada hari ini? (17) Belum cukupkah bagi kita noda yang di Peor
itu, yang dari padanya kita belum mentahirkan diri sampai hari ini dan yang
menyebabkan umat TUHAN kena tulah, (18) sehingga kamu berbalik pula sekarang ini
membelakangi TUHAN? Jika kamu hari ini memberontak terhadap TUHAN, maka besok Ia
akan murka kepada segenap umat Israel. (19) Akan tetapi, jika sekiranya tanah
milikmu itu najis, marilah menyeberang ke tanah milik TUHAN, tempat kedudukan
Kemah Suci TUHAN, dan menetaplah di tengah-tengah kami. Tetapi janganlah
memberontak terhadap TUHAN dan janganlah memberontak terhadap kami, dengan
mendirikan mezbah bagimu sendiri, selain dari mezbah TUHAN, Allah kita. (20)
Ketika Akhan bin Zerah berubah setia dengan mengambil barang-barang yang
dikhususkan, bukankah segenap umat Israel kena murka? Bukan orang itu saja yang
mati karena dosanya.’ (21) Lalu jawab bani Ruben, bani Gad dan suku Manasye
yang setengah itu, katanya kepada para kepala kaum-kaum orang Israel: (22)
‘Allah segala allah, TUHAN, Allah segala allah, TUHAN, Dialah yang mengetahui,
dan patutlah orang Israel mengetahuinya juga! Jika sekiranya hal ini terjadi
dengan maksud memberontak atau dengan maksud berubah setia terhadap TUHAN -
biarlah jangan TUHAN selamatkan kami pada hari ini. (23) Jika sekiranya kami
mendirikan mezbah untuk berbalik dari pada TUHAN, untuk mempersembahkan korban
bakaran dan korban sajian di atasnya serta korban keselamatan di atasnya,
biarlah TUHAN sendiri yang menuntut balas terhadap kami. (24) Tetapi
sesungguhnya, kami telah melakukannya karena cemas. Sebab pikir kami: Di
kemudian hari anak-anak kamu mungkin berkata kepada anak-anak kami, demikian:
Apakah sangkut pautmu dengan TUHAN, Allah Israel? (25) Bukankah TUHAN telah
menentukan sungai Yordan sebagai batas antara kami dan kamu, hai orang bani
Ruben dan bani Gad! Kamu tidak mempunyai bagian akan TUHAN. Demikianlah mungkin
anak-anak kamu membuat anak-anak kami berhenti dari pada takut akan TUHAN. (26)
Sebab itu kata kami: Biarlah kita mendirikan mezbah itu bagi kita! Bukanlah
untuk korban bakaran dan bukanlah untuk korban sembelihan, (27) tetapi supaya
mezbah itu menjadi saksi antara kami dan kamu, dan antara keturunan kita
kemudian, bahwa kami tetap beribadah kepada TUHAN di hadapanNya dengan korban
bakaran, korban sembelihan dan korban keselamatan kami. Jadi tidaklah
mungkin anak-anak kamu di kemudian hari berkata kepada anak-anak kami: Kamu
tidak mempunyai bagian pada TUHAN. (28) Lagi kata kami: Apabila di kemudian hari
demikian dikatakan mereka kepada kita dan kepada keturunan kita, maka kita akan
berkata: Tengoklah bangunan tiruan mezbah TUHAN itu, yang telah dibuat oleh
nenek moyang kami. Bukan untuk korban bakaran dan bukan untuk korban sembelihan,
tetapi mezbah itu menjadi saksi antara kami dan kamu. (29)
Jauhlah dari pada kami untuk memberontak terhadap TUHAN, dan untuk berbalik dari
pada TUHAN pada hari ini dengan mendirikan mezbah untuk korban bakaran, korban
sajian atau korban sembelihan, mezbah yang bukan mezbah TUHAN, Allah kita, yang
ada di depan Kemah SuciNya!’ (30) Setelah imam Pinehas dan para pemimpin
umat serta para kepala kaum-kaum orang Israel yang bersama-sama dengan dia,
mendengar perkataan yang dikatakan oleh bani Ruben, bani Gad dan bani Manasye
itu, maka mereka menganggap hal itu baik.
(31) Kemudian berkatalah imam Pinehas bin Eleazar kepada bani Ruben, bani Gad
dan bani Manasye: ‘Sekarang tahulah kami bahwa TUHAN ada di tengah-tengah
kita, sebab tidaklah kamu berubah setia terhadap TUHAN. Dengan demikian kamu
telah melepaskan orang Israel dari hukuman TUHAN.’ (32) Sesudah itu imam
Pinehas bin Eleazar serta para pemimpin itu meninggalkan bani Ruben dan bani Gad
di tanah Gilead, pulang ke Kanaan kepada orang Israel, lalu disampaikanlah
berita itu kepada mereka. (33) Hal itu dipandang baik oleh orang Israel, sehingga orang Israel
memuji Allah dan tidak lagi berkata hendak maju memerangi mereka untuk
memusnahkan negeri yang didiami bani Ruben dan bani Gad itu. (34) Dan bani
Ruben dan bani Gad menamai mezbah itu: Saksi, karena inilah saksi antara
kita, bahwa TUHAN itulah Allah”.
Kalau ada
orang-orang yang anti Natal yang membaca text ini, semoga merekapun berhenti
memerangi kita yang pro pada perayaan Natal! Kalau sudah dijelaskanpun mereka
tetap ingin ‘memerangi’ kita, itu menunjukkan kebrengsekan mereka, yang
tidak mempunyai jiwa persatuan seperti suku-suku lain dalam cerita ini!
5.
Salomo mengadakan perayaan pentahbisan mezbah selama 7 hari; dan sepanjang yang
saya ketahui dari Kitab Suci, tidak ada perintah Tuhan untuk hal itu.
2Taw 7:9 -
“Pada hari yang kedelapan mereka mengadakan perkumpulan raya, karena mereka
telah merayakan pentahbisan mezbah selama tujuh hari, dan perayaan Pondok
Daun selama tujuh hari”.
6.
Perayaan hari-hari raya tertentu, seperti Purim, hari raya pentahbisan Bait
Suci, dsb.
Alfred
Edersheim: “Besides the festivals
mentioned in the Law of Moses, other festive seasons were also observed at the
time of our Lord, to perpetuate the memory either of great national deliverances
or of great national calamities” (= Selain hari-hari raya yang disebutkan
dalam hukum Musa, waktu-waktu untuk hari raya yang lain juga dijalankan pada
jaman Tuhan kita, untuk mengabadikan ingatan terhadap pembebasan-pembebasan
nasional yang besar atau bencana-bencana nasional yang besar) - ‘The
Temple’, hal 330.
Alfred
Edersheim: “these feasts ... of
human, not Divine institution” (= hari-hari raya ini ... merupakan sesuatu
yang didirikan oleh manusia, bukan olah Allah) - ‘The Temple’,
hal 330,331.
Alfred
Edersheim: “Besides the Mosaic
festivals, the Jews celebrated at the time of Christ two other feasts - that of
Esther, or Purim, and that of the Dedication of the Temple, on its restoration
by Judas Maccabee” (= Disamping hari-hari raya dari hukum Musa,
orang-orang Yahudi merayakan pada jaman Kristus dua hari raya yang lain - hari
raya dari Ester, atau Purim, dan hari raya Pentahbisan Bait Suci, pada
pemulihannya oleh Yudas Makabeus) - ‘The Temple’, hal 197.
Merrill C.
Tenney: “Two other feasts were
added later in post-exilic times: the Feast of Lights and the Feast of Purim.
... The Feast of Lights or the Feast of Dedication was observed for eight days
beginning with the twenty-fifth of Kislev. It is mentioned in John 10:22. It was
first established in 164 B.C. when Judas Maccabeus cleansed the temple, which
had been profaned by Antiochus Epiphanes, and rededicated it to the service of
God. Every Jewish home was brilliantly lighted in its honor and the stories of
the Maccabees were repeated for the benefit of the children. It corresponds
almost exactly in time to the Christian Christmas. ... The Feast of Purim.
Purim, or ‘lots,’ as the word signifies, was kept on the fourteenth and
fifteenth days of Adar. On the evening of the thirteenth day the whole of the
book of Esther was read publicly in the synagogue. It contained a minimum of
religious observances and was rather a national holiday, corresponding somewhat
to the Fourth of July as Americans used to celebrate it. It is not mentioned in
the New Testament, unless John 5:1 is an allusion to it” (= Dua hari raya
ditambahkan belakangan pada jaman setelah pembuangan: Hari Raya Terang dan Hari
Raya Purim. ... Hari Raya Terang atau Hari Pentahbisan dijalankan / diperhatikan
untuk 8 hari mulai bulan Kislev tanggal 25. Itu disebutkan dalam Yoh 10:22. Itu
pertama-tama ditetapkan pada tahun 164 S. M. pada saat Yudas Makabeus
membersihkan Bait Suci, yang telah dinodai oleh Antiokhus Epiphanes, dan
mempersembahkannya kembali bagi pelayanan Allah. Setiap rumah Yahudi diterangi
secara gemerlapan untuk menghormatinya dan cerita-cerita tentang Makabeus
diulang untuk kepentingan anak-anak. Itu hampir bersamaan dengan Natalnya orang
kristen. ... Hari Raya Purim. Purim, atau ‘undi’, seperti arti dari kata
itu, dipelihara pada tanggal 14 dan 15 dari bulan Adar. Pada malam hari dari
tanggal 13 seluruh kitab Ester dibacakan di depan umum dalam synagogue. Ini
mengandung ibadat agama yang minimum dan lebih merupakan hari libur nasional,
agak mirip dengan tanggal 4 Juli sebagai orang-orang Amerika merayakannya. Itu
tidak disebutkan dalam Perjanjian Baru, kecuali kalau Yoh 5:1 dianggap menunjuk
kepada hari itu) - ‘New Testament Survey’, hal 98-99.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Jewish Holidays’:
“Purim
(Feast of Lots) and Hanukka (Feast of Dedication), while not mentioned in the
Torah (and therefore of lesser solemnity), were instituted by Jewish authorities
in the Persian and Greco-Roman periods”
[= Purim (Hari Raya Undian) dan Hanukka (Hari Raya Pentahbisan), sementara tidak
disebutkan dalam hukum Taurat (dan karena itu mempunyai kekhidmatan yang agak
kurang), didirikan oleh otorita-otoritas Yahudi pada jaman Persia dan
Romawi-Yunani].
a.
Purim.
Dalam 2Makabe
15:36 disebut hari Mordekhai.
Ester 9:1-32 - “(1)
Dalam bulan yang kedua belas - yakni bulan Adar - , pada hari yang ketiga belas,
ketika titah serta undang-undang raja akan dilaksanakan, pada hari musuh-musuh
orang Yahudi berharap mengalahkan orang Yahudi, terjadilah yang sebaliknya:
orang Yahudi mengalahkan pembenci-pembenci mereka. (2) Maka berkumpullah orang
Yahudi di dalam kota-kotanya di seluruh daerah raja Ahasyweros, untuk membunuh
orang-orang yang berikhtiar mencelakakan mereka, dan tiada seorangpun tahan
menghadapi mereka, karena ketakutan kepada orang Yahudi telah menimpa segala
bangsa itu. (3) Dan semua pembesar daerah dan wakil pemerintahan dan bupati
serta pejabat kerajaan menyokong orang Yahudi, karena ketakutan kepada Mordekhai
telah menimpa mereka. (4) Sebab Mordekhai besar kekuasaannya di dalam istana
raja dan tersiarlah berita tentang dia ke segenap daerah, karena Mordekhai itu
bertambah-tambah besar kekuasaannya. (5) Maka orang Yahudi mengalahkan semua
musuhnya: mereka memukulnya dengan pedang, membunuh dan membinasakannya; mereka
berbuat sekehendak hatinya terhadap pembenci-pembenci mereka. (6) Di dalam
benteng Susan saja orang Yahudi membunuh dan membinasakan lima ratus orang. (7)
Juga Parsandata, Dalfon, Aspata, (8) Porata, Adalya, Aridata, (9) Parmasta,
Arisai, Aridai dan Waizata, (10) kesepuluh anak laki-laki Haman bin Hamedata,
seteru orang Yahudi, dibunuh oleh mereka, tetapi kepada barang rampasan tidaklah
mereka mengulurkan tangan. (11) Pada hari itu juga jumlah orang-orang yang
terbunuh di dalam benteng Susan disampaikan ke hadapan raja. (12) Lalu titah
raja kepada Ester, sang ratu: ‘Di dalam benteng Susan saja orang Yahudi telah
membunuh dan membinasakan lima ratus orang beserta kesepuluh anak Haman. Di
daerah-daerah kerajaan yang lain, entahlah apa yang diperbuat mereka. Dan apakah
permintaanmu sekarang? Niscaya akan dikabulkan. Dan apakah keinginanmu lagi?
Niscaya dipenuhi.’ (13) Lalu jawab Ester: ‘Jikalau baik pada pemandangan
raja, diizinkanlah kiranya kepada orang Yahudi yang di Susan untuk berbuat
besokpun sesuai dengan undang-undang untuk hari ini, dan kesepuluh anak Haman
itu hendaklah disulakan pada tiang.’ (14) Rajapun menitahkan berbuat demikian;
maka undang-undang itu dikeluarkan di Susan dan kesepuluh anak Haman disulakan
orang. (15) Jadi berkumpullah orang Yahudi yang di Susan pada hari yang keempat
belas bulan Adar juga dan dibunuhnyalah di Susan tiga ratus orang, tetapi kepada
barang rampasan tidaklah mereka mengulurkan tangan. (16) Orang Yahudi yang lain,
yang ada di dalam daerah kerajaan, berkumpul dan mempertahankan nyawanya serta
mendapat keamanan terhadap musuhnya; mereka membunuh tujuh puluh lima ribu orang
di antara pembenci-pembenci mereka, tetapi kepada barang rampasan tidaklah
mereka mengulurkan tangan. (17) Hal itu terjadi pada hari yang ketiga belas
dalam bulan Adar. Pada hari yang keempat belas berhentilah mereka dan hari itu
dijadikan mereka hari perjamuan dan sukacita. (18) Akan tetapi orang Yahudi yang
di Susan berkumpul, baik pada hari yang ketiga belas, baik pada hari yang
keempat belas dalam bulan itu. Lalu berhentilah mereka pada hari yang kelima
belas dan hari itu dijadikan mereka
hari perjamuan dan sukacita. (19) Oleh sebab itu orang Yahudi yang di
pedusunan, yakni yang diam di perkampungan merayakan hari yang keempat belas
bulan Adar itu sebagai hari sukacita dan hari perjamuan, dan sebagai hari
gembira untuk antar-mengantar makanan. (20) Maka Mordekhai
menuliskan peristiwa itu, lalu mengirimkan surat-surat kepada semua orang Yahudi
di seluruh daerah raja Ahasyweros, baik yang dekat baik yang jauh, (21) untuk
mewajibkan mereka, supaya tiap-tiap tahun
merayakan hari yang keempat belas dan yang kelima belas bulan Adar,
(22) karena pada hari-hari itulah orang Yahudi mendapat keamanan terhadap
musuhnya dan dalam bulan itulah dukacita mereka berubah menjadi sukacita dan
hari perkabungan menjadi hari gembira, dan supaya menjadikan hari-hari itu
hari perjamuan dan sukacita dan hari untuk antar-mengantar makanan dan untuk
bersedekah kepada orang-orang miskin. (23) Maka orang Yahudi menerima sebagai ketetapan apa yang sudah dimulai mereka
melakukannya dan apa yang ditulis Mordekhai kepada mereka. (24)
Sesungguhnya Haman bin Hamedata, orang Agag, seteru semua orang Yahudi itu,
telah merancangkan hendak membinasakan orang Yahudi dan diapun telah membuang pur
- yakni undi - untuk menghancurkan dan membinasakan mereka, (25) akan tetapi
ketika hal itu disampaikan ke hadapan raja, maka dititahkannyalah dengan surat,
supaya rancangan jahat yang dibuat Haman terhadap orang Yahudi itu dibalikkan ke
atas kepalanya. Maka Haman beserta anak-anaknya disulakan pada tiang. (26) Oleh
sebab itulah hari-hari itu disebut Purim, menurut kata pur. Oleh sebab
itu jugalah, yakni karena seluruh isi surat itu dan karena apa yang dilihat
mereka mengenai hal itu dan apa yang dialami mereka, (27) orang
Yahudi menerima sebagai kewajiban dan sebagai ketetapan bagi dirinya sendiri
dan keturunannya dan bagi sekalian orang yang akan bergabung dengan mereka,
bahwa mereka tidak akan melampaui merayakan kedua hari itu tiap-tiap tahun,
menurut yang dituliskan tentang itu dan pada waktu yang ditentukan, (28) dan
bahwa hari-hari itu akan diperingati dan dirayakan di dalam tiap-tiap angkatan,
di dalam tiap-tiap kaum, di tiap-tiap daerah, di tiap-tiap kota, sehingga
hari-hari Purim itu tidak akan lenyap dari tengah-tengah orang Yahudi dan
peringatannya tidak akan berakhir dari antara keturunan mereka. (29) Lalu
Ester, sang ratu, anak Abihail, menulis surat, bersama-sama dengan Mordekhai,
orang Yahudi itu; surat yang kedua tentang hari raya Purim ini dituliskannya
dengan segala ketegasan untuk menguatkannya. (30) Lalu dikirimkanlah
surat-surat kepada semua orang Yahudi di dalam keseratus dua puluh tujuh daerah
kerajaan Ahasyweros, dengan kata-kata salam dan setia, (31) supaya hari-hari
Purim itu dirayakan pada waktu yang ditentukan, seperti yang diwajibkan kepada
mereka oleh Mordekhai, orang Yahudi itu, dan oleh Ester, sang ratu, dan seperti
yang diwajibkan mereka kepada dirinya
sendiri serta keturunan mereka, mengenai hal berpuasa dan
meratap-ratap. (32) Demikianlah perintah
Ester menetapkan perihal Purim itu, kemudian dituliskan di dalam
kitab”.
Text ini
menunjukkan bahwa Purim diharuskan / diwajibkan. Perintah itu diberikan oleh Mordekhai dan Ester, dan tidak pernah
diberikan oleh Tuhan! Salah satu hal yang mereka lakukan selain
bergembira adalah saling mengirimkan makanan (ay 19).
KJV: ‘sending
portions’ (= mengirimkan bagian-bagian).
RSV: ‘send
choice portions’ (= mengirimkan bagian-bagian pilihan).
NIV: ‘giving
presents’ (= memberikan hadiah-hadiah).
NASB: ‘sending
portions of food’ (= mengirimkan bagian-bagian makanan).
Dalam
komentarnya tentang Ester 9:31, Adam Clarke berkata:
“‘As
they had decreed for themselves and for their seed’. There is no mention of
their receiving the approbation of any high priest, nor of any authority beyond
that of Mordecai and Esther; the king could not join in such a business, as he
had nothing to do with the Jewish religion, that not being the religion of the
country” (= ‘seperti yang diwajibkan
mereka kepada dirinya sendiri serta keturunan mereka’. Tidak disebutkan bahwa
mereka menerima persetujuan dari imam besar manapun, ataupun dari otoritas di
atas Mordekhai dan Ester; raja tidak bisa ikut dalam urusan seperti itu, karena
ia tidak mempunyai urusan dengan agama Yahudi, karena itu bukan agama negerinya)
- hal 827.
Pulpit
Commentary: “In modern times the
Jews keep up the practice, and on the 15th of Adar both interchange
gifts, chiefly sweetmeats, and make liberal offering for the poor (comp. ver.
22, ad fin.)” [= Dalam jaman modern orang-orang Yahudi mempertahankan
praktek ini, dan pada tanggal 15 bulan Adar mereka saling tukar menukar hadiah,
yang terutama daging manis, dan memberikan persembahan yang murah hati kepada
orang-orang miskin (bdk. ay 22 bagian akhir)] - hal 158.
Pulpit
Commentary: “The universal adoption
of the Purim feast by the Jewish nation, originating as it did at Susa, among
the Persian Jews, ... Mordecai had no ecclesiastical authority; and it might
have been expected that the Jews of Jerusalem would have demurred to the
imposition of a fresh religious obligation upon them by a Jew of the Dispersion,
who was neither a prophet, nor a priest, not even a Levite. ... But Joiakim, the
high priest of the time (Neh. 12:10-12), ... must have given his approval to the
feast from the first, and have adopted it into the ceremonial of the nation, or
it would scarcely have become universal. Hooker ... rightly makes the
establishment of the feast an argument in favour of the Church’s power to
prescribe festival days; and it must certainly have been by ecclesiastical,
and not by civil, command that it became obligatory” [= Penerimaan secara
universal terhadap Hari Raya Purim oleh bangsa Yahudi, berasal mula di Susa, di
antara orang-orang Yahudi Persia, ... Mordekhai tidak mempunyai otoritas
kegerejaan; dan bisa diharapkan bahwa orang-orang Yahudi Yerusalem akan
keberatan pada pembebanan suatu kewajiban agama yang baru kepada mereka oleh
seorang Yahudi yang sedang tersebar, yang bukan seorang nabi, atau imam, dan
bahkan bukan seorang Lewi. ... Tetapi Yoyakim, sang imam besar pada saat itu
(Neh 12:10-12, ... pasti memberikan persetujuannya terhadap hari raya itu dari
semula, dan telah mengadopsinya ke dalam upacara bangsa itu, atau itu tidak
mungkin bisa bersifat universal. Hooker ... secara benar membuat peneguhan
dari hari raya ini suatu argumentasi yang mendukung kuasa Gereja untuk
menentukan hari-hari raya; dan itu haruslah oleh perintah gereja, dan bukan
perintah pemerintah, sehingga itu menjadi suatu yang bersifat wajib)] - hal
158-159.
Pulpit
Commentary: “Other Jewish
festivals, as the passover and tabernacles, were instituted by express Divine
authority. The feast of Purim was instituted by the authority of Mordecai and
Esther. Yet its observance was undoubtedly sanctioned by the God whose merciful
interposition it commemorated” (= ) - hal 160.
Pulpit
Commentary: “the observanecs
consisting of a preliminary fast; and of a sacred assembly in the synagogue,
when the Megillah (or roll) of the Book of Esther, is unfolded and solemnly read
aloud; and of a repast at home, followed by merry-making, and the sending of
presents” (= ) - hal 160.
Tentang Ester
9:28b - “sehingga hari-hari Purim itu tidak akan lenyap dari tengah-tengah
orang Yahudi dan peringatannya tidak akan berakhir dari antara keturunan
mereka”, Pulpit Commentary berkata: “As a commemoration of human,
and not of Divine, appointment, the feast of Purim was liable to abrogation or
discontinuance. The Jews of that time resolved that the observance should be
perpetual; and in point of fact the feast has continued up to the present
date” (= Sebagai suatu peringatan oleh penetapan manusia, dan bukan
penetapan Ilahi, hari raya Purim bisa dihapuskan atau tidak dilanjutkan.
Orang-orang Yahudi pada jaman itu memutuskan bahwa pemeliharaan hari itu harus
kekal; dan dalam faktanya hari raya itu berlanjut sampai saat ini) - hal
159.
W. N.
McElrath & Billy Mathias: “Purim.
Hari raya bangsa Yahudi untuk memperingati kemenangan Ester dan Mordekhai atas
komplotan jahat Haman (Ester 9:23-26). Pesta itu agak luar biasa di antara
hari-hari raya bangsa Yahudi, karena dirayakan dengan penuh sukacita dan
keramaian. Kisah Ester dipentaskan pula dengan cukup keriangan” -
‘Ensiklopedia Alkitab Praktis’, hal 117.
Alfred
Edersheim: “Purim was never more
than a popular festival. As such it was kept with great merriment and rejoicing,
when friends and relations were wont to send presents to each other”
(= ) - ‘The Temple’, hal 331.
Alfred
Edersheim: “the religious
observances of Purim commenced with a fast” (= Pemeliharaan Purim secara
agama dimulai dengan suatu puasa) - ‘The Temple’, hal 332.
Alfred
Edersheim: “in such synagogues
the Megillah, or at least the principal portions of it, was read on the previous
Thursday. It was also allowed to read the Book of Esther in any language
other than Hebrew, ... The prayers for the occasion now used in the
synagogue, ... ” (= dalam synagogue-synagogue seperti itu Megillah,
atau setidaknya bagian-bagian utama darinya, dibacakan pada hari Kamis
sebelumnya. Juga diijinkan untuk membaca kitab Ester dalam bahasa apapun
selain Ibrani, ... Doa-doa untuk peristiwa itu yang sekarang digunakan di
synagogue, ...) - ‘The Temple’, hal 333.
Alfred
Edersheim: “According to the
testimony of Josephus, in his time ‘all the Jews that are in the habitable
earth’ kept ‘these days festivals,’ and sent ‘portions to one
another.’. In our own days, though the synagogue has prescribed for them special
prayers and portions of Scripture, they are chiefly marked by boisterous and
uproarious merrymaking, even beyond the limits of propriety” (= ) - ‘The
Temple’, hal 333.
II.
Didn't the Jews in the days of queen Esther set up a holy day not authorized in
the law of Moses? Doesn't that example allow the church to set up a holy day
(e.g., Christmas) not authorized in the Bible?
1.
There is almost no resemblance between Christmas and Purim. Purim consists of
two days of thanksgiving. The events of Purim are: "joy and gladness, a
feast and a good day. . . and of sending portions one to another, and gifts to
the poor" (Est. 8:17; 9:22). There was no worship service. There were no
levitical priestly activities. There were no ceremonies. The two days of Purim
have much more in common with Thanksgiving and it's dinners than Christmas.
Purim is certainly no justification for Christmas services. Purim resembles the
special days of thanksgiving which are still allowed, and not the religious and
ceremonial holy days of the Levitical system. In fact, the Westminster
divines used Purim as a proof text (Est. 9:22) authorizing days of thanksgiving.38
2.
Purim was a unique historical event in Israel's salvation history. The festival
was decreed by the civil magistrate: the prime minister, Mordecai, and the
queen, Esther. It was agreed to unanimously by the people. The occasion
and authorization of Purim are inscripturated in the Word of God and approved by
the Holy Spirit. The biblical imperative of no addition and no
subtraction applies to man-made law and worship. It most certainly does not
forbid the Holy Spirit from completing the canon of Scripture and instituting
new regulations.
3.
Christmas is intrinsically immoral because it is built upon the monuments of
pagan idolatry. There is nothing wrong with a country having a day of
thanksgiving for a special act of deliverance by God. But there is something
very wrong when a corrupt church attempts to sew Christian cloth onto pagan
garments. There is something very wrong when Protestants conspire with the
corrupt church of Rome and use godly Mordecai as an excuse.
Jawaban saya:
· Ini
omong kosong, bandingkan dengan dengan kata-kata Edersheim di atas yang
mengatakan perayaan Purim sebagai ‘religious observances’. Juga dilakukan
perayaan di synagogue, dengan pembacaan kitab Ester, disertai doa, dan
sebagainya.
· Yang
saya garis bawahi dobel itu ngawur. Perayaan Purim tidak pernah diperintahkan
oleh Tuhan, tetapi hanya oleh Mordekhai dan Ester, tanpa adanya persetujuan /
ororitas dari Tuhan! Baca sendiri Ester 9:20-32 tersebut.
b.
Perayaan hari Pentahbisan Bait Suci.
Yoh 10:22-23
- “(22) Tidak lama kemudian tibalah hari raya Pentahbisan Bait Allah di
Yerusalem; ketika itu musim dingin. (23) Dan Yesus berjalan-jalan di Bait Allah,
di serambi Salomo”.
Yang dimaksud
dengan hari raya Pentahbisan di sini adalah Pentahbisan Bait Suci yang
diperintahkan oleh Judas Maccabaeus pada tahun 165 SM. Ini dicatat dalam kitab
Apocrypha, yaitu 1Makabe 1:59 4:52,59. Pentahbisan ini lalu dirayakan
setiap tahun.
Pulpit
Commentary: “This feast is not
elsewhere noticed in the New Testament. The account of its origin is found in
1Macc. 4:36, etc.; 2Macc. 10:1-8; ... It was held on the 25th of
Chisleu, which, in A.D. 29, would correspond with the 19th of
December, in commemoration of the ‘renewal,’ reconstruction, of the temple
by Judas Maccabæus after the gross profanation of it by Antiochus Epiphanes
(1Macc. 1:20-60; 4:36-57). It occupied eight days, was distinguished by
illumination of the city and temple and of other places throughout the land, and
hence was called the ‘Feast of Lights.’ ... One feature was the increase
night by night of the number of lights which commemorated the restoration of the
temple. All fasting and public mourning were prohibited” (= ) - hal
48.
Calvin:
“the temple, which had been polluted, was again consecrated by the
command of Judas Maccabæus; and at that time it was enacted that the day of the
new dedication or consecration should be celebrated every year as a festival,
that the people might recall to remembrance the grace of God” (= ) -
hal 412.
Adam Clarke:
“‘The feast of the dedication’. This was a feast instituted by
Judas Maccabaeus, in commemoration of his purifying the temple after it had
been defiled by Antiochus Epiphanes. This feast began on the twenty-fifth of the
month Cisleu (which answers to the eighteenth of our December), and continued
for eight days. When Antiochus had heard that the Jews had made great
rejoicings, on account of a report that had been spread of his death, he
hastened out of Egypt to Jerusalem, took the city by storm, and slew of the
inhabitants in three days forty thousand persons; and forty thousand more he
sold for slaves to the neighbouring nations. Not contented with this, he
sacrificed a great sow on the altar of burnt offerings; and, broth being made by
his command of some of the flesh, he sprinkled it all over the temple, that he
might defile it to the uttermost. ... After this, the whole of the temple
service seems to have been suspended for three years, great dilapidations having
taken place also in various parts of the buildings: see 1 Macc. 4:36, etc. As
Judas Maccabaeus not only restored the temple service, and cleansed it from
pollution, etc., but also repaired the ruins of it, the feast was called ta
egkainia, the renovation.”
(= ) - hal 594.
Antiochus
Epiphanes adalah raja Syria yang bertakhta tahun 175-164 S.M. (Barclay hal 69).
Ia mempersembahkan daging babi untuk dewa-dewa kafir di Bait Allah.
Yudas Makabeus
memerintahkan perayaan hari ini dalam 1Mak 4:59.
William
Hendriksen: “Though it is not one
of the three great pilgrim-feasts, it nevertheless, drew many people to
Jerusalem” (= ) - hal 120.
Barclay:
“This was the latest of the great Jewish festivals to be founded. It was
sometimes called The Festival of Lights; and its Jewish name was Hanukkah. Its
date is the 25th of the Jewish month called Chislew which corresponds
with our December. This Festival therefore falls very near our Christmas time
and is still universally observed by the Jews” (= ) - hal 69.
Alfred
Edersheim: “It was not of Biblical
origin, but had been instituted by Judas Maccabaeus in 164 B.C., when the
Temple, which had been desecrated by Antiochus Epiphanes, was once more
purified, and re-dedicated to the Service of Jehovah (1Macc 6:52-59) ... In
memory of this, it was ordered the following year, that the Temple be
illuminated for eight days on the anniversary of its ‘Dedication’ ... the
‘Lights’ in honour of the Feast were lit not only in the Temple, but in
every home. ... Certain benediction are spoken on lighting these lights, all
work is stayed, and the festive time spent in merriment” (= ) - ‘The
Life and Times of Jesus the Messiah’, hal 428-429.
Alfred
Edersheim: “The Feast of the
Dedication of the Temple, Chanuchah (‘the dedication’), called in 1Maccab.
4:52-59 ‘the dedication of the altar,’ and by Josephus ‘the Feast of
Lights,’ was another popular and joyous festival. It was instituted by Judas
Maccabæus in 164 B.C., when, after the recovery of Jewish independence from the
Syro-Grecian domination, the Temple of Jerusalem was solemnly purified, the old
polluted altar removed, its stones put in a separate place on the Temple-mount,
and the worship of the Lord restored. The feast commenced on the 25th
of Chislev (December), and lasted for eight days. On each of them the
‘Hallel’ was sung, the people appeared carrying palm and other branches, and
there was a grand illumination of the Temple and of all private houses” (=
) - ‘The Temple’, hal 333-334.
Alfred
Edersheim: “the date of the Feast
of the Dedication - the 25th of Chislev - seems to have been adopted
by the ancient Church as that of the birth of our blessed Lord - Christmas - the
Dedication of the true Temple, which was the body of Jesus” [= tanggal
dari hari raya Pentahbisan Bait Allah - bulan Kislew tanggal 25 - kelihatannya
telah diadopsi oleh Gereja kuno sebagai tanggal kelahiran dari Tuhan kita yang
terpuji - Natal - Pentahbisan dari Bait Allah yang sejati, yang adalah tubuh
dari Yesus (bdk. Yoh 2:19-22)] - ‘The Temple’, hal 334.
Alfred
Edersheim: “From the hesitating
language of Josephus, we infer that even in his time the real origin of the
practice of illuminating the Temple was unknown. Tradition, indeed, has it that
when in the restored Temple the sacred candlestick was to be lit” (= )
- ‘The Temple’, hal 335.
Alfred
Edersheim: “there cannot be a doubt
that our blessed Lord Himself attended this festival at Jerusalem, on which
occasion He told them plainly: ‘I and My Father are one.’” (= Tidak
diragukan bahwa Tuhan kita sendiri menghadiri hari raya / perayaan ini di
Yerusalem, dalam peristiwa mana Ia memberitahu mereka dengan jelas, ‘Aku dan
Bapa adalag satu’.) - ‘The Temple’, hal 336.
Yoh 10:22-23,30
- “(22) Tidak lama kemudian tibalah hari raya Pentahbisan Bait Allah di
Yerusalem; ketika itu musim dingin. (23) Dan Yesus berjalan-jalan di Bait Allah,
di serambi Salomo. ... (30) Aku dan Bapa adalah satu.’”.
Ini
merupakan sesuatu yang harus ditekankan. Hari Raya Pentahbisan itu bukanlah hari
Raya yang ditetapkan oleh Tuhan, tetapi oleh Yudas Makabeus. Tetapi sekalipun
demikian, dalam perayaan hari itu, Yesus mengikutinya! Yesus tidak bersikap sok
suci seperti orang-orang yang anti Natal, dengan menolak mengikuti perayaan
tersebut dan mengecam setiap orang yang mengikutinya!
c.
Perayaan Tahun Baru, yang disebut Rosh Hashanah.
Saksi-Saksi
Yehuwa secara implicit menentang perayaan tahun baru dengan alasan bahwa Julius
Caesarlah yang pada tahun 46 M. menetapkan 1 Januari sebagai Hari Tahun Baru,
dan orang-orang Romawi lalu membaktikan hari ini kepada Yanus, dewa dari
gerbang, pintu, dan awal mula. Bulan Januari disebut menurut nama Yanus, yang
mermpunyai 2 wajah - satu menghadap ke depan, dan yang satunya menghadap ke
belakang (‘Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab’, hal 133).
Alasan lain
yang diberikan oleh Saksi-Saksi Yehuwa adalah banyaknya pesta pora dan kemabukan
yang menyertai perayaan-perayaan tersebut.
Tetapi
orang-orang Yahudi justru merayakan tahun baru selama 2 hari berturut-turut.
Alfred
Edersheim: “it became early common
to observe the New Year’s Feast on two successive days, and the
practice may have been introduced in Temple times” (= ) - ‘The
Temple’, hal 295.
Dalam perayaan
tahun baru ada peniupan terompet dari pagi sampai malam, bahkan di dalam Bait
Suci dan synagogue.
Alfred
Edersheim: “During the whole of New
Year’s Day, trumpets and horn were blown in Jerusalem from morning to evening.
In the Temple it was done, even on a Sabbath, but not outside its walls. Since
the destruction of Jerusalem this restriction has been removed, and the horn is
blown in every synagogue, even though the feast fall upon a Sabbath” (= )
- ‘The Temple’, hal 297-298.
Merrill C.
Tenney: “The sacred Year. The
Jewish year consisted of twelve lunar months, with an intercalary month which
was added to the calendar whenever it was needed to equate the lunar year with
the solar year. The civil year commenced with the seventh month, corresponding
roughly to October on the modern calendar. The religious year began with the
first month, in which occurred the Passover, the first great feast of the Jewish
cycle. The sequence of the months is as follows, using the religious year as the
standard:
Month
Special Days
Nisan
(April)
14 - Passover
15 -
Unleavened Bread
21 -
Close of Passover
Iyar
(May)
Sivan
(June)
6 - Feast of Pentecost - seven weeks from the Passover
(Anniversary
of the giving of the law on Mt. Sinai)
Tammuz
(July)
Ab
(August)
Elul
(September)
Tishri
(October)
1 & 2 - The Feast of Trumpets
Rosh
Hashanah, the beginning of the civil year
10 - Day
of Atonement
15-21 -
Feast of Tabernacles
Marchesvan
(November)
Kislev
(December)
25 - Feast of Lights, or Dedication
Hanukkah
Tebeth
(January)
Shebet
(February)
Adar
(March)
14 - The Feast of Purim
The
festivals, or feasts, were seven in number, as follows: Passover, the Feast of
Unleavened Bread, the Feast of Pentecost, the New Year and the Day of Atonement,
the Feast of Tabernacles, the Feast of Dedication, and the Feast of Purim. Of
these, the first five were prescribed by the Mosaic law; the last two were
post-exilic in origin” (= )
- ‘New Testament Survey’, hal 95.
Merrill C.
Tenney: “The Feast of Trumpets,
or The New Year (Rosh Hashanah). The civil year of the Jews began on the
first day of Tishri. During the entire New Year’s Day horns and trumpets
were blown in the temple from morning to evening. Unlike the Passover and
Pentecost, the feast did not attract many pilgrims to Jerusalem, for it was
celebrated in the synagogue as well as in the temple. The book of Nehemiah
states (Neh. 8:2-12) that those who returned from the exile observed the feast
by the public reading of the law and by general rejoicing.” (= ) - ‘New
Testament Survey’, hal 97.
Catatan:
apakah Neh 8 itu bukan hari raya pondok daun? Yang dalam ay 2 menurut Barnes
adalah Feast of Trumpets, yang dalam ay 15 baru Feast of Tabernacles.
d.
Perayaan Yom Kippur / the Day of Atonement.
Sekalipun hari
ini memang ada dan diperintahkan oleh Tuhan, tetapi perhatikan cara mereka
melakukan perayaan tersebut, atau hal-hal yang mereka lakukan dalam merayakan
hari tersebut, yang sama sekali tidak ada dalam Kitab Suci.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Yom Kippur’:
“Hebrew
YOM HA-KIPPURIM, English Day Of Atonement, the most solemn of Jewish religious
holidays, observed on the 10th day of the lunar month of Tishri (in the course
of September and October), when Jews seek to expiate their sins and achieve a
reconciliation with God. Yom Kippur concludes the ‘10 days of repentance’
that begin with Rosh Hoshanah (New Year’s Day) on the first day of Tishri. The
Bible refers to Yom Kippur as Shabbat Shabbaton (‘Sabbath of Solemn Rest,’
or ‘Sabbath of Sabbaths’) because, even though the holy day may fall on a
weekday, it is on Yom Kippur that solemnity and cessation of work are most
complete. The purpose of Yom Kippur is to effect individual and collective
purification by the practice of forgiveness of the sins of others and by sincere
repentance for one’s own sins against God. Yom Kippur is marked by abstention
from food, drink, and sex. Among extremely Orthodox Jews the wearing of leather
shoes and anointing oneself with oil are forbidden. Orthodox Jews may wear long
white robes called kippelot. Jewish congregations spend the eve of Yom Kippur
and the entire day in prayer and meditation. On the eve of Yom Kippur the Kol
Nidre is recited. Famous for its beautiful melody, the Kol Nidre is a
declaration annulling all vows made during the course of the year insofar as
they concern oneself (obligations toward others are excluded). Friends also ask
and accept forgiveness from one another for past offenses on the evening before
Yom Kippur, since obtaining forgiveness from one’s fellows signifies God’s
forgiveness. God is believed to forgive the sins of those who sincerely repent
and show their repentance by improved behaviour and performance of good deeds.
The services on Yom Kippur itself last continuously from morning to evening and
include readings from the Torah and the reciting of penitential prayers. Yiskur,
which are memorial prayers for the recently deceased, may also be recited by
members of the congregation. The services end with closing prayers and the
blowing of the ritual horn known as the shofar.
Before the destruction of the Temple in Jerusalem, the high priest performed an
elaborate sacrificial ceremony in the Temple, successively confessing his own
sins, the sins of priests, and the sins of all Israel. Clothed in white linen,
he then entered the Holy of Holies--allowed only at Yom Kippur--to sprinkle the
blood of the sacrifice and to offer incense. The ceremony concluded when a goat
(the scapegoat), symbolically carrying the sins of Israel, was driven to its
death in the wilderness”.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Jewish Religious Year: Ten Days of Penitence’:
“The
Ten Days of Penitence begin on Rosh Hashana and close with Yom Kippur. Already
in Talmudic times they were viewed as forming an especially appropriate period
of introspection and repentance. Penitential prayers (selihot) are
recited prior to the daily morning service and, in general, during the period
scrupulous observance of the Law is expected. According
to Mishnaic teaching, the New Year festival ushers in the Days of Judgment for
all of mankind. Despite its solemnity, the festive character of Rosh Hashana is
in no way diminished. In Scripture it is called ‘a day when the horn is
sounded’; in the liturgy ‘a day of remembrance.’ In the land of Israel and
in the Diaspora, Rosh Hashana is celebrated on the first two days of Tishri.
Originally celebrated by all Jews on Tishri 1, calendrical uncertainty led to
its being celebrated an additional day in the Diaspora and, depending upon the
circumstances, one or two days in Palestine. After the calendar was fixed in
359, it was regularly celebrated in Palestine on Tishri 1 until the 12th
century, when Provençal scholars introduced the two-day observance.
Considerable speculation in recent literature concerning the origin of the
Jewish New Year festival proves mostly that its early history can only be
conjectured, not reconstructed. The most distinctive Rosh Hashana observance is
the sounding of the ram’s horn (shofar)
at the synagogue service. Medieval commentators suggest that the blasts acclaim
God as Ruler of the universe, recall the divine revelation at Sinai, and are a
call for spiritual reawakening and repentance. An expanded New Year liturgy
stresses God’s sovereignty, his concern for man, and his readiness to forgive
those who repent. On the first day of Rosh Hashana (except when it falls on the
Sabbath) it is customary for many to recite penitential prayers at a river,
symbolically casting their sins into the river; this ceremony is called tashlikh
(‘thou wilt cast’). Other symbolic ceremonies, such as eating bread and
apples dipped in honey, accompanied with prayers for a ‘sweet’ and
propitious year, are performed at the festive meals. The
most solemn of the Jewish festivals, Yom
Kippur is a day when sins are confessed and expiated and man and God are
reconciled. It is also the last of the Days of Judgment and the holiest day of
the Jewish year. Celebrated on Tishri 10, it is marked by fasting, penitence,
and prayer. Work, eating, drinking, washing, anointing one’s body, sexual
intercourse, and donning leather shoes are all forbidden. In Temple times, Yom
Kippur provided the only occasion for the entry of the high priest into the Holy
of Holies; details of the expiatory rites performed by the high priest and
others are recorded in the Mishna and recounted in the liturgy. Present-day
observances begin with a festive meal shortly before Yom Kippur eve. The Kol
Nidre prayer (recited before the evening service) is a legal formula which
absolves Jews from fulfilling solemn vows, thus safeguarding them from
accidentally violating a vow’s stipulations. The formula first appears in
gaonic sources (derived from the Babylonian Talmudic academies, 6th-11th
centuries) but may be older; the haunting melody that accompanies it is of
medieval origin. Virtually the entire day is spent in prayer at the synagogue,
the closing service (ne’ila) concluding with the sounding of the ram’s
horn”.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Yamim Nora’im’:
“(Hebrew:
‘days of awe’), English High Holy Days, in Judaism, the High Holy Days of Rosh
Hashana (on Tishri 1 and 2) and Yom Kippur (on Tishri 10), in September or
October. Though the Bible does not link these two major festivals, the Talmud
does. Consequently, yamim nora’im is sometimes used to designate the first
10 days of the religious year: the three High Holy Days, properly so-called, and
also the days between. The entire 10-day period is more accurately called Aseret
Yeme Teshuva (‘Ten Days of Penitence’)”.
Catatan:
ini penting untuk menghadapi orang-orang yang anti penggabungan Natal dan Tahun
Baru.
e.
The Feast of Wood-offering, yang terjadi pada bulan Ab (Agustus) tanggal 15
(Edersheim, hal 336).
f.
Hari-hari puasa, yang banyak ditambahkan kepada hari puasa yang memang merupakan
perintah Allah. Yang ditambahkan adalah:
· puasa
untuk memperingati pembuangan ke Babilonia (Edersheim, hal 338).
· puasa
untuk memperingati direbutnya Yerusalem oleh Nebukadnezar (Edersheim, hal 339).
· puasa
untuk memperingati pembuatan anak lembu emas, dan pemecahan 10 hukum Tuhan oleh
Musa (Edersheim, hal 339).
Alfred
Edersheim: “the Jewish calendar at
present contains other twenty-two fast-days” (= ) - ‘The
Temple’, hal 340.
g.
Dalam 2Makabe 15:35-36 terlihat bahwa orang-orang Yahudi merayakan hari
matinya Nikanor.
h.
Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Calendar: Months and important
days’:
“The
months of the Jewish year and the notable days are as follows:
· Tishri:
1-2, Rosh Hashana (New Year); 3, Fast of Gedaliah; 10, Yom Kippur (Day of
Atonement); 15-21, Sukkot (Tabernacles); 22, Shemini Atzeret (Eighth Day of
Solemn Assembly); 23, Simhat Torah (Rejoicing of the Law).
· Heshvan.
· Kislev:
25, Hanukka (Festival of Lights) begins.
· Tevet:
2 or 3, Hanukka ends; 10, Fast.
· Shevat:
15, New Year for Trees (Mishna).
· Adar:
13, Fast of Esther; 14-15, Purim (Lots).
· Second
Adar (Adar Sheni) or ve-Adar (intercalated month); Adar holidays fall in ve-Adar
during leap years.
· Nisan:
15-22, Pesah (Passover).
· Iyyar:
5, Israel Independence Day.
· Sivan:
6-7, Shavuot (Feast of Weeks [Pentecost]).
· Tammuz:
17, Fast (Mishna).
· Av:
9, Fast (Mishna).
· Elul”.
Dari sini juga
terlihat adanya hari-hari yang dirayakan tanpa adanya perintah Tuhan, seperti
‘Shemini Atzeret’, ‘Simhat Torah’, ‘Hezhvan’, ‘New Year for
Trees’, ‘Israel’s Independence Day’, dan sebagainya.
7.
Kebiasaan mendedikasikan rumah baru.
Orang-orang
Yahudi biasanya selalu mendedikasikan rumah baru, dan kebiasaan itu terlihat
dari Ul 20:5.
Ul 20:5 - “Para
pengatur pasukan haruslah berbicara kepada tentara, demikian: Siapakah orang
yang telah mendirikan rumah baru, tetapi belum menempatinya? Ia boleh
pergi dan pulang ke rumahnya, supaya jangan ia mati dalam pertempuran dan orang
lain yang menempatinya”.
Kata
‘menempatinya’ salah terjemahan.
KJV/RSV/NIV/NASB:
‘and not dedicated it?’ (= ).
Bdk. Maz 30:1
- “Mazmur. Nyanyian untuk pentahbisan Bait Suci. Dari Daud. (30-2)
Aku akan memuji Engkau, ya TUHAN, sebab Engkau telah menarik aku ke atas, dan
tidak memberi musuh-musuhku bersukacita atas aku”.
KJV: ‘A
Psalm and Song at the dedication of the house of David’ (= ).
NIV: ‘temple’.
NASB: ‘house’.
Fred H.
Wight: “It was common when any
person had finished a house and entered into it, to celebrate it with great
rejoicing, and keep a festival, to which his friends are invited, and to perform
some religious ceremonies, to secure the protection of Heaven” (= ) - ‘Manners
and Customs of Bible Lands’, hal 135.
8.
Perayaan berkenaan dengan penyapihan anak.
Pada jaman itu
penyapihan anak baru terjadi pada usia 3 tahun, dan ini dilakukan dengan suatu
perayaan, dimana teman-teman berkumpul, ada pesta, dan ada upacara-upacara
agama, dan kadang-kadang ada acara pemberian nasi kepada anak itu.
Fred H.
Wight: “The weaning of a child is
an important event in the domestic life of the East. In many places it is
celebrated by a festive gathering of friends, by feasting, by religious
ceremonies, and sometimes the formal presentation of rice to the child. ...
It was probably at this age of three, or possibly even later, that Hannah weaned
Samuel and brought him to God’s sanctuary, where offerings were made to God,
and he was presented to the Lord (1Sam 1:23)” (= ) - ‘Manners and
Customs of Bible Lands’, hal 136.
Catatan:
2Makabe 7:27 mengatakan bahwa pada jaman itu seorang ibu menyusui anaknya sampai
usia 3 tahun.
Kej 21:8 -
“Bertambah besarlah anak itu dan ia disapih, lalu Abraham mengadakan
perjamuan besar pada hari Ishak disapih itu”.
9.
Perayaan pada masa pengguntingan bulu domba.
Masa
pengguntingan bulu domba juga merupakan saat dimana mereka melakukan perayaan /
pesta, sebagai suatu ucapan syukur kepada Tuhan.
Fred H.
Wight: “It would seem from two
Bible references that sheep-shearing was another time of special festivity in
the ancient Hebrew home. ... These two examples of this sort of a feast would
not by themselves indicate that it was anything but a time of festivity alone.
But without doubt, in many pious homes it was a time of thanksgiving to God for
the wool provided from the flock” (= ) - ‘Manners and Customs of
Bible Lands’, hal 137.
1Sam 25:4,36
- “(4) Ketika didengar Daud di padang gurun, bahwa Nabal sedang menggunting
bulu domba-dombanya, ... (36) Sampailah Abigail kepada Nabal dan tampaklah,
Nabal mengadakan perjamuan di rumahnya, seperti perjamuan raja-raja.
Nabal riang gembira dan mabuk sekali. Sebab itu tidaklah diceriterakan perempuan
itu sepatah katapun kepadanya, sampai fajar menyingsing”.
2Sam 13:23-28
- “(23) Sesudah lewat dua tahun, Absalom mengadakan pengguntingan bulu
domba di Baal-Hazor yang dekat kota Efraim. Lalu Absalom mengundang semua anak
raja. (24) Kemudian Absalom menghadap raja, lalu berkata: ‘Hambamu ini
mengadakan pengguntingan bulu domba. Kiranya raja dan pegawai-pegawainya ikut
bersama-sama dengan hambamu ini.’ (25) Tetapi raja berkata kepada Absalom:
‘Maaf, anakku, jangan kami semua pergi, supaya kami jangan menyusahkan
engkau.’ Lalu Absalom mendesak, tetapi raja tidak mau pergi, ia hanya memberi
restu kepadanya. (26) Kemudian berkatalah Absalom: ‘Kalau tidak, izinkanlah
kakakku Amnon pergi beserta kami.’ Tetapi raja menjawabnya: ‘Apa gunanya ia
pergi bersama-sama dengan engkau?’ (27) Tetapi ketika Absalom mendesak,
diizinkannyalah Amnon dan semua anak raja pergi beserta dia. (28) Lalu Absalom
memerintahkan orang-orangnya, demikian: ‘Perhatikan! Apabila hati Amnon
menjadi gembira karena anggur, dan aku berkata kepadamu: Paranglah Amnon, maka
haruslah kamu membunuh dia. Jangan takut. Bukankah aku yang memerintahkannya
kepadamu? Kuatkanlah hatimu dan tunjukkanlah dirimu sebagai orang yang gagah
perkasa!’”.
Memang kontext
yang kedua ini merupakan suatu perangkap. Tetapi jkalau hal itu bukan sesuatu
yang lazim dilakukan, tidak mungkin saudara-saudara yang lain mau datang ke
pesta itu.
g)
Kalau tadi saya mengatakan bahwa merayakan Natal tidak dilarang oleh Tuhan, maka
sekarang saya ingin memberikan 2 ayat yang secara implicit mendukung kita untuk
merayakan Natal. Kedua ayat itu adalah 1Kor 6:12 dan 1Kor 10:23.
1Kor 6:12
- “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala
sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu
apapun”.
1Kor 10:23
- “‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu
berguna. ‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu
membangun”.
Calvin:
“he treats here of outward things, which God has left to the free choice
of believers” (= di sini ia membicarakan tentang hal-hal lahiriah, yang
Allah tinggalkan pada pemilihan bebas dari orang-orang percaya) - hal 214.
Pulpit
Commentary: “By ‘all things,’
of course, is only meant ‘all things which are indifferent in
themselves.’” (= Dengan ‘segala sesuatu’, tentu saja, hanya
dimaksudkan ‘segala sesuatu yang bukannya baik ataupun buruk dalam diri mereka
sendiri’) - hal 193.
Jadi ayat ini
berhubungan dengan hal-hal yang tidak diperintahkan ataupun dilarang oleh Tuhan.
Hal-hal seperti ini boleh dilakukan dengan 2 syarat:
1.
Hal itu berguna / membangun. Contoh yang salah: tidur sepanjang hari; ini jelas
tidak berguna.
Pulpit
Commentary: “It has been well said,
‘Unlawful things ruin thousands, lawful things (unlawfully used) ten
thousands.’ And also, ‘Nowhere does the devil build his little chapels more
cunningly than right by the side of the temple of Christian liberty” [=
Pernah dikatakan dengan benar: ‘Hal-hal yang dilarang menghancurkan ribuan,
hal-hal yang diijinkan (tetapi digunakan secara salah) menghancurkan puluhan
ribu’. Dan juga: ‘Tidak ada tempat lain dimana setan membangun gereja
kecilnya dengan lebih cerdik dari pada di sisi dari Bait kebebasan Kristen’]
- hal 209.
2.
Hal itu tidak memperhamba kita. Contoh yang salah: rokok, ganja, atau bahkan
makan berlebihan, dan sebagainya; ini jelas memperbudak.
Adam Clarke:
“A man is brought under the power of any thing which he cannot give up.
He is the slave of that thing, whatsoever it be, which he cannot relinquish; and
then, to him, it is sin” (= ) - hal 218.
Ayat-ayat ini
bisa mendukung pelaksanaan hal-hal yang tidak diperintahkan, tetapi juga tidak
dilarang oleh Kitab Suci, selama hal-hal itu berguna / membangun.
Sekarang, kalau
kita menerapkan pada perayaan Natal, maka jelas bahwa perayaan Natal tidak
memperhamba, tetapi justru berguna dan membangun. Apa gunanya dan dalam hal apa
perayaan Natal itu membangun?
a.
Natal berguna untuk pemberitaan Injil.
Banyak orang
yang tidak pernah ke gereja, mau ke gereja pada Natal, dan ini merupakan suatu
kesempatan bagi kita untuk memberitakan Injil kepada mereka. Dalam buku-buku KKR
saya ada khotbah-khotbah Natal saya, dan kalau saudara lihat, semua khotbah
Natal saya merupakan khotbah yang berisi pemberitaan Injil. Bahkan dalam
gereja-gereja yang tidak injili, pada perayaan Natal ada lagu-lagu Natal yang
injili, dan pembacaan ayat-ayat yang bersifat penginjilan, sehingga Injil tetap
diberitakan pada Natal. Mengapa kita harus membuang perayaan Natal, kalau itu
memang menyebabkan penyebaran Injil? Bahkan kartu Natal, yang dianggap sebagai
pemborosan, dan memang bisa merupakan pemborosan, bisa diarahkan pada
penginjilan, yaitu kalau kita memilih kartu Natal yang kata-katanya mengandung
Injil, atau menuliskan kata-kata yang bersifat penginjilan. Kalau yang demikian
masih dianggap sebagai pemborosan, maka yang menganggap seperti itu hanyalah
orang gila secara rohani!
b.
Untuk mengingatkan jemaat akan kasih Allah.
Ini bisa
menyegarkan iman orang-orang kristen, dan mengembalikan mereka pada kasih mereka
yang semula kepada Allah.
c.
Untuk sarana persekutuan, dan lebih mendekatkan jemaat satu sama lain.
Saya tidak anti
pesta Natal (selama tidak keterlaluan / terlalu mewah), karena saya
berpendapat hal itu bisa mempererat persekutuan antar Jemaat. Dalam Perjanjian
Lama juga ada pesta-pesta yang ditetapkan oleh Tuhan, lalu mengapa dalam
Perjanjian Baru kita tidak boleh mengadakan pesta kalau hal itu memang berguna?
8) Perayaan Natal
bertentangan dengan Gal 4:9-11 dan Kol 2:16-17.
Internet:
“Sekarang perhatikan apa yang menjadi kekuatiran Paulus di dalam ayat 9-11:
‘Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu
dikenal Allah, bagaimana kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan
miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? Kamu dengan teliti
MEMELIHARA HARI-HARI TERTENTU, BULAN-BULAN, MASA-MASA YANG TETAP DAN
TAHUN-TAHUN. Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah SIA-SIA’.
Dengarkan itu! Mengapa kita, sebagai anak-anak Allah, terus menceburkan diri dan
ikut ambil bagian dalam perayaan HARI-HARI BESAR KEAGAMAAN sementara Roh Allah
dengan tegas MENENTANGNYA! Adalah PENGANGKATAN KITA SEBAGAI ANAK bagi ALLAH yang
MELEPASKAN kita dari KEBUTUHAN akan semua unsur perbudakan ini! Hari-hari besar
keagamaan adalah; roh-roh dunia yang lemah dan miskin; sebagaimana yang
dikatakan Alkitab. Dan sekalipun kita tahu bahwa hari-hari besar keagamaan dan
perayaan-perayaannya yang dikatakan oleh Paulus tidak termasuk Natal (karena
Natal pada waktu itu belum diketemukan), akan tetapi prinsipnya sama. Baik
Galatia 4:9-11 dan Kolose 2:16 keduanya tegas atas ketidaksetujuannya terhadap
semua hari besar keagamaan dan perayaan-perayaannya. SAMPAI DETIK INI ALLAH
TIDAK PERNAH MENGATAKAN SATU KATAPUN AGAR SUPAYA KITA MEMELIHARA HARI-HARI
ISTIMEWA. Allah tidak pernah mengatakan di dalam firman-Nya, ataupun melalui
nubuatan, atau penglihatan, atau bahasa roh, atau wahyu, atau malaikat, ataupun
media lainnya pada sekarang ini yang memerintahkan kita sebagai umat-Nya agar
supaya merayakan hari kelahiran Anak-Nya ataupun HARI lainnya!”.
Jawaban saya:
Mari kita
memperhatikan kedua text yang dipersoalkan.
Kol 2:16 -
“Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan
dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat”.
Gal 4:9-11
- “(9) Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik,
sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia
yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? (10)
Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang
tetap dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu
telah sia-sia”.
Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan:
a)
Dalam kedua text di atas ini Paulus tidak mungkin melarang perayaan hari-hari
raya, karena kalau diartikan demikian, akan bertentangan dengan Ro 14:5.
Dilihat
sepintas lalu, memang kedua text di atas ini melarang kita untuk memelihara hari
raya, tetapi benarkah demikian? Kalau kita mau menafsirkan kedua text ini dengan
benar, kita juga harus memperhatikan ayat-ayat lain dalam Kitab Suci yang
berhubungan dengannya. Dan text / ayat yang harus diperhatikan adalah Ro 14:1-6
(khususnya ay 5-6nya).
Ro 14:1-6
- “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya. (2)
Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang
lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja. (3) Siapa yang makan, janganlah
menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah
menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu. (4) Siapakah
kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah
ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri,
karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri. (5) Yang seorang menganggap
hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain
menganggap semua hari sama saja. Hendaklah
setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri. (6) Siapa yang
berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa
makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan
siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur
kepada Allah”.
Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan / dimengerti tentang Ro 14:5-6 ini:
1.
Kata ‘hari’ di sini tidak mencakup Sabat Kristen / hari Minggu!
Barnes
mengatakan bahwa Sabatnya orang kristen tidak bisa dimasukkan dalam hal ini, dan
alasannya adalah:
· yang
dibicarakan di sini bukanlah Sabatnya orang kristen, tetapi hari-hari raya
Yahudi.
· dalam
Kitab Suci Sabatnya Kristen dipelihara oleh semua orang Kristen.
· Ro 14:6
mengatakan bahwa ‘memelihara’ atau ‘tidak memelihara’ hari
tersebut haruslah dilakukan untuk Tuhan. Dan seseorang tidak mungkin tidak
memelihara Sabat demi Tuhan.
Barnes’
Notes: “If any man is disposed to
plead this passage as an excuse for violating the Sabbath, and devoting it to
pleasure or gain, let him quote it, just as it is, i.e., let him neglect the
Sabbath from a conscientious desire to honour Jesus Christ. Unless this is his
motive, the passage cannot avail him. But this motive never yet influenced a
Sabbath-breaker” (= Jika seseorang ingin menggunakan text ini sebagai
alasan untuk melanggar Sabat, dan menggunakan Sabat untuk kesenangan atau
keuntungan, hendaklah ia mengutipnya sebagaimana adanya, yaitu, hendaklah ia
mengabaikan Sabat dari suatu keinginan yang benar / jujur untuk menghormati
Yesus Kristus. Kecuali ini merupakan motivasinya, text ini tidak bisa ia pakai.
Tetapi motivasi ini tidak pernah mempengaruhi seorang pelanggar Sabat) - hal
654-655.
Bahkan para
penafsir menganggap bahwa Kol 2:16-17 - “Karena itu janganlah kamu
biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari
raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan
dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus” - juga tidak
mengajarkan bahwa Sabat dihapuskan.
Barnes’
Notes: “The word Sabbath in the Old
Testament is applied not only to the seventh day, but to all the days of holy
rest that were observed by the Hebrews, and particularly to the beginning and
close of their great festivals. There is, doubtless, reference, to those days in
this place, as the word is used in the plural number, and the apostle does not
refer particularly to the Sabbath properly so called. ... If he had used the
word in the singular number - ‘THE Sabbath’ - it would then, of course, have
been clear that he meant to teach that that commandment had ceased to be
binding, and that a Sabbath was no longer to be observed. But the use of the
term in the plural number, and the connexion, show that he had his eye on the
great number of days which were observed by the Hebrews as festivals, as a part
of their ceremonial and typical law, and not to the moral law, or the ten
commandments. No part of the moral law - no one of the ten commandments - could
be spoken of as ‘a shadow of things to come.’ These commandments are, from
the nature of moral law, of perpetual and universal obligation” (= Kata
‘Sabat’ dalam Perjanjian Lama tidak diterapkan hanya pada hari yang ketujuh,
tetapi kepada semua hari-hari dari istirahat kudus yang dipelihara oleh
orang-orang Ibrani, dan secara khusus menunjuk pada permulaan dan penutupan dari
pesta perayaan mereka yang besar. Tidak diragukan bahwa di tempat ini kata itu
menunjuk pada hari-hari itu, karena kata itu digunakan dalam bentuk jamak, dan
sang rasul tidak menunjuk secara khusus pada apa yang secara benar dinamakan
Sabat. ... Seandainya ia menggunakan kata dalam bentuk tunggal - ‘Sabat’ -
maka tentu saja jelas bahwa ia bermaksud untuk mengajar bahwa perintah itu tidak
mengikat lagi, dan bahwa Sabat tidak perlu dipelihara lagi. Tetapi penggunaan
istilah itu dalam bentuk jamak, dan hubungannya, menunjukkan bahwa ia menujukan
matanya pada sejumlah besar hari-hari yang dipelihara oleh orang-orang Ibrani
sebagai pesta-pesta perayaan, sebagai bagian dari hukum yang bersifat upacara
dan TYPE, dan bukan pada hukum moral, atau 10 hukum Tuhan. Tidak ada bagian dari
hukum moral - tidak satupun dari 10 hukum Tuhan - yang bisa dikatakan sebagai
‘bayangan dari apa yang harus datang’. Hukum-hukum ini, dari sifat dari
hukum moral, merupakan kewajiban yang bersifat kekal dan universal) - hal
1070.
Adam Clarke:
“There is no intimation here that the Sabbath was done away, or that its
moral use was superseded, by the introduction of Christianity. I have shown
elsewhere that ‘Remember the Sabbath day, to keep it holy,’ is a command of
perpetual obligation, and can never be superseded but by the final termination
of time. As it is a type of that rest which remains for the people of God, of an
eternity of bliss, it must continue in full force till that eternity arrives;
for no type ever ceases till the antitype be come. Besides, it is not clear that
the apostle refers at all to the Sabbath in this place, whether Jewish or
Christian; his sabbatwn,
of sabbaths or weeks, most probably refers to their feasts of weeks”
[= Ini bukan merupakan suatu pernyataan bahwa Sabat telah disingkirkan, atau
bahwa penggunaan moralnya telah digantikan, oleh perkenalan akan kekristenan.
Saya telah menunjukkan di tempat lain bahwa ‘Ingatlah hari Sabat, dan
kuduskanlah Dia’ merupakan suatu perintah tentang kewajiban kekal, dan tidak
pernah bisa digantikan kecuali oleh kesudahan terakhir dari waktu. Karena Sabat
merupakan suatu TYPE dari istirahat yang tertinggal untuk umat Allah, dari
kebahagiaan kekal, maka Sabat harus tetap berlaku sampai kekekalan itu tiba;
karena tidak ada TYPE yang pernah berhenti sampai ANTI-TYPEnya datang. Disamping
itu, sama sekali tidak jelas bahwa sang rasul menunjuk pada hari Sabat di tempat
ini, apakah itu Sabat Yahudi atau Sabat Kristen; his sabbatwn,
‘mengenai / tentang Sabat-Sabat atau minggu-minggu’, paling mungkin menunjuk
pada pesta mingguan (?) mereka] - hal 524.
Tentang hari
apa yang dimaksudkan dalam Ro 14:5-6, Hendriksen mengatakan bahwa ia tidak
tahu hari apa yang dimaksudkan. Ia mengatakan bahwa ada yang mengatakan itu
adalah Sabat Yahudi, ada juga yang mengatakan itu adalah hari-hari raya Yahudi,
atau hari puasa (bdk. Luk 18:12). Tetapi ia menolak kalau ini diartikan menunjuk
pada Sabat Kristen / Minggu.
Editor dari
Calvin’s Commentary mengatakan bahwa ini bukan Sabat Kristen, karena yang
dibicarakan adalah hari-hari raya Yahudi, sama seperti Gal 4:10 dan Kol 2:16
(Calvin, hal 498, footnote).
Charles
Hodge: “Paul has reference to the
Jewish festivals, and therefore his language cannot properly be applied to the
Christian Sabbath. ... The principle which the apostle enforces in reference to
this case, is the same as that which he enjoined in relation to the other, viz.,
that one man should not be forced to act according to another man’s
conscience, but every one should be satisfied in his own mind, and be careful
not to do what he thought wrong” (= ) - ‘Romans’, hal 420.
John Brown
mengatakan bahwa gereja Roma, sama seperti banyak gereja mula-mula yang lain,
terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang non Yahudi. Orang-orang non
Yahudi menganggap bahwa hukum-hukum ceremonial sudah dihapuskan, tetapi
orang-orang Yahudi menganggap itu tetap berlaku, dan ada di antara mereka
orang-orang yang berusaha untuk memaksakan pengertian mereka kepada yang lain.
2.
Kata-kata ‘sama saja’ pada Ro 14:5 seharusnya tidak ada.
Lit: ‘tetapi
yang lain menilai setiap hari’.
Barnes’
Notes: “The word ‘alike’ is not
in the original, and it may convey an idea which the apostle did not design”
(= Kata ‘sama saja’ tidak ada dalam bahasa aslinya, dan itu bisa memberikan
suatu gagasan yang tidak dimaksudkan oleh sang rasul) - hal 654.
Adam Clarke:
“We add here ‘alike,’ and make the text say what I am sure was never
intended, viz. that there is no distinction of days, not even of the Sabbath:
and that every Christian is at liberty to consider even this day to be holy or
not holy, as he happens to be persuaded in his own mind. That the Sabbath is
of lasting obligation may be reasonably concluded from its institution ...
and from its typical reference. All allow that the Sabbath is a type of
that rest in glory which remains for the people of God. Now, all types are
intended to continue in full force till the antitype, or thing signified, take
place; consequently, the Sabbath will continue in force till the
consummation of all things. The word ‘alike’ should not be added; nor is it
acknowledged by any MS. or ancient version” [= Kita menambahkan di sini
‘sama saja’, dan membuat text itu mengatakan apa yang saya yakin tidak
pernah dimaksudkan oleh text itu, yaitu bahwa tidak ada perbedaan hari-hari,
bahkan tidak tentang Sabat: dan bahwa setiap orang Kristen bebas untuk
menganggap hari ini kudus atau tidak kudus, sebagaimana yang ia yakini dalam
pikirannya. Bahwa Sabat merupakan kewajiban yang kekal bisa disimpulkan secara
masuk akal dari penegakannya ... dan dari penggunaannya sebagai TYPE. Semua
orang mengakui bahwa Sabat merupakan suatu TYPE dari istirahat dalam kemuliaan
yang tertinggal untuk umat Allah. Semua TYPE dimaksudkan untuk tetap berlaku
sampai ANTI TYPEnya, atau hal yang ditunjuknya, terjadi; dan karena itu Sabat
akan terus berlaku sampai akhir / penyempurnaan dari segala sesuatu. Kata
‘sama saja’ tidak seharusnya ditambahkan; juga itu tidak diakui oleh
manuscripts atau versi kuno manapun] - hal 151.
3.
Kata-kata ‘Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya
sendiri’.
Barnes’
Notes: “Every man is to examine
them for himself, and act accordingly. This direction pertains to the subject
under discussion, and not to any other. It does not refer to subjects that
were morally wrong, but to ceremonial observances. ... The word ‘fully
persuaded’ denotes the highest conviction - not a matter of opinion or
prejudice, but a matter on which the mind is made up by examination. ...
This is the general principle on which Christians are called to act in relation
to festival days and fasts in the church. If
some Christians deem them to be for edification, and suppose that their piety
will be promoted by observing the days which commemorate the birth, and death,
and temptations of the Lord Jesus, they are not to be reproached or opposed in
their celebration. Nor are they attempt to impose them on others as a
matter of conscience, or to reproach others because they do not observe them”
(= Setiap orang harus memeriksanya untuk dirinya sendiri, dan bertidak sesuai
dengan hal itu. Pengarahan ini berlaku untuk pokok yang sedang dibicarakan,
dan bukan untuk hal-hal lain. Itu tidak menunjuk pada sesuatu yang salah
secara moral, tetapi pada pemeliharaan upacara. Kata-kata ‘benar-benar
yakin’ menunjuk pada keyakinan yang tertinggi - bukan persoalan pandangan atau
prasangka, tetapi persoalan dimana pikiran ditetapkan oleh pemeriksaan. ...
Ini merupakan prinsip umum yang menjadi dasar tindakan orang Kristen dalam
persoalan hari-hari raya dan puasa dalam gereja. Jika orang-orang Kristen tertentu menganggap hal-hal itu berguna
untuk pendidikan dan menganggap bahwa kesalehan mereka ditingkatkan oleh
pemeliharaan hari-hari yang memperingati kelahiran, dan kematian, dan pencobaan
dari Tuhan Yesus, mereka tidak boleh dicela atau ditentang dalam perayaan mereka.
Tetapi mereka juga tidak boleh berusaha untuk memaksakan hal itu kepada
orang-orang lain sebagai persoalan hati nurani, atau mencela orang-orang lain
karena mereka tidak memelihara hari-hari itu) - hal 655.
Jadi ada 2 hal
yang ditekankan oleh Barnes:
· kata-kata
ini tidak boleh diberlakukan untuk segala hal. Misalnya: kalau kita yakin bahwa
kita boleh mempunyai lebih dari satu istri, maka kita boleh melakukannya. Ini
tentu ngawur! Jadi, kata-kata ini hanya berlaku untuk pemeliharaan hal-hal yang
bersifat upacara keagamaan yang merupakan hal yang remeh, dan tidak untuk
hal-hal yang lain.
· keyakinan
seseorang itu harus didapatkan melalui penyelidikan, tentunya terhadap Firman
Tuhan.
b)
Apakah Ro 14:5-6 ini bertentangan dengan Gal 4:9-11 dan Kol 2:16-17?
Mengapa dalam Gal 4:9-11 dan Kol 2:16-17 Paulus seakan-akan menentang
pemeliharaan hari raya, sedangkan dalam Ro 14:5-6 Paulus menoleransi
pemeliharaan hari raya?
1.
Karena dalam jemaat Roma pemeliharaan hari raya itu tidak berhubungan dengan
kesesatan, sedangkan dalam jemaat Galatia dan Kolose pemeliharaan hari raya itu
berhubungan dengan kesesatan.
John Murray
(NICNT): “in the other epistles
(Gal. 4:10,11; Col. 2:16,17) the observance of days, because of its association
with the heresies prevalent in the Galatians and Colossian churches, is
unsparingly condemned. The observance in the church at Rome is tolerated because
it was not bound with heresy” [= dalam surat-suratnya yang lain (Gal
4:10-11; Kol 2:16-17), orang-orang yang memelihara hari-hari, karena
penggabungannya dengan kesesatan yang lazim di gereja-gereja Galatia dan Kolose,
dikecam dengan keras. Pemeliharaan (hari) di gereja Roma ditoleransi karena itu
tidak terikat dengan kesesatan] - ‘The Epistle to the Romans’,
vol , hal 178-179.
2.
Kesesatan apa yang dimaksudkan?
Kesesatan apa
yang dihubungkan dengan perayaan hari-hari raya itu dalam jemaat Galatia dan
Kolose, yang menyebabkan Paulus lalu melarang perayaan hari-hari raya itu di
gereja-gereja itu?
Kata-kata ‘berbalik
lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin’ dan ‘memperhambakan
diri lagi’ dalam Gal 4:9 tidak menunjuk sekedar pada pemeliharaan
hari raya, tetapi pada pemeliharaan hari raya sebagai cara untuk mendapatkan
keselamatan.
Calvin:
“When he calls the ceremonies beggarly elements, he views them as out
of Christ, and, what is more, as opposed to Christ. To the fathers they were
not only profitable exercises and aids to piety, but efficacious means of grace.
But then their whole value lay in Christ, and in the appointment of God. The
false apostles, on the other hand, neglecting the promises, endeavoured to
oppose the ceremonies to Christ, as if Christ alone were not sufficient”
[= Pada waktu ia menyebut upacara-upacara itu elemen-elemen yang miskin, ia
memandang mereka sebagai di luar Kristus, dan lebih lagi sebagai bertentangan
dengan Kristus. Bagi bapa-bapa (orang-orang Perjanjian Lama) hal-hal itu
bukan hanya merupakan hal-hal yang menguntungkan dan menolong kesalehan, tetapi
merupakan jalan kasih karunia yang mujarab. Tetapi pada saat itu nilai
sepenuhnya dari hal-hal itu ada di dalam Kristus, dan dalam penetapan Allah.
Di sisi yang lain, rasul-rasul palsu itu, sambil mengabaikan janji-janji,
berusaha untuk mempertentangkan upacara-upacara itu dengan Kristus, seakan-akan
Kristus sendiri tidaklah cukup] - hal 123.
William
Hendriksen: “Are they really going
back to their former state of slavery, with this difference that they will be
exchanging one type of bondage (to heathenism) for another (to Judaism)? ...
Formerly they had been enslaved by the childish teachings of pagan priests and
ritualists. ... Having been delivered from all this folly, do they now wish to
become enslaved all over again, this time by Judaistic regulations?” [=
Apakah mereka betul-betul kembali kepada keadaan perbudakan mereka yang dahulu,
dengan perbedaan dimana mereka akan menukar sejenis perbudakan (kepada
kekafiran) dengan perbudakan yang lain (kepada Yudaisme)? ... Dahulu mereka
diperbudak oleh ajaran-ajaran yang kekanak-kanakan dari imam-imam kafir dan
orang-orang yang menekankan upacara keagamaan. ... Setelah dibebaskan dari semua
kebodohan ini, apakah sekarang mereka ingin diperbudak kembali, kali ini pada
peraturan-peraturan Yudaisme?] - hal 163.
William
Hendriksen: “Paul calls these
‘rudiments’ weak and beggarly because they have no power to help man in any
way. Luther, commenting on this verse and applying the lesson to his own day,
tells us that he had known monks who zealously labored to please God for
salvation, but the more they labored the more impatient, miserable, uncertain,
and fearful they became. And he adds, ‘People who prefer the law to the gospel
are like Aesop’s dog who let go of the meat to snatch at the shadow in the
water ... The law is weak and poor, the sinner is weak and poor: two feeble
beggars trying to help each other. They cannot do it. They only wear each other
out. But through Christ a weak and poor sinner is revived and enriched unto
eternal life.’” (= Paulus menyebut elemen-elemen ini lemah dan miskin
karena mereka tidak mempunyai kuasa untuk menolong manusia dengan cara apapun.
Luther, mengomentari ayat ini dan menerapkannya pada jamannya sendiri,
mengatakan bahwa ia mengenal biarawan-biarawan yang berjerih payah dengan
bersemangat untuk menyenangkan Allah untuk keselamatan, tetapi makin mereka
berjerih payah, makin mereka menjadi tidak sabar, menyedihkan / tidak senang,
tidak pasti, dan takut. Dan ia menambahkan: ‘Orang-orang yang lebih memilih
hukum Taurat dari pada injil sama seperti anjingnya Aesop yang melepaskan daging
untuk menggigit bayangan di air ... Hukum Taurat itu lemah dan miskin, orang
berdosa itu lemah dan miskin: dua pengemis yang lemah berusaha menolong satu
terhadap yang lainnya. Mereka tidak bisa melakukannya. Mereka hanya melelahkan
satu sama lain. Tetapi melalui Kristus seorang berdosa yang lemah dan miskin
disegarkan / dihidupkan lagi dan diperkaya sampai hidup yang kekal’) - hal
165.
William
Barclay: “It is weak because it is
helpless. It can define sin; it can convict a man of sin; but it can neither
find for him forgiveness for past sin nor strength to conquer future sin”
(= Hal itu lemah karena hal itu tidak berdaya. Hal itu bisa mendefinisikan dosa;
hal itu bisa menyadarkan / meyakinkan seseorang akan dosanya; tetapi hal itu
tidak bisa mendapatkan untuknya pengampunan untuk dosa-dosa yang lalu maupun
kekuatan untuk mengalahkan dosa yang akan datang) - hal 36.
Adam Clarke:
“After receiving all this, will you turn again to the ineffectual rites
and ceremonies of the Mosaic law - rites too weak to counteract your
sinful habits, and too poor to purchase pardon and eternal life for
you?” (= Setelah menerima semua ini, apakah kamu mau berbalik lagi kepada
upacara-upacara yang tidak efektif dari hukum Musa - upacara-upacara yang terlalu
lemah untuk menetralkan kebiasaan berdosamu, dan terlalu miskin untuk
membeli pengampunan dan hidup kekal bagimu?) - hal 404.
Barnes’
Notes: “They are called ‘weak’
because they had no power to save the soul; no power to justify the sinner
before God. They are called ‘beggarly,’ (Greek, ptwca
, poor,) because they could not impart spiritual riches”
(= Mereka disebut ‘lemah’ karena mereka tidak mempunyai kuasa untuk
menyelamatkan jiwa; tidak mempunyai kuasa untuk membenarkan orang berdosa di
hadapan Allah. Mereka disebut miskin karena mereka tidak bisa memberikan
kekayaan rohani) - hal 947.
Dari semua ini
bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ‘berbalik lagi kepada roh-roh
dunia yang lemah dan miskin’ maupun ‘memperhambakan diri lagi’,
bukanlah sekedar pemeliharaan hari-hari raya tersebut, tetapi pemeliharaan
hari-hari raya sebagai cara untuk mendapatkan keselamatan!
Calvin:
“To bring back Christianity to Judaism, was in itself no light evil; but
far more serious mischief was done, when, in opposition to the grace of Christ,
they set up holidays as meritorious performances, and pretended that this
mode of worship would propitiate the divine favour. When such doctrines
were received, the worship of God was corrupted, the grace of Christ made void,
and the freedom of conscience oppressed” (= Membawa kembali kekristenan
kepada Yudaisme, bukanlah kejahatan yang ringan; tetapi kesalahan yang jauh
lebih serius dilakukan pada waktu mereka, untuk mempertentangkan dengan kasih
karunia Kristus, menegakkan hari-hari raya sebagai perbuatan yang layak
mendapatkan pahala, dan mengclaim bahwa cara penyembahan ini akan
menyebabkan Allah menjadi baik / berkenan) - hal 125.
Hendriksen
menganggap Gal 4:10 ini sebagai contoh dari ‘berbalik kepada roh-roh
dunia yang lemah dan miskin’ dalam Gal 4:9. Ia juga mengatakan bahwa
karena dalam surat ini Paulus menyerang doktrin salvation by works (=
keselamatan oleh perbuatan baik) dari Yudaisme.
William
Hendriksen: “Paul is saying that
strict observance of such days and festivals has nothing whatever to do with
securing the divine favor” (= Paulus mengatakan bahwa pemeliharaan yang
ketat terhadap hari-hari dan hari-hari raya seperti itu tidak mempunyai hubungan
apapun dengan memastikan kebaikan ilahi) - hal 166.
William
Barclay: “The failure of a religion
which is dependent on special occasions is that almost inevitably it divides
days into sacred and secular; and the further almost inevitable step is that
when a man has meticulously observed the sacred days he is liable to think that
he has discharged his duty to God. ... For real Christian every day is God’s
day” (= Kegagalan / kehancuran dari sebuah agama yang bergantung pada
saat-saat khusus adalah bahwa hampir tak terhindarkan mereka membagi hari-hari
menjadi hari-hari yang kudus dan hari-hari yang duniawi; dan langkah selanjutnya
yang juga hampir tak terhindarkan adalah bahwa pada saat seseorang telah
memelihara secara sangat cermat / teliti hari-hari kudus itu, besar
kemungkinannya bahwa ia berpikir bahwa ia sudah melakukan kewajibannya terhadap
Allah. ... Untuk orang Kristen yang sejati, setiap hari adalah hari Allah) -
hal 36.
William
Barclay: “It was Paul’s fear that
men who had once known the splendour of grace would slip back to legalism, and
that men who had once lived in the presence of God would shut him up to special
days” [= Paulus takut bahwa orang-orang yang pernah mengenal kemegahan
kasih karunia akan tergelincir kembali kepada legalisme (penekanan ketaatan
untuk keselamatan), dan bahwa orang-orang yang pernah hidup di hadapan Allah
akan mengurung Dia pada / untuk hari-hari khusus] - hal 37.
Jadi, jelaslah
bahwa dalam jemaat Galatia dan Kolose, Paulus melarang pemeliharaan hari raya,
karena mereka merayakan hari raya itu sebagai cara untuk mendapatkan
keselamatan. Sedangkan dalam jemaat Roma, karena mereka tidak mempunyai motivasi
sesat seperti itu dalam perayaan hari raya, maka Paulus memberikan kebebasan.
Dengan demikian jelaslah bahwa Kol 2:16 dan Gal 4:9-11 sama sekali
tidak bisa dipakai untuk menentang perayaan Natal, kecuali ada orang-orang yang
merayakan Natal sebagai suatu sarana untuk mendapatkan keselamatan.
Saya sama sekali tidak setuju
dengan penghapusan perayaan Natal, karena saya menganggap bahwa perayaan Natal
itu sangat berguna. Tetapi supaya perayaan Natal itu tidak menyandungi
orang-orang tertentu, mari kita memurnikan perayaan Natal tersebut. Selalulah
berhati-hati supaya tidak memasukkan unsur-unsur yang salah ke dalam perayaan
Natal. Juga selalulah membuatnya berguna dan membangun, baik dengan memberitakan
Injil, mengadakan acara untuk mengakrabkan, dan juga mengambil waktu secara
pribadi untuk merenungkan kasih Tuhan pada Natal, supaya saudara sendiri
bertumbuh dalam kasih kepada Tuhan melalui perayaan Natal tersebut.
-AMIN-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali