Tanggapan Pdt Budi Asali atas serangan DR. Steven Einstain Liauw, D.R.E. (Kristen Fundamental) terhadap ajaran
Calvin
/ Calvinisme.
Dr. Steven E. Liauw
Dapatkan versi full artikel ini dalam bentuk PDF di bagian “Artikel Gratis” atau “Free Articles” di website Graphe, di bawah menu “Download”
Salah
satu hal yang secara paling mendasar mempengaruhi bagaimana seseorang memandang
dunia ini, adalah konsepnya tentang Allah. Beritahukan pada saya, apa yang
seseorang percayai tentang Allah, maka saya dapat memprediksikan apa pendapat
orang tersebut dalam berbagai hal, dan bahkan bagaimana orang tersebut akan
bertindak dalam berbagai situasi. Tentu ada ruang yang lebar untuk variasi
individu, tetapi pandangan seseorang tentang Allah berada pada poros inti
moralitas dan filosofinya.
Seorang atheis, misalnya, bahkan tidak percaya ada Allah. Oleh karena itu,
atheis yang konsisten, tidak akan memiliki moralitas yang absolut. Ada atheis
yang tidak memiliki moralitas sama sekali dan menunjukkan kepada dunia apa yang
terjadi jika atheisme diimani secara konsekuen sampai pada kesimpulan akhirnya.
Jika tidak ada Allah, maka manusia hanyalah binatang lainnya, dan tidak ada
konsep benar atau salah. Oleh karena itu, mereka berlaku tidak lebih dari
binatang yang pintar, melakukan apapun juga yang diingini tanpa ada rasa
tanggung jawab sedikitpun. Dalam hal ini, tindakan mereka bahkan bisa lebih
kejam dari binatang, karena binatang cukup puas dengan mempertahankan hidup dan
eksistensi mereka, sedangkan manusia yang tidak bermoral dikuasai oleh nafsu
yang tidak pernah mengenal cukup.
Tentu banyak atheis yang tidak seperti itu. Mereka masih memiliki moralitas, walaupun moralitas yang relatif. Walaupun secara intelektual mereka menolak eksistensi Allah, tetapi karena alasan-alasan lain (rasa kemanusiaan, tenggang rasa, budi pekerti yang dipelajari sejak kecil, dll), mereka mempertahankan sejenis moralitas. Tetapi ini tidak berarti bahwa atheisme dapat menghasilkan moralitas. Moralitas pada seorang atheis adalah sisa-sisa kebenaran ilahi yang universal, yang belum terkikis habis oleh atheisme itu, yang masih ada pada individu tersebut. Ia bermoral bukan karena ia atheis. Sebaliknya, ia bermoral walaupun ia seorang atheis, karena dia belum mau menerima konsekuensi logis dari atheisme. Dapat kita katakan bahwa ia adalah seorang atheis dalam teori, tetapi belum atheis dalam praktek, minimal belum sepenuhnya. Ada ketidakkonsistenan antara apa yang ia percayai dengan apa yang ia lakukan, tetapi ketidakkonsistenan yang menguntungkan.
Bagaimana dengan orang-orang yang percaya ada Allah? Apakah mereka semua ini sama? Tentu tidak! Tanpa perlu mengupas tentang deisme, pantheisme, panentheisme, atau yang lainnya yang sudah pasti akan membawa penganutnya ke pandangan yang berbeda-beda, bahkan di kalangan theis sekalipun (percaya Allah sebagai pribadi yang immanen dan transenden), ada perbedaan cara berpikir yang cukup luas, tergantung kepada konsep dia tentang pribadi Allah.
Ketika
seseorang menekankan bahwa Allah adalah mahakasih, tanpa melihat aspek lain dari
sifat-sifat Allah, maka ia akan sampai kepada kesimpulan yang salah. Banyak
orang senang dengan Allah yang mahakasih, tetapi tidak mau Allah yang mahakudus
atau Allah yang mahaadil. Mereka merasionalisasikan: Allah yang mahakasih tentu
tidak akan mengirim orang ke neraka untuk selama-lamanya!
Tetapi rasionalisasi seperti ini sungguh salah. Ada dua kesalahan yang terjadi.
Kesalahan PERTAMA adalah merasionalisakan sifat Allah dengan mengabaikan
pernyataan jelas Alkitab. Banyak sekali ayat Alkitab yang menyatakan bahwa
manusia yang berdosa dan menolak kasih karunia penyelamatan Allah, akan binasa
untuk selama-lamanya dalam neraka. Matius, misalnya, mencatat peringatan Yesus
bahwa lebih baik masuk Surga dalam kondisi timpang dan buta daripada dengan
tubuh lengkap, tersesat dan masuk ke dalam api yang kekal (Mat. 18:8). Jadi,
pernyataan kaum universalis bahwa semua manusia akan masuk Surga, bertentangan
dengan pernyataan jelas dalam Alkitab. Seharusnya, bagi orang yang sungguh
menjunjung tinggi Alkitab sebagai standar, adanya pernyataan jelas dalam Alkitab
menjadi pandu yang berotoritas.
Seharusnya
terjadi pemikiran seperti berikut:“Jika Alkitab menyatakan bahwa orang-orang
yang tidak bertobat akan masuk neraka untuk selama-lamanya, maka pemikiran awal
saya (bahwa Allah yang mahakasih tidak mungkin mengirim orang ke neraka) adalah
salah. Saya harus merevisi ulang premis dasar pemikiran saya.” Ini adalah
sikap yang benar. Tetapi sayang, yang biasanya terjadi adalah pemelintiran
ayat-ayat kitab Suci untuk mendukung pemikiran dasar seseorang. Bukannya
berpikir bahwa ada yang salah dengan premis dasar (karena bertentangan dengan
ayat-ayat jelas Alkitab), yang bersangkutan justru sibuk mencoba menjelaskan
ayat-ayat Alkitab itu agar masuk ke dalam konsep dia.
Kesalahan KEDUA adalah terlalu menekankan satu sifat Allah, tanpa melihat
sifat-sifat Allah yang lain. Ketika seseorang berjalan tanpa membiarkan Alkitab
mengoreksi premis dasarnya, maka tidak mungkin dihindari dia akan berlebihan
menekankan salah satu sifat Allah. Penekanan yang berlebihan ini justru membuat
pengertiannya akan sifat Allah tersebut menjadi salah.
Sang universalis terlalu menekankan tentang kasih Allah, sehingga mengabaikan kekudusan Allah dan keadilan Allah. Manusia yang berdosa tidak dapat berkenan kepada Allah yang mahakudus, dan tidak mungkin masuk Surga tanpa ada penyelesaian dosa terlebih dahulu. Allah yang adil tidak mungkin tidak menjalankan hukumNya sendiri, bahwa dosa harus dihukum. Kita bisa melihat bahwa menekankan satu sifat Allah di atas sifat-sifatNya yang lain akan menghasilkan pemahaman tentang Allah yang timpang. Allahnya sang universalis, bukan lagi menjadi Allah yang mahakasih, melainkan Allah yang lemah, yang tidak berani menjalankan hukumNya sendiri. Kasih yang demikian juga bukanlah kasih yang sejati, karena kasih yang sejati selalu harmonis dengan kebenaran.
Semua pendahuluan di atas mengantar saya kepada topik inti dari tulisan ini, yaitu kedaulatan Allah dan hubungannya dengan kebebasan manusia. Dalam kekristenan ada satu kelompok yang banyak berbicara mengenai “kedaulatan Allah,” yaitu kelompok Kalvinis. Kalvinis membuat premis dasar dari pemahaman mereka akan “kedaulatan Allah.” Menurut mereka, karena Allah berdaulat, maka Allah pastilah telah menetapkan segala sesuatu. Segala sesuatu artinya adalah segala sesuatu. Jadi, setiap tindakan manusia maupun malaikat, setiap pikiran manusia maupun malaikat, telah ditentukan oleh Tuhan. Lebih lanjut lagi, Tuhan sudah menentukan dari semula, bahkan sebelum penciptaan, bahwa Dia akan menciptakan sebagian manusia untuk diselamatkan, dan Dia akan menciptakan sebagian manusia untuk dibinasakan. Keselamatan atau kebinasaan ditentukan oleh Allah tanpa pertimbangan apapun di luar diri Allah! Lebih lanjut lagi, sesuai dengan pemilihan keselamatan/kebinasaan itu, Allah hanya akan menyediakan keselamatan bagi yang terpilih selamat. Dan Allah akan memaksakan (memberi tanpa dapat ditolak) “kasih karunia”Nya kepada orang-orang yang terpilih untuk selamat ini.
Tanggapan
saya:
Calvinist
tak pernah mengatakan ‘memaksakan’, sekalipun memang menggunakan istilah Irresistible Grace (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak). Tak
bisa menolak tak berarti dipaksa untuk menerima, karena Allah melahirbarukan
orang itu, dan itu mengubah orang itu sedemikian rupa sehingga ia pasti dengan
sukarela dan sukacita menerima Kristus.
Westminster
Confession of Faith, Chapter III, 1:
“God from all eternity, did, by the most wise and holy counsel of His own
will, freely, and unchangeably ordain whatsoever comes to pass; yet so, as
thereby neither is God the author of sin, nor is violence offered to the will
of the creatures; nor is the liberty or contingency of second causes taken
away, but rather established” (= Allah dari sejak kekekalan, melakukan, oleh
rencana dari kehendakNya sendiri yang paling bijaksana dan suci, dengan bebas,
dan dengan tidak berubah menetapkan apapun yang akan terjadi; tetapi dengan
demikian Allah bukan pencipta dosa, dan tidak digunakan kekerasan / pemaksaan
terhadap kehendak dari makhluk ciptaan; juga kebebasan atau ketidakpastian /
sifat tergantung dari penyebab kedua tidaklah disingkirkan, tetapi sebaliknya
diteguhkan).
Catatan:
Westminster Confession of Faith adalah Pengakuan Iman dari Gereja-gereja
Reformed di Amerika.
Kalvinis menegaskan bahwa setiap orang yang percaya bahwa Allah berdaulat harus
sampai pada kesimpulan yang sama dengan mereka. Jikalau tidak, maka anda tidak
benar-benar percaya bahwa Allah berdaulat! Oleh karena itulah saya terbeban
untuk menulis tentang topik ini. Motivasi saya bukanlah untuk menyerang
pribadi-pribadi tertentu. Saya tidak membenci satu orang Kalvinis pun, bahkan
saya memiliki teman-teman baik di antara para Kalvinis. Motivasi saya adalah
kebenaran. Saya tidak tahan melihat Allah yang saya sembah dan kasihi,
digambarkan dengan sedemikian salah. Saya merinding melihat bagaimana loyalitas
terhadap suatu dogma telah membuat banyak orang yang brilian dan baik menentang
kata-kata jelas dari Alkitab. Saya ingin menggambarkan kedaulatan Allah yang
sebenarnya dari dalam Alkitab.
Tanggapan
saya:
Kalau
ini memang betul-betul merupakan motivasi anda, saya menghargai anda. Tetapi
mengapa anda memfitnah Calvinisme? Kalau mau meluruskan, jangan memfitnah!
Banyak sekali dalam tulisan anda, anda mengatakan Calvinisme mengajar begini,
Calvinisme mengajar begitu, padahal Calvinisme yang sebenarnya tidak pernah
mengajar seperti apa yang anda katakan.
Biarpun
motivasi anda bagus, tetapi kalau pengetahuan anda / cara menafsir anda salah,
maka anda pada hakekatnya berusaha untuk membengkokkan apa yang sudah lurus!
Amsal
19:2 - “Tanpa pengetahuan
kerajinanpun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah”.
Ro
10:1-3 - “(1) Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah,
supaya mereka diselamatkan. (2) Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang
mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa
pengertian yang benar. (3) Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal
kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran
mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah”.
Tidak pernah dalam mimpi saya sekalipun, saya berpikir bahwa karya tulis saya akan membuat semua Kalvinis berubah. Orang yang telah menggolongkan dirinya dalam suatu kelompok, cenderung sulit untuk melihat segala sesuatu dengan netral. Tujuan utama saya adalah orang-orang yang masih sedang menyelidiki dan mencari. Jika anda ingin tahu tentang kedaulatan Allah, kebebasan manusia, dan keselamatan, maka harapan saya buku ini bisa bermanfaat dalam anda mempelajari Alkitab. Ingatlah bahwa Alkitab adalah standar tertinggi. Tetapi bagi para Kalvinis yang masih rela untuk menguji sistem yang telah mereka yakini selama ini, saya yakin buku ini juga akan bermanfaat. Saya minta untuk membaca karya tulis ini dengan hati yang terbuka, yang siap untuk menguji setiap premis dasar, membandingkannya dengan Alkitab. Sesudah menyelesaikan buku ini, setuju atau tidak setuju, adalah kebebasan anda! Tetapi suatu hari nanti, kita semua akan berdiri di hadapan Allah, mempertanggungjawabkan bagaimana kita menggunakan kebebasan yang telah Ia anugerahkan itu.
Tanggapan
saya:
Saya
pasti akan menerima apa yang anda katakan / ajarkan, kalau itu memang punya
dasar Alkitab yang lebih kuat dari pandangan saya, dan bisa menggugurkan
argumentasi-argumentasi saya. Dalam hidup saya sebagai orang Kristen, saya sudah
banyak kali berubah pandangan. Dulu saya sendiri Arminian, dan pada waktu
pertama kali mendengar ajaran Calvinisme tentang predestinasi, saya tidak bisa
menerima. Tetapi setelah mendengar dengan hati terbuka, dan tunduk pada Alkitab,
apa dasar-dasar dari doktrin tentang predestinasi, maka saya menerimanya.
Demikian juga pada waktu pertama kali mendengar tentang doktrin ‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas), saya tidak bisa
menerimanya. Tetapi setelah mendengar argumentasi dari Alkitab yang diberikan,
saya melihat bahwa saya tidak mungkin menolak doktrin itu tanpa sekaligus
menolak Alkitabnya. Demikian juga pada waktu mendengar doktrin penentuan segala
sesuatu (termasuk dosa), saya mula-mula menolak. Tetapi lagi-lagi setelah
membaca argumentasi-argumentasi yang betul-betul didasarkan Alkitab, saya tunduk
dan menerima ajaran itu. Jadi, kalau sekarang anda bisa menghancurkan
argumentasi-argumentasi saya dan memberikan dasar Alkitab yang lebih kuat dari
yang saya punyai, anda pasti bisa ‘mempertobatkan’ saya!
Premis
dasar dari Kalvinisme menegaskan bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang
menetapkan segala sesuatu. Dengan kata lain, setiap perbuatan, tindakan, maupun
pikiran semua makhluk hidup, telah ditetapkan oleh Allah sebelumnya. Ini adalah
premis dasar dari Kalvinisme. Untuk membuktikan bahwa Kalvinis sungguh percaya
seperti itu, kita akan melihat kutipan pengajaran berbagai tokoh Kalvinis.
Tanggapan
saya:
Dalam
hal ini saya setuju dengan anda, bahwa itu memang ajaran Calvinisme / Reformed
yang sebenarnya. Tetapi perlu anda ketahui bahwa di Indonesia tokoh Reformed
Pdt. Stephen Tong (dan juga mayoritas anak buahnya) tidak setuju dengan ajaran
itu, dan karena itu menurut saya dia bukan Calvinist / Reformed yang sejati.
John Gill berkata, “Pendeknya, segala sesuatu tentang semua individu di dunia, yang pernah ada, yang ada, atau yang akan ada, semuanya sesuai dengan dekrit-dekrit Allah, dan menurut pada dekrit-dekrit itu; lahirnya berbagai manusia ke dalam dunia, waktu terjadinya, semua hal-hal yang terjadi berhubungan dengan itu; semua peristiwa dan kejadian yang dialami manusia, sepanjang hidup mereka; tempat tinggal mereka, posisi mereka, panggilan hidup mereka, dan pekerjaan mereka; kondisi mereka berhubungan dengan kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kesulitan dan kemakmuran; kapan mereka akan meninggalkan dunia, dan semua hal yang berkaitan dengan itu; semuanya sesuai dengan rencana dan kehendak Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Semua orang Kristen lahir baru percaya bahwa Allah memiliki rencana dalam hidup tiap-tiap individu. Semua orang percaya yakin bahwa waktu kelahiran ataupun kematian ada di tangan Tuhan. Semua orang beriman juga mengakui bahwa segala hal yang dia nikmati dalam hidupnya adalah berkat-berkat Tuhan. Tetapi Kalvinis tidak puas sampai di situ. Kalvinis menegaskan bahwa semua yang terjadi dalam hidup seseorang, termasuk tindakannya, pikirannya, kesukaan-kesukaannya, pilihan-pilihannya, semuanya telah ditetapkan oleh Tuhan sejak kekekalan dalam dekrit-dekrit rahasia. Untuk memastikan bahwa benar inilah yang dipercayai Kalvinis, kita lihat lagi beberapa kutipan.
Budi Asali berkata, “Karena itu kalau kita percaya bahwa Allah itu berdaulat, maka kita juga harus percaya bahwa Ia menetapkan segala sesuatu.” Berkhof memperjelas posisi Reformed: “Theologia Reformed menekankan kedaulatan Allah atas dasar mana Ia secara berdaulat telah menentukan dari sejak kekekalan apapun yang akan terjadi…” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan
saya:
a)
Ini memang kata-kata Louis Berkhof tetapi anda mengutipnya dari buku
saya. Mengapa tidak memberi petunjuk tentang hal itu?
b)
Dalam buku saya, kutipan dari Louis Berkhof lebih panjang, dan ada dasar
Alkitabnya. Mengapa anda potong? ‘A half truth is a whole lie!’.
Sampai di sini kita perlu berhenti sebentar dan bertanya kepada Kalvinis: “Apakah segala sesuatu yang dimaksud di sini benar-benar berarti segala sesuatu?” Pertanyaan ini penting, karena Kalvinis sering memiliki interpretasi sendiri mengenai kata “segala” atau “semua.” Ketika Alkitab mengatakan bahwa Yesus mati bagi “semua manusia,” Kalvinis bersikukuh bahwa “semua” yang dimaksud adalah “semua orang pilihan.” Jangan-jangan, maksud Kalvinis adalah bahwa Allah menetapkan “segala sesuatu yang pilihan saja.” Tetapi kita dipuaskan oleh para Kalvinis bahwa memang mereka percaya Allah menetapkan segala sesuatu tanpa kecuali.
David West berkata, “Allah menetapkan sejak awal segala sesuatu, baik yang beranimasi (bergerak/hidup), maupun yang tidak beranimasi (diam/mati). DekritNya mencakup semua malaikat, baik yang baik maupun yang jahat.” Tow dan Khoo memperjelas: “Dengan kuasa yang tak terbatas dan hikmat yang tak terbatas, Allah telah sejak kekekalan lampau, memutuskan dan memilih dan menetapkan segala peristiwa yang terjadi tanpa kekecualian, sampai dengan kekekalan yang akan datang.” Melanchthon menghilangkan segala keraguan kita dengan berkata bahwa “Segala sesuatu terjadi sesuai dengan ketetapan ilahi; bukan hanya pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan secara eksternal, tetapi bahkan juga pikiran-pikiran yang kita pikirkan secara internal.”
Tanggapan
saya:
Saya
tidak tahu siapa David West maupun Tow dan Khoo, tetapi saya tahu bahwa
Melanchton bukan seorang Calvinist! Ia adalah orang Arminian seperti anda! Jadi,
kalau kutipan anda benar, maka ternyata ada orang-orang Arminian yang juga
percaya doktrin Reformed / Calvinist ini!
Satu hal yang mengganggu saya ketika merenungkan pernyataan-pernyataan Kalvinis bahwa “Allah menetapkan segala sesuatu,” adalah masalah dosa. Kalau Allah menetapkan segala sesuatu, maka berarti Ia menetapkan juga semua dosa yang pernah diperbuat, yang sedang diperbuat, dan yang akan diperbuat. Ini berarti bahwa Allah-lah yang menetapkan agar Adam dan Hawa makan buah yang Ia larang. Bukankah lucu bila Allah melarang mereka makan buah itu, tetapi Ia pula yang menetapkan agar mereka makan buah itu?
Tanggapan
saya:
a)
‘Lucu’ itu kan logika anda. Jangan berargumentasi hanya menggunakan
logika. Inikah argumentasi berdasarkan Alkitab yang anda sebutkan di
atas?
b)
Dari kutipan yang anda berikan dari buku saya di atas jelas bahwa anda
sudah membaca buku saya itu. Dalam buku saya, saya memberikan argumentasi dalam
persoalan kejatuhan Adam dan Hawa yang sudah ditentukan. Mengapa argumentasi
saya tak dibahas? Bingung bagaimana mematahkannya?
Lebih mengerikan lagi adalah pemikiran bahwa Allah yang menetapkan semua pembunuhan yang pernah terjadi. Jika Allah menetapkan segala sesuatu, maka tindakan semua pemerkosa ditentukan oleh Allah. Sesuai dengan pernyataan Melanchthon, bahwa Allah menentukan “…juga pikiran-pikiran yang kita pikirkan secara internal,” maka semua benci, iri hati, kesombongan, pikiran kotor, hawa nafsu, pikiran perzinahan, juga terjadi karena ditetapkan demikian dalam dekrit Allah.
Apakah anda terganggu dengan semua itu? Saya tahu bahwa saya terganggu, karena saya tidak bisa membayangkan bahwa Allah yang MAHAKUDUS menetapkan satu dosa pun untuk terjadi, jangankan semua dosa yang pernah dan akan ada! Oleh karena itu, saya berulang mengecek, apa benar itu yang dipercayai para Kalvinis?
Boettner menegaskan: “Bahkan kejatuhan Adam, dan melaluinya kejatuhan umat manusia, bukanlah suatu kebetulan atau kecelakaan, tetapi sudah ditetapkan demikian dalam keputusan rahasia Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Perhatikan bahwa Kalvinis bukan hanya berbicara mengenai “mengizinkan dosa.” Kalvinis berbicara mengenai “menetapkan dosa.” Ada perbedaan yang besar antara “menetapkan” dan “mengizinkan.” Ada Kalvinis yang mencoba untuk menyamarkan doktrin mereka dengan menggunakan bahasa “izin.”
Tanggapan
saya:
Calvin
sendiri bahkan tidak senang dengan istilah ‘ijin’ itu, dan ini terlihat dari
2 kutipan kata-kata Calvin di bawah ini.
Calvin:
“God
wills that the false king Ahab be deceived; the devil offers his services to
this end; he is sent, with a definite command, to be a lying spirit in the mouth
of all the prophets (1Kings 22:20,22). If the blinding and insanity of Ahab be
God’s judgment, the figment of bare permission vanishes: because it would be
ridiculous for the Judge only to permit what he wills to be done, and not also
to decree it and to command its execution by his ministers” [= Allah
menghendaki bahwa raja Ahab yang tidak benar ditipu; setan menawarkan
pelayanannya untuk tujuan ini; ia dikirim, dengan perintah yang pasti, untuk
menjadi roh dusta dalam mulut semua nabi (1Raja 22:20,22). Jika pembutaan
dan kegilaan Ahab adalah penghakiman Allah, isapan jempol tentang ‘sekedar
ijin’ hilang: karena adalah menggelikan bagi sang Hakim untuk hanya
mengijinkan apa yang Ia kehendaki untuk dilakukan, dan tidak juga menetapkannya
dan memerintahkan pelaksanaannya oleh pelayan-pelayanNya] - ‘Institutes of the
Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.
Calvin:
“Those
who are moderately versed in the Scriptures see that for the sake of brevity I
have put forward only a few of many testimonies. Yet from these it is more than
evident that they babble and talk absurdly who, in place of God’s providence,
substitute bare permission - as if God sat in a watchtower awaiting chance
events, and his judgments thus depended upon human will”(= Mereka yang
betul-betul mengetahui Kitab Suci melihat bahwa untuk singkatnya saya hanya
memberikan sedikit dari banyak kesaksian. Tetapi dari kesaksian-kesaksian ini
adalah lebih dari jelas bahwa mereka mengoceh dan berbicara secara menggelikan
yang, menggantikan providensia Allah dengan ‘sekedar ijin’ - seakan-akan
Allah duduk di menara pengawal menunggu kejadian-kejadian yang terjadi secara
kebetulan, dan dengan demikian penghakimanNya ter-gantung pada kehendak manusia) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII,
no 1.
Memang
para Calvinist yang lain mau menggunakan kata ‘ijin’ tetapi bukan dengan
motivasi seperti yang Liauw katakan. Untuk Liauw, saya beri nasehat: Jangan
menebak motivasi Calvinist dalam menggunakan kata ‘izin’, kalau anda tidak
mengetahuinya. Itu merupakan fitnah! Kalau Calvinist memang mau menyamarkan
mengapa dalam penggunaan kata ‘ijin’, mengapa gerangan mereka sering / pada
umumnya lalu memberikan tambahan penjelasan bahwa ‘itu bukan sekedar ijin’?
Contoh:
Herman Hoeksema:
“Nor
must we, in regard to the sinful deeds of men and devils, speak only of God’s
permission in distinction from His determination. Holy Scripture speaks a far
more positive language. We realize, of course, that the motive for speaking
God’s permission rather than of His predetermined will in regard to sin and
the evil deeds of men is that God may never be presented as the author of sin.
But this purpose is not reached by speaking of God’s permission or His
permissive will: for if the Almighty permits what He could just as well have
prevented, it is from an ethical viewpoint the same as if He had committed it
Himself. But in this way we lose God and His sovereignty: for permission
presupposes the idea that there is a power without God that can produce and do
something apart from Him, but which is simply permitted by God to act and
operate. This is dualism, and it annihilates the complete and absolute
sovereignty of God. And therefore we must maintain that also sin and all the
wicked deeds of men and angels have a place in the counsel of God, in the
counsel of His will. Thus it is taught by the Word of God”
(= Juga kita tidak boleh, berkenaan dengan tindakan-tindakan berdosa dari
manusia dan setan, berbicara hanya tentang ijin Allah dan membedakannya dengan
penentuan / penetapanNya. Kitab Suci berbicara dengan suatu bahasa yang jauh
lebih positif. Tentu saja kita menyadari bahwa motivasi untuk menggunakan
istilah ‘ijin Allah’ dari pada ‘kehendakNya yang sudah ditetapkan lebih
dulu’ berkenaan dengan dosa dan tindakan-tindakan jahat dari manusia adalah
supaya Allah tidak pernah dinyatakan sebagai pencipta dosa. Tetapi tujuan ini
tidak tercapai dengan menggunakan ‘ijin Allah’ atau ‘kehendak yang
mengijinkan dari Allah’: karena jika Yang Maha Kuasa mengijinkan apa yang bisa
Ia cegah, dari sudut pandang etika itu adalah sama seperti jika Ia melakukan hal
itu sendiri. Tetapi dengan cara ini kita kehilangan Allah dan kedaulatanNya:
karena ijin mensyaratkan suatu gagasan bahwa ada suatu kekuatan di luar Allah
yang bisa menghasilkan dan melakukan sesuatu terpisah dari Dia, tetapi yang
diijinkan oleh Allah untuk bertindak dan beroperasi. Ini merupakan dualisme, dan
ini menghapuskan kedaulatan Allah yang lengkap dan mutlak. Dan karena itu kita
harus mempertahankan bahwa juga dosa dan semua tindakan-tindakan jahat dari
manusia dan malaikat mempunyai tempat dalam rencana Allah, dalam keputusan
kehendakNya. Demikianlah diajarkan oleh Firman Allah) - ‘Reformed Dogmatics’, hal 158.
Louis Berkhof:
“It
is customary to speak of the decree of God respecting moral evil as permissive.
By His decree God rendered the sinful actions of man infallibly certain without
deciding to effectuate them by acting immediately upon and in the finite will.
This means that God does not positively work in man ‘both to will and to
do’, when man goes contrary to His revealed will. It should be carefully
noted, however, that this permissive decree does not imply a passive permission
of something which is not under the control of the divine will. It is a decree
which renders the future sinful acts absolutely certain, but in which God
determines (a)not to hinder the sinful self-determination of the finite will;
and (b)to regulate and control the result of this sinful self-determination” [= Merupakan kebiasaan untuk berbicara tentang ketetapan Allah
berkenaan dengan kejahatan moral sebagai bersifat mengijinkan. Oleh ketetapanNya
Allah membuat tindakan-tindakan berdosa dari manusia menjadi pasti tanpa
menetapkan untuk menyebabkan mereka terjadi dengan bertindak langsung dan
bertindak dalam kehendak terbatas (kehendak manusia) itu. Ini berarti bahwa
Allah tidak secara positif bekerja dalam manusia ‘baik untuk menghendaki dan
untuk melakukan’, pada waktu manusia berjalan bertentangan dengan kehendakNya
yang dinyatakan. Tetapi harus diperhatikan baik-baik bahwa ketetapan yang
bersifat mengijinkan tidak berarti suatu ijin pasif dari sesuatu yang tidak ada
di bawah kontrol dari kehendak ilahi. Itu merupakan suatu ketetapan yang membuat
tindakan berdosa yang akan datang itu pasti secara mutlak, tetapi dalam mana
Allah menentukan (a) tidak menghalangi keputusan yang berdosa yang dilakukan
sendiri oleh kehendak terbatas / kehendak manusia; dan (b) mengatur dan
mengontrol akibat / hasil dari keputusan berdosa ini] - ‘Systematic Theology’,
hal 105.
Juga
mengapa di bawah ini R. C. Sproul menjelaskan bahwa mengijinkan pada hakekatnya
juga menentukan / menghendaki?
Sekarang
maukah anda mengakui bahwa kata ‘menyamarkan’
yang anda gunakan itu merupakan suatu fitnah? Mau mengaku dosa kepada Allah
sekarang juga, Liauw? Ingat, ajaran anda sendiri mengatakan bahwa keselamatan
bisa hilang! Memfitnah, dan tak mau mengakuinya dan bertobat darinya, akan
menghancurkan keselamatan anda (kalau anda pernah mempunyainya!)!
R. C. Sproul, agak bingung membedakan antara “menentukan” dengan “mengizinkan.” Dia berkata, “ Jika Ia [Allah] mengizinkan sesuatu, maka Ia pasti memutuskan untuk mengizinkannya. Jika Ia memutuskan untuk mengizinkan sesuatu, maka dalam arti tertentu Ia menentukannya. … Mengatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi adalah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu berdaulat atas segala ciptaanNya. Jika ada sesuatu yang bisa terjadi di luar izinNya yang berdaulat, maka apa yang terjadi itu menghalangi kedaulatanNya. Jika Allah menolak untuk mengizinkan sesuatu dan hal itu tetap terjadi, maka apapun yang menyebabkan hal itu terjadi mempunyai otoritas dan kuasa yang lebih besar dari Allah sendiri.”
Tanggapan
saya:
a)
Yang bingung R. C. Sproul atau anda, Liauw? Mungkin anda kurang pintar
untuk mengerti kata-kata R. C. Sproul. Bagi saya, dan semua orang yang cukup
cerdas, kata-kata R. C. Sproul sama sekali tidak membingungkan. Bagian yang mana
yang membingungkan? Akan saya jelaskan!
b)
Kata-kata R. C. Sproul juga anda kutip dari buku saya, tanpa memberi
petunjuk. Mengapa? Supaya anda dianggap terpelajar karena banyak referensi yang
anda gunakan sementara sebenarnya anda hanya menggunakan buku saya (atau
setidaknya mayoritas dari buku saya)??
Kalau Kalvinis hanya mengatakan bahwa “Allah mengizinkan dosa,” maka saya setuju! Mengizinkan dosa berbeda dengan menetapkan dosa. Memberi izin berarti bahwa kehendak untuk melakukan berasal dari pribadi lain, dan pihak pemberi izin melakukan supervisi. Menetapkan sesuatu berarti kehendak untuk melakukan berasal dari yang menetapkan itu.
Tanggapan
saya:
Salah!
Coba beri contoh satu orang Calvinist saja yang berpendapat bahwa ‘Menetapkan
sesuatu berarti kehendak untuk melakukan berasal dari yang menetapkan itu’.
Itu kesimpulan anda yang anda masukkan ke dalam ajaran Calvinisme! Lagi-lagi
suatu fitnahan, Liauw!
Kalvinis-kalvinis lain lebih jujur dan dengan terus terang menyatakan bahwa Allah menetapkan dosa.
Arthur Pink membuat jelas bagi kita: “Jelaslah bahwa adalah kehendak Allah dosa harus masuk ke dalam dunia, sebab kalau tidak demikian maka ia [dosa] telah tidak masuk, karena tidak ada sesuatupun yang terjadi selain yang telah didekritkan Allah sejak kekal. Lebih lanjut lagi, masalah ini lebih dari sekedar memberi izin semata, karena Allah hanya mengizinkan apa yang Ia kehendaki.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan
saya:
Dari
kutipan yang anda berikan, Arthur Pink JUGA
Berbicara tentang ijin! Perhatikan kata-kata anda yang saya beri warna
merah!
Pink melanjutkan, “Bukan hanya mataNya [Allah] yang mahatahu melihat Adam memakan buah yang terlarang itu, tetapi Ia telah mendekritkan sebelumnya bahwa ia [Adam] harus melakukannya.” Palmer menegaskan, “Adalah Alkitabiah untuk mengatakan bahwa Allah telah menetapkan dosa. Jika dosa berada di luar rencana Allah, maka tidak ada satupun hal penting dalam kehidupan yang dikuasai oleh Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
anda mengutip kata-kata Edwin Palmer dari saya dan mengutipnya hanya sebagian.
Kalau anda teruskan kutipan itu, Edwin Palmer menunjukkan logika yang hebat,
karena memang, seperti ia katakan, sangat sedikit, kalau ada, tindakan-tindakan
manusia yang betul-betul sempurna. Tidak sempurna berarti berdosa, bukan
demikian Liauw? Dan kalau semua tidak sempurna, semua berdosa, dan semua ada di
luar rencana Allah!
Edwin H. Palmer:
“It
is even Biblical to say that God has foreordained sin. If sin was outside the
plan of God, then not a single important affair of life would be ruled by God.
For what action of man is perfectly good? All of history would then be outside
of God’s foreordination: the fall of Adam, the crucifixion of Christ, the
conquest of the Roman Empire, the battle of Hastings, the Reformation, the
French Revolution, Waterloo, the American Revolution, the Civil War, two World
Wars, presidential assassinations, racial violence, and the rise and fall of
nations” (= Bahkan adalah sesuatu yang Alkitabiah untuk mengatakan bahwa
Allah telah menentukan dosa lebih dulu. Jika dosa ada di luar rencana Allah,
maka tidak ada satupun peristiwa kehidupan yang penting yang diperintah /
dikuasai / diatur oleh Allah. Karena tindakan apa dari manusia yang baik secara
sempurna? Seluruh sejarah juga akan ada di luar penentuan lebih dulu dari Allah:
kejatuhan Adam, penyaliban Kristus, penaklukan kekaisaran Romawi, pertempuran
Hastings, Reformasi, Revolusi Perancis, Waterloo, Revolusi Amerika, Perang
saudara Amerika, kedua perang dunia, pembunuhan presiden, kejahatan / kekejaman
rasial, dan bangkitnya dan jatuhnya bangsa-bangsa) - ‘The Five Points of
Calvinism’, hal 82.
Kutipan terakhir dari Palmer mengandung permainan kata-kata yang cukup berbahaya. Tidak ada orang lahir baru yang mengajarkan bahwa “dosa berada di luar rencana Allah.” Saya percaya bahwa dosa sangat diperhitungkan oleh Allah dalam rencanaNya. Sekali lagi, ini berbeda dengan mengatakan bahwa Allah menetapkan dosa. Jika saya sudah tahu bahwa besok akan hujan, maka hujan bisa ada dalam perencanaan saya, tanpa sedikitpun dapat dikatakan bahwa saya menetapkan hujan. Oleh karena itu, penggunaan kata “rencana” harus diperjelas. Kalvinis percaya bahwa Allah menetapkan dosa, jadi mereka percaya bahwa Allah merencanakan dosa. Merencanakan dosa tentu berbeda dengan sekedar “dosa ada dalam rencana Allah.”
Tanggapan
saya:
Rencana
Allah sangat luas, dan memang mencakup dosa. Ia betul-betul merencanakan supaya
dosa itu terjadi. Itu yang dimaksud dengan ‘dosa ada dalam rencana Allah’,
dan itu jelas juga sama dengan ‘dosa ditetapkan / direncanakan oleh Allah’.
Tetapi ini berbeda dengan kata-kata ‘dosa sangat diperhitungkan oleh Allah
dalam rencanaNya’. Kalau yang terakhir ini bisa diartikan bahwa Ia hanya tahu
kalau dosa bakal ada, dan dalam rencanaNya, Ia juga merencanakan bagaimana cara
menangani dosa yang akan muncul itu. Ini pandangan Arminianisme!
Jadi, janganlah ada Kalvinis yang marah jika saya berkata, “allahnya Kalvinis adalah allah yang merencanakan dosa, dan yang mengharuskan manusia berbuat dosa.” Kalau anda Kalvinis, dan anda shock dengan pernyataan ini, maka anda belum tahu pengajaran Kalvinis yang sejati.
Tanggapan
saya:
Pernyataan
anda salah, Liauw! Dari mana kata ‘mengharuskan’ itu muncul? Itu tidak ada
dalam theologia Calvinist. Coba beri bukti siapa yang mengatakan demikian. Apa
yang Allah tentukan / rencanakan, memang pasti terjadi.
Ayub
42:1-2 - “(1) Maka jawab Ayub kepada TUHAN: (2) ‘Aku tahu, bahwa Engkau
sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal”.
Tetapi
‘pasti terjadi’ sangat berbeda dengan ‘mengharuskan’. Kalau
mengharuskan, berarti Allah memerintahkan dosa itu dilakukan. Itu tak pernah
diajarkan oleh Calvinist manapun, Liauw! Lagi-lagi fitnah!
Bicara
tentang marah, saya tidak marah. Saya kasihan dengan anda yang begitu bodoh,
sehingga menyerang ‘Calvinisme’ yang sebetulnya bukan Calvinisme! Lalu untuk
apa saya marah?
Terus terang pertama kali saya mempelajari Kalvinisme, saya juga shock dengan deklarasi demikian. Tetapi setelah saya selidiki pengajaran tokoh-tokoh Kalvinis itu sendiri, saya dapatkan bahwa benar demikian. Dan sebelum saya dapat protes terhadap deklarasi mereka, para Kalvinis menyuguhkan dulu suatu premis lain lagi: “Kalau Allah mahatahu, itu berarti Allah telah menetapkan segala sesuatu, termasuk dosa.”
Semua orang Kristen lahir baru tentunya percaya bahwa Allah memiliki sifat mahatahu. Allah tahu segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Allah tahu tentang segenap perbuatan, kejadian, peristiwa, bahkan pikiran, perasaan, dan hal-hal yang paling tersembunyi sekalipun. Bukan hanya itu saja, Allah juga tahu semua kemungkinan yang bisa terjadi, dan semua alternatif dari realita.
Tanggapan
saya:
Untuk
yang saya beri warna merah, saya tidak setuju. Hal-hal yang dari
sudut Allah betul-betul contingent (bisa terjadi bisa tidak terjadi),
tidak mungkin bisa diketahui oleh siapapun, termasuk oleh Allah.
Kalau
bisa terjadi A atau B atau C, dan sama sekali tak ada ketentuan akan terjadi
yang mana, lalu Allah tahu apa tentang hal itu? Misalnya Dia tahu bahwa yang
akan terjadi adalah A, maka apa yang Ia tahu itu sudah pasti terjadi. Itu
berarti A itu sudah tertentu, bukan lagi merupakan sesuatu yang contingent!
Kalau
hal-hal yang contingent dari sudut kita, maka memang Allah tahu akan hal itu,
karena dari sudut Allah, apa yang contingent bagi kita bukan contingent bagi
Dia!
Walaupun Non-Kalvinis mempercayai Allah mahatahu, Kalvinis memiliki pengertian yang lain tentang kemahatahuan. Kalvinis percaya bahwa jika Allah mahatahu, berarti Allah menentukan segala sesuatu.
Logika Kalvinis berjalan seperti ini:
“Bayangkan suatu saat (minus tak terhingga) dimana alam semesta, malaikat, manusia, dsb belum diciptakan. Yang ada hanyalah Allah sendiri. Ini adalah sesuatu yang alkitabiah, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu (Kej 1 Yoh 1:1-3). Pada saat itu, karena Allah itu mahatahu (1Sam 2:3 – “Karena TUHAN itu Allah yang mahatahu”), maka Ia sudah mengetahui segala sesuatu (dalam arti kata yang mutlak) yang akan terjadi, termasuk dosa. Semua yang Ia tahu akan terjadi itu, pasti terjadi persis seperti yang Ia ketahui. Dengan kata lain, semua itu sudah tertentu pada saat itu. Kalau sudah tertentu, pasti ada yang menentukan (karena tidak mungkin hal-hal itu menentukan dirinya sendiri). Karena pada saat itu hanya ada Allah sendiri, maka jelas bahwa Ialah yang menentukan semua itu.”
Saya akan memperjelas lagi dengan mengambil suatu contoh kasus imajiner, yaitu
seorang bernama Budi yang suatu hari tertentu memilih untuk memakai baju merah.
Allah sudah mengetahui bahwa Budi akan memakai baju merah pada hari itu.
Pengetahuan Allah akan hal ini sudah sejak kekekalan lampau. Dan, pengetahuan
Allah tentu tidak dapat salah atau gagal, karena Ia Allah dan Ia mahatahu. Jadi,
menurut filosofi Kalvinis, Budi tidak memiliki pilihan lain. Kalau Budi pada
hari itu memilih baju biru, maka pengetahuan Allah menjadi salah, dan ini tidak
mungkin terjadi. Oleh karena itu, walaupun tampaknya seolah-olah
Budi menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih baju merah dari berbagai
pilihan berwarna-warni baju di lemari, menurut Kalvinis sebenarnya Budi sudah
ditetapkan untuk memilih baju merah, dan bahwa Budi tidak bisa memilih baju
warna lain karena Allah sudah tahu dia akan pilih merah, dan pengetahuan Allah
tidak bisa salah.
Tanggapan
saya:
Bukan
‘seolah-olah’, Liauw!
Sedemikian
yakinnya Kalvinis akan jalur logika dan kesimpulan ini, sehingga Boettner
berkata, “Kecuali Arminianisme menyangkal pengetahuan lebih dulu dari Allah,
ia tidak mempunyai pertahanan di hadapan kekonsistenan logis dari Calvinisme;
karena pengetahuan lebih dulu secara tidak langsung menunjuk pada kepastian, dan
kepastian secara tidak langsung menunjuk pada penetapan lebih dulu.”
Tanggapan
saya:
Asal
tahu saja, argumentasi Loraine Boettner dalam hal ini, yang membuat saya, yang
tadinya hanya menganggap Allah hanya mengijinkan dosa, akhirnya percaya
bahwa ternyata Alkitab mengajarkan bahwa Allah menentukan dosa. Saya
mengaminkan kata-kata Boettner itu dengan segenap hati! Dan saya yakin
argumentasi ini tidak bakal bisa digugurkan oleh siapapun juga! Saya belum
pernah tahu ada orang manapun bisa menghancurkan argumentasi ini! Dan saya
tantang anda untuk melakukannya!
Bukan hanya itu, Kalvinis juga menyimpulkan bahwa Allah mahatahu karena Ia menetapkan segala sesuatu. Shedd berkata, “Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi.” Warfield menambahkan, “Allah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri.” Baik anda Kalvinis maupun Non-Kalvinis, anda perlu membaca dan meresapi apa makna dari pernyataan Kalvinis: Allah tidak bisa tahu suatu peristiwa jika Ia tidak menentukan peristiwa itu. Bukankah ini justru mengecilkan kemahatahuan Tuhan?
Tanggapan
saya:
Terus
terang, bahwa bagian ini mula-mula juga membingungkan saya, karena sangat sukar.
Tetapi setelah saya renungkan, saya yakin kata-kata itu benar, dan sama sekali
tidak mengecilkan kemahatahuan Allah. Kalau kata-kata R. C. Sproul di atas tadi
sudah tak bisa anda mengerti, maka saya yakin anda tidak bakal mengerti bagian
ini, biarpun anda renungkan sampai akhir jaman!
Sampai dengan titik ini, saya belum memberikan ayat-ayat Alkitab ataupun argumen-argumen untuk menyatakan kesalahan posisi Kalvinis. Sampai dengan titik ini, tujuan utama saya adalah untuk menjelaskan pada anda, apa yang sebenarnya Kalvinis percayai. Oleh karena itulah saya tidak sekedar menjelaskan dengan kata-kata saya sendiri, tetapi mengutip langsung dari sumber-sumber Kalvinis. Boettner, Melanchthon, Pink, Sproul, Palmer, Warfield, Shedd, adalah nama-nama besar Kalvinis. Mereka diakui oleh dunia sebagai Kalvinis. Masih banyak lagi tokoh Kalvinis yang akan saya kutip nanti. Tetapi saya ingin anda tahu bahwa saya tidak mengada-ada atau melakukan misrepresentasi terhadap pengajaran Kalvinis.
Tanggapan
saya:
Jangan
berdusta, Liauw! Ada yang anda kutip dari sumber langsung (itupun mungkin).
Tetapi banyak yang anda kutip secara tidak langsung, karena anda kutip melalui
buku saya! Mau saya buktikan? Enak ya kalau mengutip dari saya, ada bahasa
Inggrisnya dan ada terjemahannya sekalian!
Anda
berdusta dan memfitnah banyak sekali, Liauw! Tidak takut keselamatan anda
hilang? Ternyata orang yang percaya keselamatan bisa hilang berdosa seenaknya
sendiri! Padahal mereka biasanya menuduh bahwa orang-orang Calvinist, yang
mempercayai keselamatan tidak bisa hilang itulah, yang berdosa seenaknya
sendiri!
Nah, sebelum saya menjelaskan letak kesalahan dari premis dasar Kalvinisme, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk melihat konsekuensi dari premis dasar Kalvinisme. Saya ingin tahu, jika seseorang memegang pandangan Kalvinisme ini secara konsisten, apa yang akan terjadi.
Tanggapan
saya:
Saya
belum membaca bagian di bawah ini, tetapi dari kata ‘konsekuensi’ yang anda
gunakan, saya tahu bahwa bakal muncul fitnahan lagi, karena konsekwensi yang
anda maksudkan, pasti bukan yang Calvinisme ajarkan!
Logika dan Alkitab mengajarkan kita bahwa untuk segala tindakan dan kepercayaan, pasti ada konsekuensi yang mengikuti. “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Gal. 6:7). Oleh sebab itulah kita mengajari anak-anak kita bahwa tindakan mereka akan membawa konsekuensi. Kalau mereka nakal, kita pukul atau hukum untuk mengajarkan konsekuensi negatif untuk tindakan seperti itu. Sebaliknya kalau mereka melakukan yang baik, kita beri insentif. Ini kita lakukan, karena kita ingin menanamkan pada anak-anak bahwa tindakan dan perilaku mereka akan membawa konsekuensi.
Sebagai contoh lain, Alkitab selalu mengajarkan bahwa orang yang sungguh-sungguh beriman, pasti akan menghasilkan buah. Iman sejati selalu diikuti oleh pekerjaan baik. Memang ada orang yang tidak memiliki buah walaupun mengklaim diri percaya pada Tuhan Yesus. Tentunya mereka ini tidak benar-benar percaya.
Demikian juga dengan Kalvinisme. Jika premis dasar Kalvinisme benar, yaitu bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu sejak kekekalan, bahkan dosa, dan bahwa kemahatahuan Allah (yang adalah karena penetapanNya) menyebabkan manusia tidak memiliki pilihan lain selain apa yang Allah tetapkan itu, maka:
Jika Tuhan sudah menetapkan segala sesuatu, termasuk tindakan, pikiran, dan keputusan semua makhlukNya, sebagaimana diajarkan Kalvinisme, maka secara logis tidak ada satupun makhluk yang memiliki kehendak bebas. Manusia pun tidak memiliki kehendak bebas. Bahkan, kalau mau dipikirkan secara konsisten, maka kita tidak bisa mengatakan, “keputusan Budi untuk memakai baju merah.” Keputusan itu bukanlah keputusan Budi, melainkan keputusan atau ketetapan Allah. Budi hanyalah agen pelaksana ketetapan Allah.
Tanggapan
saya:
Hehehe,
saya benar, kan? Saya cukup mengerti ‘cara berpikir / logika’ yang bodoh
dari orang Arminian. Konsekwensi yang anda maksudkan muncul dari ‘logika /
cara berpikir’ anda, bukan dari Alkitab, yang merupakan dasar ajaran
Calvinisme.
Ini
lagi-lagi fitnahan, karena Calvinisme tidak mengajar demikian! Ajaran
Calvinisme, Budi pakai baju merah itu memang keputusan / penetapan Allah, tetapi
sekaligus juga adalah keputusan Budi sendiri! By the way, pada saat ini Budi
memilih untuk tidak pakai baju, karena cuaca sedang panas, dan Budi memilih
untuk menjawab tulisan tolol dari seorang Arminian supaya jangan banyak orang
disesatkan oleh kata-kata tolol itu . Dan itupun sesuai dengan ketentuan /
penetapan Allah! Budi sama sekali tidak merasa dipaksa oleh Allah, itu
betul-betul kemauannya, tetapi itu juga adalah ketetapan Allah, yang tidak bisa
tidak terjadi!
Loraine Boettner:
“Perhaps
the relationship between divine sovereignty and human freedom can best be summed
up in these words: God so presents the outside inducements that man acts in
accordance with his own nature, yet does exactly what God has planned for him to
do” (= Mungkin hubungan antara kedaulatan ilahi dan kebebasan manusia
bisa disimpulkan dengan cara terbaik dengan kata-kata ini: Allah memberikan
dorongan / bujukan dari luar sedemikian rupa sehingga manusia bertindak sesuai
dengan dirinya, tetapi melakukan secara tepat apa yang Allah telah rencanakan
baginya untuk dilakukan)
- ‘The Reformed Doctrine of
Predestination’, hal 38.
Charles Haddon Spurgeon: (tentang tentara yang tidak mematahkan kaki Kristus tetapi
menusukNya dengan tombak - Yoh 19:33-34).
“They
acted of their own free will, and yet at the same time they fulfilled the
eternal counsel of God. Shall we never be able to drive into men’s mind the
truth that predestination and free agency are both facts? Men sin as freely
as birds fly in the air, and they are altogether responsible for their sin; and
yet everything is ordained and foreseen of God. The foreordination of God in no
degree interferes with the responsibility of man. I have often been asked by
persons to reconcile the two truths. My only reply is - They need no
reconciliation, for they never fell out. Why should I try to reconcile two
friends? Prove to me that the two truths do not agree. In that request I have
set you a task as difficult as that which you propose to me. These two facts are
parallel lines; I cannot make them unite, but you cannot make them cross each
other” (= Mereka bertindak dengan kehendak bebas mereka, tetapi pada saat
yang sama mereka menggenapi rencana yang kekal dari Allah. Apakah kita tidak
akan pernah bisa menancapkan ke dalam pikiran manusia kebenaran bahwa
predestinasi dan kebebasan agen / manusia dua-duanya merupakan fakta? Manusia
berbuat dosa sebebas burung-burung yang terbang di udara, dan mereka semuanya
bertanggung jawab untuk dosa mereka; tetapi segala sesuatu ditetapkan dan
dilihat lebih dulu oleh Allah. Penetapan lebih dulu dari Allah sama sekali tidak
mengganggu tanggung jawab manusia. Saya sering ditanya oleh orang-orang
untuk mendamaikan dua kebenaran ini. Jawaban saya hanyalah - Mereka tidak
membutuhkan pendamaian, karena mereka tidak pernah bertengkar. Mengapa saya
harus mendamaikan 2 orang sahabat? Buktikan kepada saya bahwa dua kebenaran
itu tidak setuju / cocok. Dalam permintaan itu saya telah memberimu suatu tugas
yang sama sukarnya seperti yang kaukemu-kakan kepada saya. Kedua fakta ini
adalah garis-garis yang paralel; saya tidak bisa membuat mereka bersatu, tetapi
engkau tidak bisa membuat mereka bersilangan) - ‘A Treasury of Spurgeon on
The Life and Work of Our Lord, vol VI - The Passion and Death of Our Lord’,
hal 670-671.
Barnes’
Notes (tentang Kis 2:23): “We
have here a striking and clear instance of the doctrine that the decrees of
God do not interfere with the free agency of people. This event was
certainly determined beforehand. Nothing is clearer than this. It is here
expressly asserted; and it had been foretold with undeviating certainty by the
prophets. God had, for wise and gracious purposes, purposed or decreed in his
own mind that his Son should die at the time and in the manner in which he did;
for all the circumstances of his death, as well as of his birth and his life,
were foretold; and yet in this the Jews and the Romans never supposed or alleged
that they were compelled or cramped in what they did. They did what they chose.
If in this case the decrees of God were not inconsistent with human freedom,
neither can they be in any case. Between those decrees and the freedom of man
there is no inconsistency, unless it could be shown - what never can be that God
compels people to act contrary to their own will. In such a case there could
be no freedom. But that is not the case with regard to the decrees of God” (= belum diterjemahkan ).
Charles Hodge:
“God
can control the free acts of rational creatures without destroying either
their liberty or their responsibility”
(= Allah bisa mengontrol tindakan-tindakan bebas dari makhluk-makhluk
rasionil tanpa menghancurkan kebebasan ataupun tanggung jawab mereka) - ‘Systematic Theology’,
vol II, hal 332.
Saya
berpendapat bahwa bagian yang harus diperhatikan dalam kata-kata Charles Hodge
ini adalah ‘God can’ (= Allah bisa).
Kalau
saya membuat sebuah film, maka saya akan menyusun naskah, dimana setiap pemain
sudah ditentukan harus bertindak apa atau berkata apa. Tetapi sedikit atau
banyak selalu ada kebebasan bagi para pemain. Kalau saya tidak memberikan
kebebasan sama sekali, maka para pemain itu akan menjadi robot, yang tidak lagi
mempunyai kebebasan apapun.
Tetapi
Allah berbeda dengan saya atau dengan manusia lain. Allah bisa menentukan
dan mengontrol segala sesuatu sampai detail-detail
yang sekecil-kecilnya, tanpa menghancurkan kebebasan manusia! Bagaimana Ia bisa
melakukan hal itu, merupakan suatu mystery bagi kita, tetapi yang jelas Kitab
Suci menunjukkan bahwa Allah memang menentukan dan menguasai segala sesuatu,
tetapi manusia tetap mempunyai kebebasan.
Jika diteruskan secara logis dan konsisten, maka premis dasar Kalvinisme (Allah menetapkan segala sesuatu) menjadikan seluruh ciptaan Allah dan seluruh rangkaian peristiwa sejak penciptaan hingga kekekalan nanti, sebagai sebuah sandiwara atau film yang sudah dinaskahkan. Setiap kata-kata, tindakan, dan aksi, telah dinaskahkan sesuai dengan keinginan sutradara. Manusia, anda dan saya, hanyalah salah satu pemain, yang tidak dapat melakukan apapun selain dari yang telah dinaskahkan (didekritkan sejak kekekalan). Lebih parah lagi, seorang aktor masih memiliki ruang improvisasi, tetapi Kalvinis menyatakan bahwa hal yang terkecil pun sudah ditetapkan oleh Tuhan. Dengan kata lain, manusia tidak lebih dari robot, yang harus melakukan ketetapan Allah. Kalau ada yang protes, saya hanya perlu mengingatkan bahwa adalah Kalvinis (John Gill) yang mengatakan: “Pendeknya, segala sesuatu tentang semua individu di dunia, yang pernah ada, yang ada, atau yang akan ada, semuanya sesuai dengan dekrit-dekrit Allah, dan menurut pada dekrit-dekrit itu.”.
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
logika anda, tanpa Alkitab! Calvinisme pun mengakui bahwa ada suatu misteri di
sini, bagaimana Allah menetapkan, tetapi manusia bisa dengan bebas melakukan.
Tetapi itu adalah fakta Alkitab, dan itu juga adalah fakta dalam kehidupan
sehari-hari.
Yang
jelas, konklusi anda merupakan fitnahan lagi, karena tak ada satu Calvinist-pun
yang percaya bahwa manusia itu seperti robot!
Kata-kata
John Gill itu saya setuju, tetapi berbeda dengan anda, saya tidak menyimpulkan
dari kata-kata itu bahwa Calvinisme mempercayai manusia sebagai robot!
Kata
‘harus’ yang saya garis-bawahi itu juga salah! Kata ‘pasti’ lebih cocok!
Calvin:
“we
posited a distinction between compulsion and necessity from which it appears
that man, while he sins of necessity, yet sins no less voluntarily” (= kami
menempatkan suatu perbedaan di antara pemaksaan dan kepastian dari mana terlihat
bahwa manusia, sementara ia pasti berdosa, tetapi ia berdosa dengan sukarela) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter IV, No
1.
Kalau
manusia membuat robot, tentunya segala tindakan, perkataan, dan sifat dari robot
itu, adalah sesuai dengan programnya. Bukankah ini sama dengan deskripsi
Kalvinis, bahwa segala tindakan, perkataan, dan segala sesuatu mengenai
individu, sesuai dan menurut pada “dekrit” (program) Allah?
Allah tentu jauh lebih canggih dari manusia, sehingga kalau Allah membuat robot,
dia bisa membuat robot itu memiliki perasaan dan kesadaran diri. Tidakkah
pandangan Kalvinis membuat manusia masuk ke dalam kategori robot-robot canggih?
Robot yang sadar diri dan memiliki perasaan. Robot yang berpikir bahwa ia
memilih sesuatu, yang mengira bahwa ia memutuskan berbagai hal, tetapi yang
bagaimanapun juga adalah robot karena ia tidak bisa melakukan selain dari
“program”nya (dekrit Allah).
Kalvinis sering membantah dan mengatakan bahwa dia percaya manusia punya
kehendak bebas. Budi Asali berkata, “…Allah menentukan segala-galanya, dan
itu berarti bahwa Allah juga menentukan bahwa orang itu akan melakukan tindakan
itu secara bebas.” Dalam kalimat lain, Asali memperjelas, “Sekalipun Allah
menentukan dan mengatur terjadinya dosa, tetapi saat dosa itu terjadi, manusia
melakukan dosa itu dengan kemauannya sendiri! Ini menunjukkan bahwa kebebasan
manusia tidak dibuang!”
Tetapi permasalahannya adalah, Kalvinis memiliki suatu definisi “bebas” yang
aneh. Walaupun tindakan itu sudah ditetapkan Allah, dan manusia tidak bisa
melakukan selain dari ketetapan itu, manusia masih dikatakan “bebas.”
Webster mendefinisikan “free will” (Indonesia: kehendak bebas) sebagai
berikut:
freedom of decision or of choice between alternatives
kebebasan pengambilan keputusan atau memilih antara alternatif-alternatif
Jadi,
jelaslah bahwa “ kehendak bebas” berarti dapat memilih antara dua atau lebih
alternatif. Jika tidak bisa memilih alternatif lain, maka tidak ada kebebasan.
Argumen Kalvinis bahwa “walaupun Allah menentukan, tetapi manusia melakukannya
dengan kemauan sendiri,” adalah suatu tipuan! Menurut Kalvinis, segalanya
ditentukan Allah. Jadi, kemauan orang itupun ditentukan Allah! Orang itu mau
melakukan suatu tindakan, karena Allah menetapkan bahwa dia mau! Dia tidak bisa
tidak mau! Dia tidak punya pilihan! Dia tidak bisa mau melakukan apapun selain
yang Allah tetapkan! Apakah manusia seperti ini bisa dikatakan memiliki kehendak
bebas? Tidak mungkin, kecuali anda meredefinisi “bebas”! Yang paling baik
yang bisa dikatakan Kalvinis adalah: Allah menciptakan manusia yang merasa
bebas, mengira dirinya bebas, dan bahkan seolah-olah bebas, tetapi sebenarnya,
semua tindakan, perasaan, pilihan, pikirannya, telah ditentukan Allah dalam
dekrit-dekrit rahasia sejak kekekalan.
Jelas sekali bahwa Kalvinisme yang konsisten membawa kepada konsekuensi bahwa
manusia tidak bebas. Kalvinisme sendiri mencoba untuk membenturkan antara
kebebasan Allah dengan kemahatahuan Allah. Kalau
Allah mahatahu, kata Kalvinis, artinya manusia tidak bisa memilih selain dari
yang diketahui Allah. Jadi, Kalvinis sendiri sebenarnya mengakui bahwa manusia
tidak bebas! Tetapi dengan tarikan nafas lain, dia mau mengatakan manusia itu
bebas! Ini namanya berbicara dolak-dalik, atau bisa juga disebut tidak
konsisten!
Tanggapan
saya:
Anda
menggunakan istilah ‘free will’. Kalau anda memang Alkitabiah, tolong
berikan ayat Alkitab mana yang berbicara tentang free will?? Calvin /
orang-orang Reformed sebetulnya memang menentang istilah itu. Yang bebas adalah orangnya,
bukan kehendaknya.
Alkitab
memang mengajar seperti yang Calvin / orang Reformed ajarkan.
Apa
kata ‘Allah’ yang saya beri warna merah dalam kata-kata anda di atas itu
tidak salah, Liauw? Seharusnya ‘manusia’?
Saya
memang membenturkan kebebasan manusia (dalam ajaran Arminianisme) dengan
kemahatahuan Allah. Anda tidak bisa menjawab argumentasi itu, bukan? Lalu anda
membelokkan dengan mengatakan ‘Jadi,
Kalvinis sendiri sebenarnya mengakui bahwa manusia tidak bebas!’.
Coba jawab argumentasi itu, jangan lari darinya. Kalau Allah maha tahu, Ia pasti
tahu saat ini anda akan berbuat apa. Apakah ada kemungkinan bahwa pada saat ini
anda tidak melakukan hal itu? Jawab ini, Liauw!
Kalau
anda mengatakan ‘Jadi,
Kalvinis sendiri sebenarnya mengakui bahwa manusia tidak bebas!’,
maka saya bisa menjawab ini. Saya / Calvinist memang mengakui bahwa sebenarnya
manusia tidak bebas! Tetapi dalam arti apa? Dalam arti Arminianisme!
Arminianisme mengartikan ‘bebas’ itu dalam arti bahwa dalam setiap titik
dari kehidupannya, manusia itu bisa memilih untuk melakukan apapun yang ia
kehendaki. Kami, orang Reformed / Calvinist, tidak mempercayai kebebasan
seperti itu! Pada setiap titik dalam hidupnya, semua ditentukan oleh Allah,
sehingga manusia itu pasti melakukan apapun yang Allah tentukan. Tetapi,
pada waktu ia melakukan apa yang Allah tentukan itu, ia melakukannya dengan
kemauan / kehendaknya sendiri. Ini yang kami artikan sebagai ‘bebas’! Anda
menganggap ini sebagai definisi yang aneh dari kata ‘bebas’? Aneh tidak
aneh tak jadi soal. Yang penting Alkitabiah atau tidak.
Dasar
Alkitab dari ‘definisi yang aneh’ itu:
·
Dalam Kel 7:3
Allah berkata bahwa Ia akan mengeraskan hati Firaun, tetapi pada waktu ketetapan
Allah itu terlaksana, ternyata Firaun mengeraskan hatinya sendiri (Kel 7:13,22
8:15,19,32 9:7,34-35).
·
Dalam Ayub 1:21
Ayub berkata bahwa ‘Tuhan yang mengambil’; tetapi dalam Ayub 1:15,17
orang-orang Syeba dan Kasdim melakukan perampokan itu dengan kemauan mereka
sendiri.
·
Yes 10:5-7
- Asyur adalah alat Tuhan untuk menghukum Israel, tetapi Asyur melakukan sendiri
dengan motivasi yang lain.
Yes 10:5-7 - “(5) Celakalah Asyur, yang menjadi cambuk
murkaKu dan yang menjadi tongkat amarahKu! (6) Aku akan menyuruhnya terhadap
bangsa yang murtad, dan Aku akan memerintahkannya melawan umat sasaran murkaKu,
untuk melakukan perampasan dan penjarahan, dan untuk menginjak-injak mereka
seperti lumpur di jalan. (7) Tetapi dia
sendiri tidak demikian maksudnya dan tidak demikian rancangan hatinya, melainkan
niat hatinya ialah hendak memunahkan dan hendak melenyapkan tidak sedikit
bangsa-bangsa”.
Catatan:
yang saya beri garis bawah tunggal menunjukkan rencana Allah, yang saya beri
garis bawah ganda menunjukkan bahwa mereka melaksanakan rencana Tuhan itu,
tetapi dengan kehendak / motivasi mereka sendiri.
Jika Allah telah menetapkan segala sesuatu, termasuk tindakan dan pikiran makhluk-makhluk ciptaanNya, dan makhluk-makhluk itu tidak dapat melakukan selain yang ditetapkan Allah, maka makhluk-makhluk itu tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka. Ini sebenarnya adalah konsekuensi yang mudah dimengerti dan mengalir secara logis dari konsekuensi yang pertama. Manusia yang telah ditentukan segala tindakan, pikiran, dan kemauannya, sejak kekekalan, adalah manusia yang tidak bebas dan bisa disamakan dengan robot. Manusia yang telah diprogram ini (telah didekritkan segala sesuatu tentang dirinya), dan yang tidak dapat bertindak selain sesuai programnya (dekrit), tentunya tidak bertanggung jawab atas isi “program” (dekrit) tersebut.
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
pakai logika, dan bukan hanya tak ada dasar Alkitabnya, tetapi bahkan
bertentangan dengan Alkitab. Coba bandingkan kata-kata anda itu dengan ayat /
text Alkitab di bawah ini, Liauw!
Ro
9:19-21 - “(19) Sekarang kamu akan berkata kepadaku: ‘Jika demikian, apa
lagi yang masih disalahkanNya? Sebab siapa yang menentang kehendakNya?’ (20)
Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk
berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau membentuk aku
demikian?’ (21) Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya,
untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang
mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?”.
Text
ini diberikan persis setelah Paulus mengarkan doktrin predestinasi (Ro 9:10-18).
Paulus sudah memikirkan adanya orang-orang yang akan berpikir seperti anda,
Liauw! Kalau Allah mem-predestinasi-kan orang-orang untuk selamat atau tidak
selamat, dan itu pasti terjadi, mengapa orang yang tidak percaya lalu
disalahkan? Dan karena itu, Paulus memberikan Ro 9:19-21 itu! Ini Alkitab,
Liauw!
Sebenarnya manusia mengerti akan hal ini dengan amat jelas. Bahkan Kalvinis pun mengerti akan hal ini jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada seorang Kalvinispun yang akan menyalahkan gerbong kereta api ketika kereta api menabrak orang. Kereta api itu hanya dapat berjalan di rel yang dibuat untuknya. Ia tidak dapat menyimpang ke kiri atau ke kanan. Walaupun gerbong kereta api itulah yang bergerak sepanjang rel, dan walaupun gerbong kereta api itulah yang menabrak, tetapi ia sama sekali tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi. Semuanya sudah ditentukan oleh oknum lain di luar dirinya. Oleh karena itu, Kalvinis yang se-Hyper apapun, tidak akan menuntut gerbong kereta api ke pengadilan. Jika ada pihak yang harus dituntut, maka itu adalah orang yang mengendalikan kereta itu, yang memilihkan rel baginya, dan yang mengatur kecepatannya. Ini membawa kita kepada konsekuensi yang ketiga.
Tanggapan
saya:
Gerbong
memang tak salah, karena ia benda mati yang tak punya kemauan. Tetapi masinisnya
mungkin salah. Kami tak pernah menyamakan manusia dengan gerbong, yang adalah
benda mati, tanpa kemauan. Anda yang melakukan itu, lalu menyerang kami
seolah-olah kami setuju dengan penyamaan itu!
Perhatikan
kata-kata anda yang saya beri warna merah. Orang yang hyper-Calvinist justru
memang tidak akan menyalahkan manusia pada waktu manusia itu berbuat dosa.
Tetapi seorang Calvinist yang murni pasti akan menyalahkan orang itu, sekalipun
orang itu melakukan dosa sesuai dengan ketentuan Allah.
Mau
dasar Alkitab, Liauw? Selain Ro 9:19-21 tadi, ada banyak ayat-ayat lain.
Luk
22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah
ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang
yang olehnya Ia diserahkan!’”.
Yudas
Iskariot ditentukan untuk mengkhianati Yesus, tetapi pada waktu ia melakukan hal
itu, ia dipersalahkan. Ini terlihat dari kata ‘celakalah’ yang Yesus
ucapkan!
Mengomentari Luk 22:22 Spurgeon berkata: “The
decree of God does not lessen the responsibility of man for his action. Even
though it is predetermined of God, the man does it of his own free will, and on
him falls the full guilt of it”
(= Ketetapan Allah tidak mengurangi tanggung jawab manusia untuk tindakannya.
Sekalipun hal itu sudah ditentukan lebih dulu oleh Allah, manusia melakukannya
dengan kehendak bebasnya sendiri, dan pada dialah jatuh kesalahan sepenuhnya) - ‘Spurgeon’s Expository
Encyclopedia’, vol 12, hal 18.
Kis
4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini
Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel
melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala
sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
Apakah
Herodes, Pontius Pilatus, tokoh-tokoh Yahudi, orang-orang Romawi, dsb tidak
disalahkan? Sudah jelas ya!
Mat 18:7 - “Celakalah
dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah
orang yang mengadakannya!”.
Harus
ada, berarti sudah ditentukan. Tetapi celakalah mereka. Ini menunjukkan mereka
tetap dipersalahkan.
Kis 2:23 - “Dia
yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan
dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kata-kata
‘menurut maksud dan rencanaNya’ menunjukkan ketetapan Allah, sedangkan kata
‘durhaka’ menunjukkan bahwa mereka dipersalahkan.
Anda
tak menggunakan Alkitab, Liauw, tetapi saya menggunakannya. Terserah mau tunduk
pada Alkitab atau tidak! Dan bagi para pembaca, terserah mau setuju pada logika
Liauw, atau pada Alkitab / Firman Tuhan!
Jika Allah menentukan segala sesuatu, maka Allahlah yang bertanggung jawab atas segala sesuatu! Ini adalah pernyataan yang sederhana namun benar! Ingat bahwa adalah Kalvinis sendiri yang ngotot bahwa Allah menentukan segala sesuatu, dari hal besar hingga hal remeh.
Tanggapan
saya:
Kalimat
pertama dan kedua (yang saya beri garis bawah tunggal) saya tidak setuju. Allah
menentukan segala sesuatu, termasuk dosa. Itu tidak bisa diartikan bahwa Ia
bertanggung jawab atas dosa itu, karena bukan Ia yang melakukannya!
Tetapi
kalimat ketiga (yang saya beri garis bawah ganda) memang merupakan ajaran
Calvinisme, dan ini juga adalah ajaran Alkitab.
Mat
10:29-30 - “(29) Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun
seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. (30)
Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya”.
Apakah
burung pipit itu hal besar atau hal remeh, Liauw? Jelas hal remeh, bukan? Tetapi
tak satupun jatuh / mati di luar kehendak Tuhan. Dan ayat selanjutnya bicara
tentang rambut. Hal yang lebih remeh lagi. Kontext jelas harus menentukan arti
dari ayat itu. Artinya, rambutpun tidak satupun bisa rontok kalau bukan karena
kehendak Tuhan. Jadi, Calvinisme sesuai Alkitab, bukan? Tetapi pada waktu kami
mengajar seperti itu, anda katakan kami ‘ngotot’??? Saya memang ngotot untuk
jadi orang yang Alkitabiah, Liauw!
B. B. Warfield:
“the
minutest occurrences are as directly controlled by Him as the greatest (Matt. 10:29-30,
Luke 12:7)”
[= Peristiwa-peristiwa / kejadian-kejadian yang terkecil dikontrol secara
langsung oleh Dia sama seperti peristiwa-peristiwa / kejadian-kejadian yang
terbesar (Mat 10:29-30, Luk 12:7)] - ‘Biblical and Theological
Studies’, hal 296.
Calvin:
“But
anyone who has been taught by Christ’s lips that all the hairs of his head are
numbered (Matt 10:30) will look farther afield for a cause, and will
consider that all events are governed by God’s secret plan” [= Tetapi setiap
orang yang telah diajar oleh bibir Kristus bahwa semua rambut kepalanya
terhitung (Mat 10:30) akan melihat lebih jauh untuk suatu penyebab, dan
akan menganggap bahwa semua kejadian diatur oleh rencana rahasia Allah] - ‘Institutes of the
Christian Religion’, Book I, Chapter XVI, no 2.
Calvin:
“...
it is certain that not one drop of rain falls without God’s sure command” (= ... adalah pasti bahwa tidak satu titik hujanpun yang jatuh
tanpa perintah yang pasti dari Allah) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVI, no
5.
Bdk. Yer 14:22 - “Adakah yang dapat menurunkan hujan di antara dewa
kesia-siaan bangsa-bangsa itu? Atau dapatkah langit sendiri memberi hujan
lebat? Bukankah hanya Engkau saja, ya TUHAN Allah kami, Pengharapan kami,
yang membuat semuanya itu?”. Bandingkan juga dengan Ayub 28:25-26
37:6,10-13
Maz 68:10 Maz 147:8 Amos 4:7 9:5a,6b
Zakh 10:1.
Dan dalam tafsirannya tentang kata-kata ‘jika
Allah menghendakinya’ dalam Kis 18:21, Calvin berkata: “we
do all confess that we be not able to stir one finger without his direction”
(= kita semua mengakui bahwa kita tidak bisa menggerakkan satu jari tanpa
pimpinanNya).
Calvin:
“A
certain man has abundant wine and grain. Since he cannot enjoy a single morsel
of bread apart from God’s continuing favor, his wine and granaries will not
hinder him from praying for his daily bread”
(= Seorang tertentu mempunyai anggur dan padi / gandum berlimpah-limpah. Karena
ia tidak bisa menikmati sepotong kecil rotipun terpisah dari kemurahan /
kebaikan hati yang terus menerus dari Allah, anggur dan lumbung-lumbungnya tidak
menghalangi dia untuk berdoa untuk roti hariannya) - ‘Institutes
of the Christian Religion’, Book III, Chapter XX, No 7.
Mengomentari Luk 22:60-61 Spurgeon berkata: “God
has all things in his hands, he has servants everywhere, and the cock shall
crow, by the secret movement of his providence, just when God wills; and there
is, perhaps, as much of divine ordination about the crowing of a cock as about
the ascending of an emperor to his throne. Things are only little and great
according to their bearings; and God reckoned not the crowing bird to be a small
thing, since it was to bring a wanderer back to his Saviour, for, just as the
cock crew, ‘The Lord turned, and looked upon Peter.’ That was a different
look from the one which the girl had given him, but that look broke his heart” [= Allah mempunyai / memegang segala sesuatu di tanganNya, Ia
mempunyai pelayan di mana-mana, dan ayam akan berkokok, oleh gerakan / dorongan
rahasia dari providensiaNya, persis pada saat Allah menghendakinya; dan di sana
mungkin ada pengaturan / penentuan ilahi yang sama banyaknya tentang berkokoknya
seekor ayam seperti tentang naiknya seorang kaisar ke tahtanya. Hal-hal hanya
kecil dan besar menurut hubungannya / sangkut pautnya / apa yang diakibatkannya;
dan Allah tidak menganggap berkokoknya burung / ayam sebagai hal yang kecil,
karena itu akan membawa orang yang menyimpang kembali kepada Juruselamatnya,
karena, persis pada saat ayam itu berkokok, ‘berpalinglah Tuhan memandang
Petrus’. Ini adalah pandangan yang berbeda dengan pandangan yang tadi telah
diberikan seorang perempuan kepadanya (Luk 22:56), tetapi pandangan itu
menghancurkan hatinya]
- ‘Spurgeon’s Expository
Encyclopedia’, vol 12, hal 20.
Kalau
saudara merasa heran mengapa hal-hal yang kecil / remeh itu juga ditetapkan oleh
Allah, seakan-akan Allah itu kekurangan kerjaan (bahasa Jawa: kengangguren),
maka ingatlah bahwa:
a)
Kedaulatan yang mutlak dari Allah tidak memungkinkan adanya hal yang
bagaimanapun kecil dan remehnya ada di luar Rencana Allah dan Providence
of God.
b)
Semua hal-hal di dunia / alam semesta ini berhubungan satu dengan yang
lain, sehingga hal kecil / remeh bisa menimbulkan hal yang besar!
Tentang kejatuhan
Ahazia dari kisi-kisi kamar atas dalam 2Raja 1:2, Pulpit Commentary memberikan
komentar sebagai berikut: “The
fainéant king came to his end in a manner: 1. Sufficiently simple. Idly
lounging at the projecting lattice window of his palace in Samaria - perhaps
leaning against it, and gazing from his elevating position on the fine prospect
that spreads itself around - his support suddenly gave way, and he was
precipitated to the ground, or courtyard, below. He is picked up, stunned, but
not dead, and carried to his couch. It is, in common speech, an accident - some
trivial neglect of a fastening - but it terminated this royal career. On such
slight contingencies does human life, the change of rulers, and often the course
of events in history, depend. We cannot sufficiently ponder that our
existence hangs by the finest thread, and that any trivial cause may at any
moment cut it short (Jas. 4:14). 2. Yet
providential. God’s providence is to be recognized in the time and manner of
this king’s removal. He had ‘provoked to anger the Lord God of Israel’
(1Kings 22:53), and God in this sudden way cut him off. This is the only
rational view of the providence of God, since, as we have seen, it is from the
most trivial events that the greatest results often spring. The whole can be
controlled only by the power that concerns itself with the details. A remarkable
illustration is afforded by the death of Ahaziah’s own father. Fearing
Micaiah’s prophecy, Ahab had disguised himself on the field of battle, and was
not known as the King of Israel. But he was not, therefore, to escape. A man in
the opposing ranks ‘drew a bow at a venture,’ and the arrow, winged with a
Divine mission, smote the king between the joints of his armour, and slew him
(1Kings 22:34). The same minute providence which guided that arrow now presided
over the circumstances of Ahaziah’s fall. There is in this doctrine, which is
also Christ’s (Matt. 10:29,30), comfort for the good, and warning for the
wicked. The good man acknowledges, ‘My times are in thy hand’ (Ps. 31:15),
and the wicked man should pause when he reflects that he cannot take his out of
that hand” [= Raja yang malas sampai pada akhir hidupnya dengan cara: 1. Cukup
sederhana. Duduk secara malas pada kisi-kisi jendela yang menonjol dari
istananya di Samaria - mungkin bersandar padanya, dan memandang dari posisinya
yang tinggi pada pemandangan yang indah di sekitarnya - sandarannya tiba-tiba
patah, dan ia jatuh ke tanah atau halaman di bawah. Ia diangkat, pingsan, tetapi
tidak mati, dan dibawa ke dipan / ranjangnya. Dalam pembicaraan umum itu disebut
suatu kecelakaan / kebetulan - suatu kelalaian yang remeh dalam pemasangan
(jendela / kisi-kisi) - tetapi itu mengakhiri karir kerajaannya. Pada hal-hal
kebetulan / tak tentu yang remeh seperti ini tergantung hidup manusia,
pergantian penguasa / raja, dan seringkali rangkaian dari peristiwa-peristiwa
dalam sejarah. Kita tidak bisa terlalu banyak dalam merenungkan bahwa
keberadaan kita tergantung pada benang yang paling tipis, dan bahwa setiap saat
sembarang penyebab yang remeh bisa memutuskannya (Yak 4:14). 2. Tetapi
bersifat providensia. Providensia ilahi / pelaksanaan rencana Allah harus
dikenali dalam waktu dan cara penyingkiran raja ini. Ia telah ‘menimbulkan
kemarahan / sakit hati Tuhan, Allah Israel’ (1Raja 22:54), dan Allah dengan
cara mendadak ini menyingkirkannya. Ini merupakan satu-satunya pandangan
rasionil tentang providensia Allah, karena, seperti telah kita lihat, adalah
dari peristiwa yang paling remehlah sering muncul akibat yang terbesar.
Seluruhnya bisa dikontrol hanya oleh kuasa yang memperhatikan hal-hal yang
kecil. Suatu ilustrasi yang hebat / luar biasa diberikan oleh kematian dari ayah
Ahazia sendiri. Karena takut pada nubuat Mikha, Ahab menyamar dalam medan
pertempuran, dan tidak dikenal sebagai raja Israel. Tetapi hal itu tidak
menyebabkannya lolos. Seseorang dari barisan lawan ‘menarik busurnya secara
untung-untungan / sembarangan’ dan anak panah itu, terbang dengan misi ilahi,
mengenai sang raja di antara sambungan baju zirahnya, dan membunuhnya (1Raja 22:34).
Providensia yang sama seksamanya, yang memimpin anak panah itu, sekarang
memimpin / menguasai situasi dan kondisi dari kejatuhan Ahazia. Dalam doktrin /
ajaran ini, yang juga merupakan ajaran Kristus (Mat 10:29-30), ada
penghiburan untuk orang baik / saleh, dan peringatan untuk orang jahat. Orang
baik mengakui: ‘Masa hidupku ada dalam tanganMu’ (Maz 31:16), dan orang
jahat harus berhenti ketika ia merenungkan bahwa ia tidak bisa mengambil masa
hidupnya dari tangan itu] - hal 13-14.
Catatan:
1Raja 22:53 dalam Kitab Suci Inggris adalah 1Raja 22:54 dalam Kitab Suci
Indonesia.
Lalu,
dalam tafsiran tentang 2Raja 5, dimana kata-kata yang sederhana dari
seorang gadis Israel ternyata bisa membawa kesembuhan bagi Naaman dari penyakit
kustanya, Pulpit Commentary mengatakan sebagai berikut: “The
dependence of the great upon the small. The recovery of this warrior resulted
from the word of this captive maid. Some persons admit the hand of God in what
they call great events! But what are the great events? ‘Great’ and
‘small’ are but relative terms. And even what we call ‘small’ often
sways and shapes the ‘great.’ One spark of fire may burn down all London”
(= Ketergantungan hal yang besar pada hal yang kecil. Kesembuhan dari pejuang
ini dihasilkan / diakibatkan dari kata-kata dari pelayan tawanan ini. Sebagian
orang mengakui tangan Allah dalam apa yang mereka sebut peristiwa besar! Tetapi
apakah peristiwa besar itu? ‘Besar’ dan ‘kecil’ hanyalah istilah yang
relatif. Dan bahkan apa yang kita sebut ‘kecil’ sering mempengaruhi dan
membentuk yang ‘besar’. Sebuah letikan api bisa membakar seluruh kota
London) - hal 110.
R.
C. Sproul: “For want of a nail the shoe was
lost; for want of the shoe the horse was lost; for want of the horse the rider
was lost; for want of the rider the battle was lost; for want of the battle the
war was lost” [= Karena kekurangan sebuah paku maka sebuah sepatu (kuda)
hilang; karena kekurangan sebuah sepatu (kuda) maka seekor kuda hilang; karena
kekurangan seekor kuda maka seorang penunggang kuda hilang; karena kekurangan
seorang penunggang kuda maka sebuah pertempuran hilang (kalah); karena
kekurangan sebuah pertempuran maka peperangan hilang (kalah)] - ‘Chosen
By God’, hal 155.
Jadi,
melalui illustrasi ini terlihat dengan jelas bahwa sebuah paku, yang merupakan
hal yang remeh / kecil, ternyata bisa menimbulkan kekalahan dalam peperangan,
yang jelas merupakan hal yang sangat besar! Karena itu jangan heran kalau
hal-hal yang kecil / remeh juga ditetapkan / direncanakan oleh Allah.
Illustrasi
lain: saya
pernah menonton film rekonstruksi suatu pembunuhan sebagai berikut: seorang
pembunuh melakukan pembunuhan berencana dengan rencana yang begitu matang
sehingga hampir-hampir tidak terbongkar. Terbongkarnya pembunuhan itu hanya
karena ‘suatu kesalahan remeh’, yaitu dimana setelah membunuh korbannya, si
pembunuh menyisir rambut palsu / wignya di kamar tempat ia melakukan pembunuhan,
dan lalu meninggalkannya di sana. Ternyata satu helai rambut palsunya rontok,
dan tertinggal di kamar, dan gara-gara satu helai rambut itu, akhirnya
pembunuhannya terungkap, dan ia tertangkap. Film itu diberi judul ‘Beaten
by a Hair’ (= dikalahkan oleh sehelai rambut). Anda masih menganggap bahwa
rontoknya sehelai rambut merupakan sesuatu yang remeh, dan karena itu tidak
mungkin Allah menentukan hal seperti itu? Ingat bahwa yang remeh bisa
menimbulkan akibat yang besar. Jadi, kalau yang remeh bisa terjadi di luar
kehendak / pengaturan Allah, maka yang besar juga bisa.
Mereka bersikukuh mengatakan bahwa Allah menentukan segala tindakan dan pikiran manusia. Mereka bahkan bangga dengan doktrin yang mengajarkan bahwa Allah menentukan Adam untuk berdosa!
Tanggapan
saya:
1)
Saya memang percaya bahwa Allah menentukan Adam untuk jatuh ke dalam
dosa. Kalau Allah tidak menentukan demikian, lalu bagaimana? Anda percaya Allah
menentukan Adam tidak jatuh? Kalau demikian, pada waktu Adam jatuh, rencana
Allah gagal! Ini bertentangan dengan Ayub 42:1-2 - “(1) Maka jawab Ayub
kepada TUHAN: (2) ‘Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu,
dan tidak ada rencanaMu yang gagal”.
Kemungkinan lain, anda mengatakan bahwa Allah tak punya
rencana tentang Adam (jatuh atau tidak). Kalau untuk hal sebesar itu Allah tak
punya rencana, lalu Ia punya rencana dalam hal apa? Padahal untuk hal kecil
seperti burung pipit mati / rambut rontok, Ia punya rencana. Tidakkah itu aneh,
Liauw?
2)
Anda memberikan kata ‘bangga’! Dari mana menyimpulkan fitnahan itu,
Liauw? Kami memang mengajarkan itu, karena itu adalah kebenaran. Tetapi
‘dengan bangga’? Dari mana, Liauw? Jangan menambahi ajaran kami dengan
kata-kata busuk anda, Liauw!
Jika Kalvinisme itu konsisten, maka mereka harus juga mengajarkan bahwa Allah bertanggung jawab atas segala tindakan itu, dan bahwa Allah bertanggung jawab atas dosa. Jangankan mengendalikan seluruh dan setiap detil kehidupan seseorang, membuat kebijaksanaan yang mempengaruhi orang lain saja harus bertanggung jawab. Jika saya sebagai dosen membuat keputusan bahwa mahasiswa saya tidak boleh ada yang membaca buku, maka saya harus bertanggung jawab ketika mahasiswa saya semuanya tidak lulus. Ini barulah suatu kebijaksanaan umum. Betapa besarnya lagi tanggung jawab seorang dosen yang punya kuasa untuk membuat mahasiswanya rajin atau malas, yang dapat mengatur bagaimana mereka menghabiskan setiap waktu mereka, yang dapat menentukan setiap langkah mereka, yang dapat mengontrol setiap pilihan dan kemauan mereka!
Manusia yang memiliki akal sehat tidak dapat menerima alasan seorang pengendara mobil yang menabrak mati pejalan kaki, yang lalu menyalahkan mobilnya. Memang mobil itulah yang menabrak, bukan tubuh si pengendara, tetapi mobil itu dikendalikan setiap gerakannya oleh sang pengendara. Semua orang tahu, bahwa oknum yang mengendalikan, mengontrol, dan menetapkan adalah yang harus bertanggung jawab. Hakim yang masih waras tidak mungkin menyalahkan mobilnya, melainkan pengontrol mobil. Ah, Kalvinis tersenyum di sini! “Analogi anda salah total,” kata mereka, “karena mobil benda mati yang tidak berkehendak, sedangkan manusia itu hidup dan berkehendak. Bahkan dosa itu dilakukan dengan senang hati oleh manusia dengan bebasnya!”
Tetapi sekali lagi kita perlu mengkaji, bagaimanakah bisa dikatakan bahwa manusia melakukan itu dengan bebas, jika dia tidak bisa melakukan yang lain? Bagaimanakah itu bisa dikatakan bebas jika sudah ditentukan? Ini adalah kontradiksi. Mengenai bahwa manusia melakukan dosa dengan senang hati, kita perlu mengingatkan Kalvinis, bahwa menurut doktrin mereka, itupun telah ditetapkan oleh Allah. Jika Allah menetapkan segala sesuatu, maka Allah menetapkan manusia untuk melakukan dosa, dan untuk melakukan dosa itu dengan senang hati. Kalvinis mengajarkan bahwa hati manusia senang akan dosa karena sudah bobrok total. Tetapi mengapakah manusia bobrok total? Karena ia sejak awal jatuh ke dalam dosa. Tetapi mengapakah ia jatuh ke dalam dosa? Karena Allah menentukannya. Oleh karena itu, Kalvinis tidak bisa mengajarkan bahwa Allah menentukan segala sesuatu, sekaligus membebaskan Allah dari tanggung jawab terhadap dosa. Hal tersebut adalah kontradiksi.
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
pakai logika, tetapi tanpa Alkitab! Mana argumentasi Alkitabiah anda? Sampai
saat ini saya tidak melihatnya!
Manusia
yang berbuat, jadi manusia yang bertanggung jawab. Ini sudah saya jelas di atas
(berkenaan dengan free will dsb), jadi tak perlu saya ulang lagi. Anda cuma
berbelit-belit dalam menggunakan logika anda, tetapi tanpa dasar Alkitab. Dalam
buku saya, saya mungkin menggunakan ratusan ayat, apakah ada yang anda jawab?
Coba jelaskan dan jawab ayat-ayat yang saya gunakan. Kalau anda bisa, saya akan
ikut ajaran anda!
Kita telah melihat di atas, bahwa segala sesuatu memiliki konsekuensi. Kalvinisme, yang mengajukan premis dasar bahwa Allah menentukan segala sesuatu, juga tidak terlepas dari hukum sebab-akibat ini. Mereka tidak bisa berkata: “Karena kami Kalvinis, kami tidak perlu menerima konsekuensi logis dari premis dasar kami.”
Namun demikian, mayoritas Kalvinis menolak konsekuensi logis dari kepercayaan mereka sendiri. Mereka tetap mempertahankan bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, segala tindakan dan pikiran manusia, namun tidak mau mengakui bahwa dengan demikian manusia tidak bebas. Mereka kekeh (?) bahwa manusia bebas, walaupun segala sesuatu tentang manusia telah ditentukan sebelumnya. Lebih lanjut lagi, Kalvinis tetap mempersalahkan manusia, walaupun manusia itu hanyalah melakukan apa yang ditetapkan. Budi Asali, misalnya, mengatakan: “Pada waktu manusia berbuat dosa, ia tetap bertanggung jawab terhadap Allah akan dosanya itu, artinya ia tetap akan dihukum karena dosanya itu…… Karena itu jangan sembarangan berbuat dosa, apalagi dengan alasan bahwa dosa itu sudah ditentukan oleh Allah!”
Tanggapan
saya:
1) Itu ajaran Alkitab,
yang dipercaya oleh para Calvinist. Mau salahkan Alkitab?
2)
Anda menentang doktrin Calvinisme bahwa orang kristen yang sejati tidak
bisa kehilangan keselamatannya, bukan? Anda berpendapat bahwa orang kristen yang
sejati bisa saja jatuh dalam dosa, mundur dari Tuhan, sehingga akhirnya binasa /
masuk neraka. Benar bukan? Sekarang, konsekwensi logis dari ajaran anda, adalah:
kalau begitu, supaya tetap selamat, orang Kristen itu harus mati-matian berusaha
menghindari dosa. Bukankah ini menunjukkan bahwa anda percaya keselamatan karena
iman + perbuatan baik?? Ini konsekwensi logis, tetapi saya tahu anda tidak
mungkin menerimanya.
Contoh lain: anda percaya Allah menciptakan neraka, bukan?
Dan neraka harus ada isinya bukan? Lalu Allah menciptakan orang-orang yang Ia
tahu akan masuk neraka selama-lamanya. Konsekwensi logis: Allah itu tidak kasih!
Tetapi anda menolak konsekwensi logis ini, bukan?
Lalu, mengapa menyalahkan kami, kalau tidak menerima
konsekwensi logis anda?
Jadi, Kalvinis mengajarkan bahwa manusia akan dihukum karena melakukan sesuatu yang Allah tentukan! Ini hanya logis dalam dunia Kalvinis. Dalam dunia nyata, ini sama sekali tidak logis. Seorang Jenderal yang baik tidak akan menghukum prajurit bawahannya yang hanya menjalankan instruksi Jenderal itu sendiri, tidak peduli apakah prajurit itu senang atau tidak senang ketika melakukan perintah itu. Anda ada di dunia nyata atau di dunia imajiner Kalvinis?
Tanggapan
saya:
Contoh
yang bodoh, Liauw! Kalau jendral itu menginstruksikan, tentu tentara tak salah.
Tetapi kami hanya percaya Allah menentukan, bukan memerintahkan /
menginstruksikan orang untuk berbuat dosa! Jangan ngawur kalau membuat contoh,
Arminian!
Saya
bosan dengan logika anda yang tidak Alkitabiah, Arminian!
Coba kita ambil kasus kejatuhan Adam ke dalam dosa. Kita telah mengutip tokoh-tokoh Kalvinis yang menegaskan bahwa adalah ketentuan Allah agar Adam jatuh ke dalam dosa. Dalam tarikan nafas yang sama, para Kalvinis mengatakan bahwa Adam, dan juga segala anak cucu Adam, harus bertanggung jawab atas dosa Adam tersebut! Apakah anda bisa melihat keanehan di sini?
Tanggapan
saya:
Jangan
sengaja membuat ruwet dengan mencampur-adukkan penetapan Allah dengan doktrin
dosa asal. Anda percaya dosa asal, bukan? Kalau percaya, jangan ributkan di
sini. Kalau tidak percaya, mari kita debatkan di tempat lain. Tetapi yang
dipersoalkan di sini adalah penetapan dosa, bukan dosa asal.
Supaya Adam tidak dihukum, artinya dia harus tidak boleh jatuh ke dalam dosa! Sedangkan Allah menentukan supaya Adam berdosa. Artinya, supaya Adam tidak dihukum, dia harus melawan keputusan Allah (yang tidak bisa dilawan). STOP! Sebentar dulu, bukannya justru orang yang melawan keputusan Allah itu yang dihukum? Tetapi kalau Adam mengikuti keputusan Allah, dia jatuh dalam dosa, dan dia harus dihukum! Kalau Adam tidak mengikuti keputusan Allah, bukankah itu melawan Allah juga? Dan bukankah itu dosa juga? Artinya, mengikuti keputusan Allah atau tidak mengikuti keputusan Allah, Adam harus kena hukum. Tetapi kita harus ingat bahwa ini hipotetis, karena menurut Kalvinis, sebenarnya Adam tidak bisa tidak melakukan keputusan Allah. Jadi, pada intinya, Allah sudah menetapkan Adam dan seluruh manusia untuk dihukum. Dosa hanyalah cara Tuhan membenarkan hukuman tersebut!
Tanggapan
saya:
Bandingkan
kata-kata anda dengan ayat ini, Liauw!
Ro
9:19-21 - “(19) Sekarang kamu akan berkata kepadaku: ‘Jika demikian, apa
lagi yang masih disalahkanNya? Sebab siapa yang menentang kehendakNya?’ (20)
Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk
berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau membentuk aku
demikian?’ (21) Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya,
untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang
mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?”.
Bukan hanya itu saja, premis Kalvinis bahwa Allah menetapkan segala sesuatu juga menciderai pribadi Allah sendiri. Allah jelas-jelas menyuruh Adam untuk tidak makan buah terlarang di tengah taman Eden tersebut (Kej. 2:16-17). Namun Kalvinis ingin meyakinkan kita, bahwa Allah menentukan Adam untuk melanggar perintahNya sendiri. Tidak berhenti sampai di sana, lalu Allah menghukum dan menyalahkan Adam karena telah melaksanakan apa yang Allah tetapkan dalam dekrit yang tak dapat Adam lawan. Kalau hal yang sama dilakukan oleh manusia, kita semua tidak akan ragu-ragu untuk memvonisnya sebagai pribadi yang sangat licik dan jahat. Apakah itu Allah yang anda percayai? Saya katakan bahwa Allah dalam Alkitab tidak berlaku seperti itu! Oleh karena itulah saya katakan bahwa “allah” Kalvinis berbeda dengan Allah saya. Dan oleh sebab itu pulalah saya katakan bahwa Kalvinisme adalah serangan terhadap pribadi Allah itu sendiri!
Tanggapan
saya:
Sekarang
mari kita bicarakan orang-orang lain, misalnya Yudas Iskariot. Luk 22:22 di
atas, sudah jelas menunjukkan bahwa pengkhianatan yang ia lakukan terhadap Yesus
sudah ditetapkan oleh Allah. Tetapi bagaimana perintah Allah kepada Yudas
Iskariot? Harus mengasihi Tuhan, bukan? Jadi, ada pertentangan juga, Liauw?
Bagaimana anda menjelaskan ini?
Lalu
Luk 22:22 itu mengatakan celakalah ia. Jadi, Alkitab jelas mengajarkan bahwa
sekalipun dosa Yudas Iskariot itu sudah ditetapkan dan pasti akan terjadi tetapi
pada saat dosa itu terjadi, ia dipersalahkan. Kalau semua ini bisa berlaku untuk
dosa Yudas Iskariot, mengapa tidak bisa berlaku untuk Adam?
Dalam
kasus Yudas Iskariot, apakah anda menganggap Allah kejam? Atau anda punya jalan
/ cara untuk menjelaskan Luk 22:22 itu? Coba jelaskan, saya tantang anda!
Sekarang
tentang kata-kata anda ‘Kalau
hal yang sama dilakukan oleh manusia, kita semua tidak akan ragu-ragu untuk
memvonisnya sebagai pribadi yang sangat licik dan jahat’.
Ada beberapa hal yang perlu saya berikan sebagai jawaban:
a)
Manusia tidak mungkin bisa melakukan penetapan seperti yang Allah
lakukan. Jadi, tidak mungkin bisa dianalogikan seperti itu.
b)
Kalau manusia salah pada waktu melakukan X, Allah belum tentu salah pada
waktu melakukan X. Contoh: manusia salah kalau membunuh. Allah membunuh ribuan
orang tiap hari, tetapi Ia tidak salah! Anda mau menyamakan manusia dengan
Allah, Liauw?
Tetapi, apakah Kalvinis mau mengikuti aturan logika dalam hal ini? Jawabannya adalah tidak. Mayoritas Kalvinis tidak mau menerima konsekuensi bahwa premis dasar mereka membuat manusia menjadi robot-robot canggih (yang punya kesadaran diri, bahkan yang merasa melakukan tindakan itu atas “kehendaknya” dan “kemauannya” sendiri, tetapi yang sebenarnya telah ditentukan segala-galanya, termasuk “kehendak” dan “kemauan” tersebut). Kalvinis tidak mau mengakui bahwa ajaran mereka membuat manusia lepas dari tanggung jawab dosa. Justru, teman-teman mereka yang mau menerima konsekuensi Kalvinisme, mereka cap sebagai “Hyper” Kalvinis. Sebenarnya, Hyper-Calvinist hanyalah orang-orang yang secara konsisten menerapkan premis dasar Kalvinisme bahwa Allah menetapkan segala sesuatu.
Tanggapan
saya:
Saya
tidak heran kalau anda mengatakan hyper-Calvinist sebagai konsisten. Memang cara
berpikir orang Arminian dan orang yang hyper-Calvinist adalah sama (sama
bodohnya maupum tidak Alkitabiahnya). Keduanya menganggap bahwa kedaulatan Allah
/ penetapan Allah bertentangan dengan tanggung jawab manusia. Karena itu, mereka
beranggapan salah satu harus dibuang. Bedanya, Arminian membuang kedaulatan
Allah / penetapan Allah, sedangkan hyper-Calvinist membuang tanggung jawab
manusia.
Edwin H. Palmer:
“Hyper-Calvinism.
Diametrically opposite to the Arminian is the hyper-Calvinist. He looks at both
sets of facts - the sovereignty of God and the freedom of man - and, like the
Arminian, says he cannot reconcile the two apparently contradictory forces. Like
the Arminian, he solves the problem in a rationalistic way by denying one
side of the problem. Whereas the Arminian denies the sovereignty of God, the
hyper-Calvinist denies the responsibility of man. He sees the clear Biblical
statements concerning God’s foreordination and holds firmly to that. But being
logically unable to reconcile it with man’s responsibility, he denies the
latter. Thus the Arminian and the hyper-Calvinist, although poles apart, are
really very close together in their rationalism” (= Hyper-Calvinisme. Bertentangan frontal dengan orang Arminian
adalah orang yang hyper-Calvinist. Ia melihat pada kedua fakta - kedaulatan
Allah dan kebebasan manusia - dan, seperti orang Arminian, ia mengatakan
bahwa ia tidak dapat mendamaikan kedua kekuatan yang tampaknya bertentangan itu.
Seperti orang Arminian, ia memecahkan problem itu dengan cara yang logis
dengan menyangkal satu sisi dari problem itu. Sementara orang Arminian
menyangkal kedaulatan Allah, maka penganut Hyper-Calvinisme meninggalkan fakta
tanggung jawab manusia. Ia melihat pernyataan yang jelas dari Alkitab mengenai
penentuan lebih dulu dari Allah dan memegang hal itu dengan teguh. Tetapi karena
tidak mampu mendamaikannya secara logis dengan tanggung jawab manusia, ia
menyangkal tanggung jawab manusia itu. Jadi orang Arminian dan orang
hyper-Calvinist, sekalipun merupakan kutub-kutub yang bertentangan, sebetulnya
sangat dekat dalam cara berpikirnya) - ‘The Five Points of
Calvinism’, hal 84.
Tetapi
Calvinist yang sejati, hanya melihat bahwa Alkitab dengan jelas mengajarkan
keduanya, dan karena itu kami menerima keduanya!
Lalu apa jawab mereka terhadap ketidakkonsistenan logis yang muncul? Asali mewakili para Kalvinis dengan jawaban: “Terus terang, tidak ada orang yang bisa mengharmoniskan 2 hal yang kelihatannya bertentangan ini.” Asali bukan satu-satunya Kalvinis yang melarikan diri dari logika dengan cara demikian. Spurgeon berkata, “Bagaimana dua hal ini bisa benar saya tidak bisa mengatakan….Saya tidak yakin bahwa di surga kita akan bisa mengetahui dimana tindakan bebas manusia dan kedaulatan Allah bertemu, tetapi keduanya adalah kebenaran yang besar. Allah telah mempredestinasikan segala sesuatu tetapi manusia bertanggungjawab.” Jadi, Spurgeon berkata bahwa bahkan di Surga pun mungkin kita tidak akan bisa menjelaskan kontradiksi antara kebebasan manusia dan kedaulatan Allah! Apakah tidak lebih baik untuk berkesimpulan bahwa justru konsep kedaulatan Allah Kalvinislah yang salah? Perlukah kita ngotot sedemikian rupa hanya untuk mempertahankan suatu filosofi?
Tanggapan
saya:
Saya
melarikan diri dari logika? OK, tetapi anda melarikan diri dari Firman Tuhan /
Alkitab. Yang mana yang lebih buruk, Liauw? Saya tidak merasa malu untuk disebut
sebagai ‘lari dari logika’ apalagi kalau itu adalah logika bodoh dari anda!
Tetapi bagaimana kalau anda lari dari Alkitab? Dari awal anda belum menggunakan
Alkitab, untuk ‘argumentasi Alkitabiah’ anda, Liauw! Dalam menjawab buku
saya, anda juga tidak menjawab ayat-ayat Alkitab yang sangat banyak saya
berikan. Saya yakin anda tak bisa menjawab sampai kapanpun! Bisa tidak malu
kalau lari dari Alkitab, Liauw? Kalau bisa, ya memang tidak tahu malu!
Sekarang
saya bahas kata-kata bagian akhir dari kutipan dari anda di atas. Anda
mengatakan: ‘Apakah
tidak lebih baik untuk berkesimpulan bahwa justru konsep kedaulatan Allah
Kalvinislah yang salah? Perlukah kita ngotot sedemikian rupa hanya untuk
mempertahankan suatu filosofi?’.
Mempertahankan filosofi? Kami mempertahankan Alkitab / Firman Tuhan, Liauw!
Kalau
kami membuang ajaran Calvinisme, mohon petunjukmu, tuan Arminian, bagaimana
kira-kira kami harus menafsirkan ayat di bawah ini?
Mat
10:29-30 - “(29) Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun
seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. (30)
Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya”.
Kis 2:23 - “Dia
yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan
kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kis
4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini
Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel
melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan
segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
Charles Hodge:
“The
crucifixion of Christ was beyond doubt foreordained of God. It was, however, the
greatest crime ever committed. It is therefore beyond all doubt the doctrine of
the Bible that sin is foreordained”
(= Penyaliban Kristus tidak diragukan lagi ditentukan lebih dulu oleh Allah.
Tetapi itu adalah tindakan kriminal terbesar yang pernah dilakukan. Karena itu
tidak perlu diragukan lagi bahwa dosa ditentukan lebih dulu merupakan doktrin /
ajaran dari Alkitab) - ‘Systematic Theology’,
vol I, hal 544.
Charles Hodge:
“it
is utterly irrational to contend that God cannot foreordain sin, if He
foreordained (as no Christian doubts) the crucifixion of Christ” [= adalah sama
sekali tidak rasionil untuk berpendapat bahwa Allah tidak bisa menentukan dosa,
jika Ia menentukan (seperti yang tidak ada orang kristen yang meragukan)
penyaliban Kristus]
- ‘Systematic Theology’, vol I,
hal 547.
Jika sedang mengargumentasikan poin-poin mereka, Kalvinis senang sekali menggunakan logika. Bahkan mereka menuntut bahwa kita, non-Kalvinis, harus mengikuti alur logika yang mereka sampaikan.
Tanggapan
saya:
Hehehe,
lucu sekali. Bukankah dari tadi anda yang menggunakan logika terus menerus, dan
memaksa kami mengikuti logika tolol anda? Dari tadi saya yang menggunakan
Alkitab, Liauw!
Sebagai contoh, ketika sedang mengargumentasikan bahwa kemahatahuan Allah berarti manusia tidak memiliki pilihan, Boettner berkata: “Kecuali Arminianisme menyangkal pengetahuan lebih dulu dari Allah, ia tidak mempunyai pertahanan di depan kekonsistenan yang logis dari Calvinisme; karena pengetahuan lebih dulu secara tidak langsung menunjuk pada kepastian, dan kepastian secara tidak langsung menunjuk pada penetapan lebih dulu.”,
Saya menekankan frase “kekonsistenan yang logis dari Calvinisme.” Kalau begitu, Boettner, mengapa tidak melanjutkan logika yang konsisten itu dan menyimpulkan bahwa kalau segala sesuatu sudah ditentukan Allah secara pasti, maka manusia tidak bebas? Mengapa tidak menggunakan logika yang telah diberikan Tuhan dan menyimpulkan bahwa jika manusia ditentukan untuk berdosa, maka berarti manusia tidak perlu dihukum, karena ia sekedar melakukan dekrit Tuhan? Di manakah kekonsistenan yang logis dari Calvinisme itu saat berhadapan dengan konsekuensi dari pengajaran mereka sendiri?
Tanggapan
saya:
1)
Coba jawab argumentasi Loraine Boettner itu, dan jangan lari ke hal
selanjutnya (tentang manusia tidak bebas).
2)
Calvinisme memang mengajar bahwa manusia tidak bebas, selama ‘bebas’
itu dimaksudkan seperti yang Arminianisme maksudkan. Saya sudah jelaskan itu,
bukan? Kalau Calvinisme mengajar bahwa Allah menetukan segala sesuatu, lalu
Calvinisme juga mengajar bahwa manusia itu bebas, dengan kebebasan seperti yang
diajarkan oleh Arminianisme, maka itu memang kontradiksi. Tetapi Calvinisme
tidak mengajar demikian. Allah menentukan segala sesuatu, dan karena itu manusia
pasti akan melakukan apapun yang Allah tentukan. Lalu apanya yang tidak
konsisten? Jangan lupa bahwa kami mendefinisikan kata ‘bebas’ dengan cara
yang berbeda dengan kalian, tuan Arminian! Dan itu sebabnya tidak ada
kontradiksi dalam persoalan ini!
Mereka begitu ngotot dengan logika di satu sisi, tetapi ketika pengajaran mereka tidak konsisten, mereka mencari perlindungan di balik “misteri,” “rahasia Allah yang tidak dapat diselami,” “dua hal yang tidak dapat dijelaskan,” “dua hal yang nampak bertentangan tetapi pasti ada penjelasannya,” atau bahkan “dua hal yang bahkan di Surga pun belum tentu bisa kita jelaskan”! Bukankah semua ini adalah pengakuan bahwa pengajaran mereka tidak konsisten, tetapi mereka tidak mau menerimanya?
Tanggapan
saya:
Alkitab
yang mengajar seperti itu, dan Alkitab tidak pernah mengharmoniskannya, maka
kami juga melakukan hal yang sama. Kami mengajar, sekalipun tidak
mengharmoniskannya.
Contoh
lain, Liauw!
Fil
2:12-13 - “(12) Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat;
karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan
saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku
tidak hadir, (13) karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan
maupun pekerjaan menurut kerelaanNya”.
Ay
12 menekankan tanggung jawab manusia, tetapi ay 13 (khususnya perhatikan
kata-kata ‘menurut kerelaanNya’) menekankan kedaulatan Allah.
A. T. Robertson mengatakan: “Paul
makes no attempt to reconcile divine sovereignty and human free agency, but
boldly proclaim both” (= Paulus tidak berusaha untuk mendamaikan kedaulatan ilahi dan
kebebasan manusia, tapi dengan berani memberitakan keduanya).
Hal
yang sama terjadi dalam Ro 9:19-21 yang sudah saya berikan di depan. Demikian
juga dengan Luk 22:22 dan sebagainya.
Loraine Boettner:
“But
while the Bible repeatedly teaches that this providential control is universal,
powerful, wise, and holy, it nowhere attempts to inform us how it is to be
reconciled with man’s free agency”
(= Tetapi sementara Alkitab berulangkali mengajar bahwa pengua-saan providensia
ini bersifat universal, berkuasa, bijaksana, dan suci, Alkitab tidak pernah
berusaha untuk memberi informasi kepada kita tentang bagaimana hal itu bisa
diperdamaikan / diharmoniskan dengan kebebasan manusia)
- ‘The Reformed Doctrine of
Predestination’, hal 38.
Kalau ini disebut lari dari logika, terserah. Tetapi kalau saya, saya lebih baik lari dari logika, khususnya dari logika bodoh anda, dari pada lari dari Alkitab / Firman Tuhan! Kalau anda bagaimana, Liauw? Kalau anda setuju dengan saya dalam hal ini, jelaskan ayat-ayat yang saya berikan dalam buku saya
Mungkin ada Kalvinis yang akan berkata: “Mungkin tidak masuk logika kita,
tetapi ALLAH BISA membuat manusia yang sudah ditentukan segala-galanya, tetapi
yang sekaligus bebas. Apakah anda tidak percaya bahwa ALLAH BISA melakukan
itu?”
Tanggapan
saya:
‘Bebas’nya
Calvinisme berbeda arti dengan ‘bebas’nya Arminian, bodoh! Seandainya sama,
kami memang gila! Tetapi faktanya, kita menggunakan istilah itu dalam arti yang
berbeda!
Pertanyaan semacam ini mengingatkan saya akan pertanyaan-pertanyaan jebakan ala atheis. Atheis tidak percaya bahwa ada Allah yang mahakuasa, sehingga mereka sering menantang dengan pertanyaan, seperti: Jika Allah mahakuasa, bisakah Allah menciptakan batu yang begitu besar sehingga Ia sendiri tidak bisa angkat? Tentu ini pertanyaan jebakan. Jawabannya adalah: Allah bisa membuat batu seperti apapun, dan Dia bisa mengangkat semua batu itu. Batu yang begitu besar sehingga tidak dapat Allah angkat, tidak bisa eksis bahkan dalam lingkup probabilitas sekalipun. Atau ada pertanyaan jebakan lagi yang seperti ini: Jika Allah mahakuasa, bisakah Ia menciptakan sebuah segitiga yang bersisi empat? Tentu ini adalah pertanyaan jebakan juga. Ini tidak ada hubungannya dengan “kuasa” tetapi dengan definisi. Sebuah segitiga yang bersisi empat adalah sesuatu yang sudah bertentangan dengan definisi dirinya, jadi tidak mungkin eksis bahkan dalam lingkup probabilitas sekalipun. Demikian juga dengan pertanyaan: Bukankah Allah bisa menciptakan manusia yang tidak bebas (ditentukan segalanya) yang memiliki sifat bebas? Saya bukan meragukan kemampuan Tuhan. Tetapi, sama seperti pertanyaan-pertanyaan jebakan di atas, ini bukan masalah kuasa. Ini masalah definisi. Makhluk yang “tidak bebas sekaligus bebas” tidak eksis secara definisi bahkan dalam lingkup probabilitas sekalipun. Ia mirip dengan segitiga yang bersisi empat.
Tanggapan
saya:
Tak
usah lari ke pertanyaan-pertanyaan konyol itu, Liauw. Jawaban saya seperti di
atas. Definisi kita berbeda tentang kata ‘bebas’ itu. Coba
jelaskan bahwa definisi kami tentang kata ‘bebas’ itu tetap bertentangan
dengan penentuan Allah!
Kadang-kadang orang Kalvinis, demi menyelamatkan doktrin mereka yang bahkan
mereka akui sendiri tidak harmonis (tidak konsisten), mencoba untuk mengatakan
bahwa ada banyak doktrin Alkitab lain yang juga tidak harmonis. Saya akan
mengutip lagi Asali sebagai representatif dari Kalvinis. Untuk membela
ketidakharmonisan doktrin kedaulatan Allah versi Kalvinis, Asali mengatakan:
“Dalam hal yang lain, kita juga melihat hal yang sama. Misalnya: kita percaya
bahwa Allah itu mahakasih dan mahatahu. Tetapi kita juga percaya bahwa Allah
menciptakan neraka dan orang tertentu yang Ia tahu bakal masuk ke neraka. Kalau
memang Ia mahakasih dan mahatahu, mengapa Ia tidak hanya menciptakan orang yang
akan masuk ke surga? Saya yakin tidak ada orang yang bisa mengharmoniskan 2 hal
itu, termasuk orang Arminian, tetapi toh semua orang kristen percaya dan
mengajarkan ke 2 hal itu, karena Kitab Suci memang jelas mengajarkan kedua hal
itu. Lalu mengapa dalam hal doktrin ini kita tidak mau bersikap sama?”
Tanggapan
saya:
Bagaimana
kalau jangan teruskan kata-kata anda di bawah, tetapi dahulukan untuk menjawab
kata-kata saya di atas? Bisakah anda jawab? Anda menghindar, bukan demikian,
Liauw? Anda memang, seperti saya katakan dalam kata-kata saya yang anda kutip di
atas, mempunyai ketidak-konsistenan, yang tetap anda terima. Tetapi
ketidak-konsistenan yang ini, anda tak mau terima. Apakah itu konsisten, Liauw?
Walaupun Asali mungkin tidak senang dengan kesimpulan saya ini, tetapi pada intinya dia seolah ingin mengatakan: “banyak kok doktrin Alkitab yang tidak harmonis (tidak ada orang yang bisa harmoniskan). Jadi kalau Kalvinisme tidak harmonis, tidak apa-apa!” Tetapi benarkah banyak doktrin dalam Alkitab tidak harmonis? Saya menolak hal semacam itu! Alkitab adalah kitab yang paling konsisten dan harmonis!
Tanggapan
saya:
Bagus
sekali. Kalau begitu, jelaskan ketidak-konsistenan yang saya bicarakan di atas!
Untuk jelasnya, saya kutip ulang kata-kata saya yang di atas telah anda kutip.
“Dalam
hal yang lain, kita juga melihat hal yang sama. Misalnya: kita percaya bahwa
Allah itu mahakasih dan mahatahu. Tetapi kita juga percaya bahwa Allah
menciptakan neraka dan orang tertentu yang Ia tahu bakal masuk ke neraka. Kalau
memang Ia mahakasih dan mahatahu, mengapa Ia tidak hanya menciptakan orang yang
akan masuk ke surga? Saya yakin tidak ada orang yang bisa mengharmoniskan 2 hal
itu, termasuk orang Arminian, tetapi toh semua orang kristen percaya dan
mengajarkan ke 2 hal itu, karena Kitab Suci memang jelas mengajarkan kedua hal
itu. Lalu mengapa dalam hal doktrin ini kita tidak mau bersikap sama?”
Sekarang,
tolong jelaskan apa yang saya anggap ‘tidak konsisten’ ini! Anda cuma
berkata ‘Tetapi benarkah
banyak doktrin dalam Alkitab tidak harmonis? Saya menolak hal semacam itu!
Alkitab adalah kitab yang paling konsisten dan harmonis!’.
Tetapi anda tidak memberi pengharmonisannya? Anda cuma bermulut besar, tetapi
berkepala kosong, Liauw!
Saya bisa mengerti, mengapa Asali merasa sulit untuk mengharmoniskan kemahatahuan Allah dengan sifatNya yang mahakasih. Karena kedua hal ini memang tidak konsisten jika dilihat dari sudut Kalvinisme! Allah sudah tahu banyak orang akan masuk neraka. Tapi Kalvinis mengatakan bahwa Allah tahu karena Allah menentukan. Jadi, “allah” Kalvinis menentukan manusia masuk neraka! Memang sulit untuk melihat bagaimana “allah” yang demikian bisa mahakasih. Seharusnya, Asali dan Kalvinis lainnya tidak mencoba menggunakan poin ini untuk mendukung ketidakkonsistenan mereka dalam hal kedaulatan Allah. Seharusnya mereka melihat kontradiksi ini sebagai bukti lain bahwa Kalvinisme memang tidak adekuat untuk menggambarkan realita Alkitab.
Tanggapan
saya:
Anda
lari, Liauw! Anda tidak menjelaskan! Anda lari ke ajaran Calvinisme, padahal
yang dipersoalkan di sini adalah ajaran Arminianisme. Saya tidak mau anda lari.
Jelaskan ajaran Arminianisme yang saya serang ketidak-konsistenannya!
‘Allah’ Arminianisme memang tidak menentukan manusia masuk neraka tetapi Ia
menciptakan neraka dan orang-orang yang Ia tahu akan masuk neraka! Bagaimana
‘Allah’ yang seperti itu bisa disebut maha kasih? Jawab ini, Liauw! Kami
menjawab serangan terhadap ‘ketidak-konsistenan’ kami dengan menunjukkan
bahwa kalau ada orang-orang yang menolak Calvinisme dan menerima Arminianisme,
maka mereka juga mendapatkan ketidak-konsistenan yang sama!
Jika kita tilik lebih lanjut, perbandingan antara kedua hal ini pun sebenarnya tidak setara. Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa Allah itu kasih (1 Yoh. 4:6), dan bahwa Allah mahatahu (Maz. 139 misalnya), dan bahwa ada neraka (Wahyu 20:14-15). Tetapi, tidak ada satu ayatpun yang mengajarkan bahwa “Allah menentukan segala sesuatu sejak kekekalan dalam dekrit-dekrit rahasia.”
Tanggapan
saya:
Anda
pendusta, Liauw! Anda sudah membaca buku saya, dan dalam buku saya ada sangat
banyak ayat yang menunjukkan hal itu. Mengapa tak menunjukkan ayat-ayat itu di
sini dan membahasnya, dari pada mengatakan suatu dusta bahwa tidak ada satu
ayatpun yang seperti itu? Demi para pembaca, saya berikan ayat-ayat itu di sini.
·
Ef 1:4-5 - “(4) Sebab di dalam Dia Allah telah
memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat
di hadapanNya. (5) Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh
Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya, sesuai dengan kerelaan kehendakNya”.
·
2Tes 2:13 - “Akan tetapi kami harus selalu
mengucap syukur kepada Allah karena kamu, saudara-saudara, yang dikasihi Tuhan,
sebab Allah dari mulanya telah memilih kamu untuk diselamatkan dalam Roh
yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang kamu percayai”.
·
2Tim 1:9
- “Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan
panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud
dan kasih karuniaNya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus
Yesus sebelum permulaan zaman”.
·
Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut
maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan
bangsa-bangsa durhaka”.
·
Kis 4:27-28 - “Sebab sesungguhnya telah berkumpul di
dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku
bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk
melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa
dan kehendakMu”.
·
Maz 139:16
- “... dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan
dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya”.
Tentu
kita akan melihat dan membahas berbagai ayat yang dipakai Kalvinis di
bagian-bagian berikut.
Sebenarnya, bahwa Allah mahatahu sekaligus mahakasih, sama sekali tidak
bertentangan jika kita tidak beranggapan Allah menentukan segala sesuatu. Allah
memberikan manusia pilihan (kehendak bebas), dan mereka bisa memilih untuk
menentang Allah atau percaya pada Allah. Allah bahkan menjadi manusia dan mati
bagi semua orang (baik yang menentang maupun percaya), dan itu membuktikan
kasihNya. Tetapi, Allah bukan hanya mahakasih, tetapi juga mahaadil, dan
mahakudus. Setiap manusia yang menentang Allah dan tidak diselesaikan dosanya oleh Yesus, dihukum secara kekal dalam
Neraka. Mengapa Allah tidak hanya menciptakan orang yang akan masuk Surga?
Karena Allah tidak ingin disembah hanya oleh “robot” yang ditentukan untuk
percaya. Allah ingin ada pribadi-pribadi yang dapat memilih dengan bebas, yang
pada akhirnya memilih untuk menyembah Allah. Karena ada pilihan yang bebas
(dengan konsekuensi masing-masing yang sudah diumumkan sebelumnya), maka Allah
tidak berlawanan dengan kasihNya jika Ia menghukum mereka yang menentangNya. Ini
karena bukan Allah yang menetapkan pilihan tersebut, melainkan pribadi yang
bersangkutan.
Tanggapan
saya:
1)
Anda mengatakan ‘Tentu
kita akan melihat dan membahas berbagai ayat yang dipakai Kalvinis di
bagian-bagian berikut’. Padahal barusan saja di atas
anda mengatakan ‘Tetapi, tidak ada satu ayatpun yang mengajarkan bahwa
“Allah menentukan segala sesuatu sejak kekekalan dalam dekrit-dekrit rahasia’.
Yang mana yang benar, Liauw? Kalau benar nanti anda membahasnya, saya akan
tunggu dan lihat bagaimana anda membahasnya!
2)
Anda menghindari argumentasi saya, bukan menjawabnya. Argumentasi saya
adalah sebagai berikut:
“Salah satu pertanyaan yang paling sering keluar dalam persoalan
ini adalah: Jika Allah sudah menentukan dan mengatur segala sesuatu, bagaimana
mungkin manusia masih bisa mempunyai kebebasan, dan bahkan harus bertanggung
jawab atas dosanya?
Jawab:
1.
Terus terang, tidak ada orang yang bisa mengharmoniskan 2 hal yang
kelihatannya bertentangan ini. Orang Reformed hanya melihat bahwa 2 hal itu
sama-sama diajarkan oleh Kitab Suci (bdk. Ro 9:19-21), tetapi Kitab Suci
tidak pernah mengharmoniskannya. Karena itu orang Reformed juga juga mengajarkan
kedua hal itu, tanpa mengharmoniskannya. Ini merupakan wujud kesetiaan dan
ketundukan kepada Kitab Suci, sekalipun Kitab Suci itu melampaui akal kita!
Dalam hal yang lain, kita juga melihat hal yang sama. Misalnya: kita
percaya bahwa Allah itu maha kasih dan mahatahu. Tetapi kita juga percaya bahwa
Allah menciptakan neraka dan orang tertentu yang Ia tahu bakal masuk ke neraka.
Kalau memang Ia maha kasih dan maha tahu, mengapa Ia tidak hanya
menciptakan orang yang akan masuk ke surga? Saya yakin tidak ada orang yang bisa
mengharmoniskan 2 hal itu, termasuk orang Arminian, tetapi toh semua orang
kristen percaya dan mengajarkan ke 2 hal itu, karena Kitab Suci memang jelas
mengajarkan kedua hal itu. Lalu mengapa dalam hal doktrin Providence of God ini kita tidak mau bersikap sama?” (kutipan dari
buku saya berjudul ‘Providence of God’).
Tetapi
anda lari dan membahas free will / kehendak bebas, ‘robot’, dsb.
Ada
beberapa hal yang perlu saya soroti dari kata-kata anda ini:
a)
Allah maha tahu bukan? Jadi, Ia tahu mana pribadi yang nanti akan memilih
untuk menyembahNya dan mana yang tidak. Kalau Ia hanya menciptakan orang-orang
yang nanti akan memilih untuk menyembahNya, bagaimana mungkin itu dianggap
sebagai menciptakan ‘robot’?
b)
Yang saya pertentangkan dengan kasih Allah, bukan penghukuman yang
Ia berikan kepada orang-orang yang tidak percaya, tetapi penciptaan
orang-orang yang Ia tahu bakal tidak percaya!
c)
Anda bicara seakan-akan datang atau tidak datangnya manusia kepada Yesus
betul-betul tergantung pada manusia itu sendiri. Padahal manusia tidak mempunyai
kemampuan dari dirinya sendiri untuk percaya kepada Yesus.
Yoh 6:44,65 - “(44) Tidak ada seorangpun yang dapat
datang kepadaKu, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan
ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman. ... (65) Lalu Ia berkata: ‘Sebab itu
telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorangpun dapat datang kepada-Ku, kalau
Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.’”.
Berdasarkan ayat ini, datang atau tidak datangnya manusia
kepada Yesus tergantung kepada Allah! Lalu yang mana yang ditarik / dikaruniai,
dan yang mana yang tidak? Jelas itu didasarkan pada predestinasi.
d)
Calvinisme tidak mempercayai ‘robot’ karena semua orang, sekalipun
melakukan ketetapan Allah, tetap melakukannya dengan kehendaknya sendiri, bukan
dipaksa.
3)
Sekarang mari kita perhatikan kata-kata anda di atas yang saya beri garis
bawah tunggal dan yang saya beri garis bawah ganda! Bukankah keduanya
bertentangan? Untuk jelasnya saya kutip ulang bagian itu.
‘Allah
bahkan menjadi manusia dan mati bagi semua orang (baik yang menentang maupun
percaya), dan itu membuktikan kasihNya. Tetapi, Allah bukan hanya mahakasih,
tetapi juga mahaadil, dan mahakudus. Setiap manusia yang menentang Allah dan tidak
diselesaikan dosanya oleh Yesus, dihukum secara kekal dalam Neraka’.
Kalau anda mengatakan Yesus mati bagi semua orang, baik yang
menentang maupun yang percaya, lalu bagaimana mungkin manusia yang menentang
Allah itu tidak diselesaikan dosanya oleh Yesus, sehingga mereka lalu dihukum
secara kekal di neraka??? Jelaskan omongan yang kontradiksi ini, Liauw!
Dalam bahasa Theologia, anda percaya ‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas) atau ‘Universal
Atonement’ (= Penebusan Universal)? Kalau dilihat bagian yang saya beri
garis bawah tunggal, anda percaya ‘Universal
Atonement’ (= Penebusan Universal). Tetapi kalau dilihat yang saya beri
garis bawah ganda, anda percaya ‘Limited
Atonement’ (= Penebusan Terbatas)!
Bagi setiap orang yang percaya ‘Universal Atonement’ (= Penebusan Universal), mereka harus
menjelaskan bagaimana mungkin orang-orang yang sudah dibayar hutang dosanya oleh
Yesus, lalu bisa ditagih lagi oleh Allah, dan dimasukkan neraka selama-lamanya!
Ini menunjukkan Allah menagih satu hutang 2 x, dan ini tidak adil! Itu sebabnya
Calvinisme mempercayai Yesus mati hanya untuk orang-orang pilihan!
Masalah timbul ketika sifat-sifat Allah didefinisikan menurut manusia. Manusia mengatakan bahwa “kasih” tidak mungkin menghukum. Tetapi ini adalah definisi yang salah. Jika definisi ini dipakai, maka sifat Allah yang “mahakasih” akan bertentangan dengan “kekudusan” dan “keadilan”Nya. Karena ada ketidakharmonisan, kita perlu merevisi premis dasar kita. Ternyata, kasih bukan tidak dapat menghukum.
Tanggapan
saya:
1)
Siapa yang mengatakan kasih tidak mungkin menghukum? Yang mengajar
seperti itu bukan Calvinisme tetapi Saksi Yehuwa! Calvinisme percaya bahwa Allah
yang maha kasih bisa menghukum!
2)
Lagi-lagi anda membelokkan argumentasi saya dan karena itu saya ulang
kata-kata saya di atas. Yang saya pertentangkan dengan kasih Allah dalam
argumentasi saya di atas, bukan penghukuman yang Ia berikan kepada
orang-orang yang tidak percaya, tetapi penciptaan orang-orang yang Ia
tahu bakal tidak percaya!
Demikian juga dengan kedaulatan Allah. Manusia (Kalvinis) berkata bahwa “Allah
yang berdaulat menentukan segala sesuatu.” Tetapi, ini menjadi bertentangan
dengan sifat Allah yang kudus (tidak mungkin menentukan manusia untuk berdosa)
dan juga keadilanNya (tidak mungkin menghukum manusia yang hanya menjalankan
dekrit). Seharusnya ada kerendahan hati di sini untuk introspeksi: kalau
begitu, mungkin premis dasarnya salah. Barangkali, Allah yang berdaulat tidak
perlu menentukan segala sesuatu!
Tanggapan
saya:
1)
Calvinisme memang percaya bahwa Allah yang berdaulat menentukan segala
sesuatu. Kalau ada apapun yang terjadi di luar ketentuan Allah, itu berarti hal
itu ada di luar kedaulatan Allah. Itu menjadikan Allahnya tidak berdaulat, dan
Allah yang tidak berdaulat bukanlah Allah!
Anda mengatakan ‘Barangkali,
Allah yang berdaulat tidak perlu menentukan segala sesuatu!’??
Ada 2 hal yang ingin saya soroti:
a)
Mengapa anda menggunakan kata ‘barangkali’? Anda sendiri tidak yakin?
b)
Itu bertentangan dengan arti dari kata ‘berdaulat’ itu sendiri!
Tentang arti kata itu, saya kutipkan dari buku ‘Providence of God’ saya
sendiri, sekaligus dengan beberapa komentar dari para ahli theologia Reformed /
Calvinisme.
“Kata
‘berdaulat’ dalam bahasa Inggris adalah ‘sovereign’,
yang berasal dari bahasa Latin superanus
(super = above, over). Dan dalam Kamus
Webster diberikan definisi sebagai berikut tentang kata ‘sovereign’:
a) Above or superior to all others; chief; greatest; supreme (= Di atas atau lebih tinggi dari semua
yang lain; pemimpin / kepala; terbesar; tertinggi).
b) supreme in power, rank, or authority (= tertinggi dalam kuasa, tingkat, atau
otoritas).
c) of or holding the position of a ruler; royal; reigning (= mempunyai atau memegang posisi sebagai
pemerintah; raja; bertahta).
d) independent of all others (= tidak tergantung pada semua yang
lain).
Karena itu kalau kita percaya bahwa Allah itu berdaulat, maka kita juga harus percaya bahwa Ia menetapkan segala sesuatu, dan bahwa Ia melaksanakan ketetapanNya itu tanpa tergantung pada siapapun dan apapun di luar diriNya! Jelas adalah omong kosong kalau seseorang berbicara tentang kedaulatan Allah / mengakui kedaulatan Allah, tetapi tidak mempercayai bahwa Rencana Allah dan Providence of God itu mencakup segala sesuatu dalam arti kata yang mutlak
Louis Berkhof: “Reformed
Theology stresses the sovereignty of God in virtue of which He has sovereignly
determined from all eternity whatsoever will come to pass, and works His
sovereign will in His entire creation, both natural and spiritual, according to
His predetermined plan. It is in full agreement with Paul when he says that God
‘worketh all things after the counsel of His will’ (Eph 1:11)” [= Theologia Reformed menekankan
kedaulatan Allah atas dasar mana Ia secara berdaulat telah menentukan dari sejak
kekekalan apapun yang akan terjadi, dan mengerjakan kehendakNya yang berdaulat
dalam seluruh ciptaanNya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, menurut
rencanaNya yang sudah ditentukan sebelumnya. Ini sesuai dengan Paulus pada waktu
ia berkata bahwa Allah ‘mengerjakan segala sesuatu menurut keputusan
kehendakNya’ (Ef 1:11)] - ‘Systematic Theology’,
hal 100.
Charles Hodge: “And
as God is absolutely sovereign and independent, all his purposes must be
determined from within or according to the counsel of his own will. They cannot
be supposed to be contingent or suspended on the action of his creatures, or
upon anything out of Himself” (= Dan karena Allah itu berdaulat dan tak tergantung secara mutlak,
semua rencanaNya harus ditentukan dari dalam atau menurut keputusan kehendakNya
sendiri. Mereka tidak bisa dianggap sebagai kebetulan atau tergantung pada
tindakan-tindakan dari makhluk-makhluk ciptaanNya, atau pada apapun di luar
diriNya sendiri) - ‘Systematic Theology’,
vol II, hal 320.
William G. T. Shedd: “Whatever
undecreed must be by hap-hazard and accident. If sin does not occur by the
Divine purpose and permission, it occurs by chance. And if sin occurs by chance,
the deity, as in the ancient pagan theologies, is limited and hampered by it. He
is not ‘God over all’. Dualism is introduced into the theory of the
universe. Evil is an independent and uncontrollable principle. God governs only
in part. Sin with all its effects is beyond his sway. This dualism God condemns
as error, in his words to Cyrus by Isaiah, ‘I make peace and create evil’;
and in the words of Proverbs 16:4, ‘The Lord hath made all things for himself;
yea, even the wicked for the day of evil’” (= Apapun yang tidak ditetapkan pasti ada karena kebetulan. Jika
dosa tidak terjadi karena rencana dan ijin ilahi, maka itu terjadi karena
kebetulan. Dan jika dosa terjadi karena kebetulan, keilahian, seperti dalam
teologi kafir kuno, dibatasi dan dirintangi olehnya. Ia bukanlah ‘Allah atas
segala sesuatu’. Dualisme dimasukkan ke dalam teori alam semesta. Kejahatan
merupakan suatu elemen hakiki yang tak tergantung dan tak terkontrol. Allah
memerintah hanya sebagian. Dosa dengan semua akibatnya ada di luar kekuasaanNya.
Dualisme seperti ini dikecam Allah sebagai salah, dalam kata-kata Yesaya kepada
Koresy, ‘Aku membuat damai dan men-ciptakan malapetaka / kejahatan’; dan
dalam kata-kata dari Amsal 16:4, ‘Tuhan telah membuat segala sesuatu
untuk diriNya sendiri; ya, bahkan orang jahat untuk hari malapetaka’)
- ‘Calvinism: Pure & Mixed’, hal 36.
Catatan: kata-kata Yesaya
kepada Koresy itu diambil dari Yes 45:7 versi KJV. Demikian juga Amsal 16:4
diambil dan diterjemahkan dari KJV.
R. C. Sproul: “That
God in some sense foreordains whatever comes to pass is a necessary result of
his sovereignty. ... everything that happens must at least happen by his
permission. If he permits something, then he must decide to allow it. If He
decides to allow something, then is a sense he is foreordaining it. ... To say
that God foreordains all that comes to pass is simply to say that God is
sovereign over his entire creation. If something could come to pass apart from
his sovereign permission, then that which came to pass would frustrate his
sovereignty. If God refused to permit something to happen and it happened
anyway, then whatever caused it to happen would have more authority and power
than God himself. If there is any part of creation outside of God’s
sovereignty, then God is simply not sovereign. If God is not sovereign, then God
is not God. ... Without sovereignty God cannot be God. If we reject divine
sovereignty then we must embrace atheism”
(= Bahwa Allah dalam arti tertentu menentukan apapun yang akan terjadi merupakan
akibat yang harus ada dari kedaulatanNya. ... segala sesuatu yang terjadi
setidaknya harus terjadi karena ijinNya. Jika Ia mengijinkan sesuatu, maka Ia
pasti memutuskan untuk mengijinkannya. Jika Ia memutuskan untuk mengijinkan
sesuatu, maka dalam arti tertentu Ia menentukannya. ... Mengatakan bahwa Allah
menentukan segala sesuatu yang akan terjadi adalah sama dengan mengatakan bahwa
Allah itu berdaulat atas segala ciptaanNya. Jika ada sesuatu yang bisa terjadi
di luar ijinNya yang berdaulat, maka apa yang terjadi itu menghalangi
kedaulatanNya. Jika Allah menolak untuk mengijinkan sesuatu dan hal itu tetap
terjadi, maka apapun yang menyebabkan hal itu terjadi mempunyai otoritas dan
kuasa yang lebih besar dari Allah sendiri. Jika ada bagian dari ciptaan berada
di luar kedaulatan Allah, maka Allah itu tidak berdaulat. Jika Allah tidak
berdaulat, maka Allah itu bukanlah Allah. ... Tanpa kedaulatan Allah tidak bisa
menjadi / adalah Allah. Jika kita menolak kedaulatan ilahi, maka kita harus
mempercayai atheisme) - ‘Chosen By God’,
hal 26-27.
Bagian terakhir
kata-kata R. C. Sproul ini memang patut diperhatikan / dicamkan. Allah haruslah
berdaulat, dan Allah yang tidak berdaulat, bukanlah Allah.
John Murray: “to
say that God is sovereign is but to affirm that God is one and that God is
God” (= mengatakan bahwa Allah itu berdaulat
adalah sama dengan menegaskan bahwa Allah itu satu / esa dan bahwa Allah adalah
Allah)
- ‘Collected Writings of John Murray’,
vol IV, hal 191.
Karena itulah maka
menolak penetapan dan pengaturan ilahi atas segala sesuatu, adalah sama dengan
menjadi atheis!”.
2)
Dari Alkitab sebelah mana anda mendapatkan kata-kata / pandangan bahwa
sifat Allah yang kudus tidak memungkinkanNya untuk menentukan dosa? Kalau Ia
melakukan dosa, atau menciptakan dosa, maka itu memang bertentangan dengan
kekudusanNya. Tetapi kalau hanya menentukan, itu tidak bertentangan dengan
kekudusanNya.
3)
Anda mengatakan ‘Manusia yang hanya menjalankan dekrit’? Ingat
bahwa Calvinisme mengajar bahwa:
a)
Dekrit yang tidak kita ketahui itu bukanlah pedoman hidup kita. Pedoman
hidup kita adalah Firman Tuhan. Jadi, pada saat seseorang melakukan apa yang
Allah tetapkan, itu tetap dosa kalau hal itu tak sesuai dengan Firman Tuhan!
b)
Pada waktu manusia melakukan apa yang ditetapkan oleh Allah, ia melakukan
dengan kemauannya sendiri dan bukan dengan motivasi untuk menjalankan ketetapan
Allah! Buang kata ‘hanya’ yang anda pakai! Itu membuat artinya jadi sangat
berbeda!
Walaupun
penerapan Kalvinisme yang konsisten akan membawa seseorang kepada Fatalisme,
tetapi pada kenyataannya mayoritas Kalvinis bukanlah Fatalis. Tidak peduli
betapa tidak mampunya para Kalvinis menjelaskan bagaimana manusia bisa bebas
dalam skema theologi mereka, toh banyak Kalvinis tetap mengajarkan manusia untuk
bertanggung jawab. Asali berkata: “Tetapi seperti saudara sudah lihat,
sekalipun saya percaya dan mengajarkan kedaulatan Allah / penentuan Allah,
tetapi saya tidak mengajarkan untuk hidup secara apatis / acuh tak acuh dan tak
bertanggung jawab!”
Terhadap hal ini, saya justru mengucap syukur. Hal ini adalah apa yang dapat
kita sebut ketidakkonsistenan yang menguntungkan (felicitous inconsistency).
Artinya, jika Kalvinis konsisten dengan premis dasar mereka, mereka akan menjadi
Fatalis yang tidak memiliki inisiatif sama sekali. Tetapi untunglah mereka tidak
konsisten di sini! Sehingga walaupun teori mereka menuntut kehidupan yang
menghalalkan segala sesuatu atau yang sama sekali tidak berinisiatif, namun pada
prakteknya mereka berfungsi rata-rata sama dengan manusia lain pada umumnya.
Tanggapan
saya:
1)
Anda mengatakan ‘Walaupun
penerapan Kalvinisme yang konsisten akan membawa seseorang kepada Fatalisme’.
Anda sudah menyimpulkan sebelum selesai melihat ajaran Calvinisme. Calvinisme
memang mempercayai bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Seandainya hanya ini
yang dipercayai oleh Calvinisme, maka mungkin kata-kata anda benar. Tetapi
Calvinisme bukan hanya mempercayai ini, tetapi juga bahwa manusia tetap
melakukan dosa dengan kehendaknya sendiri, dan dengan demikian manusia
bertanggung jawab.
2)
Dengan cara yang sama saya bisa menyerang Arminianisme. Kepercayaan
Arminianisme bahwa keselamatan bisa hilang membuat seorang Kristen harus
berusaha taat, tidak murtad dsb, kalau mau tetap selamat. Kalau mau konsisten,
maka ini menjadi ajaran keselamatan karena iman + perbuatan baik. Tetapi puji
Tuhan, Arminianisme yang sejati melakukan ‘ketidakkonsistenan yang menguntungkan (felicitous inconsistency)’
dengan tetap mempercayai keselamatan karena iman saja!
3)
Anda mengatakan ‘pada
kenyataannya mayoritas Kalvinis bukanlah Fatalis’.
Ini salah! Yang benar adalah: ‘semua Calvinist bukanlah fatalis’.
Yang fatalis bukan Calvinist, tetapi Hyper-Calvinist!
4)
Sekarang saya soroti kata-kata terakhir dari kutipan kata-kata anda di
atas. Anda mengatakan ‘Sehingga
walaupun teori mereka menuntut kehidupan yang menghalalkan segala sesuatu
atau yang sama sekali tidak berinisiatif,
namun pada prakteknya mereka berfungsi rata-rata sama dengan manusia lain pada
umumnya’. Kalau yang saya beri garis bawah ganda itu
masih cocok dengan apa yang anda sedang bicarakan, tetapi yang saya beri garis
bawah tunggal itu dari mana???? Jangan memfitnah, Liauw!
Bahwa banyak Kalvinis yang masih berfungsi normal, bukan berarti Kalvinisme tidak bermasalah. Di bagian Pendahuluan, kita sudah melihat contoh orang atheis. Jika atheisme benar, maka penerapannya secara konsisten akan membuat manusia menjadi tidak bermoral sama sekali. Nyatanya, banyak orang atheis yang masih bermoral (moral relatif), malah banyak menyumbang sana sini untuk acara-acara kemanusiaan. Apakah itu berarti atheisme membangkitkan moralitas? Sama sekali tidak! Moralitas yang ditunjukkan seorang atheis adalah sisa-sisa kebenaran ilahi yang sudah sedemikian terpatri dalam sanubari manusia, sehingga sulit untuk dihilangkan begitu saja. Walaupun dalam pikirannya dia menolak Allah (dan juga sebagai konsekuensinya menolak segala aturan moral), tetapi hati nuraninya belum bisa menerapkan itu dalam perilakunya. Atheismenya belum sempat mengikis habis kebenaran ilahi universal bahwa manusia bertanggung jawab kepada Pribadi di atasnya.
Tanggapan
saya:
Oh,
anda percaya ada orang yang betul-betul atheis / tidak percaya adanya Allah?
Saya tidak, dan anda seharusnya juga tidak, kalau anda memang Alkitabiah.
Ro 1:19-20
menunjukkan bahwa Allah menanamkan dalam diri setiap orang suatu perasaan
tentang keberadaannya. Tetapi Ro 1:19-20 versi Kitab Suci Indonesia salah /
kurang tepat terjemahannya, dan karena itu saya memberikan Ro 1:19-20 versi NASB
di bawah ini.
Ro 1:19-20
(NASB): “because
that which is known about God is evident within them; for God made it
evident to them. For since the creation of the world His invisible attributes,
His eternal power and divine nature, have been clearly seen, being understood
through what has been made, so that they are without excuse” (= karena apa
yang diketahui tentang Allah nyata di dalam mereka; karena Allah telah
membuatnya nyata bagi mereka. Karena sejak penciptaan dunia / alam semesta,
sifat-sifatNya yang tak terlihat, kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, telah
terlihat dengan jelas, dimengerti melalui apa yang telah diciptakan, sehingga
mereka tidak mempunyai alasan).
Ini
menunjukkan bahwa tidak ada orang yang terlahir sebagai atheist. Ide / pemikiran
tentang adanya Allah adalah sesuatu yang bersifat universal, dan bahkan ada di
antara suku-suku yang bersifat primitif / biadab.
John
Calvin: “There
is within the human mind, and indeed by natural instinct, an awareness of
divinity. ... To prevent anyone from taking refuge in the pretense of ignorance,
God himself has implanted in all men a certain understanding of his divine
majesty. ... a sense of deity inscribed in the hearts of all” (= Di dalam
pikiran manusia, oleh suatu naluri yang bersifat alamiah, ada suatu kesadaran
tentang keilahian. ... Untuk mencegah siapapun untuk berlindung dalam
ketidaktahuan, Allah sendiri telah menanamkan dalam semua manusia suatu
pengertian tertentu tentang keagungan ilahinya. ... suatu perasaan tentang Allah
dituliskan dalam hati dari semua orang) - ‘Institutes of the Christian
Religion’, Book I, Chapter III, no 1.
Demikian juga dengan Kalvinisme. Bahwa masih banyak Kalvinis yang hidup secara bertanggung jawab, bukanlah karena Kalvinisme membangkitkan rasa tanggung jawab bagi para pemegangnya. Sebaliknya, Kalvinisme yang konsisten memimpin kepada Fatalisme. Justru di sini para Kalvinis melakukan ketidakkonsistenan yang menguntungkan! Rasa tanggung jawab dalam diri seorang Kalvinis adalah kebenaran ilahi universal yang sudah terpatri dalam sanubarinya, dan yang belum sempat dikikis habis oleh Kalvinisme yang dianut secara intelektual.
Tanggapan
saya:
Analogi
yang sama sekali tidak cocok. Mengapa? Karena dalam atheisme memang tak ada
ajaran untuk tetap bermoral, melakukan apa yang baik dan sebagainya. Tetapi
dalam Calvinisme, sekalipun ada ajaran tentang penentuan segala sesuatu, tetapi
juga ada ajaran tentang tanggung jawab dan keharusan menjadikan Firman Tuhan,
dan bukannya dekrit ilahi, sebagai pedoman hidup!
Secara
sama saya bisa mengatakan bahwa Arminian yang konsisten seharusnya tidak bisa
mempunyai sukacita atau damai sama sekali. Mengapa? Kalau mereka percaya bahwa
keselamatan bisa hilang, berarti ada kemungkinan mereka masuk neraka
selama-lamanya, disiksa dan mengalami rasa sakit yang luar biasa untuk
selama-lamanya! Tak peduli berapa persen kemungkinan terjadinya hal ini, kalau
kemungkinan itu ada, itu seharusnya membuat mereka terus menerus hidup dalam
ketakutan dan kekuatiran! Itu seharusnya membuat mereka tidak bisa tidur,
bahkan jadi gila! Anda pernah pikirkan ini, Liauw?? Ajaib juga kalau anda bisa
tidur dan tidak menjadi gila! (Tapi mungkin juga ada gilanya sedikit, kalau
dilihat ajaran anda yang tak punya logika!! Pengaruh ajaran Arminian? Hehehe!).
Saya
beranggapan bahwa kesalahan Liauw disini adalah penggunaan logika secara
berlebihan dalam menilai Calvinisme. Memang logika harus digunakan dalam
menafsirkan suatu ajaran, tetapi bagaimanapun, Firman Tuhan harus diletakkan
di atas logika. Kalau Calvinisme mempercayai bahwa Allah menentukan segala
sesuatu, dan manusia pasti akan melakukan apa yang ditentukan Allah, maka
secara logika memang manusia tak harus bertanggung jawab, menjadi robot, dan
sebagainya. Tetapi pada waktu apa yang kelihatannya logis ini ternyata
bertentangan dengan ayat-ayat Firman Tuhan / Alkitab, yang menunjukkan secara
jelas bahwa Alkitab tidak menganggap manusia sebagai robot yang tidak
bertanggung jawab, dan sebaliknya, menunjukkan manusia sebagai oknum yang
berttanggung jawab atas perbuatannya, maka logika harus disingkirkan.
Mungkin
dipertanyakan: dimana Alkitab menunjukkan bahwa Allah menentukan, tetapi
manusia tetap bertanggung jawab? Dalam buku saya, saya memberikan banyak ayat.
Di sini saya berikan satu saja.
Luk
22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah
ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.
Bagian
awal dari ayat itu menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan bahwa Yesus akan
mati melalui pengkhianatan Yudas Iskariot, tetapi bagian akhirnya mengatakan
bahwa Yudas Iskariot bertanggung jawab atas hal itu.
Saya
akan memberikan contoh penggunaan logika secara berlebihan, yang akhirnya
menabrak ayat-ayat Firman Tuhan. Dalam Gereja Roma Katolik dipercaya bahwa
Maria lahir dan hidup tanpa dosa. Apa alasannya? Hanya alasan secara logika,
yaitu karena Yesus lahir dan hidup tanpa dosa. Mereka beranggapan bahwa Yesus
tidak mungkin lahir tanpa dosa, kecuali ibuNya yang melahirkanNya juga suci.
Tetapi dengan menarik kesimpulan dengan menggunakan logika seperti itu, mereka
menabrak banyak ayat Alkitab yang menyatakan bahwa semua manusia berdosa (Ro
3:23 dsb). Alkitab hanya mengecualikan Yesusnya sendiri (Ibr 4:15
2Kor 5:21), bukan Marianya! Jadi, jelas kesimpulan berdasarkan logika
seperti ini harus ditolak.
Contoh
lain yang seperti ini. Alkitab mengatakan semua manusia berdosa (Ro 3:23).
Alkitab juga menyatakan bahwa Yesus adalah manusia sama dengan kita (Ibr
2:14-17 Fil 2:7). Kesimpulan secara logika, Yesus juga berdosa.
Tetapi kesimpulan ini bertentangan dengan Ibr 4:15 dan 2Kor 5:21 yang
menyatakan bahwa Yesus tidak berdosa. Juga bertentangan dengan fakta bahwa
Yesus bisa menjadi Juruselamat / Penebus. Kalau Ia berdosa tidak mungkin Ia
bisa menjadi Juruselamat / Penebus. Jadi, kesimpulan yang berdasarkan logika
ini harus ditolak, karena bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab yang lain.
Saya
ingin memberikan lagi contoh lain yang seperti ini. Alkitab jelas mengatakan
bahwa Allah itu hanya satu (Ul 6:4). Alkitab jelas juga menunjukkan bahwa Bapa
itu Allah dan Yesus berbeda (‘distinct’, bukan ‘different’) dari Bapa
(Yoh 1:1b). Apakah kita lalu boleh menggunakan logika, dan lalu meloncat pada
kesimpulan bahwa Yesus bukanlah Allah? Seandainya tak ada ayat yang
menentang kesimpulan ini, maka itu boleh dilakukan. Tetapi ternyata bagian
akhir dari Yoh 1:1 (Yoh 1:1c) mengatakan ‘dan Firman itu adalah Allah’.
Dan banyak ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah. Jadi
kesimpulan yang didasarkan pada logika itu bertentangan dengan banyak ayat
Firman Tuhan. Dalam hal seperti ini tentu saja salah kalau kita tetap
bersandarkan pada logika. Akhirnya yang dilakukan adalah: menciptakan doktrin
Allah Tritunggal, yang bisa mengharmoniskan semua ayat-ayat itu.
Saya
kira sudah cukup banyak contoh yang saya berikan. Sekarang kembali pada apa
yang dilakukan oleh Liauw dengan ajaran Calvinisme. Semua contoh itu
sebetulnya sama dengan apa yang dilakukan oleh Liauw dengan ajaran Calvinisme.
Memang Calvinisme mengajarkan bahwa Allah menentukan segala sesuatu, dan
apapun yang ditentukan Allah pasti akan terjadi. Logika Liauw lalu mengatakan
bahwa kalau begitu manusia itu seperti robot yang tidak bertanggung jawab.
Bolehkah menyimpulkan seperti ini? Boleh, seandainya itu tidak
bertentangan dengan ayat-ayat lain dalam Firman Tuhan. Tetapi sudah saya
tunjukkan bahwa kesimpulan logis seperti itu bertentangan dengan ayat-ayat
Firman Tuhan, dan karena itu, kesimpulan itu tidak boleh diambil.
Sebenarnya, Kalvinisme yang konsisten sama sekali tidak adekuat untuk dijadikan pedoman praktek kehidupan manusia. Saya akan mencoba untuk memperlihatkan kelemahan Kalvinisme dalam praktek hidup sehari-hari. Sebelumnya saya mengajak pembaca untuk mengingat bahwa Kalvinisme percaya;
1. Allah telah menentukan segala sesuatu, termasuk tindakan dan pikiran manusia, dalam dekrit rahasia di kekekalan lampau
2. Manusia pasti melakukan seperti yang Allah dekritkan, tidak dapat menyimpang dari itu.
Untuk menghindari Fatalisme, Kalvinis berkata: “Jangan hidup berpedomankan kepada ketetapan rahasia Allah, itu adalah rahasia. Hiduplah berpedomankan kepada Firman Allah!” Saya senang ketika siapapun juga mengajarkan umat untuk hidup berpedomankan kepada Firman Allah. Tetapi, sambil Kalvinis menghimbau umatnya untuk hidup sesuai Firman Tuhan, premis dasar Kalvinisme itu sendiri memperlemah seruan tersebut. Seseorang yang mempercayai premis dasar Kalvinisme dengan serius, walaupun dihimbau untuk taat Alkitab, akan bergumul dengan pikiran-pikiran berikut:
1. “Walaupun saat ini saya seolah-olah dapat memilih untuk taat Firman Tuhan atau untuk membangkang, sebenarnya pilihan saya sudah ditentukan oleh Tuhan sejak kekekalan.”
2. “Kalau saya membangkangi Firman Tuhan, saya akan dihukum. Tetapi kalau misalnya Tuhan memang sudah menetapkan saya untuk membangkang, saya tidak bisa melawan itu. Semoga Tuhan tidak menetapkan saya untuk membangkang!” Apakah pembaca dapat melihat, bahwa Kalvinisme yang diimani secara konsisten menimbulkan suatu harapan yang aneh: “Semoga saya bukan telah ditetapkan untuk membangkang!”
3. Ketika melakukan introspeksi, atau mengilas kembali masa lalu, seorang Kalvinis sah-sah saja berpikir demikian: “Apa yang tadi saya lakukan memang bertentangan dengan Firman Tuhan. Saya sungguh menyesal…..Tetapi, bukankah itu sudah ditentukan Tuhan? Artinya, saya tidak mungkin taat tadi. Guru Kalvinis saya mengajarkan bahwa apapun yang terjadi di dunia tidak lepas dari ketetapan dan rencana Tuhan. Apa saya perlu menyesali suatu rencana Allah dalam hidup saya? Saya rasa saya tidak perlu menyesal lagi, saya hanya perlu terima saja bahwa Allah telah menentukan bahwa tadi saya tidak taat dalam hal ini.” Apakah menurut pembaca skenario ini terlalu mengada-ada? Coba renungkan, bukankah premis dasar Kalvinisme berpotensi untuk menimbulkan pikiran-pikiran seperti demikian?
Tanggapan
saya:
Saya
mengakui kalau kemungkinan itu ada, tetapi Calvinist yang berpikir demikian
adalah Calvinist yang digodai setan. Memang kalau orang percaya kebenaran, setan
selalu menyerang dengan menggunakan ayat-ayat / kebenaran yang disalah-gunakan.
Misalnya Yesus digoda dengan menggunakan Firman Tuhan yang disalah-artikan /
disalah-gunakan dalam Mat 4:5-6! Anda cocok jadi setan, Liauw!
Tetapi
ingat, adanya godaan setan seperti itu tidak menyebabkan kita bisa mengartikan
kebenaran itu sendiri sebagai salah! Apakah orang yang percaya Injil, tidak bisa
digodai setan untuk berbuat dosa saja, karena dosanya toh sudah ditebus Yesus?
Tentu bisa! Apakah ini membuktikan Injil itu salah? Terkutuklah orang yang
berpikir demikian!
Kepercayaan bahwa Allah sudah menentukan segala sesuatu juga tidak dapat secara adekuat mengajari orang percaya perihal doa dan penginjilan. Jika Allah sudah menentukan segala sesuatu, maka doa-doa kita sama sekali tidak mengubah sesuatu apapun. Demikian juga dengan penginjilan. Seiring dengan doktrin Unconditional Election juga (yang belum dibahas), Allah sudah menentukan siapa yang masuk Surga dan siapa yang masuk neraka. Kalau begitu, usaha penginjilan orang percaya tidak akan menambahi atau mengurangi hal ini.
Tanggapan
saya:
Idem
di atas.
Calvinist
yang tidak berdoa ataupun memberitakan Injil, bukanlah Calvinist, bahkan bukan
Kristen!
Dan
jangan lupa, Allah justru melaksanakan rencanaNya untuk menyelamatkan
orang-orang pilihan melalui penginjilan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen.
Kis
13:48 - “Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah
dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah
untuk hidup yang kekal, menjadi percaya”.
Perhatikan
siapa yang menjadi percaya pada waktu ada penginjilan? Hanya orang-orang
pilihan, Liauw!
Bukan
berarti Kalvinis tidak mengajari orang untuk berdoa atau menginjil. Mereka
berkata bahwa orang percaya perlu berdoa dan menginjil karena itu adalah
perintah Allah bagi kita. Namun seberapa efektifkah seruan ini jika dibandingkan
dengan konsep Alkitab bahwa doa kita benar-benar mengubah situasi? Seberapa
efektifkah seruan Kalvinis untuk menginjil karena itu adalah keharusan,
dibandingkan seruan untuk menginjil karena usaha penginjilanmu membuat perbedaan
bagi jiwa-jiwa yang terhilang?
Tidak usah jauh-jauh, kita bisa melihat ilustrasi seorang salesman. Katakanlah
ada dua salesman di dua perusahaan berbeda. Perusahaan pertama memberi gaji
tetap kepada salesman mereka. Jadi, berapapun hasil penjualan sang salesman,
gajinya sama. Sebaliknya, di perusahaan kedua, salesman diberi gaji tetap yang
kecil, tetapi insentif yang besar untuk setiap penjualan yang dia hasilkan.
Menurut anda, salesman mana yang akan lebih tinggi penjualannya? Saya rasa saya
tidak perlu menjawab lagi, anda sudah mengerti. Itulah sebabnya hampir semua
perusahaan kini memakai sistem yang kedua.
Dapatkah pembaca memahami, bahwa seruan Kalvinis untuk berdoa, menginjil,
ataupun bentuk ketaatan lainnya, diperlemah oleh premis dasar mereka sendiri?
Saya sama sekali tidak menyangkal bahwa Kalvinis masih berdoa. Saya tidak
meragukan bahwa ada Kalvinis yang menginjil. Tetapi mereka berdoa dan menginjil,
bukan karena mereka Kalvinis (because of their Calvinism), melainkan walaupun
mereka Kalvinis (in spite of their Calvinism). Jika ada Kalvinis yang rajin
menginjil, saya mengucap syukur untuk hal itu. Tetapi kerajinannya menginjil
bukanlah karena ia seorang Kalvinis. Kalau dia bukan Kalvinis, dia bisa lebih
rajin lagi menginjil. Mungkin ada Kalvinis yang berkata, “Kalvinisme tidak
melemahkan semangat saya menginjil.” Terlepas dari benar tidaknya pernyataan
dia, apakah dia yakin bahwa semua Kalvinis yang lain tidak melemah, padahal
premis dasar Kalvinisme itu sendiri memperlemah semangat menginjil?
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
anda cuma menyoroti satu sisi ajaran Calvinisme. Yang anda soroti hanyalah Allah
menentukan sesuatu. Tetapi ajaran yang menyeimbangkan dalam Calvinisme, yaitu
manusia harus bertanggung jawab dsb, anda anggap tidak ada. Dan itu sebabnya
anda katakan tidak konsisten.
Saya
adalah salah satu Calvinist yang paling keras di Indonesia, tetapi saya berani
diadu / dibandingkan dengan orang-orang dari kalangan Arminian, dalam
persoalan memberitakan Injil! Bagaimana kalau dibandingkan dengan anda saja,
Liauw? Mana yang lebih banyak memberitakan Injil, anda atau saya? Lihat
tulisan-tulisan saya di web, dan perhatikan betapa banyak saya memberitakan
Injil. Bahkan kalau saya mengajar di sekolah theologia, atau kalau saya khotbah
di depan pendeta-pendeta, saya tetap memberitakan Injil, karena saya percaya
bahwa selalu ada banyak lalang di antara gandum, dan anda mungkin salah satunya!
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk melihat kedaulatan Allah yang Alkitabiah, kita perlu tahu dulu apa yang dimaksud dengan “kedaulatan.” Webster menjelaskan bahwa kata “sovereign” (Indonesia: berdaulat), memiliki arti:
1
above or superior to all others; chief; greatest; supreme 2 supreme in power,
rank, or authority
3 of or holding the position of a ruler; royal; reigning 4 independent of all
others 5 . . .
1 Di atas atau superior dibanding semua yang lain; pemimpin; yang terbesar; tertinggi 2 tertinggi dalam kuasa, tingkat, atau otoritas 3 memegang posisi seorang penguasa; rajani; bertahta 4 independen terhadap semua yang lain 5 . . .
Jadi, dapat kita lihat bahwa “kedaulatan” berhubungan dengan “kuasa,” “pemerintahan” dan “otoritas.” Dari definisi “kedaulatan” tidak ada suatu keharusan bahwa pribadi yang berdaulat menentukan segala sesuatu. Berikut ini kita akan menggali beberapa hal berhubungan dengan kedaulatan Allah dan kebebasan manusia.
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
anda mengutip dari buku saya tanpa memberitahu (hebatnya, di atas saya sudah
lebih dulu mengutip arti kata ‘Sovereign’ dari Webster, sebelum saya membaca
tulisan anda di sini!). Supaya kelihatan pintar, Liauw? Sekarang anda justru
kelihatan sebagai pendusta, dan pendusta akan masuk neraka (Wah 21:8)! Jadi,
percayalah kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat anda, Liauw, atau anda
akan masuk neraka! By the way, sekarang ini saya memberitakan Injil kepada anda,
Liauw! Anda malah tak pernah memberitakan Injil kepada saya!
Allah adalah pribadi yang mahakuasa dan mahaberdaulat. Tidak ada orang Kristen lahir baru yang meragukan kedua sifat Allah tersebut. Walaupun demikian, satu hal yang perlu diingat, kedaulatan dan kekuasaan Allah tidak berarti Allah tidak dibatasi. Memang, tidak ada suatu hal pun atau suatu makhluk pun yang dapat membatasi Allah di luar dari Allah sendiri. Tetapi, Allah dibatasi oleh sifat-sifatNya sendiri. Walaupun Allah mahakuasa dan berdaulat, tetapi ada hal-hal yang tidak dapat Allah lakukan. Sebagai contoh, Allah tidak dapat berdosa, bukan karena halangan dari luar, tetapi karena itu bertentangan dengan sifatNya yang mahakudus. Allah tidak bisa membuat diriNya sendiri tidak eksis, karena sifat Allah adalah mahaada. Sekali lagi, kemahakuasaan dan kedaulatan Allah akan selalu konsisten dengan segala sifatNya yang lain.
Manusia patut mengucap syukur bahwa Allah bukan saja mahakuasa dan maha berdaulat, tetapi juga mahakasih, mahaadil, mahakudus, dan maha penyayang. Oleh karena itu, segala sesuatu yang Allah perbuat melalui kuasa dan kedaulatanNya, pastilah mencerminkan kasih, keadilan, dan kekudusanNya. Jika Allah hanya mahakuasa dan maha berdaulat, tanpa disertai sifat kasih dan kudusNya, maka Allah tidak lebih dari Saddam Hussein yang omnipotent! Bagi pribadi yang demikian, semakin banyak kuasanya, justru semakin berbahaya. Tentu, kalau Allah benar-benar tidak mahakasih atau benar-benar tidak mahakudus, kita tidak bisa protes, karena Dia toh adalah Allah yang menciptakan kita. Kita hanya tinggal tunggu nasib saja! Tetapi puji syukur, Allah menyatakan diriNya dalam Alkitab, dan Ia menyatakan diriNya sebagai Allah yang mahakudus dan mahakasih.
Karena kedaulatan Allah pastilah konsisten dengan sifat-sifatNya yang lain, maka Allah tidak mungkin menetapkan dosa. Kalau Allah menetapkan dosa, maka Allah adalah sumber dosa dan penyebab dosa. Ini tidak mungkin terjadi karena Allah adalah mahakudus. Kalau ada satu sifat Allah yang paling banyak disinggung dalam Alkitab, maka pastinya bukanlah kedaulatanNya, melainkan kekudusanNya. Dalam Alkitab (Indonesia Terjemahan Baru), kata “kudus” dan turunannya, muncul 1008 kali dalam 878 ayat! Sebaliknya, kata “daulat” dalam segala bentuk tidak dapat ditemukan dalam Alkitab Indonesia. Kata “kuasa” hanya muncul 562 kali, sudah termasuk segala jenis “kuasa,” bahkan kuasa kejahatan sekalipun. Sedangkan tidak mungkin ada “kekudusan” kejahatan. Setiap kali kata “kudus” dipakai secara positif, pastilah berbicara mengenai Allah atau hal-hal (benda maupun pribadi) yang berkaitan dengan Allah atau yang dikhususkan untuk Allah. Ini pun belum menghitung penggunaan kata “suci.” Jangan salah! Saya tidak meragukan sedikitpun bahwa Allah maha berdaulat. Pemazmur berkata, “Oleh sebab itu kita bersukacita karena Dia, yang memerintah dengan perkasa untuk selama-lamanya, yang mata-Nya mengawasi bangsa-bangsa. Pemberontak-pemberontak tidak dapat meninggikan diri” (Maz. 66:6-7). Tetapi, manusia tidak ada hak sedikit pun, demi suatu definisi “kedaulatan” yang salah, membuat Allah sebagai pribadi yang menetapkan, mendekritkan, dan merencanakan segala dosa yang ada, yang adalah pelanggaran terhadap kekudusanNya!
Tanggapan
saya:
1)
Saya juga ingin mengingatkan Liauw ini bahwa kata-kata ‘kehendak
bebas’ (free will) juga tak pernah ditemukan dalam Alkitab, demikian juga
kata-kata ‘Allah Tritunggal’, dan kata ‘sakramen’. Jadi, kata itu muncul
atau tidak, tak terlalu jadi soal. Yang penting ajarannya ada.
2)
Banyak sedikitnya kata itu muncul, tak menunjukkan bahwa itu lebih
ditekankan atau kurang ditekankan. Kelihatannya Liauw menunjukkan jumlah
munculnya kata ‘kudus’ untuk menunjukkan bahwa itu lebih ditekankan. Tetapi
saya tanya: apa dasarnya kalau suatu kata muncul lebih banyak, itu menunjukkan
bahwa kata itu lebih ditekankan? Kalau yang muncul banyak yang ditekankan, dan
yang muncul kurang banyak tidak ditekankan, maka kita harus menyimpulkan bahwa
Alkitab tidak menekankan Allah Tritunggal, karena kata-kata itu tak pernah
muncul. Alkitab juga tidak menekankan ‘sakramen’ karena kata itu tidak
pernah muncul dalam Alkitab! Dan kita juga harus menyimpulkan bahwa Alkitab
sangat menekankan ‘orang’, karena kata itu muncul ribuan kali dalam Alkitab.
Tak percaya? Lihat konkordansi dan hitung sendiri! Dan apa sebabnya orang
Arminian menekankan ‘free will’ / kehendak bebas, padahal kata-kata itu tak
pernah ada dalam Alkitab?
3)
Kata ‘daulat’ tak pernah muncul, tetapi ayat yang menunjukkan bahwa
Allah itu tertinggi, dan bahwa segala sesuatu tergantung kepada Allah, dan bahwa
Allah menentukan segala sesuatu, ada banyak.
4)
Lagi-lagi Liauw terlalu cepat meloncat pada suatu kesimpulan. Hanya
karena Allah itu kudus, ia lalu menyimpulkan bahwa Allah itu tidak mungkin
menentukan dosa. Kesimpulan ini dilakukan tanpa mempedulikan ayat-ayat yang
secara explicit mengatakan bahwa Allah menentukan dosa. Saya beri beberapa
contoh:
·
Daniel 11:36
- “Raja itu akan berbuat sekehendak
hati; ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya terhadap setiap allah. Juga
terhadap Allah yang mengatasi segala allah ia akan mengucapkan kata-kata yang
tak senonoh sama sekali, dan ia akan beruntung sampai akhir murka itu; sebab
apa yang telah ditetapkan akan terjadi”.
Ini
menunjukkan bahwa dosa dari raja ini, dimana ia akan meninggikan dan membesarkan
dirinya terhadap setiap allah, dan akan mengucapkan kata-kata tak senonoh
terhadap Allah, sudah ditetapkan, dan karena itu pasti akan terjadi.
·
Hab 1:12
- “Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak
akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya
Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa”.
Biarpun
penindasan yang dilakukan oleh orang Kasdim terhadap orang Israel / Yehuda
merupakan hukuman Tuhan bagi mereka, tetapi itu tetap merupakan suatu dosa.
Tetapi ayat ini mengatakan bahwa hal itu ditetapkan / ditentukan oleh Tuhan!
·
Mat 18:7
- “Celakalah dunia dengan segala
penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang
mengadakannya!”.
Ini menunjukkan bahwa penyesatan harus ada. Ini jelas
adalah dosa, tetapi ini telah ditetapkan oleh Allah.
·
Luk 17:25
- “Tetapi Ia harus menanggung
banyak penderitaan dahulu dan ditolak oleh angkatan ini”.
Perhatikan
kata ‘harus’ di sini. Penolakan dan penyiksaan terhadap Yesus itu harus
terjadi.
·
Luk 22:22
- “Sebab Anak Manusia memang akan pergi
seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya
Ia diserahkan”.
Ayat
ini menunjukkan bahwa pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas terhadap Yesus,
yang jelas adalah suatu dosa, telah ditetapkan oleh Allah.
·
Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan
Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh
tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kis 3:18
- “Tetapi dengan jalan demikian Allah
telah menggenapi apa yang telah difirmankanNya dahulu dengan perantaraan
nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya harus menderita”.
Kis 4:27-28
- “(27) Sebab sesungguhnya telah
berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa
dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau
urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari
semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
Ayat-ayat
di atas ini menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap Kristus (ini adalah dosa yang
paling terkutuk) sudah ditentukan sejak semula. Perhatikan khususnya
kata-kata ‘menurut maksud dan
rencanaNya’ dalam Kis 2:23, dan juga kata ‘tentukan’
dalam Kis 4:28. Jelas ini bukan sekedar menunjuk pada foreknowledge (= pengetahuan lebih dulu) dari Allah, tetapi menunjuk
pada foreordination (= penetapan lebih
dulu) dari Allah.
Seandainya
tak ada ayat-ayat seperti ini, maka mungkin Liauw bisa dibenarkan pada waktu ia
mengambil kesimpulan logis seperti itu. Tetapi pada waktu kesimpulan logisnya
bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab, seperti dalam kasus ini, saya bertanya:
haruskah kita tunduk pada logika lebih dari pada pada Firman Tuhan?
Bdk.
Amsal 3:5 - “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah
bersandar kepada pengertianmu sendiri”.
5)
Liauw berkata ‘manusia
tidak ada hak sedikit pun, demi suatu definisi “kedaulatan” yang salah,
membuat Allah sebagai pribadi yang menetapkan, mendekritkan, dan merencanakan
segala dosa yang ada’. Saya setuju! Tetapi bagaimana
kalau yang memberikan definisi kedaulatan itu adalah Alkitab sendiri? Saya sudah
memberikan banyak ayat di atas. Bagaimana Liauw menafsirkan ayat-ayat itu? Mau
diabaikan / dibuang saja ayat-ayat Alkitab, yang adalah Firman Tuhan itu??
Jangan lupa ancaman Alkitab terhadap orang-orang yang membuang Firman Tuhan,
seperti yang ada dalam Mat 5:19a dan Wah 22:19!
Ketika Yesaya diizinkan untuk melihat takhta Tuhan,
dia menyaksikan para Serafim saling berteriak, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN
semesta alam.” Penglihatan akan kekudusan Tuhan begitu melanda dan melingkupi
Yesaya, sehingga ia menganggap dirinya celaka karena dosa-dosanya. Minimal 2600
tahun setelah Yesaya, Rasul Yohanes, dalam penglihatannya akan masa depan,
melihat kata-kata yang sama tentang kekudusan Tuhan masih dinyanyikan di hadapan
takhta Allah (Wah. 4:8). Apakah kita harus percaya, bahwa Allah yang sedemikian
MahaKudus, yang tidak memperbolehkan dosa sekecil apapun untuk menghampiri
takhtaNya, ternyata adalah pribadi yang menyebabkan segala dosa yang pernah ada?
Ini tidak kurang dari penghujatan! Ini adalah skandal! Oh, wahai teman-temanku
Kalvinis, mengapakah anda tidak dapat melihat hal ini?
Tanggapan
saya:
Yang
anda sebut penghujatan itu adalah ajaran dari ayat-ayat Firman Tuhan sendiri
seperti yang sudah saya berikan di atas. Andalah yang menghujat Firman Tuhan,
Liauw! Seandainya anda bisa menafsirkan ayat-ayat itu sehingga sesuai dengan
ajaran anda, saya mau menerimanya! Tetapi apa yang anda lakukan sampai saat ini
adalah menghindari pembahasan ayat-ayat itu!
Jika
Allah tidak menetapkan adanya dosa, pertanyaan mendasar yang muncul adalah:
kalau begitu dari manakah datangnya dosa dan kejahatan? Bukankah di masa
kekekalan lampau hanya ada Allah saja? Kalau pada mulanya hanya ada Allah,
bukankah berarti segala sesuatu berasal dari Allah?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab jika kita mengerti bahwa Allah
selain menciptakan berbagai benda dan hal, juga menciptakan makhluk-makhluk yang
Dia berikan kehendak bebas. Manusia adalah salah satu makhluk yang Dia berikan
kehendak bebas tersebut. Allah jelas memiliki kehendak bebas, itu adalah salah
satu sifatNya. Oleh karena itu, ketika Allah menciptakan manusia sesuai dengan
gambar dan rupaNya, manusia mewarisi sifat-sifat Allah sampai tingkat tertentu.
Manusia sadar diri, manusia memiliki perasaan, manusia dapat berkomunikasi, dan
manusia memiliki kehendak bebas, sama seperti Allah.
Banyak pihak yang mencoba untuk mengadu “kedaulatan Allah” dengan “kehendak bebas manusia.” Mereka merasa bahwa kalau manusia memiliki kehendak bebas, maka manusia bisa memilih untuk menentang Allah, dan itu berarti Allah tidak berdaulat penuh. Tetapi ini adalah logika yang salah. Ingat bahwa kehendak bebas manusia diberikan oleh Allah sendiri. Apakah Allah yang berdaulat itu tidak boleh memutuskan untuk memberikan kehendak bebas kepada salah satu ciptaanNya? Seseorang yang berdaulat tidak berarti ia harus menentukan segala sesuatu. Seorang raja yang paling berdaulat sekalipun, memiliki hak untuk mendelegasikan banyak hal kepada bawahannya. Ia bisa berkata kepada seorang pegawainya: “Coba kamu yang kendalikan seluruh pasukan kita.” Walaupun pengendalian pasukan adalah hak raja, tetapi raja memutuskan untuk membiarkan pegawainya yang mengendalikan. Kita bisa juga katakan bahwa sang pegawai mengendalikan pasukan berdasarkan otoritas yang diberikan raja padanya. Raja yang tidak boleh mendelegasikan apapun, melainkan harus menentukan segalanya, justru dia bukanlah raja yang berdaulat!
Tanggapan
saya:
Lihat
ajaran Liauw ini, Ia tidak memberikan ayat-ayat Alkitab sebagai dasar, tetapi
hanya memberikan ilustrasi dan logika! Dan orang ini menamakan dirinya
Alkitabiah?
Saya
tanya: kalau raja itu memutuskan untuk membiarkan terjadinya sesuatu di luar
ijinnya, apakah ia tetap adalah raja yang berdaulat? Menurut saya: itu adalah
omong kosong. Itu sama dengan mengatakan bahwa raja yang menyerahkan takhta dan
makhkotanya kepada orang lain, tetap adalah raja! Karena itu, tidak mungkin
Allah mengijinkan terjadinya sesuatu di luar penentuan dan pengaturanNya. Supaya
jangan ada yang mengatakan bahwa saya mengajar tanpa dasar Alkitab, maka di sini
saya memberikan dasarnya.
Mat
10:29-30 - “(29) Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun
dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. (30) Dan
kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya”.
Ay
29nya menunjukkan bahwa jatuhnya burung pipit, yang merupakan sesuatu yang
remeh, tidak mungkin terjadi di luar kehendak Tuhan. Dan ay 30nya harus
diartikan searah dengan ay 29nya. Jadi tidak mungkin ada satu rambut yang jatuh
kalau bukan karena kehendak Tuhan!
Saya
beri ayat lain lagi.
Ayub
37:6 - “karena kepada salju Ia berfirman: Jatuhlah ke bumi, dan kepada
hujan lebat dan hujan deras: Jadilah deras!”.
Jadi,
bukan hanya hujan dan turunnya salju tergantung Tuhan, tetapi juga apakah hujan
itu deras atau tidak, tergantung kepada Tuhan!
Demikianlah kita lihat Allah yang adalah raja atas seluruh alam ciptaan, Ia mendelegasikan kepengurusan laut dan bumi kepada manusia. Dan Ia pula yang memberikan kepada manusia kehendak bebas, yaitu kemampuan untuk memilih suatu tindakan atau sikap. Dengan kehendak bebas itu, manusia bisa memilih dari banyak pilihan tindakan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya sendiri. Jelas pertimbangan-pertimbangan manusia dipengaruhi oleh banyak hal di sekelilingnya, tetapi tidak ditentukan oleh apapun selain dirinya sendiri. Jadi, tidak ada pertentangan antara “kedaulatan Allah” dengan “kebebasan manusia,” karena Allah secara berdaulat memberikan kepada manusia kemampuan untuk memilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya sendiri. Dengan kata lain, kebebasan manusia adalah kebebasan yang diberikan oleh Allah. Karena Allah yang memberikan kebebasan tersebut, maka Allah juga membiarkan manusia untuk memilih sendiri, dan tidak menentukan segalanya bagi manusia. Di sinilah perbedaan pandangan Alkitab dengan pandangan Kalvinis.
Tanggapan
saya:
1)
Saya pikir kata-kata Liauw pada bagian awal kutipan di atas ini, yang
berbunyi ‘Demikianlah kita
lihat Allah yang adalah raja atas seluruh alam ciptaan, Ia mendelegasikan
kepengurusan laut dan bumi kepada manusia’, adalah
kata-kata yang gila! Kalau demikian, maka seharusnya manusia betul-betul
menguasai laut dan bumi, sehingga pasti bisa menghindarkan badai, tsunami, gempa
bumi, gunung meletus dan sebagainya. Buktinya? Manusia tidak bisa!
2)
Kata-kata Liauw pada bagian akhir kutipan di atas lagi-lagi hanya
diajarkan demikian saja tanpa dasar Alkitab. Alkitab justru bertentangan dengan
kata-kata Liauw itu. Sebagai contoh: Petrus dan penyangkalannya. Yesus
menubuatkan bahwa Petrus akan menyangkal Dia. Petrus mati-matian menolak hal
itu, dan tidak mau menyangkalNya. Tetapi apa yang akhirnya terjadi?
Ada Kalvinis yang menolak bahwa manusia punya kehendak bebas. Kalvinis-Kalvinis lain di satu sisi menerima kehendak bebas manusia, tetapi di sisi lain menyatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Menurut saya, jenis Kalvinis yang pertama lebih jujur pada premis dasar mereka.
Tanggapan
saya:
Saya
ingin membahas tentang free will / kehendak bebas, karena pada waktu Liauw
mengatakan ada Calvinist yang menerima dan ada yang menolak free will, saya kira
ia tidak mengerti apa yang ia katakan. Untuk bisa jelas tentang hal ini, mari
kita melihat penjelasan di bawah ini.
1)
Banyak orang Reformed / Calvinist yang tidak setuju dengan istilah free
will ( = kehendak bebas).
Charles
Haddon Spurgeon:
“Any man who should deny that
man is a free agent might well be thought unreasonable, but free-will is a
different thing from free-agency. Luther denounces free-will when he said that
‘free-will is the name for nothing’; and President Edwards demolished the
idea in his mastery treatise” (= Orang yang menyangkal bahwa manusia
adalah agen bebas akan dianggap tidak masuk akal / tidak rasionil, tetapi
kebebasan kehendak berbeda dengan tindakan bebas. Luther mencela kehendak bebas
ketika ia berkata bahwa ‘kehendak bebas adalah nama untuk sesuatu yang tidak
ada’; dan Presiden Edwards menghancurkan gagasan / idee ini dalam bukunya yang
luar biasa) - ‘Spurgeon’s
Expository Encyclopedia’, vol 7, hal 10.
Robert
L. Dabney: “... I have not used the phrase
‘freedom of the will’. I exclude it, because persuaded that it is
inaccurate, and that it has occasioned much confusion and error. Freedom is
properly predicated of a person, not of a faculty. ... I have preferred
therefore to use the phrase, at once popular and exact: ‘free agency’ and
‘free agent’” (= Saya tidak memakai ungkapan ‘kebebasan kehendak’.
Saya meniadakannya karena diyakinkan bahwa itu adalah tidak tepat, dan bahwa itu
menimbulkan banyak kebingungan dan kesalahan. Kebebasan secara tepat ditujukan
kepada seseorang, bukan pada bagian dari jiwa / pikiran. ... Karena itu saya
lebih menyukai untuk menggunakan ungkapan yang sekaligus populer dan tepat:
‘tindakan bebas’ dan ‘agen bebas’) - ‘Lectures
in Systematic Theology’, hal 129.
Catatan:
·
Istilah ‘agent’
berarti ‘a person that performs actions or is able to do so’ (=
seseorang yang melakukan tindakan-tindakan atau yang mampu melakukannya).
·
Istilah ‘agency’
berarti ‘action’ (= tindakan) atau ‘the
business of a person’ (= kegiatan / kesibukan seseorang).
Ini
diambil dari Webster’s New World
Dictionary.
Tetapi
karena istilah ‘free will’ sudah
begitu populer, dan lebih-lebih dalam kalangan orang awam di Indonesia istilah
kehendak bebas sangat populer sedangkan istilah ‘agen bebas’ dan ‘tindakan
bebas’ tidak pernah terdengar, maka saya tetap menggunakan istilah free will / kehendak bebas. Tetapi tentu saja kita harus
berhati-hati terhadap penyalahgunaan dari istilah free will / kehendak bebas ini.
2)
Arti yang salah dan benar dari free
will ( = kehendak bebas).
a)
Adanya free will / kehendak
bebas tidak berarti bahwa manusia itu bebas secara mutlak.
Kalau
kita meninjau doktrin Allah (theology),
maka kita bisa melihat bahwa satu-satunya makhluk yang bebas mutlak adalah
Allah, dan Allah menciptakan segala sesuatu dan membuat segala sesuatu
tergantung kepada diriNya (Neh 9:6 Maz
94:17-19 Maz 104:27-30 Kis 17:28 1Tim 6:13
Ibr 1:3). Jadi jelas bahwa manusia tidak bebas secara mutlak, tetapi
sebaliknya tergantung kepada Allah.
b) Adanya free
will / kehendak bebas tidak berarti bahwa manusia selalu bisa / mampu
melakukan apa yang ia kehendaki.
Ini
berlaku dalam hal:
1. Biasa
/ jasmani. Misalnya manusia boleh saja ingin terbang, tetapi ia tidak bisa
terbang.
2. Rohani.
Orang berdosa di luar Kristus tidak bisa berbuat baik atau datang kepada Kristus
dengan kekuatannya sendiri. Bahkan orang kristenpun sering menginginkan hal yang
baik tetapi tidak mampu melakukannya (Ro 7:18-23
Mat 26:41).
Jadi
free will / kehendak bebas tidak berhubungan dengan kemampuan untuk
melakukan apa yang ia kehendaki.
c) Adanya free
will / kehendak bebas tidak berarti pada saat manapun dalam kehidupannya,
manusia itu betul-betul bisa memilih beberapa tindakan sesuai dengan
kehendaknya sendiri.
Orang
Reformed / Calvinist mempercayai bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Allah, dan
pasti akan terjadi sesuai kehendak Allah. Karena itu adalah omong kosong kalau
kita dalam hal ini beranggapan bahwa manusia betul-betul bisa memilih
tindakan sesuai dengan kemauannya. Sebaliknya, ia pasti akan melakukan tindakan
yang telah ditentukan oleh Allah.
d) Free will / kehendak bebas berarti: semua yang manusia lakukan, ia
lakukan sesuai dengan ketetapan Tuhan, tetapi pada saat yang sama, ia tetap
melakukan itu karena itu memang adalah kehendaknya / keputusannya. Ia tidak
dipaksa oleh Allah untuk melakukan kehendak / ketetapan Allah tersebut. Ia akan
secara sukarela melakukan ketetapan Allah tersebut.
Bahkan
pada saat manusia itu dipaksa untuk melakukan sesuatu, ia tetap melakukan sesuai
keputusan / kehendaknya sendiri. Misalnya: seseorang ditodong dan dipaksa untuk
menyerahkan uangnya. Ia bisa saja memutuskan untuk melawan, apapun resikonya.
Tetapi setelah ia mempertimbangkan resiko kehilangan nyawa / terluka, maka ia
mengambil keputusan untuk menyerahkan uangnya. Ini tetap adalah keputusan /
kehendak bebasnya. Karena itu sebetulnya ungkapan bahasa Inggris ‘I
did it against my will’ (= aku melakukan itu bertentangan kehendakku)
adalah sesuatu yang salah.
Yang
bisa terjadi adalah: sesuatu dilakukan terhadap kita bertentangan dengan
kehendak kita. Misalnya kita diikat lalu dibawa ke tempat yang tidak kita
ingini. Tetapi ini bukan kita yang melakukan.
Jadi,
kalau kita melakukan sesuatu, itu karena kita mau / menghendaki untuk
melakukan hal itu.
Jadi,
dari point-point di atas terlihat jelas bahwa Calvinisme menerima free will
dalam arti yang berbeda dengan yang diterima oleh orang-orang Arminian!
Jadi,
apakah Calvinist setuju dengan free will? Tergantung dalam arti apa? Dalam
arti seperti yang dipakai oleh orang-orang Arminian, Calvinist tidak setuju
free will, tetapi dalam arti seperti yang digunakan oleh Calvinisme, Calvinist
setuju dengan free will!
3)
Penetapan Allah / Predestinasi tidak menghancurkan kebebasan manusia.
Sekalipun
Calvinisme mempercayai kedaulatan Allah yang menentukan keselamatan seseorang
dan bahkan juga menentukan segala sesuatu yang lain, tetapi Calvinisme tetap
mempercayai kebebasan manusia. Mengapa? Karena dalam Kitab Suci kita melihat
bahwa sekalipun segala sesuatu terjadi sesuai kehendak / rencana Allah, tetapi
pada waktu manusianya melakukan hal itu, ia tidak dipaksa, tetapi melakukannya
dengan sukarela.
Misalnya:
a) Pada waktu
mengutus Musa kepada Firaun, Tuhan berkata bahwa Ia akan mengeraskan hati Firaun
(Kel 4:21 7:3). Ini
menunjukkan bahwa Tuhan sudah menentukan bahwa Firaun tidak akan melepaskan
Israel. Tetapi pada waktu Musa sampai kepada Firaun, dikatakan bahwa ‘Firaun
mengeraskan hatinya sendiri’ (Kel 7:22 8:15,19,32
9:34-35 14:5).
b) Yudas
mengkhianati / menyerahkan Yesus sesuai dengan ketetapan Allah (Luk 22:22),
tetapi pada waktu Yudas melakukan hal itu, ia betul-betul melakukannya dengan
kehendaknya sendiri. Kita tidak melihat bahwa Allah memaksa dia untuk
mengkhianati Yesus.
c) Orang-orang yang
membunuh Yesus melakukan hal itu sesuai dengan apa yang sudah Allah tentukan
dari semula (Kis 4:27-28), tetapi pada waktu mereka melakukannya, mereka
betul-betul bebas, dan melakukannya atas kehendak mereka sendiri.
Nah, apa kata Alkitab? Alkitab penuh dengan bukti implisit maupun eksplisit
bahwa manusia diciptakan dengan kehendak bebas. Alkitab tidak banyak berusaha
membuktikan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, sama seperti Alkitab tidak
banyak berusaha membuktikan bahwa Allah ada. Kedua fakta ini diterima secara
implisit dan sudah dianggap benar oleh para penulis Alkitab. Setiap kali ada
himbauan dalam Firman Tuhan, itu adalah bukti implisit bahwa manusia dapat
memilih.
Tanggapan
saya:
1)
Omong kosong! Kata-kata Liauw di atas benar tentang keberadaan Allah,
tetapi salah kalau berkenaan dengan free will. Yang benar adalah dalam Alkitab
ada banyak ayat yang menunjukkan bahwa manusia tidak bisa melakukan apa-apa
selain yang Allah tentukan. Contoh:
Amsal 16:1,9 - “(1) Manusia dapat menimbang-nimbang
dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada TUHAN. ... (9) Hati
manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah
langkahnya”.
Amsal
20:24 - “Langkah orang ditentukan
oleh TUHAN, tetapi bagaimanakah manusia dapat mengerti jalan hidupnya?”.
Yer 10:23 - “Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak
berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk
menetapkan langkahnya”.
Kel 21:13 - “Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja,
melainkan tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan
menunjukkan bagimu suatu tempat, ke mana ia dapat lari”.
2)
Liauw mengatakan ‘Setiap
kali ada himbauan dalam Firman Tuhan, itu adalah bukti implisit bahwa manusia
dapat memilih’. Saya akan buktikan bahwa kata-kata
Liauw ini salah sama sekali.
a)
Bukti pertama. Alkitab menyuruh orang percaya kepada Yesus (Kis 16:31).
Apakah manusia, dengan kekuatannya sendiri bisa percaya? Jawabannya ada dalam
Yoh 6:44,65 - “(44) Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepadaKu,
jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan
Kubangkitkan pada akhir zaman. ... (65) Lalu Ia berkata: ‘Sebab itu telah
Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorangpun dapat datang kepadaKu, kalau Bapa
tidak mengaruniakannya kepadanya.’”. Jadi, jawabannya jelas adalah
‘Tidak!’.
b)
Bukti kedua. Alkitab mendesak manusia untuk tidak berdosa.
1Yoh 2:1 - “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan
kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat
dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang
adil”.
Apakah manusia bisa memilih untuk tidak berbuat dosa. Rasul
Yohanes yang menulis ayat di atas, sudah menulis lebih dulu jawabannya dalam
1Yoh 1:8,10 - “(8) Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita
menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. ... (10) Jika
kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi
pendusta dan firmanNya tidak ada di dalam kita”.
Jadi jelas bahwa jawabannya lagi-lagi adalah ‘Tidak
bisa!’.
Setiap kali para penulis Alkitab memaparkan argumen, itu adalah bukti bahwa mereka mencoba untuk menyodorkan pertimbangan-pertimbangan kepada intelek para pembaca, agar pembaca membuat keputusan yang benar. Ini adalah bukti implisit bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Bahkan Allah sendiri berkata: “Marilah, baiklah kita berperkara” (Yes. 1:18). Tuhan berusaha untuk meyakinkan manusia agar memilih yang baik. Ini adalah bukti kuat bahwa Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia. Tetapi, bukankah Tuhan itu berdaulat dan dapat menentukan apa yang akan dipilih oleh manusia? Benar! Tetapi Tuhan yang berdaulat itu telah memutuskan untuk membiarkan manusia yang memilih sendiri. Dan Tuhan konsisten dengan keputusanNya, sehingga Ia hanya akan meyakinkan manusia, bukan menentukan bagi manusia. Tentu manusia akan mempertanggungjawabkan pilihannya di hadapan Tuhan suatu hari.
Tanggapan
saya:
1)
Lagi-lagi suatu pengambilan kesimpulan berdasarkan logika (yang tolol),
yang bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab! Di atas sudah saya berikan contoh,
bahwa kalau ada perintah dalam Alkitab, belum tentu manusia bisa memilih untuk
mentaatinya. Sekarang saya beri contoh-contoh lagi, yaitu ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa manusia tidak bisa mentaati Tuhan dengan kekuatannya sendiri.
·
Kej 6:5
- “Ketika dilihat TUHAN bahwa kejahatan
manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu
membuahkan kejahatan semata-mata, ...”.
·
Yer 4:22
- “Sungguh, bodohlah umatKu itu, mereka
tidak mengenal Aku! Mereka adalah anak-anak tolol, dan tidak mempunyai
pengertian! Mereka pintar untuk berbuat jahat, tetapi untuk berbuat baik
mereka tidak tahu”.
·
Yer 13:23
- “Dapatkah orang Etiopia mengganti
kulitnya atau macan tutul mengubah belangnya? Masakan kamu dapat berbuat
baik, hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat?”.
·
Yoh 8:34b -
“setiap orang yang berbuat dosa adalah hamba
dosa”.
Istilah
‘hamba’ perlu ditekankan di sini. Dengan manusia dinyatakan sebagai ‘hamba
dosa’, itu jelas menunjukkan bahwa ia selalu / terus menerus menuruti dosa,
dan tidak bisa berbuat baik. Ini dinyatakan secara lebih jelas oleh Ro 6:16-17,20-21.
Perhatikan khususnya Ro 6:20 yang berbunyi: “Sebab
waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran”. Istilah ‘bebas
dari kebenaran’ itu jelas menunjukkan bahwa manusia berdosa itu tidak bisa
berbuat apapun yang benar!
·
Ro 7:18-19
- “(18) Sebab aku tahu bahwa di
dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak
memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. (19) Sebab
bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa
yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat”.
Dari
ayat ini kelihatan sepintas bahwa dalam diri manusia ada kehendak yang baik.
Tetapi jelas bahwa ayat ini tidak boleh ditafsirkan bahwa dalam diri manusia
berdosa di luar Kristus itu sendiri bisa ada kehendak yang baik, karena:
*
penafsiran
ini akan bertentangan dengan Ro 7:18nya yang mengatakan ‘tidak
ada sesuatu yang baik’.
*
penafsiran
ini juga akan bertentangan dengan Fil 2:13 yang berbunyi:
Fil 2:13
berbunyi: ”karena Allahlah yang
mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut
kerelaanNya”.
Ini
terjemahannya kurang jelas. Perhatikan terjemahan-terjemahan Kitab Suci bahasa
Inggris di bawah ini:
KJV:
“For it is God which worketh in
you both to will and to do of his good pleasure” (= Karena Allahlah
yang bekerja dalam kamu baik untuk menghendaki maupun untuk melakukan
kehendakNya yang baik).
RSV:
“for God is at work in you, both
to will and to work for his good pleasure” (= karena Allah bekerja
dalam kamu, baik untuk menghendaki maupun untuk mengerjakan untuk
kehendakNya yang baik).
NASB:
“for it is God who is at work in
you, both to will and to work for His good pleasure” (= karena
Allahlah yang bekerja dalam ka-mu, baik untuk menghendaki maupun untuk
mengerjakan untuk kehendakNya yang baik).
NIV:
“for it is God who works in you to
will and to act according to his good purpose” (= karena Allahlah yang
bekerja dalam kamu untuk menghendaki dan untuk berbuat menurut rencanaNya
yang baik).
Ini
menunjukkan bahwa baik keinginan maupun kemampuan untuk melakukan
apa yang baik itu datang dari Tuhan.
Jadi,
Ro 7:18-19 ini bukan menggambarkan Paulus pada waktu belum kristen, tetapi
sesudah ia menjadi kristen (perhatikan bahwa ayat itu menggunakan present tense, bukan past
tense). Karena itu ia sudah mempunyai kemauan / kehendak yang baik (dari Roh
Kudus), tetapi bagaimanapun apa yang ia capai / lakukan jauh lebih rendah dari
apa yang ia kehendaki, dan berdasarkan pengalaman itu ia menuliskan ayat itu.
·
Ro 8:7-8
- “(7) Sebab keinginan daging adalah
perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal
ini memang tidak mungkin baginya. (8) Mereka yang hidup dalam daging, tidak
mungkin berkenan kepada Allah”.
2)
Bagian akhir dari kata-kata Liauw sangat bertentangan dengan akal sehat
maupun Alkitab.
Ia berkata ‘Tetapi,
bukankah Tuhan itu berdaulat dan dapat menentukan apa yang akan dipilih oleh
manusia? Benar! Tetapi Tuhan yang berdaulat itu telah memutuskan untuk
membiarkan manusia yang memilih sendiri.’.
Ini mustahil, dan sama saja dengan mengatakan bahwa Tuhan yang berdaulat itu
memilih untuk menjadi tidak berdaulat! Di atas Liauw sendiri mengatakan bahwa
Tuhan tidak mungkin melakukan apa yang bertentangan dengan sifatNya /
keberadaanNya. Itu benar. Tuhan tidak bisa memilih untuk tidak ada di tempat
manapun, karena Ia memang maha ada. Tuhan tidak bisa memilih untuk musnah,
karena Ia kekal. Tuhan tidak bisa memilih untuk berubah, karena Ia memang tidak
bisa berubah. Dan dalam persoalan ini, kedaulatanNya tidak memungkinkanNya untuk
memutuskan memberikan kebebasan kepada manusia.
Catatan: yang saya maksudkan dengan
‘kebebasan’ disini adalah kebebasan dalam arti Arminian!
Saya kira Liauw melihat hanya ayat-ayat dari sudut pandang manusia,
dan tidak melihat ayat-ayat dari sudut pandang Tuhan (dan yang terakhir ini
adalah realita yang sebenarnya!). Dan ini memang merupakan kesalahan cara
berpikir orang-orang Arminian.
Contoh:
a)
Pada waktu Musa menghadap Firaun, Firaun menolak melepaskan Israel (Kel
5). Dari sudut pandang manusia, kelihatannya ini merupakan keputusan Furaun
sendiri. Tetapi dari sudut pandang Allah keputusan Firaun itu terjadi karena
pekerjaan Allah, karena Kel 4:21 berkata: “Firman TUHAN kepada Musa:
‘Pada waktu engkau hendak kembali ini ke Mesir, ingatlah, supaya segala
mujizat yang telah Kuserahkan ke dalam tanganmu, kauperbuat di depan Firaun. Tetapi
Aku akan mengeraskan hatinya, sehingga ia tidak membiarkan bangsa itu pergi”.
b)
Paulus, atau Saulus, bertobat dan percaya kepada Yesus setelah ia melihat
mujijat (Kis 9). Dari sudut pandang manusia kelihatannya ini merupakan keputusan
Paulus sendiri. Tetapi dari sudut pandang Allah, Gal 1:15-16 mengatakan: “(15)
Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil
aku oleh kasih karuniaNya, (16) berkenan menyatakan AnakNya di dalam aku,
supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun
aku tidak minta pertimbangan kepada manusia”.
c)
12 murid Yesus ikut Yesus. Dari sudut pandang manusia, mereka ikut karena
mereka memilih seperti itu. Tetapi Yoh 15:16 menunjukkannya dari sudut pandang
Tuhan. Yoh 15:16 - “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang
memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan
menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada
Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu”.
d)
Yudas Iskariot menjadi pengkhianat dan akhirnya binasa. Dari sudut
pandang manusia, kelihatannya ia melakukan hal itu semata-mata karena pilihannya
sendiri. Tetapi dari sudut pandang Allah, Luk 22:22 mengatakan “Sebab Anak
Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi,
celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”. Dan Yoh 17:12 - “Selama
Aku bersama mereka, Aku memelihara mereka dalam namaMu, yaitu namaMu yang telah
Engkau berikan kepadaKu; Aku telah menjaga mereka dan tidak ada seorangpun
dari mereka yang binasa selain dari pada dia yang telah ditentukan untuk binasa,
supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci”.
e)
Orang mendengar Injil dan percaya Yesus, kelihatannya (dari sudut pandang
manusia) karena pemilihan mereka sendiri. Tetapi perhatikan Kis 13:48 - “Mendengar
itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan
firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal,
menjadi percaya”.
f)
Yakub beriman, Esau tidak. Kelihatannya semua ini terjadi semata-mata
karena pemilihan mereka sendiri. Tetapi itu drt sudut pandang manusia. Dari
sudut pandang Allah berlaku Ro 9:11-13 - “(11) Sebab waktu anak-anak itu
belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, - supaya rencana
Allah tentang pemilihanNya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan,
tetapi berdasarkan panggilanNya - (12) dikatakan kepada Ribka: ‘Anak yang
tua akan menjadi hamba anak yang muda,’ (13) seperti ada tertulis: ‘Aku
mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau.’”.
Bahkan kisah pencobaan di taman Eden pun merupakan bukti implisit bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Perintah Tuhan kepada manusia untuk tidak makan dari buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat adalah bukti bahwa minimal ada dua pilihan! Dan fakta bahwa Tuhan sangat marah dan kecewa saat Adam dan Hawa makan buah itu, membuktikan bahwa Tuhan tidak menetapkan demikian.
Tanggapan
saya:
1)
Memang dari sudut pandang manusia ada dua pilihan. Tetapi dari sudut
pandang Tuhan, jelas Dia sudah menentukan hal itu.
Saya kutipkan dari buku saya ‘providence of God’ di bawah
ini.
Dosa / kejatuhan Adam mempunyai 3 kemungkinan:
a) Adam ditentukan
untuk tidak jatuh.
Kemungkinan ini harus dibuang, karena kalau Adam direncanakan untuk
tidak jatuh, maka ia pasti tidak jatuh (ingat bahwa Rencana Allah tidak bisa
gagal - lihat pelajaran II, point B,C di atas).
Ayat-ayat dalam pelajaran II, point B,C akan saya berikan di bawah
ini.
·
Yes 14:24,26-27 - “(24) TUHAN semesta alam telah bersumpah, firmanNya:
‘Sesungguhnya seperti yang Kumaksud, demikianlah akan terjadi, dan seperti
yang Kurancang, demikianlah akan terlaksana: ... (26) Itulah rancangan
yang telah dibuat mengenai seluruh bumi, dan itulah tangan yang teracung
terhadap segala bangsa. (27) TUHAN semesta alam telah merancang, siapakah
yang dapat menggagalkannya? TanganNya telah teracung, siapakah yang dapat
membuatnya ditarik kembali?”.
·
Yes 25:1 - “Ya
TUHAN, Engkaulah Allahku; aku mau meninggikan Engkau, mau menyanyikan syukur
bagi namaMu; sebab dengan kesetiaan yang teguh Engkau telah melaksanakan
rancanganMu yang ajaib yang telah ada sejak dahulu”.
·
Yes 37:26 - “Bukankah telah kaudengar, bahwa Aku telah menentukannya dari
jauh hari dan telah merancangnya dari zaman purbakala? Sekarang Aku
mewujudkannya, bahwa engkau membuat sunyi senyap kota-kota yang berkubu
menjadi timbunan batu”.
·
Yes 43:13
- “Juga seterusnya Aku tetap Dia, dan tidak ada yang dapat
melepaskan dari tanganKu; Aku melakukannya, siapakah yang dapat
mencegahnya?”.
·
Ayub 42:1-2 - “(1)
Maka jawab Ayub kepada TUHAN: (2) ‘Aku tahu, bahwa Engkau sanggup
melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal’”.
·
Yes 46:10-11 - “(10)
yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala
apa yang belum terlaksana, yang berkata: KeputusanKu akan sampai, dan
segala kehendakKu akan Kulaksanakan, (11) yang memanggil burung buas dari
timur, dan orang yang melaksanakan putusanKu dari negeri yang jauh. Aku
telah mengatakannya, maka Aku hendak melangsungkannya, Aku telah
merencanakannya, maka Aku hendak melaksanakannya”.
b) Allah tidak
merencanakan apa-apa tentang hal itu.
Ini juga tidak mungkin karena kalau Allah mempunyai Rencana /
kehendak tentang hal-hal yang remeh / tidak berarti seperti jatuhnya burung
pipit ke bumi atau rontoknya rambut kita (bdk. Mat 10:29-30), bagaimana mungkin
tentang hal yang begitu besar dan penting, yang menyangkut kejatuhan dari
ciptaanNya yang tertinggi, Ia tidak mempunyai Rencana?
c)
Allah memang merencanakan / menetapkan kejatuhan Adam ke dalam dosa.
Inilah satu-satunya kemungkinan yang tertinggal, dan inilah
satu-satunya kemungkinan yang benar, dan ini menunjukkan bahwa dosa sudah ada
dalam Rencana Allah.
Jerome Zanchius:
“That
he fell in consequence of the Divine decree we prove thus: God was either
willing that Adam should fall, or unwilling, or indifferent about it. If God was
unwilling that Adam should transgress, how came it to pass that he did? ...
Surely, If God had not willed the fall, He could, and no doubt would, have
prevented it; but He did not prevent it: ergo, He willed it. And if he willed
it, He certainly decreed it, for the decree of God is nothing else but the seal
and ratification of His will. He does nothing but what He decreed, and He
decreed nothing which He did not will, and both will and decree are absolutely
eternal, though the execution of both be in time. The only way to evade the
force of this reasoning is to say that ‘God was indifferent and unconcerned
whether man stood or fell’. But in what a shameful, unworthy light does this
represent the Deity! Is it possible for us to imagine that God could be an idle,
careless spectator of one of the most important events that ever came to pass?
Are not ‘the very hairs of our head are numbered’? Or does ‘a sparrow fall
to the ground without our heavenly Father’? If, then, things the most trivial
and worthless are subject to the appointment of His decree and the control of
His providence, how much more is man, the masterpiece of this lower creation?” (= Bahwa ia (Adam) jatuh sebagai akibat
dari ketetapan ilahi kami buktikan demikian: Allah itu atau menghendaki Adam
jatuh, atau tidak menghendaki, atau acuh tak acuh / tak peduli tentang hal itu.
Jika Allah tidak menghendaki Adam melanggar, bagaimana mungkin ia melanggar? ...
Tentu saja, jika Allah tidak menghendaki kejatuhan itu, Ia bisa, dan tidak
diragukan Ia akan mencegahnya; tetapi Ia tidak mencegahnya: jadi, Ia
menghendakinya. Dan jika Ia menghendakinya, Ia pasti menetapkannya, karena
ketetapan Allah tidak lain adalah meterai dan pengesahan kehendakNya. Ia tidak
melakukan apapun kecuali apa yang telah Ia tetapkan, dan Ia tidak menetapkan
apapun yang tidak Ia kehendaki, dan baik kehendak maupun ketetapan adalah kekal
secara mutlak, sekalipun pelaksanaan keduanya ada dalam waktu. Satu-satunya cara
untuk menghindarkan kekuatan dari pemikiran ini adalah dengan mengatakan bahwa
‘Allah bersikap acuh tak acuh dan tidak peduli apakah manusia itu jatuh atau
tetap berdiri’. Tetapi alangkah memalukan dan tak berharganya terang seperti
ini dalam menggambarkan Allah! Mungkinkah bagi kita untuk membayangkan bahwa
Allah bisa menjadi penonton yang malas dan tak peduli terhadap salah satu
peristiwa yang terpenting yang akan terjadi? Bukankah ‘rambut kepala kita
dihitung’? Atau apakah ‘seekor burung pipit jatuh ke tanah tanpa Bapa
surgawi kita’? Jika hal-hal yang paling remeh dan tak berharga tunduk pada
penentuan ketetapanNya dan pada kontrol dari providensiaNya, betapa lebih lagi
manusia, karya terbesar dari ciptaan yang lebih rendah ini?) - ‘The Doctrine of Absolute
Predestination’, hal 88-89.
2) Tuhan kecewa?
Liauw berkata: ‘Dan fakta bahwa Tuhan sangat marah dan kecewa
saat Adam dan Hawa makan buah itu, membuktikan bahwa Tuhan tidak menetapkan
demikian’.
a)
Dari mana anda menemukan dalam Alkitab bahwa Tuhan kecewa atas hal itu?
Dan anda mengatakan bahwa itu adalah ‘fakta’?
Kecewa hanya bisa terjadi karena seseorang tadinya tidak
tahu, dan sekarang baru tahu. Misalnya, saya bertemu seseorang yang saya kira
baik, dan lalu saya jadikan rekan bisnis saya. Tahu-tahu semua uang saya ia
makan, dan sekarang saya kecewa. Saya membaca tulisan seorang doktor kristen,
dan saya kira tulisannya akan bermutu dan Alkitabiah. Ternyata, tulisannya
konyol, bodoh, penuh dengan dusta dan fitnahan. Maka sekarang saya menjadi
kecewa!
Jadi, dalam arti sebenarnya, bisakah Tuhan kecewa? Kalau Ia
bisa kecewa, Ia tidak maha tahu, dan kalau Ia tidak maha tahu, Ia bukan Allah.
b)
Kalau Tuhan tidak menetapkan demikian, lalu Ia menetapkan apa? Dari
penjelasan saya di atas cuma ada 2 kemungkinan lain, yaitu Ia menetapkan Adam
tidak jatuh, atau Ia tidak menetapkan apa-apa. Keduanya sudah saya buktikan
salah!
Hanya seorang yang telah dicuci otak oleh Kalvinisme yang dapat menyimpulkan dari Kejadian pasal 2 dan 3, bahwa Allah telah menetapkan Adam untuk jatuh ke dalam dosa!
Tanggapan
saya:
Bukan
hanya otaknya, Liauw! Juga seluruh hati, jiwa / rohnya. Dicuci oleh darah Yesus,
dikuduskan oleh Roh Kudus dengan menggunakan FirmanNya! Saya tidak tahu apakah
orang Arminian seperti anda juga mengalami itu. Tetapi saya mengalaminya!
Disamping,
kalau harus memilih antara ‘menjadi Calvinist yang dicuci otaknya’ dan
‘menjadi Arminian yang tidak punya otak’, maka saya memilih yang pertama!
Calvinist
memang percaya bahwa Allah telah menetapkan Adam jatuh ke dalam dosa. Tetapi
Calvinist mana yang mengatakan bahwa kami menyimpulkan itu dari Kej 2 dan 3?
Lagi-lagi tuduhan bersifat memfitnah, yang saya kira merupakan kebiasaan /
tradisi dari orang-orang Arminian pada umumnya!
Alkitab penuh dengan bukti implisit akan kehendak bebas manusia. Namun Alkitab juga mengandung pernyataan-pernyataan langsung tentang kehendak manusia tersebut. Ada banyak ayat tentang “kehendak manusia.” Yonatan pernah berkata kepada Daud demikian, “Apapun kehendak hatimu, aku akan melakukannya bagimu” (1 Sam. 20:4).
Tanggapan
saya:
Tentu
manusia punya kehendak, dan ia bertindak sesuai kehendaknya. Tetapi yang
dibicarakan di sini apakah kehendak itu sepenuhnya muncul dari dirinya sendiri
atau karena ketetapan dan pengaturan Tuhan?
Tuan dalam perumpamaan Yesus membuat pernyataan yang sangat menarik: “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku?” (Mat. 20:15).
Tanggapan
saya:
Penggunaan
ayat ini sangat bodoh, Liauw! Mengapa? Karena ‘Tuan’ itu (dalam Mat 20:15)
menunjuk kepada Tuhan sendiri! Jelas Ia memang bebas, karena Ia adalah Allah!
Ayat-ayat ini membuktikan bahwa keputusan manusia mengalir dari hatinya sendiri bukan ditentukan oleh pribadi lain. Kalvinis ingin agar kita percaya bahwa telah terjadi suatu sandiwara kosmik yang besar, tanpa disadari oleh para pemainnya. Manusia mengira ia menentukan keputusan-keputusannya sendiri, dan Alkitab pun mengacu kepada kehendak hati manusia, tetapi suatu hari nanti akan nyata bahwa ternyata kehendak hati itu telah ditentukan Tuhan! Satu-satunya yang kurang dari skenario ini adalah dukungan Alkitab.
Tanggapan
saya:
Kalau
dibaca seluruh tulisan Liauw sampai saat ini dan tanggapan saya sampai saat ini,
yang mana yang lebih banyak menggunakan Alkitab? Liauw hanya menggunakan logika,
saya yang menggunakan Alkitab. Bukan hanya dalam jawaban terhadap tulisan Liauw
ini, tetapi juga dalam buku ‘Providence of God’ saya, yang jelas sudah
dibaca oleh Liauw (karena ia bisa mengutip sangat banyak dari sana). Buku saya
itu menggunakan sangat banyak ayat, dan Liauw mengatakan ‘Satu-satunya
yang kurang dari skenario ini adalah dukungan Alkitab’.
Liauw, anda seorang pendusta! Bertobatlah, dan percayalah kepada Yesus sebagai
Tuhan dan Juruselamat anda, atau anda akan masuk neraka!
Anda tidak akan menemukan satu petunjuk pun dari Alkitab bahwa Allah telah menentukan segala keputusan, perasaan, dan tindakan manusia.
Tanggapan
saya:
Saya
sudah memberikan banyak ayat, Liauw! Anda terlalu bodoh untuk mengerti, atau
memang mau mendustai pembaca?
Saya
beri contoh lagi.
·
Kis 13:48 -
“Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan
mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk
hidup yang kekal, menjadi percaya”.
Orang-orang itu memutuskan untuk menjadi percaya. Mengapa?
Karena Allah yang telah menentukan mereka untuk hidup kekal bekerja dalam diri
mereka sehingga mereka menjadi percaya!
·
Luk
22:21-22 - “(21) Tetapi, lihat, tangan orang yang menyerahkan Aku, ada
bersama dengan Aku di meja ini. (22) Sebab Anak Manusia memang akan pergi
seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia
diserahkan!’”.
Yudas Iskariot berkhianat. Mengapa? Karena Allah telah
menetapkan hal itu.
·
Kis 4:27-28
- “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan
Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus,
HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu
yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
Banyak orang itu melawan Yesus. Mengapa? Dari sudut manusia
itu keputusan mereka sendiri, tetapi Kis 4:28nya menunjukkan bahwa dari sudut
Tuhan, mereka melakukan semua itu karena itu ketetapan Tuhan.
·
1Sam
2:22-25 - “(22) Eli telah sangat tua. Apabila didengarnya segala sesuatu
yang dilakukan anak-anaknya terhadap semua orang Israel dan bahwa mereka itu
tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan,
(23) berkatalah ia kepada mereka: ‘Mengapa kamu melakukan hal-hal yang begitu,
sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang perbuatan-perbuatanmu yang
jahat itu? (24) Janganlah begitu, anak-anakku. Bukan kabar baik yang kudengar
itu bahwa kamu menyebabkan umat TUHAN melakukan pelanggaran. (25) Jika seseorang
berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika
seseorang berdosa terhadap TUHAN, siapakah yang menjadi perantara baginya?’ Tetapi
tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan
mereka”.
Eli menasehati anak-anaknya yang brengsek. Mereka tidak
mempedulikannya. Dari sudut pandang manusia, itu terjadi semata-mata karena
keputusan mereka. Tetapi Ay 25b-nya menunjukkan bahwa dari sudut pandang Allah,
Allah yang mengatur hal itu, karena Ia hendak membunuh / menghukum mati mereka.
Sebaliknya, dalam kasus-kasus tertentu, justru Allah yang mengikuti kehendak manusia. Demikianlah pemazmur mengumandangkan kebenaran ini: “Ia melakukan kehendak orang-orang yang takut akan Dia, mendengarkan teriak mereka minta tolong dan menyelamatkan mereka” (Maz. 145:19).
Tanggapan
saya:
Konyol
dan bodoh sekali, Liauw! Ayat ini bicara tentang orang-orang yang berdoa, yang
doanya dikabulkan oleh Allah. Dan ini anda jadikan bukti bahwa ‘Allah yang
mengikuti kehendak manusia’? Salah, Liauw, karena doa kita hanya dikabulkan
oleh Allah kalau doa itu sesuai dengan kehendakNya.
1Yoh
5:14 - “Dan inilah keberanian percaya kita kepadaNya, yaitu bahwa Ia
mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepadaNya menurut
kehendakNya”.
Karena
itu, Yesus mengajar kita berdoa: “datanglah KerajaanMu, jadilah
kehendakMu di bumi seperti di sorga”
(Mat 6:10). Dan Yesus sendiri mempraktekkannya dalam Mat 26:39,42 - “(39)
Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kataNya: ‘Ya BapaKu, jikalau
sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah
seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.’ ...
(42) Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kataNya: ‘Ya BapaKu jikalau
cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah
kehendakMu!’”.
Jadi,
siapa yang menuruti kehendak siapa, Liauw?
Apakah kita harus percaya, sebagaimana pengajaran Kalvinis, bahwa Allah menentukan dulu kehendak orang-orang itu, lalu membiarkan orang-orang itu merasa bahwa mereka berkehendak dari diri mereka sendiri, dan lalu menyatakan bahwa Dia mengikuti kehendak mereka? Saya tidak percaya bahwa Allah menipu kita dengan sandiwara kosmik seperti itu!
Tanggapan
saya:
Anda
bukan ditipu oleh Allah, tetapi oleh pengajaran / penafsiran Arminian yang
salah! Anda menipu diri anda sendiri, dan sekarang malah menuduh Allah?
Lagi-lagi, Liauw, bertobatlah, dan percayalah kepada Yesus Kristus!
Itu bertentangan dengan kesaksian Alkitab!
Tanggapan
saya:
Kesaksian
Alkitab yang mana? Dari awal anda hampir tidak menggunakan ayat, dan hanya
menggunakan logika. Dan semuanya sudah saya patahkan!
Kalau Allah menentukan segala sesuatu, maka adalah olok-olok bagi Allah untuk menyuruh manusia memilih. Tuhan, melalui Yosua, pernah menantang orang Israel: “pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yos. 24:15). Bukankah ini semua suatu sandiwara besar jika ternyata Tuhan telah menentukan siapa yang akan memilih Dia, dan siapa yang memilih ilah lain? Bukankah olok-olok jika kemudian Tuhan memarahi mereka yang melaksanakan ketetapanNya sendiri untuk memilih ilah lain? Bukankah bertentangan dengan keadilan Tuhan jika kemudian Tuhan menghukum orang-orang yang tidak dapat berbuat lain daripada rencana rahasiaNya? O, teman-temanku Kalvinis, tidak dapatkah engkau melihat, betapa Kalvinisme menjatuhkan karakter Tuhan?
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
Liauw menggunakan ayat yang disertai penafsiran berdasarkan logika bodohnya,
yang akhirnya menabrak ayat-ayat Alkitab. Memang Tuhan menyuruh mereka memilih,
tetapi Tuhan juga sudah menentukan mereka akan memilih apa. Ini terlihat karena
pada jaman Musa sudah ada nubuat bahwa mereka akan menyembah berhala kalau
mereka sudah tiba di Kanaan.
Ul
32 (nyanyian Musa), pada ayat ke 15-18 berbunyi sebagai berikut: “(15) Lalu
menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, - bertambah gemuk engkau,
gendut dan tambun - dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia
memandang rendah gunung batu keselamatannya. (16) Mereka membangkitkan
cemburuNya dengan allah asing, mereka menimbulkan sakit hatiNya dengan dewa
kekejian, (17) mereka mempersembahkan korban kepada roh-roh jahat yang bukan
Allah, kepada allah yang tidak mereka kenal, allah baru yang belum lama timbul,
yang kepadanya nenek moyangmu tidak gentar. (18) Gunung batu yang
memperanakkan engkau, telah kaulalaikan, dan telah kaulupakan Allah yang
melahirkan engkau”.
Saya
tahu apa yang kira-kira akan diberikan sebagai tanggapan tentang hal ini oleh
orang-orang Arminian seperti Liauw ini. mereka akan mengatakan: ‘Itu kan cuma
nubuat. Jadi, cuma menunjukkan bahwa Allah tahu hal itu akan terjadi, tetapi
bukannya menentukan hal itu!’.
Tidak,
kalau ada nubuat, itu karena Allah terlebih dulu sudah menentukan hal itu. Saya
akan membuktikannya dari ayat-ayat Alkitab. Bagian di bawah ini lagi-lagi saya
kutip dari buku ‘Providence of God’ saya.
Kalau Tuhan menubuatkan tentang akan terjadinya suatu hal tertentu,
itu disebabkan karena Ia sudah lebih dulu menentukan terjadinya hal itu.
Ini terlihat dari:
¨
perbandingan
Mat 26:24 dengan Luk 22:22.
Mat 26:24 - “Anak
Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia,
akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah
lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan”.
Luk 22:22 - “Sebab
Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan
tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan”.
Kedua ayat ini paralel dan sama-sama berbicara tentang pengkhianatan
Yudas, tetapi kalau Mat 26:24 mengatakan bahwa hal itu ‘sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia’, yang hanya menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena sudah
dinubuatkan, maka Luk 22:22 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘seperti yang telah ditetapkan’, yang menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena sudah ditetapkan
oleh Allah dalam kekekalan.
¨
perbandingan
Kis 2:23 Kis 3:18 dan Kis 4:27-28.
Kis 2:23 - “Dia
yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan
dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kis 3:18 - “Tetapi
dengan jalan demikian Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankanNya
dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya
harus menderita”.
Kis 4:27-28 - “(27)
Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus
beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang
kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah
Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
Semua ayat di atas ini berbicara tentang penderitaan / penyaliban
yang dialami oleh Kristus. Tetapi kalau Kis 3:18 mengatakan bahwa hal itu
terjadi ‘menggenapi
apa yang telah difirmankannya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya’, yang hanya menunjuk-kan bahwa hal itu terjadi karena sudah
dinubuatkan, maka Kis 2:23 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘menurut maksud dan rencanaNya’ dan Kis 4:28 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari
semula oleh kuasa dan kehendakMu’,
yang jelas menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena sudah ditentukan oleh Allah
dalam kekekalan.
¨
Yes 44:26a - “Akulah
yang menguatkan perkataan hamba-hambaKu dan melaksanakan keputusan-keputusan
yang diberitakan utusan-utusanKu”.
Perhatikan bahwa apa yang diberitakan
(dinubuatkan) oleh utusan-utusan Tuhan itu adalah keputusan dari Tuhan.
¨
Yes 46:10-11
- “(10) yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian
dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: KeputusanKu
akan sampai, dan segala kehendakKu akan Kulaksanakan, (11) yang memanggil
burung buas dari timur, dan orang yang melaksanakan putusanKu dari negeri
yang jauh. Aku telah mengatakannya, maka Aku hendak melangsungkannya, Aku
telah merencanakannya, maka Aku hendak melaksanakannya”.
Perhatikan bahwa dalam Yes 46:10a dikatakan bahwa Tuhan ‘memberitahukan’,
tetapi dalam Yes 46:10b-11a dikatakan bahwa itu adalah ‘keputusanKu’,
‘kehendakKu’,
dan ‘putusanKu’.
Selanjutnya Yes 46:11b terdiri dari 2 kalimat paralel yang sebetulnya
memaksudkan hal yang sama, tetapi kalimat pertama menggunakan istilah ‘mengatakannya’,
yang hanya menunjukkan nubuat Allah, sedangkan kalimat kedua menggunakan istilah
‘merencanakannya’,
yang jelas menunjuk pada rencana / ketetapan Allah.
¨
Yer 4:28 - “Karena
hal ini bumi akan berkabung, dan langit di atas akan menjadi gelap, sebab Aku
telah mengatakannya, Aku telah merancangnya, Aku tidak akan
menyesalinya dan tidak akan mundur dari pada itu”.
Ayat ini baru mengatakan ‘Aku
telah mengatakannya’ dan lalu langsung menyambungnya dengan ‘Aku telah merancangnya’. Ini jelas
menunjukkan bahwa Tuhan mengatakan sesuatu kepada nabi-nabi (yang lalu
dinubuatkan oleh para nabi itu), karena Tuhan telah merancang / merencanakannya.
¨
Amos 3:7
- “Sungguh, Tuhan Allah
tidak berbuat sesuatu tanpa menyatakan keputusanNya kepada
hamba-hambaNya, para nabi”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh
Tuhan kepada pada nabi (dan lalu dinubuatkan oleh nabi-nabi itu) adalah
keputusanNya [NIV: ‘his plan’
(= rencanaNya)].
¨
Rat 2:17a
- “TUHAN telah menjalankan yang dirancangkanNya, Ia
melaksanakan yang difirmankanNya”.
Bagian akhir dari ayat ini mengatakan bahwa Tuhan melaksanakan yang difirmankanNya
/ dinubuatkanNya; tetapi bagian awal dari ayat ini mengatakan bahwa Tuhan
menjalankan yang dirancangkanNya. Jelas bahwa apa yang dinubuatkan adalah
apa yang dahulu telah dirancangkanNya.
¨
Rat 3:37
- “Siapa berfirman, maka semuanya jadi? Bukankah Tuhan yang memerintahkannya?”.
NIV: ‘Who can speak and have it happen if the Lord has not decreed
it’ (= Siapa
yang bisa berbicara dan membuatnya terjadi jika Tuhan tidak menetapkannya?).
Ini jelas menunjukkan bahwa tidak ada nabi atau siapapun juga yang
bisa menubuatkan apapun kecuali Tuhan lebih dulu menetapkan hal itu.
¨
Yes 28:22b
- “sebab kudengar tentang kebinasaan yang sudah pasti yang datang
dari Tuhan ALLAH semesta alam atas seluruh negeri itu”.
NIV: ‘The Lord, the LORD Almighty, has told me of the destruction decreed
against the whole land’
(= Tuhan, TUHAN yang mahakuasa, telah memberitahu aku tentang kehancuran yang telah
ditetapkan terhadap seluruh negeri itu).
Ini jelas menunjukkan bahwa kehancuran yang oleh Tuhan diberitahukan
kepada Yesaya, dan lalu dinubuatkan oleh Yesaya, merupakan ketetapan Allah (decree
of God)
Jadi, kalau dalam
Kitab Suci dinubuatkan sesuatu, itu tidak sekedar berarti bahwa Allah hanya
tahu lebih dulu bahwa hal itu akan terjadi (foreknowledge)
dan lalu memberitahukan hal itu kepada manusia, tetapi itu berarti bahwa Allah
sudah menetapkan lebih dulu akan hal itu (foreordination)
dan lalu memberitahukan ketentuan / rencanaNya itu kepada manusia! Dengan
demikian jelas bahwa ayat-ayat diatas yang seakan-akan hanya memberitahukan
akan adanya dosa-dosa tertentu, sebetulnya menunjukkan bahwa dosa-dosa
tertentu itu sudah ditetapkan dan karenanya harus terjadi!
Lihatlah
betapa banyak ayat-ayat Alkitab yang saya gunakan! O orang-orang Arminian,
khususnya Liauw, tidak bisakah engkau melihat bahwa dengan menyerang Calvinisme,
engkau sudah menyerang Alkitab / Firman Tuhan sendiri? Dan pada waktu engkau
menolak Calvinisme, engkau sudah menolak Alkitab / Firman Tuhan sendiri? Dan
pada waktu memfitnah Calvinisme, engkau sudah memfitnah Alkitab / Firman Tuhan
sendiri?
Kalvinis
menganggap bahwa kemahatahuan Allah adalah benteng yang kuat bagi doktrinnya.
Mereka mengumandangkan bahwa jika seseorang menerima kemahatahuan Allah, maka ia
harus juga percaya bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Boettner bahkan
berkata: “Keberatan Arminian terhadap penentuan lebih dulu mengandung kekuatan
yang sama terhadap pengetahuan lebih dulu dari Allah. Apa yang Allah ketahui
lebih dulu pastilah sama tertentunya dan pastinya seperti apa yang ditentukan
lebih dulu.”
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
mengutip dari buku saya, tetapi anda melakukannya seakan-akan anda mengutip
langsung dari Boettner. Dan anda mengutip sebagian laginya. Saya berikan kutipan
penuh dari buku saya itu.
Loraine
Boettner: “The Arminian objection against
foreordination bears with equal force against the foreknowledge of God. What God
foreknows must, in the very nature of the case, be as fixed and certain as what
is foreordained; and if one is inconsistent with the free agency of man, the
other is also. Foreordination renders the events certain, while foreknowledge
presupposes that they are certain” (= Keberatan Arminian terhadap
penentuan lebih dulu mengandung / menghasilkan
kekuatan yang sama terhadap pengetahuan lebih dulu dari Allah. Apa yang
Allah ketahui lebih dulu pastilah sama tertentunya dan pastinya seperti apa yang
ditentukan lebih dulu; dan jika yang satu tidak konsisten dengan kebebasan
manusia, yang lain juga demikian. Penentuan lebih dulu membuat
peristiwa-peristiwa pasti / tertentu, sedangkan pengetahuan lebih dulu
mensyaratkan bahwa mereka itu pasti / tertentu) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 42.
Kita sudah melihat di bagian sebelumnya, bagaimana Kalvinis mengkaitkan kemahatahuan Allah dengan doktrinnya. Berikut ini saya kutip lagi penjelasan dari bagian sebelumnya:
Walaupun Non-Kalvinis mempercayai Allah mahatahu, Kalvinis memiliki pengertian yang lain tentang kemahatahuan. Kalvinis percaya bahwa jika Allah mahatahu, berarti Allah menentukan segala sesuatu. Logika Kalvinis berjalan seperti ini:
“Bayangkan suatu saat (minus tak terhingga) dimana alam semesta, malaikat, manusia, dsb belum diciptakan. Yang ada hanyalah Allah sendiri. Ini adalah sesuatu yang alkitabiah, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu (Kej 1 Yoh 1:1-3). Pada saat itu, karena Allah itu mahatahu (1Sam 2:3 – “Karena TUHAN itu Allah yang mahatahu”), maka Ia sudah mengetahui segala sesuatu (dalam arti kata yang mutlak) yang akan terjadi, termasuk dosa. Semua yang Ia tahu akan terjadi itu, pasti terjadi persis seperti yang Ia ketahui. Dengan kata lain, semua itu sudah tertentu pada saat itu. Kalau sudah tertentu, pasti ada yang menentukan (karena tidak mungkin hal-hal itu menentukan dirinya sendiri). Karena pada saat itu hanya ada Allah sendiri, maka jelas bahwa Ialah yang menentukan semua itu” (Budi Asali).
Saya akan memperjelas lagi dengan mengambil suatu contoh kasus imajiner, yaitu seorang bernama Budi yang suatu hari tertentu memilih untuk memakai baju merah. Allah sudah mengetahui bahwa Budi akan memakai baju merah pada hari itu. Pengetahuan Allah akan hal ini sudah sejak kekekalan lampau. Dan, pengetahuan Allah tentu tidak dapat salah atau gagal, karena Ia Allah dan Ia Mahatahu. Jadi, menurut filosofi Kalvinis, Budi tidak memiliki pilihan lain. Kalau Budi pada hari itu memilih baju biru, maka pengetahuan Allah menjadi salah, dan ini tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, walaupun tampaknya seolah-olah Budi menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih baju merah dari berbagai pilihan berwarna-warni baju di lemari, menurut Kalvinis sebenarnya Budi sudah ditetapkan untuk memilih baju merah, dan bahwa Budi tidak bisa memilih baju warna lain karena Allah sudah tahu dia akan pilih merah, dan pengetahuan Allah tidak bisa salah.
Lebih lanjut lagi, Kalvinis mengajarkan bahwa Allah mahatahu karena Allah telah menetapkan segala sesuatu! Kita sudah mengutip Shedd yang berkata, “Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
Di sinilah letak kesalahan dari Kalvinisme. Mereka membuat suatu asumsi filosofis bahwa:
1. Allah mengetahui lebih dahulu sama dengan Allah menentukan lebih dahulu
2. Pengetahuan Allah menyebabkan hal yang diketahui untuk terjadi
Padahal,
tidak ada dukungan Alkitab, dukungan logis, ataupun dukungan praktis untuk
asumsi tersebut.
Dalam dunia nyata, bukanlah pengetahuan seseorang akan peristiwa yang membuat
suatu peristiwa terjadi. Adalah peristiwa yang menimbulkan pengetahuan. Untuk
menyederhanakan, kita mulai dengan contoh pengetahuan manusia pada umumnya
(pasca-kejadian / post-knowledge). Misalnya kemarin terjadi gempa bumi di
Surabaya. Saya yang di Jakarta, setelah membaca koran, menjadi tahu akan
peristiwa tersebut. Tentu tidak ada seorangpun yang cukup gila untuk menegaskan
bahwa karena saya tahu akan peristiwa tersebut, maka sayalah yang telah
menyebabkan/menentukan terjadinya gempa bumi.
Nah, hal yang sama dapat kita lihat dalam hal pengetahuan awal Allah (pra-kejadian / fore-knowledge). Memang ada perbedaan dalam hal waktu mengetahui. Allah mengetahui sebelumnya, sedangkan manusia mengetahui setelahnya. Tetapi, kita masih berurusan dengan hal yang sama, yaitu pengetahuan! Dan bagaimanakah hubungan “pengetahuan” dengan “peristiwa”? Sebagaimana dalam post-knowledge, “peristiwa” menghasilkan “pengetahuan” dan bukan sebaliknya, demikian juga dalam fore-knowledge, “peristiwa” menghasilkan “pengetahuan” dan bukan sebaliknya. Perbedaannya hanyalah dari sudut waktu. Dalam postknowledge, pengetahuan terjadi setelah peristiwa, dalam foreknowledge, pengetahuan terjadi sebelum peristiwa. Tetapi, dalam kedua-duanya, “pengetahuan” tidak menyebabkan “peristiwa,” melainkan sebaliknya.
Tanggapan saya:
Anda
luar biasa tololnya, Liauw. Tak heran anda tak mengerti apa yang saya katakan.
Coba perhatikan dua point di bawah ini:
1)
Dari mana anda mengatakan ‘Sebagaimana
dalam post-knowledge, “peristiwa” menghasilkan “pengetahuan” dan bukan
sebaliknya, demikian juga dalam fore-knowledge, “peristiwa” menghasilkan
“pengetahuan” dan bukan sebaliknya.’??? Kalau
dalam fore-knowledge ‘peristiwa’ menghasilkan ‘pengetahuan’, bagaimana
itu bisa disebut ‘fore-knowledge’? Luar biasa bodohnya, Liauw!
‘Peristiwa’ menghasilkan ‘pengetahuan’, hanya terjadi dalam post-knowledge!
2)
Kata ‘hanyalah’ dalam kata-kata anda di atas (yang saya beri garis
bawah), sebetulnya membuat perbedaan antara langit dengan bumi antara contoh
anda (tentang gempa bumi), dan argumentasi saya.
Sekarang saya beri contoh lain. Ada orang bernama Steven,
yang membuat sebuah tulisan yang sangat tolol. Sebelum membaca tulisan itu, saya
tidak tahu kalau Steven itu tolol, mengingat dia punya gelar doktor! Tetapi
setelah membaca tulisannya, saya menjadi tahu bahwa Steven itu sangat tolol,
sekalipun mempunyai gelar doktor. Dalam kasus ini, seluruhnya tidak menunjukkan
bahwa saya maha tahu, karena saya baru tahu hal itu setelah membaca
tulisannya. Dan kalau hal ini tidak menunjukkan kemahatahuan saya, maka tentu
saja juga tidak menunjukkan bahwa saya menentukan hal itu.
Tetapi sangat berbeda kalau kita melihat bahwa pada minus tak
terhingga, sebelum ada apapun dan siapapun kecuali Allah, Allah sudah tahu bahwa
pada abad ke 20 dan 21 akan ada seorang yang bernama Steven, dan sekalipun orang
itu disekolahkan sampai mempunyai gelar doktor, tetapi sebetulnya ia ber IQ
rendah. Apa yang Allah ketahui ini, tidak mungkin tidak terjadi. Itu berarti
bahwa apa yang Allah ketahui itu sebetulnya sudah tertentu (saya belum
mengatakan ‘ditentukan’ tetapi ‘tertentu’). Sekarang bagaimana
mungkin gelar doktor dan ketololan Steven itu bisa sudah tertentu pada minus tak
terhingga? Saya tantang seadanya orang Arminian, atau non Reformed, atau
orang-orang yang mengaku Reformed tetapi tak mempercayai doktrin penentuan
segala sesuatu ini, untuk menjawab pertanyaan yang saya garis-bawahi ini!
Menurut saya, satu-satunya jawaban adalah: Allah sudah menentukannya. Kalau anda
tak mau terima jawaban itu, coba berikan jawaban alternatif / lain! Jangan lari
dari argumentasi ini, Liauw. Jawab pertanyaan ini: bagaimana mungkin pada
minus tak terhingga, pada saat hanya ada Allah sendiri, segala sesuatu, termasuk
gelar doktor dan ketololan Steven, sudah tertentu?
Tetapi
bagaimanakah “peristiwa” dapat menyebabkan “pengetahuan” yang sudah ada
sebelum peristiwa itu? Bagi manusia memang tidak
mungkin, tetapi Allah berada di luar waktu. Istilah “fore” dan “post”
knowledge adalah demi memudahkan manusia untuk mengerti, karena manusia berada
dalam waktu. Allah berada di luar waktu. Allah melihat garis waktu bagaikan
seseorang yang berada di tempat tinggi memperhatikan banyak kendaraan di jalanan
yang panjang. Sedangkan manusia yang berada di dalam waktu, bagaikan salah satu
mobil di jalan tersebut, yang sedang “menjalani waktu.” Kapanpun sebuah
peristiwa terjadi dalam garis waktu, Allah tahu akan peristiwa itu, bahkan di
luar dari waktu.
Jadi, urutan logis (bukan urutan kronologis)
yang terjadi adalah:
1. Allah memutuskan untuk memberikan kehendak bebas pada manusia (di luar waktu)
2. Allah menempatkan manusia dalam garis waktu (dalam waktu)
3. Manusia memilih dengan kehendak bebasnya (dalam waktu)
4. Allah tahu pilihan manusia tersebut (di luar waktu)
Tanggapan saya:
1)
Bahwa Allah ada di atas (saya tidak menggunakan istilah ‘di luar’
tetapi ‘di atas’) waktu, juga menjadi argumentasi saya bahwa Allah
menentukan sesuatu. Karena Allah ada di atas waktu, maka bagi Dia semua hal yang
akan datangpun sudah ada / sudah terjadi. Jadi, bagaimana mungkin hal-hal itu
tidak tertentu? Dan kalau tertentu, siapa yang menentukan, selain Dia sendiri?
Jadi, Liauw berusaha untuk lari dari argumentasi saya yang menggunakan
kemahatahuan Allah, tetapi itu menyebabkan ia jatuh dalam argumentasi saya
tentang Allah yang ada di atas waktu.
2)
Coba perhatikan kata-kata Liauw di atas ini. Apa maksudnya dengan
urut-urutan logis, tetapi bukan khronologis? Terus terang saya tak bisa
membedakan omong kosong itu. Coba perhatikan bagian kata-kata Liauw yang saya
beri garis bawah tunggal dan yang saya beri garis bawah ganda! Pada bagian yang
saya beri garis bawah ganda, ia berkata itu bukan urutan khronologis. Tetapi
pada bagian yang saya beri garis bawah tunggal, ia mengatakan ‘Tetapi
bagaimanakah “peristiwa” dapat menyebabkan “pengetahuan” yang sudah ada
sebelum peristiwa itu?’. Kalau ‘peristiwa’ itu menyebabkan
‘pengetahuan’, maka sudah pasti ‘peristiwa’ itu secara khronologis
terjadi lebih dulu dari ‘pengetahuan’ itu. Jadi, kata-kata Liauw ini saling
bertentangan sendiri!
3)
Antara point ke 3 dan ke 4 yang mana yang secara khronologis
terjadi lebih dulu? Kalau point ke 3 terjadi lebih dulu, adalah lucu / tak masuk
akal dan salah, untuk mengatakan bahwa manusia memilih dulu, baru Allah tahu hal
itu. Ini akan menyebabkan kita harus mempercayai bahwa Allah tidak maha tahu!
Tetapi kalau dikatakan bahwa point ke 4 terjadi dulu, maka ini mendukung
argumentasi saya! Allah tahu pilihan manusia, dan karena pengetahuan Allah itu
tidak mungkin salah, manusia itu pasti akan bertindak sesuai dengan pengetahuan
Allah itu. Itu berarti tindakan manusia itu sudah tertentu. Dan kalau sudah
tertentu, lalu siapa yang menentukannya?
Kita lihat bahwa fakta Allah mengetahui suatu tindakan manusia, bukan berarti Allah menentukan tindakan tersebut. Manusialah yang menentukan tindakannya, dan Allah tahu akan tindakan itu. Foreknowledge Allah dapat saya ilustrasikan dengan rekaman video. Misalnya saya merekam sebuah pertandingan sepakbola. Lalu saya mempertunjukkan rekaman itu kepada teman saya yang tidak sempat menonton. Bagi dia, seolah-olah hasil rekaman saya itu terjadi “live” karena dia belum tahu apa yang terjadi. Bagi saya, seolah-olah saya punya “foreknowledge” akan pertandingan itu. Kalau teman saya tidak tahu bahwa itu adalah rekaman (menyangka sedang menonton “live”), maka dia akan heran bahwa saya bisa mengetahui segala sesuatu dengan sempurna. Saya bisa menceritakan alur permainan, keputusan wasit, gol-gol yang tercipta pada menit yang tepat, cidera yang terjadi, dan lain sebagainya. Tetapi, setinggi apapun kekaguman dia pada kehebatan pengetauan saya, tidak mungkin dia berpendapat bahwa “pengetahuan” sayalah yang menyebabkan semuanya terjadi seperti yang saya katakan. Juga tidak ada orang waras yang akan mengatakan bahwa saya tahu apa yang terjadi karena saya telah menentukan semua itu. Faktanya adalah, walaupun saya sudah “tahu” apa yang terjadi, tetapi “peristiwa” itulah yang membuat saya tahu, bukan “pengetahuan” saya yang menimbulkan “peristiwa.”
Tanggapan
saya:
1) Anda ‘mencuri’
ilustrasi saya, tetapi anda terapkan secara sangat tolol, Liauw! Tak heran semua
jadi kacau.
2)
Anda berkata ‘Kita
lihat bahwa fakta Allah mengetahui suatu tindakan manusia, bukan berarti Allah
menentukan tindakan tersebut. Manusialah yang menentukan tindakannya, dan Allah
tahu akan tindakan itu.’. Coba pikir baik-baik,
Liauw! Kalau manusia bertindak, baru Allahnya tahu, apakah Allahnya maha tahu?
Manusia dicipta pada hari ke 6, baru ia bisa bertindak. Jadi, pada hari ke 2
atau ke 3, apakah Allah tahu apa yang AKAN dilakukan oleh manusia yang AKAN Ia
ciptakan itu? Kalau anda mengatakan Allah tidak tahu, itu berarti Allah tidak
maha tahu. Kalau anda mengatakan Allah tahu, maka akan bertentangan dengan
kata-kata anda yang saya kutip ulang di sini!
3)
Sekarang perhatikan kata-kata ‘Bagi
saya, seolah-olah saya punya “foreknowledge” akan pertandingan itu’.
Tidakkah anda bisa melihat bahwa ini merupakan kata-kata konyol? Kata
‘seolah-olah’ sudah menunjukkan bahwa faktanya bukan itu. Dan anda jadikan
ini suatu ilustrasi dari apa yang sungguh-sungguh adalah fore-knowledge!
Dalam kasus yang anda jadikan ilustrasi ini, memang teman anda itu sangat tidak
waras, kalau dari apa yang hanya seolah-olah merupakan fore-knowledge, ia
lalu menganggap bahwa anda yang menentukan semua itu. Tetapi dari ilustrasi
saya, dimana saya mengatakan bahwa Allah betul-betul / sungguh-sungguh
mempunyai fore-knowledge, dan itu menunjukkan segala sesuatu tertentu, dan ini
menunjukkan Allah menentukan, maka adalah sangat tidak waras, atau sangat tolol
dan tidak berlogika, kalau anda tetap tidak mau menerima bahwa Allah yang
menentukan semua itu!
Dalam kasus Allah, pengetahuanNya adalah sempurna dan tidak mungkin salah. Oleh
karena itu, apapun yang Allah ketahui lebih dahulu, PASTI terjadi.
Saya mengaminkan pernyataan ini! Tetapi tidak berarti Allah telah menentukannya.
Walaupun segala sesuatu sudah PASTI, segala sesuatu TIDAKLAH HARUS. Kalau
segala sesuatu itu HARUS, berarti manusia tidak punya pilihan. Ini adalah konsep
Kalvinis, bahwa Allah mengetahui dengan cara menentukan. Tetapi Allah telah
memberi kebebasan bagi manusia. Manusia itu memilih, dan Allah tahu akan pilihan
itu. Bukan Allah yang memilih bagi dia, tetapi Allah tahu pilihan dia.
Tanggapan
saya:
Terus
terang, saya tak bisa mengerti kata-kata tolol yang saya garis-bawahi ini. Saya
kutip ulang bagian yang tolol ini. Anda mengatakan ‘Walaupun
segala sesuatu sudah PASTI, segala sesuatu TIDAKLAH HARUS’.
Anda memotong / menghilangkan satu kata yang seandainya tidak dipotong /
dihilangkan, akan membuat semuanya jadi jelas. Kata itu adalah kata ‘terjadi’.
Di bagian atas anda menggunakan kata ‘terjadi’
itu (perhatikan bagian yang saya beri warna merah). Tetapi di kalimat
selanjutnya anda membuang kata ‘terjadi’
itu. Sekarang kalau kata ‘terjadi’
itu saya tambahkan / kembalikan, maka kata-kata anda menjadi sebagai berikut:
‘Walaupun segala sesuatu sudah PASTI terjadi, segala sesuatu
TIDAKLAH HARUS terjadi’. Coba pikir dengan
logika anda yang sedikit itu (if you have any), masuk akalkah kalimat itu?
Memang kata ‘harus’ berbeda artinya dengan ‘pasti’. Tetapi ‘pasti
terjadi’ adalah sama dengan ‘harus terjadi’!
Sekarang
saya lanjutkan dengan membahas bagian yang saya beri garis bawah ganda. Anda
mengatakan ‘Kalau segala
sesuatu itu HARUS, berarti manusia tidak punya pilihan. Ini adalah konsep
Kalvinis’. Saya melakukan hal yang sama dengan yang
saya lakukan di atas. Saya kembalikan kata ‘terjadi’
yang anda buang itu, maka artinya akan jadi jelas. Kalau kata ‘terjadi’
itu dikembalikan, maka kata-kata anda akan menjadi sebagai berikut: ‘Kalau
segala sesuatu itu HARUS terjadi, berarti manusia tidak punya pilihan.
Ini adalah konsep Kalvinis’. Saya setuju, Liauw!
Amin. Hanya ada sedikit catatan, yaitu bahwa kata-kata ‘tidak punya pilihan’
bukan diartikan bahwa manusia itu tidak bebas. Ia pasti melakukan apa yang Allah
ketahui itu, tetapi ia tetap melakukan dengan kemauannya sendiri. Jadi saya
tetap menggunakan free will dalam arti dari Calvinisme, bukan dalam arti dalam
Arminianisme!
Sebagai ilustrasi, saya ambil contoh lagi tokoh Budi yang memilih warna baju. Dalam konsep Kalvinis, Allah menentukan Budi untuk memilih baju merah. Ia tidak punya pilihan yang riil sebenarnya. Dari sudut pra-pengetahuan Allah, tindakan Budi sudah PASTI sekaligus HARUS.
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
anda membuang kata ‘terjadi’ itu.
Kalau kata itu dikembalikan maka kata-kata anda akan menjadi: ‘Dari
sudut pra-pengetahuan Allah, tindakan Budi sudah PASTI terjadi sekaligus
HARUS terjadi’. Coba pikir, kata-kata ini
benar atau tidak!
Tetapi dalam konsep Alkitabiah, Tuhan tidak menentukan bagi Budi. Budi benar-benar punya pilihan, apakah merah atau biru. Karena Budi memilih Merah, Allah tahu akan hal itu (di luar waktu). Sehingga, sebelum Budi memilih pun, dari sudut pra-pengetahuan Allah, sudah PASTI dia memilih merah. Tetapi Budi TIDAK HARUS memilih merah. Kalau Budi memilih biru, maka pengetahuan Allah menjadi “Budi akan memilih biru.” Sekali lagi, maka sejak kekal sudah PASTI Budi memilih biru, walaupun ia TIDAK HARUS memilih biru. Jadi kita lihat, “peristiwa” pemilihan oleh Budi, menyebabkan “pengetahuan” Allah akan pilihan Budi, walaupun pengetahuan (di luar waktu) itu sebelum peristiwa (dalam waktu).
Tanggapan
saya:
Perhatikan
kata ‘menjadi’ yang saya beri
garis bawah itu! Jadi, pra-pengetahuan Allah (yang anda sebut pengetahuan Allah di
luar waktu) itu berubah-ubah sesuai pemilihan dari Budi? Gila, Liauw, anda
memang bukan hanya bodoh, tetapi gila!
Di
atas saya sudah membahas tentang kata ‘harus’ dan ‘pasti’ dan karena itu
tidak perlu saya ulang di sini.
Gagal untuk memahami perbedaan antara PASTI dan HARUS, menyebabkan pernyataan seperti berikut dari Berkhof: “Telah ditentukan bahwa orang Ibrani harus menyalibkan Yesus.” Ini adalah posisi Kalvinis, manusia HARUS melakukan yang sudah ditetapkan. Tetapi seperti telah kita lihat, jika mereka “harus,” berarti mereka tidak bisa dan tidak boleh melakukan yang lain. Itu berarti mereka tidak bebas dan tidak bertanggung jawab. Seorang non-Kalvinis yang Alkitabiah dapat mengatakan: “Berdasarkan pra-pengetahuan Tuhan yang sempurna dan tak dapat salah, orang-orang Ibrani PASTI menyalibkan Yesus, tetapi mereka TIDAK HARUS menyalibkanNya.” Artinya, orang-orang Ibrani bisa saja memilih untuk tidak menyalibkan Yesus. Opsi itu riil dan terbuka bagi mereka! Tetapi Tuhan tahu dengan pasti pilihan mereka, sejak kekekalan.
Tanggapan
saya:
1)
Bukan orang-orang Calvinist yang gagal memahami perbedaan antara
‘pasti’ dan ‘harus’. Anda yang gagal memahaminya! Apa yang Allah ketahui
lebih dulu (foreknew), pasti akan terjadi, atau, harus terjadi!
2)
Kata-kata ‘Seorang non-Kalvinis yang Alkitabiah dapat
mengatakan’ seharusnya anda ganti ‘Seorang non-Kalvinis yang tolol
dapat mengatakan’! Mengapa saya katakan mereka tolol, Liauw? Karena mereka
mengatakan: ‘orang-orang
Ibrani PASTI menyalibkan Yesus, tetapi mereka TIDAK HARUS
menyalibkanNya.” Artinya, orang-orang Ibrani bisa saja memilih untuk tidak
menyalibkan Yesus’. Mereka pasti menyalibkan
Yesus, tetapi mereka bisa memilih untuk tidak menyalibkan Yesus. Kata-kata apa
ini, Liauw, kalau bukan kata-kata dari orang tolol??? Kalau mereka bisa memilih
untuk tidak menyalibkan Yesus, maka penyaliban Yesus oleh mereka menjadi tidak
pasti!
4)
Saya kira anda menjadi bingung dan kacau pemikirannya, karena anda
menggunakan istilah ‘free will’ (kehendak bebas) dalam arti yang dipakai
oleh orang Arminian. Kalau anda menggunakannya dalam arti yang dipakai oleh
Calvinisme, maka tak akan ada kebingungan / kekacauan. ‘Harus
terjadi’, memang bukan berarti bahwa mereka diperintahkan oleh Allah
melakukan hal itu. Juga bukan berarti bahwa mereka akan dipaksa oleh
Allah untuk melakukan hal itu. Mereka pasti akan melakukannya, tetapi mereka
melakukan dengan kemauan mereka sendiri.
William Lane Craig memberikan pengertian yang sangat baik sekali tentang hubungan antara kemahatahuan Allah dengan peristiwa-peristiwa dalam dunia: “Dari pra-pengetahuan (foreknowledge) Allah tentang suatu aksi yang bebas, seseorang hanya dapat menyimpulkan bahwa aksi itu akan terjadi, bukan bahwa aksi itu harus terjadi. Agen yang melakukan aksi tersebut memiliki kekuatan untuk menahan diri (dari aksi tersebut), dan jika agen tersebut melakukan seperti itu, maka pra-pengetahuan Allah tentunya menjadi berbeda. Agen-agen (pelaku-pelaku) tidak bisa berlaku sedemikian rupa sehingga Allah mengetahui mereka melakukan suatu tindakan, namun mereka tidak melakukan tindakan itu. Tetapi ini bukanlah suatu batasan terhadap kebebasan mereka. Mereka bebas untuk melakukan atau tidak melakukan, dan yang mana pun yang mereka pilih, Allah akan sudah mengetahuinya. Karena pengetahuan Allah, walaupun secara kronologis adalah sebelum aksi tersebut, namun secara logis adalah setelah aksi tersebut dan ditentukan oleh aksi itu. Oleh karena itu, pra-pengetahuan ilahi dan kebebasan manusia tidaklah saling bertentangan.”
Tanggapan
saya:
1)
Ini adalah contoh dari orang non Calvinist yang tolol yang anda bicarakan
di atas, Liauw? Coba saya analisa kata-katanya, khususnya yang bagian awal. Ia
berkata ‘Dari
pra-pengetahuan (foreknowledge) Allah tentang suatu aksi yang bebas, seseorang
hanya dapat menyimpulkan bahwa aksi itu akan terjadi, bukan bahwa aksi
itu harus terjadi. Agen yang melakukan aksi tersebut memiliki kekuatan
untuk menahan diri (dari aksi tersebut), dan jika agen tersebut melakukan
seperti itu, maka pra-pengetahuan Allah tentunya menjadi berbeda’.
Lagi-lagi, pra pengetahuan Allah itu menjadi tergantung pada
apa yang agen itu lakukan. Bukan begitu, Liauw? Padahal pra-pengetahuan Allah
itu sudah ada di minus tak terhingga, jauh sebelum agen itu ada. Dan ini anda
sebut ‘memberikan
pengertian yang sangat baik sekali’? Lucu dan tolol sekali. Tidak heran, orang tolol sering
kali lucu, saking tololnya!
2)
Sekarang saya bahas kalimat orang tolol itu selanjutnya dimana ia
mengatakan ‘Mereka bebas
untuk melakukan atau tidak melakukan, dan yang mana pun yang mereka pilih, Allah
akan sudah mengetahuinya’.
Ada 2 hal:
a)
‘Akan’ atau ‘sudah’?? Dua kata itu saling bertentangan! Hapuskan
salah satu, karena kalau tidak akan menjadi sesuatu yang menggelikan! Mungkin
anda menterjemahkan dari kata-kata bahasa Inggris ‘would have known’, tetapi
menurut saya dalam kalimat ini tidak bisa diterjemahkan seperti itu. Dalam
faktanya, ‘akan’ atau ‘sudah’??? Jawab ini, Liauw!
b)
Kalau kata ‘akan’ itu anda pertahankan, maka lagi-lagi akan
menunjukkan bahwa pra pengetahuan Allah itu tergantung pada apa yang mereka
lakukan! Sesuatu yang ada di minus tak terhingga (di luar waktu / di atas waktu)
tergantung pada sesuatu yang terjadi dalam waktu. Betul-betul pemikiran yang
luar biasa!
Tidak ada satu ayatpun dalam Alkitab yang menyatakan bahwa pengetahuan Allah berasal dari penentuan Allah. Ini hanyalah suatu asumsi dasar Kalvinisme. Pink berusaha untuk menggunakan Kisah Para Rasul 2:23 untuk membuktikan asumsi Kalvinisme tersebut.
Him, being delivered by the determinate counsel and foreknowledge of God, ye have taken, and by wicked hands have crucified and slain:
Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan pra-pengetahuanNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.
Pink bersikukuh bahwa pra-pengetahuan Allah didasarkan pada dekrit-dekrit Allah, dan meminta kita untuk “perhatikan urutannya: pertama adalah maksud Allah (dekritNya), dan kedua pra-pengetahuanNya.” Berdasarkan urutan ini, Pink mengajarkan bahwa dekrit Allah menyebabkan Allah tahu. Tetapi ini logika yang kacau. Hanya karena “maksud” lebih dulu disebut dari “pra-pengetahuan,” sama sekali tidak membuktikan bahwa yang satu mendasari yang lain. Bagaimana dengan ayat-ayat yang menyebut “pra-pengetahuan” duluan? Roma 8:29 berbunyi: “Sebab semua orang yang diketahuiNya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Ayat ini justru mengajarkan bahwa pra-pengetahuan Allah menjadi dasar dari penentuanNya. Artinya, Allah menentukan berbagai hal dalam dunia, bukan secara sembarangan, tetapi berdasarkan hal-hal yang Allah ketahui.
Tanggapan
saya:
1)
Anda mengutip kata-kata Pink dari mana? Rasanya itu bukan dari buku saya,
karena saya tidak ingat pernah menulis seperti itu. Tetapi argumentasi seperti
itu, kalau Pink memang mengatakannya, menurut saya memang memungkinkan. Kalau
anda berusaha menabrakkan cara berpikir Pink dengan Ro 8:29, maka saya kira saya
bisa menjelaskannya. Ini saya kutip dari buku saya ‘Providence of God’, jadi
anda sebetulnya sudah tahu. Tetapi saya kutipkan bagi pembaca tulisan ini.
Roma 8:29 (NIV) - ‘For those He foreknew, He also predestined ...’ (= Karena mereka yang Ia ketahui lebih dulu, juga Ia tentukan ...).
Ayat ini sering dipakai oleh orang Arminian sebagai dasar untuk
mengatakan bahwa Allah menentukan karena Dia sudah tahu bahwa hal itu akan
terjadi. Jadi, Allah menentukan supaya si A menjadi orang beriman, karena Ia
tahu bahwa orang itu akan menjadi orang beriman. Allah menentukan si B menjadi
orang saleh, karena Ia tahu si B akan mentaati Dia, dsb. ... penafsiran Arminian
ini menafsirkan kata ‘foreknew’ (=
mengetahui lebih dulu) sekedar sebagai suatu pengetahuan intelektual.
Tetapi saya percaya bahwa penafsiran seperti itu adalah salah. Untuk itu mari
kita melihat penjelasan di bawah ini:
a) Pembahasan
kata ‘know’ (= tahu / kenal) dalam
Kitab Suci.
1.
Dalam Perjanjian Lama.
Kata ‘know’ (= tahu)
dalam bahasa Ibrani adalah YADA. Sekalipun YADA memang bisa diartikan sebagai
‘tahu secara intelektual’ tetapi seringkali kata YADA tidak bisa diartikan
demikian. Saya akan memberikan beberapa contoh dimana kata YADA tidak bisa
diartikan sekedar sebagai ‘tahu secara intelektual’:
a.
Kej 4:1 (KJV/Lit): ‘Adam knew
Eve his wife, and she conceived’ (= Adam tahu /
kenal Hawa istrinya, dan ia mengandung).
Di sini jelas bahwa YADA tidak mungkin diartikan ‘tahu secara
intelektual’! Tidak mungkin Adam hanya mengetahui Hawa secara intelektual, dan
itu menyebabkan Hawa lalu mengandung! Jelas bahwa YADA / ‘to know’ di sini tidak sekedar berarti ‘tahu’, tetapi ada
kasih / hubungan intim di dalamnya.
Karena itu kalau Ro 8:29 mengatakan Allah tahu / kenal, lalu
menentukan, maksudnya adalah Allah mengasihi, lalu menentukan. Jadi penekanannya
adalah: penentuan itu didasarkan atas kasih. Bdk. Ef 1:5 - ‘Dalam kasih Allah telah memilih kita ...’.
Catatan:
tafsiran ini saya ambil dari buku tafsiran kitab Roma oleh John Murray (NICNT).
b. Dalam
Kej 18:19, kata YADA ini diterjemahkan ‘memilih’ oleh Kitab Suci
Indonesia.
“Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya
kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan
yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya
TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya”.
RSV, NIV, NASB menterjemahkan seperti Kitab Suci Indonesia! ASV /
KJV / NKJV tetap menterjemahkan ‘know’,
tetapi kalimatnya jadi aneh.
Kej 18:19 (KJV): ‘For I know him, that he will command his children and his
household after him, and they shall keep the way of the LORD, to do justice and
judgment; that the LORD may bring upon Abraham that which he hath spoken of
him’ (=
Karena Aku mengetahui / mengenalnya, bahwa ia akan memerintahkan
anak-anaknya dan seisi rumahnya / keturunannya, dan mereka akan hidup menurut
jalan TUHAN, melakukan keadilan dan penghakiman; supaya TUHAN memenuhi kepada
Abraham apa yang dikatakanNya kepadanya).
c. Dalam
Amos 3:2, kata YADA diterjemahkan ‘kenal’ oleh Kitab Suci Indonesia.
“Hanya kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi,
sebab itu Aku akan menghukum kamu karena segala kesalahanmu”.
KJV/ASV/RSV tetap menterjemahkan ‘know’,
tetapi NIV/NASB menterjemahkan ‘choose’ (= memilih).
Tentang kata YADA dalam Amos 3:2 ini B. B. Warfield berkata: “what
is thrown prominently forward is clearly the elective love which has singled
Israel out for special care”
(= apa yang ditonjolkan ke depan secara menyolok jelas adalah kasih yang memilih
yang telah memilih / mengkhu-suskan Israel untuk perhatian istimewa)
- ‘Biblical and Theological Studies’,
hal 288.
Loraine Boettner:
“The
word ‘know’ is sometimes used in a sense other than that of having merely an
intellectual perception of the thing mentioned. It occasionally means that the
persons so ‘known’ are the special and peculiar objects of God’s favor, as
when it was said of the Jews, ‘You only have I known of all the families of
the earth,’ Amos 3:2.” [= Kata ‘tahu’ kadang-kadang digunakan bukan dalam arti sekedar
pengetahuan intelektual tentang hal yang disebutkan. Kadang-kadang kata ini
berarti bahwa orang yang ‘diketahui’ merupakan obyek istimewa dan khusus
dari kemurahan / kebaikan hati Allah, seperti pada waktu dikatakan tentang
orang-orang Yahudi: ‘Hanya kamu yang Kukenal / Kuketahui dari segala
kaum di muka bumi’ (Amos 3:2)] - ‘The Reformed Doctrine of
Predestination’, hal 100.
d. Kel
2:25 - diterjemahkan ‘memperhatikan’.
e. Maz
1:6 - diterjemahkan ‘mengenal’.
f. Maz
101:4 - diterjemahkan ‘tahu’.
g. Nahum
1:7 - diterjemahkan ‘mengenal’.
Dalam semua ayat-ayat di atas ini kata YADA tidak mungkin diartikan
sebagai sekedar tahu secara intelektual.
2.
Dalam Perjanjian Baru.
Kata ‘know’ (= tahu)
dalam bahasa Yunani adalah GINOSKO, dan digunakan dalam ayat-ayat di bawah ini:
*
Mat 7:23 - “Pada
waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak
pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat
kejahatan!”.
*
Yoh 10:14,27
- “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-dombaKu
dan domba-dombaKu mengenal Aku. ... Domba-dombaKu mendengarkan suaraKu
dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku”.
*
1Kor 8:3 - “Tetapi
orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah”.
*
Gal 4:9 - “Tetapi
sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal
Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan
miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya?”.
*
2Tim 2:19a - “Tetapi
dasar yang diletakkan Allah itu teguh dan meterainya ialah: ‘Tuhan mengenal
siapa kepunyaanNya’”.
Dalam semua ayat-ayat ini kata GINOSKO itu tidak mungkin diartikan
sekedar ‘mengetahui secara intelektual’.
b)
Pembahasan kata ‘foreknow’
(= mengetahui lebih dulu) / ‘foreknowledge’
(= pengetahuan lebih dulu).
Ayat-ayat yang mengandung kata-kata foreknowledge, fore-knew,
dsb:
·
Kis 2:23a - “Dia
yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya”.
NASB: ‘this Man, delivered up by the predetermined plan and foreknowledge
of God’
(= Orang ini, diserahkan oleh rencana yang ditentukan lebih dulu dan pengetahuan
lebih dulu dari Allah).
Jelas bahwa ‘foreknowledge’
(= pengetahuan lebih dulu) di sini tidak sekedar berarti pengetahuan
intelektual, karena Allah menyerahkan Anak Manusia untuk mewujudkan ‘fore-knowledge’
itu. Karena itu tidak heran Kitab Suci Indonesia menterjemahkan seperti itu.
·
Ro 11:2a - “Allah
tidak menolak umatNya yang dipilihNya”.
NASB: ‘God has not rejected His people whom He foreknew’ (= Allah tidak menolak umatNya yang diketahuiNya lebih dulu).
Ini lagi-lagi menunjukkan secara jelas bahwa ‘foreknew’ ti-dak bisa diartikan ‘mengetahui lebih dulu secara
intelektual’.
Loraine Boettner menghubungkan Ro 8:29 dengan Ro 11:2a ini
dengan berkata: “Those in Romans 8:29 are foreknown in the sense that they are
fore-appointed to be the special objects of His favor. This is shown more
plainly in Rom. 11:2-5, where we read, ‘God did not cast off His people whom
He foreknew’”
(= Mereka dalam Ro 8:29 diketahui lebih dulu dalam arti bahwa mereka
ditetapkan lebih dulu untuk menjadi obyek khusus kemurahan hatiNya. Ini
ditunjukkan lebih jelas dalam Ro 11:2-5, dimana kita membaca: ‘Allah
tidak menolak / membuang umatNya yang dipilihNya / diketahuiNya lebih dulu’) - ‘The
Reformed Doctrine of Predestination’, hal 100.
·
1Pet 1:2a - “yaitu
orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita”.
NASB: ‘who are chosen according to the foreknowledge of God the
Father’ (=
yang dipilih sesuai dengan pengetahuan lebih dulu dari Allah Bapa).
·
1Pet 1:20
- “Ia telah dipilih sebelum dunia dijadikan, tetapi karena
kamu baru menyatakan diriNya pada zaman akhir”.
NASB: ‘For He was foreknown before the foundation of the world,
but has appeared in these last times for the sake of you’ (= Karena Ia diketahui lebih dulu sebelum penciptaan dunia,
tetapi menampakkan diri pada jaman akhir karena kamu).
Melihat ayat-ayat di atas ini, saya berpendapat bahwa bukan tanpa
alasan Kitab Suci Indonesia tidak pernah mau menterjemahkan ‘tahu lebih
dulu’ atau ‘pengetahuan lebih dulu’, tetapi menterjemahkan dengan kata
‘pilih’ atau ‘rencana’. Karena itu, sekalipun Ro 8:29 versi Kitab
Suci Indonesia itu memang bukan terjemahan yang hurufiah, tetapi saya
berpendapat bahwa Kitab Suci Indonesia memberikan arti yang benar!
Saya tambahkan
komentar Albert Barnes tentang Kis 2:23.
Barnes’
Notes (tentang Kis 2:23): “‘Foreknowledge.’ This word denotes ‘the seeing beforehand of an event yet to
take place.’
It implies: 1.
Omniscience; and, 2. That the event is fixed and certain. To foresee a contingent event, that is,
to foresee that an event will take place when it may or may not take place, is
an absurdity. Foreknowledge, therefore, implies that for some reason the event
will certainly take place. What that reason is, the word itself does not
determine. As, however, God is represented in the Scriptures as purposing or
determining future events; as they could not be foreseen by him unless he had so
determined, so the word sometimes is used in the sense of determining
beforehand, or as synonymous with decreeing, Rom. 8:29; 11:2. In this place the
word is used to denote that the delivering up of Jesus was something more than a
bare or naked decree. It implies that God did it according to his foresight of
what would be the best time, place, and manner of its being done. It was not the
result merely of will; it was will directed by a wise foreknowledge of what
would be best. And this is the case with all the decrees of God”
(= ‘Pengetahuan lebih dulu’. Kata ini menunjukkan ‘melihat suatu peristiwa
sebelum peristiwa itu terjadi’. Ini secara implicit menunjukkan: 1.
Kemahatahuan; dan, 2. Bahwa peristiwa itu tertentu dan pasti. Melihat lebih dulu
suatu peristiwa yang bisa terjadi bisa tidak, berarti melihat lebih dulu bahwa
suatu peristiwa akan terjadi, pada saat itu bisa terjadi atau bisa tidak
terjadi, merupakan sesuatu yang menggelikan. Karena itu, pengetahuan lebih dulu,
menunjukkan secara implicit untuk alasan tertentu peristiwa itu pasti akan
terjadi. Tetapi karena Allah digambarkan dalam Kitab Suci sebagai merencanakan
atau menentukan peristiwa-peristiwa yang akan datang; karena hal-hal itu tidak
bisa dilihat lebih dulu olehNya kecuali Ia lebih dulu menentukannya demikian,
maka kata itu kadang-kadang digunakan dalam arti ‘menentukan lebih dulu’,
atau sinonim dengan ‘menetapkan’, Ro 8:29; 11:2. Di tempat ini kata itu
digunakan untuk menunjukkan bahwa penyerahan Yesus merupakan sesuatu yang lebih
dari pada sekedar suatu ketetapan semata-mata atau biasa. Ini secara implicit
menunjukkan bahwa Allah melakukannya sesuai dengan penglihatan lebih duluNya
tentang apa yang akan merupakan saat, tempat dan cara yang terbaik, tentang
pelaksanaan hal itu. Itu bukan semata-mata akibat / hasil dari kehendak; itu
merupakan kehendak yang diarahkan oleh suatu pengetahuan lebih dulu yang
bijaksana tentang apa yang terbaik. Dan ini adalah kasus dari semua
ketetapan-ketetapan Allah).
Inti
dari semua yang saya jelaskan panjang lebar di atas ini adalah: Dalam Ro 8:29
tidak mungkin yang dimaksudkan dengan kata ‘foreknew’ hanyalah bahwa Allah
tahu lebih dulu secara intelektual. Kata itu di sini, kalau dilihat dari
arti dan penggunaan kata itu dalam seluruh Alkitab, harus diartikan sebagai
‘menetapkan’ atau ‘memilih’. Jadi, argumentasi anda pergi ke bulan,
Liauw!
2)
Anda mengatakan ‘Tidak
ada satu ayatpun dalam Alkitab yang menyatakan bahwa pengetahuan Allah berasal
dari penentuan Allah’.
Saya
kira anda harus setuju bahwa kalaupun tak ada ayat yang mengatakannya secara
explicit, belum tentu ajarannya salah / tidak ada. Anda sendiri percaya freel
will, sedangkan kata / istilah itu tak pernah muncul dalam Alkitab.
Barnes’
Notes (tentang Kis 2:23): “To foresee a contingent event, that is, to foresee that an event
will take place when it may or may not take place, is an absurdity”
(= Mengetahui lebih dulu suatu peristiwa yang contingent, yaitu, melihat
lebih dulu bahwa suatu peristiwa akan terjadi pada waktu peristiwa itu bisa
terjadi atau tidak terjadi, adalah sesuatu yang menggelikan / mustahil).
Catatan:
kata ‘contingent’ sudah dijelaskan oleh kata-kata selanjutnya. Peristiwa
yang ‘contingent’ adalah peristiwa yang bisa terjadi, tetapi juga bisa tidak
terjadi. Atau, peristiwa yang belum tentu terjadi / sama sekali tidak ada
kepastian dalam hal terjadi atau tidak terjadinya.
Apa
yang sudah saya jelaskan di atas, akan saya ulang di sini.
Kalau
suatu peristiwa itu contingent, berarti peristiwa itu bisa terjadi, bisa tidak.
Seandainya Allah bisa tahu peristiwa yang contingent, apa yang Dia ketahui
tentang peristiwa itu? Terjadi atau tidak terjadi? Cuma ada dua kemungkinan,
bukan? Kalau Ia tahu pertistiwa itu terjadi, maka peristiwa itu pasti terjadi,
dan dengan demikian bukan lagi contingent! Demikian juga sebaliknya,
kalau Ia tahu peristiwa itu tidak akan terjadi, maka pasti peristiwa itu pasti
tidak akan terjadi, dan dengan demikian, peristiwa itu bukan lagi
contingent! Jadi, benarlah kata-kata Albert Barnes di atas: ‘Mengetahui
lebih dulu suatu peristiwa yang contingent, yaitu, melihat lebih dulu
bahwa suatu peristiwa akan terjadi pada waktu peristiwa itu bisa terjadi atau
tidak terjadi, adalah sesuatu yang menggelikan / mustahil’.
Coba
bantah kata-kata ini, Liauw!
Mazmur 139, salah satu pasal yang paling indah menggambarkan kemahatahuan Tuhan, tidak mendukung sama sekali konsep Kalvinis. Dalam Mazmur ini, Daud menjelaskan:
TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.
Kata-kata
Daud sama sekali tidak mencerminkan bahwa segala yang Tuhan ketahui berarti
sudah Tuhan tentukan. Justru sebaliknya! Tuhan
“menyelidiki” dan “mengenal” Daud. Ini berarti Tuhan tidak menentukan
pikiran-pikiran Daud. Kalau Tuhan menentukan pikiran Daud, maka tidak perlu lagi
“diselidiki”! Tuhan juga “memeriksa” Daud. Semua kata-kata yang dipakai
menunjukkan bahwa Daud adalah makhluk dengan kehendak bebas (diciptakan Tuhan
demikian), dan menentukan pikiran dan pilihannya sendiri. Tetapi pengetahuan
Tuhan sedemikian hebat, sehingga hal-hal yang paling rahasia pun, yang hanya ada
dalam pikiran Daud, adalah terbuka bagi pengetahuan Tuhan!
Saking hebatnya pengetahuan Tuhan, Daud berkata, “Terlalu ajaib bagiku
pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya” (139:6). Ini
sangat kontras dengan konsep Kalvinis. Sekali lagi saya mengutip Shedd: “Jika
Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa
mengetahui apa yang akan terjadi.” Saya rasa pra-pengetahuan ala Kalvinis sama
sekali tidak mengesankan. Kalau perlu menentukan dulu, baru bisa tahu, itu saya
juga bisa, bahkan anak-anak juga bisa! Sekali lagi, sama sekali tidak ada yang
spektakuler mengenai pengetahuan yang harus menentukan dulu untuk bisa tahu.
Tanggapan
saya:
1)
Anda mengatakan ‘Mazmur
139, salah satu pasal yang paling indah menggambarkan kemahatahuan Tuhan, tidak
mendukung sama sekali konsep Kalvinis’. Lalu anda
mengatakan ‘Kata-kata Daud sama sekali tidak mencerminkan bahwa segala
yang Tuhan ketahui berarti sudah Tuhan tentukan’.
Maz 139 boleh jadi memang tidak mengatakan secara explicit
bahwa segala yang Tuhan ketahui berarti sudah Tuhan tentukan. Tetapi:
a)
Siapa yang mengharuskan saya mengambil doktrin itu secara explicit dari
Maz 139? Saya mengambil doktrin itu dari hal-hal sebagai berikut:
1.
Allah maha tahu, sehingga Ia tahu segala sesuatu. Dan apa yang Ia ketahui
itu pasti terjadi. Kalau pasti terjadi, itu berarti hal-hal itu tertentu. Kalau
tertentu, lalu siapa yang menentukan? Tidak ada lain. Pasti Allah yang
menentukan. Dari argumentasi ini saya mendapatkan doktrin bahwa Allah menentukan
segala sesuatu.
2.
Sekarang saya mau tahu, yang mana yang lebih dulu ada: kemahatahuan
Allah, atau penentuan Allah? Saya menjawab: kalau kemahatahuan itu ada dulu,
maka tak perlu lagi ditentukan, karena apa yang Dia ketahui sudah pasti
akan terjadi. Disamping, merupakan ssyg tidak masuk akal untuk bisa tahu apa
yang belum ditentukan. Karena itu, saya Calvinisme mengambil posisi ‘Allah
menentukan lebih dulu, baru Ia tahu’. Dengan kata lain, kemahatahuan Allah
adalah kemahatahuanNya tentang RencanaNya sendiri.
b)
Maz 139 bukannya sama sekali tidak berbicara tentang penentuan Allah
dalam hubungannya dengan kemahatahuan Allah. Kelihatannya Maz 139 justru
membicarakan hal itu, sekalipun tidak secara explicit, karena dalam Maz 139:16
dikatakan: “mataMu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitabMu
semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya”.
Ini jelas menunjukkan bahwa Sebelum Daud / pemazmur itu ada
sebagai janin, Allah sudah mengetahuinya, dan semua hari-hari yang akan terjadi,
sudah tertulis dalam kitab Allah, yang berarti bahwa segala sesuatu sudah
ditentukan oleh Allah, sebelum semuanya terjadi.
Barnes’
Notes (tentang Maz 139:16):
“‘And
in thy book.’ Where thou recordest all things. Perhaps the allusion here would
be to the book of an architect or draftsman, who, before his work is begun,
draws his plan, or sketches it for the direction of the workmen. ‘All
my members were written.’ The words ‘my members’ are not in the original.
The Hebrew is, as in the margin, ‘all of them.’ The reference may be, not to
the members of his body, but to his ‘days’ (see the margin on the succeeding
phrase) - and then the sense would be, all my ‘days,’ or all the periods
of my life, were delineated in thy book. That is, When my substance - my
form - was not yet developed, when yet an embryo, and when nothing could be
determined from that by the eye of man as to what I was to be, all the future
was known to God, and was written down - just what should be my form and vigor;
how long I should live; what I should be; what would be the events of my life.
‘Which in continuance were fashioned.’ Margin, ‘What days they should be
fashioned.’ Literally, ‘Days should be formed.’ DeWette renders this,
‘The days were determined before any one of them was.’ There is nothing
in the Hebrew to correspond with the phrase ‘in continuance.’ The simple
idea is, The days of my life were determined on, the whole matter was fixed and
settled, not by anything seen in the embryo, but ‘before’ there was any form
- before there were any means of judging from what I then was to what I would be
- all was seen and arranged in the divine mind. ‘When as yet there was
none of them.’ literally, ‘And not one among them.’ Before there was one
of them in actual existence. Not one development had yet occurred from which it
could be inferred what the rest would be. The entire knowledge on the subject
must have been based on Omniscience” (= ).
Jamieson,
Fausset & Brown (tentang Maz 139:16): “‘Thy book’ is the book of God’s fore-ordering purpose. The same
holds good in the case of the body of Christ, the Church, chosen in Him before
the foundation of the world; because ‘we are members of His body, of His
flesh, and of His bones’ (Eph 5:30; 1:4). The development of this eternal
purpose in time is gradual, the members being formed in union with the one
Head and the one Body successively by the Spirit of God, the Author of spiritual
as well as of natural life. The Chaldaic Targum supplies the ellipsis with
‘days:’ ‘In the book of thy memory were written all my days.’ In the
book of God’s predestination (Mal 3:16; Ps 56:8), as distinguished from
the actual execution, were written all my days, both their number (Job 14:5),
and what events were to befall me in them, ‘(which) in continuance were
fashioned’ - literally, ‘(which in) days were fashioned;’ i.e., not all in
one day, but in successive development. Two hundred and seventy-three days
generally pass in the gestation, Hengstenberg translates, ‘In thy book were
they all written (namely), the days (which) were formed’ - i.e., divinely
pre-destined to be. The English version gives the more natural sense to the
Hebrew, yatzar, ‘fashioned:’
members, not days, can be said to be formed or fashioned. ‘When (as yet there
was) none of them.’ - (Rom 9:11.)” (= ).
Ayub
14:1-5 - “(1) ‘Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan
penuh kegelisahan. (2) Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti
bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan. (3) Masakan Engkau
menujukan pandanganMu kepada orang seperti itu, dan menghadapkan kepadaMu untuk
diadili? (4) Siapa dapat mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorangpun
tidak! (5) Jikalau hari-harinya sudah pasti, dan jumlah bulannya sudah tentu
padaMu, dan batas-batasnya sudah Kautetapkan, sehingga tidak dapat dilangkahinya”.
Ro
9:11 - “Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang
baik atau yang jahat, - supaya rencana Allah tentang pemilihanNya diteguhkan,
bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilanNya -”.
Bible
Knowledge Commentary (tentang Maz 139:16): “But God saw every detail. David’s frame means his skeleton and his
unformed body is his embryo. Moreover, God prerecorded all the days of the
psalmist before he was even born. This statement may mean that God determined
how long he would live, but in view of verses 1-4, it more likely refers to
everyday details. God marvelously planned out his life” (= ).
Pulpit
Commentary (tentang Maz 139:16):
“Modern
critics mostly translate ‘the days,’ or ‘my days,’ ‘were fashioned,
when as yet there was none of them;’ i.e. ‘my life was planned out by
God, and settled, before I began to be.’” (= ).
The
Bible Exposition Commentary: Old Testament (tentang Maz 139:16): “This
is one of the greatest passages in literature about the miracle of human
conception and birth. ‘In the presence of birth,’ said Eugene Petersen,
‘we don’t calculate - we marvel.’ David declared that God is present at
conception and birth, because we are made in the image of God and God has a
special purpose for each person who is born. ... But the Lord did more than
design and form our bodies; He also planned and determined our days (v. 16).
This probably includes the length of life (Job 14:5) and the tasks He wants us
to perform (Eph 2:10; Phil 2:12-13). This is not some form of fatalism or
heartless predestination, for what we are and what He plans for us come from
God’s loving heart (33:11) and are the very best He has for us (Rom 12:2)”
(= ).
Spurgeon
(tentang Maz 139:16):
“And in thy book all my members
were written, which in continuance were fashioned, when as yet there was none of
them. An architect draws his plans, and makes out his specifications; even so
did the great Maker of our frame write down all our members in the book of
his purposes. That we have eyes, and ears, and hands, and feet, is all due
to the wise and gracious purpose of heaven: it was so ordered in the
secret decree by which all things are as they are. God’s purposes concern
our limbs and faculties. Their form, and shape, and everything about them
were appointed of God long before they had any existence. God saw us when we
could not be seen, and he wrote about us when there was nothing of us to write
about. When as yet there were none of our members in existence, all those
members were before the eye of God in the sketch book of his foreknowledge and
predestination” (= ) - ‘Treasury of David’.
Catatan:
sekalipun para penafsir yang saya kutip ini mempunyai pandangan yang
berbeda-beda tentang Maz 139:16 ini, tetapi semuanya setuju bahwa ayat ini
membicarakan tentang predestinasi! Dan Albert Barnes jelas menghubungkan
predestinasi itu dengan kemahatahuan Allah!
2)
Anda mengatakan ‘Dalam
Mazmur ini, Daud menjelaskan: TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau
mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh.
Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku
Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya
telah Kauketahui, ya TUHAN. Kata-kata Daud sama sekali tidak mencerminkan
bahwa segala yang Tuhan ketahui berarti sudah Tuhan tentukan. Justru
sebaliknya! Tuhan “menyelidiki” dan “mengenal” Daud. Ini berarti Tuhan
tidak menentukan pikiran-pikiran Daud. Kalau Tuhan menentukan pikiran Daud, maka
tidak perlu lagi “diselidiki”! Tuhan juga “memeriksa” Daud. Semua
kata-kata yang dipakai menunjukkan bahwa Daud adalah makhluk dengan kehendak
bebas (diciptakan Tuhan demikian), dan menentukan pikiran dan pilihannya
sendiri.’.
a)
Anda mengutip / menganalisa Maz 139:1-4, mengapa tidak mengutip /
menganalisa Maz 139:16? Suatu pengutipan / analisa yang tidak fair / jujur,
Liauw!
b)
Kata ‘menyelidiki’ jelas merupakan suatu gaya bahasa
Anthropomorphism, yaitu gaya bahasa yang menggambarkan Allah seakan-akan Ia
adalah manusia seperti kita (sama seperti kata-kata ‘Allah menyesal’ dsb).
Sekalipun anda tidak mempercayai predestinasi, tetap saja kalau kata
‘menyelidiki’ itu anda artikan secara hurufiah, itu merupakan hal yang
tolol, karena itu akan bertabrakan dengan kemahatahuan Allah, yang menurut anda
sendiri sangat ditekankan dalam Maz 139 ini!
Anda
mengatakan ‘Kalau
Tuhan menentukan pikiran Daud, maka tidak perlu lagi “diselidiki”!’.
dengan cara yang sama saya bisa mengatakan ‘Kalau Tuhan maha tahu, maka tidak
perlu lagi “diselidiki”!’.
Senjata
anda menjadi boomerang, Liauw?
c)
Anda mengatakan ‘Semua
kata-kata yang dipakai menunjukkan bahwa Daud adalah makhluk dengan kehendak
bebas (diciptakan Tuhan demikian), dan menentukan pikiran dan pilihannya
sendiri.’’.
Saya
tidak bisa melihat bahwa kata-kata itu menunjukkan bahwa Daud adalah makhluk
dengan kehendak bebas. Apa hubungannya? Apalagi ‘kehendak bebas’ dalam arti
yang digunakan oleh orang Arminian. Apa hubungannya? Anda terlalu cepat meloncat
pada suatu kesimpulan, Liauw!
3)
Sekarang saya bahas bagian akhir dari kutipan kata-kata anda di atas.
Anda berkata ‘Saya
rasa pra-pengetahuan ala Kalvinis sama sekali tidak mengesankan. Kalau
perlu menentukan dulu, baru bisa tahu, itu saya juga bisa, bahkan anak-anak juga
bisa! Sekali lagi, sama sekali tidak ada yang spektakuler mengenai
pengetahuan yang harus menentukan dulu untuk bisa tahu’.
a)
Anda tidak bisa, Liauw, dan anak-anak yang manapun juga tidak bisa.
Ingat, Allah menentukan segala sesuatu, dan karena itu Ia tahu. Cobalah
menentukan segala sesuatu, Liauw! Anda bahkan tidak bisa menentukan
apapun, kecuali itu sesuai dengan kehendak / rencana Allah! Tidak setuju? Coba
bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini.
Kel 21:13 - “Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja,
melainkan tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan
menunjukkan bagimu suatu tempat, ke mana ia dapat lari”.
Amsal 16:1,9 - “(1) Manusia dapat menimbang-nimbang
dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada TUHAN. ... (9) Hati
manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah
langkahnya”.
Yer 10:23 - “Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak
berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk
menetapkan langkahnya”.
Jadi, Allah yang menentukan, Liauw, bukan manusia, dan jelas
bukan anda!
b)
Dan bicara tentang ‘mengesankan’ dan ‘spektakuler’, apakah itu
merupakan suatu syarat dari kebenaran? Dengan kata lain, apakah hanya kalau
sesuatu itu mengesankan dan spektakuler, baru itu bisa merupakan kebenaran? Dari
mana anda belajar hal ini, Liauw?
Doktrin anda tentang free will, apakah itu mengesankan dan
spektakuler? Kalau ya, tunjukkan dimana dan bagaimana hal itu mengesankan dan
spektakuler. Kalau tidak, lalu mengapa anda tetap mempercayainya, sementara anda
menolak doktrin Calvinisme karena tidak mengesankan dan tidak spektakuler?
Bukankah ini tidak konsisten, Liauw?
Coba kita perjelas dengan ilustrasi sehari-hari.
“Saya adalah seorang dosen, dan tentunya memiliki kuasa untuk menentukan banyak hal di dalam kelas. Suatu hari, saya memutuskan untuk memberikan ujian mendadak kepada para mahasiswa. Mahasiswa yang tidak siap untuk ujian tentunya kaget sekali. Mungkin pula ada yang protes. Tetapi satu hal yang pasti, mereka tidak akan terkesan bila saya mengatakan, ‘saya sudah tahu bahwa hari ini akan ada ujian.’ So what!!?? Ya jelaslah sang dosen tahu, toh dia yang memutuskannya! Sebaliknya, bila ternyata salah satu mahasiswa, karena kepintarannya menganalisa gerak-gerik, pola mengajar, dan pola pikir saya, ternyata dapat mengetahui bahwa akan ada ujian mendadak hari itu, maka itu adalah pengetahuan yang cukup spesial.”
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
tidak benar, Liauw! Allah yang menentukan, bukan anda. Misalnya anda menentukan
besok ujian, maka ada dua hal yang perlu dicamkan:
1)
Anda mengatakan ‘Saya
adalah seorang dosen, dan tentunya memiliki kuasa untuk menentukan banyak hal di
dalam kelas’.
Bdk. Yer 10:23 - “
Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan
jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan
langkahnya”.
Kalau sebagai dosen anda bisa menentukan kapan ujian, bahan
ujian dsb, maka perlu diingat bahwa penentuan anda itu juga datang dari Allah
yang mengatur / mengerakkan pikiran anda.
Bdk. Amsal 21:1 - “Hati raja seperti batang air di dalam
tangan TUHAN, dialirkanNya ke mana Ia ingini”.
Ezra 1:1 - “Pada tahun pertama zaman Koresh, raja negeri
Persia, TUHAN menggerakkan hati Koresh, raja Persia itu untuk
menggenapkan firman yang diucapkan oleh Yeremia, sehingga disiarkan di seluruh
kerajaan Koresh secara lisan dan tulisan pengumuman ini”.
Perhatikan dua ayat di atas ini. Ini Firman Tuhan, Liauw!
Raja saja pikiran / hatinya ada dalam tangan Tuhan, apalagi anda yang cuma
dosen! Anda kira anda siapa?
Bdk. Yoh 19:10-11 - “(10) Maka kata Pilatus kepadaNya:
‘Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku
berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?’
(11) Yesus menjawab: ‘Engkau tidak mempunyai
kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas.
Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya.’”.
Kata-kata anda seperti kata-kata Pontius Pilatus, kata-kata
saya seperti kata-kata Yesus!
2)
Kalau anda memutuskan sesuatu yang ternyata bukan kehendak Allah untuk
terjadi, anda pikir Allah tidak bisa membatalkan keputusan itu? Ada banyak cara
yang Allah bisa lakukan untuk membatalkan / membuat tidak terjadi suatu
keputusan yang dibuat manusia, misalnya dengan mengubah pikiran orang itu, atau
membuat terjadinya sesuatu yang membuat orang itu tidak bisa melaksanakan
keputusannya. Dalam kasus keputusan memberikan ujian, kalau Tuhan tahu-tahu
membuat anda kecelakaan, masuk rumah sakit, lalu mati, bagaimana anda mau
melaksanakan keputusan itu? Roh anda yang melakukannya?
Bdk. Maz 33:10-11
- “(10)
TUHAN menggagalkan rencana bangsa-bangsa; Ia meniadakan rancangan suku-suku
bangsa; (11) tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hatiNya
turun-temurun”.
Tidak mungkin Daud terkesan dan berkata, “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya” jika ternyata pengetahuan itu adalah karena suatu penentuan. Bahkan bisa dipertanyakan, apakah “pengetahuan karena penentuan” bisa disebut sebagai keMAHAtahuan. Sebagaimana telah dikutip sebelumnya, Warfield mewakili para Kalvinis untuk menjelaskan tentang pengetahuan Allah: “Alah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri.” Mengetahui kehendak sendiri sama sekali tidak ajaib! Pribadi yang hanya tahu apa yang telah ia tentukan, sebenarnya bahkan tidak masuk kategori mahatahu.
Tanggapan
saya:
Anda
memang bodoh, Liauw! Penentuan Allah mencakup segala sesuatu dalam arti kata
yang mutlak. Jadi tanpa kecuali apapun. Karena itu, pada waktu Ia menentukan
segala sesuatu, dan lalu mengetahui rencanaNya sendiri, Ia mengetahui segala
sesuatu, dan itu berarti Ia maha tahu. Seandainya Ia hanya menentukan
satu atau dua hal, dan lalu mengetahui apa yang Ia tentukan / rencanakan itu,
maka itu menyebabkan Ia hanya tahu sedikit. Tetapi faktanya Ia menentukan
segala sesuatu, dan karena itu Ia mengetahui segala sesuatu, dan itu
adalah maha tahu.
Dalam
bagian awal dari Maz 139 itu Daud hanya bicara tentang kemahatahuan Allah, bukan
dalam hubungannya dengan penentuan Allah. Tentu tidak salah untuk kagum terhadap
kemahatahuan Allah itu!
Kalvinis, karena semangat mereka mempertahankan premis dasar “Allah menentukan segala sesuatu,” justru malah menyerang kemahatahuan Tuhan sendiri! Arminius, tokoh yang paling banyak diserang oleh Kalvinis, justru memiliki pandangan tentang kemahatahuan yang jauh lebih baik. Tentang Allah, Arminius menegaskan:
“Ia tahu segala hal yang mungkin, apakah mengenai kapabilitas Allah ataupun makhluk; dalam kapabilitas aktif maupun pasif; dalam kapabilitas tindakan, atau imajinasi, atau ucapan: Ia tahu segala sesuatu yang dapat eksis, dalam hal hipotesis apapun: Ia tahu hal-hal lain di luar diriNya, baik yang harus maupun yang tergantung, baik atau buruk, umum atau khusus, masa depan, masa kini dan masa lampau, agung ataupun tercela: Ia tahu hal-hal yang substansial maupun segala jenis yang tak disengaja; aksi dan emosi, modus dan keadaan segala hal; kata-kata dan perbuatan eksternal, pikiran-pikiran internal, pertimbangan-pertimbangan, maksud rencana, dan keputusan-keputusan, dan entitas akal budi, apakah kompleks atau sederhana.”
Tanggapan
saya:
Anda
memberikan kutipan dalam bahasa Indonesia. Mengapa tidak bahasa Inggrisnya
supaya saya tahu apakah anda menterjemahkannya dengan benar atau tidak, apa kata
persisnya dalam bahasa Inggris, dsb?
Kata-kata
yang saya garis-bawahi itu, khususnya yang saya beri garis bawah ganda,
kelihatannya menunjuk pada hal-hal yang ‘contingent’ (bisa terjadi, bisa
tidak). Kalau memang demikian, saya berpendapat kata-kata Arminius itu salah!
James Arminius justru mengakui kemahatahuan Tuhan yang lebih komplit daripada Kalvinis. Secara tradisional, umat Kristiani percaya bahwa Allah tahu segala sesuatu, termasuk apa yang disebut “middle knowledge.” Allah memiliki “middle knowledge,” yang berarti bahwa Allah bukan hanya tahu semua apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi, tetapi Allah juga tahu semua yang MUNGKIN terjadi. Jadi, walaupun Allah sudah tahu tentang perzinahan Daud dengan Batsyeba, dan segala konsekuensinya, misalnya kekacauan keluarga Daud karena contoh buruk yang ia berikan, dan juga pemberontakan anaknya dan penasihatnya, Allah juga tahu, apa yang akan terjadi jika saja Daud tidak berzinah dengan Batsyeba! Allah tahu tentang semua konsekuensi, semua pilihan orang-orang lain di sekitar Daud, jika saja Daud memilih untuk melakukan hal lain! Jadi, Allah bukan saja tahu apa yang benar-benar terjadi, Allah bahkan tahu tentang segala kemungkinan! Itulah sebabnya, dalam Alkitab, banyak sekali referensi tentang pengetahuan Allah “jika” sesuatu hal terjadi, padahal hal tersebut tidak terjadi. Contoh:
Celakalah engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! Karena jika di Tirus dan di Sidon terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung. Tetapi Aku berkata kepadamu: Pada hari penghakiman, tanggungan Tirus dan Sidon akan lebih ringan dari pada tanggunganmu. Dan engkau Kapernaum, apakah engkau akan dinaikkan sampai ke langit? Tidak, engkau akan diturunkan sampai ke dunia orang mati! Karena jika di Sodom terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, kota itu tentu masih berdiri sampai hari ini. Tetapi Aku berkata kepadamu: Pada hari penghakiman, tanggungan negeri Sodom akan lebih ringan dari pada tanggunganmu. (Mat. 11:21-24)
Pernyataan Tuhan Yesus ini adalah contoh yang sangat baik. Tirus, Sidon, dan Sodom tidak bertobat. Oleh karena itu tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa Allah menentukan mereka bertobat. Namun, Tuhan tahu, bahwa jika di kota-kota itu terjadi mujizat-mujizat tertentu, mereka tentunya telah bertobat. Ini adalah salah satu perikop yang membuktikan bahwa Tuhan bukan hanya tahu hal-hal yang Ia tentukan! Ia tahu segala kemungkinan. Ia tahu apa yang makhluk akan lakukan dalam segala kondisi dan situasi.
Tanggapan
saya:
1)
Berbicara tentang James Arminius, tahukah anda bahwa ia sangat
menghormati Calvin dan buku-buku Calvin, dan bahkan menasehati semua orang untuk
mempelajarinya?
Philip
Schaff: “Next to the study of Scripture
which I earnestly inculcate, I exhort my pupils to peruse Calvin’s
Commentaries, which I extol in loftier terms than Helmich himself (a Dutch
divine, 1551-1608); for I affirm that he excels beyond comparison
(incomparabilem esse) in the interpretation of Scripture, and that his
commentaries ought to be more highly valued than all that is handed down to us
by the library of the fathers; so that I acknowledge him to have possessed above
most others, or rather above all other men, what may be called an eminent spirit
of prophecy (spiritum aliquem prophetic eximium). His Institutes ought to be
studied after the (Heidelberg) Catechism, as containing a fuller explanation,
but with discrimination (cum delectu), like the writings of all men” [=
Disamping belajar Kitab Suci yang dengan sungguh-sungguh aku tanamkan, aku
mendesak murid-muridku untuk membaca dengan teliti buku-buku tafsiran Calvin,
yang aku puji dengan istilah-istilah yang lebih tinggi / mulia dari pada Helmich
sendiri (seorang ahli theologia Belanda, 1551-1608); karena aku menegaskan bahwa
ia jauh melebihi orang lain dalam penafsiran Kitab Suci, dan bahwa buku-buku
tafsirannya harus dinilai lebih lebih tinggi dari pada semua perpustakaan
bapa-bapa gereja yang diwariskan kepada kita; sehingga aku mengakui bahwa ia
mempunyai, lebih dari kebanyakan orang lain, atau lebih tepat lebih dari semua
manusia lain, apa yang disebut roh nubuat yang ulung. Buku ‘Institutes’nya
harus dipelajari setelah Katekisasi (Heidelberg), karena berisikan penjelasan
yang lebih penuh, tetapi dengan diskriminasi, seperti tulisan dari semua orang]
- History of the Christian Church’,
vol VIII, hal 280.
Catatan:
kata-kata ini dikutip oleh Schaff dari James Arminius!
Kita
sudah melihat bagaimana pandangan James Arminius tentang Calvin dan ajarannya /
buku-bukunya. Sekalipun James Arminius tidak setuju dengan Calvin dalam hal-hal
tertentu, tetapi ia tetap sangat menghormati Calvin dan ajarannya, dan bahkan
menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk membaca buku-buku tafsiran Calvin dan
buku ‘Institutes of the Christian
Religion’.
Andaikata
saja ia bangkit dari antara orang mati, mungkin sekali ia akan menghajar
pengikut-pengikut / anak-anak buahnya pada jaman sekarang, yang begitu kurang
ajar terhadap Calvin dan ajarannya, yang ia sendiri sangat hormati!
Mau
menuruti kata-kata bapa gereja anda sendiri, Liauw?
2)
Anda mengatakan ‘Secara
tradisional, umat Kristiani percaya bahwa Allah tahu segala sesuatu, termasuk apa yang disebut “middle
knowledge.”’? Umat Kristiani yang mana? Anda kurang
ajar sekali mencatut nama ‘umat Kristiani’! Jadi yang tidak percaya hal ini
bukan Kristen?
Liauw percaya bahwa Allah mempunyai apa yang ia sebut
‘middle knowledge’, ‘yang
berarti bahwa Allah bukan hanya tahu semua apa yang sudah, sedang, dan akan
terjadi, tetapi Allah juga tahu semua yang MUNGKIN terjadi’.
Kelihatannya Lenski juga mempercayai hal seperti itu, karena
dalam tafsirannya tentang Mat 11:21 ia berkata seperti di bawah ini.
Lenski: “God’s omniscience includes all
posssible actions. Since the possible lies between the absolutely necessary (God
himself) and things that are free (such as actual human actions), the knowledge
of the possible is called scientia media;
under certain conditions certain possible things would become actual which,
however, for lack of the conditions do not become actual; yet God knows all
about them”
[= Kemahatahuan Allah mencakup semua
tindakan-tindakan yang memungkinkan. Karena yang memungkinkan itu terletak di
antara yang perlu secara mutlak (Allah sendiri) dan hal-hal yang bebas (seperti
tindakan-tindakan manusia yang sungguh-sungguh), pengetahuan tentang yang
memungkinkan itu disebut SCIENTIA MEDIA; di bawah kondisi tertentu hal-hal
memungkinkan yang pasti akan menjadi sungguh-sungguh, sekalipun karena tidak
adanya kondisi itu hal-hal itu tidak menjadi sungguh-sungguh; tetapi Allah
mengetahui semua tentang hal-hal itu] - hal 446.
Catatan:
·
Tak usah
heran kalau Lenski mempunyai pandangan yang sama dengan Liauw, karena Lenski
juga adalah seorang Arminian.
·
Saya tidak
mengerti dengan pasti arti kata-kata ‘Scientia Media’, karena kata-kata ini
ada dalam bahasa Latin, tetapi bisa saya duga bahwa kata-kata ini artinya adalah
‘middle knowledge’.
Bahwa tidak semua orang Kristen mempercayai apa yang Liauw
katakan bisa saya tunjukkan dari kata-kata Louis Berkhof di bawah ini.
Louis Berkhof:
“Jesuit,
Lutheran, and Arminian theologians suggested the so-called scientia
media as a solution of the problem. The name is indicative of the
fact that it occupies a middle ground between the neccessary and the free
knowledge of God. It differs from the former in that its object is not all possible
things, but a special class of things actually future; and from the latter in
that its ground is not the eternal purpose of God, but the free action of the
creature as simply foreseen.”
(= Ahli-ahli theologia Jesuit, Lutheran, dan Arminian mengusulkan apa yang
disebut SCIENTIA MEDIA sebagai suatu solusi / penyelesaian dari problem itu.
Nama itu merupakan petunjuk dari fakta bahwa itu menempati daerah di
tengah-tengah di antara pengetahuan yang perlu / tak terhindarkan dan
pengetahuan yang bebas dari Allah. Itu berbeda dengan yang pertama dalam hal
obyeknya bukanlah semua hal yang memungkinkan,
tetapi suatu golongan khusus dari hal-hal yang betul-betul akan datang; dan
berbeda dengan yang terakhir dalam hal bahwa dasarnya bukanlah rencana kekal
dari Allah, tetapi tindakan bebas dari makhluk-makhluk ciptaan yang sekedar
dilihat lebih dulu) - ‘Systematic
Theology’, hal
68.
Catatan:
·
yang Louis
Berkhof maksudkan dengan ‘the problem’ (problem itu) adalah ‘kontradiksi
antara penentuan lebih dulu dari Allah dan kebebasan kehendak dari manusia’.
·
sangat
perlu dicamkan bahwa Louis Berkhof menggunakan kata ‘possible’ (memungkinkan) yang saya beri warna merah itu, dalam
arti yang berbeda dengan arti dari kata itu pada waktu digunakan oleh Liauw /
Lenski! Untuk mengerti tentang hal itu, dan juga tentang apa yang Louis Berkhof
maksudkan dengan ‘the necessary and free
knowledge of God’ (pengetahuan yang perlu / tak terhindarkan dan
pengetahuan yang bebas dari Allah), kita harus melihat penjelasan Louis Berkhof
sebelumnya.
Louis
Berkhof: “A
distinction is made between the
‘necessary’ and ‘free’ knowledge of God.
The former is the knowledge which God has of Himself and of all things possible,
a knowledge resting on the consciousness of His omnipotence. It is called
‘necessary knowledge’, because it is not determined by an action of the
divine will. ... ‘The free knowledge of God’ is the knowledge which He has
of all things actual, that is, of things that existed in the past, that
exists in the present, or that will exist in the future. It is founded on God’s infinite knowledge of His own all-comprehensive
and unchangeable eternal purpose, and is called ‘free knowledge’, because it
is determined by a concurrent act of the will” (= Suatu pembedaan dibuat antara pengetahuan yang ‘perlu / harus / tak
terhindarkan’ dan ‘bebas’ dari Allah. Yang pertama adalah pengetahuan yang dimiliki Allah tentang DiriNya
sendiri dan tentang segala sesuatu yang memungkinkan
akan terjadi, suatu pengetahuan yang didasarkan pada kesadaran akan
kemaha-kuasaanNya. Itu disebut ‘pengetahuan yang perlu / harus’, karena itu
tidak ditentukan oleh suatu tindakan dari kehendak ilahi. ... ‘Pengetahuan
yang bebas dari Allah’ adalah pengetahuan yang Ia miliki tentang segala
sesuatu yang sungguh-sungguh, yaitu tentang hal-hal yang ada pada masa
lalu, yang ada pada masa ini, dan yang akan ada pada masa yang akan datang. Ini
didasarkan pada pengetahuan yang tak terbatas dari Allah tentang rencana
kekalNya yang tak berubah dan mencakup segala sesuatu, dan disebut
‘pengetahuan bebas’, karena itu ditentukan oleh suatu tindakan bersamaan
dari kehendak)
- ‘Systematic Theology’, hal
66-67.
Jadi,
kalau Louis Berkhof mengatakan hal-hal yang ‘possible’ (memungkinkan), ia
tidak memaksudkan hal-hal yang contingent (hal yang bisa terjadi bisa tidak /
tidak ada kepastian terjadi atau tidak). Ia memaksudkan hal yang bisa saja
dilakukan oleh Allah yang maha kuasa seandainya Ia menghendakinya. Saya memberi
contoh: pada minus tak terhingga, sebelum Allah menciptakan apapun, Ia tentu
tahu bahwa Ia bisa saja menciptakan 10 Adam dan 10 Hawa, atau, Ia tentu tahu
bahwa Ia bisa saja menciptakan 10 alam semesta. Hal-hal ini dalam kenyataannya
tidak Ia lakukan, karena hal-hal itu bukan merupakan rencanaNya. Tetapi Ia tahu
hal-hal itu memungkinkan untuk Ia lakukan, karena Ia tahu bahwa kemahakuasaanNya
mampu untuk melakukan hal-hal itu. Ini sangat berbeda dengan, dan harus sangat
dibedakan dari, kepercayaan bahwa Allah tahu akan hal-hal yang bersifat
contingent.
Louis Berkhof melanjutkan dengan berkata sebagai berikut: “It
is called ‘mediate’, says Dabney, ‘because they suppose God by His
infinite insight into the manner in which the contingent second cause will act,
under given outward circumstances, foreseen or produced by God.’ But this
is no solution of the problem at all. It is an attempt to reconcile two things
which logically exclude each other, namely, freedom of action in the Pelagian
sense and a certain foreknowledge of that action”
(= Itu disebut ‘di antara / di tengah-tengah’, kata Dabney, ‘karena mereka
menganggap Allah oleh kemampuan melihatNya yang tak terbatas ke dalam cara dalam
mana penyebab kedua yang tak terduga akan bertindak, di bawah keadaan-keadaan
luar yang diberikan, dilihat lebih dulu atau dihasilkan / dibuat oleh Allah’. Tetapi
ini sama sekali bukan solusi / penyelesaian dari problem itu. Itu merupakan
suatu usaha untuk memperdamaikan dua hal yang secara logika saling bertentangan,
yaitu kebebasan tindakan dalam arti Pelagian dan suatu pra pengetahuan yang
pasti tentang tindakan itu) -
‘Systematic Theology’, hal 68.
Catatan:
·
Dabney
adalah seorang ahli theologia Reformed / Calvinist.
·
‘kebebasan
tindakan dalam arti Pelagian’ adalah tindakan yang bebas secara mutlak.
Sekalipun Arminianisme terletak di antara Calvinisme dan Pelagianisme, dan
merupakan ‘tawaran’ di tengah-tengah yang diberikan oleh setan setelah
Pelagianisme dikecam sebagai ajaran sesat, tetapi dalam persoalan kebebasan
kehendak saya kira Pelagianisme dan Arminianisme mempunyai pandangan yang sama.
·
Bagian yang
saya garis-bawahi menunjukkan bahwa Louis Berkhof sama sekali tidak percaya
tentang Scientia Media / middle
knowledge (pengetahuan di tengah-tengah) itu.
Dan Dabney juga menolak secara mutlak gagasan tersebut.
R. L. Dabney: “scientia
media ... The existence of such a species of knowledge the Calvinists deny in
toto” (= scientia media ... Keberadaan dari jenis pengetahuan seperti itu,
orang-orang Calvinist menolak sebagai suatu keseluruhan) - ‘Lectures
in Systematic Theology’, hal 156.
·
Di bagian
akhir dari point 2) di bawah saya memberikan lagi kata-kata Louis Berkhof yang
merupakan sambungan langsung dari kata-katanya di sini.
3)
Dari mana / apa dasarnya anda mengatakan ‘Allah sudah tahu tentang perzinahan Daud dengan Batsyeba, dan segala
konsekuensinya, misalnya kekacauan keluarga Daud karena contoh buruk yang ia
berikan, dan juga pemberontakan anaknya dan penasihatnya, Allah juga tahu, apa
yang akan terjadi jika saja Daud tidak berzinah dengan Batsyeba! Allah tahu
tentang semua konsekuensi, semua pilihan orang-orang lain di sekitar Daud, jika
saja Daud memilih untuk melakukan hal lain!’?
Bagian awalnya saya setuju (kalau Daud berzinah), karena
memang ada ayat-ayat yang menunjukkan hal itu. Tetapi bagian akhirnya belum
tentu (kalau Daud tidak berzinah), karena tidak ada ayat-ayat yang menunjukkan
pengetahuan Tuhan tentang hal itu.
Dalam kasus Daud, ada kemungkinan persoalannya adalah
sebagai berikut: Allah sudah memikirkan kalau Daud berzinah, hal-hal apa yang
akan terjadi, dan juga memikirkan kalau Daud tidak berzinah, hal-hal apa yang
akan terjadi. Tetapi Ia tidak mau menentukan Daud tidak berzinah. Saya percaya
Allah menentukan kejatuhan Daud, dan karena itu Ia juga tahu hal-hal apa yang
akan terjadi.
Tetapi ini sangat berbeda halnya dengan kalau kejatuhan Daud
itu sesuatu yang sepenuhnya contingent (bisa terjadi, bisa tidak), dan Allah
tidak / belum menentukan apapun
berkenaan dengan hal itu. Dalam hal ini Allah tidak bisa tahu apakah Daud akan jatuh atau
tidak! Kalau anda tak setuju dengan hal ini, saya tanya: kalau kejatuhan Daud
itu memang contingent, apa yang Allah ketahui tentang hal itu? Kalau anda
katakan Allah tahu Daud bakal jatuh, maka kejatuhan itu sudah pasti, bukan lagi
contingent. Demikian juga kalau anda katakan Allah tahu Daud bakal tidak jatuh,
maka kejatuhan itu pasti tidak terjadi, dan lagi-lagi itu bukan lagi sesuatu
yang contingent!
Saya
harap dengan penjelasan ini anda bisa melihat bahwa ‘mengetahui lebih dulu
tentang sesuatu yang contingent’ merupakan kata-kata yang kontradiksi!
Karena
itu sangat tepatlah kata-kata Louis Berkhof di atas (saya kutip ulang sebagian
di sini).
Louis
Berkhof: “It
is an attempt to reconcile two things which logically exclude each other,
namely, freedom of action in the Pelagian sense and a certain foreknowledge of
that action” (= Itu
merupakan suatu usaha untuk memperdamaikan dua hal yang secara logika
saling bertentangan, yaitu kebebasan tindakan dalam arti Pelagian dan suatu
pra pengetahuan yang pasti tentang tindakan itu)
- ‘Systematic Theology’, hal 68.
Louis Berkhof: “Actions
that are in no way determined by God, directly or indirectly, but are wholly
dependent on the arbitrary will of man, can hardly be the object of
divine foreknowledge”
(= Tindakan-tindakan yang tidak ditentukan oleh Allah dengan cara apapun, secara
langsung atau tidak langsung, tetapi sepenuhnya tergantung pada kehendak manusia
yang berubah-ubah, tidak mungkin bisa merupakan obyek dari
pra-pengetahuan ilahi) - ‘Systematic Theology’, hal 68.
Catatan:
kata ‘hardly’ di sini tidak boleh diterjemahkan ‘hampir
tidak’ seperti biasanya, tetapi harus diterjemahkan ‘improbable’
(= ‘tidak mungkin’) atau ‘not at all’ (= ‘sama sekali
tidak’). Arti seperti ini memang diberikan dalam Webster’s New World
Dictionary (College Edition).
4) Persoalan
Mat 11:20-24.
Saya
kira ada 2 kemungkinan untuk menafsirkan:
a)
Calvin memberi penjelasan, yang bisa kita lihat dari tafsirannya tentang
Mat 11:20-24 di bawah ini.
Calvin (tentang Mat 11:20-24):
“Lest any should raise thorny
questions about the secret decrees of God, we must remember, that this
discourse of our Lord is accommodated to the ordinary capacity of the human mind.
Comparing the citizens of Bethsaida, and
their neighbors, with the inhabitants of Tyre and Sidon, he reasons, not of what God foresaw would be
done either by the one or by the other, but of what both parties would have
done, so far as could be judged from the facts” (= Supaya jangan ada siapapun menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sukar
tentang ketetapan-ketetapan rahasia dari Allah, kita harus mengingat, bahwa pembicaraan
Tuhan kita ini disesuaikan dengan kapasitas biasa dari pikiran manusia.
Membandingkan orang-orang Betsaida, dan tetangga-tetangga mereka, dengan
penduduk-penduduk dari Tirus dan Sidon, Ia menganalisa secara logis, bukan
tentang apa yang Allah lihat lebih dulu akan dilakukan atau oleh yang satu atau
oleh yang lain, tetapi tentang apa yang kedua pihak akan lakukan, sejauh seperti
yang bisa dinilai dari fakta-fakta).
Matthew
Poole (tentang Mat 11:22): “Our
Saviour might here speak after the manner of men, according to rational
conjectures and probabilities” (= Juruselamat kita di sini bisa / mungkin
berbicara menurut cara manusia, sesuai dengan dugaan-dugaan dan
kemungkinan-kemungkinan yang rasionil).
Jadi
intinya, dalam bagian ini dalam Yesus mengucapkan kata-kata itu, Ia berbicara
sambil menyesuaikan diri dengan kapasitas pengertian manusia. Ini adalah
penganalisaan secara logis, bukan tentang pra-pengetahuan dari Allah.
b)
Kita harus membedakan antara ‘ditentukan untuk tidak terjadi’ dengan
‘tidak ditentukan untuk terjadi’. Dalam kata-kata yang pertama, ada
penentuan Allah, yaitu hal itu tidak akan terjadi. Tetapi dalam hal yang
kedua, betul-betul tidak ada penentuan Allah berkenaan dengan terjadi atau
tidak terjadinya hal itu. Dalam hal yang pertama, karena ada penentuan, maka
Allah tahu hal itu. Dalam hal kedua, karena memang tidak ada penentuan apa-apa /
tidak ada penentuan sama sekali, Allah tidak bisa tahu tentang hal itu.
Kasus
Mat 11:20-24 (tentang pertobatan orang-orang Sidon dsb) termasuk yang mana?
Jelas termasuk yang pertama, bukan yang kedua. Mungkin kalau kita membayangkan
Allah seakan-akan Dia adalah manusia dengan pemikiran terbatas seperti manusia,
maka pada waktu mau merencanakan / menentukan, Ia berpikir: Aku bisa memberi
mujijat-mujijat kepada mereka, dan mempertobatkan mereka menggunakan
mujijat-mujijat itu, atau, Aku bisa langsung menghancurkan mereka, tanpa memberi
mujijat-mujijat yang akan mempertobatkan mereka. Sebetulnya, mungkin Ia juga
memikirkan kemungkinan yang ketiga: Aku juga bisa memberi mujijat-mujijat kepada
mereka, tetapi tetap tidak mempertobatkan mereka. Akhirnya Ia memilih untuk
menentukan untuk tidak memberi mujijat-mujijat yang akan mempertobatkan mereka. Jadi
dalam hal ini ada penentuan Allah,
yaitu Ia tidak mau memberi mereka mujijat-mujijat, dan Ia tidak mau mereka
bertobat. Karena hal ini ada dalam perencanaan Allah, maka Ia tahu akan
hal itu.
Karena
itu perhatikan kata-kata Louis Berkhof di atas, yang akan saya kutip ulang di
sini.
Louis
Berkhof: “Actions
that are in no way determined by God, directly or indirectly, but
are wholly dependent on the arbitrary will of man, can hardly be the
object of divine foreknowledge” (= Tindakan-tindakan yang tidak ditentukan
oleh Allah dengan cara apapun, secara langsung atau tidak langsung,
tetapi sepenuhnya tergantung pada kehendak manusia yang berubah-ubah,
tidak mungkin bisa merupakan obyek dari pra-pengetahuan ilahi) - ‘Systematic Theology’, hal 68.
Saya
kira bagian-bagian yang saya garis-bawahi menunjukkan betapa hati-hatinya Louis
Berkhof dalam menyusun kalimatnya. Jadi, hal-hal yang tidak mungkin diketahui
lebih dulu oleh Allah hanyalah:
·
hal-hal
yang sama sekali tidak ditentukan oleh Allah dalam cara apapun. Ini pasti tidak
mencakup hal yang ‘ditentukan untuk tidak terjadi’!
·
hal-hal
yang betul-betul tergantung pada kehendak manusia yang berubah-ubah, sehingga
ini adalah hal-hal yang betul-betul tidak pasti / tertentu
Perikop lain yang mengilustrasikan kebenaran ini ada dalam kitab 1 Samuel:
Ketika diketahui Daud, bahwa Saul berniat jahat terhadap dia, berkatalah ia kepada imam Abyatar: “Bawalah efod itu ke mari.” Berkatalah Daud: “TUHAN, Allah Israel, hamba-Mu ini telah mendengar kabar pasti, bahwa Saul berikhtiar untuk datang ke Kehila dan memusnahkan kota ini oleh karena aku. Akan diserahkan oleh warga-warga kota Kehila itukah aku ke dalam tangannya? Akan datangkah Saul seperti yang telah didengar oleh hamba-Mu ini? TUHAN, Allah Israel, beritahukanlah kiranya kepada hamba-Mu ini.” Jawab TUHAN: “Ia akan datang.” Kemudian bertanyalah Daud: “Akan diserahkan oleh warga-warga kota Kehila itukah aku dengan orang-orangku ke dalam tangan Saul?” Firman TUHAN: “Akan mereka serahkan.” (1 Sam. 23:9-12).
Pada waktu itu, Daud sedang bersembunyi dari Saul di sebuah kota bernama Kehila. Saul rupanya mendapat kabar bahwa Daud berada di sana, dan Saul berniat untuk membawa pasukan dan mengepung Daud di Kehila. Namun rencana itu bocor ke telinga Daud, sehingga Daud bertanya kepada Tuhan: “Apakah orang-orang Kehila akan menyerahkan aku kepada Saul?” Tentu pertanyaan ini adalah dengan asumsi bahwa Daud terus berada di Kehila. Pada kenyataannya, Daud akhirnya segara keluar dari Kehila. Walaupun demikian, Tuhan bisa tahu dengan pasti, bahwa jika Daud berada di Kehila, orang-orang kota itu akan menyerahkan Daud kepada Saul. Ini adalah suatu kondisi hipotetis, dan tidak pernah terjadi. Tetapi demikianlah kemahatahuan Tuhan, sedemikian ajaib, sehingga Ia tahu segala kemungkinan dan Ia tahu apa yang akan dilakukan oleh makhluk-makhlukNya dalam segala jenis kondisi. Jelaslah bahwa Tuhan bukan hanya tahu apa yang Ia tetapkan! Tuhan bukan hanya tahu apa yang menjadi kehendakNya sendiri!
Kalau mau direnung-renungkan, pernyataan Warfield bahwa “Allah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri,” sebenarnya adalah pengakuan Kalvinis bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas! Dengan satu kalimat ini, Warfield menerangkan apa yang sebenarnya dipercayai oleh Kalvinis, tidak peduli betapa gigihnya mereka berusaha menyangkalinya, yaitu bahwa segala “kehendak” makhluk adalah sebenarnya “kehendak Allah.” Tanpa sadar (atau mungkin dengan sadar), Warfield menegaskan bahwa makhluk tidak memiliki kehendak sendiri, melainkan dikendalikan oleh “kehendak Allah.”
Tanggapan
saya:
Calvin
tidak menulis buku tafsiran tentang kitab 1Samuel, tetapi saya kira ia akan
menafsirkan secara sama dengan pada waktu ia menafsirkan tentang Mat 11:20-24.
Ini bukan berhubungan dengan pra pengetahuan Allah, tetapi hanya suatu pemikiran
logis. Jadi, Allah bicara dengan menyesuaikan diri dengan pemikiran manusia yang
terbatas.
Atau,
bisa juga saya menafsirkan bagian ini seperti saya menafsirkan Mat 11:20-24 di
atas. Jadi, kalau kita membayangkan Allah sebagai manusia dengan pemikiran yang
terbatas, Ia mungkin berpikir: Aku bisa menentukan Daud untuk tetap di Kehila,
dan Saul akan datang ke sana, dan warga Kehila akan menyerahkan Daud kepada
Saul. Atau, Aku bisa menentukan Daud meninggalkan Kehila, sehingga Saul tidak
pergi ke Kehila, dan warga Kehila tidak menyerahkan dia ke tangan Saul. Akhirnya
Tuhan memutuskan untuk tidak menentukan yang pertama tetapi menentukan yang
kedua. Jadi, lagi-lagi dalam hal ini ada penentuan Tuhan, yaitu bahwa
Daud tidak tetap di Kehila, sehingga Saul tidak datang ke Kehila, dan warga
Kehila tidak menyerahkan dia ke tangan Saul. Jadi, karena di sini ada penentuan
Allah, tentu Allah tahu tentang hal itu.
Dari
dua penafsiran ini, saya lebih condong pada yang pertama.
Jadi, usaha Kalvinis untuk memakai kemahatahuan Allah untuk mendukung premis dasarnya bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu, justru membawa dua dampak. Pertama, ia semakin memperlihatkan posisi Kalvinis sebenarnya, bahwa manusia hanyalah pion-pion pintar yang melakukan segenap “dekrit Allah” sambil berpikir dan merasa bahwa ia melakukannya atas keinginan sendiri. Kedua, ia justru memperlemah kemahatahuan Tuhan sendiri. Oh, teman-temanku Kalvinis, tidak dapatkah kalian melihat, bahwa “allah” yang hanya bisa tahu apa yang ia tentukan, dan hanya tahu kehendaknya sendiri, bukanlah Allah yang Mahatahu dalam Alkitab?
Tanggapan
saya:
1)
Saya tidak mengerti bagaimana dari pembahasan tentang kemahatahuan Allah
yang dijadikan dasar dari penentuan segala sesuatu, kok tahu-tahu anda bisa
menyimpulkan tentang manusia sebagai pion-pion pintar dan sebagainya. Apa
hubungannya?
2)
Tak ada pelemahan terhadap kemahatahuan Allah, mengingat bahwa Allah
menentukan segala sesuatu, dan dengan demikian, mengetahui segala
sesuatu juga!
Tidak
ada orang yang benar-benar percaya pada Alkitab yang akan meragukan bahwa Allah
maha berdaulat. Demikian pula tidak ada seorang pun yang benar-benar mengerti
kebenaran dapat meragukan bahwa Allah mengontrol sejarah. Perdebatan antara
Kalvinis dengan non-Kalvinis sebenarnya bukanlah masalah apakah Allah berdaulat
atau tidak. Perselisihan juga bukan pada poin apakah Allah mengendalikan sejarah
atau tidak. Baik Kalvinis maupun non-Kalvinis percaya akan hal-hal tersebut.
Permasalahannya adalah, apakah Allah yang berdaulat harus menentukan segala
tindakan makhlukNya? Apakah Allah mengendalikan sejarah dengan cara menentukan
segala tindakan makhlukNya?
Kita sudah melihat di bagian yang lebih awal, bahwa tidak ada suatu hal pun
dalam definisi “kedaulatan” yang mengharuskan Allah untuk menentukan segala
tindakan makhlukNya. Ide ini tidak inheren dalam makna “kedaulatan,”
melainkan adalah suatu pilihan filosofis dari kaum Kalvinis.
Tanggapan
saya:
1)
Anda tidak salah bicara, Liauw? Anda mengakui bahwa Allah mengontrol
sejarah? Tetapi anda tak mengakui kalau Allah menentukan sejarah / segala
tindakan dari makhluk-makhlukNya. Menurut saya ini adalah pemikiran-pemikiran
yang saling bertentangan, dan juga tidak Alkitabiah. Kalau Ia dari awal tidak
menentukan, lalu berdasarkan apa dan ke arah mana Ia mengontrol sejarah?
Juga, kalau anda mengakui bahwa Allah mengontrol sejarah,
berarti terjadinya dosa, termasuk dosa Adam, juga terjadi karena kontrol Allah
itu, bukan? Lalu mengapa gerangan Ia mengontrol sedemikian rupa sehingga
dosa-dosa itu terjadi? Apakah ini tidak bertentangan dengan kemahasucian Allah?
Juga itu berarti bahwa ketidak-percayaan seseorang terhadap Kristus, juga
terjadi karena kontrol Allah itu, bukan? Lalu, mengapa Ia mengontrol sedemikian
rupa sehingga orang itu tidak percaya kepada Kristus, dan akhirnya masuk neraka?
Apakah ini tidak bertentangan dengan sifat maha kasih dari Allah?
Alkitab sendiri dengan jelas menunjukkan bahwa Tuhan bekerja
dalam sejarah sesuai dengan rencana kekalNya! Lihat ayat-ayat di bawah ini:
Ef 1:11 - “Aku katakan ‘di dalam Kristus’, karena di
dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan--kami yang dari semula
ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di
dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya-”.
2Raja 19:25
- “Bukankah
telah kaudengar, bahwa Aku telah menentukannya dari jauh hari, dan telah
merancangnya pada zaman purbakala? Sekarang Aku mewujudkannya, bahwa
engkau membuat sunyi senyap kota-kota yang berkubu menjadi timbunan batu”.
Yes 37:26
- “Bukankah
telah kaudengar, bahwa Aku telah menentukannya dari jauh hari dan telah
merancangnya dari zaman purbakala? Sekarang Aku mewujudkannya, bahwa
engkau membuat sunyi senyap kota-kota yang berkubu menjadi timbunan batu”.
Ro 8:29-30
- “(29) Sebab semua orang yang dipilihNya
dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi
serupa dengan gambaran AnakNya, supaya Ia, AnakNya itu, menjadi yang sulung di
antara banyak saudara. (30) Dan mereka yang ditentukanNya dari semula, mereka
itu juga dipanggilNya. Dan mereka yang dipanggilNya, mereka itu juga
dibenarkanNya. Dan mereka yang dibenarkanNya, mereka itu juga dimuliakanNya”.
2)
Tentang istilah ‘berdaulat’ / ‘kedaulatan’ dsb, saya sudah
membahasnya di atas bahwa itu adalah arti yang diberikan oleh Kamus Webster.
Mengapa mau menggunakan suatu kata, kalau tidak mau menerima arti kata itu?
Lalu bagaimana dengan pengendalian atas sejarah? Banyak sekali bukti dan contoh kasus dalam Alkitab, bahwa Allah memegang kendali penuh atas perjalanan sejarah. Nubuat-nubuat yang terdapat dalam Alkitab adalah salah satu contoh kendali Tuhan. Pada saat yang sama, Allah tidak menentukan tindakan-tindakan makhluk-makhlukNya, karena terbukti Ia masih meminta pertanggungan jawab makhluk-makhluk itu.
Tanggapan
saya:
1)
Dari sudut pandang anda, apa hubungan nubuat-nubuat dengan pengendalian
penuh atas sejarah? Kalau dari sudut pandang saya, saya percaya Allah menentukan
segala sesuatu, dan lalu bagian-bagian tertentu dari apa yang Ia tentukan, Ia
nubuatkan. Lalu akhirnya hal-hal itu Ia laksanakan. Jadi, memang ada
hubungannya. Tetapi dari sudut pandang anda, yang menolak penentuan Allah atas
segala sesuatu, apa hubungan nubuat-nubuat dengan kontrol Allah terhadap
sejarah? Aapakah secara tak anda sadari anda percaya ajaran Calvinisme?
2)
Anda mengatakan ‘Pada
saat yang sama, Allah tidak menentukan tindakan-tindakan makhluk-makhlukNya,
karena terbukti Ia masih meminta pertanggungan jawab makhluk-makhluk itu’.
Coba untuk sementara tinggalkan logika anda yang bertentangan dengan Alkitab
ini, dan baca dan renungkan ayat-ayat di bawah ini.
a)
Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah
ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.
Ini kata-kata Yesus dalam Firman Tuhan, Liauw! Mau tunduk
atau tidak? Jelas tindakan pengkhianatan Yudas Iskariot telah ditetapkan, tetapi
ia toh harus bertanggung jawab. Kalau tidak, untuk apa Yesus mengatakan
‘celakalah’?
b)
Ro 9:19-21 - “(19) Sekarang kamu akan berkata kepadaku: ‘Jika
demikian, apa lagi yang masih disalahkanNya? Sebab siapa yang menentang
kehendakNya?’ (20) Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah?
Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau
membentuk aku demikian?’ (21) Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas
tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai
guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang
biasa?”.
Memang
sepintas lalu, kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia kelihatan sebagai
suatu kontradiksi. Ini terlihat dari Ro 9:19 dimana Paulus, setelah
mengajarkan Predestinasi dan kedaulatan Allah dalam Ro 9:6-18, lalu
menanyakan pertanyaan yang ia perkirakan bakal muncul dalam diri orang yang
mendengar ajaran Predestinasi dan kedaulatan Allah.
Ro 9:19
- “Sekarang kamu akan berkata kepadaku:
‘Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkanNya? Sebab siapa yang menentang
kehendakNya?’”.
NASB:
“You will say to me then, ‘Why
does He still find fault? For who resists His will?’” (= Lalu kamu akan
berkata kepadaku: ‘Mengapa Ia masih menyalahkan / mencari kesalahan? Karena
siapa yang menahan / menolak kehendakNya?’).
KJV
/ RSV »
NASB.
NIV:
“One of you will say to me: Then
why does God still blame us? For who resists his will?” (= Salah satu dari
kamu akan berkata kepadaku: Lalu mengapa Allah masih menyalahkan kita? Karena
siapa yang menahan / menolak kehendakNya?).
Jadi,
karena Allah dalam kedaulatanNya sudah menetapkan / mempredestinasikan, dan
kehendak Allah pasti terjadi sehingga tidak bisa ditolak, maka orang lalu merasa
aneh bahwa manusia masih harus bertanggung jawab / disalahkan oleh Allah.
Andaikata
Paulus menganggap bahwa karena adanya kedaulatan Allah / Predestinasi maka
manusia tidak lagi perlu bertanggung jawab, maka ia akan menjawab dengan
berkata: ‘Siapa bilang bahwa Allah menyalahkan kamu? Karena Ia yang
menetapkan segala sesuatu dan karena kehendakNya pasti terjadi, maka Ia tidak
akan menyalahkan kamu kalau kamu berbuat dosa atau tidak percaya’.
Andaikata
Paulus memang tidak setuju dengan kedaulatan Allah yang menetapkan segala
sesuatu, maka ia akan menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata: ‘Allah
tidak menetapkan apa-apa, karena itu kamu bertanggung jawab’.
Tetapi
Paulus tidak menjawab seperti itu. Perhatikan jawaban Paulus dalam Ro 9:20-21:
“Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu
membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya:
‘Mengapakah engkau membentuk aku demikian?’ Apakah tukang periuk tidak
mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu
benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai
guna tujuan yang biasa?”.
J.
I. Packer mengomentari ayat ini dengan berkata:
“What
the objector has to learn is that he, a creature and a sinner, has no right
whatsoever to find fault with the revealed ways of God. Creatures are not
entitled to register complaints about their Creator”
(= Apa yang harus dipelajari oleh orang yang mengajukan keberatan itu adalah
bahwa ia, seorang makhluk ciptaan dan seorang berdosa, tidak mempunyai hak
apapun untuk tidak puas / berkeberatan dengan jalan Allah yang dinyatakan.
Makhluk-makhluk ciptaan tidak berhak menyatakan keluhan / ucapan yang menyatakan
ketidakpuasan tentang Pencipta mereka)
- ‘Evangelism and the Sovereignty of
God’, hal 23.
Lalu, bagaimanakah Tuhan mengendalikan sejarah? Pertama, walaupun Allah tidak menentukan segala sesuatu, tetapi Ia menentukan banyak hal. Jelaslah bahwa Allah yang menentukan semua hukum alam yang berlaku. Segala tindakan penciptaan Allah adalah keputusanNya sendiri. Banyak Kalvinis berpikir, bahwa karena non-Kalvinis menentang penentuan Allah atas segala sesuatu, maka kami tidak percaya Allah menentukan apa-apa. Ini tidak benar! Saya percaya Allah menentukan banyak sekali hal. Yang tidak Allah tentukan adalah keputusan-keputusan makhluk-makhluk yang berkehendak bebas. Mengapa Allah tidak menentukannya? Karena Allahlah yang pada awalnya menentukan mereka berkehendak bebas, yang berarti Allah ingin mereka sendiri yang memutuskan. Namun saya percaya bahwa hal-hal lain di luar kehendak bebas makhluk ciptaan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan. Penulis Amsal mengakui kebenaran ini dengan pernyataan berikut: “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN” (Ams. 16:33). Bukan hanya jatuhnya undian, saya percaya bahwa setiap tetes hujan yang turun, diatur oleh Tuhan untuk mengenai titik tanah yang tertentu, baik itu melalui hukum alam maupun intervensi khususNya. Setiap batu yang berguling, Tuhan tentukan trayektorinya, baik melalui hukum alam maupun intervensi khususnya. Hal-hal ini tidak berkaitan dengan kehendak bebas makhluk ciptaan, dan Allah memang menentukan hal-hal ini. Dengan jalan demikian, kita bisa memahami salah satu cara yang Tuhan pakai untuk mengendalikan sejarah, tanpa menentukan keputusan manusia. Kita melihat bagaimana undian telah Tuhan pakai sepanjang sejarah untuk mengendalikan jalannya sejarah (kisah Yunus, juga Nebukadnezar di dalam Yeh. 21:18-22).
Tanggapan
saya:
1)
Apa nggak salah, Liauw? Apakah ini memang pandangan Arminian? Bisakah
anda berikan kutipan kata-kata Arminius yang menunjukkan bahwa ia percaya
seperti yang anda katakan di sini? Saya melihat pada buku tafsiran Adam Clarke,
yang jelas adalah orang Arminian yang keras, berkenaan dengan ayat-ayat seperti
Amsal 16:33 Yun 1:17 dsb, dan saya
tidak melihat bahwa ia mempercayai seperti yang anda katakan di atas. Memang
pandangan anda ini bukan pandangan Reformed / Calvinisme, tetapi kalau dilihat
konsekwensinya, akan menjurus pada pandangan Reformed / Calvinisme. Mengapa?
Karena benda-benda yang tak punya kehendak sama sekali itu, berhubungan dengan
manusia yang mempunyai kehendak bebas. Sebagai contoh:
a)
Amsal 16:33 - “Undi
dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN”.
Bagaimana mungkin Tuhan menentukan undian itu akan menunjuk
pada apa / siapa, kalau Ia tidak lebih dulu menentukan orang yang melakukan
pengundian itu? Kalau Ia hanya menentukan undian itu menunjuk pada apa / siapa,
tetapi tidak menentukan orang yang melakukan pengundian, bagaimana kalau
tahu-tahu tak ada orang yang melakukan pengundian? Itu berarti ketentuan Allah
tentang pengundian itu tidak terjadi, dan ini jelas tidak mungkin, bukan?
b)
Dalam kitab Yunus, sedikitnya ada 3 x dikatakan ‘atas penentuan
Tuhan’ (Yunus 1:17 4:6,8), yang menunjukkan bahwa Allah menentukan ikan
menelan Yunus (Yun 1:17), tumbuhnya pohon jarak yang digunakan sebagai
perteduhan oleh Yunus (Yun 4:6), dan datangnya angin timur yang panas yang
mematikan pohon itu (Yun 4:8). Semua ini ditentukan Tuhan untuk apa? Untuk
menghajar Yunus, bukan? Tetapi Kalau Yunusnya tidak ditentukan untuk membandel,
lalu bagaimana seandainya dalam faktanya ia tidak membandel? Lalu apakah ikan,
pohon dan angin panas itu tetap Tuhan buat sesuai dengan kehendakNya?
c)
Paku yang menembus tangan dan kaki Yesus, dan cambuk yang menghancurkan
punggung Yesus, pasti juga sudah ditentukan bukan? Mungkinkah Allah tidak
menentukan orang yang memukulkan palu ke paku yang akan ditancapkan ke tangan
dan kaki Yesus itu? Kalau itu tidak ditentukan, bagaimana kalau ternyata tidak
ada orang yang mau memukulkan palu ke paku yang akan menembus kaki dan tangan
Yesus itu? Apakah paku-paku itu bisa meloncat sendiri, dan memakukan tangan dan
kaki Yesus ke salib?
d)
Buah pohon pengetahuan yang oleh Tuhan dilarang dimakan oleh Adam dan
Hawa, adalah benda mati, bukan? Tak punya kehendak bebas, bukan? Jadi Tuhan
menentukan apapun tentang buah itu, bukan? Dan apa yang Tuhan tentukan tentang
buah itu pasti terjadi, bukan? Dalam faktanya buah itu dimakan oleh Adam dan
Hawa, dan karena itu, pasti dalam kekekalan Allah menentukan kalau buah itu
dimakan. Kalau Adam dan Hawa tidak ditentukan untuk makan buah itu, bagaimana
seandainya mereka memutuskan, dengan free will mereka, untuk tidak memakannya?
Rencana Allah gagal? Ini bertentangan dengan Ayub 42:1-2!
Kira-kira saya tahu apa yang akan anda jawabkan terhadap
ketiga point ini. Anda pasti menggunakan pra-pengetahuan Allah. Jadi, Allah
sudah tahu akan ada orang yang melakukan pengundian itu, Allah juga sudah tahu
kalau Yunus akan membandel, dsb. Tetapi kalau Allah sudah tahu, maka hal-hal itu
sudah pasti terjadi, dan itu berarti hal-hal itu sudah tertentu. Dan kalau sudah
tertentu, pasti Allah yang menentukan!
Disamping, kalau Allah menentukan berdasarkan apa yang Dia
tahu akan dilakukan oleh manusia dengan kehendak bebasnya, maka:
1. Ini akan
menjadikan Allahnya tergantung pada manusia. Ini tetap anda sebut berdaulat?
Saya
ingin mengingatkan bahwa Kamus Webster memberikan definisi sebagai berikut
tentang kata ‘sovereign’ (=
berdaulat):
a) Above or
superior to all others; chief; greatest; supreme (= Di atas atau lebih tinggi dari semua yang lain; pemimpin /
kepala; terbesar; tertinggi).
b) supreme
in power, rank, or authority
(= tertinggi dalam kuasa, tingkat, atau otoritas).
c) of or
holding the position of a ruler; royal; reigning (= mempunyai atau memegang posisi sebagai pemerintah; raja;
bertahta).
d) independent
of all others
(= tidak tergantung pada semua yang lain).
Saya tekankan point d nya. Kalau Allah tergantung manusia,
itu jelas tidak berdaulat!
2.
Ini akan bertentangan dengan dengan Ro 9:10-13 - “(10) Tetapi bukan
hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang,
yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. (11) Sebab waktu anak-anak itu belum
dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, - supaya rencana Allah
tentang pemilihanNya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan
panggilanNya - (12) dikatakan kepada Ribka: ‘Anak yang tua akan menjadi hamba
anak yang muda,’ (13) seperti ada tertulis: ‘Aku mengasihi Yakub, tetapi
membenci Esau.’”.
Yakub sudah dipilih, Esau sudah ditolak, sebelum mereka
dilahirkan, supaya pemilihan Allah (yang jelas merupakan penentuan / rencana
Allah) TIDAK TERGANTUNG perbuatan manusia, tetapi tergantung panggilan Allah.
Jadi, bagaimana dengan adanya ayat seperti ini anda bisa
mengatakan bahwa rencana Allah tergantung kepada manusia?
3.
Ini juga akan bertentangan dengan Ef 1:4-5 - “(4) Sebab di dalam Dia
Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak
bercacat di hadapanNya. (5) Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula
oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya, sesuai dengan kerelaan
kehendakNya”.
Text ini jelas menunjukkan bahwa apa yang manusia akan
lakukan (percaya Yesus, hidup kudus, dsb) bisa terjadi karena penentuan Allah /
pemilihan Allah atas dirinya. Jadi, jangan dibalik! Kalau ajaran anda, Allah
tahu orang-orang itu akan percaya dan kudus, dan karena itu Allah memilih
mereka. Ini betul-betul terbalik dibandingkan dengan Ef 1:4-5 itu!
2)
Anda mengatakan: ‘Yang
tidak Allah tentukan adalah keputusan-keputusan makhluk-makhluk yang berkehendak
bebas’.
Sekarang coba bandingkan dengan ayat-ayat ini:
·
Daniel 11:36
- “Raja itu akan berbuat sekehendak hati; ia akan meninggikan dan
membesarkan dirinya terhadap setiap allah. Juga terhadap Allah yang mengatasi
segala allah ia akan mengucapkan kata-kata yang tak senonoh sama sekali, dan ia
akan beruntung sampai akhir murka itu; sebab apa yang telah ditetapkan akan
terjadi”.
Ini
menunjukkan bahwa dosa dari raja ini, dimana ia akan meninggikan dan membesarkan
dirinya terhadap setiap allah, dan akan mengucapkan kata-kata tak senonoh
terhadap Allah, yang sudah pasti berhubungan dengan kehendak bebasnya, sudah
ditetapkan, dan karena itu pasti akan terjadi.
·
Hab 1:12
- “Bukankah
Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya
TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah
Kautentukan dia untuk menyiksa”.
Biarpun
penindasan yang dilakukan oleh orang Kasdim terhadap orang Israel / Yehuda
merupakan hukuman Tuhan bagi mereka, tetapi itu tetap merupakan suatu dosa, dan
karena itu berhubungan dengan kehendak bebasnya. Tetapi ayat ini mengatakan
bahwa hal itu ditetapkan / ditentukan oleh Tuhan!
·
2Sam 17:14 - “Lalu berkatalah Absalom dan setiap
orang Israel: ‘Nasihat Husai, orang Arki itu, lebih baik dari pada nasihat
Ahitofel.’ Sebab TUHAN telah memutuskan, bahwa nasihat Ahitofel yang
baik itu digagalkan, dengan maksud supaya TUHAN mendatangkan celaka kepada
Absalom”.
Penolakan
oleh Absalom terhadap nasehat Ahitofel yang baik itu terjadi karena keputusan
Allah! Apakah ini tidak menunjukkan bahwa penolakan itu, yang jelas berhubungan
dengan manusia yang mempunyai kehendak bebas, juga ditentukan oleh Allah?
·
Luk 17:25
- “Tetapi Ia harus menanggung banyak penderitaan dahulu dan
ditolak oleh angkatan ini”.
Perhatikan
kata ‘harus’ di sini. Penolakan dan penyiksaan terhadap Yesus itu harus
terjadi, dan ini lagi-lagi merupakan dosa-dosa yang berhubungan dengan kehendak
bebas orang-orang itu.
·
Luk 22:22
- “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah
ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan”.
Ayat
ini menunjukkan bahwa pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas terhadap Yesus,
yang jelas adalah suatu dosa, dan berhubungan dengan kehendak bebas Yudas
Iskariot, telah ditetapkan oleh Allah.
·
Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut
maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan
bangsa-bangsa durhaka”.
Kis 3:18 - “Tetapi
dengan jalan demikian Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankanNya
dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya harus
menderita”.
Kis 4:27-28 - “(27)
Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus
beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang
kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah
Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
Ayat-ayat
di atas ini menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap Kristus (ini adalah dosa yang
paling terkutuk), yang lagi-lagi berhubungan dengan kehendak bebas orang-orang
itu, sudah ditentukan sejak semula. Perhatikan khususnya kata-kata ‘menurut
maksud dan rencanaNya’ dalam Kis 2:23, dan juga kata ‘tentukan’
dalam Kis 4:28. Jelas ini bukan sekedar menunjuk pada foreknowledge (= pengetahuan lebih dulu) dari Allah, tetapi menunjuk
pada foreordination (= penetapan lebih
dulu) dari Allah.
Semua ayat-ayat di atas ini membicarakan dosa yang pasti
terjadi, karena sudah ditetapkan oleh Allah. Dan karena ini bicara tentang dosa,
maka pasti berurusan dengan free will, bukan? Jadi, apa yang dilakukan manusia
dengan bebas, tetap ditentukan Allah, bukan? Kalau tidak, tolong tafsirkan
ayat-ayat di atas ini satu per satu!
Kedua, walaupun Allah tidak menentukan keputusan manusia, Allah menentukan apakah keputusan itu bisa sampai atau tidak. Alkitab selalu menyuruh manusia untuk memilih yang baik, menentukan yang benar, dan memutuskan secara bertanggung jawab. Ini adalah bukti implisit bahwa Allah tidak menentukan itu semua bagi manusia. Manusialah yang membuat berbagai keputusan bagi dirinya sendiri. Namun demikian, Allah dapat menentukan apakah keputusan manusia itu akan sampai atau tidak. Seseorang bisa saja memutuskan untuk membunuh temannya. Itu adalah keputusannya sendiri. Jika kita percaya bahwa Allah mahakudus, dan juga percaya bahwa manusia bertanggung jawab, kita tidak dapat mengatakan bahwa keputusan untuk membunuh telah ditentukan Tuhan. Namun demikian, Tuhan menentukan apakah keputusan orang tadi untuk membunuh akan terlaksana atau tidak. Tuhan bisa mengintervensi dengan berbagai cara. Orang itu bisa saja terkena serangan jantung atau tertimpa kecelakaan sebelum sempat melaksanakan niatnya. Intinya, Tuhan bisa memastikan bahwa niatnya tidak kecapaian. Oleh sebab itulah penulis Amsal berkata, “Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Ams. 19:21). Bukan berarti bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Justru ayat ini mengajarkan bahwa rancangan dalam hati tiap individu adalah rancangan dia sendiri. Itu keputusannya! Tetapi, Allah bisa mengintervensi sehingga niatnya tidak kesampaian, melainkan rencana Tuhan yang jadi!
Tanggapan
saya:
1)
Lagi-lagi Allah memutuskan berdasarkan keputusan manusia. Allah
tergantung kepada manusia! Dan itu anda sebut berdaulat? Juga, Allah menentukan
itu kapan? Pada minus tak terhingga bukan? Lalu manusia itu memutuskan kapan?
Dalam waktu, bukan? Bagaimana mungkin apa yang terjadi lebih dulu tergantung
pada apa yang terjadi belakangan? Lagi-lagi anda pasti menjawab dengan menunjuk
pada pengathuan lebih dulu dari Allah. Dalam hal ini saya menjawab seperti di
atas (tak perlu saya ulangi di sini).
2)
Anda mengatakan: ‘Alkitab
selalu menyuruh manusia untuk memilih yang baik, menentukan yang benar, dan
memutuskan secara bertanggung jawab. Ini adalah bukti implisit bahwa Allah tidak
menentukan itu semua bagi manusia. Manusialah yang membuat berbagai keputusan
bagi dirinya sendiri.’.
Ini cuma didasarkan pada logika anda, Liauw. Tak masalah
seandainya tak bertentangan dengan Alkitab. Tetapi ternyata ini bertentangan
dengan Alkitab. Saya akan tunjukkan. Dalam firmanNya Allah memerintahkan semua
orang percaya Yesus, bukan? Tetapi ternyata dalam hal ini, Allah memilih /
menentukan orang-orang yang akan percaya kepada Yesus dan masuk surga.
Ef 1:4-5 - “(4) Sebab di dalam Dia Allah telah
memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di
hadapanNya. (5) Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh
Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya, sesuai dengan kerelaan
kehendakNya”.
Kis 13:48 - “Mendengar itu bergembiralah semua orang
yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang
yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya”.
Ef 1:11
- “Aku katakan ‘di dalam Kristus’,
karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan - kami yang dari
semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di
dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya”.
1Tes
5:9 - “Karena Allah tidak menetapkan
kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus,
Tuhan kita”.
2Tes
2:12-13 - “(12) supaya dihukum semua
orang yang tidak percaya akan kebenaran dan yang suka kejahatan. (13) Akan
tetapi kami harus selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu,
saudara-saudara, yang dikasihi Tuhan, sebab Allah dari mulanya telah memilih
kamu untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang
kamu percayai”.
Jadi,
jelas bahwa adanya perintah Allah TIDAK MEMBUKTIKAN, bahwa Allah tidak
menentukan! Kalau anda tidak setuju, tolong jelaskan ayat-ayat di atas ini,
Liauw, sehingga menjadi sesuai dengan pandangan anda!
3)
Anda mengatakan ‘Namun
demikian, Allah dapat menentukan apakah keputusan manusia itu akan sampai atau
tidak. Seseorang bisa saja memutuskan untuk membunuh temannya. Itu adalah
keputusannya sendiri. Jika kita percaya bahwa Allah mahakudus, dan juga percaya
bahwa manusia bertanggung jawab, kita tidak dapat mengatakan bahwa keputusan
untuk membunuh telah ditentukan Tuhan. Namun demikian, Tuhan menentukan apakah
keputusan orang tadi untuk membunuh akan terlaksana atau tidak. Tuhan bisa
mengintervensi dengan berbagai cara. Orang itu bisa saja terkena serangan
jantung atau tertimpa kecelakaan sebelum sempat melaksanakan niatnya. Intinya,
Tuhan bisa memastikan bahwa niatnya tidak kecapaian’.
Aneh sekali! Jadi, hasil akhirnya ditentukan, tetapi
prosesnya tidak. Bagaimana kalau dalam perjalanan proses itu, tahu-tahu manusia
itu tidak melakukan pembunuhan itu? Sedangkan Tuhan sudah memutuskan pembunuhan
itu berhasil atau tidak? Lagi-lagi saya yakin anda akan menjawab menggunakan pra
pengetahuan Allah. Terhadap hal-hal ini lagi-lagi saya memberikan jawaban
seperti di atas.
4)
Anda mengatakan ‘Oleh
sebab itulah penulis Amsal berkata, “Banyaklah rancangan di hati manusia,
tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Ams. 19:21). Bukan berarti bahwa
Allah menentukan segala sesuatu. Justru ayat ini mengajarkan bahwa rancangan
dalam hati tiap individu adalah rancangan dia sendiri. Itu keputusannya! Tetapi,
Allah bisa mengintervensi sehingga niatnya tidak kesampaian, melainkan rencana
Tuhan yang jadi!’.
Ayat ini hanya menunjukkan dari sudut pandang manusia. Memang
kelihatannya manusia itu yang merancang, tetapi dari mana rancangan manusia itu?
Dari Tuhan, yang mengaturnya, atau secara aktif, atau secara pasif, sesuai
dengan rencanaNya. Ini sesuai dengan banyak ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan
yang bekerja sehingga seseorang melakukan sesuatu. Contoh:
a)
Amsal 21:1 - “Hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN,
dialirkanNya ke mana Ia ingini”.
Dalam
tafsirannya tentang ayat ini bahkan Adam Clarke, yang adalah orang Arminian yang
keras berkata sebagai berikut: “‘The
king’s heart is in the hand of the Lord.’ The Lord is the only ruler of
princes. He alone can govern and direct their counsels. But there is an allusion
here to the Eastern method of watering their lands. Several canals are dug from
one stream; and by opening a particular sluice, the husbandman can direct a
stream to whatever part he please: so the king’s heart, wherever it turns;
i.e., to whomsoever he is disposed to show favour. As the land is enriched with
the streams employed in irrigation; so is the favourite of the king, by the
royal bounty: and God can induce the king to give that bounty to whomsoever he
will”.
Bandingkan Amsal 21:1 ini dengan:
Ezra 1:1 - “Pada tahun pertama zaman Koresh, raja negeri
Persia, TUHAN menggerakkan hati Koresh, raja Persia itu untuk
menggenapkan firman yang diucapkan oleh Yeremia, sehingga disiarkan di seluruh
kerajaan Koresh secara lisan dan tulisan pengumuman ini”.
Luk 2:1-3 - “(1) Pada waktu itu Kaisar Agustus
mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh
dunia. (2) Inilah pendaftaran yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius
menjadi wali negeri di Siria. (3) Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri,
masing-masing di kotanya sendiri”.
Sekalipun tak dinyatakan secara explicit, tetapi jelas
perintah kaisar itu muncul karena Tuhan bekerja dalam hatinya. Nubuat dari nabi
Mikha mengatakan Yesus harus lahir di Betlehem, tetapi pada saat itu Maria masih
di Nazaret. Karena itu Tuhan bekerja dalam hati kaisar, supaya muncul perintah
itu, sehingga Yusuf dan Maria terpaksa pergi ke Betlehem, dan Yesus lahir di
sana sesuai nubuat Mikha.
Jelas bahwa kaisar itu punya rencana sendiri, tetapi semua
diatur / diarahkan oleh Tuhan.
b)
Waktu Musa diutus Tuhan kepada Firaun, Tuhan sudah berkata bahwa Ia akan
mengeraskan hati Firaun (Kel 4:21 7:3).
Itu yang menyebabkan Firaun tidak mau melepaskan Israel dan hatinya menjadi
keras (Kel 7:13,22 8:15,19,32
9:7,34,35). Alkitab menuliskan secara explicit bahwa Firaun tidak mau
membiarkan Israel pergi karena Tuhan mengeraskan hatinya!
Kel 9:12 - “Tetapi TUHAN mengeraskan hati Firaun,
sehingga ia tidak mendengarkan mereka--seperti yang telah difirmankan TUHAN
kepada Musa”.
Kel 10:20,27 - “(20) Tetapi TUHAN mengeraskan hati
Firaun, sehingga tidak mau membiarkan orang Israel pergi. ... (27) Tetapi TUHAN
mengeraskan hati Firaun, sehingga dia tidak mau membiarkan mereka pergi”.
Kel 11:10 - “Musa dan Harun telah melakukan segala
mujizat ini di depan Firaun. Tetapi TUHAN mengeraskan hati Firaun, sehingga
tidak membiarkan orang Israel pergi dari negerinya”.
c) Tuhan
yang membuat orang-orang Mesir bermurah hati kepada orang-orang Israel.
Kel 12:35-36 - “(35) Orang Israel melakukan juga seperti
kata Musa; mereka meminta dari orang Mesir barang-barang emas dan perak serta
kain-kain. (36) Dan TUHAN membuat orang Mesir bermurah hati terhadap bangsa
itu, sehingga memenuhi permintaan mereka. Demikianlah mereka merampasi orang
Mesir itu”.
d) Tuhan
juga yang membuat Firaun mengeraskan hati lagi sehingga mengejar Israel.
Kel 14:1-8 - “(1) Berfirmanlah TUHAN kepada Musa,
demikian: (2) ‘Katakanlah kepada orang Israel, supaya mereka balik kembali dan
berkemah di depan Pi-Hahirot, antara Migdol dan laut; tepat di depan Baal-Zefon
berkemahlah kamu, di tepi laut. (3) Maka Firaun akan berkata tentang orang
Israel: Mereka telah sesat di negeri ini, padang gurun telah mengurung
mereka. (4) Aku akan mengeraskan hati Firaun, sehingga ia mengejar mereka.
Dan terhadap Firaun dan seluruh pasukannya Aku akan menyatakan kemuliaanKu,
sehingga orang Mesir mengetahui, bahwa Akulah TUHAN.’ Lalu mereka berbuat
demikian. (4) Ketika diberitahukan kepada raja Mesir, bahwa bangsa itu telah
lari, maka berubahlah hati Firaun dan pegawai-pegawainya terhadap bangsa itu,
dan berkatalah mereka: ‘Apakah yang telah kita perbuat ini, bahwa kita
membiarkan orang Israel pergi dari perbudakan kita?’ (5) Kemudian ia memasang
keretanya dan membawa rakyatnya serta. (6) Ia membawa enam ratus kereta yang
terpilih, ya, segala kereta Mesir, masing-masing lengkap dengan perwiranya. (7) Demikianlah
TUHAN mengeraskan hati Firaun, raja Mesir itu, sehingga ia mengejar orang Israel.
Tetapi orang Israel berjalan terus dipimpin oleh tangan yang dinaikkan”.
e)
Hofni dan Pinehas tidak mempedulikan nasehat ayahnya. Mereka yang
memutuskan hal itu, tetapi karena apa? Ada pekerjaan Tuhan yang membuat hal itu
menjadi keputusan mereka.
1Sam 2:22-25 - “(22) Eli telah sangat tua. Apabila
didengarnya segala sesuatu yang dilakukan anak-anaknya terhadap semua orang
Israel dan bahwa mereka itu tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di
depan pintu Kemah Pertemuan, (23) berkatalah ia kepada mereka: ‘Mengapa kamu
melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang
perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? (24) Janganlah begitu, anak-anakku. Bukan
kabar baik yang kudengar itu bahwa kamu menyebabkan umat TUHAN melakukan
pelanggaran. (25) Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah
yang akan mengadili; tetapi jika seseorang berdosa terhadap TUHAN, siapakah yang
menjadi perantara baginya?’ Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan
ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka”.
f)
Ahab memutuskan untuk bertindak berdasarkan nasehat nabi-nabi palsunya.
Tetapi di belakang ini ada penentuan dan pekerjaan Tuhan untuk melaksanakan
penentuannya untuk menimpakan malapetaka terhadap Ahab.
1Raja 22:19-23 - “(19) Kata Mikha: ‘Sebab itu
dengarkanlah firman TUHAN. Aku telah melihat TUHAN sedang duduk di atas
takhtaNya dan segenap tentara sorga berdiri di dekatNya, di sebelah kananNya dan
di sebelah kiriNya. (20) Dan TUHAN berfirman: Siapakah yang akan membujuk Ahab
untuk maju berperang, supaya ia tewas di Ramot-Gilead? Maka yang seorang berkata
begini, yang lain berkata begitu. (21) Kemudian tampillah suatu roh, lalu
berdiri di hadapan TUHAN. Ia berkata: Aku ini akan membujuknya. TUHAN bertanya
kepadanya: Dengan apa? (22) Jawabnya: Aku akan keluar dan menjadi roh dusta
dalam mulut semua nabinya. Ia berfirman: Biarlah engkau membujuknya, dan engkau
akan berhasil pula. Keluarlah dan perbuatlah demikian! (23) Karena itu, sesungguhnya
TUHAN telah menaruh roh dusta ke dalam mulut semua nabimu ini, sebab TUHAN telah
menetapkan untuk menimpakan malapetaka kepadamu.’”.
Para nabi palsu itu punya rencana. 1Raja 22:13 - “Suruhan
yang pergi memanggil Mikha itu, berkata kepadanya: ‘Ketahuilah, nabi-nabi
itu sudah sepakat meramalkan yang baik bagi raja, hendaklah engkau juga
berbicara seperti salah seorang dari pada mereka dan meramalkan yang baik.’”.
Tetapi tanpa mereka sadari Allah menguasai semuanya dan
mengarahkannya sesuai dengan kehendak / rencana Allah!
g)
Yes 10:5-7,12 - “(5) Celakalah Asyur, yang menjadi cambuk murkaKu
dan yang menjadi tongkat amarahKu! (6) Aku akan menyuruhnya terhadap bangsa yang
murtad, dan Aku akan memerintahkannya melawan umat sasaran murkaKu, untuk
melakukan perampasan dan penjarahan, dan untuk menginjak-injak mereka seperti
lumpur di jalan. (7) Tetapi dia sendiri tidak demikian maksudnya dan tidak
demikian rancangan hatinya, melainkan niat hatinya ialah hendak memunahkan dan
hendak melenyapkan tidak sedikit bangsa-bangsa. ... (12) Tetapi apabila Tuhan
telah menyelesaikan segala pekerjaanNya di gunung Sion dan di Yerusalem, maka Ia
akan menghukum perbuatan ketinggian hati raja Asyur dan sikapnya yang angkuh
sombong”.
Text ini secara menyolok menunjukkan bahwa pada waktu Asyur
menyerang dan mengalahkan Israel, mereka mempunyai rencana, tetapi di belakang
rencana mereka ada rencana Allah. Ada persamaannya, yaitu Asyur akan menyerang
dan mengalahkan Israel. Tetapi kalau motivasi Allah adalah untuk menghajar
Israel karena kemurtadan mereka, maka motivasi Asyur adalah untuk memunahkan
Israel (ay 7). Karena itu, setelah mereka dipakai oleh Tuhan sebagai ‘cambuk
murka’ dan ‘tongkat amarah’, Tuhan lalu menghukum Asyur (ay 12)!
h)
Rancangan saudara-saudara Yusuf vs rancangan Allah.
Kej 50:20
- “Memang kamu telah mereka-rekakan
yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan,
dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara
hidup suatu bangsa yang besar”.
Ini
secara explicit menunjukkan bahwa sekalipun saudara-saudara Yusuf
mereka-rekakan / memaksudkan yang jahat terhadap Yusuf, tetapi Allah telah
mereka-rekakannya / memaksudkannya untuk kebaikan! Jadi, jelas bahwa Allah
bekerja menggunakan dosa dari saudara-saudara Yusuf demi kebaikan Yusuf /
Israel.
Dalam
tafsirannya tentang bagian ini, Calvin berkata:
“The
selling of Joseph was a crime detestable for its cruelty and perfidy; yet he was
not sold except by the decree of heaven. For neither did God merely remain at
rest, and by conniving for a time, let loose the reins of human malice, in order
that afterwards he might make use of this occasion; but, at his own will, he
appointed the order of acting which he intended to be fixed and certain. Thus we
may say with truth and propriety, that Joseph was sold by the wicked consent of
his brethren, and by the secret providence of God” (= Penjualan
terhadap Yusuf adalah suatu kejahatan yang menjijikkan karena kekejaman dan
pengkhianatannya; tetapi ia tidak dijual kecuali oleh ketetapan dari surga.
Karena Allah bukannya semata-mata berdiam diri, dan sambil menutup mata /
pura-pura tidak melihat untuk sementara waktu, melepaskan kendali terhadap
keinginan jahat manusia, supaya setelah itu ia bisa menggunakan kejadian ini;
tetapi, pada kehendakNya sendiri, Ia menetapkan urut-urutan tindakan yang Ia
maksudkan untuk menjadi tetap dan tertentu. Jadi kita bisa berkata dengan benar
dan tepat, bahwa Yusuf dijual oleh persetujuan jahat dari saudara-saudaranya,
dan oleh providensia rahasia dari Allah).
Jadi, jelaslah bahwa segala sesuatu adalah atas izin Tuhan, tetapi bukan segala sesuatu ditetapkan oleh Tuhan. Ada perbedaan antara mengizinkan sesuatu dengan menetapkan sesuatu. Mengizinkan sesuatu berarti kehendak untuk melakukan berasal dari pihak lain. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Allah mengizinkan dosa (untuk sementara waktu), dan Allah tidak bertanggung jawab atas dosa. Tetapi, jika Allah menentukan harus ada dosa, maka Allah bertanggung jawab akan dosa.
Tanggapan
saya:
1)
Kesia-siaan penggunaan istilah ‘ijin’ ini untuk ‘melindungi’
kesucian Allah.
Banyak
orang senang menggunakan istilah ‘ijin’ ini untuk melindungi kesucian Allah.
Mereka berpikir bahwa kalau Allah menentukan dosa maka Allah sendiri
berdosa / tidak suci. Tetapi kalau Allah hanya mengijinkan terjadinya
dosa, maka Allah tidak bersalah dan tetap suci. Tetapi ini salah, karena kalau
‘penentuan Allah tentang terjadinya dosa’ dianggap sebagai dosa, maka
‘pemberian ijin dari Allah sehingga dosa terjadi’ juga harus dianggap
sebagai dosa, yaitu dosa pasif. Sama halnya kalau saya membunuh orang, maka itu
adalah dosa (dosa aktif). Tetapi kalau saya membiarkan / mengijinkan seseorang
bunuh diri / membunuh orang lain, padahal saya bisa mencegahnya, maka saya juga
berdosa (dosa pasif).
Bdk.
Yak 4:17 - “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi
ia tidak melakukannya, ia berdosa”.
Herman
Hoeksema: “Nor must we,
in regard to the sinful deeds of men and devils, speak only of God’s
permission in distinction from His determination. Holy Scripture speaks a far
more positive language. We realize, of course, that the motive for speaking
God’s permission rather than of His predetermined will in regard to sin and
the evil deeds of men is that God may never be presented as the author of sin.
But this purpose is not reached by speaking of God’s permission or His
permissive will: for if the Almighty permits what He could just as well have
prevented, it is from an ethical viewpoint the same as if He had committed it
Himself. But in this way we lose God and His sovereignty: for permission
presupposes the idea that there is a power without God that can produce and do
something apart from Him, but which is simply permitted by God to act and
operate. This is dualism, and it annihilates the complete and absolute
sovereignty of God. And therefore we must maintain that also sin and all the
wicked deeds of men and angels have a place in the counsel of God, in the
counsel of His will. Thus it is taught by the Word of God”
(= Juga kita tidak boleh, berkenaan dengan tindakan-tindakan berdosa dari
manusia dan setan, berbicara hanya tentang ijin Allah dan membedakannya dengan
penentuan / penetapanNya. Kitab Suci berbicara dengan suatu bahasa yang jauh
lebih positif. Tentu saja kita menyadari bahwa motivasi untuk menggunakan
istilah ‘ijin Allah’ dari pada ‘kehendakNya yang sudah ditetapkan lebih
dulu’ berkenaan dengan dosa dan tindakan-tindakan jahat dari manusia adalah supaya
Allah tidak pernah dinyatakan sebagai pencipta dosa. Tetapi tujuan ini
tidak tercapai dengan menggunakan ‘ijin Allah’ atau ‘kehendak yang
mengijinkan dari Allah’: karena jika Yang Maha Kuasa mengijinkan apa yang bisa
Ia cegah, dari sudut pandang etika itu adalah sama seperti jika Ia melakukan hal
itu sendiri. Tetapi dengan cara ini kita kehilangan Allah dan kedaulatanNya:
karena ijin mensyaratkan suatu gagasan bahwa
ada suatu kekuatan di luar Allah yang bisa menghasilkan dan melakukan sesuatu
terpisah dari Dia, tetapi yang diijinkan oleh Allah untuk bertindak dan
beroperasi. Ini merupakan dualisme, dan ini menghapuskan kedaulatan Allah yang
lengkap dan mutlak. Dan karena itu kita harus mempertahankan bahwa juga dosa
dan semua tindakan-tindakan jahat dari manusia dan malaikat mempunyai tempat
dalam rencana Allah, dalam keputusan kehendakNya. Demikianlah diajarkan oleh
Firman Allah)
- ‘Reformed Dogmatics’, hal 158.
2)
Istilah ‘Allah mengijinkan’ boleh digunakan, tetapi artinya harus
benar. Ini tidak berarti bahwa sebetulnya Allah merencanakan seseorang
berbuat baik / tidak berbuat dosa, tetapi karena orangnya memaksa berbuat dosa,
maka Allah mengijinkan. Kalau diartikan seperti ini, maka itu berarti bahwa
Rencana Allah sudah gagal. ‘Allah mengijinkan’ berarti bahwa Allah bekerja
secara pasif dan Ia menggunakan second causes / penyebab-penyebab kedua, tetapi dosa yang diijinkan
itu pasti terjadi, persis sesuai dengan Rencana Allah! Jadi digunakannya
istilah ‘Allah mengijinkan’ hanyalah karena dalam pelaksanaannya Allah
bekerja secara pasif dan Allah menggunakan second
causes / penyebab-penyebab kedua.
Louis
Berkhof: “It is customary to speak of the
decree of God respecting moral evil as permissive. By His decree God rendered
the sinful actions of man infallibly certain without deciding to effectuate them
by acting immediately upon and in the finite will. This means that God does not
positively work in man ‘both to will and to do’, when man goes contrary to
His revealed will. It should be carefully noted, however, that this permissive
decree does not imply a passive permission of something which is not under the
control of the divine will. It is a decree which renders the future sinful acts
absolutely certain, but in which God determines (a)not to hinder the sinful
self-determination of the finite will; and (b)to regulate and control the result
of this sinful self-determination” [= Merupakan kebiasaan untuk berbicara
tentang ketetapan Allah berkenaan dengan kejahatan moral sebagai bersifat
mengijinkan. Oleh ketetapanNya Allah membuat tindakan-tindakan berdosa dari
manusia menjadi pasti tanpa menetapkan untuk menyebabkan mereka terjadi dengan
bertindak langsung dan bertindak dalam kehendak terbatas (kehendak manusia) itu.
Ini berarti bahwa Allah tidak secara positif bekerja dalam manusia ‘baik untuk
menghendaki dan untuk melakukan’, pada waktu manusia berjalan bertentangan
dengan kehendakNya yang dinyatakan. Tetapi harus diperhatikan baik-baik bahwa
ketetapan yang bersifat mengijinkan tidak berarti suatu ijin pasif dari sesuatu
yang tidak ada di bawah kontrol dari kehendak ilahi. Itu merupakan suatu
ketetapan yang membuat tindakan berdosa yang akan datang itu pasti secara
mutlak, tetapi dalam mana Allah menentukan (a) tidak menghalangi keputusan yang
berdosa yang dilakukan sendiri oleh kehendak terbatas / kehendak manusia; dan
(b) mengatur dan mengontrol akibat / hasil dari keputusan berdosa ini] - ‘Systematic
Theology’, hal 105.
William
G. T. Shedd: “When God executes his decree
that Saul of Tarsus shall be ‘a vessel of mercy’, he works efficiently
within him by his Holy Spirit ‘to will and to do’. When God executes his
decree that Judas Iscariot shall be ‘a vessel of wrath fitted for
destruction’, he does not work efficiently within him ‘to will and to do’,
but permissively in the way of allowing him to have his own wicked will. He
decides not to restrain him or to regenerate him, but to leave him to his own
obstinate and rebellious inclination and purpose; and accordingly ‘the Son of
man goeth, as it was determined, but woe unto that man by whom he is betrayed’
(Luke 22:22; Acts 2:23). The two Divine methods in the two cases are plainly
different, but the perdition of Judas was as much foreordained and free from
chance, as the conversion of Saul” [= Pada waktu Allah melaksanakan
ketetapanNya bahwa Saulus dari Tarsus akan menjadi ‘bejana / benda belas
kasihan’, Ia bekerja secara efisien di dalamnya dengan Roh KudusNya ‘untuk
mau / menghendaki dan untuk melakukan’. Pada waktu Allah melaksanakan
ketetapanNya bahwa Yudas Iskariot akan menjadi ‘bejana kemurkaan yang cocok
untuk kehancuran / benda kemurkaan yang telah dipersiapkan untuk kebinasaan’,
Ia tidak bekerja secara efisien dalam dirinya ‘untuk mau / menghendaki dan
untuk melakukan’, tetapi dengan cara mengijinkan dia mempunyai kehendak
jahatnya sendiri. Ia memutuskan untuk tidak mengekang dia atau melahirbarukan
dia, tetapi membiarkan dia pada kecondongan dan rencananya sendiri yang keras
kepala dan bersifat memberontak; dan karena itu ‘Anak Manusia memang akan
pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya
Ia diserahkan’ (Luk 22:22; Kis 2:23). Kedua metode ilahi dalam kedua
kasus ini jelas berbeda, tetapi kebinasaan Yudas ditentukan lebih dulu dan bebas
dari kebetulan, sama seperti pertobatan Saulus] - ‘Calvinism:
Pure & Mixed’, hal 31.
3)
Komentar-komentar Calvin yang menyerang istilah ‘Allah mengijinkan’.
Calvin:
“God wills that the false king
Ahab be deceived; the devil offers his services to this end; he is sent, with a
definite command, to be a lying spirit in the mouth of all the prophets (1Kings
22:20,22). If the blinding and insanity of Ahab be God’s judgment, the figment
of bare permission vanishes: because it would be ridiculous for the Judge only
to permit what he wills to be done, and not also to decree it and to command its
execution by his ministers” [= Allah menghendaki bahwa raja Ahab yang
tidak benar ditipu; setan menawarkan pelayanannya untuk tujuan ini; ia dikirim,
dengan perintah yang pasti, untuk menjadi roh dusta dalam mulut semua nabi
(1Raja 22:20,22). Jika pembutaan dan kegilaan Ahab adalah penghakiman
Allah, isapan jempol tentang ‘sekedar ijin’ hilang: karena adalah
menggelikan bagi sang Hakim untuk hanya mengijinkan apa yang Ia kehendaki untuk
dilakukan, dan tidak juga menetapkannya dan memerintahkan pelaksanaannya oleh
pelayan-pelayanNya] - ‘Institutes of
the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.
Calvin:
“Those who are moderately versed
in the Scriptures see that for the sake of brevity I have put forward only a few
of many testimonies. Yet from these it is more than evident that they babble and
talk absurdly who, in place of God’s providence, substitute bare permission -
as if God sat in a watchtower awaiting chance events, and his judgments thus
depended upon human will”(= Mereka yang betul-betul mengetahui Kitab Suci
melihat bahwa untuk singkatnya saya hanya memberikan sedikit dari banyak
kesaksian. Tetapi dari kesaksian-kesaksian ini adalah lebih dari jelas bahwa
mereka mengoceh dan berbicara secara menggelikan yang, menggantikan providensia
Allah dengan ‘sekedar ijin’ - seakan-akan Allah duduk di menara pengawal
menunggu kejadian-kejadian yang terjadi secara kebetulan, dan dengan demikian
penghakimanNya ter-gantung pada kehendak manusia) - ‘Institutes
of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.
4)
Banyaknya ayat yang menunjukkan Allah menentukan / menetapkan dosa, dan /
atau bekerja (secara aktif) sehingga dosa terjadi, tidak memungkinkan untuk
diartikan hanya sebagai semata-mata pemberian suatu ijin.
a)
Kej 45:5-8 - “(5) Tetapi
sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu
menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku
mendahului kamu. (6) Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini
dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai. (7) Maka Allah
telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan keturunanmu di
bumi ini dan untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagian besar dari padamu
tertolong. (8) Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah;
Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh
istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir”.
Khususnya
perhatikan kata-kata ‘Allah menyuruh
aku mendahului kamu’ (ay 5,7) dan ‘bukanlah
kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah’ (ay 8). Bdk. Maz 105:17
- ‘diutusNyalah seorang mendahului
mereka: Yusuf, yang dijual sebagai budak’.
Semua
ini menunjukkan bahwa penjualan Yusuf ke Mesir, yang jelas adalah suatu dosa,
merupakan pekerjaan Allah, yang melakukan semua itu untuk melaksanakan rencana
tertentu.
Dalam
tafsirannya tentang bagian ini, Calvin berkata:
“Good
men are ashamed to confess, that what men undertake cannot be accomplished
except by the will of God; fearing lest unbridled tongues should cry out
immediately, either that God is the author of sin, or that wicked men are not to
be accused of crime, seeing they fulfil the counsel of God. But although this
sacrilegious fury cannot be effectually rebutted, it may suffice that we hold it
in detestation. Meanwhile, it is right to maintain, what is declared by the
clear testimonies of Scripture, that whatever men may contrive, yet, amidst all
their tumult, God from heaven overrules their counsels and attempts; and, in
short, does, by their hands, what he himself decreed” (= Orang-orang
saleh malu mengakui, bahwa apa yang manusia lakukan tidak bisa tercapai kecuali
oleh kehendak Allah; karena mereka takut bahwa lidah-lidah yang tidak dikekang
akan segera berteriak, bahwa Allah adalah pencipta dosa, atau bahwa orang jahat
tak boleh dituduh karena kejahatannya, mengingat mereka menggenapi rencana
Allah. Tetapi sekalipun kemarahan yang tidak senonoh ini tidak bisa dibantah
secara efektif, cukuplah kalau kita menganggapnya sebagai sesuatu yang
menjijikkan. Sementara itu, adalah benar untuk mempertahankan, apa yang
dinyatakan oleh kesaksian yang jelas dari Kitab Suci, bahwa apapun yang manusia
usahakan / rencanakan, di tengah-tengah segala keributan mereka, Allah dari
surga menguasai rencana dan usaha mereka, dan, singkatnya, melakukan dengan
tangan mereka apa yang Ia sendiri tetapkan).
Calvin
melanjutkan dengan berkata: “Good men, who fear to expose the justice of God to the calumnies of
the impious, resort to this distinction, that God wills some things, but permits
others to be done. As if, truly, any degree of liberty of action, were he to
cease from governing, would be left to men. If he had only permitted
Joseph to be carried into Egypt, he had not ordained him to be the
minister of deliverance to his father Jacob and his sons; which he is now
expressly declared to have done. Away, then, with that vain figment, that, by
the permission of God only, and not by his counsel or will,
those evils are committed which he afterwards turns to a good account” (=
Orang-orang saleh, yang takut membuka keadilan Allah terhadap fitnahan dari
orang-orang jahat, memutuskan untuk mengadakan pembedaan ini, yaitu bahwa Allah menghendaki
beberapa hal, tetapi mengijinkan hal-hal yang lain untuk dilakukan.
Seakan-akan Ia berhenti dari tindakan memerintah, dan memberikan kebebasan
bertindak tertentu kepada manusia. Jika Ia hanya mengijinkan Yusuf untuk
dibawa ke Mesir, Ia tidak menetapkannya untuk menjadi pembebas bagi
ayahnya Yakub dan anak-anaknya; yang dinyatakan secara jelas telah dilakukanNya.
Maka singkirkanlah isapan jempol yang sia-sia yang mengatakan bahwa hanya karena
ijin Allah, dan bukan karena rencana atau kehendakNya,
hal-hal yang jahat itu dilakukan, yang setelah itu Ia balikkan menjadi sesuatu
yang baik).
b)
Kel 1:8-10 - “(8) Kemudian bangkitlah seorang raja baru memerintah tanah Mesir,
yang tidak mengenal Yusuf. (9) Berkatalah raja itu kepada rakyatnya: ‘Bangsa
Israel itu sangat banyak dan lebih besar jumlahnya dari pada kita. (10) Marilah
kita bertindak dengan bijaksana terhadap mereka, supaya mereka jangan bertambah
banyak lagi dan - jika terjadi peperangan - jangan bersekutu nanti dengan musuh
kita dan memerangi kita, lalu pergi dari negeri ini.’”.
Bdk.
Maz 105:25 - “diubahNya hati
mereka (orang Mesir) untuk membenci
umatNya, untuk memperdayakan hamba-hambaNya”. Jelas dikatakan bahwa
Tuhanlah yang mengubah hati orang Mesir untuk membenci Israel, supaya dengan
demikian rencanaNya bisa terlaksana.
c)
Ul 2:30 - “Tetapi Sihon, raja Hesybon, tidak mau memberi kita berjalan melalui
daerahnya, sebab TUHAN, Allahmu, membuat dia keras kepala dan tegar hati,
dengan maksud menyerahkan dia ke dalam tanganmu, seperti yang terjadi sekarang
ini”.
Ayat
ini mengatakan bahwa Allahlah yang mengeraskan hati Sihon supaya bisa
menyerahkannya ke tangan Israel.
d)
Yos 11:20 - “Karena TUHAN
yang menyebabkan hati orang-orang itu menjadi keras, sehingga mereka
berperang melawan orang Israel, supaya mereka ditumpas, dan jangan dikasihani,
tetapi dipunahkan, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa”.
Ayat
ini mengatakan bahwa Allah mengeraskan hati orang Kanaan supaya mereka tidak
dikasihani tetapi ditumpas.
e) Hak 9:22-24 - “(22)
Setelah tiga tahun lamanya Abimelekh memerintah atas orang Israel, (23) maka Allah
membangkitkan semangat jahat di antara Abimelekh dan warga kota Sikhem, sehingga
warga kota Sikhem itu menjadi tidak setia kepada Abimelekh, (24) supaya
kekerasan terhadap ketujuh puluh anak Yerubaal dibalaskan dan darah mereka
ditimpakan kepada Abimelekh, saudara mereka yang telah membunuh mereka dan
kepada warga kota Sikhem yang membantu dia membunuh saudara-saudaranya itu”.
Ayat
ini mengatakan bahwa Allah membangkitkan semangat jahat dalam diri orang-orang
tertentu, supaya memberontak terhadap Abimelekh (anak Yerubaal / Gideon), supaya
Ia bisa menghukum baik Abimelekh maupun orang-orang Sikhem karena pembunuhan
yang mereka lakukan terhadap anak-anak Yerubaal / Gideon yang lain dalam Hak
9:1-5.
f)
Hak 14:4 - “Tetapi ayahnya
dan ibunya tidak tahu bahwa hal itu dari pada TUHAN asalnya: sebab memang
Simson harus mencari gara-gara terhadap orang Filistin. Karena pada masa itu
orang Filistin menguasai orang Israel”.
Simson
mau kawin dengan orang Filistin / kafir (Hak 14:1-2), dan ayahnya
menasehatinya untuk tidak melakukan hal itu, karena itu jelas adalah dosa (Hak 14:3).
Dan dalam ay 4 dikatakan bahwa hal itu datang dari Tuhan, karena Tuhan
menghendaki Simson mencari gara-gara terhadap orang Filistin!
g)
2Sam 12:11 - “Beginilah
firman TUHAN: Bahwasanya malapetaka akan Kutimpakan ke atasmu yang datang
dari kaum keluargamu sendiri. Aku akan mengambil isteri-isterimu di depan
matamu dan memberikannya kepada orang lain; orang itu akan tidur dengan
isteri-isterimu di siang hari. Sebab engkau telah melakukannya secara
tersembunyi, tetapi Aku akan melakukan hal itu di depan seluruh Israel
secara terang-terangan” (bdk. 2Sam 16:20-23).
Ayat
ini menunjukkan bahwa peristiwa hubungan sex antara Absalom dan gundik-gundik
Daud, yang bisa dikatakan merupakan perkosaan dan incest
(perzinahan dalam keluarga) merupakan pekerjaan Tuhan!
h)
2Sam 16:10-11 - “(10)
Tetapi kata raja: ‘Apakah urusanku dengan kamu, hai anak-anak Zeruya? Biarlah
ia mengutuk! Sebab apabila TUHAN berfirman kepadanya: Kutukilah Daud,
siapakah yang akan bertanya: mengapa engkau berbuat demikian?’ (11) Pula kata
Daud kepada Abisai dan kepada semua pegawainya: ‘Sedangkan anak kandungku
ingin mencabut nyawaku, terlebih lagi sekarang orang Benyamin ini! Biarkanlah
dia dan biarlah ia mengutuk, sebab TUHAN yang telah berfirman kepadanya
demikian”.
Daud
/ ayat ini mengatakan bahwa Tuhan ‘menyuruh’ Simei mengutuki Daud. Tetapi
kata ‘menyuruh’ di sini tentu tidak bisa diartikan seakan-akan Tuhan
betul-betul berfirman kepada Simei supaya mengutuki Daud. Kata ‘menyuruh’ di
sini harus diartikan ‘bekerja sehingga’ atau ‘mengatur sehingga’.
Penafsiran ini bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, karena penafsiran ini sejalan
dengan beberapa ayat yang lain seperti:
1.
Kej 45:7-8 yang mengatakan bahwa Allah ‘menyuruh’ Yusuf ke Mesir
untuk memelihara Israel. Bandingkan juga dengan Maz 105:17 yang menggunakan
istilah ‘diutusNya’. Padahal Allah sama sekali tidak pernah berfirman untuk
menyuruh / mengutus Yusuf pergi ke Mesir. Yusuf pergi ke Mesir karena dipaksa
oleh sikon, yaitu pada waktu ia dijual sebagai budak. Tetapi karena ini semua
merupakan pengaturan Allah, maka digunakan istilah Allah ‘menyuruh’ /
‘mengutus’.
2.
1Raja 17:4,9 dimana Allah berfirman kepada Elia bahwa Ia telah
‘memerintahkan’ burung gagak dan seorang janda di Sarfat untuk memberi makan
Elia. Tetapi Allah tidak betul-betul berbicara kepada burung gagaknya, melainkan
Allah hanya ‘mengatur’ sehingga burung gagak itu memberi makan Elia.
Demikian juga dengan janda di Sarfat itu. Pada waktu Elia sampai di Sarfat,
janda itu tidak tahu apa-apa tentang persoalan memberi makan Elia. Jadi jelas
bahwa Tuhan tidak betul-betul berfirman kepadanya supaya ia memberi makan Elia.
Tuhan hanya ‘mengatur’ supaya janda itu memberi makan Elia.
i)
1Raja 11:14,23 - “(14)
Kemudian TUHAN membangkitkan seorang lawan Salomo, yakni Hadad, orang Edom; ia
dari keturunan raja Edom. ... (23) Allah membangkitkan pula seorang lawan
Salomo, yakni Rezon bin Elyada, yang telah melarikan diri dari tuannya, yakni
Hadadezer, raja Zoba”.
Ayat
ini mengatakan bahwa Tuhanlah membangkitkan lawan-lawan untuk memberontak
terhadap Salomo, padahal pemberontakan adalah suatu dosa (bdk. Ro 13:1-7).
j)
1Raja 12:15,24 - “(15) Jadi
raja tidak mendengarkan permintaan rakyat, sebab hal itu merupakan perubahan
yang disebabkan TUHAN, supaya TUHAN menepati firman yang diucapkanNya dengan
perantaraan Ahia, orang Silo, kepada Yerobeam bin Nebat. ... (24) Beginilah
firman TUHAN: Janganlah kamu maju dan janganlah kamu berperang melawan
saudara-saudaramu, orang Israel. Pulanglah masing-masing ke rumahnya, sebab
Akulah yang menyebabkan hal ini terjadi.’ Maka mereka mendengarkan firman
TUHAN dan pergilah mereka pulang sesuai dengan firman TUHAN itu” (bdk.
2Taw 10:15 11:4).
Bagian
ini menunjukkan bahwa Tuhan bekerja sehingga Rehabeam menolak nasehat yang baik
dari tua-tua, karena Tuhan mau memecah Israel.
k)
Yes 63:17a - “Ya TUHAN,
mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalanMu, dan mengapa Engkau
tegarkan hati kami, sehingga tidak takut kepadaMu?”.
Ayat
ini mengatakan bahwa kesesatan dan ketegaran hati merupakan pekerjaan Tuhan!
l)
Yer 19:9 - “Aku akan membuat mereka memakan daging anak-anaknya laki-laki
dan daging anak-anaknya perempuan, dan setiap orang memakan daging temannya,
dalam keadaan susah dan sulit yang ditimbulkan musuhnya kepada mereka dan oleh
orang-orang yang ingin mencabut nyawa mereka”.
Tuhan
membuat orang Yehuda mati oleh pedang lawan (Yer 19:7), dan membiarkan
mayat mereka dimakan burung dan binatang (Yer 17:8), dan lalu dalam Yer 19:9
ini dikatakan sesuatu yang mengerikan dimana Tuhan membuat mereka memakan
daging anaknya dan daging temannya sendiri! Perbuatan kanibal ini merupakan
pekerjaan Tuhan! Bdk. juga dengan Yeh 5:8-10
Yes 49:26.
m) Rat 2:6b - “Di
Sion TUHAN menjadikan orang lupa akan perayaan dan sabat”.
Merayakan
hari raya dan hari Sabat adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Tuhan, sehingga
melupakan / melalaikan hal itu jelas merupakan suatu dosa. Tetapi ayat ini
mengatakan bahwa Tuhanlah yang membuat hal itu!
n)
Yeh 14:9 - “Jikalau nabi
itu membiarkan dirinya tergoda dengan mengatakan suatu ucapan - Aku, TUHAN
yang menggoda nabi itu - maka Aku akan mengacungkan tanganKu melawan dia dan
memunahkannya dari tengah-tengah umatKu Israel”.
Ayat
ini terletak dalam suatu kontex dimana Allah mengancam Israel. Ia berkata bahwa
kalau ada orang yang pergi kepada seorang nabi palsu dan menanyakan petunjuk
kepada nabi itu, maka Allah sendiri akan menjawab orang itu (Yeh 14:7).
Lalu dalam Yeh 14:9 dikatakan bahwa pada waktu nabi palsu itu memberi
petunjuk, yang tentunya merupakan petunjuk yang sesat, maka Tuhan yang menggoda
nabi palsu itu.
o)
Zakh 14:2 - “Aku akan
mengumpulkan segala bangsa untuk memerangi Yerusalem; kota itu akan direbut,
rumah-rumah akan dirampoki dan perempuan-perempuan akan ditiduri. Setengah dari
penduduk kota itu harus pergi ke dalam pembuangan, tetapi selebihnya dari bangsa
itu tidak akan dilenyapkan dari kota itu”.
Ayat
ini mengatakan bahwa Tuhan bekerja mengumpulkan segala bangsa untuk memerangi
Yehuda / Yerusalem dan mengalahkannya, lalu merampok dan bahkan melakukan
pemerkosaan di sana.
p)
Amos 3:6 - “Adakah
sangkakala ditiup di suatu kota, dan orang-orang tidak gemetar? Adakah terjadi
malapetaka di suatu kota, dan TUHAN tidak melakukannya?”.
Jelas
bahwa jawaban atas pertanyaan ini adalah ‘tidak!’.
q)
2Tes 2:11-12 - “Dan itulah
sebabnya Allah mendatangkan kesesatan atas mereka, yang menyebabkan
mereka percaya akan dusta, supaya dihukum semua orang yang tidak percaya akan
kebenaran dan yang suka kejahatan”.
Ayat
ini mengatakan bahwa Allah mendatangkan kesesatan atas mereka, yang menyebabkan
mereka percaya akan dusta!
r)
Daniel 11:36 - “Raja itu
akan berbuat sekehendak hati; ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya
terhadap setiap allah. Juga terhadap Allah yang mengatasi segala allah ia akan
mengucapkan kata-kata yang tak senonoh sama sekali, dan ia akan beruntung sampai
akhir murka itu; sebab apa yang telah ditetapkan akan terjadi”.
Ini
menunjukkan bahwa dosa dari raja ini, dimana ia akan meninggikan dan membesarkan
dirinya terhadap setiap allah, dan akan mengucapkan kata-kata tak senonoh
terhadap Allah, sudah ditetapkan, dan karena itu pasti akan terjadi.
s)
Hab 1:12 - “Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku,
Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk
menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa”.
Biarpun
penindasan yang dilakukan oleh orang Kasdim terhadap orang Israel / Yehuda
merupakan hukuman Tuhan bagi mereka, tetapi itu tetap merupakan suatu dosa.
Tetapi ayat ini mengatakan bahwa hal itu ditetapkan / ditentukan oleh Tuhan!
t)
Luk 22:22 - “Sebab Anak
Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi,
celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan”.
Ayat
ini menunjukkan bahwa pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas terhadap Yesus,
yang jelas adalah suatu dosa, telah ditetapkan oleh Allah.
u) Kis 2:23 - “Dia
yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan
kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kis 3:18
- “Tetapi dengan jalan demikian Allah
telah menggenapi apa yang telah difirmankanNya dahulu dengan perantaraan
nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya harus menderita”.
Kis 4:27-28
- “(27) Sebab sesungguhnya telah
berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa
dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau
urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari
semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
Ayat-ayat
di atas ini menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap Kristus (ini adalah dosa yang
paling terkutuk) sudah ditentukan sejak semula. Perhatikan khususnya
kata-kata ‘menurut maksud dan
rencanaNya’ dalam Kis 2:23, dan juga kata ‘tentukan’
dalam Kis 4:28. Jelas ini bukan sekedar menunjuk pada foreknowledge (= pengetahuan lebih dulu) dari Allah, tetapi menunjuk
pada foreordination (= penetapan lebih
dulu) dari Allah.
Liauw,
cobalah menafsirkan ayat-ayat ini sehingga menjadi cocok dengan ajaran anda
tentang ijin Allah itu!
Berdasarkan pemahaman ini, kita juga mengerti mengapa Tuhan selalu melihat hati, lebih daripada hal-hal eksternal. Tuhan Yesus berkata bahwa: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:27-28). Niat dan pikiran berzinah adalah keputusan orang itu, Tuhan tidak menentukannya. Tetapi belum tentu ada kesempatan dan peluang bagi dia untuk melakukan zinah itu. Walau dia tidak pernah berzinah secara fisik, di hadapan Tuhan dia sudah berzinah, karena Tuhan tahu pikiran dan niatnya. Dalam kondisi dan dengan peluang yang tepat, dia tentunya sudah berzinah.
Tanggapan
saya:
Ini
ajaran konyol dari mana, Liauw? Tak ada urusannya dengan persoalan yang sedang
anda bahas. Mengapa memikirkan zinah sudah dosa? Karena dosa bukan hanya bisa
dilakukan dengan tindakan atau kata-kata, tetapi juga dengan pikiran! Dan kalau
anda mengatakan pikiran zinah itu ada karena keputusan orang itu, lagi-lagi saya
minta anda baca ayat-ayat yang sangat banyak di atas, untuk melihat apakah
memang suatu pikiran jahat semata-mata merupakan keputusan orang itu, atau
dibelakang keputusan orang itu ada rencana dan pekerjaan Allah?
Walaupun Allah tidak menentukan tindakan dan keputusan manusia, Allah senantiasa melakukan berbagai intervensi, agar rencanaNya jadi. Allah tidak pernah menentukan agar orang-orang Sodom menjadi sangat jahat. Itu adalah keputusan mereka. Tetapi, Allah mengintervensi agar kejahatan mereka tidak merusak rencanaNya. Tuhan menghancurkan Sodom dengan hujan belerang. Kita perlu mengucap syukur karena Allah kita mengendalikan sejarah dan senantiasa turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28).
Ketiga, rencana Allah dan intervensi yang Allah lakukan bekerja sama dengan kemahatahuan Allah. Kalvinis sering memakai kasus penyaliban Yesus Kristus untuk membuktikan bahwa Allah menentukan segala sesuatu, dan bahkan dosa. Hodge mengajarkan bahwa “Penyaliban Kristus tidak diragukan lagi ditentukan lebih dulu oleh Allah. Tetapi itu adalah tindakan kriminal terbesar yang pernah dilakukan. Karena itu tidak perlu diragukan, Alkitab mengajarkan dosa ditentukan lebih dulu merupakan pengajaran Alkitab.”
Tentu
tidak ada orang Kristen yang menyangkal bahwa Allah sudah merencanakan
penyelamatan melalui kematian AnakNya, sejak kekekalan bahkan.
Ada banyak ayat yang mengajarkan tentang rencana Tuhan ini. Petrus pernah
berkhotbah tentang Yesus: “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan
pra-pengetahuanNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa
durhaka” (Kis. 2:23). Apakah ini berarti Allah menentukan tindakan orang-orang
Israel yang menyalibkan Yesus? Sama sekali tidak ! Ini adalah asumsi Kalvinis.
Kalau anda tidak memiliki bias Kalvinis, anda tidak akan mendapatkan dari
ayat-ayat ini bahwa Allahlah yang membuat mereka menyalibkan Yesus! Justru ayat
ini mengajarkan bahwa rencana Allah bekerja sama dengan kemahatahuanNya.
Orang Israel menyalibkan Yesus atas dasar keinginan mereka sendiri. Semuanya
berjalan sesuai dengan rencana Allah, karena Allah mahatahu. Tuhan memutuskan
untuk datang ke dalam dunia dalam waktu yang tepat dan dalam kondisi yang tepat.
Dan Allah tahu apa tindakan manusia dalam tiap kondisi. Oleh karena itu, Allah
dapat merencanakan penyaliban Kristus, tanpa memaksa manusia atau menentukan
pilihan manusia. Dengan kata lain, Allah tahu bahwa jika Kristus lahir di zaman
tertentu, lalu mengajarkan pengajaran-pengajaran yang benar, lalu melakukan
segala yang Kristus lakukan, maka para tua-tua dan imam-imam akan berniat untuk
membunuh Yesus. Niat itu sama sekali tidak ditentukan Allah, melainkan adalah
keputusan dan tanggung jawab manusia. Yang Allah tentukan adalah bahwa niat
mereka bisa tercapai dalam kondisi dan waktu yang tepat, dan mereka berhasil
menyalibkan Yesus. Jadi, Allah tidak menentukan dosa terbesar dalam sejarah,
Allah mengizinkannya. Dengan kata lain, niat dosa manusia, yang datang dari
manusia itu sendiri, Tuhan pergunakan untuk maksud dan tujuan Tuhan!
Hal ini bisa menjawab pertanyaan, mengapa Allah mengizinkan dosa? Tuhan memiliki
maksud dan tujuanNya sendiri. Walaupun dosa tidak disebabkan oleh Tuhan, dan
tidak ditentukan oleh Tuhan, tetapi untuk sementara waktu Tuhan membiarkan dosa.
Selalu ada tujuan dibaliknya. Dalam kasus penyaliban Yesus, kita melihat
bagaimana Allah menggunakan dosa manusia untuk justru mendatangkan keselamatan.
Sama sekali bukan Tuhan yang menentukan dosa itu, melainkan Tuhan “memelintir
dosa itu” untuk tujuanNya. Dalam kasus Yusuf dan saudara-saudaranya, Yusuf
bisa mengambil kesimpulan: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat
terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud
melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa
yang besar” (Kej. 50:20). Dari ayat ini, sama sekali tidak ada indikasi bahwa
kejahatan kakak-kakak Yusuf adalah atas penentuan Tuhan. Justru ayat ini
mengajarkan konsep yang kita bahas di bagian ini, bahwa dengan kemahatahuanNya
dan kemahakuasaanNya, Tuhan memperhitungkan dosa sedemikian rupa dalam
rencanaNya, agar dosa itu memainkan peran dalam rencana Tuhan.
Untuk mengulangi sekali lagi, kejahatan manusia dan Iblis tidak Tuhan tentukan.
Namun, kejahatan mereka Tuhan izinkan, dan Tuhan pakai untuk maksudNya yang
baik. Oleh karena itulah dalam Wahyu dikatakan: “Sebab Allah telah menerangi
hati mereka untuk melakukan kehendak-Nya dengan seia sekata dan untuk memberikan
pemerintahan mereka kepada binatang itu, sampai segala firman Allah telah
digenapi” (Wah. 17:17).
Tanggapan
saya:
1)
Dari kata-kata anda yang saya beri garis bawah tunggal, terlihat bahwa
anda mengakui bahwa rencana penyelamatan melalui penebusan Yesus Kristus sudah
ada sejak semula (minus tak terhingga). Kalau penebusan dosa oleh Kristus,
melalui kematian dan pembunuhan terhadap Kristus, sudah ditentukan /
direncanakan sejak semula, bagaimana mungkin dosa yang ditebus tidak
direncanakan? Bagaimana kalau dosa itu lalu tidak terjadi? Lagi-lagi anda pasti
bersembunyi dibalik pra pengetahuan Allah. Tetapi untuk ini saya sudah
memberikan tanggapan di atas, yang tak perlu saya ulangi di sini.
2)
Anda mengatakan ‘Apakah
ini berarti Allah menentukan tindakan orang-orang Israel yang menyalibkan Yesus?
Sama sekali tidak ! Ini adalah asumsi Kalvinis. Kalau anda tidak memiliki
bias Kalvinis, anda tidak akan mendapatkan dari ayat-ayat ini bahwa Allahlah
yang membuat mereka menyalibkan Yesus! Justru ayat ini mengajarkan bahwa
rencana Allah bekerja sama dengan kemahatahuanNya’.
Omong kosong, Liauw! Dulu saya juga Arminian, karena belum
pernah mendengar ajaran Calvinisme. Dan pada waktu saya membaca Alkitab, saya
selalu bingung tentang arti dari banyak ayat-ayat Calvinist, seperti yang
mengandung kata-kata ‘orang-orang pilihan’, ‘Allah menentukan’, ‘Allah
memilih’, ‘Allah mengeraskan hati Firaun’, dan sebagainya. Pada saat itu,
saya sama sekali tidak memiliki bias Calvinist! Jadi, kebingungan saya sama
sekali bukan disebabkan saya memiliki bias Calvinist! Sekarang setelah saya
mengerti ajaran Calvinisme, baru saya bisa mengerti ayat-ayat itu.
Saya ingin memberikan satu contoh lain tentang kebingungan
saya pada saat itu.
2Sam 24:1 - “Bangkitlah pula murka TUHAN terhadap orang
Israel; Ia menghasut Daud melawan mereka, firmanNya: ‘Pergilah, hitunglah
orang Israel dan orang Yehuda.’”.
1Taw 21:1 - “Iblis bangkit melawan orang Israel dan ia
membujuk Daud untuk menghitung orang Israel”.
Cobalah mengharmoniskan kedua ayat ini dengan theologia
Arminian anda, Liauw! Dulu waktu saya masih Arminian, saya tidak mengerti
bagaimana kedua ayat itu bisa diharmoniskan. Yang satu mengatakan Tuhan yang
menghasut, dan yang lain mengatakan Iblis yang membujuk!
Dalam theologia Reformed / Calvinisme, kami mempercayai bahwa
segala sesuatu ditetapkan dan diatur oleh Tuhan. Jadi, pada waktu setan / iblis
membujuk Daud, setan adalah second cause / penyebab kedua dari dosa Daud itu,
sedangkan causa prima / penyebab pertama tetap adalah Tuhan, karena Ialah yang
menetapkannya dan mengaturnya (sekalipun dalam pengaturan yang bertindak pasif).
Karena Ia adalah causa prima, maka bisa dikatakan ‘Tuhan menghasut Daud’.
Jadi, dengan theologia Reformed / Calvinisme, kedua ayat ini bisa diharmoniskan.
Tetapi bagaimana theologia Arminianisme bisa mengharmoniskannya? Tolong jawab
saya, Liauw!
Karena pengalaman saya itu, saya berpendapat bahwa
orang-orang yang sudah mendengar dan mengerti ajaran Calvinisme, tetapi tetap
menolaknya, adalah orang-orang yang tegar tengkuk! Andalah yang membaca dan
menafsirkan ayat-ayat itu dengan bias Arminianisme!
Sebagai kesimpulan, saya dapat mengatakan bahwa Allah yang berdaulat tidaklah perlu menentukan segala sesuatu. Lebih lanjut lagi, karena Allah mahatahu, karena Ia adalah Pencipta, karena Ia mahakuasa, Ia tidak perlu menentukan pilihan-pilihan manusia agar dapat mengendalikan alam semesta ini.
Kalvinis
banyak menggunakan konsep “kedaulatan Allah” untuk menakut-nakuti
non-Kalvinis. Seolah-olah hanya Kalvinis-lah yang percaya dengan sungguh-sungguh
akan kedaulatan Tuhan. Seolah-olah, jika Tuhan tidak menentukan segala sesuatu,
maka Tuhan kehilangan kendali atas alam semesta ciptaanNya.
Tetapi kita telah melihat, bahwa tidak benar demikian. Definisi “kedaulatan”
itu sendiri sama sekali tidak memerlukan penentuan atas segala sesuatu. Kita
juga telah melihat bagaimana Allah tetap memegang kendali atas segala sesuatu,
walaupun Ia memberikan kehendak bebas pada manusia. Pertanyaan yang muncul
justru adalah sebagai berikut: Kedaulatan versi mana yang lebih agung?
Kedaulatan Allah versi Kalvinis, di mana Allah menentukan segalanya? Atau
kedaulatan versi Alkitab, di mana ada kehendak bebas manusia (yang tidak
ditentukan Allah)?
Tanggapan
saya:
Pertanyaan
anda tidak bisa dijawab, Liauw! Yang mana yang lebih agung? Itu berarti salah
satu mempercayai kedaulatan yang kurang agung dan yang lain mempunyai kedaulatan
yang lebih agung. Padahal menurut saya, Calvinisme mengajarkan kedaulatan Allah
yang sungguh-sungguh dan sangat ditinggikan, sedangkan Arminianisme mengajarkan
kedaulatan Allah yang sebetulnya bukan kedaulatan Allah! Dengan kata lain, dalam
Arminianisme tidak ada kedaulatan Allah! Seperti dikatakan oleh R.C. Sproul
bahwa orang yang tidak mempercayai penentuan, sebetulnya tidak percaya
kedaulatan Allah, dan Allah yang tidak berdaulat bukanlah Allah. Jadi,
sebetulnya orang-orang Arminian mengclaim
diri sebagai Atheis!
Manakah yang lebih hebat dan agung, (1) bahwa rencana Allah terlaksana karena Allah menentukan segala sesuatu, atau (2) bahwa rencana Allah terlaksana walaupun banyak makhluk bebas yang menentangNya, namun tetap rencanaNya yang menang? Manakah yang lebih hebat, berhasil mengendalikan suatu lingkungan yang segala aspeknya anda tentukan, atau berhasil mengendalikan suatu lingkungan yang terdiri dari pribadi-pribadi bebas lainnya? Manusia dan Iblis dalam skema Kalvinis, telah ditentukan oleh Allah segala pikiran dan tindakan mereka. Bahwa lalu segalanya berjalan sesuai dengan rencana Allah tidaklah mengherankan. Yang kita herankan adalah justru jika segalanya ditentukan Allah, mengapa masih terjadi banyak dosa dan kekacauan. Jika seseorang berhasil mengendalikan 100 robot yang dia buat, untuk menciptakan suasana persis seperti keinginannya, ini bukan hal yang mengagumkan. Toh segalanya tinggal di program. Tetapi, ketika seorang guru berhasil mengendalikan 100 siswa untuk menciptakan suasana persis seperti keinginannya, ini adalah suatu hal yang hebat. 100 siswa ini bisa menentang atau mengikuti keinginan guru tersebut. Jadi, kedaulatan mana yang lebih hebat dan agung? Kedaulatan di mana semuanya sudah ditentukan, atau kedaulatan di mana ada makhluk-makhluk bebas, bahkan banyak yang menentang Allah, tetapi pada akhirnya semuanya sesuai dengan rencana Allah?
Tanggapan
saya:
Jawaban
saya sama dengan di atas. ‘Mana yang lebih hebat’ merupakan pertanyaan yang
tidak cocok. Calvinisme mengajarkan kedaulatan Allah, Arminianisme sama sekali
tidak. Mestinya kalau tanya: ‘mana yang lebih benar?’, bukan ‘mana
yang lebih hebat?’. Peduli apa dengan hebat kalau tidak benar?
Jikalau saya mengambil ilustrasi sebuah permainan catur, konsep Kalvinis dapat digambarkan dengan seorang yang bermain catur sendirian. Dia menggerakkan buah-buah putih dan juga buah-buah hitam. Dia menentukan segala sesuatu. Serangan musuh, dia yang tentukan, tangkisannya juga dia yang tentukan. Bisa saja pemain solo ini melakukan acting, dan seolah-olah memerankan dua orang yang sedang bertarung. Tetapi pada dasarnya, dialah yang menentukan setiap langkah. Jikalau permainan ini berakhir dengan kemenangan bagi pihak yang dia pilih, maka tidak ada seorangpun yang perlu kagum. Ini adalah hal yang mendasar. Jika anda menentukan segala sesuatu maka hasil akhir pastilah sesuai keingian anda, ini adalah hukum alam.
Tanggapan
saya:
Salah
dan tolol. Buah catur tak punya kemauan sama sekali. Itu benda mati, tetapi
manusia tidak. Jadi, ini ilustrasi tolol yang sama sekali tidak cocok!
Tetapi
saya ingin gunakan ilustrasi anda ini untuk menyerang anda sendiri. Buah catur
itu benda mati yang tak punya kehendak bebas, bukan? Dan itu menurut anda di
atas, ditentukan oleh Tuhan, bukan? Jadi, setiap gerakan buah catur sudah
ditentukan dan pasti akan terjadi, bukan? Lalu kalau para pemainnya tidak
ditentukan untuk main catur, atau tidak ditentukan untuk melangkahkan buah
caturnya sesuai rencana / penentuan Tuhan, bagaimana kalau mereka ternyata tidak
main catur, atau main catur tetapi menggerakkan buah caturnya secara berbeda
dengan penentuan Tuhan? Coba jawab, Liauw!
Bandingkan dengan konsep yang Alkitabiah. Kembali ke ilustrasi catur, kali ini ada seorang grandmaster yang hebat sekali, melawan pemain yang riil. Lawannya benar-benar berniat mengalahkan sang grandmaster, dan sama sekali tidak ada kolusi. Kolusi saja tidak ada, jadi sang grandmaster sama sekali tidak menentukan langkah-langkah musuhnya. Namun, kemampuan dan penguasaan sang grandmaster begitu jauh di atas lawannya, sehingga ia dapat membaca semua gerakan lawannya itu. Ia benar-benar mengendalikan permainan. Ia menyerang dan bertahan sesuai keinginannya. Bahkan ia memakai gerakan-gerakan musuhnya untuk kepentingannya sendiri. Musuhnya mungkin menggerakkan buah caturnya untuk menyerang, tetapi sang grandmaster tahu, bahwa justru langkah itu bisa dipakai dalam rencananya sendiri.
Tanggapan
saya:
Konsep
Alkitabiah yang tanpa Alkitab, tapi pakai buah catur! Hebat sekali!
Apa
yang anda katakan di atas ini mungkin cocok kalau yang dibicarakan adalah
kemahakuasaan Allah atau kepintaran Allah, tetapi untuk kedaulatan Allah sama
sekali tidak cocok!
Dalam kisah mitos Cina, ada seorang pecatur yang legendaris. Kehebatannya
terkenal ke mana-mana sehingga raja pun ingin menjajalnya. Jeleknya, raja ini
punya sifat yang sombong. Dia merasa dirinya paling hebat dan mestinya mampu
mengalahkan siapapun. Namun demikian, raja tidak mau pecatur legendaris ini
mengalah daripadanya. Oleh karena itu, dia membuat suatu peraturan. Sang
grandmaster catur tidak boleh kalah dari padanya, dan jika kalah maka sang
grandmaster akan dibunuh.
Pertandingan catur antara raja melawan grandmaster pun di mulai. Sebenarnya
mudah bagi sang grandmaster untuk mengalahkan raja yang sombong itu. Tetapi si
grandmaster tahu sifat raja itu. Kalau dia menang, maka raja yang sombong ini
pasti akan membunuhnya juga. Sedangkan kalau dia kalah, maka raja telah
mengeluarkan titah untuk membunuhnya. Akhirnya, setelah berpikir, pecatur hebat
itu memutuskan untuk mengendalikan permainan sedemikian rupa, sehingga hasil
akhir adalah remis. Pada awalnya, raja tidak sadar, karena permainan sang
grandmaster seolah-olah serius. Karena penasaran, raja mengulangi permainan
berkali-kali dan hasilnya selalu remis. Akhirnya setelah semua permainan
berakhir remis, raja itu sadar betapa hebat pecatur itu sebenarnya. Pecatur itu
dapat mengendalikan hasil akhir dari permainan, walaupun raja berusaha keras
untuk mengalahkannya!
Memang, ilustrasi catur tentu tidak sempurna untuk menggambarkan hubungan antara Allah dengan ciptaanNya.
Tanggapan
saya:
O
anda sadar juga kalau tak cocok? Lalu mengapa digunakan? Hanya untuk menipu
orang?
Tetapi, konsep Kalvinis bahwa Allah menentukan segala sesuatu, tercermin pada kasus seorang pecatur yang bermain sendirian. Sama sekali tidak ada keagungan! Dan jika pada akhirnya manusia dan malaikat memuji dan menyembah Allah, atas dasar penentuan Allah, ini pun tidak memuaskan. Manusia saja tidak akan puas jika dipuji-puji oleh komputer atau robot yang telah diprogram. Itulah sebabnya Allah menciptakan makhluk yang bebas, yang serupa dan segambar dengan Dia, yang dapat membuat keputusan atas dasar dirinya sendiri. Makhluk-makhluk yang bebas ini, membawa kemuliaan kepada Allah pencipta mereka, ketika mereka atas keputusan mereka sendiri menyembah dan memuji Allah.
Kedaulatan mana yang lebih agung? Skema mana yang lebih menunjukkan kehebatan dan kekuasaan Allah atas ciptaanNya? Pecatur yang bermain sendirian dan menentukan segala sesuatu sendiri? Oh, teman-teman Kalvinisku, tidak dapatkah anda melihat, bahwa Kalvinisme justru membuat kedaulatan Allah menjadi tidak agung sama sekali?
Tanggapan
saya:
Apakah
anda sadar bahwa dalam segala omong kosong anda dalam point di atas ini, anda
sama sekali tidak menggunakan dasar Alkitab? Hanya ilustrasi-ilustrasi tolol!
Dalam
seluruh point ini yang anda nilai adalah kehebatan, kepandaian, keagungan,
tetapi bukan kedaulatan! Cara berpikir anda memang miring, jadi semuanya kacau!
Walaupun sudah cukup banyak ayat-ayat yang kita lihat dalam pembahasan sejauh ini, bagian ini akan secara spesifik membahas berbagai ayat yang berhubungan dengan kedaulatan Tuhan, kebebasan manusia, dan apakah Tuhan menentukan segala sesuatu atau tidak.
Tanggapan
saya:
O
ya? Kalau bagitu anda menggunakan Alkitab yang berbeda dengan punya saya?
Ada banyak alasan dari Alkitab, mengapa Allah tidak mungkin menentukan segala sesuatu. Mari kita perhatikan satu persatu alasan-alasan di bawah ini.
Pertama, Allah sendiri menyatakan bahwa Dia tidak menentukan segala sesuatu! Mengenai praktek penyembahan berhala dan pengorbanan anak yang ditiru oleh orang Israel dari bangsa-bangsa sekitar mereka, Allah berkata: “Mereka telah mendirikan bukit-bukit pengorbanan bagi Baal untuk membakar anak-anak mereka sebagai korban bakaran kepada Baal, suatu hal yang tidak pernah Kuperintahkan atau Kukatakan dan yang tidak pernah timbul dalam hati-Ku” (Yer. 19:5). Jikalau Tuhan tidak pernah memerintahkannya, dan bahkan tidak pernah timbul dalam hati Tuhan, bagaimana mungkin Tuhan menentukannya? Mustahil! Justru dosa yang sangat biadab ini muncul dari hati manusia yang jahat, bukan ditentukan oleh Tuhan. Tuhan menegaskan bahwa hal ini tidak pernah timbul dalam hatiNya! Apakah Kalvinis mau percaya kepada pernyataan langsung dari Tuhan, atau lebih percaya kepada guru-guru Kalvinis mereka? Ataukah Tuhan membohongi kita, dan bahwa sebenarnya tindakan ini telah ditentukan dalam suatu “dekrit rahasia?” Saya lebih percaya pada Tuhan!
Tanggapan
saya:
Ini
tololnya pemikiran dan penafsiran Arminian! Tidak pernah bisa membedakan apakah
Allah bicara dari sudut pandangNya sendiri atau ia bicara dengan cara
menyesuaikan diri dengan kapasitas manusia yang terbatas.
Kata-kata
‘tidak pernah timbul dalam hatiKu’ juga muncul dalam Yer 7:31.
Yer
7:31 - “Mereka telah mendirikan bukit pengorbanan yang bernama Tofet di
Lembah Ben-Hinom untuk membakar anak-anaknya lelaki dan perempuan, suatu hal
yang tidak pernah Kuperintahkan dan yang tidak pernah timbul dalam hatiKu”.
Calvin
(tentang Yer 7:31): “The
Prophet’s words then are very important, when he says, that God had commanded
no such thing, and that it never came to his mind; as though he had said,
that men assume too much wisdom, when they devise what he never required, nay,
what he never knew. It is indeed certain, that there was nothing hid from God,
even before it was done: but God here assumes the character of man, as though he had said, that what the Jews devised was unknown to
him, as his own law was sufficient”
(= ).
Anda
mengatakan ‘Apakah Kalvinis mau percaya kepada pernyataan langsung dari Tuhan,
atau lebih percaya kepada guru-guru Kalvinis mereka? Ataukah Tuhan membohongi
kita, dan bahwa sebenarnya tindakan ini telah ditentukan dalam suatu “dekrit
rahasia?” Saya lebih percaya pada Tuhan!’.
Saya
jawab:
a)
Apa yang anda katakan, bukanlah pernyataan langsung dari Tuhan, tetapi
merupakan penafsiran anda tentang ayat Firman Tuhan! Firman Tuhannya pasti
benar, tetapi penafsiran anda, sama sekali tidak!
b)
Ayat manapun butuh penafsiran. Bahkan pada waktu Alkitab diterjemahkan,
sudah butuh penafsiran. Jadi, menggunakan kata-kata ‘pernyataan langsung dari
Tuhan’ untuk mendesak orang percaya penafsiran anda merupakan kata-kata tolol!
Anda memang punya gelar doktor ya? Rasanya kok tidak cocok!
Kedua, sifat Allah yang mahakudus tidak memungkinNya menentukan dosa! Poin ini telah dibahas sebelumnya, jadi hanya akan disinggung sekilas saja. Allah yang “kudus, kudus, kudus” (Yes. 6:3) dan yang “membenci kefasikan” (Maz. 45:8), tidak mungkin menetapkan dan mengharuskan adanya kefasikan dan dosa.
Tanggapan
saya:
Saya
juga sudah menjawabnya di atas, tidak perlu saya ulangi!
Ketiga,
Allah tidak bermain sandiwara! Berbicara melalui Yesaya kepada kaum Israel,
Tuhan berkata, “Tidak pernah Aku berkata dengan sembunyi atau di tempat bumi
yang gelap. Tidak pernah Aku menyuruh keturunan Yakub untuk mencari Aku dengan
sia-sia! Aku, TUHAN, selalu berkata benar, selalu memberitakan apa yang lurus”
(Yes. 45:19). Nyatanya, banyak keturunan Yakub yang tidak mencari Tuhan! Apakah
Tuhan menentukan mereka untuk tidak mencariNya, lalu memberi perintah untuk
mencariNya? Itu sandiwara! Tetapi ayat ini menegaskan bahwa Tuhan tidak bermain
seperti itu. Tuhan tidak menetapkan ketidakpercayaan Israel. Jelas, Tuhan tidak
menetapkan segala sesuatu.
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
ini penafsiran anda, Liauw! Dan anda menggunakan dan menafsirkan satu ayat tanpa
mempedulikan ayat-ayat lain dalam Alkitab yang mempunyai hubungan dengan ayat
itu!
Mengapa
tidak mempedulikan ayat-ayat ini:
Ro
3:10-12 - “(10) seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar, seorangpun
tidak. (11) Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang
mencari Allah. (12) Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak
berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak”.
Bukan
hanya sebagian dari keturunan Yakub yang tidak mencari Allah. Ro 3:11 ini
mengatakan ‘tidak ada seorangpun yang mencari Allah’! Mau percaya Firman
Tuhan atau tidak, Liauw?
Sekarang
kalau memang Firman Tuhan mengatakan bahwa tidak ada manusia yang mencari Allah,
mengapa dalam faktanya ada orang-orang yang mencari Allah (misalnya 2Taw 19:3)?
Jelas karena Allahnya sudah mencari manusia lebih dulu, mengubahkan mereka,
sehingga mereka mau mencariNya. Tanpa pekerjaan Allah dalam diri seseorang,
berlaku Ro 3:11, tak ada orang yang mencari Allah.
Dalam Luk 19:10,
Yesus berkata: “Sebab Anak Manusia
datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang”. Istilah ‘Anak Manusia’ menunjuk kepada Yesus,
yang juga adalah Allah sendiri. Jadi ayat ini lagi-lagi menunjukkan bahwa pada
waktu manusia itu terhilang dalam dosa, Allah mencari manusia untuk
menyelamatkannya.
Bdk. Yeh 34:16 - “Yang
hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan
Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan yang kuat akan
Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya”.
Tidak ada
domba hilang yang mencari gembalanya, gembalanyalah yang mencari domba yang
hilang itu.
Bdk.
1Kor 2:14 - “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari
Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat
memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani”.
Kis
16:14 - “Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut
mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah
kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang
dikatakan oleh Paulus”.
Yoh
6:44,65 - “(44) Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepadaKu, jikalau
ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada
akhir zaman. ... (65) Lalu Ia berkata: ‘Sebab itu telah Kukatakan kepadamu:
Tidak ada seorangpun dapat datang kepadaKu, kalau Bapa tidak mengaruniakannya
kepadanya.’”.
Lalu
siapa yang Dia ubahkan sehingga mencari Dia, dan siapa yang tidak? Itu
ditentukan oleh kehendak / rencana kekalNya, Liauw! Karena itu, pada akhirnya
yang betul-betul datang kepada Kristus adalah orang-orang pilihan!
Kis 13:48
- “Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan
mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk
hidup yang kekal, menjadi percaya”.
Karena
itu juga maka Yesus berkata dalam Yoh 15:16 - “Bukan kamu yang memilih
Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya
kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu
minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu”.
Apakah
anda anggap sebagai sandiwara atau tidak, itu urusan anda. Tetapi yang jelas
ayat-ayat Alkitab sangat banyak yang secara explicit menyuruh percaya kepada
Yesus, dan pada sisi yang lain, sangat banyak juga yang mengatakan bahwa hanya
orang-orang pilihan yang bisa percaya kepada Yesus. Saya percaya pada Alkitab,
dan bukan pada kesimpulan anda bahwa ini merupakan suatu sandiwara.
By
the way, ayat mana yang mengatakan Allah bersandiwara atau tidak bersandiwara?
Keempat, jika Allah menentukan segala sesuatu, manusia tidak bertanggung jawab! Ini juga telah dibahas dibagian sebelumnya. Tentang Yudas, Tuhan Yesus berkata, “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!” (Luk 22:22). Kalvinis sering salah mengartikan kata “telah ditetapkan,” dan menyimpulkan bahwa pengkhianatan Yudas ditetapkan oleh Allah. Tetapi ayat ini tidak berkata bahwa tindakan Yudas ditetapkan Tuhan. Ayat ini mengajarkan bahwa adalah ketetapan Allah agar Yesus diserahkan dan disalibkan. Silakan lihat lagi bagian pembahasan tentang bagaimana Tuhan mengendalikan sejarah. Melalui kemahatahuan dan intervensi Allah (kelahiran Yesus, dll), Tuhan tahu bahwa imam-imam kepala akan memutuskan untuk membunuh Yesus. Hal ini Tuhan pakai dalam rencanaNya bagi keselamatan manusia. Jadi, penyaliban Yesus memang adalah menurut rencana dan maksud Allah. Allah bukan menetapkan maksud jahat manusia, Allah menetapkan bahwa maksud jahat mereka boleh terlaksana! Tuhan bukan menetapkan bahwa Yudas akan menjual Yesus, tetapi Tuhan menetapkan bahwa niat jahatnya itu dapat terlaksana, sesuai rencana Tuhan. Jika Tuhan yang menetapkan Yudas untuk menjualnya, dan Yudas tidak punya pilihan lain, maka di manakah keadilan perkataan Yesus: “celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!”
Tanggapan
saya:
Ini
juga sudah saya bahas, patahkan, dan hancurkan!
Penafsiran
anda tentang Luk 22:22 menggelikan. Coba baca mulai ayat 21nya.
Luk
22:21-22 - “(21) Tetapi, lihat, tangan orang yang menyerahkan Aku, ada bersama dengan Aku di meja ini. (22) Sebab Anak Manusia
memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah
orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.
Yang
anda bicarakan / bahas adalah bagian yang saya garis-bawahi, bukan? Anda
mengatakan bahwa inilah, dan bukannya pengkhianatan Yudas Iskariot, yang telah
ditetapkan. Tetapi coba baca kontextnya. Ay 21nya bicara tentang Yudas Iskariot
dan tindakan menyerahkan / mengkhianati Yesus , dan ay 22b juga demikian.
Masakan ay 22a tidak berbicara tentang tindakan menyerahkan / mengkhianati dari
Yudas Iskariot? Ini penafsiran yang dipaksakan; anda memperkosa dan
membengkokkan Firman Tuhan!
Bahwa
kata ‘menyerahkan’ sering digunakan untuk menunjuk pada pengkhianatan Yudas
Iskariot, terlihat dari banyak ayat seperti ayat-ayat di bawah ini:
Mat
26:15 Ia berkata: "Apa yang
hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan
Dia kepada kamu?" Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya.
Mat
26:16 Dan mulai saat itu ia mencari
kesempatan yang baik untuk menyerahkan
Yesus.
Mat
26:21 Dan ketika mereka sedang
makan, Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara
kamu akan menyerahkan
Aku."
Mat
26:23 Ia menjawab: "Dia yang
bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang
akan menyerahkan
Aku.
Mat
26:25 Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: "Bukan aku, ya Rabi?" Kata
Yesus kepadanya: "Engkau telah mengatakannya."
Mat
26:46 Bangunlah, marilah kita
pergi. Dia yang menyerahkan
Aku sudah dekat."
Mat
26:48 Orang yang menyerahkan
Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: "Orang yang akan kucium,
itulah Dia, tangkaplah Dia."
Matthew
Henry: “He
foretels that the treason would take effect (v. 22): Truly the Son of man goes
as it was determined, goes to the place where he will be betrayed; for he is
delivered up by the counsel and foreknowledge of God, else Judas could not
have delivered him up”.
Calvin
(tentang Mat 26:24): “The
Son of man indeed goeth. Here
Christ meets an offense, which might otherwise have greatly shaken pious minds.
For what could be more unreasonable than that the Son of God should be
infamously betrayed by a disciple, and abandoned to the rage of enemies, in
order to be dragged to an ignominious death? But Christ declares that all this
takes place only by the will of God; and he proves this decree by the testimony
of Scripture, because God formerly revealed, by the mouth of his Prophet, what
he had determined. We now perceive what is intended by the words of Christ. It
was, that the disciples, knowing that what was done was regulated by the
providence of God, might not imagine that his life or death was determined by
chance. But the usefulness of this doctrine extends much farther; for never are
we fully confirmed in the result of the death of Christ, till we are convinced
that he was not accidentally dragged by men to the cross, but that the sacrifice
had been appointed by an eternal decree of God for expiating the sins of the
world. For whence do we obtain reconciliation, but because Christ has appeased
the Father by his obedience? Wherefore let us always place before our minds the
providence of God, which Judas himself, and all wicked men - though it is
contrary to their wish, and though they have another end in view - are compelled
to obey. Let us always hold this to be a fixed principle, that Christ suffered,
because it pleased God to have such an expiation. And
yet Christ does not affirm that Judas was freed from blame, on the ground that
he did nothing but what God had appointed. For though God, by his righteous
judgment, appointed for the price of our redemption the death of his Son, yet
nevertheless, Judas, in betraying Christ, brought upon himself righteous
condemnation, because he was full of treachery and avarice. In short, God’s
determination that the world should be redeemed, does not at all interfere with
Judas being a wicked traitor. Hence we perceive, that though men can do nothing
but what God has appointed, still this does not free them from condemnation,
when they are led by a wicked desire to sin. For though God directs them, by an
unseen bridle, to an end which is unknown to them, nothing is farther from their
intention than to obey his decrees. Those two principles, no doubt, appear to
human reason Lo be inconsistent with each other, that God regulates the affairs
of men by his Providence in such a manner, that nothing is done but by his will
and command, and yet he damns the reprobate, by whom he has carried into
execution what he intended. But we see how Christ, in this passage, reconciles
both, by pronouncing a curse on Judas, though what he contrived against God had
been appointed by God; not that Judas’s act of betraying ought strictly to be
called the work of God, but because God turned the treachery of Judas so as to
accomplish His own purpose. I am aware of the manner
in which some commentators endeavor to avoid this rock. They acknowledge that
what had been written was accomplished through the agency of Judas, because God
testified by predictions what He fore-knew. By way of softening the doctrine,
which appears to them to be somewhat harsh, they substitute the foreknowledge
of God in place of the decree, as if God
merely beheld from a distance future events, and did not arrange them according
to his pleasure. But very differently does the Spirit settle this question; for
not only does he assign as the reason why Christ was delivered up, that it
was so written, but also that it was so determined. For
where Matthew and Mark quote Scripture, Luke leads us direct to the heavenly
decree, saying, according
to what was determined; as also in the Acts of
the Apostles, he shows that Christ was delivered not
only by the
foreknowledge, but likewise by
the fixed purpose of God,
(Acts 2:25) and a little afterwards, that Herod
and Pilate, with other wicked men, did
those things which had been fore-ordained by the hand and purpose of God,
(Acts 4:27, 28.)”.
Hal
lain lagi yang harus dipertimbangkan adalah bahwa Luk 22:22 itu paralel dengan
Mat 26:24 dan juga dengan Yoh 13:21-26 - “(21) Setelah Yesus berkata
demikian Ia sangat terharu, lalu bersaksi: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.’ (22) Murid-murid itu memandang
seorang kepada yang lain, mereka ragu-ragu siapa yang dimaksudkanNya. (23)
Seorang di antara murid Yesus, yaitu murid yang dikasihiNya, bersandar dekat
kepadaNya, di sebelah kananNya. (24) Kepada murid itu Simon Petrus memberi
isyarat dan berkata: ‘Tanyalah siapa yang dimaksudkanNya!’ (25) Murid yang
duduk dekat Yesus itu berpaling dan berkata kepadaNya: ‘Tuhan, siapakah
itu?’ (26) Jawab Yesus: ‘Dialah itu, yang kepadanya Aku akan memberikan
roti, sesudah Aku mencelupkannya.’ Sesudah berkata demikian Ia mengambil roti,
mencelupkannya dan memberikannya kepada Yudas, anak Simon Iskariot”.
Jadi,
mana bisa yang dibicarakan dalam Luk 22:22a bukan pengkhianatan Yudas Iskariot?
Jamieson,
Fausset & Brown (tentang Yoh 13:22):
“Then
the disciples looked one on another, doubting (or ‘being in doubt’) of whom
he spake. Further intensely interesting particulars are given in the other
Gospels. First, ‘They were exceeding sorrowful’ (Matt 26:22). Second,
‘They began to inquire among themselves which of them it was that should do
this thing’ (Luke 22:23). Third, ‘They began to say unto Him one by one, Is
it I? and another, Is it I?’ (Mark 14:19). Generous, simple hearts! They
abhorred the thought, but, instead of putting it on others, each was only
anxious to purge himself, and know if he could be the wretch. Their putting it
at once to Jesus Himself, as knowing doubtless who was to do it, was the best,
as it certainly was the most spontaneous and artless, evidence of their own
innocence. Fourth, Jesus-apparently while this questioning was going
on-added, ‘The Son of Man goeth as it is written of Him: but woe unto that man
by whom the Son of Man is betrayed! it had been good for that man if he had not
been born’ (Matt 26:24). Fifth, ‘Judas,’ last of all, ‘answered and
said, Lord, Is it I?’ evidently feeling that when all were saying this, if he
were to hold his peace, that of itself would draw suspicion upon him. To
prevent this the question is wrung out of him, but perhaps, amidst the stir and
excitement at the table, in a half-suppressed tone-as we are inclined to think
the answer also was - ‘Thou hast said’ (Matt 26:25), or possibly by little
more than a sign; for from John 13:28, below, it is evident that until the
moment when he went out he was not openly discovered”.
Kelima, Alkitab mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak dirinya sendiri! Daud berkata kepada Salomo: “Dan engkau, anakku Salomo, kenallah Allahnya ayahmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan dengan rela hati, sebab TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita. Jika engkau mencari Dia, maka Ia berkenan ditemui olehmu, tetapi jika engkau meninggalkan Dia maka Ia akan membuang engkau untuk selamanya” (1 Taw. 28:9). Salomo diperintahkan untuk beribadah dengan rela hati. Kerelaan hati mengimplikasikan bahwa tindakan itu adalah atas dasar keinginan sendiri, bukan dipaksa atau ditentukan oleh orang lain. Kerelaan hati yang telah ditentukan oleh Tuhan adalah konsep yang kontradiktif. Masih banyak ayat lain yang berbicara mengenai kerelaan seseorang (e.g. Ezra 7:13; Hakim 5:2).
Ada juga ayat-ayat tentang kehendak manusia. Tuhan berjanji, “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya” (Yoh. 15:7). Apakah Tuhan telah menetapkan kehendak kita, lalu menyuruh kita untuk meminta sesuai dengan “kehendak” yang telah ditetapkan itu? Apakah ini tidak terdengar aneh bagi anda? Pembacaan Alkitab yang normal, dan pengalaman hidup sehari-hari memberitahu kita bahwa kehendak kita sungguh adalah kehendak kita sendiri, bukan sesuatu yang telah ditentukan Allah. Kalvinis juga mengajarkan bahwa dalam hidup ini, keputusan-keputusan manusia seolah-olah adalah keputusannya sendiri. Hanya saja, menurut mereka sebenarnya keputusan itu telah ditetapkan dalam “dekrit rahasia” Allah. Tetapi, saya tidak tahu siapa yang memberitahu para Kalvinis “rahasia” ini, karena sama sekali tidak ada dalam Alkitab.
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
anda menggunakan ayat-ayat yang menyoroti dari sudut manusia, bukan dari sudut
Allah. Siapa bilang Calvinisme percaya manusia tak punya kehendak? Mereka
melakukan semua hal dengan kehendak mereka sendiri, tetapi pada saatv yang sama
apa yang mereka lakukan adalah rencana Tuhan / ketetapan Tuhan.
Omongan
anda bertele-tele, itu-itu saja. Tak punya argumentasi yang lain?
Keenam, Alkitab mengajarkan bahwa doa dapat mengubah keadaan! Kebanyakan orang Kristen yang berdoa, percaya bahwa doanya dapat membawa perubahan dalam dunia ini. Tetapi, jika segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah, maka bagaimana mungkin doa dapat membawa perubahan? Oleh sebab itulah, James O. Wilmoth, seorang Kalvinis, berkata: “Kita tahu bahwa Allah telah mempredestinasikan segala sesuatu yang terjadi. Ia mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan maksud kehendakNya sendiri. Sulit untuk merekonsiliasi doa dengan kehendak Allah yang tidak berubah.” David West berkata, “Doa tidak mengubah apapun, doa juga tidak mengubah Allah atau pikiranNya.” Bandingkanlah dengan ayat-ayat Alkitab seperti berikut:
Sesudah itu aku sujud di hadapan TUHAN, empat puluh hari empat puluh malam lamanya, seperti yang pertama kali roti tidak kumakan dan air tidak kuminum karena segala dosa yang telah kamu perbuat, yakni kamu melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, sehingga kamu menimbulkan sakit hati-Nya. Sebab aku gentar karena murka dan kepanasan amarah yang ditimpakan TUHAN kepadamu, sampai Ia mau memunahkan kamu. Tetapi sekali inipun TUHAN mendengarkan aku. Juga kepada Harun TUHAN begitu murka, hingga Ia mau membinasakannya; maka pada waktu itu aku berdoa untuk Harun juga. (Ul. 9:18-20)
Tanggapan
saya:
Mengatakan
bahwa doa bisa mengubah kehendak Allah, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
yang tak tahu Alkitabnya sendiri.
1Yoh
5:14 - “Dan inilah keberanian percaya kita kepadaNya, yaitu bahwa Ia
mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepadaNya menurut
kehendakNya”.
Mat
6:10b - “jadilah kehendakMu di bumi
seperti di sorga”.
Mat
26:39,42 - “(39) Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kataNya:
‘Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu,
tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau
kehendaki.’ ... (42) Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa,
kataNya: ‘Ya BapaKu jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku
meminumnya, jadilah kehendakMu!’”.
Mat
20:20-23 - “(20) Maka datanglah ibu anak-anak Zebedeus serta anak-anaknya
itu kepada Yesus, lalu sujud di hadapanNya untuk meminta sesuatu kepadaNya. (21)
Kata Yesus: ‘Apa yang kaukehendaki?’ Jawabnya: ‘Berilah perintah, supaya
kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam KerajaanMu, yang seorang di sebelah
kananMu dan yang seorang lagi di sebelah kiriMu.’ (22) Tetapi Yesus menjawab,
kataNya: ‘Kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan,
yang harus Kuminum?’ Kata mereka kepadaNya: ‘Kami dapat.’ (23) Yesus
berkata kepada mereka: ‘CawanKu memang akan kamu minum, tetapi hal duduk di
sebelah kananKu atau di sebelah kiriKu, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan
diberikan kepada orang-orang bagi siapa BapaKu telah menyediakannya.’”.
Kalau
doa bisa mengubah rencana Allah, lalu bagaimana kita menafsirkan ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa Rencana Allah tak bisa berubah ataupun gagal?
Bil 23:19 - “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia,
sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau
berbicara dan tidak menepatinya?”.
1Sam 15:29 - “Lagi
Sang Mulia dari Israel tidak berdusta dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan
manusia yang harus menyesal”.
Ayub 42:1-2 - “(1)
Maka jawab Ayub kepada TUHAN: (2) ‘Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan
segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal’”.
Maz 33:10-11 - “(10)
TUHAN menggagalkan rencana bangsa-bangsa; Ia meniadakan rancangan suku-suku
bangsa; (11) tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hatiNya
turun-temurun”.
Yes 14:24,26-27 - “(14)
TUHAN semesta alam telah bersumpah, firmanNya: ‘Sesungguhnya seperti yang
Kumaksud, demikianlah akan terjadi, dan seperti yang Kurancang,
demikianlah akan terlaksana: ... (26) Itulah rancangan yang telah dibuat
mengenai seluruh bumi, dan itulah tangan yang teracung terhadap segala bangsa.
(27) TUHAN semesta alam telah merancang, siapakah yang dapat menggagalkannya?
TanganNya telah teracung, siapakah yang dapat membuatnya ditarik kembali?”.
Yes 46:10-11 - “(10)
yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa
yang belum terlaksana, yang berkata: KeputusanKu akan sampai, dan segala
kehendakKu akan Kulaksanakan, (11) yang memanggil burung buas dari timur,
dan orang yang melaksanakan putusanKu dari negeri yang jauh. Aku telah
mengatakannya, maka Aku hendak melangsungkannya, Aku telah merencanakannya, maka
Aku hendak melaksanakannya”.
Yer 4:28 - “Karena hal ini bumi akan berkabung, dan langit di atas akan menjadi
gelap, sebab Aku telah mengatakannya, Aku telah merancangnya, Aku tidak akan
menyesalinya dan tidak akan mundur dari pada itu”.
Dalam usaha mereka untuk membuktikan bahwa Allah menentukan segala sesuatu, Kalvinis mencoba untuk memakai berbagai ayat Alkitab. Kita akan melihat, apakah ayat-ayat yang mereka pakai sungguh mengajarkan premis dasar Kalvinisme.
1. Keluaran 21:13. “Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja, melainkan tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan menunjukkan bagimu suatu tempat, ke mana ia dapat lari.” Dari ayat ini, Kalvinis mengatakan bahwa suatu hal yang tidak disengaja (pembunuhan), ditentukan oleh Allah. Mereka mengambil frase “tangannya ditentukan Allah,” untuk membuktikan bahwa segala tindakan manusia ditentukan oleh Allah.
Jawab: Kesalahan Kalvinis adalah tidak memperhatikan konteks dan juga mengambil kesimpulan yang terlalu cepat. Jika Allah menentukan tangan orang dalam suatu kasus pembunuhan tidak disengaja, apakah berarti Allah menentukan segala sesuatu? Sama sekali tidak. Kalau memperhatikan konteks, justru perikop ini membuktikan sebaliknya! Jika membaca dari ayat 12-13, ada dua jenis pembunuhan yang Tuhan diskusikan. Di ayat 12, Tuhan mengatur tentang pembunuhan yang disengaja: “Siapa yang memukul seseorang, sehingga mati, pastilah ia dihukum mati.” Barulah di ayat 13, ada aturan tentang pembunuhan yang tidak disengaja.
Coba dipikir dengan baik-baik, dan baca ayat 12 dan 13 dalam satu konteks. Orang yang tidak sengaja membunuh sesamanya, artinya tangannya ditentukan Tuhan. Sebagai contoh, dalam Ulangan 19:4-5, seseorang yang sedang menebang pohon dengan kapak, tiba-tiba mata kapak terlepas dan mengenai temannya. Lepasnya mata kapak, trayektori mata kapak, dan hal-hal lain yang mendukung sehingga mata kapak mengenai orang, semua itu ditentukan Allah. Ini tidak ada masalah, karena yang Allah tentukan bukanlah suatu keputusan manusia. Pembaca bisa melihat lagi dalam bagian pembahasan tentang bagaimana Allah mengendalikan sejarah. Undi ada di tangan Tuhan, jatuhnya mata kapak juga di tangan Tuhan! Hal-hal yang tidak sengaja itu ditentukan oleh Tuhan! Amin!
Apakah ini membuktikan Allah menetapkan segala sesuatu? Sama sekali tidak! Ayat 12 dan 13 sedang menjelaskan perbedaan dua kasus. Pembunuh di ayat 12, harus dihukum mati, karena membunuh dengan sengaja. Pembunuh di ayat 13, tidak dihukum mati karena tangannya ditentukan Allah. Kesimpulan apa yang dapat ditarik? Bahwa pembunuh di ayat 12 justru tangannya tidak ditentukan oleh Allah. Jadi, Kel. 21:12-13, justru membuktikan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh manusia secara sengaja (atas kehendak sendiri), tidak ditentukan oleh Allah. Ayat ini tidak mendukung premis Kalvinis, sebaliknya membuktikan bahwa Allah tidak menentukan hal-hal yang manusia lakukan dengan sengaja!
Tanggapan
saya:
A)
Apakah orang-orang Arminian tidak bisa menyerang Calvinisme tanpa
memfitnah dan membengkokkan dulu ajaran Calvinisme? Dari ayat yang dipakai Liauw
ini, yaitu Kel 21:12-13 dan Ul 19:4-5, rasanya ia pasti memaksudkan ajaran saya.
Tetapi saya (maupun orang-orang Reformed) tidak menggunakan bagian ini untuk
mengajarkan bahwa segala tindakan manusia ditentukan oleh Allah, ataupun bahwa
Allah menentukan segala sesuatu.
Untuk lebih jelasnya saya menunjukkan bagaimana saya
menggunakan text itu dalam mengajar:
Untuk mengajarkan bahwa Allah memang menentukan segala
sesuatu dalam arti kata yang mutlak, saya memberikan beberapa argumentasi. Dan
argumentasi pertama ada di bawah ini:
1) Dasar Kitab
Suci:
a)
Ayat Kitab Suci yang menunjukkan bahwa Rencana Allah mencakup
‘semuanya’.
Maz 139:16 - “...
dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada
satupun dari padanya”.
b)
Ayat Kitab Suci yang menunjukkan bahwa Rencana Allah mencakup hal-hal
yang remeh / kecil / tak berarti.
Mat 10:29-30 - “(29)
Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari
padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak BapaMu. (30) Dan kamu, rambut
kepalamupun terhitung semuanya”.
c)
Ayat-ayat Kitab Suci yang menunjukkan bahwa hal-hal yang kelihatannya
seperti ‘kebetulan’ juga hanya bisa terjadi karena itu merupakan Rencana
Allah. Contoh:
1. Kel 21:13 -
“Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja, melainkan
tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan menunjukkan bagimu
suatu tempat, ke mana ia dapat lari”.
Yang dimaksud dengan ‘pembunuhan yang tidak disengaja’ itu
dijelaskan / diberi contoh dalam Ul 19:4-5, yaitu orang yang pada waktu
mengayunkan kapak, lalu mata kapaknya terlepas dan mengenai orang lain sehingga
mati. Hal seperti ini kelihatannya ‘kebetulan’, tetapi toh Kel 21:13 itu
mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi karena ‘tangannya
ditentukan Allah melakukan itu’.
Jadi, jelas bahwa hal-hal yang kelihatannya kebetulan sekalipun hanya bisa
terjadi kalau itu sesuai kehendak / Rencana Allah.
Ini yang saya ajarkan dalam buku ‘providence of God’ saya
(tetapi saya potong-potong kutipannya karena yang ingin saya tunjukkan hanya
garis besar dari ajaran saya.
Jadi, untuk membuktikan bahwa Allah menentukan segala
sesuatu, maka pada point a saya menggunakan Maz 139:16, pada point b saya
menunjukkan bahwa penentuan Allah itu juga mencakup hal-hal remeh / tak berarti,
dan untuk itu saya menggunakan Mat 10:29-30, dan pada point c saya
menunjukkan bahwa penentuan Allah itu juga mencakup hal-hal yang kelihatannya
‘kebetulan’, dan untuk inilah saya menggunakan Kel 21:13!
Tetapi atau Liauw ini terlalu bodoh untuk mengerti jalur
argumentasi saya, atau ia membacanya sambil meloncat-loncat, atau ia memang mau
membengkokkan dulu ajaran saya, dan baru menyerangnya (supaya ia kelihatan
pintar dan saya kelihatan bodoh). Ia memang pintar, tetapi dalam hal apa? Dalam
hal memutar-balikkan, berdusta, dan memfitnah. Dalam tulisan-tulisannya saya
memang melihat banyak kali ia memfitnah Calvinisme!
Apapapun penyebabnya, yang jelas Liauw mengatakan ‘Keluaran
21:13. “Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja, melainkan tangannya
ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan menunjukkan bagimu suatu tempat,
ke mana ia dapat lari.” Dari ayat ini, Kalvinis mengatakan bahwa suatu hal
yang tidak disengaja (pembunuhan), ditentukan oleh Allah. Mereka mengambil
frase “tangannya ditentukan Allah,” untuk
membuktikan bahwa segala tindakan manusia ditentukan oleh Allah.’.
Padahal saya menggunakan ayat itu untuk membuktikan bahwa
hal-hal yang kelihatannya kebetulan sekalipun juga ditentukan Allah.
Saran saya: baca baik-baik sebelum menyerang, Liauw!
B)
Sekarang saya akan mengomentari bagian yang saya beri garis bawah ganda
dalam kutipan di atas. Untuk jelasnya saya kutip ulang kata-kata Liauw sebagai
berikut: ‘Sebagai contoh,
dalam Ulangan 19:4-5, seseorang yang sedang menebang pohon dengan kapak,
tiba-tiba mata kapak terlepas dan mengenai temannya. Lepasnya mata kapak,
trayektori mata kapak, dan hal-hal lain yang mendukung sehingga mata kapak
mengenai orang, semua itu ditentukan Allah. Ini tidak ada masalah, karena yang
Allah tentukan bukanlah suatu keputusan manusia. Pembaca bisa melihat lagi dalam
bagian pembahasan tentang bagaimana Allah mengendalikan sejarah. Undi ada di
tangan Tuhan, jatuhnya mata kapak juga di tangan Tuhan! Hal-hal yang tidak
sengaja itu ditentukan oleh Tuhan! Amin!’.
Aneh juga kalau ayatnya bicara tentang orang yang menggunakan
tangannya untuk mengapak, tetapi Liauw hanya membahas mata kapaknya. Pada waktu
orangnya memukulkan kapak itu ke pohon, dan jelas ia melakukan secara agak
ceroboh, karena mata kapaknya rupanya sudah kendor (kalau tidak, tidak akan mata
kapak terlepas), dan juga pengambilan posisi yang membahayakan, baik dari si
pengapak maupun dari orang yang terkena mata kapak yang terlepas, apakah tidak
ada kehendak manusia yang terlibat?
Disamping, dalam Kel 21:13 itu yang dikatakan ditentukan
Allah bukanlah kapak, tetapi tangan orang itu. Coba baca ayat itu sekali lagi.
Kel 21:13 - “Tetapi jika
pembunuhan itu tidak disengaja, melainkan tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan
menunjukkan bagimu suatu tempat, ke mana ia dapat lari”.
Kalau tangannya ditentukan Allah, bisakah kehendaknya tidak?
Jadi tangan mengayunkan kapak sesuai penentuan Allah, tanpa dikehendaki
orangnya, atau bahkan tanpa disadari orangnya. Bisakah hal itu terjadi? Memang
bisa, kalau orangnya ngelindur!
Lalu, mengapa Liauw membahas mata kapaknya saja? Apakah mata
kapak bisa terlontar dengan sendirinya dan mengenai orang sehingga membunuh
orang itu, seandainya orang yang mengapak tidak lebih dulu memutuskan untuk
mengapak? Dan seandainya ia cukup hati-hati, dengan memeriksa dulu mata kapaknya
longgar atau tidak, dan seandainya ia dan orang yang terkena kapak cukup
hati-hati dalam mengambil posisi yang tidak membahayakan, maka bisakah mata
kapak lepas dan membunuh orang tanpa sengaja? Jadi jelas bahwa dalam terjadinya
hal ini kehendak manusia juga berperan.
C)
Sekarang saya membahas kata-kata Liauw pada bagian akhir (yang saya cetak
miring) yang berbunyi sebagai berikut: ‘Pembunuh
di ayat 13, tidak dihukum mati karena tangannya ditentukan Allah. Kesimpulan apa
yang dapat ditarik? Bahwa pembunuh di ayat 12 justru tangannya tidak ditentukan
oleh Allah. Jadi, Kel. 21:12-13, justru
membuktikan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh manusia secara sengaja (atas
kehendak sendiri), tidak ditentukan oleh Allah. Ayat ini tidak mendukung premis
Kalvinis, sebaliknya membuktikan bahwa Allah tidak menentukan hal-hal yang
manusia lakukan dengan sengaja!’.
Lucu sekali kesimpulannya. Tadi di atas Liauw menuduh
Calvinist mengambil kesimpulan terlalu cepat, tetapi ternyata di sini ia yang
bukan hanya mengambil kesimpulan yang terlalu cepat tetapi juga yang sembrono /
gegabah karena kesimpulannya bertentangan dengan Alkitab.
Kalau ay 13 yang menunjukkan pembunuhan sengaja dikatakan
ditentukan Allah, haruskah ay 12nya yang merupakan pembunuhan sengaja dianggap /
disimpulkan sebagai tidak ditentukan Allah?
Ada beberapa hal yang ingin saya berikan sebagai jawaban:
1)
Secara implicit Liauw menganggap bahwa kalau pembunuhan itu sengaja, maka
manusia melakukan dengan kehendaknya sendiri, sedangkan kalau tidak sengaja,
maka kehendaknya tidak terlibat. Tetapi di atas sudah saya tunjukkan bahwa dalam
hal tidak sengaja itu tetap ada kehendak yang terlibat, biarpun bukan kehendak untuk
membunuh.
2)
Saya sodorkan kemungkinan menyimpulkan yang berbeda. Kalau dalam ay 13
saja, dimana terjadinya pembunuhan itu sepertinya ‘kebetulan’, ada penentuan
Allah, apalagi dalam ay 12, dimana terjadinya pembunuhan bukan
‘kebetulan’. Mengapa untuk hal yang ‘kebetulan’ harus ditekankan
penentuan Allahnya? Karena merupakan pandangan umum bahwa hal yang
‘kebetulan’ itu tidak ditentukan.
3)
Liauw mengatakan bahwa pembunuhan yang sengaja tidak ditentukan oleh
Allah. Ini saya katakan ceroboh, karena:
a)
Pembunuhan terhadap Yesus, yang jelas-jelas sengaja, secara explicit
dikatakan oleh Alkitab sebagai ditentukan oleh Allah.
Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul
di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan
suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi,
(28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula
oleh kuasa dan kehendakMu”.
Kis 2:23 - “Dia
yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan
dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
b)
Pembunuhan terhadap orang-orang Kristen juga ditentukan oleh Allah.
Wah 6:11
- “Dan
kepada mereka masing-masing diberikan sehelai jubah putih, dan kepada mereka
dikatakan, bahwa mereka harus beristirahat sedikit waktu lagi hingga genap
jumlah kawan-kawan pelayan dan saudara-saudara mereka, yang akan dibunuh sama
seperti mereka”.
Perhatikan kata ‘genap’. Ini menunjukkan bahwa Tuhan
menentukan jumlah orang Kristen yang mati dibunuh, dan sebelum jumlah itu
tergenapi / tercapai, maka terus saja orang Kristen dibunuhi! Apakah ini bukan
pembunuhan sengaja, Tentu ya, tetapi ini ditentukan oleh Allah!
Barnes’
Notes (tentang Wah 6:11):
“‘Should be fulfilled.’ That
is, until these persecutions were passed through, and the number of the martyrs
was complete. The state of things represented here would seem to be, that there
was then a persecution raging on the earth. Many had been put to death, and
their souls had fled to heaven, where they pleaded that their cause might be
vindicated, and that their oppressors and persecutors might be punished. To this
the answer was, that they were now safe and happy - that God approved their
course, and that in token of his approbation they should be clothed in white
raiment; but that the invoked vindication could not at once occur. There
were others who would yet be called to suffer as they had done, and they must
wait until all that number was completed. Then, it is implied, God would
interpose, and vindicate his name”.
Matthew
Henry (tentang Wah 6:11):
“Observe, [1.] There is a number
of Christians, known to God, who are appointed as sheep for the slaughter, set
apart to be God's witnesses. [2.] As the measure of the sin of persecutors is
filling up, so is the number of the persecuted martyred servants of Christ. [3.]
When this number is fulfilled, God will take a just and glorious revenge upon
their cruel persecutors; he will recompense tribulation to those who trouble
them, and to those that are troubled full and uninterrupted rest”.
c) Penghancuran
(jelas mencakup pembunuhan sengaja) terhadap Yehuda juga ditentukan oleh Allah.
Yes 28:22b - “sebab
kudengar tentang kebinasaan yang sudah pasti yang datang dari Tuhan ALLAH
semesta alam atas seluruh negeri itu”.
NIV: ‘The Lord, the LORD Almighty, has told me of the destruction decreed
against the whole land’
(= Tuhan, TUHAN yang mahakuasa, telah memberitahu aku tentang kehancuran yang telah
ditetapkan terhadap seluruh negeri itu).
Ini jelas menunjukkan bahwa kehancuran yang oleh Tuhan diberitahukan
kepada Yesaya, dan lalu dinubuatkan oleh Yesaya, merupakan ketetapan Allah (decree
of God).
2. Daniel 11:36 “Raja itu akan berbuat sekehendak hati; ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya terhadap setiap allah. Juga terhadap Allah yang mengatasi segala allah ia akan mengucapkan kata-kata yang tak senonoh sama sekali, dan ia akan beruntung sampai akhir murka itu; sebab apa yang telah ditetapkan akan terjadi.” Ada Kalvinis yang ingin memakai ayat ini untuk membuktikan bahwa Allah menetapkan dosa. Raja dalam Daniel 11:36 ini (antikristus), jelas melakukan dosa. Kalvinis lalu mengambil frase “apa yang telah ditetapkan akan terjadi,” untuk membuktikan bahwa dosa itu telah Allah tetapkan.
Jawab: Kalvinis melihat ayat ini dari kacamata bias doktrinnya sendiri. Padahal, jika dibaca secara normal, justru ayat ini mengajarkan bahwa perbuatan si raja jahat ini tidak ditentukan. Bagian awal ayat ini berkata, “raja itu akan berbuat sekehendak hati.” Apakah ini kurang jelas? Perbuatannya berasal dari kehendak dia sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Lalu apakah yang telah ditetapkan itu? Walaupun kehendak jahat raja itu berasal dari dirinya sendiri, dia tentu tidak akan berhasil kalau Allah tidak mengizinkan. Allah menetapkan bahwa kehendak jahat raja ini bisa dia laksanakan, salah satu caranya adalah dengan memberikan hidup yang cukup panjang kepada dia. Itulah sebabnya dikatakan bahwa “ia akan beruntung sampai akhir murka itu.” Tetapi, sampai titik tertentu, Allah tidak lagi mengizinkan maksud jahatnya untuk berhasil, dan saat itulah dia akan mati. Jadi, Allah sama sekali tidak menetapkan kejahatan yang ia perbuat. Allah mengontrol, sampai seberapa jauh kejahatannya dapat berlangsung.
Tanggapan
saya:
1)
Memang sukar untuk membuat orang bodoh mengerti. Anda mengatakan raja itu
berbuat ‘sekehendak hati’. Siapa yang tidak setuju? Kami Calvinist percaya
bahwa pada saat seseorang melakukan apa yang ditentukan Allah, ia tetap
melakukan hal itu sesuai dengan kehendaknya sendiri! Apakah ini kurang jelas?
2)
Anda membengkokkan kata-kata Alkitab, Liauw. Ayat itu mengatakan
‘ditetapkan’, tetapi anda ganti menjadi ‘mengizinkan’! (perhatikan
kata-kata yang saya beri garis bawah tunggal dalam kutipan di atas).
3) Kalaupun
Allah mengijinkan, perlu dipertanyakan: mengapa Ia mengijinkan, kalau itu bukan
kehendakNya?
R. C. Sproul:
“That
God in some sense foreordains whatever comes to pass is a necessary result of
his sovereignty. ... everything that happens must at least happen by his
permission. If he permits something, then he must decide to allow it. If He
decides to allow something, then is a sense he is foreordaining it” (= Bahwa Allah dalam arti tertentu menentukan apapun yang akan
terjadi merupakan akibat yang harus ada dari kedaulatanNya. ... segala sesuatu
yang terjadi setidaknya harus terjadi karena ijinNya. Jika Ia mengijinkan
sesuatu, maka Ia pasti memutuskan untuk mengijinkannya. Jika Ia memutuskan untuk
mengijinkan sesuatu, maka dalam arti tertentu Ia menentukannya) - ‘Chosen By God’,
hal 26.
4)
Pada bagian akhir kutipan kata-kata anda di atas anda berkata sebagai
berikut: ‘Lalu
apakah yang telah ditetapkan itu? Walaupun kehendak jahat raja itu berasal dari
dirinya sendiri, dia tentu tidak akan berhasil kalau Allah tidak mengizinkan.
Allah menetapkan bahwa kehendak jahat raja ini bisa dia laksanakan, salah satu
caranya adalah dengan memberikan hidup yang cukup panjang kepada dia. Itulah
sebabnya dikatakan bahwa “ia akan beruntung sampai akhir murka itu.” Tetapi,
sampai titik tertentu, Allah tidak lagi mengizinkan maksud jahatnya untuk
berhasil, dan saat itulah dia akan mati. Jadi, Allah sama sekali tidak
menetapkan kejahatan yang ia perbuat. Allah mengontrol, sampai seberapa jauh
kejahatannya dapat berlangsung’.
Tidakkah anda melihat kelucuan di sini? Anda memulai bagian
ini dengan menanyakan ‘Lalu apakah yang telah ditetapkan itu?’,
tetapi lalu melnjutkan sampai akhir tanpa sedikitpun menjawab pertanyaan itu,
sebaliknya anda membicarakan soal izin Allah!
Mengapa tidak menjawab pertanyaan anda sendiri, Liauw?
Matthew
Henry (tentang Daniel 11:36):
“He
grew very proud, insolent, and profane, and, being puffed up with his conquests,
bade defiance to Heaven, and trampled upon every thing that was sacred, v. 36,
&c. And here some think begins a prophecy of the antichrist, the papal
kingdom. It is plain that St. Paul, in his prophecy of the rise and reign of the
man of sin, alludes to this (2 Thess 2:4), which shows that Antiochus was a type
and figure of that enemy, as Babylon also was; but, this being joined in a
continued discourse with the foregoing prophecies concerning Antiochus, to me it
seems probably that it principally refers to him, and in him had its primary
accomplishment, and has reference to the other only by way of accommodation.
(1.) He shall impiously dishonour the God of Israel, the only living and true
God, called here the God of gods. He shall, in defiance of him and his
authority, do according to his will against his people and his holy religion; he
shall exalt himself above him, as Sennacherib did, and shall speak
marvellous things against him and against his laws and institutions. This was
fulfilled when Antiochus forbade sacrifices to be offered in God’s temple, and
ordered the sabbaths to be profaned, the sanctuary and the holy people to be
polluted, &c., to the end that they might forget the law and change all
the ordinances, and this upon pain of death, 1 Macc 1:45. (2.) He shall
proudly put contempt upon all other gods, shall magnify himself above every god,
even the gods of the nations. Antiochus wrote to his own kingdom that every one
should leave the gods he had worshipped, and worship such as he ordered,
contrary to the practice of all the conquerors that went before him, 1 Macc
1:41,42. And all the heathen agreed according to the commandment of the
king; fond as they were of their gods, they did not think them worth suffering
for, but, their gods being idols, it was all alike to them what gods they
worshipped. Antiochus did not regard any god, but magnified himself above all,
v. 37. He was so proud that he thought himself above the condition of a
mortal man, that he could command the waves of the sea, and reach to the stars
of heaven, as his insolence and haughtiness are expressed, 2 Macc 9:8,10. Thus
he carried all before him, till the indignation was accomplished (v. 36), till
he had run his length, and filled up the measure of his iniquity; for that which
is determined shall be done, and nothing more, nothing short”.
Bagian yang saya beri garis bawah tunggal menunjukkan
dosa-dosa raja itu, dan bagian yang saya beri garis bawah ganda menunjukkan
bahwa Matthew Henry menganggap semua dosa-dosa itu harus digenapi, tidak bisa
lebih, tidak bisa kurang!
Barnes’
Notes (tentang Daniel 11:36):
“‘And
shall prosper until the indignation be accomplished.’ Referring still to the
fact that there was an appointed time during which this was to continue.
That time might well be called a time of ‘indignation,’ for the Lord
seemed to be angry against his temple and people, and suffered this pagan king
to pour out his wrath without measure against the temple, the city, and the
whole land. ‘For that that is determined shall be done.’ What is
purposed in regard to the city and temple, and to all other things, must be
accomplished. Compare Dan 10:21. The angel here states a general truth - that
all that God has ordained will come to pass. The application of this truth
here is, that the series of events must be suffered to run on, and that it
could not be expected that they would be arrested until all that had been
determined in the Divine mind should be effected. They who would suffer,
therefore, in those times must wait with patience until the Divine purposes
should be brought about, and when the period should arrive, the calamities would
cease”.
Jelas
bahwa Albert Barnes berpendapat bahwa apa yang telah ditetapkan itu adalah
hal-hal buruk / jahat / dosa yang akan diperbuat raja itu.
Kata-kata
‘ia akan
beruntung sampai akhir murka itu’
tidak menjadi masalah. Allah membiarkannya hidup supaya ia bisa melakukan
dosa-dosa yang telah ditetapkan itu!
3.
Kisah Para Rasul 4:27-28 “Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini
Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel
melawan Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala
sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu.”
Ini adalah perwakilan dari beberapa ayat lain, tentang kematian dan penyaliban
Yesus, yang Kalvinis pakai. Argumen mereka cukup jelas, yaitu bahwa penyaliban
Yesus telah Allah tentukan. Ini, bagi Kalvinis, membuktikan bahwa Allah
menetapkan terjadinya dosa.
Jawab: Sekali lagi, Kalvinis membaca ayat ini dengan presuposisi doktrin mereka.
Oleh karena itu mereka mendapatkan Allah menetapkan dosa di sini. Padahal Allah
yang mahakudus benci kepada dosa, masakan merencanakan dan mengharuskan dosa?
Kalau ayat ini dibaca dengan netral, sama sekali tidak mengajarkan Kalvinisme.
Ayat ini berbunyi: “telah berkumpul….bangsa-bangsa….. untuk melaksanakan
segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula.” Ayat ini TIDAK
berbunyi: “Engkau menentukan mereka untuk menyalibkan Yesus (melakukan
dosa).” Ada perbedaan antara dua kalimat tersebut.
Tanggapan
saya:
Kis
4:27-28 - “Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes
dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan
Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala
sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan
kehendak-Mu.”
Anda
hanya menganbil bagian-bagian yang saya beri garis bawah tunggal. Lalu anda
mengatakan ‘Ayat ini TIDAK berbunyi: “Engkau menentukan mereka untuk
menyalibkan Yesus (melakukan dosa).’.
Lucu
sekali. Mengapa bagian yang saya beri garis bawah ganda tidak anda ambil? Mereka
berkumpul untuk melawan Yesus! Jadi, semua tindakan orang-orang itu,
yaitu menangkapNya, mengadiliNya, memfitnahNya, memaki-makiNya, mencambukiNya,
menyalibkannya dsb, tercakup dalam kata-kata ‘melawan Yesus’! Dan semua itu,
yang jelas-jelas adalah dosa, mereka laksanakan sesuai dengan apa yang ‘Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu’!
Jangan
memutar-balikkan ayat Alkitab, Liauw! Anda main-main dari Firman Tuhan, dan itu
berarti anda main-main dengan Tuhan sendiri!
Anda
selalu menuduh kami menafsirkan dengan bias Calvinist, padahal di sini
jelas-jelas anda menafsir (atau ‘memperkosa’) ayat Alkitab dengan bias
Arminian!
Kehendak untuk menyalibkan Yesus berasal dari manusia itu sendiri, tidak pernah ditetapkan oleh Allah. Mereka punya pilihan untuk menerima Yesus, tetapi mereka memilih untuk menyalibkanNya. Allah yang mahatahu, memasukkan kehendak manusia-manusia jahat ini dalam rencana penyelamatanNya, sehingga Ia menentukan bahwa Yesus memang akan mereka salibkan. Jadi, Allah tidak menetapkan mereka harus menyalibkan Yesus. Allah tahu mereka mau menyalibkanNya (dari kehendak mereka sendiri), dan Allah memutuskan, dalam kuasa dan kehendakNya, agar kemauan mereka tercapai, dan Yesus disalibkan.
Tanggapan
saya:
Kis
4:27-28 - “Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan
Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus,
Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah
Engkau tentukan dari semula
oleh kuasa dan kehendak-Mu.”
Anda
tidak membaca kata-kata yang saya garis-bawahi itu? ‘Telah’, dan ‘Dari
semula’, Liauw! Allah telah menentukan semua itu dari semula! Orang-orang
brengsek itu belum lahir, dan belum memilih, menghendaki atau melakukan yang
baik atau yang jahat, dan Allah sudah menentukan (dalam kekekalan). Baru dalam
waktu / sejarah, orang-orang itu melakukan apa yang telah Allah tentukan dari
semula.
Kelihatannya
anda membaca ayat ini seolah-olah bunyinya adalah ‘Allah menentukan segala
sesuatu yang akan mereka lakukan’, padahal itu terbalik!
Lagi-lagi
apa yang anda ajarkan menunjukkan bahwa Allahnya yang tergantung manusia dan
bukannya sebaliknya. Ini tolol dan merupakan penghujatan! Saya berpendapat,
Liauw, kalau semua memang tergantung kehendak manusia yang berdosa, maka yang
terjadi pada saat itu adalah: bukan hanya Herodes, Pontius Pilatus, orang-orang
Romawi dsb yang menyalibkan Yesus, tetapi semua muridNya juga akan ikut!
Mengapa? Karena semua adalah orang-orang berdosa, yang kalau bukan karena kasih
karunia dan pekerjaan Allah, bukan saja tidak akan percaya kepada Yesus, tetapi
sebaliknya akan memusuhi dan menyalibkanNya! Pemilihan Allah terhadap 11 murid,
dan pemberian kasih karunia kepada mereka, menyebabkan mereka percaya kepada
Yesus dan tidak ikut menyalibkanNya.
Juga,
Liauw, kalau Allah tahu apa yang akan mereka kehendaki dan lakukan, maka apa
yang Allah tahu itu pasti terjadi, bukan? Lalu, apa gunanya direncanakan /
ditentukan / ditetapkan?
Sebuah ilustrasi dapat membantu memberikan contoh dalam kehidupan nyata. Kepolisian Jakarta telah lama berusaha membongkar jaringan perampok toko emas. Suatu ketika, mereka mendapatkan info akurat (foreknowledge), bahwa para perampok akan beraksi di toko tertentu. Karena ingin menangkap para penjahat secara basah, para polisi memutuskan untuk tidak menghalangi niat para perampok, melainkan memasang jebakan. Akhirnya para perampok beraksi, dan di tengah perampokan mereka, mereka ditangkap oleh polisi. Tindakan perampokan itu berasal dari kehendak para perampok, sama sekali tidak ditentukan atau ditetapkan oleh para polisi. Para polisi pun punya kemampuan untuk membatalkan perampokan, misalnya dengan menempatkan banyak penjaga ekstra di toko itu. Namun, untuk tujuan tertentu (menangkap basah para perampok), para polisi sengaja membiarkan para perampok untuk melakukan kejahatan mereka. Bisa dikatakan, bahwa tindakan para perampok persis sesuai dengan rencana para polisi, dan bahwa para perampok melakukan apa yang polisi rancangkan/tetapkan. Tetapi, jelas bukan polisi yang menetapkan mereka untuk merampok. Demikianlah, Allah mempergunakan kejahatan manusia, untuk tujuanNya sendiri. Pembaca silakan melihat lagi bagian pembahasan bagaimana Allah mengendalikan sejarah tanpa menentukan tindakan manusia.
Tanggapan
saya:
1) Tak ada gunanya
memberi ilustrasi, kalau hal yang didapatkan dari ayatnya sudah salah sama
sekali!
2)
Text Kis 4:27-28 sama sekali tidak bicara tentang foreknowledge (pra
pengetahuan), lalu dari mana anda tahu-tahu bicara tentang hal itu?
3)
Kalau polisi menerima info, itu tidak bisa disebut pra pengetahuan. Allah
mempunyai pra pengetahuan bukan karena Ia menerima info. Pengetahuan Allah sama
sekali tidak berasal dari luar diriNya, bukan karena belajar, menyelidiki,
ataupun menerima info!
4)
Bagaimana di bagian atas anda bisa mengatakan ‘Tindakan perampokan itu berasal dari kehendak para perampok, sama sekali
tidak ditentukan atau ditetapkan oleh para polisi’ (yang saya beri garis bawah tunggal), dan lalu di bagian bawah anda
mengatakan ‘Bisa dikatakan, bahwa tindakan para perampok persis sesuai
dengan rencana para polisi, dan bahwa para perampok melakukan apa yang polisi
rancangkan/tetapkan’ (yang saya beri garis bawah
ganda)?
Kalau menurut kata-kata yang diatas, tidak perampokan tidak
ditetapkan polisi (jadi bukan rencana polisi), tetapi kalau menurut kata-kata
yang di bawah tindakan para perampok persis sesuai dengan rencana para polisi.
Tidak melihat kalau 2 kalimat ini kontradiksi, Liauw?
5)
Adalah omong kosong bahwa semua tindakan perampok itu diketahui lebih
dulu dan / atau ditentukan oleh polisi! Pada waktu menyerbu, polisi tidak tahu
dan tidak menentukan perampoknya mau menyerah, mengambil sandera, atau lari, dan
kalau lari ke arah mana. Ini anda jadikan ilustrasi untuk Allah yang
merencanakan / menentukan segala sesuatu dan mengatur segala sesuatu?
Betul-betul bodoh!
4.
Matius 10:29-30 “Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun
dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut
kepalamupun terhitung semuanya.” Menurut Kalvinis, ayat ini mendukung konsep
bahwa Allah menentukan segala sesuatu.
Jawab: Dalam pembahasan sebelumnya, sudah dijelaskan, bahwa non-Kalvinis percaya
Allah menentukan banyak sekali hal. Tetapi ini berbeda dengan menentukan segala
hal. Banyak ayat yang Kalvinis kutip hanya menyatakan bahwa Allah menetapkan hal
ini dan hal itu, tetapi tidak ada satupun yang menyatakan bahwa Allah menetapkan
segala sesuatu.
Bahwa jumlah rambut di kepala kita diketahui oleh Tuhan, sama sekali tidak membuktikan bahwa Allah menetapkan segala tindakan kita. Diperlukan lompatan logika yang luar biasa untuk bisa menyimpulkan hal seperti itu dari ayat ini. Hidup matinya pipit berada di tangan Tuhan. Saya sungguh mengaminkan hal ini! Jangankan pipit, hidup matinya manusia pun ada di tangan Tuhan. Tetapi ini sama sekali tidak membuktikan bahwa Allah menentukan segala pikiran, tindakan, dan keputusan manusia.
Tanggapan
saya:
Anda
lagi-lagi memfitnah! Anda membelokkan argumentasi saya. Seperti sudah saya
jelaskan di atas (dalam penjelasan saya tentang Kel 21:13), bagian ini bukan
saya berikan untuk menunjukkan bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Tetapi
saya gunakan untuk menunjukkan bahwa Allah menentukan hal-hal yang remeh / tak
berarti. Baru lanjutannya: kalau hal tak berarti saja ditentukan, masakan hal
penting, seperti kejatuhan Adam dsb tidak ditentukan?
Sama
seperti dalam penjelasan saya tentang Kel 21:13 di atas, di sini saya juga
menjawab bahwa burung pipit dan rambut yang tak punya kehendak, berhubungan
dengan manusia yang punya kehendak.
Bagaimana
kalau ada orang mau menembak burung pipit yang oleh Allah ditentukan untuk tidak
mati (belum waktunya mati)? Memang Ia bisa saja membuat tembakannya luput,
tetapi Ia bisa saja lalu bekerja supaya orang itu lalu merasa kasihan, dan lalu
batal menembak. Atau tahu-tahu ada temannya datang dan mengajaknya pergi. Tetapi
Allah tentu tidak akan membuat orang itu merasa kasihan, kecuali Ia sudah
menentukan hal itu lebih dulu.]
Kalau
burung pipit bisa berhubungan dengan manusia yang punya kehendak bebas, apalagi
rambut. Kalau rambut anda ditentukan untuk tidak jatuh ke tanah, bagaimana kalau
tahu-tahu anda kepingin potong rambut? Allah bisa saja membuat anda malas potong
rambut. Tetapi Allah tidak akan melakukan hal itu, kecuali Ia sudah
menentukannya lebih dulu.
Jadi,
benda-benda yang tak punya kehendak bebas berhubungan erat dengan manusia yang
punya kehendak bebas! Kalau yang satu ditentukan, sukar terbayangkan bahwa yang
lain tidak ditentukan!
5. Yeremia 4:28 “Karena hal ini bumi akan berkabung, dan langit di atas akan menjadi gelap, sebab Aku telah mengatakannya, Aku telah merancangnya, Aku tidak akan menyesalinya dan tidak akan mundur dari pada itu.” Saya akan mengutip argumen Asali dari ayat ini:
Ayat ini baru mengatakan ‘Aku telah mengatakannya’ dan lalu langsung menyambungnya dengan ‘Aku telah merancangnya’. Ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan mengatakan sesuatu kepada nabi-nabi (yang lalu dinubuatkan oleh para nabi itu), karena Tuhan telah merancang / merencanakannya.
Jadi,
Asali mengatakan bahwa ayat ini membukti pengetahuan Tuhan berasal dari
penentuanNya. Asali juga menyatakan bahwa jika Tuhan bernubuat tentang sesuatu
hal, berarti hal itu sudah Ia tentukan lebih dahulu.
Jawab: Ayat ini sama sekali tidak membuktikan bahwa semua pengetahuan Tuhan
berasal dari penentuanNya. Kalau seorang dosen berkata, “Seluruh kelas akan
berkabung karena ujian yang akan saya berikan, sebab aku telah mengatakannya,
aku telah merancangnya, aku tidak akan menyesalinya dan tidak akan mundur dari
pada itu.” Apakah ini membuktikan bahwa semua pengetahuan dosen itu berasal
dari penentuannya? Tentu tidak!
Tanggapan
saya:
Hehehe,
kelihatannya saking bingungnya bagaimana menjawab argumentasi saya, anda jadi
kelihatan seperti orang gila atau idiot! Saya sampai ketawa terpingkal-pingkal
membaca kata-kata dosen gila tersebut. Tentu saja kelasnya akan berkabung,
karena dosennya edan! Apakah dosen itu anda sendiri, Liauw?
Jangan
paksakan ilustrasi yang begitu tidak cocok dan tidak masuk akal untuk menjawab
suatu argumentasi yang memang benar, Liauw!
Disamping,
kalau dosen itu mengatakan ujian dan para mahasiswa akan berkabung, memang
mungkin itu terjadi karena dosen gila itu sudah terlebih dulu merancang ujian
yang terlalu sukar bagi para mahasiswanya. Jadi apa yang ia nyatakan, muncul
dari apa yang ia tetapkan / rencanakan!
Tentu ada banyak hal yang Allah tentukan, dan Allah tahu akan hal-hal itu. Ada banyak nubuat yang memang berasal dari ketentuan Tuhan. Tetapi tidak kurang juga nubuat yang tidak berasal dari ketentuan Tuhan, melainkan Tuhan memberitahu apa yang akan dilakukan oleh manusia. Contohnya, dalam 1 Samuel 23:12, Allah menubuatkan apa yang akan orang-orang Kehila lakukan jika Daud tinggal di Kehila. Pada kenyataannya, Daud tidak tinggal di Kehila, jadi itu bukanlah penentuan Tuhan. Nubuat (pengetahuan) ini bukanlah sesuatu yang Allah tentukan dulu!
Tanggapan
saya:
Ini
sudah saya jelaskan di depan, jadi saya jawab singkat saja di sini.
Dalam
hal ini Allah menetapkan bahwa Daud tidak tinggal di Kehila. Jadi, bukannya
tidak ada penetapan. Ada penetapan bahwa Daud tidak tinggal di Kehila! Dan
adanya penetapan itu kelihatannya menunjukkan bahwa sebelum perencanaan Tuhan
sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan kalau Daud tinggal, atau kalau Daud
meninggalkan Kehila. Karena itu Ia tahu hal-hal itu.
Atau
bisa juga dijawab seperti penjelasan Calvin berkenaan dengan Mat 11:20-24, yaitu
di sini Tuhan hanya berbicara secara logis, bukan berdasarkan rencana /
keputusanNya.
6. Efesus 1:11 “Aku katakan “di dalam Kristus”, karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya.” Bahwa Allah di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya, diartikan oleh Kalvinis untuk mendukung premis mereka bahwa Allah menentukan segala sesuatu.
Jawab: Ayat ini sama sekali tidak mengatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Jikalau dikatakan bahwa “Allah bekerja di dalam segala sesuatu,” maka non-Kalvinis sama sekali tidak akan protes, karena itulah bunyi ayat ini. Allah memang bekerja dalam segala sesuatu. Segala tindakan dan keputusan manusia, haruslah melalui izin Allah, apakah dapat tercapai atau tidak. Seperti sudah diilustrasikan, seseorang bisa saja berniat untuk membunuh. Maksud pembunuhan tersebut tidak Allah tetapkan melainkan keluar dari hati orang yang jahat itu. Tetapi, Allah bekerja dalam segala sesuatu. Allah bisa menggagalkan niat pembunuhan itu, atau Allah bisa membiarkan niat pembunuhan itu untuk melaksanakan rencanyaNya. Allah bekerja dalam segala sesuatu menurut keputusan kehendakNya! Ayat ini sama sekali tidak harus mendukung bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu.
Tanggapan
saya:
Coba
baca lagi ayatnya, Liauw! Anda memang kelihatannya senang kalau orang hanya
melihat ayatnya sepintas lalu, karena kalau demikian, anda bisa lari /
menghindar dari argumentasi saya.
Tetapi
saya justru ingin ayatnya diperhatikan baik-baik. Karena itu saya kutip ulang
untuk diperhatikan dengan seksama.
Ef
1:11 - “Aku katakan ‘di dalam Kristus’, karena di dalam Dialah kami
mendapat bagian yang dijanjikan kami yang dari semula ditentukan untuk menerima
bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang
di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya.”
Bagian
awal ayat itu (yang saya beri garis bawah tunggal) jelas bicara tentang
predestinasi (seperti Ef 1:4-5). Jadi, kami mendapat bagian itu karena dari
semula kami ditentukan untuk menerima bagian itu (ay 11a). Dan ini sesuai dengan
maksud Allah (ay 11b). Lalu untuk menjelaskan tentang ‘Allah’
di akhir ay 11b itu, Paulus melanjutkan dengan kata-kata ‘yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya’
(ay 11c).
Jadi,
karena Allah dalam segala sesuatu bekerja menurut ketetapanNya, maka
predestinasi itu bisa terjadi.
Kalau
‘segala sesuatu’ itu tidak berhubungan dengan tindakan bebas manusia /
kehendak bebas manusia, apakah itu bisa disebut ‘segala sesuatu’?
Calvin:
“‘Who worketh all
things.’ The circumlocution employed
in describing the Supreme Being deserves attention. He speaks of Him as the sole
agent, and as doing everything according to His own will, so as to leave
nothing to be done by man. In no respect, therefore, are men admitted to
share in this praise, as if they brought anything of their own. God looks at
nothing out of himself to move him to elect them, for ‘the counsel of his own will’ is the only and actual cause of
their election. This may enable us to refute the error, or rather the
madness, of those who, whenever they are unable to discover the reason of
God’s works, exclaim loudly against his design”
(= ).
Pesan untuk para
pembaca perdebatan ini: bacalah tulisan saya yang berjudul ‘Providence of
God’, maka saudara akan melihat berapa banyak bagian dan ayat-ayat dari
tulisan saya yang diloncati begitu saja oleh Steven Liauw! Mengapa? Jelas
karena ia tidak bisa menjawabnya! Dan bagian-bagian / ayat-ayat yang ia jawab,
banyak juga ia selewengkan, sehingga pada hakekatnya, tidak ia jawab!
-o0o-
(Rungkut Megah Raya, blok D no 16)
Minggu, tgl 29 Juli 2012, pk 17.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
(HP: 7064-1331 / 6050-1331)
http://www.golgothaministry.org
Kitab kehidupan(3)
Maz 69:29 - “Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan, janganlah mereka tercatat bersama-sama dengan orang-orang yang benar!”.
Kel 32:31-33 - “Lalu kembalilah Musa menghadap TUHAN dan berkata: ‘Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. (32) Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu - dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.’ (33) Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Siapa yang berdosa kepadaKu, nama orang itulah yang akan Kuhapuskan dari dalam kitabKu”.
Wah 22:19 - “Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini”.
KJV: ‘And if any man shall take away from the words of the book of this prophecy, God shall take away his part out of the book of life, and out of the holy city, and from the things which are written in this book’ (= Dan jika ada orang manapun mengambil sesuatu dari kata-kata dari kitab nubuat ini, Allah akan mengambil bagiannya dari kitab kehidupan, dan dari kota kudus, dan dari hal-hal yang ditulis dalam kitab ini).
RSV: ‘and if any one takes away from the words of the book of this prophecy, God will take away his share in the tree of life and in the holy city, which are described in this book’ (= dan jika siapapun mengambil sesuatu dari kata-kata kitab dari nubuat ini, Allah akan mengambil bagiannya dalam pohon kehidupan dan dalam kota kudus, yang digambarkan dalam kitab ini).
NKJV menterjemahkan seperti KJV; sedangkan NIV/NASB/ASV menterjemahkan seperti RSV.
Wah 3:5 - “Barangsiapa menang, ia akan dikenakan pakaian putih yang demikian; Aku tidak akan menghapus namanya dari kitab kehidupan, melainkan Aku akan mengaku namanya di hadapan BapaKu dan di hadapan para malaikatNya”.
Wah 13:8 - “Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya, yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih”.
Wah 17:8 - “Adapun binatang yang telah kaulihat itu, telah ada, namun tidak ada, ia akan muncul dari jurang maut, dan ia menuju kepada kebinasaan. Dan mereka yang diam di bumi, yaitu mereka yang tidak tertulis di dalam kitab kehidupan sejak dunia dijadikan, akan heran, apabila mereka melihat, bahwa binatang itu telah ada, namun tidak ada, dan akan muncul lagi”.
3) Penghapusan nama dari kitab kehidupan.
a) Ayat-ayat yang berbicara tentang penghapusan nama dari kitab kehidupan adalah: Kel 32:32-33 Maz 69:29.
1. Maz 69:29 - “Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan, janganlah mereka tercatat bersama-sama dengan orang-orang yang benar!”.
Adam Clarke (tentang Maz 69:29): “‘Let them be blotted out.’ They shall be blotted out from the land of the living. They shall be cut off from life, which they have forfeited by their cruelty and oppression. The psalmist is speaking of retributive justice; and in this sense all these passages are to be understood. ‘And not be written with the righteous.’ They shall have no title to that long life which God has promised to his followers” (= ).
Adam Clarke (tentang Wah 20:15): “‘Written in the book of life.’ Only those who had continued faithful unto death were taken to heaven. All whose names were not found in the public registers, who either were not citizens, or whose names had been erased from those registers because of crimes against the state, could claim none of those emoluments or privileges which belong to the citizens; so those who either did not belong to the new and spiritual Jerusalem, or who had forfeited their rights and privileges by sin, and had died in that state, were cast into the lake of fire. This is the way in which God, at the day of judgment, will proceed with sinners and apostates. Reader, see that thy name be written in the sacred register; and if written in, see that it never be blotted out” (= ).
Lenski (tentang Fil 4:3): “All God’s children are written in the Book of life. The Scriptures speak of blotting out of the Book of life when one ceases to be a child of God” (= ).
Pulpit Commentary (tentang Maz 69:29): “‘Let them be blotted out of the Book of the living.’ God is supposed to have a ‘book of the living’ in his possession, which contains the names of all those on whom he looks with favour, and whom he will bless both in this world and beyond the grave (comp. Ex 32:32; Ps 86:6; Ezek 13:9; Dan 12:1). From this list, as from any register of earthly citizenship, the names of the unworthy may be erased. David prays for the erasure of the names of those unworthy ones against whom his imprecations are uttered. ‘And not be written with the righteous;’ i.e. not remain written in the book side by side with the names of the righteous” [= ].
2. Kel 32:31-33 - “(31) Lalu kembalilah Musa menghadap TUHAN dan berkata: ‘Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. (32) Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu - dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.’ (33) Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Siapa yang berdosa kepadaKu, nama orang itulah yang akan Kuhapuskan dari dalam kitabKu”.
a. Musa memohonkan ampun, dan bahkan rela dihukum sebagai ganti mereka (Kel 32:31-32).
Pulpit Commentary (tentang Kel 32:33): “Beyond a doubt, it is the general teaching of Scripture that vicarious punishment will not be accepted” (= Tak diragukan, ini merupakan ajaran umum dari Kitab Suci bahwa hukuman yang dijalani untuk orang lain tidak akan diterima).
Bandingkan dengan:
· Ul 24:16 - “Janganlah ayah dihukum mati karena anaknya, janganlah juga anak dihukum mati karena ayahnya; setiap orang harus dihukum mati karena dosanya sendiri”.
· Yeh 18:20 - “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya”.
· Maz 49:8-9 - “(8) Tidak seorangpun dapat membebaskan dirinya, atau memberikan tebusan kepada Allah ganti nyawanya, (9) karena terlalu mahal harga pembebasan nyawanya, dan tidak memadai untuk selama-lamanya”.
Kitab Suci Indonesia salah terjemahan.
NIV: ‘No man can redeem the life of another or give to God a ransom for him - the ransom for a life is costly, no payment is ever enough’ (= Tak seorangpun bisa menebus nyawa orang lain atau memberi kepada Allah suatu tebusan untuknya - tebusan untuk suatu nyawa sangat mahal, tidak ada pembayaran yang bisa mencukupi).
b. Tuhan menolak permintaan Musa untuk menjadi ‘pengganti’, dan mengatakan bahwa orang yang berbuat dosalah yang namanya akan dihapuskan dari kitab kehidupan.
Adam Clarke (tentang Kel 32:33): “‘Whosoever hath sinned against me, him will I blot out.’ As if the Divine Being had said: ‘All my conduct is regulated by infinite justice and righteousness: in no case shall the innocent ever suffer for the guilty. That no man may transgress through ignorance, I have given you my law, and thus published my covenant, the people themselves have acknowledged its justice and equity, and have voluntarily ratified it. He then that sins against me (for sin is the transgression of the law, 1 John 3:4, and the law must be published and known that it may be binding), him will I blot out of my book.’ And is it not remarkable that to these conditions of the covenant God strictly adhered, so that not one soul of these transgressors ever entered into the promised rest? Here was justice. And yet, though they deserved death, they were spared! Here was mercy. Thus, as far as justice would permit, mercy extended; and as far as mercy would permit, justice proceeded. Behold, O reader, the GOODNESS and SEVERITY of GOD! MERCY saves all that JUSTICE can spare, and JUSTICE destroys all that MERCY should not save” (= ).
Pdt. Jusuf B. S.: “Nama di dalam Buku Kehidupan masih dapat dihapus! Selama kita hidup di dunia ini, masih dapat terjadi perubahan. Bukan satu kali selamat tetap selamat. Sebab itu Tuhan menyuruh kita memelihara keselamatan itu dengan hati-hati” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 63.
Pdt. Jusuf B. S.: “Dalam Kel 32:33 nama-nama orang Israel akan dihapus dari dalam Buku Kehidupan oleh sebab dosa-dosanya. Tuhan tidak akan mengancam atau menindak dengan sesuatu dusta atau omong kosong. Sebab itu penghapusan nama dari Buku Kehidupan itu ada, bisa terjadi! Musa memintakan ampun sehingga hal itu ditunda” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 64.
b) Ayat-ayat di atas ini (Kel 32:32-33 Maz 69:29) tidak boleh diartikan bahwa nama seseorang memang bisa dihapus dari kitab kehidupan, dalam arti seseorang yang sudah selamat bisa kehilangan keselamatannya.
Jelas ada pro kontra tentang penafsiran dari penghapusan nama dari kitab kehidupan. Tetapi ada beberapa alasan yang menyebabkan kita tidak boleh menafsirkan hal itu secara hurufiah, atau mengartikan bahwa orang kristen yang sejati bisa kehilangan keselamatan.
Alasannya:
1. Di atas sudah dibahas bahwa kitab kehidupan merupakan simbol dari predestinasi, dan predestinasi / rencana Allah tidak mungkin gagal (Ayub 42:2 Yes 14:24,26-27).
2. Kita tidak boleh menafsirkan Maz 69:29 dan Kel 32:32-33 itu sehingga bertentangan dengan Wah 3:5 - “Barangsiapa menang, ia akan dikenakan pakaian putih yang demikian; Aku tidak akan menghapus namanya dari kitab kehidupan, melainkan Aku akan mengaku namanya di hadapan BapaKu dan di hadapan para malaikatNya”.
Lenski (tentang Wah 3:5): “As is the case in the rest of the seven letters, ‘the conquering one’ also here receives the great promise that is made individually to him. ... It has been asked what it is that these in Sardis conquer since neither persecution, heresy, nor fanaticism are mentioned in this letter. These are not the only foes. The great foes that threaten our spiritual life directly are carelessness, indifference, sleep and sloth, failure to remember, to keep, to continue in repentance, to avoid the world’s foulness. Are not these enough for us to conquer? They creep in with stealth and are thus most dangerous. Unrecognized, they often do their damage unseen. Open, blatent hostility we easily see and brace ourselves against its assaults; but inner decay works when no defense is made. Those are heroes who fight the open foes; but no less are those heroes who conquer the insidious, intangible creeping death” (= ).
Lenski (tentang Wah 3:5): “The idea of a book that records the names of God’s people and thus of having one’s name entered in this heavenly book and also of having a name erased, goes back to Exod. 32:32, where even the erasing is mentioned. Compare Ps. 69:28; ... To have one’s name inscribed implies divine certification of a position and of corresponding rights with the Lord. To have one’s name erased (ἐξαλείφω) is to lose both, and never to have it inscribed is never to have them. ... This book contains the names of all who have the true spiritual life. It is important to note that the statement is negative: ‘I shall not erase his name.’ This leads us to think of those whose names once appeared in this book but are now erased because they are dead (v. 1). Yet this negative is really a litotes regarding the living victor: his name shall ever remain in the book. It was written there when he was first begotten of the Spirit and the Word. Written thus, it assured him also of the eternal life in heaven. This is the same life (ἡ ζωή, definite, there is no other) that he has now (John 3:15, 16) by faith; but in our present state here on earth it may die out; if it remains in us, temporal death only transfers it into glory” (= ).
Adam Clarke (Wah 3:5): “‘I will not blot out his name.’ This may be an allusion to the custom of registering the names of those who were admitted into the church in a book kept for that purpose, from which custom our baptismal registers in churches are derived. These are properly books of life, as there those who were born unto God were registered; as in the latter those who were born in that parish were enrolled. ... ‘I will confess his name.’ I will acknowledge that this person is my true disciple, and a member of my mystical body. In all this there may also be an allusion to the custom of registering citizens. Their names were entered into books, according to their condition, tribes, family, etc.; and when they were dead or had by unconstitutional acts forfeited their right of citizenship, the name was blotted out, or erased fron the registers. See the note at Ex 32:32.” (= ).
Herman Hoeksema (tentang Wah 3:5): “... the book of life. In that book, written before the foundation of the world, the names are written of those who are chosen unto everlasting life and glory. The names that are written in that book will, of course, never be blotted out. Nor does the Lord say that this is possible. He merely assures the faithful in Sardis that their names shall not be erased from the roll of God’s elect. Fact is that once upon a time also the unfaithful ones in Sardis had appeared as if they had been written in that book of life too: for their names had appeared on the roll of the church. Now, however, their apostasy and their walk in sin prove that their names had never been written in the book of life. Hence, not to be blotted out from the book of life represents the assurance that they had from all eternity been written in it and that the believers in Sardis may be confident that they shall find their names are written therein in the day of judgment” (= ... kitab kehidupan. Dalam kitab itu, tertulis sebelum dunia dijadikan, ditulis nama-nama mereka yang dipilih kepada hidup dan kemuliaan kekal. Tentu saja nama-nama yang tertulis dalam kitab itu tidak pernah dihapuskan. Tuhan tidak berkata bahwa itu mungkin terjadi. Ia hanya menjamin kepada orang-orang setia di Sardis bahwa nama-nama mereka tidak akan dihapuskan dari daftar orang-orang pilihan Allah. Faktanya adalah bahwa pada suatu saat juga orang-orang yang tidak setia di Sardis terlihat seolah-olah dituliskan dalam kitab kehidupan juga: karena nama-nama mereka terlihat dalam daftar gereja. Tetapi sekarang, kemurtadan mereka dan kehidupan mereka dalam dosa membuktikan bahwa nama mereka tidak pernah dituliskan dalam kitab kehidupan. Karena itu, ‘tidak dihapuskan dari kitab kehidupan’ menggambarkan keyakinan bahwa dari kekekalan mereka telah ditulis dalam kitab itu, dan bahwa orang-orang percaya di Sardis boleh yakin bahwa mereka akan mendapatkan nama mereka tertulis di dalamnya pada hari penghakiman) - hal 122.
Steve Gregg (tentang Wah 3:5): “This is a difficult statement to harmonize with the concept of the believer’s inevitable perseverance. There are two classic ways to remove the impression that this passage denies the doctrine of perseverance of the saints. One is to suggest that the Book of Life is not the list of the redeemed, but rather contains the names of all people living at a given time. Removal of one’s name from the book would thus signify physical death but not damnation (but cf. 20:15). A second suggestion is that the warning is merely hypothetical - meaning that no one will ever have their name removed in actuality, since it is not said that some will have their names removed, only that some will not (but cf. 21:19)” [= Ini adalah pernyataan yang sukar untuk diharmoniskan dengan konsep dari ketekunan yang pasti terjadi dari orang percaya. Ada dua cara klasik untuk menyingkirkan kesan bahwa text ini menyangkal doktrin ketekunan orang kudus. Yang pertama adalah dengan mengatakan bahwa Kitab Kehidupan bukanlah daftar orang yang ditebus, tetapi terdiri dari nama-nama semua orang yang hidup pada saat tertentu. Jadi, penghapusan nama seseorang dari kitab itu menunjukkan kematian jasmani, tetapi bukan penghukuman (tetapi bdk. 20:15). Usul kedua adalah bahwa peringatan di sini semata-mata bersifat pengandaian, yang berarti bahwa dalam kenyataannya tak seorangpun akan dihapus namanya, karena tidak dikatakan bahwa beberapa orang akan dihapus namanya, tetapi hanya bahwa beberapa tidak akan dihapus namanya (tetapi bdk. 21:19)] - hal 74.
Catatan:
a. Pandangan no 1 pasti salah karena bertentangan / tidak sesuai dengan Wah 20:15.
b. Saya kira ‘21:19’ maksudnya adalah ‘22:19’.
John Stott (‘What Christ Thinks of The Church’, hal 97,98) mengatakan bahwa kata-kata ‘tidak akan menghapus’ dalam Wah 3:5 dalam bahasa Yunaninya menggunakan ‘double negatives’ (2 x kata ‘tidak’), dan ini menunjukkan suatu penekanan bahwa Kristus tidak akan menghapus nama mereka dari kitab kehidupan.
Jadi, yang namanya dihapus dari kitab kehidupan hanyalah orang kristen KTP (inipun peninjauan dari sudut manusia); karena orang pilihan pasti menang sehingga tidak akan dihapus (Wah 3:5 bdk. Ro 8:37).
Calvin: “John says (Rev 3:5, 22:18): Whoever has sinned, I shall delete him from the book of life. If, says Georgius, you apply this to the reprobate, they never were written in the book of life; if to the elect, the counsel of God is unstable. He then concludes that there is no certain election. So babbles this monk, as if God did not always accommodate Himself to our understanding” [= Yohanes berkata (Wah 3:5, 22:18): Barangsiapa telah berdosa, Aku akan menghapusnya dari kitab kehidupan. Georgius berkata, jika engkau menerapkan ini kepada orang-orang yang ditentukan binasa, mereka tidak pernah ditulis dalam kitab kehidupan; jika ini diterapkan kepada orang-orang pilihan, maka rencana Allah tidak stabil. Lalu ia menyimpulkan bahwa tidak ada pemilihan tertentu. Demikianlah rahib / biarawan ini mengoceh, seakan-akan Allah tidak selalu menyesuaikan diriNya sendiri dengan pengertian kita] - ‘Concerning The Eternal Predestination Of God’, chapter IX, no 5 / hal 151.
Catatan:
a. Kata-kata yang saya garisbawahi itu dalam versi bahasa Inggris ditulis di footnote, yang ditambahkan dari versi bahasa Perancisnya.
b. Wah 22:18 mungkin lebih tepat kalau diganti Wah 22:19.
Wah 22:19 - “Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini”.
KJV: ‘And if any man shall take away from the words of the book of this prophecy, God shall take away his part out of the book of life, and out of the holy city, and from the things which are written in this book’ (= ).
RSV: ‘and if any one takes away from the words of the book of this prophecy, God will take away his share in the tree of life and in the holy city, which are described in this book’ (= ).
Hanya NKJV yang menterjemahkan seperti KJV, sedangkan NIV/NASB/ASV menterjemahkan seperti RSV.
Barnes’ Notes (tentang Wah 22:19): “‘God shall take away his part out of the book of life.’ Perhaps there is here an intimation that this would be most likely to be done by those who professed to be Christians, and who supposed that their names were in the book of life. In fact, most of the corruptions of the sacred Scriptures have been attempted by those who have professed some form of Christianity. Infidels have but little interest in attempting such changes, and but little influence to make them received by the church. It is most convenient to them, as it is most agreeable to their feelings, to reject the Bible altogether. When it said here that ‘God would take away his part of the book of life,’ the meaning is not that his name had been written in that book, but that he would take away the part which he might have had, or which he professed to have in that book. Such corruptions of the Divine oracles would show that they had no true religion, and would be excluded from heaven” (= ) - hal 1729.
Lenski (tentang Wah 22:19): “He testifies that God will add the very plagues that are written in this book to him who adds to the things (αὐτά) constituting this book. Likewise, that God will take away anyone’s part in the life and in the Holy City, anyone’s part in the blessed things written in this book (τῶν γεγραμμένων is dependent on τὸ μέρος αὐτοῦ), from anyone who takes away from the words of this book. The consequences following upon either act are the same. They are expressed in terms of exact justice: he who takes away - God shall take away; he who adds - God shall add. A just God cannot do otherwise. Note that ἀφελῶ is the future of ἀπαιρέω (R. 356); also that οί λόγοι does not mean mere vocables (Woerter) as found in a dictionary but ‘words’ as thought-bearers (Worte), statements. He cannot keep the words of this book (v. 7, 9) who ruins them by injecting other things or casts some of the words aside” (= ).
Jadi, menurut Calvin, Allah berbicara tentang penghapusan nama dari kitab kehidupan hanya karena Ia menyesuaikan diriNya dengan pengertian kita. Memang dari sudut pandang kita, kalau seseorang masuk ke gereja dan mengaku percaya kepada Kristus, maka ia diselamatkan, dan namanya tercantum dalam kitab kehidupan. Kalau orang itu murtad, maka ia tidak selamat, dan namanya dihapus dari kitab kehidupan.
Dari semua penafsiran tentang penghapusan nama dari kitab kehidupan ini, saya paling setuju dengan penafsiran Calvin.
Tetapi orang Arminian akan berkata: ‘Itu janji bagi orang kristen yang menang. Tetapi orang kristen yang kalah, namanya akan dihapuskan dari kitab kehidupan’.
Pdt. Jusuf B. S.: “Juga di sini (dalam Wah 3:5) Tuhan menjanjikan pada orang yang menang bahwa namanya akan jadi permanen di dalam Buku Kehidupan, sebab mereka menang. Tetapi orang-orang yang selalu jatuh bangun dalam dosa itu dalam bahaya. Kalau mereka terus menuruti daging dan hidup dalam dosa sampai mati, maka namanya yang sudah tertulis di dalam Buku Kehidupan akan terhapus dari dalamnya dan itu berarti tidak masuk dalam Kerajaan Surga” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 65.
Saya menjawab argumentasi ini dengan 2 pertanyaan:
1. Orang kristen mana yang tidak jatuh bangun dalam dosa? Jatuh bangun dalam dosa itu pasti terjadi pada diri orang kristen manapun, termasuk Paulus (Ro 7:15-19 bdk. 1Yoh 1:10). Ini berbeda dengan ‘terus menuruti daging dan hidup dalam dosa sampai mati’ yang jelas menunjukkan bahwa orangnya adalah orang kristen KTP.
2. Apakah orang kristen yang sejati bisa kalah? Jelas tidak mungkin. Bandingkan dengan:
a. Ro 8:35-37 - “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: ‘Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.’ Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita”.
Ini masih ditambahi lagi dengan Ro 8:38-39 yang menjamin bahwa tidak ada apapun yang bisa memisahkan kita (orang kristen) dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
b. Wah 17:14 - “Mereka akan berperang melawan Anak Domba. Tetapi Anak Domba akan mengalahkan mereka, karena Ia adalah Tuan di atas segala tuan dan Raja di atas segala raja. Mereka bersama-sama dengan Dia juga akan menang, yaitu mereka yang terpanggil, yang telah dipilih dan yang setia.’”.
Catatan: kata-kata ‘juga akan menang’ (yang saya cetak miring) sebetulnya tidak ada, tetapi secara implicit itu ada.
c. 1Kor 15:57 - “Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita”.
d. 2Kor 2:14a - “Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenanganNya”.
Kalau orang kristen sejati tidak mungkin kalah, maka jelas bahwa Wah 3:5 itu berlaku untuk setiap orang kristen dan dengan demikian penghapusan nama dari kitab kehidupan itu tidak mungkin terjadi.
c) Hubungan penghapusan nama dari kitab kehidupan dengan Wah 13:8 dan Wah 17:8.
Wah 13:8 - “Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya, yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih”.
Wah 17:8 - “Adapun binatang yang telah kaulihat itu, telah ada, namun tidak ada, ia akan muncul dari jurang maut, dan ia menuju kepada kebinasaan. Dan mereka yang diam di bumi, yaitu mereka yang tidak tertulis di dalam kitab kehidupan sejak dunia dijadikan, akan heran, apabila mereka melihat, bahwa binatang itu telah ada, namun tidak ada, dan akan muncul lagi”.
Kalau memang ada penghapusan nama dari kitab kehidupan, mengapa nama-nama dari orang-orang yang murtad dan mengikuti sang Anti Kristus ini dikatakan ‘tidak tertulis dalam kitab kehidupan sejak dunia dijadikan’? Mengapa bukannya dikatakan ‘dulu tertulis tetapi telah dihapus dari kitab kehidupan’? Bdk. Mat 7:23 - “Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!’”.
Jelas bahwa orang-orang ini bukannya pernah selamat lalu kehilangan keselamatan itu, tetapi memang tidak pernah diselamatkan!
Sekarang mari kita membahas lebih teliti kedua text tersebut di atas.
a) Maz 69:29 - “Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan, janganlah mereka tercatat bersama-sama dengan orang-orang yang benar!”.
Beberapa penafsir seperti Adam Clarke, Albert Barnes, dan Keil & Delitzsch, menafsirkan bahwa ayat ini artinya adalah bahwa Daud berdoa supaya mereka dibunuh, dan tidak mendapat kehidupan yang panjang yang dijanjikan Allah kepada pengikut-pengikutNya.
Barnes’ Notes: “‘Let them be blotted out of the book of the living.’ That is, Let them cease to live; let them not be numbered among the living men; let them be cut off. ... The language has no reference to the future world; it is not a prayer that they should not be saved. ‘And not be written with the righteous.’ Let them not be registered or numbered with the righteous. ... The language is evidently derived from the idea so common in the Old Testament that length of days would be the reward of a righteous life ..., and that the wicked would be cut off in the midst of their days” (= ) - hal 230.
Keil & Delitzsch: “Let them be blotted out of ... that is to say, struck out of the list of the living, and that of the living in this present world; for it is only in the New Testament that we meet with the Book of Life as a list of the names of the heirs of the zwh aviwnioV” (= ) - hal 285.
Catatan: tetapi dalam tafsirannya tentang Kel 32:32-33 Keil & Delitzsch memberikan kata-kata yang agak membingungkan artinya (lihat dalam bagian tentang Kel 32:32-33).
Calvin mengatakan bahwa kata-kata ini disesuaikan dengan kapasitas pengertian manusia.
Calvin: “he denounces against them eternal destruction, which is the obvious meaning of the prayer, that they might be blotted out of the book of the living; for all those must inevitably perish who are not found written or enrolled in the book of life. This is indeed an improper manner of speaking; but it is one well adapted to our limited capacity, the book of life being nothing else than the eternal purpose of God, by which he has predestinated his own people to salvation. God, it is certain, is absolutely immutable; and, farther, we know that those who are adopted to the hope of salvation were written before the foundation of the world, (Eph. 1:4;) but as God’s eternal purpose of election is incomprehensible, it is said, in accommodation to the imperfection of the human understanding, that those whom God openly, and by manifest signs, enrols among his people, ‘are written.’ On the other hand, those whom God openly rejects and casts out of his Church are, for the same reason, said ‘to be blotted out.’” (= ) - hal 73-74.
Calvin: “Yet I do not deny that the Spirit sometimes accommodates the utterance to the measure of our understanding - for instance, when he says: ‘They shall not be in the secret of my people, or be enrolled in the register of my servants’ (Ezek. 13:9). It is as if God were beginning to write in the book of life those whom he reckons among the number of His people, although we know, as Christ bears witness (Luke 10:20), that the names of the children of God have been written in the book of life from the beginning (Phil. 4:3). But these words simply express the casting away of those who seemed the chief among the elect, as the psalm had it: ‘Let them be blotted out of the book of life; let them not be enrolled among the righteous’ (Ps. 69:28; cf. Rev. 3:5)” [= ] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter 24, no 9.
Catatan:
· Luk 10:20 secara hurufiah seharusnya adalah ‘your names have been written in heaven’ (= namamu telah tertulis di surga).
· sebetulnya kalau mau menunjukkan bahwa nama sudah tertulis dalam kitab kehidupan sejak semula, lebih baik menggunakan Wah 13:8 dan Wah 17:8.
Spurgeon menafsirkan bahwa penghapusan nama dari kitab kehidupan menunjukkan bahwa nama itu tidak pernah dituliskan dalam kitab kehidupan itu.
C. H. Spurgeon: “the inner meaning of being blotted out from the book of life is to have it made evident that the name was never written there at all. Man in his imperfect copy of God’s book of life will have to make many emendations, both of insertion and erasure; but, as before the Lord, the record is for ever fixed and unalterable” (= ) - ‘The Treasury of David’, vol 2, hal 184.
Matthew Poole mengatakan bahwa nama seseorang dikatakan ditulis dalam kitab kehidupan, atau dihapuskan dari kitab kehidupan, sesuai dengan kelihatannya dari jalan kehidupan mereka. Tetapi bahwa penghapusan nama tidak bisa diartikan secara hurufiah, terlihat dengan jelas dari bagian akhir dari Maz 69:29 itu.
Matthew Poole: “In this book men may be said to be written, either, 1. In reality, by God’s election and predestination. Or, 2. In appearance, when a man is called by God to the profession and practice of the true religion, and into covenant with himself, and professeth to comply with it; ... And when a man renounceth this profession and religion, he may be said to be ‘blotted out of’ that ‘book’, because his apostacy makes it evident that he was not written in it, as he seemed to be. ... men may be said to be ‘written in’ or ‘blotted out of this book’, when they seem to be so by the course of their lives and actions. But that this ‘blotting out’ is not meant properly and positively, is clear from the last branch of this verse; which, after the manner of these books, expounds the former, wherein this doubtful phrase is explained by one which is evident and unquestionable, even by his not being ‘written’ in it; for it is impossible that a man’s name should be properly blotted out of that book in which it was never written” (= ) - hal 110.
Psalm 69:28 (KJV): ‘Let them be blotted out of the book of the living, and not be written with the righteous’ (= Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan, dan tidak ditulis dengan orang benar).
Kata Ibraninya bisa diartikan ‘menulis’ atau ‘mencatat’.
Kata-kata Poole ini, khususnya yang bagian akhir, perlu diperhatikan. Memang Maz 69:29 itu mengidentikkan ‘penghapusan nama’ dan ‘tidak dituliskannya nama’.
W. S. Plumer: “To ‘be blotted out of this book’ is the same thing as not to ‘be written with the righteous’. The clauses are parallel” (= Dihapuskan dari kitab ini adalah sama dengan tidak ditulis dengan orang benar. Kedua kalimat itu paralel) - ‘The Psalms’, hal 684.
Pulpit Commentary memberikan penafsiran yang berbeda / bertentangan. Ia berkata: “‘And not be written with the righteous;’ i.e. not remain written in the book side by side with the names of the righteous” (= ‘Dan tidak ditulis dengan orang benar’; artinya tidak tetap tertulis dalam kitab itu bersama-sama dengan nama-nama orang benar) - hal 55.
Tetapi kata ‘remain’ (= tetap) ini sebetulnya tidak ada dalam ayat itu, dan karena itu penafsiran ini tidak bisa diterima!
b) Kel 32:31-33 - “Lalu kembalilah Musa menghadap TUHAN dan berkata: ‘Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. (32) Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu - dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.’ (33) Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Siapa yang berdosa kepadaKu, nama orang itulah yang akan Kuhapuskan dari dalam kitabKu”.
Adam Clarke mengatakan bahwa kitab itu merupakan catatan dari orang-orang Israel. Yang namanya dihapus adalah orang-orang yang tidak diperkenankan untuk masuk ke Kanaan.
Keil & Delitzsch: “To blot out of Jehovah’s book, therefore, is to cut off from fellowship with the living God, or from the kingdom of those who live before God, and to deliver over to death” (= ) - hal 231.
Pulpit Commentary mengatakan (hal 343) bahwa ada yang mengartikan bahwa kata-kata Musa dalam Kel 32:32 ini hanya sekedar berarti ‘Bunuhlah aku’. Jadi, kitab itu hanya diartikan sebagai kitab yang mencatat nama-nama orang-orang yang masih hidup, dan tak berhubungan dengan keselamatan. Tetapi Pulpit Commentary sendiri lebih setuju bahwa itu juga berhubungan dengan keselamatan.
Sama seperti dalam tafsirannya tentang Maz 69:29 di atas Calvin menganggap bahwa istilah ‘penghapusan nama’ dipakai untuk menyesuaikan dengan pengertian manusia (semacam bahasa antropomorphis). Tentu kita tidak bisa mengartikan bahwa bisa terjadi perubahan dalam rencana kekal Allah. Istilah ‘penghapusan nama’ itu hanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan akhirnya menyatakan bahwa orang-orang reprobate, yang untuk sementara kelihatannya terhitung bersama-sama dengan orang-orang pilihan, sebetulnya sama sekali tidak termasuk di dalamnya.
Dalam tafsirannya tentang Kel 32:32, Calvin berkata: “By ‘the book,’ in which God is said to have written His elect, must be understood, metaphorically, His decree. But the expression which Moses uses, asking to be blotted out of the number of the pious, is an incorrect one, since it cannot be that one who has been once elected should be ever reprobated; and those lunatics who, on this ground, overturn, as far as they can, that prime article of our faith concerning God’s eternal predestination, thereby demonstrate their malice no less than their ignorance. David uses two expressions in the same sense, ‘blotted out,’ and ‘not written:’ ‘Let them be blotted out of the book of the living, and not be written with the righteous.’ (Ps. 69:28.) We cannot hence infer any change in the counsel of God; but this phrase is merely equivalent to saying, that God will at length make it manifest that the reprobate, who for a season are counted amongst the number of the elect, in no respect belong to the body of the Church. Thus the secret catalogue, in which the elect are written, is contrasted by Ezekiel (13:9) with that external profession, which is often deceitful. Justly, therefore, does Christ bid His disciples rejoice, ‘because their names are written in heaven,’ (Luke 10:20;) for, albeit the counsel of God, whereby we are predestinated to salvation, is incomprehensible to us, ‘nevertheless (as Paul testifies) this seal standeth sure, The Lord knoweth them that are his.’ (2Tim. 2:19)” (= ) - hal 361-362.
Yeh 13:9 - “Aku akan mengacungkan tanganKu melawan nabi-nabi yang melihat perkara-perkara yang menipu dan yang mengucapkan tenungan-tenungan bohong; mereka tidak termasuk perkumpulan umatKu dan tidak akan tercatat dalam daftar kaum Israel, dan tidak akan masuk lagi di tanah Israel; dan kamu akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan ALLAH”.
Dan tentang Kel 32:33, Calvin berkata: “In these words God adapt Himself to the comprehension of the human mind, when He says, ‘Him will I blot out;’ for hypocrites make such false profession of His name, that they are not accounted aliens, until God openly renounces them: and hence their manifest rejection is called erasure” (= Dalam kata-kata ini Allah menyesuaikan diriNya sendiri dengan pengertian pikiran manusia, pada saat Ia berkata ‘Aku tidak akan menghapuskannya’; karena orang-orang munafik membuat pengakuan palsu tentang namaNya supaya mereka tidak dianggap sebagai orang asing / non kristen, sampai Allah secara terbuka menyangkal mereka sebagai anak: dan karena itu penolakan yang nyata ini disebut penghapusan) - hal 362.
Juga dalam Kel 32:33 itu, mungkin sekali Tuhan menggunakan kata-kata itu untuk menyesuaikan dengan kata-kata Musa dalam Kel 32:32.
Kitab kehidupan hanya merupakan simbol dari predestinasi. Penghapusan nama dari kitab kehidupan tidak benar-benar ada. Istilah itu digunakan hanya karena Allah menyesuaikan diri dengan pengertian manusia yang terbatas, sehingga Ia menggambarkan tindakanNya seperti tindakan manusia yang mencatat, menghapus dan sebagainya. Orang yang ‘dihapus namanya’ adalah orang kristen KTP, yang sebetulnya tidak pernah tercatat di dalam kitab kehidupan itu. Bagi orang percaya / pilihan, namanya sudah ada dalam kitab kehidupan sejak dunia belum dijadikan dan tidak mungkin akan dihapuskan. Puji Tuhan.
-AMIN-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali
R. A. T. Robertson, A Grammar of the Greek New Testament in the Light of Historical Research. 4th edition.
SERI CALVINISME VS ARMINIANISME
KITAB KEHIDUPAN
Oleh: Pdt. Budi Asali, M.Div.
Calvinisme VS Arminianisme - KITAB KEHIDUPAN (1) | |
Calvinisme VS Arminianisme - KITAB KEHIDUPAN (2) | |
Calvinisme VS Arminianisme - KITAB KEHIDUPAN (3) | |
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali
(Rungkut Megah Raya, blok D no 16)
Minggu, tgl 8 Juli 2012, pk 17.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
(HP: 7064-1331 / 6050-1331)
Kitab kehidupan(1)
Yes 4:3 - “Dan orang yang tertinggal di Sion dan yang tersisa di Yerusalem akan disebut kudus, yakni setiap orang di Yerusalem yang tercatat untuk beroleh hidup”.
Dan 12:1 - “‘Pada waktu itu juga akan muncul Mikhael, pemimpin besar itu, yang akan mendampingi anak-anak bangsamu; dan akan ada suatu waktu kesesakan yang besar, seperti yang belum pernah terjadi sejak ada bangsa-bangsa sampai pada waktu itu. Tetapi pada waktu itu bangsamu akan terluput, yakni barangsiapa yang didapati namanya tertulis dalam Kitab itu”.
Luk 10:20 - “Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga.’”.
Fil 4:3 - “Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain, yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan”.
Ibr 12:23 - “dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, dan kepada Allah, yang menghakimi semua orang, dan kepada roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna”.
Wah 20:12,15 - “(12) Dan aku melihat orang-orang mati, besar dan kecil, berdiri di depan takhta itu. Lalu dibuka semua kitab. Dan dibuka juga sebuah kitab lain, yaitu kitab kehidupan. Dan orang-orang mati dihakimi menurut perbuatan mereka, berdasarkan apa yang ada tertulis di dalam kitab-kitab itu. ... (15) Dan setiap orang yang tidak ditemukan namanya tertulis di dalam kitab kehidupan itu, ia dilemparkan ke dalam lautan api itu”.
Wah 21:27 - “Tetapi tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta, tetapi hanya mereka yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba itu”.
Wah 17:8 - “Adapun binatang yang telah kaulihat itu, telah ada, namun tidak ada, ia akan muncul dari jurang maut, dan ia menuju kepada kebinasaan. Dan mereka yang diam di bumi, yaitu mereka yang tidak tertulis di dalam kitab kehidupan sejak dunia dijadikan, akan heran, apabila mereka melihat, bahwa binatang itu telah ada, namun tidak ada, dan akan muncul lagi”.
Wah 13:8 - “Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya, yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih”.
Maz 69:29 - “Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan, janganlah mereka tercatat bersama-sama dengan orang-orang yang benar!”.
Kel 32:31-33 - “Lalu kembalilah Musa menghadap TUHAN dan berkata: ‘Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. (32) Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu - dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.’ (33) Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Siapa yang berdosa kepadaKu, nama orang itulah yang akan Kuhapuskan dari dalam kitabKu”.
Wah 22:19 - “Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini”.
KJV: ‘God shall take away his part out of the book of life, and out of the holy city, and from the things which are written in this book’ (= Allah akan mengambil bagiannya dari kitab kehidupan, dan dari kota kudus, dan dari hal-hal yang dituliskan dalam kitab ini).
RSV: ‘God will take away his share in the tree of life and in the holy city, which are described in this book’ (= Allah akan mengambil bagiannya dalam pohon kehidupan dan dalam kota kudus, yang digambarkan dalam kitab ini).
Hanya NKJV yang menterjemahkan seperti KJV, sedangkan NIV/NASB/ASV menterjemahkan seperti RSV.
Wah 3:5 - “Barangsiapa menang, ia akan dikenakan pakaian putih yang demikian; Aku tidak akan menghapus namanya dari kitab kehidupan, melainkan Aku akan mengaku namanya di hadapan BapaKu dan di hadapan para malaikatNya”.
Pdt. Jusuf B. S.: “Buku kehidupan adalah catatan dari orang-orang percaya yang masuk Surga, termasuk segala pahalanya, yang ditulis Allah. Buku ini tidak berbentuk seperti buku catatan kita, juga bukan seperti disket-disket komputer, tetapi jauh lebih canggih yaitu suatu catatan dengan cara Illahi yang sempurna, tidak bisa salah / hilang dan betul-betul tercatat dengan rapi, teliti, langkah (?) dan betul” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 55.
Pdt. Jusuf B. S.: “Di mana terdapat buku ini? Terletak di hadapan hadirat Tuhan, itu berarti ada di dalam Surga” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 56.
Kelihatannya dia percaya bahwa betul-betul ada catatan seperti itu, sekalipun bentuknya tidak ia ketahui. Pertanyaannya: apakah Allah yang maha tahu itu membutuhkan catatan dalam bentuk apapun?
Pdt. Jusuf B. S.: “Buku Kehidupan bukanlah catatan dari nama-nama orang yang pernah lahir dan hidup di dunia. Tetapi setiap orang yang percaya, yang mengakui nama Yesus, ia selamat dan menjadi putra Allah, baru namanya ditulis di dalam buku hayat” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 60.
Jadi ia percaya bahwa penulisan nama dalam kitab kehidupan itu baru dilakukan pada saat orangnya percaya kepada Yesus.
Pdt. Jusuf B. S.: “Nama di dalam Buku Kehidupan masih dapat dihapus! Selama kita hidup di dunia ini, masih dapat terjadi perubahan. Bukan satu kali selamat tetap selamat. Sebab itu Tuhan menyuruh kita memelihara keselamatan itu dengan hati-hati” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 63.
Pdt. Jusuf B. S.: “Dalam Kel 32:33 nama-nama orang Israel akan dihapus dari dalam Buku Kehidupan oleh sebab dosa-dosanya. Tuhan tidak akan mengancam atau menindak dengan sesuatu dusta atau omong kosong. Sebab itu penghapusan nama dari Buku Kehidupan itu ada, bisa terjadi! Musa memintakan ampun sehingga hal itu ditunda” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 64.
Ia percaya bahwa nama seseorang bisa dihapuskan dari kitab kehidupan. Dengan kata lain orang itu kehilangan keselamatannya.
1) Memang benar bahwa kitab kehidupan mencatat nama-nama orang yang percaya kepada Yesus dan diselamatkan.
a) Luk 10:20 - “Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga.’”.
Adam Clarke (tentang Luk 10:20): “‘Because your names are written in heaven.’ This form of speech is taken from the ancient custom of writing the names of all the citizens in a public register, that the several families might be known, and the inheritances properly preserved. This custom is still observed even in these kingdoms, though not particularly noticed. Every child that is born in the land is ordered to be registered, with the names of its parents, and the time when born, baptized, or registered; and this register is generally kept in the parish church, or in some public place of safety. Such a register as this is called in Phil 4:3; Rev 3:5, etc., the book of life, i.e. the book or register where the persons were enrolled as they came into life. It appears also probable, that when any person died, or behaved improperly, his name was sought out and erased from the book, to prevent any confusion that might happen in consequence of improper persons laying claim to an estate, and to cut off the unworthy from the rights and privileges of the peaceable, upright citizens. To this custom of blotting the names of deceased and disorderly persons out of the public registers, there appear to be allusions, Ex 32:32, where see the note; and Rev 3:5; Deut 9:14; 25:19; 29:20; 2 Kings 14:27; Ps 69:28; 109:13, and in other places” (= ‘Karena namamu ada terdaftar di sorga’. Bentuk ucapan ini diambil dari kebiasaan kuno tentang penulisan nama dari semua warga negara dalam suatu catatan umum, supaya berapa keluarga bisa diketahui, dan warisan-warisan dijaga / dipelihara dengan benar. Kebiasaan ini tetap dijalankan bahkan dalam kerajaan-kerajaan ini, sekalipun tidak diperhatikan secara khusus. Setiap anak yang dilahirkan dalam negeri itu diperintahkan untuk dicatat, bersama dengan nama dari orang tuanya, dan saat dilahirkan, dibaptis, atau dicatat; dan catatan ini biasanya disimpan di gereja wilayah, atau di suatu tempat umum yang aman. Catatan seperti ini disebut / dinamakan dalam Fil 4:3; Wah 3:5, dsb, ‘kitab kehidupan’, yaitu kitab atau catatan dimana orang-orang didaftarkan pada waktu mereka lahir. Kelihatannya juga memungkinkan, bahwa pada waktu siapapun mati, atau berkelakuan secara tidak benar, namanya dicari dan dihapuskan dari kitab itu, untuk mencegah kebingungan yang bisa / mungkin terjadi sebagai akibat dari adanya orang-orang yang tidak benar yang mengclaim suatu tanah milik, dan untuk membuang orang-orang yang tidak layak dari hak-hak dari warga negara yang suka damai dan jujur. Terhadap kebiasaan penghapusan nama dari orang-orang mati dan melanggar peraturan dari catatan umum inilah muncul kiasan-kiasan, Kel 32:32, dimana lihat catatan; dan Wah 3:5; Ul 9:14; 25:19; 29:20; 2Raja 14:27; Maz 69:29; 109:13, dan di tempat-tempat lain).
Lenski (tentang Luk 10:20): “‘Nevertheless’ means that, although all this is true as just stated by Jesus, and although all this affords much cause for joy to the Seventy, not in this are they to go on rejoicing, ‘that the demons are submitting to you.’ Why not rejoice in this? Because it would be dangerous. Matt. 7:22 shows that one may even prophesy, cast out devils, and do wonderful things and yet be lost. It is not the exercise of some charism that saves but this fact that our names are written in the book of life. Casting out ever so many devils does not insure our own escape from the devil. This joy may lead to pride, to false notions of merit, and to other dangers to ourselves. ... We are not to rejoice at all over our ability to conquer demons. That is something outside of us, something that is really not done by us but by Jesus, in which we are only his tools. We are to go on rejoicing in something that is, indeed, personal to ourselves and not as having been done by us but as having been done for us. ... Our constant and abiding joy (durative present imperative) is in this ‘that our names have been enrolled in heaven,’ the perfect denoting that they now stand so enrolled. Note well the passive: God enrolled them, this he did for us. The figure may be taken from the genealogical records that were kept by the Jews, in which only their people’s names were entered. To get the force of the expression compare the passages on blotting out (negative) and on being written in (positive): Exod. 32:32; Ps. 69:28; Isa. 4:3; Phil. 4:3; Dan. 12:1; Rev. 3:5; 13:8; 20:12; 21:27. To be enrolled in the heavens means to be justified by God and to be accepted by him as one of his children; and to be permanently so enrolled means that we are among the number of the elect. The book of life is Christ, in whom all are written who are brought to faith by his gospel. ... Our joy over being written in this book is to increase until in heaven itself we see our names written there. To have our names thus written is the greatest victory over Satan” (= ‘Namun demikian’ berarti bahwa, sekalipun semua ini adalah benar seperti yang baru dinyatakan oleh Yesus, dan sekalipun semua ini menghasilkan / memberikan banyak penyebab untuk sukacita bagi ke 70 murid itu, bukan dalam hal ini mereka terus bersukacita, ‘bahwa roh-roh jahat tunduk kepadamu’. Mengapa tidak bersukacita dalam hal ini? Karena itu berbahaya. Mat 7:22 menunjukkan bahwa seseorang bahkan bisa bernubuat, mengusir setan-setan, dan melakukan hal-hal yang ajaib, tetapi tetap terhilang. Bukanlah pelaksanaan dari kharisma / karunia yang menyelamatkan tetapi fakta ini bahwa nama-nama kita ditulis dalam kitab kehidupan. Mengusir begitu banyak setan tidak menjamin kelolosan kita sendiri dari setan. Sukacita ini bisa membimbing pada kesombongan, pada dugaan / pikiran yang salah tentang jasa / kebaikan, dan pada bahaya-bahaya lain bagi diri kita sendiri. ... Kita tidak boleh bersukacita sama sekali atas kemampuan kita untuk mengalahkan roh-roh jahat. Ini adalah sesuatu di luar kita, sesuatu yang sebetulnya bukan dilakukan oleh kita tetapi oleh Yesus, dalam mana kita hanyalah merupakan alat-alatNya. Kita harus terus bersukacita dalam sesuatu yang memang bersifat pribadi bagi kita sendiri, dan bukan telah dilakukan oleh kita tetapi yang telah dilakukan bagi / untuk kita. ... Sukacita kita yang konstan dan menetap (kata perintah bentuk present yang terus menerus) adalah dalam hal ini ‘bahwa nama-nama kita telah terdaftar di surga’, bentuk perfect tense menunjukkan bahwa mereka sekarang tetap terdaftar seperti itu. Perhatikan dengan baik bentuk pasifnya: Allah mendaftar mereka, ini Ia lakukan bagi / untuk kita. Gambaran ini mungkin diambil dari catatan silsilah yang dipelihara oleh orang-orang Yahudi, dalam mana hanya nama-nama bangsa mereka dimasukkan. Untuk mendapatkan kekuatan dari ungkapan ini bandingkan text-text tentang penghapusan (negatif) dan tentang penulisan dalam (positif): Kel 32:32; Maz 69:29; Yes 4:3; Fil 4:3; Dan 12:1; Wah 3:5; 13:8; 20:12; 21:27. Dicatat di surga berarti dibenarkan oleh Allah dan diterima olehNya sebagai salah satu anak-anakNya; dan didaftarkan seperti itu secara permanen berarti bahwa kita ada di antara jumlah / bilangan dari orang-orang pilihan. Kitab kehidupan adalah Kristus, dalam siapa semua ditulis yang dibawa kepada iman oleh InjilNya. ... Sukacita kita tentang ditulisnya dalam kitab ini harus meningkat sampai di surga sendiri kita melihat nama-nama kita ditulis di sana. Mempunyai nama-nama kita ditulis seperti itu merupakan kemenangan terbesar atas Iblis).
Mat 7:22-23 - “(22) Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu, dan mengusir setan demi namaMu, dan mengadakan banyak mujizat demi namaMu juga? (23) Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!’”.
Catatan: sederetan ayat-ayat yang banyak itu sudah dibaca pada awal khotbah.
Hendriksen mengatakan bahwa Yesus bukannya memaksudkan bahwa para murid itu salah pada waktu mereka bersukacita karena setan-setan tunduk kepada mereka. Apa yang dimaksudkan oleh Yesus adalah bahwa hal itu merupakan sesuatu yang tidak berarti bila dibandingkan dengan fakta bahwa nama mereka tercatat di surga.
Mengapa demikian? Karena pengusiran setan akan berakhir bila kehidupan di dunia ini berakhir, tetapi keadaan kita sebagai anak-anak Tuhan / orang-orang yang diselamatkan tidak demikian.
Disamping itu, otoritas terhadap setan tidak menjamin keselamatan. Adalah mungkin bahwa Yudas Iskariot juga diberi kemampuan tersebut (bdk. Luk 9:1 - “Maka Yesus memanggil kedua belas muridNya, lalu memberikan tenaga dan kuasa kepada mereka untuk menguasai setan-setan dan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit”). Tetapi itu tidak membuatnya sebagai orang yang diselamatkan!
A. T. Robertson (tentang Luk 10:20): “‘Are written’ (engegraptai). Perfect passive indicative, state of completion, stand written, enrolled or engraved, from engrapho, common verb” [= ‘Ditulis’ (engegraptai). Bentuk perfect passive indicative, keadaan lengkap / sempurna, tetap tertulis, terdaftar atau terukir, dari engrapho, kata kerja umum] - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol II, hal 148-149.
Calvin (tentang Luk 10:20): “As it was the design of Christ to withdraw his disciples from a transitory joy, that they might glory in eternal life, he leads them to its origin and source, which is, that they were chosen by God and adopted as his children. ... he intended to point out, that the source from which all these benefits had flowed was the free election of God, that they might not claim any thing for themselves. Reasons for praising God are no doubt furnished by those acts of his kindness which we feel within us; but eternal election, which is without us, shows more clearly that our salvation rests on the pure goodness of God. The metaphorical expression, ‘your names are written in heaven,’ means, that they were acknowledged by God as His children and heirs, as if they had been inscribed in a register” (= Karena merupakan rancangan Kristus untuk menarik murid-muridNya dari suatu sukacita yang fana, supaya mereka bisa bermegah dalam hidup yang kekal, Ia membimbing mereka kepada asal usul dan sumbernya, yang adalah, bahwa mereka dipilih oleh Allah dan diadopsi sebagai anak-anakNya. ... Ia bermaksud untuk menunjukkan, bahwa sumber dari mana semua manfaat-manfaat ini telah mengalir, adalah pemilihan yang cuma-cuma / bebas dari Allah, supaya mereka tidak mengclaim apapun untuk diri mereka sendiri. Alasan-alasan untuk memuji Allah tak diragukan disediakan oleh tindakan-tindakan kebaikanNya itu, yang kita rasakan di dalam kita; tetapi pemilihan kekal, yang ada di luar kita, menunjukkan dengan lebih jelas bahwa keselamatan kita bersandar pada kebaikan yang murni dari Allah. Ungkapan yang bersifat kiasan, ‘nama-namamu ditulis di surga’, berarti, bahwa mereka diakui oleh Allah sebagai anak-anak dan pewaris-pewarisNya, seakan-akan mereka telah dituliskan dalam sebuah catatan / daftar) - hal 34-35.
b) Fil 4:3 - “Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain, yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan”.
Adam Clarke (tentang Fil 4:3): “‘Whose names are in the book of life.’ Who are genuine Christians; who are enlisted or enrolled in the armies of the Lord, and have received a title to eternal glory” (= ‘Yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan’. Yang adalah orang-orang Kristen yang asli / sungguh-sungguh; yang terdaftar dalam tentara dari Tuhan, dan telah menerima suatu gelar untuk kemuliaan kekal).
Lenski (tentang Fil 4:3): “All God’s children are written in the Book of life” (= Semua anak-anak Allah tertulis dalam kitab kehidupan).
c) Wah 20:12,15 - “(12) Dan aku melihat orang-orang mati, besar dan kecil, berdiri di depan takhta itu. Lalu dibuka semua kitab. Dan dibuka juga sebuah kitab lain, yaitu kitab kehidupan. Dan orang-orang mati dihakimi menurut perbuatan mereka, berdasarkan apa yang ada tertulis di dalam kitab-kitab itu. ... (15) Dan setiap orang yang tidak ditemukan namanya tertulis di dalam kitab kehidupan itu, ia dilemparkan ke dalam lautan api itu”.
Lenski (tentang Wah 20:15): “This is stated in so many words: ‘And if anyone (at the last judgment) was not found as having been written in the book of the life, thrown was he ... into the lake of the fire,’ thrown body and soul. ... What about the godly? The answer is given in chapters 21, and 22” [= Ini dinyatakan dalam begitu banyak kata-kata: ‘Dan jika siapapun (pada panghakiman terakhir) tidak ditemukan sebagai telah dituliskan dalam kitab kehidupan, dilemparkan ia ... ke dalam lautan api’, dilemparkan tubuh dan jiwa. .. Bagaimana tentang orang-orang saleh? Jawaban diberikan dalam pasal-pasal 21 dan 22].
Herman Hoeksema: “what will become of God’s people? They also have sinned; and they also would be condemned, would they not? To this question the text furnishes the answer when it informs us that not only shall ‘the books’ be opened, but also another book shall be opened, which is the book of life. The book of life is God’s own record of His elect saints, the book of God’s election in Christ. It contains the names of all His chosen saints. They are written in that book as redeemed by the blood of their Lord and Savior. Through that blood they were justified. By that blood they were also sanctified in Christ Jesus. ... We shall see ourselves in Christ as God sees us, as perfectly righteous, as having all our sins so covered by His atoning blood that it is as though we never have had nor committed any sin. And we shall be able to appear before the judgment seat of God without terror, clothed in the perfect righteousness of Christ!” (= apa yang akan terjadi dengan umat Allah? Mereka juga telah berdosa; dan mereka juga akan dihukum, bukan? Terhadap pertanyaan ini textnya memberikan jawaban pada waktu textnya memberikan informasi kepada kita bahwa bukan hanya ‘kitab-kitab’ yang dibuka, tetapi juga sebuah kitab yang lain akan dibuka, yang adalah kitab kehidupan. Kitab kehidupan adalah catatan Allah sendiri tentang orang-orang kudus pilihanNya, kitab dari pemilihan Allah dalam Kristus. Itu mencakup nama-nama dari semua orang-orang kudus pilihanNya. Mereka tertulis dalam kitab itu sebagai ditebus oleh darah dari Tuhan dan Juruselamat mereka. Melalui darah itu mereka dibenarkan. Oleh darah itu mereka juga dikuduskan dalam Kristus Yesus. ... Kita akan melihat diri kita sendiri dalam Kristus sebagaimana Allah melihat kita, sebagai benar secara sempurna, sebagai semua dosa-dosa kita telah ditutup sedemikian rupa oleh darahNya yang menebus sehingga seakan-akan kita tidak pernah melakukan dosa apapun. Dan kita akan bisa muncul di hadapan kursi penghakiman Allah tanpa rasa takut, dipakaiani dalam kebenaran yang sempurna dari Kristus!) - ‘Behold, He Cometh: An Exposition of the Book of Revelation’, hal 666.
Herman Hoeksema: “this opening of the book of life has a negative significance for the wicked as well as a positive significance for the righteous. ... in verse 15 the negative significance of this book of life is very clear; for there we read that ‘whosoever was not found written in the book of life was cast into the lake of fire.’” (= pembukaan dari kitab kehidupan ini mempunyai suatu arti yang negatif untuk orang-orang jahat maupun arti yang positif untuk orang-orang benar. ... dalam ayat 15 arti negatif dari kitab kehidupan ini adalah sangat jelas; karena di sana kita membaca bahwa ‘barang siapa / setiap orang yang tidak ditemukan namanya tertulis di dalam kitab kehidupan itu, ia dilemparkan ke dalam lautan api itu’.) - ‘Behold, He Cometh: An Exposition of the Book of Revelation’, hal 666.
d) Wah 21:27 - “Tetapi tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta, tetapi hanya mereka yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba itu”.
Lenski (tentang Wah 21:27): “No one shall enter when the great final entrance takes place ‘save (εἰ μή) those having been written in the book of the life of the Lamb,’” [= Tak seorangpun akan masuk pada waktu pemasukan akhir yang besar / agung terjadi, ‘kecuali (EI ME) mereka yang telah tertulis dalam kitab kehidupan dari Anak Domba’,].
John Stott (tentang Wah 3:5): “everyone whose name is not found written in the Book of Life will be ‘thrown into the lake of fire’ (Rev. 20:11-15). Is your name written in the Lamb’s book of life? You can have a name among men for being alive (like the Church of Sardis) and still have no entry in God’s book of the living. ... Jesus told His disciples to rejoice that their names were ‘written in heaven’ (Lk. 10:20; cf. Heb. 12:23). Can you rejoice like that today?” [= setiap orang yang namanya tidak ditemukan tertulis dalam Kitab Kehidupan akan ‘dilemparkan ke dalam lautan api’ (Wah 20:11-15). Apakah namamu tertulis dalam kitab kehidupan Anak Domba? Di antara manusia kamu bisa terkenal sebagai orang yang hidup (seperti Gereja Sardis) tetapi tetap tidak masuk dalam kitab orang hidup dari Allah. ... Yesus menyuruh murid-muridNya untuk bersukacita bahwa nama mereka ‘tertulis di surga’ (Luk 10:20; bdk. Ibr 12:23). Bisakah engkau bersukacita seperti itu hari ini?] - ‘What Christ Thinks of the Church’, hal 97.
Adam Clarke (tentang Wah 21:27): “‘But they which are written.’ The acknowledged persevering members of the true church of Christ shall enter into heaven, and only those who are saved from their sins shall have a place in the church militant. All Christians are bound by their baptism to renounce the Devil and all his works, the pomps and vanities of this wicked world, and all the sinful lusts of the flesh; to keep God’s holy word and commandments; and to walk in the same all the days of their life. ... Reader, art thou of this number? Or art thou expecting an eternal glory while living in sin? If so, thou wilt be fearfully disappointed. Presuming on the mercy of God is as ruinous as despairing of his grace. Where God gives power both to will and to do, the individual should work out his salvation with fear and trembling” (= ‘Tetapi mereka yang tertulis’. Anggota-anggota yang bertekun dan diakui dari gereja yang benar dari Kristus akan masuk ke dalam surga, dan hanya mereka yang diselamatkan dari dosa-dosa mereka akan mendapatkan suatu tempat dalam gereja militan / agresif / suka berperang. Semua orang Kristen diharuskan oleh baptisan mereka untuk meninggalkan Iblis dan semua pekerjaan-pekerjaannya, kemegahan dan kesia-siaan dari dunia yang jahat ini, dan semua nafsu daging yang berdosa; memelihara firman dan perintah-perintah / hukum-hukum yang kudus dari Allah, dan berjalan dalam hal yang sama dalam semua hari-hari dari kehidupan mereka. ... Pembaca, apakah engkau adalah dari jumlah ini? Atau apakah engkau mengharapkan suatu kemuliaan kekal sementara / sambil hidup dalam dosa? Jika demikian, engkau akan dikecewakan secara menakutkan. Terlalu banyak bersandar pada belas kasihan Allah sama menghancurkannya dengan putus asa tentang kasih karuniaNya. Dimana Allah memberikan kuasa baik untuk menghendaki dan untuk melakukan, orang itu harus mengerjakan keselamatannya dengan takut dan gentar).
Catatan: awas, kata-kata ini tidak boleh diartikan menjadi ajaran sesat ‘keselamatan karena perbuatan baik’! Kesalehan hanya bukti / hasil dari keselamatan, bukan penyebab dari keselamatan! Saya berpendapat bahwa kata-kata yang saya garis-bawahi itu bisa membahayakan kalau diartikan secara extrim!
Jadi jelas bahwa kitab kehidupan mencatat nama dari orang-orang yang selamat, atau dengan kata lain, orang yang namanya tercatat dalam Kitab Kehidupan itulah yang akan masuk surga (Wah 21:27). Sebaliknya, orang yang namanya tidak tercatat dalam kitab kehidupan itu akan masuk ke neraka (Wah 20:15). Karena itu Tuhan Yesus berkata: bersukacitalah karena namamu tercatat dalam kitab kehidupan (Luk 10:20).
Karena itu jangan puas / bersukacita kalau nama saudara sekedar tercatat di gereja, bahkan tercatat sebagai orang yang menduduki jabatan tertentu dalam gereja / donatur gereja, atau karena saudara sudah melakukan pelayanan-pelayanan yang besar bagi Tuhan! Ini tidak menjamin keselamatan saudara! Tetapi kalau saudara percaya kepada Yesus dengan sungguh-sungguh, maka nama saudara tercatat dalam kitab kehidupan, dan itu yang menjamin keselamatan saudara!
-bersambung-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali
(Rungkut Megah Raya, blok D no 16)
Minggu, tgl 22 Juli 2012, pk 17.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
(HP: 7064-1331 / 6050-1331)
http://www.golgothaministry.org
Kitab kehidupan(2)
Wah 17:8 - “Adapun binatang yang telah kaulihat itu, telah ada, namun tidak ada, ia akan muncul dari jurang maut, dan ia menuju kepada kebinasaan. Dan mereka yang diam di bumi, yaitu mereka yang tidak tertulis di dalam kitab kehidupan sejak dunia dijadikan, akan heran, apabila mereka melihat, bahwa binatang itu telah ada, namun tidak ada, dan akan muncul lagi”.
Wah 13:8 - “Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya, yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih”.
2) Penulisan nama dalam kitab kehidupan sudah dilakukan sejak dunia belum dijadikan!
Kalau tadi kita sudah mendengar bahwa kitab kehidupan itu mencatat nama-nama orang-orang yang percaya kepada Yesus, maka logikanya kita juga harus beranggapan bahwa penulisan nama terjadi pada saat seseorang percaya kepada Yesus (seperti yang diajarkan oleh Pdt. Jusuf B. S. di atas).
Tetapi ternyata tidak demikian! Kitab Suci mengajar bahwa Tuhan bukannya baru menuliskan nama seseorang di dalam kitab itu pada waktu orang itu bertobat / percaya kepada Yesus! Nama seseorang sudah tertulis atau tidak tertulis dalam kitab kehidupan sejak dunia belum dijadikan.
Ini bisa terlihat dalam 2 ayat Kitab Suci yaitu Wah 13:8 dan Wah 17:8.
a) Wah 17:8 - “Adapun binatang yang telah kaulihat itu, telah ada, namun tidak ada, ia akan muncul dari jurang maut, dan ia menuju kepada kebinasaan. Dan mereka yang diam di bumi, yaitu mereka yang tidak tertulis di dalam kitab kehidupan sejak dunia dijadikan, akan heran, apabila mereka melihat, bahwa binatang itu telah ada, namun tidak ada, dan akan muncul lagi”.
Adam Clarke tak memberi komentar apapun tentang kata-kata ‘sejak dunia dijadikan’.
Lenski (tentang Wah 17:8): “The fact that the names of the earth dwellers who admire the supposedly invincible beast have not been written in the Lamb’s Book of the Life we have seen in 13:8, where also the phrase ‘from (the) world’s foundation’ is discussed” (= Fakta bahwa nama-nama dari penghuni-penghuni bumi yang mengagumi binatang yang dianggap tak terkalahkan telah tidak ditulis dalam Kitab Kehidupan Anak Domba telah kita lihat dalam 13:8, dimana juga ungkapan ‘sejak dunia dijadikan’ didiskusikan).
Tentang Wah 17:8 ini, William Barclay, yang bukanlah seorang Calvinist, menafsirkan arti ungkapan itu dengan berkata:
“The meaning would then be that God has chosen his own from before the beginning of time, and nothing in life or in death, nothing in time or eternity, nothing that the Devil or the Roman Empire can ever do can pluck them from his hand” (= Artinya adalah bahwa Allah telah memilih milikNya sejak sebelum permulaan waktu, dan tidak ada sesuatupun dalam kehidupan atau kematian, tidak ada sesuatupun dalam waktu atau kekekalan, tidak ada sesuatupun yang bisa dilakukan oleh Setan atau Kekaisaran Romawi yang bisa mengambil mereka dari tanganNya) - hal 96.
Leon Morris (tentang Wah 17:8): “The reminder that this goes back to the foundation of the world is a reminder of God’s eternal purpose” (= Mengingatkan bahwa hal ini sudah ada pada penjadian dunia adalah mengingatkan tentang Rencana Allah yang kekal) - ‘Tyndale New Testament Commentary’, hal 209.
Barnes’ Notes (tentang Wah 17:8): “‘Whose names were not written in the book of life from the foundation of the world.’ ... The idea seems to be, that those whose names are written in the book of life, or who are truly the friends of God, would not be drawn off in admiration of the beast, or in rendering homage to it” (= ‘Nama-nama itu tidak ditulis dalam kitab kehidupan sejak dunia dijadikan’. ... Kelihatannya gagasannya adalah bahwa mereka yang nama-namanya tertulis dalam kitab kehidupan, atau yang sungguh-sungguh adalah sahabat-sahabat Allah, tidak akan ditarik dalam kekaguman terhadap binatang itu, atau dalam memberikan penghormatan / penyembahan kepadanya).
b) Wah 13:8 - “Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya, yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih”.
Hal yang perlu kita ketahui tentang Wah 13:8 ini adalah bahwa dalam bahasa Yunaninya, kata-kata ‘sejak dunia dijadikan’ mempunyai 2 kemungkinan:
1. Dihubungkan dengan ‘penulisan dalam kitab kehidupan’.
Ini sesuai dengan terjemahan Kitab Suci Indonesia, dan juga RSV, NASB, dan ASV. Kalau dipilih arti ini, maka Wah 13:8 ini menjadi seperti Wah 17:8.
Lenski (tentang Fil 4:3): “All God’s children are written in the Book of life. ... Thus the expression Book of life may be used with reference to our justification: when we are justified, our names are written in the Book of life. Yet Rev. 13:8 goes back to eternity: ‘from the foundation of the world.’ So we may refer the expression also to our eternal election (Eph. 1:4), but always as making Christ ‘the true Book of life’ (C. Tr. 1067, 13). ‘Thus the entire Holy Trinity, God Father, Son, and Holy Ghost, directs all men to Christ, as to the Book of life, in whom they should seek the eternal election of the Father” [= Semua anak-anak Allah ditulis dalam Kitab kehidupan. ... Jadi ungkapan ‘kitab kehidupan’ bisa digunakan berhubungan dengan pembenaran kita: pada saat kita dibenarkan, nama-nama kita ditulis dalam Kitab kehidupan. Tetapi Wah 13:8 kembali pada kekekalan: ‘sejak dunia dijadikan’. Maka kita bisa menghubungkan ungkapan ini juga pada pemilihan kekal (Ef 1:4), tetapi selalu membuat Kristus sebagai ‘Kitab kehidupan yang sejati’ (C. Tr. 1067, 13). ‘Maka seluruh Tritunggal yang Kudus, Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, mengarahkan semua manusia kepada Kristus, seperti kepada Kitab kehidupan, dalam siapa mereka harus mencari pemilihan kekal dari Bapa].
Catatan:
a. Saya tak setuju kalau kitab kehidupan menunjuk kepada Kristus; dan saya tak menjumpai penafsir lain, kecuali Lenski, yang mengartikan seperti itu.
b. Lenski juga menghubungkan kitab kehidupan dengan pemilihan kekal.
Bdk. Ef 1:4 - “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapanNya”.
Tetapi perhatikan juga pandangan Arminian Lenski yang mengatakan bahwa kita harus ‘mencari pemilihan kekal dari Bapa’! Ini jelas menunjuk pada ‘Conditional Election’ (= Pemilihan yang bersyarat), yang menurut saya merupakan pemikiran dari orang yang tidak punya logika!
Bandingkan dengan kata-kata John Owen di bawah ini.
John Owen: “Is it not because such propositions as these, ‘Believe, Peter, and continue in the faith unto the end, and I will choose thee before the foundation of the world,’ are fitter for the writings of the Arminians than the word of God?” (= Bukankah karena pernyataan seperti ini ‘Percayalah Petrus, dan bertekunlah dalam iman sampai akhir, dan Aku akan memilih engkau sebelum dunia dijadikan’, lebih cocok untuk tulisan-tulisan Arminian dari pada Firman Allah?) - ‘The Works of John Owen’, vol 10, hal 55.
2. Dihubungkan dengan ‘penyembelihan Anak Domba’.
Ini sesuai dengan KJV yang menterjemahkan: ‘... whose names are not written in the book of life of the Lamb slain from the foundation of the world’ (= ... yang namanya tidak tertulis dalam kitab kehidupan dari Anak Domba yang disembelih sejak dunia dijadikan).
NIV dan NKJV menterjemahkan seperti KJV.
Adam Clarke (tentang Wah 13:8): “‘Slain from the foundation of the world.’ ... as Jesus Christ was in the divine purpose appointed from the foundation of the world to redeem man by his blood, he therefore is, in a very eminent sense, the Lamb slain from the foundation of the world, i.e. from the creation” (= ‘Disembelih sebelum dunia dijadikan’. ... karena Yesus Kristus ditetapkan dalam rencana ilahi sebelum dunia dijadikan untuk menebus manusia oleh darahNya, karena itu Ia adalah, dalam arti yang sangat menonjol, Anak Domba yang disembelih sejak dunia dijadikan, yaitu sejak penciptaan).
Lenski (tentang Wah 13:8): “Commentators debate as to whether they should construe, ‘having been slain from the foundation of the world,’ leaving together what the text places together, or, ‘has been written … from the foundation of the world,’ placing the phrase across all that intervenes. Appeal is made to 17:8 where the phrase does modify ‘has been written.’ But when many, like the American Committee of the R. V., settle the matter in this manner, they overlook the fact that 17:8 has only ‘the Book of the Life’ and not also the genitive, ‘of the Lamb, the one having been slain.’ Moreover, there is 1 Pet. 1:19, 20: the precious blood of the Lamb ‘who verily was foreordained before the foundation of the world’; compare John 17:24. To this add Eph. 1:4: God ‘elected us in connection with him (ἐν αὐτῷ, in Christ) before the foundation of the world.’” [= Para penafsir berdebat berkenaan apakah mereka harus menafsirkan ‘telah disembelih sejak dunia dijadikan’, membiarkan / menyerahkan sama sekali apa yang text itu tempatkan bersama-sama, atau, ‘telah ditulis ... sejak dunia dijadikan’, dengan menempatkan ungkapan itu menyeberangi semua yang ada di antaranya. Acuan untuk otoritas dibuat pada 17:8 dimana ungkapan itu memang memodifikasi kata-kata ‘telah ditulis’. Tetapi ketika banyak, seperti Komisi Amerika dari Revised Version, membereskan persoalan ini dengan cara ini, mereka mengabaikan fakta bahwa 17:8 hanya mempunyai ‘Kitab Kehidupan’ dan tidak juga mempunyai bentuk genitif ‘dari Anak Domba, yang telah disembelih’. Lebih lagi, di sana ada 1Pet 19,20: darah yang mahal dari Anak Domba ‘yang telah ditentukan lebih dulu sebelum dunia dijadikan’; bandingkan Yoh 17:24. Pada hal ini tambahkan Ef 1:4: Allah ‘memilih kita dalam hubungan dengan Dia (ἐν αὐτῷ, dalam Kristus) sebelum dunia dijadikan’].
Catatan:
Dalam bahasa Yunaninya memang urut-urutan kata-katanya adalah ‘ditulisnya nama dalam kitab kehidupan Anak Domba yang telah disembelih sebelum dunia dijadikan’. Jadi, penafsiran pertama menafsirkan sesuai dengan urut-urutan itu, tetapi penafsiran kedua menghubungkan ‘sebelum dunia dijadikan’ dengan ‘ditulisnya nama dalam kitab kehidupan’ dan meloncati apa yang ada di tengah-tengahnya (‘Anak Domba’). A. T. Robertson, ahli bahasa Yunani top abad 20, menganggap kedua penterjemahan sebagai memungkinkan, sekalipun ia sendiri lebih setuju dengan yang pertama. Lenski sendiri di sini menyetujui yang pertama, dan ini bertentangan dengan pandangannya sendiri dalam penafsirannya tentang Fil 4:3 (lihat di atas).
William Barclay (lebih-lebih orang-orang Reformed) memilih pandangan yang pertama, dengan berkata: “We have in these two translations two equally precious truths. But, if we must choose, we must choose the first, because there is no doubt that is the way in which John uses the phrase when he repeats it in Revelation 17:8” (= Dalam kedua terjemahan ini kita mempunyai dua kebenaran yang sama berharga. Tetapi, jika kita harus memilih, kita harus memilih yang pertama, karena tidak ada keraguan bahwa demikianlah Yohanes menggunakan ungkapan itu ketika ia mengulanginya dalam Wahyu 17:8) - hal 96.
William Hendriksen: “But even in these most dreadful days that shall precede Christ’s second coming there will be believers on earth, those whose names have been written from eternity in the Lamb’s book of life (cf. 17:8). Because of the fact that God has elected them from eternity to salvation in sanctification of the Spirit and belief in the truth (2 Thes. 2:13), these individuals cannot perish. The government of antichrist may destroy their bodies, but it cannot destroy their souls. Let believers wait patiently for this time of severest tribulation, knowing that all things are included in God’s decree; ... It is not Satan but God who rules supreme” [= Tetapi bahkan pada hari-hari / masa yang paling menakutkan ini, yang akan mendahului kedatangan Kristus yang keduakalinya, di sana akan ada orang-orang percaya di bumi, mereka yang namanya telah ditulis dari kekekalan dalam kitab kehidupan Anak Domba (bdk. 17:8). Karena fakta bahwa Allah telah memilih mereka sejak kekekalan pada keselamatan dalam pengudusan dari Roh dan kepercayaan pada kebenaran (2Tes 2:13), individu-individu ini tidak bisa binasa. Hendaklah orang-orang percaya menunggu dengan sabar untuk waktu kesukaran besar ini, dengan mengetahui bahwa segala sesuatu tercakup dalam ketetapan / dekrit Allah; ... Bukan Iblis, tetapi Allah, yang memegang pemerintahan tertinggi] - ‘More Than Conquerors’, hal 147.
Catatan:
a. Untuk kalimat yang saya garis-bawahi itu William Hendriksen memberikan catatan kaki yang berbunyi sebagai berikut: “The words ‘from the foundation of the world’ modify ‘written’, as in ASV” (= Kata-kata ‘sejak dunia dijadikan’ memodifikasi ‘ditulis’, seperti dalam ASV) - hal 147 (footnote).
b. Sekalipun kalau dilihat dari sudut bahasa Yunani kedua penafsiran di atas memungkinkan, tetapi saya berpendapat bahwa kalau dilihat kontextnya, penafsiran pertama lebih cocok, karena kontext memang menunjukkan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen pada jaman sang Anti Kristus, dan adanya banyak orang Kristen yang murtad dan mengikuti sang Anti Kristus, dan bagian ini merupakan penghiburan bagi orang-orang Kristen yang setia dan sedang menderita. Kalau dikatakan bahwa Kristus disembelih sejak dunia dijadikan, apa penghiburannya? Tetapi kalau dikatakan bahwa orang-orang yang murtad dan mengikut sang Anti Kristus itu memang tak ditulis dalam kitab kehidupan sejak dunia dijadikan, yang menunjukkan bahwa mereka memang adalah orang-orang yang ditentukan untuk binasa (reprobate), maka itu memang merupakan penghiburan. Mengapa ini bisa merupakan penghiburan?
· Karena pada waktu kita melihat banyak orang Kristen murtad, itu menjadikan kita sedih. Tetapi kalau kita tahu bahwa hal itu terjadi karena memang sudah ditetapkan, itu memberikan penghiburan kepada kita. Ada banyak contoh yang serupa:
* Pada waktu membicarakan penganiayaan dan kemurtadan pada akhir jaman (Mat 24:9-dst), Yesus lalu mengatakan bahwa orang-orang pilihan tidak bisa disesatkan (Mat 24:24).
* Pada waktu Yesus memberitahukan bahwa salah seorang muridNya akan menyerahkan / mengkhianatiNya, para murid menjadi sedih (Mat 26:21-22), dan Yesus menyatakan bahwa hal itu sudah dinubuatkan (Mat 26:24), atau dengan kata lain, sudah ditetapkan oleh Allah (Luk 22:22).
* Dalam surat 2Petrus, pada waktu Petrus membicarakan nabi-nabi palsu dan orang-orang yang mengikuti mereka (2Pet 2:1-2), ia menekankan bahwa neraka memang sudah disediakan bagi mereka (2Pet 2:3b,17), yang tidak terlalu berbeda dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah ditentukan untuk binasa (reprobate).
* Demikian juga Yudas, pada waktu membicarakan tentang nabi-nabi palsu (Yudas 4-dst), menekankan bahwa neraka sudah tersedia bagi mereka (Yudas 13), yang lagi-lagi tidak terlalu berbeda dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang ditentukan untuk binasa (reprobate).
· Juga, nama-nama orang yang mengikuti sang Anti Kristus itu ‘tak ditulis sejak dunia dijadikan’ secara implicit menunjukkan bahwa nama-nama orang kristen yang sejati ‘sudah ditulis sejak dunia dijadikan’, yang berarti bahwa mereka adalah orang-orang pilihan dan karena itu tidak mungkin bisa ikut murtad sehingga akhirnya binasa. Bdk. Mat 24:24 - “Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga”.
Catatan: perlu diingat bahwa andaikatapun yang benar dari dua kemungkinan tentang penafsiran Wah 13:8 ini adalah yang kemungkinan yang kedua, tetap ada Wah 17:8 yang terjemahannya tidak diragukan, dan jelas-jelas berbicara bahwa tertulisnya / tidak tertulisnya nama dalam kitab kehidupan itu sudah dilakukan sejak dunia dijadikan!
Memang kalau kita melihat Wah 13:8 dan Wah 17:8 di atas, kita melihat bahwa kedua ayat itu berbicara tentang orang yang namanya tidak tertulis dalam kitab kehidupan sejak dunia dijadikan. Tetapi bukankah merupakan sesuatu yang aneh untuk mengatakan bahwa ‘nama seseorang tidak tertulis dalam kitab kehidupan sejak dunia dijadikan’? Bukankah cukup untuk mengatakan ‘tidak tertulis’ atau ‘tidak pernah tertulis’? Karena itu, adanya kata-kata ‘tidak tertulis sejak dunia dijadikan’, secara implicit / tidak langsung menunjukkan sebaliknya, yaitu bahwa orang yang namanya ada / tertulis dalam kitab kehidupan, juga sudah tercatat di dalam kitab kehidupan itu sejak dunia belum dijadikan.
Bahwa nama seseorang sudah tertulis atau tidak tertulis dalam kitab kehidupan sebelum dunia dijadikan, jelas menunjukkan bahwa selamat atau tidaknya seseorang sudah ditentukan sejak dunia belum dijadikan. Inilah Predestinasi!
Lenski (tentang Wah 20:12): “All that is said in regard to the books and the book and their being opened is figurative and indicates the infallibility of the omniscient Judge on this great white (holy) throne ... In this book Calvinism finds its decree of absolute election” [= Semua yang dikatakan tentang kitab-kitab dan kitab ini dan pembukaan kitab-kitab itu bersifat simbolis dan menunjukkan ketidak-bisa-bersalahan dari Hakim yang maha tahu pada takhta putih (kudus) besar ... Dalam kitab ini Calvinisme menemukan dekrit / ketetapannya tentang pemilihan mutlak].
Catatan: Lenski hanya menyatakan bahwa ini merupakan pandangan dari Calvinisme; jadi tidak berarti bahwa itu adalah pandangan dia sendiri.
Calvin (tentang Maz 69:29): “the book of life being nothing else than the eternal purpose of God, by which he has predestinated his own people to salvation” (= kitab kehidupan bukan lain dari pada rencana kekal Allah, dengan mana Ia telah mempredestinasikan umatNya kepada keselamatan) - hal 73.
Calvin (tentang Kel 32:32): “By ‘the book,’ in which God is said to have written His elect, must be understood, metaphorically, His decree” (= Dengan kata ‘kitab’, dalam mana dikatakan Allah telah menuliskan orang-orang pilihanNya, harus dimengerti, secara simbolis, ketetapanNya) - hal 361-362.
Calvin (tentang Luk 10:20): “As it was the design of Christ to withdraw his disciples from a transitory joy, that they might glory in eternal life, he leads them to its origin and source, which is, that they were chosen by God and adopted as his children. ... The metaphorical expression, ‘your names are written in heaven,’ means, that they were acknowledged by God as His children and heirs, as if they had been inscribed in a register” (= Karena tujuan Kristus adalah untuk menarik murid-muridNya dari sukacita yang fana / tidak kekal, supaya mereka bisa bermegah dalam kehidupan yang kekal, Ia memimpin mereka kepada asal usul dan sumber dari keselamatan itu, yaitu bahwa mereka telah dipilih oleh Allah dan diadopsi menjadi anak-anakNya. ... Ungkapan yang bersifat simbolis ‘namamu tertulis di surga’ berarti bahwa mereka diakui oleh Allah sebagai anak-anak dan pewaris-pewarisNya, seakan-akan mereka telah dituliskan dalam sebuah daftar / catatan) - hal 34-35.
B. B. Warfield: “Book of life ..., which is certainly a symbol of Divine appointment to eternal life revealed in and realized through Christ” (= Kitab kehidupan ..., yang merupakan simbol dari penetapan pada kehidupan kekal yang dinyatakan dalam Kristus dan diwujudkan melalui Kristus) - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 306.
John Owen: “This book of life is no other but the roll of God’s elect, immutable designation of them unto grace and glory” (= Kitab Kehidupan ini bukan lain dari daftar nama orang-orang pilihan Allah, penandaan yang kekal terhadap mereka kepada kasih karunia dan kemuliaan) - ‘Hebrews’, vol 7, hal 341.
Dengan mengatakan bahwa kitab kehidupan ini adalah suatu simbol, kelihatannya baik Calvin, Warfield, maupun Owen, tidak mempercayai bahwa kitab seperti itu betul-betul ada. Ini cuma suatu simbol yang menunjukkan bahwa orang-orang pilihan itu sudah tertentu dan mereka pasti akan selamat. Tidak mungkin terjadi kesalahan dalam hal ini, karena Allah itu maha tahu dan tidak mungkin salah.
Kalau Allah bisa pikun / lupa, maka Ia pasti betul-betul membutuhkan suatu kitab supaya jangan sampai salah. Tetapi karena Allah itu maha tahu, jelas bahwa Ia tidak membutuhkan semua itu. Jadi kitab kehidupan hanya merupakan simbol, yaitu simbol dari predestinasi, dan dalam fakta hurufiahnya, tidak ada kitab seperti itu. Yang ada adalah predestinasi, baik pemilihan orang-orang yang akan selamat (election), maupun penentuan orang-orang yang akan binasa (reprobation).
-bersambung-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali
Untuk
membaca tulisan Pdt Budi Asali tentang:
sdr/sdri bisa masuk ke website :